Vous êtes sur la page 1sur 11

KEGAWAT DARURATAN ORTOPEDI

Adalah trauma pada muskuloskeletal dimana apabila tidak mendapat


penanganan yang tepat
dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut,
kelumpuhan bahkan kematian. Jenisnya antara lain:
1.

Open Fractures

2.

Neurovascular Injuries

3.

Dislocations

4.

Septic Joints

5.

Trauma servical dan gangguan neurologisnya

6.

trauma pelvis dan perdarahannya

1.

OPEN FRACTURES

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia


luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak sehingga terjadi kontaminasi
bakteri dan komplikasi infeksi, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau
from without (dari luar). Fraktur terbuka
suatu keadaan darurat yang
memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi.
Berikut klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo,Merkow dan Templeman
(1990) :

Grade I Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan
jaringan lunak minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik.
Grade II Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan
lunak tidak luas, bentuk patahan simpel.
Grade III Patah tulang terbuka dengan luka > 10 cm, kerusakan jaringan
lunak yang luas, kotor dan disertai kerusakan pembuluh darah dan saraf.
III A. Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan luas, tapi masih
bisa menutupi
patahan tulang waktu dilakukan perbaikan.
III B. Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak hebat dan
atau hilang (soft
tissue loss) sehingga tampak tulang (bone-exposs)
III C. Patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah dan atau
saraf yang hebat

Komplikasi Open Fractures


-

Infeksi Soft tissue

Osteomyelitis

Gas gangrene

Tetanus

Crush syndrome

Skin loss

Fraktur Non-union

Penatalaksanaan
-

Kontrol perdarahan

Tutupi fraktur dengan sterile dressing

Splint

IV antibiotics

Tetanus prophylaxis

Anti Gas Gangrene Serum (AGGS, Clostridium perfringes)

2.

NEUROVASCULAR INJURIES
1.

Vascular trauma

2.

Trauma to peripheral nerves

3.

Acute compartment syndrome

Acute Compartment Syndrome


Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada
pasien trauma untuk mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai.
Kegagalan mendiagnosa dan menangani sindroma kompartemen pada pasien
trauma mengakibatkan sejumlah kasus morbiditas yang sebenarnya dapat
Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk, jika tidak dibatasi,
fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular,
kompresi tungkai, dan luka bakar.
kondisi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan kompartemen
osteofasial yang tertutup mengganggu sirkulasi dan fungsi jaringan menekan
pembuluh darah dan saraf tepi Perfusi kurang, serat saraf rusak iskemia
nekrosis otot.
Dapat terjadi di ekstremitas atas, ekstremitas bawah, tangan, kaki, mata,
dan abdomen.
Penyebab:
1.

Penurunan volume kompartemen :

2.

Peningkatan tekanan struktur kompartemen:

Gejala klinisnya (5P):


1.

Pain (nyeri)

2.

Pallor

3.

Pulselesness

4.

Parestesia

5.

Paralisis

Terapi
1.

Terapi Medikal/non operatif


o Singkirkan penyebab kompresi
o O2
o Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
o Konsultasi ortopedi atau bedah darurat

2.
Terapi pembedahan / operatif (apabila tekanan intrakompartemen > 30
mmHg)

3.

Fasciotomi

DISLOKASI

Diagnosa umum dislokasi: Mirip dengan tanda-tanda fraktur


Anamnesis:

Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya


Nyeri
Spasme otot
Gangguan fungsi

Pemeriksaan Fisik:

Swelling/pembengkakan
Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal, pemendekan
Gerakan yang abnormal
Nyeri setempat

1. Dislokasi Sendi Panggul


Dislokasi ke Posterior (sering)
Penderita berbaring, panggul yang terkena dalam posisi fleksi, adduksi
dan rotasi Interna
Dislokasi ke Anterior (jarang)
Penderita berbaring posisi panggul dalam keadaan ekstensi, abduksi dan
rotasi eksterna
Dislokasi ke Sentral (selalu disertai Fraktur dari Acetabulum)
2. Dislokasi Sendi Bahu
Anterior (paling sering)

Posterior lengan terkunci dalam posisi adduksi dan rotasi interna


Inferior dimana caput humerus terperangkap dibawah cavitas glenoidales
dikenal sebagai
3. Luxatio Erecta

4. Dislokasi Sendi siku


2 tipe:
Flexi
Extensi
Dislokasi ke arah posterior:

Trauma pada sendi siku dalam keadaan sedikit fleksi/truma yang


menyebabkan hiper ekstensi siku
Sering disertai fraktur dari proc coronoideus, capitullum humerus atau
caput radii
Sendi bengkak dalam posisi semi flexi dan olecranon teraba di bagian
posterior

Penatalaksanaan
Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi
spasme otot pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode
tertutup dengan sedasi yang cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai
usaha dilakukan untuk mereduksi sendi dengan teknik tertutup di dalam ruang
operasi dengan staf yang siap sedia melakukan reduksi terbuka jika prosedur
teknik tertutup ini gagal.
Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi
anatomi dan fungsi
normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut,
membebaskan pembuluh darah dan ketegangan
nervus, dan bisa
mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.

4.

SEPTIC JOINT/SEPTIC ARTHRITIS

Rongga sendi merupakan rongga yang steril berisi cairan sinovial dan
bahan selular termasuk sel darah putih, septik artritis merupakan infeksi pada
rongga sendi dan biasanya
merupakan infeksi bakterial. Septik arthriris
merupakan bentuk akut arthritis yang paling berbahaya, dan merupakan kasus
kegawatdaruratan pada bidang ortopedi, keterlambatan dalam mendiagnosa
dan memberikan terapi dapat menyebabkan kerusakan sendi yang menetap
bahkan dapat menyebabkan morbiditas yang nyata bahkan kematian.
Septik artritis dapat terjadi melalui invasi langsung pada rongga sendi oleh
berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, virus, mycobacteria dan jamur.
Reaktif artritis terjadi suatu proses inflamasi steril pada sendi oleh karena suatu
proses infeksi ditempat lain dari tubuh.
Kuman penyebab

Gonococcal vs non gonococcal


80% berasal dari kuman gram positif aerob (S aureus,
streptococci, and Streptococcus pneumoniae)

beta-hemolytic

Etiologi
-

Kontak langsung

Trauma

Iatrogenic

Penyebaran hematogen

osteomyelitis

infeksi Soft tissue

Lokasi
-

Lutut - 40-50%

Hip- 20-25%*

*paling sering terjadi pada bayi baru lahir dan anak kecil
-

Lengan- 10%

Bahu, ankle, siku- 10-15%

Faktor Resiko
-

Pemakaian Sendi buatan

Infeksi kulit

Pembedahan sendi

Riwayat Rheumatoid arthritis dan Diabetes Mellitus

Pengguna obat IV

Degeneratif

Tanda dan gejala


-

Onsetnya cepat

Nyeri sendi

Pembengkakan Sendi

Rasa panas di daerah sendi

Sendi yang Kemerahan

Demam

Penurunan Range of Motion

motion

Nyeri pada saat gerakan ROM aktif maupun pasifDecreased range of

Pengobatan

Antibiotika IV

Drainase

Aspirasi berulang

Perlu dipertimbangkan lavage

Indikasi dilakukannya pembedahan terbuka dengan drainase


-

Kesulitan pada aspirasi sendi

Demam serta gejala yang menetap selama > 24 jam

Leukocytosis selama >48-72 jam

Kultur darah atau sendi yang positif berulang >48 jam

Sendi buatan yang terinfeksi

Komplikasi
-

Destruksi cepat pada sendi dengan pengobatabyang tertunda (>24 jam)

Penyakit sendi degeneratif

Trauma jaringan lunak

Osteomyelitis

fibrosis sendi

Sepsis

Kematian

5. TRAUMA VERTEBRA CERVICAL


Tujuan utama dari management trauma vertebra adalah :

(Stabilitas vertebra bebas nyeri) Painless stable spine


Mencegah komplikasi pada medula spinalis.

Gangguan stabilitas ada 2 macam

Gangguan stabilitas permanent:

Bila lesi atau kerusakan lewat diskus atau jaringan lunak. Dalam hal ini perlu
mutlak untuk dilakukan stabilisasi anterior, posterior atau kombinasi anterior &
posterior terganutng dari kerusakannya.

Gangguan stabilitas temporer:

Kerusakan lewat komponen tulang, tindakan konservatif kecuali ada


pendesakan fragmmen ke spinal canal yang menimbulkan spinal canal
enroachment dengan neorologic deficit
a. Penanganan cidera acut cervical tanpa gangguan neurologis.
1. Cervical sprain derajat I & II oleh karena whiplash injury.
Pasang collar brace 6 mg

Ulangan dinamic foto setelah 3-6 mg post trauma


Untuk melihat adanya chronic instability

1.
Kriteria untuk melihat adanya instability secara radiologis:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Dislokasi facet > 50%


Loss of paralelisme dari facet joint
Vertebrae body angles > 11 pada posisi flexi
Widening interspinosus space
Pelebaran ADI (Atlanto Dental Interval) > 3,5 masing-masing pada dewasa
dan > 5 masing-masing pada anak-anak.
Pelebaran body mass CI terhdap corpus cervical II (axis) > 7 masingmasing pada foto AP

2. cervical spine
Sebaiknya dilakukan emergency closed reduction dengan atau tanpa
anaesthesia, dianjurkan tanpa anaesthesia cukup dengan premedikasi.
Keuntungannya : masih ada kontrol otot-otot leher yang dapat mencegah over
stretching dari
spinal cord.
- Reposisi
dilakukan dnegan
pertolongan image intensifier proyeksi
lateral.
Bila fasilitas tidak ada, sebaiknya dikerjakan gradual traksi dengan
pemasangan crutch field dengan bnadul bertahap dan kontrol x-ray proyeksi
lateral.
3. Fracture of the atlas (Jeffersons fractures) (805.01)
a. MOI : axial loading : menghasilkan bursiting fracture os atlas dengan
displacement fragment secara sentripetal.
b. Sign & symptoms :
- Nyeri leher bagian atas atau occipital neuralgia dan torticolis
- Kadang-kadang tidak dapat mempertahankan kepala dalam posisi
tegak (sense of instability) kepala ditopang dengan kedua tangan
- Deficit neurologis sangat jarang terjadi oleh karena terdapat
disporporsi yang besar antara spinal cord dan spinal canal pada
cervical bagian atas.
- Bila terdapat kelumpuhan biasanya dalam bentuk pentaplegia
yang berakibat fatal dan penderita tidak sempat masuk rumah
sakit.
c. Diagnostik :
- Foto standard AP (open mouth view) terjadi displacement body
mass
- Foto lateral : fraktur dari arcus posterior
- CT-scan
a. Therapy :
- Konservatif dengan minerva jacket atau halo traction selama 3
bulan.
- Operatif : bila disertai denagn ruptur ligamnet transversum
dilakukan stabilisasi posterior dengan posterior fusion antara
occipital, vertebrae cervical 1 & vertebral cervical 2
- Rupture ligamen : transversum bisa dilihat padafoto AP
terdapat lateral displacement dari body mass CI terhadap C2 >
7 masing-masing.

4. Fracture os odontoid 805.02 (3)


:

Nyeri pada setiap pergerakan leher


Nyeri pada leher bagian belakang : occipital neuralgia
Torticolis dan occipito cervical instability
Neurologic deficit akibat ternagsangnya n. occipitalis mayor dan
menimbulkan occipital neuralgia atau rasa tebal pada daerah occipital
Penyulit : pentaplegia akibat penekanan batang otak oleh odontoid
berakhir dengan kematian.
Dk : proyeksi AP / lat
Foto
Tomografi AP/lat
Kalau perlu dikejakan dinamic x-ray untuk memastikan ada tidaknya
instability Pada proyeksi lateral : terjadi instability bila ADI > 3,5 mm pada
dewasa, ADI > 5 mm pada anak-anak.
Konservatif : immobilisasi dengan crutch field, kemudian dilanjutkan
dengan minerva
jacket selama 2-3 bulan.
Operatif : bila terdapat instability C1 & C2

6. TRAUMA PELVIS DENGAN PERDARAHAN

Fraktur
pelvis
berkekuatan-tinggi
merupakan
cedera
yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif
umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15
30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara
hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya
darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian
pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian
antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera
multipel, penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut
terlibat dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini
oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim
pengobatan untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan
mempercepat
pembentukan
maneuver penyelamatan-hidup. Sebuah
pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran
akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.

Perdarahan kelas 1: kehilangan darah <15% dari total volume darah, mendorong
pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan jantung atau pernafasan,
tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit atau tidak adanya
perawatan sama sekali.

Perdarahan kelas 2 : kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml),


dengan tanda-tanda klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah
sistolik mungkin hanya sedikit menurun, khususnya ketika pasien berada pada
posisi supinasi, akan tetapi tekanan nadi menyempit. Urin output hanya
menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2
biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa
pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan kelas 3 : kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi
yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan
tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali
kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif
status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume
kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada
tekanan darah sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan
transfusi darah sebagi tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid.
Perdarahan kelas 4 : kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml)
mewakili perdarahan yang
mengancam-jiwa.
Tanda-tandanya
termasuk
takikardia,
tekanan
darah
sistolik
yang tertekan secara signifikan, dan
tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat
diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan.
Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk
resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera.
Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba,
kurang sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang
tidak dapat diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi
posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika
pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat
memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin
posterior, harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas
hemodinamik. CT sangat berharga untuk
menjelaskan
instabilitas
cincin
posterior.
Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa meliputi
potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari
studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat
membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun,
CT-scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus
dihindari.
Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih
lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan.
Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada
pasien trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik noninvasif yang telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau
hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang
membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT
mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler
atau ekstravasasi yang diperlihatkan oleh angiografi,
untuk
sensitivitas
sebesar 84%.
Hasil angiografi pelvis adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien
yang memiliki bukti perdarahan pada CT- scan preangiografi. Dua lokasi
ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada dua pasien
yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85%

untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan


adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90%.

SISTEM KLASIFIKASI DAN NILAI PROGNOSTIK


Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan
cedera
pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau
berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing
klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah
umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan
manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur.
Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan
Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang
terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis
dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari
tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan
oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior
terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera
open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya
ligamentum
sacrospinale
ipsilateral
dan
ligamentum
sacrotuberale.
Cedera
APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk
cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran
dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan
ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan
tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri
iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika
hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur. Cedera VS
dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis
mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM
meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua
vektor tekanan terpisah. Klasifikasi
fraktur
pelvis
Young-Burgess
dan
dugaan vektor tekanan juga telah menunjukkan berkorelasi baik dengan
pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas.
Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana
meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III
telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri
terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan
bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,
dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada
seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan
cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka
mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%.
Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM
(18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat
hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang
terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC

pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum


pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada
kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC
merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan
bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera
yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi
cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan
pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat
diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat.

METODE PENATALAKSANAAN
1. Military Antishock Trousers
2. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Angiografi
Balutan Pelvis
Resusitasi Cairan

EVALUASI STATUS RESUSITASI


Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium
dan tanda- tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui
tidak
akurat
selama
fase
akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang
umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya
denyut jantung, urin output yang cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral
(CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini,
oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium
tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan
termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis
anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satusatunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor
positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa
normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas
darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak
mencukupi.

Vous aimerez peut-être aussi