Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Abses Hepar
1510221042
Pembimbing :
dr. Shofia Agung, Sp.B
ABSES HEPAR
A.
PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.
Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan
secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa
dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya. (2)
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi
seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang
EPIDEMIOLOGI
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan
prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
5
ETIOLOGI
D.1 Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu
strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba
histolytica
ini
berbeda
berdasarkan
kemampuannya
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua
stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri
menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya
perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak
penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau
enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um
yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease
yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering
atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista
sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4
inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
D.2 Abses Hati Piogenik
Etiologi
AHP
adalah
enterobacteriaceae,
microaerophilic
aspergillus,
actinomyces,
eikenella
corrodens,
yersinia
empedu.
Obstruksi
bilier
ekstrahepatik
choledocholithiasis,
tumor
jinak
dan
ganas
atau
pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
E.
PATOGENESIS
E.1 Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang
terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit
yang
dan
aliran
tebalnya,bergantung
limfatik.
Dinding
abses
bervariasi
pada
lamanya
penyakit.
Secara
(2,8,12,13)
F. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
10
c.
d.
e.
f.
Malnutrisi
Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
Nyeri perut kanan atas
Fluktuasi
Pemeriksaan fisis :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
G.
Hepatomegali
Nyeri tekan perut kanan
Ikterus, namun jarang terjadi
Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
Buang air besar berwarna seperti kapur
Buang air kecil berwarna gelap
Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan
jika
terdapat
demam,
nyeri
perut
kanan
atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
11
12
enzim
transaminase,
serum
bilirubin,
berkurangnya
13
14
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak
area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses
lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)
PENATALAKSANAAN
I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
15
16
dekompresi
perkutan
tidak
berhasil
Laparoskopi
juga
17
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 12 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisinmetronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
J.
18
PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
19
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)
L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)
Differential Diagnosis
Hepatoma
Manifestasi Klinis
Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
Kolesistitis akut
20
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
Tn.T
Umur
43 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Pekerjaan
Buruh bangunan
: Heteroanamnesis
KELUHAN UTAMA
ANAMNESIS TERPIMPIN :
Nyeri dialami sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan
bertambah pada saat batuk atau saat ditekan dan nyerinya berkurang dengan posisi
membungkuk.
ANAMNESIS SISTEMATIS :
21
Mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-). Demam (+) dialami sekitar 10 hari
terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun
dengan obat penurun panas. Batuk (-) sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu makan
mnurun sejak pasien sakit.
BAK : lancar, warna kuning muda
BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-)
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA :
Riwayat DM (-)
Riwayat BAB encer sebelumnya (+) dialami sekitar 2 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit selama 3 hari ; lendir (+) darah (+)
Riwayat konsumsi alkohol (+) , jenis ballo, sejak 10 tahun yang lalu, 1
2 botol/hari
PEMERIKSAAN FISIK :
Status Present :
SS/GK/CM
BB = 44 kg; TB = 158 cm; IMT = 17,62 kg/m2
Tanda Vital :
TD = 110/70 mmHg; N = 92 x/i; P = 24 x/i; S = 37,9 oC
Kepala :
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak sianosis
Mulut :
Tidak ditemukan bercak bercak putih pada rongga mulut
Leher :
22
Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening maupun kelenjar gondok. DVS R-2 cmH2O.
Thoraks :
Inspeksi
Palpasi
: Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus
simetris kiri dan kanan.
Perkusi
: Sonor kedua lapangan paru, batas paru hepar sela iga V anterior
dextra.
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen :
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: Tympani
23
Diet lunak
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Metronidazole 0,5gr/8jam/IV
Rencana Pemeriksaan :
USG Abdomen
Foto Thorax PA
Darah rutin
Urin rutin
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, bilirubin total, bilirubin
direk, albumin
Radiologi
RESUME:
24
Seorang laki-laki, 43 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan atas, sejak 10 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
tertusuk-tusuk dan tembus ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah berat saat
batuk atau saat ditekan. Pasien merasa lebih enak dengan posisi membungkuk.
Mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-). Demam (+) dialami sekitar 10 hari
terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun
dengan obat penurun panas. Batuk (-) sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu
makan menurun sejak pasien sakit
BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-) darah (-)
BAK : Lancar, warna kuning muda
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA :
Riwayat BAB encer sebelumnya (+) dialami sekitar 2 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit selama 3 hari, lendir (+) darah (+)
Riwayat konsumsi alkohol (+) , jenis ballo, sejak 10 tahun yang lalu, 1-2
botol/hari
vital: TD = 110/70 mmHg, nadi: 92x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 37,9 0C.
Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan
abdomen, didapatkan kesan perut datar, ikut gerak nafas, NT (+) di regio
hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan peristaltik (+) kesan normal.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin
didapatkan kesan leukositosis dan anemia dengan WBC 21,07 x 10 3/uL, RBC 3,67
x 106 /uL, HGB 10,5 g/dL,HCT 33,0 % , PLT 384 x 10 3/uL. Pada pemeriksaan
kimia darah, didapatkan SGOT 58 u/l, SGPT 44 u/l, ureum 34 mg/dl, kreatinin 0,6
mg/dl. Pada pemeriksaan gula darah, didapatkan GDS 102 mg/dl.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar,
tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x
25
8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct
dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan
adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta
pemeriksaan penunjang lainnya, maka pasien didiagnosis dengan abses hepar.
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri di perut bagian kanan atas.
Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain
abses hepar, hepatoma, kolesistitis, dan lain lain. Pada kasus ini, diketahui
bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas seperti tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan bertambah berat saat batuk atau ditekan. Nyeri dirasa berkurang
pada posisi membungkuk. Pasien juga mengalami demam 10 hari sebelum masuk
rumah sakit yang hilang timbul, menggigil (-) dan turun dengan obat penurun
panas. Semenjak sakit, nafsu makan pasien berkurang. Dari pemeriksaan fisis
didapatkan tanda vital: TD = 110/70 mmHg, nadi: 92x/menit, pernapasan:
24x/menit, suhu: 37,9 0C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan perut datar, ikut gerak
nafas, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus
costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan peristaltik (+) kesan
normal.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar,
tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x
8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct
dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan
adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ). Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis, SGOT dan SGPT meningkat , serta bilirubin
total dan bilirubin direk menurun. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi, pasien kini lebih diarahkan
dengan diagnosis abses hepar.
26
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal
yang
ditandai
dengan
adanya
proses
supurasi
dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan
oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan
sebagai penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae,
Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob
( contohnya Streptococcus Milleri ).
Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba
(khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar
piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba
dapat diberikan berupa metronidazole, DHE, maupun chloroquin, sedangkan
untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin ( untuk coccus gram
(+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan kloramfenikol
( untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2). Pasien dberikan terapi
berupa diet hepar, IVFD NaCl 0,9% sebanyak 20 tpm karena pasien dalam
keadaan demam, lemah, dan intake kurang sehingga kemungkinan elektrolit
kurang, metronidazole 0,5gr/8jam/IV, dan sistenol 3 x 500 mg. Setelah diberikan
terapi ini, demam pada pasien mulai turun pada hari ke I perawatan dan nyeri
perut kanan atas dirasakan mulai berkurang pada hari ke IV perawatan.
Tujuan diet hepar pada pasien ini adalah mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara meningkatkan
regenerasi hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut dan/atau meningkatkan
fungsi jaringan hati yang tersisa, mencegah katabolisme protein, mencegah
penurunan berat badan atau meningkatkan berat badan bila kurang, mencegah atau
mengurangi asites, varises esofagus, dan hipertensi portal, serta mencegah koma
hepatik. Syarat-syarat diet hepar adalah energi tinggi untuk mencegah pemecahan
protein yang diberikan bertahap sesuai kemampuan pasien yaitu 40-45 kkal/kgBB,
lemak cukup yaitu 20-25 % dari kebutuhan energi total, dalam bentuk yang
27
mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi, protein agak tinggi yaitu 1,25-1,5
g/kgBB agar terjadi anabolisme protein, vitamin dan mineral sesuai dengan
tingkat defisiensi, natrium diberikan rendah tergantung tingkat edema dan ascites,
cairan diberikan lebih dari biasa, bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual
dan muntah atau makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.(19)
Aspirasi dilakukan bila pengobatan medikamentosa tidak berhasil (72 jam),
lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. Drainase perkutan dilakukan dengan
indikasi ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang,
infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga
pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. Drainase bedah
diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara
yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi
biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang
tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil. (1,2)
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat
peningkatan enzim enzim hati (SGOT dan SGPT) yang menunjukkan telah
terjadinya gangguan fungsi hepar. Adanya proses infeksi dapat memicu
peningkatan produksi enzim enzim hati sehingga kadar enzim enzim tersebut
tinggi di dalam darah. Leukositosis sendiri muncul sebagai akibat dari proses
infeksi, sebagai salah satu upaya sistem imun untuk melawan mikroorganisme
penyebab infeksi. Selain pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan, ada
beberapa pemeriksaan yang belum dilakukan yang dapat mendukung diagnosis, di
antaranya pemeriksaan alkali fosfatase, PT & aPTT, serta kadar albumin. Pada
pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada regio hipokondrium dextra, hal ini
disebabkan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai akibat adanya
abses. Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi standar emas untuk penegakan
28
diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang memperlihatkan bakteri
penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab misalnya bseperti Proteus
vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan. Namun, pemeriksaan ini sulit
dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan sangat menyakitkan bagi
pasien. Pemeriksaan analisa feses juga dilakukan untuk menilai feses baik dari
segi warna, konsistensi, ada atau tidaknya darah dan lendir, leukosit, eritrosit, telur
cacing, amoeba, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
29
30
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati
%20amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal
120-122.
31