Vous êtes sur la page 1sur 5

TINJAUAN PUSTAKA

Penatalaksanaan Kardiomiopati Peripartum


Monique H. Setiantiningrum, J. E. Vallentino E. Rehatta
RS St. Gabriel Kewapante, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia

ABSTRAK
Peripartum Cardiomyopathy (PPCM) merupakan suatu keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan yang bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri. PPCM biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai
5 bulan masa postpartum pada wanita tanpa penyakit kardiovaskuler lain. Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan
terapi Congestive Heart Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan perhatian terhadap risiko toksisitas pada janin. Telah ditemukan strategi
terapi baru, seperti pemberian imunosupresan, IVIG (Intravenous Immunoglobulin), bromocriptine, cabergoline, dan pentoxyfilline. Tujuan terapi
medis PPCM adalah termasuk memperbaiki oksigenasi dan mempertahankan cardiac output, sehingga memperbaiki prognosis fetal dan
maternal.
Kata kunci: Peripartum cardiomyopathy, penatalaksanaan

ABSTRACT
Peripartum cardiomyopathy (PPCM) is an idiopathic cardiomyopathy secondary to pregnancy, presenting as a heart failure with left
ventricular (LV) systolic dysfunction. PPCM usually occurs towards the end of pregnancy until 5 month postpartum, with no other cause
of heart failure. Medical therapy of PPCM is similar to treatment of congestive heart failure caused by systolic dysfunction, with caution of
toxicity toward pregnancy. New strategies of therapy have been implemented, including immunesuppressant agents, IVIG, bromocriptine,
cabergoline, and pentoxyfilline. The goal of medical management should include improvement of oxygenation and maintaining cardiac
output to improve both maternal and fetal outcome. Monique H. Setiantiningrum, J. E. Vallentino E. Rehatta. Management of Peripartum
Cardiomyopathy.
Keywords: Peripartum cardiomyopathy, management

PENDAHULUAN
The European Society of Cardiology mendefinisikan
Peripartum Cardiomyopathy
(PPCM) sebagai suatu keadaan kardiomiopati
idiopatik, berhubungan dengan kehamilan
yang bermanifestasi sebagai gagal jantung
karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan
sampai 5 bulan masa postpartum pada wanita
tanpa penyakit kardiovaskuler lain. Diagnosis
PPCM adalah suatu diagnosis eksklusi, dapat
tidak disertai dilatasi ventrikel kiri, namun
fraksi ejeksi biasanya selalu <45%.1
Insidens PPCM adalah sebesar 1:2500-4000
(USA), 1:1000 (Afrika Selatan), 1:300 (Haiti),
1:6000 (Jepang).1-3 PPCM jarang didapat,
namun merupakan komplikasi serius kehamilan.2 Sangat sedikit yang diketahui
Alamat korespondensi

356

tentang PPCM, kebanyakan penelitian dilakukan di USA, Afrika Selatan, dan Eropa.
Tujuan terapi PPCM adalah memperbaiki
oksigenasi dan mempertahankan cardiac
output, sehingga prognosis fetal dan maternal
menjadi lebih baik. Intervensi diperlukan
untuk menurunkan preload dan afterload,
serta memperbaiki kontraktilitas jantung.1

16 Kda, dan Cathepsin D yang berperan aktif


pada patogenesis PPCM.1,2 Hal ini dibuktikan
dengan data eksperimen menggunakan
mencit PPCM. Penelitian tersebut menyatakan bahwa produksi prolaktin yang
ditekan oleh dopamine D2 receptor agonist
bromocriptine dapat mencegah terjadinya
PPCM.4,5

ETIOPATOGENESIS
Etiopatogenesis PPCM masih bersifat
hipotesis. Beberapa hipotesis mengacu
pada hubungan stres oksidatif dan hormon
prolaktin, miokarditis, reaksi autoimun, dan
genetik.

MANIFESTASI KLINIS DAN EVALUASI


Manifestasi klinis PPCM serupa dengan
gagal jantung pada umumnya, namun
dapat dibedakan dari perjalanan penyakit,
pemeriksaan laboratorium, dan terutama
pemeriksaan echocardiography sebagai gold
standard.1

Stres oksidatif telah terbukti menjadi penyebab utama aktivasi prolaktin, prolaktin

Tanda dan gejala PPCM biasanya ditemukan


pada tahap lanjut karena awal perjalanan

email: mhsetiant05@yahoo.com

CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015

TINJAUAN PUSTAKA
penyakit serupa dengan keadaan fisiologis
kehamilan yang berupa edema pedis, dyspnoe
deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, dan batuk persisten.6,7 Pada tahap
lanjut, akan ditemukan gejala tambahan
berupa rasa tidak nyaman sekunder terhadap
kongesti hepar, pusing, nyeri epigastrium atau
dada kiri, dan palpitasi; pada stadium akhir
juga disertai hipotensi postural, peningkatan
tekanan vena jugularis, murmur regurgitasi
yang tidak ditemukan sebelumnya, serta
bunyi gallop S3 dan S4.8,9
Pemeriksaan laboratorium pada PPCM
biasanya tidak menunjukkan kelainan,
kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia
kronik. Pemeriksaan dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis diferensial, seperti
pre-eklampsia dan noncardiogenic pulmonary
edema.8 Pada sebagian besar pasien PPCM
ditemukan peningkatan konsentrasi BNP
plasma atau N-terminal pro-BNP (NT-proBNP)
yang meningkat.1
Pemeriksaan tambahan seperti pada keadaan gagal jantung dapat dilakukan, seperti
rontgen toraks, EKG, dan pencitraan jantung
(echocardiography dan MRI). Namun, gold
standard penegakan diagnosis PPCM adalah
echocardiography, yang dapat memeriksa
fungsi ventrikel kiri untuk menentukan
prognosis, adanya trombosis, dan morfologi
katup jantung.1,3
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medis PPCM secara garis
besar sama dengan terapi Congestive Heart
Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan
pengecualian pemberian terapi pada ibu hamil
harus dipikirkan efek toksisitas pada janin.10
Tujuan akhir penatalaksanaan medis pasien
PPCM adalah memperbaiki oksigenasi dan
menjaga cardiac output demi meningkatkan
prognosis ibu dan anak.11
Penatalaksanaan awal PPCM adalah istirahat,
pembatasan garam, dan terapi diuretik.11
Oksigen dapat diberikan lewat face mask
atau continuous positive airway pressure
(CPAP) dengan tekanan 5-7,5 cm H2O untuk
membantu meringankan cardiac output
dan mendapatkan saturasi oksigen arteri
95%.1,11 Pembatasan garam kurang dari 2 g/
hari dapat mencegah retensi air, sedangkan
loop-diuretic dengan dosis efektif terkecil
dapat menurunkan pulmonary congestion.

CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015

Restriksi cairan kurang dari 2 L/hari mungkin


tidak diperlukan pada kasus PPCM ringansedang.11,12
Terapi angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACE-I) adalah terapi lini pertama pada wanita postpartum, tetapi
kontraindikasi pada ibu hamil karena efek
teratogeniknya terutama pada trimester
kedua dan ketiga, adanya hubungan
peningkatan angka abortus, fetopati karena
hipotensi fetus, oligohidramnion-anuria,
dan renal tubular dysplasia.2,10,13 ACE-I dapat
dan harus digunakan pada pasien PPCM
masa postpartum dan aman untuk wanita
menyusui. Selain ACE-I, angiotensin receptor
blocker (ARB) juga dikontraindikasikan pada
saat kehamilan karena efek toksisitasnya pada
janin.14
Hydralazine dan nitrat mengurangi afterload
dan merupakan terapi dasar untuk wanita
hamil dengan PPCM. Nitrogliserin harus diberikan secara parenteral untuk mengurangi
afterload jika tekanan darah sistolik di atas
110 mmHg. Pemberian dengan titrasi mulai
dosis 10-20 g/menit sampai maksimum 200
g/menit.1 Nitroprusside dikontraindikasikan
pada wanita hamil karena adanya risiko
penumpukan thiocyanate dan cyanide pada
fetus.11,12
Dobutamin dan milrinon dapat digunakan
untuk memberikan support inotropic pada
pasien dengan cardiac output rendah yang
mempunyai gejala kulit dingin dan lembap,
vasokonstriksi sistemik yang menyebabkan asidosis, gagal ginjal, disfungsi hati,
dan gangguan kesadaran.1,12 Dobutamin
memerlukan
-receptors
untuk
efek
inotropiknya, sedangkan milrinon tidak; hal
ini penting dalam terapi pasien yang juga
mendapat -blocker. Milrinon mempunyai
sifat vasodilatasi sistemik dan pulmoner; pada
wanita dengan tekanan sistolik kurang dari
90 mmHg, dobutamin lebih menguntungkan
dibanding milrinon.12 Digoxin, digitalis dengan
efek inotropik, aman untuk kehamilan, dapat
digunakan untuk memaksimalkan kontraksi
dan kontrol laju denyut jantung, tetapi kadar
dalam serum harus dipantau, karena jika
berlebihan dapat menyebabkan prognosis
buruk.13
Calcium channel blockers (CCB), kecuali
amlodipin, memberikan efek inotropik negatif

dan harus dihindari. Amlodipin, suatu CCB


golongan dihidropiridin telah dibuktikan
dapat meningkatkan angka kehidupan
pada non-ischemic cardiomyopathy. Pada
studi prospective randomized amlodipine
survival evaluation (PRAISE), ditemukan
adanya penurunan kadar interleukin-6 yang
merupakan proinflammatory interleukin pada
plasma.2
Beta-blockers, seperti metoprolol, dapat
menurunkan denyut jantung, memperbaiki
fungsi diastolik ventrikel kiri dan melindungi
terhadap aritmia. Beta-blockers digunakan sebagai terapi lini kedua karena penggunaan
jangka panjang pada masa prenatal dapat
menyebabkan berat badan lahir rendah
(BBLR) pada bayi, meskipun beta-blocker
relatif aman untuk wanita menyusui.11 -1
selective beta blocker lebih disukai dibanding
-2 receptor blockade, karena secara teori -2
dapat mempunyai aksi anti-tocolytic.1,15
Diuretik harus digunakan secara terbatas
pada kehamilan karena dapat mengurangi
peredaran darah plasenta. Diuretik terutama yang digunakan adalah loop
diuretic (furosemide) dan golongan thiazide
(hydrochlorothiazide/ HCT).1 Aldosteron antagonis, seperti spironolakton, ditemukan
memiliki efek anti-androgenik pada trimester
pertama. Karena efek eplerenon pada
fetus manusia tidak dapat diprediksi, maka
disarankan untuk dihindari pemakaiannya
pada saat kehamilan.1
Levosimendan merupakan agen kardiotropik lain yang dapat memperbaiki cardiac
output dengan meningkatkan respons
miofilamen
terhadap
kalsium
intraseluler, dan peningkatan kadar kalsium
intraseluler. Levosimendan telah terbukti
efektif meningkatkan cardiac output dan
menurunkan mortalitas. Levosimendan digunakan per parenteral dengan laju 0,1-0,2
g/kg/menit pada gagal jantung dengan
atau tanpa loading dose 3-12 g/kg dalam 10
menit.11
Antikoagulan disarankan untuk pasien PPCM,
terutama bagi yang mempunyai ejection
fraction <35% dan mempunyai beberapa
faktor risiko, seperti dilatasi ventrikel berat,
fibrilasi atrium, dan adanya trombus mural
pada echocardiography atau riwayat adanya
trombus.11-15 Warfarin sangat teratogenik pada

357

TINJAUAN PUSTAKA
awal kehamilan dan dapat menyebabkan
fetal
warfarin
syndrome,
sedangkan
pemakaian pada trimester kedua dan ketiga
menyebabkan fetal cerebral hemorrhage,
microcephaly, buta, tuli, dan gangguan
pertumbuhan.11 Guideline American College of
Cardiology and the American Heart Association
on the management of patients with heart valve
disease mengatakan bahwa jika diperlukan,
warfarin mungkin aman digunakan pada
6 minggu pertama kehamilan, akan tetapi
terdapat risiko embryopathy jika digunakan
lebih dari itu.14 Namun, mengingat banyaknya
risiko yang menyertai pemakaiannya, warfarin
sebaiknya digunakan pada masa postpartum.
Low-molecular-weight heparin (enoxaparin)
lebih disukai pada saat kehamilan karena tidak
menembus plasenta dan mempunyai risiko
rendah untuk terjadinya osteoporosis dan
trombositopenia, selain itu bioavailabilitas
lebih dapat diprediksi.11,15 Enoxaparin tidak
boleh digunakan pada wanita yang mempunyai artificial valves.11,14 Dosis yang
biasa diberikan adalah 40 mg qd atau
bid.8 The American Society of Anesthesiology
merekomendasikan bahwa wanita dengan
dosis tinggi LMWH tidak mendapatkan
anestesi spinal dan epidural untuk 24 jam
setelah injeksi terakhir. LMWH tidak dapat
secara pasti dibalikkan efeknya dengan
protamine. Fresh Frozen Plasma dapat
digunakan untuk menetralkan jika pembedahan diperlukan.11
Selain itu, dapat pula digunakan low dose
unfractionated heparin (UFH). Pada PPCM
dosisnya adalah 5.000 unit UFH subcutan dua
atau tiga kali sehari pada trimester pertama,
7.500 unit di trimester kedua, dan 10.000
unit dua kali sehari di trimester ketiga.8 Pada
dasarnya, pasien dengan PPCM disarankan
untuk mendapatkan terapi antikoagulan
sampai fungsi ventrikel kiri menjadi normal
menurut kriteria ekokardiografi.12
Cardiac Resynchronization Therapy dan
Implantable Cardioverters/Defibrillators
Jika pasien PPCM mempunyai persistently
severe LV-dysfunction 6 bulan setelah
didiagnosis, walaupun telah menerima
terapi medis secara optimal, banyak
yang menganjurkan pemasangan ICD
(implantable cardioverters/ defibrillator) yang
dapat dikombinasi dengan CRT (cardiac
resynchronization therapy) jika pasien ter-

358

sebut juga memiliki gejala NYHA (New York


Heart Association) FC III atau IV dan durasi QRS
> 120 ms.1
STRATEGI TERAPI BARU
Agen Immunosuppressant
Prevalensi miokarditis pada pasien PPCM
berkisar 9-78%. Dari suatu penelitian yang
bersifat single nonrandomized menyatakan
adanya keuntungan terapi imunosupresan
pada wanita penderita PPCM yang dibuktikan secara biopsi.15 Namun, the myocarditis
treatment trial tidak memperlihatkan adanya
keuntungan nyata dari agen imunosupresan
dibandingkan dengan tingginya risiko terapi
imunosupresan, sehingga terapi ini belum
banyak digunakan.12,15
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Peran IVIG sebagai salah satu terapi PPCM
ditelaah dalam penelitian retrospektif dari
6 wanita yang diterapi IVIG dan 11 wanita
yang diterapi secara konvensional. Setelah
6 bulan, terdapat peningkatan LVEF (left
ventricular ejection fraction) yang bermakna
pada wanita yang diterapi dengan IVIG
dibandingkan dengan terapi konvensional
(26% vs 13%). Akan tetapi, uji IMAC (controlled
trial of immune globulin in recent-onset dilated
cardiomyopathy) menunjukkan bahwa terapi
imunoglobulin pada pasien dewasa dengan
recent-onset cardiomyopathy tidak mempengaruhi perbaikan LVEF atau kapasitas
fungsional pada follow-up.15
Bromocriptine
Strategi terapi ini didasarkan pada penelitian
pada mencit dengan durasi mutasi delesi gen
cardiomyocyte-specific STAT-3. Mutasi tersebut
menyebabkan peningkatan ekspresi dan
aktivitas cardiac cathepsin D dan mempromosi
pembentukan 16-kD prolactin.14 HilfikerKleiner, et al, menyatakan bahwa terapi
mencit dengan bromocriptine telah terbukti
mencegah terbentuknya PPCM.12 Laporan
kasus Jahn, et al, juga menyatakan bahwa
bromocriptine dapat mencegah penurunan
kualitas ventrikel kiri dan fungsi sistolik ketika
diberikan bersamaan dengan terapi standar
gagal jantung.12
Hasil pilot study yang menggunakan
bromocriptine pada pasien PPCM yang didiagnosis dalam 4 bulan setelah melahirkan
menunjukkan hal yang menjanjikan. Dosis
bromocriptine yang digunakan adalah 2,5

mg bid untuk 2 minggu, diikuti dengan


2,5 mg qd untuk 4 minggu, menunjukkan
perbaikan LVEF dari 27% pada baseline
sampai 58% saat 6 bulan. Dibandingkan
pada pasien yang diberikan terapi standar
(27% pada baseline sampai 36% saat 6
bulan).4
Bromocriptine mesylate termasuk golongan
alkaloid ergot yang merupakan antagonis
reseptor dopamin D2 yang menekan sekresi
prolaktin.4 Maka, berdasarkan konsep ini,
obat-obatan yang dapat menghambat
sekresi
prolaktin
disimpulkan
dapat
mencegah berlanjutnya PPCM.4,14
Bromocriptine telah digunakan selama 20
tahun untuk menghentikan laktasi, pada saat
periode penggunaan ini telah dilaporkan
beberapa kejadian infark miokard. Oleh
karena itu, pasien yang menerima terapi
bromocriptine harus diberikan juga terapi
anti-koagulan.4,15
Cabergoline
Hasil studi kasus Jong, et al, memberikan
kemungkinan bahwa cabergoline, suatu
antagonis
reseptor
dopamin
mirip
bromocriptine dapat menurunkan kadar
prolaktin dengan cepat yang akhirnya
juga menurunkan kadar NT pro-BNP. Terapi
cabergoline juga memperbaiki LVEF dalam 5
hari setelah pemberian. Studi kasus ini adalah
yang pertama dalam mengevaluasi potensi
cabergoline pada pasien PPCM.16
Pentoxifylline
Penelitian Sliwa, et al, melibatkan 59
pasien PPCM pada satu pusat kesehatan
mengevaluasi efek pentoxifylline, obat yang
menghambat produksi TNF- (tumor necrosis
factor-), fungsi ventrikel kiri, dan kadar TNF-
plasma. Grup pertama diberi terapi diuretik,
digoxin, enalapril, dan carvedilol, sedangkan
grup kedua diberi tambahan pentoxifylline 400
mg tiga kali sehari selain terapi grup pertama.
Hasil penelitian menyatakan penambahan
pentoxifylline memperbaiki outcome.17
METODE MELAHIRKAN
Pasien PPCM selama kehamilan memerlukan
perawatan bersama spesialis jantung dengan
spesialis obstetri ginekologi. Kecuali terdapat
penurunan kondisi maternal atau fetal, tidak
diperlukan terminasi kehamilan lebih awal.
Persalinan darurat tanpa memikirkan umur

CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015

TINJAUAN PUSTAKA
gestasi, hanya dipertimbangkan pada PPCM
berat dan status hemodinamik tidak stabil.
Kemungkinan terbaik untuk ibu dan anak
harus didiskusikan oleh tim yang terdiri dari
kardiolog, ahli kandungan, anestesiologis,
neonatologis, dan internis.1
Pada dasarnya, melahirkan spontan per
vaginam lebih dianjurkan untuk wanita
PPCM dengan kondisi jantung terkontrol
dan fetus sehat. Sectio caesarea terencana
dianjurkan untuk wanita dalam keadaan
kritis dan memerlukan terapi inotropik atau
support mekanis. Pada kala II melahirkan
spontan dapat dibantu menggunakan
forsep atau vakum untuk mempersingkat
waktu melahirkan dan mengurangi beban
jantung.2
Komplikasi kardiovaskuler selama proses
melahirkan diantaranya supine hypotension,
peningkatan cardiac output, dan kehilangan
darah. Cairan intravena beserta continuous
urinary catheter harus terpasang untuk
mencegah overload cairan dan edema
pulmoner. Fetus harus dipantau dengan
kardiotokografi. Posisi left lateral decubitus
(LLD) lebih dianjurkan untuk memastikan
venous return yang memadai dari vena cava
inferior.1,2
Analgesik epidural lebih dianjurkan pada
kala 1 karena dapat menstabilisasi cardiac
output. Pada sectio caesarea continuous
spinal anesthesia dan kombinasi anestesi
spinal dan epidural telah dianjurkan.1,11
Kala III dalam fase melahirkan dapat dibantu
dengan pemberian oxytocin IM. Ergometrin
merupakan kontraindikasi. Setelah melahirkan, auto transfusi darah dari ekstremitas
bawah dan uterus yang berkontraksi dapat
meningkatkan preload secara signifikan,
dianjurkan pemberian furosemide iv.1
MENYUSUI
Dengan dasar penemuan terbaru tentang
efek fragmen prolaktin, menyusui tidak
dianjurkan pada pasien yang dicurigai
menderita PPCM atau didiagnosis pasti PPCM.
Jika perlu, dapat diberikan ACE-inhibitors
(captopril, enalapril, dan quinapril).1,2
PROGNOSIS
Angka mortalitas dan morbiditas pasien
dengan PPCM berbeda antara USA, Haiti, dan

CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015

Afrika Selatan.1 Faktor prediksi mortalitas


independen yang masih perlu dipelajari
lebih lanjut adalah gejala, kelas NYHA,
LVEF, durasi QRS, dan onset lambat.14 Pada
penelitian Sliwa, et al, angka mortalitas untuk
29 wanita berkisar antara 32%, sedangkan
pada penelitian besar pada populasi di Haiti
oleh Fett, et al, angka mortalitas berkisar
antara 15,8%.12,14
KEHAMILAN BERIKUTNYA
Karena sedikitnya data tentang PPCM, sulit
melakukan konseling individual, tetapi adanya
LVEF <25% pada saat terdiagnosis atau LVEF
tidak kembali normal setelah melahirkan,
pasien dengan riwayat PPCM disarankan
untuk tidak hamil lagi.1,15 Semua pasien
harus diberi informasi bahwa kehamilan
mempunyai efek negatif terhadap fungsi
jantung, dan dapat terjadi gagal jantung
yang berujung pada kematian.1
Wanita dengan riwayat PPCM harus disarankan menggunakan metode kontrasepsi
karena menghentikan kehamilan mungkin
tidak dapat mencegah PPCM.15 Intrauterine
device/ IUD (copper dan progesterone releasing
IUD) adalah tipe yang paling efektif dan
pada jangka panjang tidak meningkatkan
risiko trombo-embolisme. Kontrasepsi yang
mengandung hormon kombinasi (estrogen
dan progestin - bentuk sintetik progesteron)
harus dihindari. Estrogen dapat meningkatkan risiko trombo-embolisme dan harus dihindari, tetapi pemberian progesteron saja
aman dipakai. Metode barrier tidak disarankan
karena tingginya tingkat kegagalan. Pilihan
untuk sterilisasi dapat dipertimbangkan,
seperti vasektomi, tubal ligation, dan insersi
tubal stent.1
Jika ingin hamil lagi, dianjurkan menjalani
tes echocardiography yang dapat disertai
dobutamin stress test. Dobutamine stress
echocardiography dapat digunakan untuk
menetapkan daya kontraksi ventrikel kiri
pasien yang telah sembuh dari PPCM. Wanita
yang sebelumnya mempunyai riwayat PPCM
dan fungsi ventrikel kiri telah dibuktikan
kembali normal pada dobutamin stress
echocardiography, mempunyai kemungkinan
35% untuk kembali mengidap PPCM pada
kehamilan berikutnya.15 Jika hasil yang didapat adalah abnormal atau tidak terdapat
perbaikan, maka kehamilan berikutnya sangat
tidak disarankan.14

SIMPULAN
Penatalaksanaan medis PPCM secara garis
besar sama dengan terapi congestive heart
failure (CHF) karena adanya disfungsi
sistolik, dengan pengecualian pada ibu
hamil harus dipikirkan efek toksisitas
pada janin.10 Tujuan akhir penatalaksanaan
medis pasien PPCM adalah memperbaiki
oksigenasi dan menjaga cardiac output
demi meningkatkan prognosis ibu dan
anak.11 Terapi PPCM pada kehamilan harus
termasuk pemberian oksigen jika perlu,
pembatasan garam, dan pembatasan
intake cairan. Harus dipikirkan pemberian
antikoagulan selama kehamilan untuk
mengurangi risiko trombosis.11,12 Terdapat
beberapa strategi terapi baru berdasarkan
patofisiologi PPCM antara lain pemberian
imunosupresan,
IVIG,
bromocriptine,
cabergoline, dan pentoxyfilline. Jika terapi
tersebut tidak memperbaiki perjalanan
penyakit dan gejala klinis, dianjurkan
menggunakan cardiac resynchronization
therapy dan implantable cardioverters/
defibrillators.
Wanita dengan PPCM yang akan melahirkan
memerlukan kerjasama tim spesialis yang
mencakup spesialis jantung dan obstetri
ginekologi. Kecuali terdapat penurunan
kondisi maternal atau fetal, tidak diperlukan
terminasi kehamilan lebih awal.1 Melahirkan
spontan dapat dilakukan dengan bantuan
forceps atau vakum dan oxytocin untuk
meringankan beban jantung.1,2 Menyusui
tidak dianjurkan pada pasien yang dicurigai
menderita PPCM atau didiagnosis pasti
PPCM.1 Faktor prediksi mortalitas secara
independen masih perlu dipelajari lebih
lanjut, antara lain gejala, kelas NYHA, LVEF,
durasi QRS, dan gejala yang onsetnya
lambat.14
Pasien dengan riwayat PPCM disarankan
tidak hamil lagi jika LVEF <25% pada saat
terdiagnosis atau LVEF tidak kembali normal
setelah melahirkan.1,15 Dobutamine stress
echocardiography dapat digunakan untuk
menetapkan daya kontraksi ventrikel kiri
pasien yang telah sembuh dari PPCM.
Jika hasilnya LVEF yang telah kembali
normal, terdapat 35% kemungkinan untuk
mendapatkan PPCM ulang pada kehamilan
berikutnya. Jika hasil yang didapat abnormal,
maka kehamilan berikutnya sangat tidak
disarankan.14

359

TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.

Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, Mebazaa A, Pieske B, Buchmann E, et al. Position statement on current state of knowledge on aetiology, diagnosis, management, and therapy of
peripartum cardiomyopathy: A position statement from the heart failure association of the European society of cardiology working group on peripartum cardiomyopathy. Eur J Heart
Failure 2010; 12(8):767-78. doi: 10.1093/eurjhf/hfq120.

2.

Pearson GD, Veille JC, Rahimtoola S, Hsia J, Oakley CM, Hosenpud JD, et al. Peripartum cardiomyopathy: National heart, lung, and blood institute and office of rare diseases (National
Institutes of Health) workshop recommendation and review. JAMA 2000; 283(9): 1183-8. doi:10.1001/jama.283.9.1183.

3.

Mishra VN, Mishra N, Devanshi. Review article: Peripartum cardiomyopathy. JAPI 2013; 61:268-73.

4.

Chopra S, Verghese PP, Jacob JJ. Bromocriptine as a new therapeutic agent for peripartum cardiomyopahty. Indian J Endocrinol Metabolism 2012; 16(7): 60-2.

5.

Patten IS, Rana S, Shahul S, Rowe GC, Jang C, Liu L, et al. Cardiac angiogenic imbalance leads to peri-partum cardiomyopathy. Nature 2012; 485(7398): 333-8. doi: 10.1038/nature11040

6.

Okeke TC, Ezenyeaku CCT, Ikekako LC. Peripartum cardiomyopathy. Ann Med Health Sci Res 2013; 3(3): 313-19.

7.

Krejci J, Hude P, Spinarova L, Zampachova V, Sirotkova A, Freiberger T, et al. The variable clinical course of peripartum cardiomyopathy. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech

8.

Carson MP. Peripartum cardiomyopathy [Internet]. 2014 October 6. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/153153-overview.

9.

Givertz MM. Perpartum cardiomyopathy. Circulation 2013; 127: 622-6.

Repub 2014;158(1):92-7. doi: 10.5507/bp.2012.080. Epub 2012 Oct 31.

10. McNamara DM. Treatment of peripartum cardiomyopathy. 2nd Virtual Congress of Cardiology 2001.
11. Ramachandran R, Rewari V, Trikha A. Anaesthetic management of patients with peripartum cardiomyopahty. J ObstetrAnaesth and Crit Care 2011; 1(1):5-12.
12. Johnson-Coyle L, Jensen L, Sobey A. Peripartum cardiomyopathy: Review and practice guidelines. Am J Crit Care 2012; 21: 89-98.
13. Lata I, Gupta R, Sahu S, Singh H. Emergency management of decompensated peripartum cardiomyopathy. J Emergency, Trauma and Shock 2009; 2(2) 124-8.
14. Ramaraj R, Sorell VL. Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis, and treatment. Cleveland Clin J Med 2009; 76(5): 289-96.
15. Shah T, Ather S, Bavishi C, Bambhroliya A, Ma T, Bozkurt B. Peripartum Cardiomyopathy: A contemporary review. Methodist Debakey Cardiovasc J. 2013 Jan-Mar; 9(1): 3843.
16. De Jong JSSG, Rietveld K, van Lochem LT, Bouma BJ. Rapid left ventricular recovery after cabergoline treatment in a patient with peripartum cardiomyopathy; A case report. Eur J Heart
Failure 2009; 11: 220-2.
17. Sliwa K, Skudicky D, Candy G, Bergemann A, Hopley M, Sareli P. The addition of pentoxifylline to conventional therapy improves outcome in patients with peripartum cardiomypathy. Eur
J Heart Fail. 2002; 4(3): 305-9.

360

CDK-228/ vol. 42 no. 5, th. 2015

Vous aimerez peut-être aussi