Vous êtes sur la page 1sur 28

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Salah satu jenis penyakit neuromuscular junction (NMJ) adalah miastenia

gravis. Miastenia gravis ialah gangguan auto-imun yang menyebabkan otot skelet
yang ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan
aktifitas, dan akan pulih setelah beberapa saat. Pada penyakit ini IgG mengikat
reseptor asetilkolin pada membran neuromuscular junction. Jumlah reseptor
asetilkolin yang menurun karena terikat IgG ini menyebabkan amplitudo potensial
motor end plate berkurang, dengan akibat tidak timbulnya potensial aksi.
Prevalensi miastenia gravis adalah sekitar 1 di antara 10-20.000 orang.
Wanita dua kali lebih sering terserang penyakit ini daripada pria. Gejalanya dapat
muncul pada berbagai kelompok umur dengan puncaknya pada wanita usia 20-30
tahun, sedangkan puncaknya pada pria terjadi sekitar umur 50-60 tahun. Penyakit
autoimun lainnya seperti artritis reumatiod, systemic lupus erythematosis, dan
anemia pernisiosa terdapat pada sekitar 5% dari pasien. Sekitar 10-15% pasien
miastenia gravis mempunyai thymoma yang merupakan tumor jinak.
Pengobatan miastenia gravis bervariasi mulai dari pengobatan jangka
pendek hingga pengobatan jangka panjang. Tujuan pengobatan miastenia gravis
adalah untuk memperoleh perbaikan dari gejala kelemahan otot. Hal ini penting
untuk dilakukan karena ketidakpedulian terhadap penyakit ini justru dapat
menimbulkan keadaan yang lebih parah, seperti krisis miasthenic atau pun krisis
kolinergik.
Berdasarkan uraian diatas, Miastenia gravis merupakan penyakit yang
masih belum diketahui penyebab pasti serta masih belum teratasi secara
menyeluruh. Untuk itulah penulis mengangkat penyakit Miastenia gravis ini
sebagai tugas makalah penulis.

1.2

Tujuan Penulisan
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka penulis

mencoba memaparkan tentang myastenia gravis. Adapun tujuan dari tinjauan


pustakainiadalah:
1.MengetahuidefinisipenyakitMiasteniagravis.
2.MengetahuipenyebabpenyakitMiasteniagravis.
3.Mengetahuipatogenesis/patofisiologipenyakitMiasteniagravis.
4.MengetahuitandadangejalapenyakitMiasteniagravis.
5.MengetahuikomplikasiyangbisaditimbulkanolehpenyakitMiasteniagravis.
6.MengetahuipenatalaksanaanpenyakitMiasteniagravis.
1.3

ManfaatPenulisan

Adapunmanfaatdaritinjauanpustakainiadalah:
1.Bagimasyarakat;dapatmengetahuilebihmendalamtentang Miasteniagravis
sertapenanganannya.
2. Bagi mahasiswa kepaniteraan klinik dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran.
3.Bagitenagakesehatan;dapatmengetahuiperkembangandanpencegahandari
Miasteniagravis.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Definisi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun, yang disebabkan oleh

gangguan imunologis pada reseptor asetilkolin neuromuscular junction pasca


sinaps yang ditandai dengan kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka
yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas dan kekuatan otot akan pulih kembali bila penderita beristirahat.
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi
neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin
oleh autoantibodi sehingga mempengaruhi tranmisi neuromuscular pada otot
tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang
muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada
otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
2.2

Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat

terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia
20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4.
Gejalanya dapat muncul pada berbagai kelompok umur dengan puncaknya pada
wanita usia 20-30 tahun, sedangkan puncaknya pada pria terjadi sekitar umur 5060 tahun.
2.3

Anatomi, Fisiologi, dan Biokimia Neuromuscular junction

Anatomi Neuromuscular junction


Setiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang


serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Membran presinaptik mengandung butiran dengan
asetilkolin dimana pengeluarannya ke celah sinaps tergantung aktivitas kalsium.
Asetilkolin menuju asetilkolin reseptor di postsinaps.
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang di dalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun
dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate).

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular junction


Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular junction
Ketika suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, asetilkolin
dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
4

bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai


pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke
membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinaps dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Jika 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na + akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut
saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps.

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara
mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari
membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan
potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang
selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular junction

2.4

Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun


pada transmisi neuromuskular yang diakibatkan oleh antibodi yang menyerang
reseptor asetilkolin atau melawan muscle specific receptor tyrosine kinase
(MuSK). Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot
penderita dengan miatenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (antiAChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata.

Kelainan primer pada Myasthenia Gravis dihubungkan dengan gangguan


transmisi pada Neuro Muscular Junction (NMJ), yaitu penghubung antara unsur
saraf dan unsur otot. Pada ujung saraf terdapat partikel -partikel globuler yang
merupakan penimbunan acetylcholine (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada
ujung saraf, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran post-synaptic. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran
post-synaptic sehingga terjadilah kontraksi otot.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetylcholine
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan AChR dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan kelemahan
otot pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses autoimmun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,
antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk
insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
2.5

Etiologi
Miastenia gravis disebabkan oleh kelainan pada proses transmisi impuls

saraf ke otot. Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara syaraf dan otot
terganggu pada sambungan neuromuskuler, tempat di mana sel-sel saraf

terhubung dengan otot. Biasanya, bila impuls perjalanan ke saraf, ujung saraf
melepaskan zat neurotransmitter yang disebut Acethylcoline (Ach) .
Acethylcoline berjalan melalui sambungan neuromuskuler dan mengikat
untuk Acethylcoline Receptor (AchR) yang diaktifkan dan menghasilkan
kontraksi otot. Pada myasthenia gravis, antibodi memblok, mengubah, atau
menghancurkan Acethylcoline Receptor pada sambungan neuromuskuler yang
mencegah kontraksi otot dari terjadi. Antibodi ini diproduksi oleh sistem
kekebalan tubuh. Dengan demikian, myasthenia gravis merupakan penyakit
autoimun karena sistem kekebalan tubuh - yang biasanya melindungi tubuh dari
organisme asing - keliru menyerang diri sendiri.
2.6

Gejala Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala yang diderita
oleh penderita MG seringkali berbeda, gejala - gejela tersebut antara lain :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan
salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis. Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher,
hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot
masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.
Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbulah kesukaran menelan (dysphagia) dan berbicara
(dysarthria). Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau, cadel,

serak, atau bahkan tidak keluar suara sama sekali. Kelemahan otot okular
menyebabkan penglihatan ganda (diplopia). Kelemahan otot pada leher membuat
kepala si penderita sering terjatuh ke depan atau kebelakang. Kelemahan juga
dapat terjadi pada otot pada kaki dan tangan. Pada sistem pernapasan,
terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dyspnea dan pasien tidak lagi mampu
membersihkan lendir dari trakea dan cabangcabangnya.
2.7

Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diKelasifikasikan sebagai berikut:


a. Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
b. Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
1) Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
2) Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan Kelas IIa.
c. Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
1) Kelas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang
ringan.

2) Kelas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
d. Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai
derajat.
1) Kelas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau
otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat
ringan.
2) Kelas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
e. Kelas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak
akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,
gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya
agak menurun.
Berdasarkan Modifikasi kriteria Osserman
I. Ocular myasthenia, hanya mengenai otot okular, dengan ptosis dan
diplopia.
II.A. Mild generalized myasthenia
II.B. Moderate generalized myasthenia
III. Severe generalized myasthenia, dengan komplikasi bulbar dan respirasi.

10

A. Acute fulminating, permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot


pernafasan. Progresivitas penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan.
Respons terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas
dan mortalitas rendah.
B. Late severe, timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II.
Progresivitas penyakit dapat pelan-pelan atau mendadak. Respons
terhadap obat dan prognosis jelek.
IV Myasthenic crisis, (menjadi buruknya) keadaan penderita miastenia
gravis yang menjadi lebih buruk, dapat disebabkan oleh:

Pekerjaan fisik yang berlebihan

Infeksi

Melahirkan

Obat yang menyebabkan blok neuromuskular, misalnya streptomycine,


neomycine, curare, kina, quinidine, chloroform, ether, morphin, sedativa,
muscle relaxan.

Penggunaan enema, mungkin disebabkan oleh karena hilangnya kalium.

"Chotinergic crisis"
Disebabkan oleh pengobatan dengan anticholinestrase / obat-obat
cholinergic yank berlebihan. Hal ini menyebabkan penyebaran blok
depolarisasi dari transmisi neuromuskular.
Di samping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa

bentuk varian miastenia gravis, ialah;


a. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari satu. bulan. Jenis ini
terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenta gravis, dengan kemungkinan
1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi anti-reseptor asetilkolin ke dalam
janin melalui plasenta.
b. Miastenia anak-anak (juvenile myasthenia)

11

Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada
dewasa.
c. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat atau tak lama setelah bayi lahir. Tak ada kelainan
imunologik dan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini
biasanya tidak progresif.
d. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi
pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
e. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma
bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia
gravis. Path umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa
disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks
tendon menurun atau negatif. Sering kali penderita mengeluh mulutnya kering.
f. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih 1 /4 dari para penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya
antibodi. Pada umumnya keadaan demikian ini terdapat pada pria dari golongan I
(okular) dan IIB. Tiadanya antibodi tidak menunjukkan bahwa penderita tidak
akan

memberi

respons

terhadap

pemberlan

prednison,

obat

sitostatik,

plasmaferesis, atau timektomi.


g. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penlisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati artritis reumatoid, penyakit
Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita
dapat mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang
setelah D-P dihentikan.
h. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dart bakteri anerob, Clostridium botulinum, yang
menghalangi pengeluaran asetilkolin dart ujung saraf motorik. Akibatnya ialah
paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin

12

botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. tipe E


terdapat pada ikan laut (sea food). lntoksikasi biasanya terjadi sesudah makan
makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian
muncul pandangan kabur, disfagia dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal.
Kelemahan terjadi pola desenden selarna 4-5 hart, kemudian mencapat tahap
stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat
fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot okular dan lidah.
Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi,
retensi urin).
2.8

Diagnosis
Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Seperti halnya menegakkan diagnosis pada penyakit-penyakit lainnya,

informasi yang jelas dari pasien haruslah didapatkan baik memallui anamnesis
maupun heteroanamnesis. Melalui anamnesis tersebut, kita dapat memperoleh
data, seperti:
a. Adanya kelumpuhan yang berulang, yang membaik dengan istirahat. Pada
pagi hari biasanya masih baik, dan melemah setelah aktivitas.
b. Keluhan kelopak mata menutup, pandangan ganda, terutama setelah
membaca lama atau pada waktu sore hari
c. Keluhan gangguan menelan (disfagia) dan disartria (timbul pada sekitar
sepertiga penderita).
d. Kelemahan terutama pada otot proksimal dan leher.
e. Kadang-kadang keluhan mengenai gangguan pernafasan.
Dari anamnesis tersebut, gambaran umum tentang pejalanan penyakit akan
diketahui. Namun, untuk memepertajam diagnosis mengenai suatu penyakit,
anamnesis masih harus ditunjang dengan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta

13

simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih
ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada
otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a masklike face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan
penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita
sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang
dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi
gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jarijari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.

14

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.


Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Tes pita suara : Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang
keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan
menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Tes Watenbergh: Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara
terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita
menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat..
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak
tampak lagi.
3. Tes keping es : Dengan menempelkan sekeping es pada mata yang ptosis
selama 2 menit, maka akan terjadi perbaikan pada ptosisnya.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa
tes antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada
uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)

15

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara


intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis, di mana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody.
Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi,
yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class
Mean antibody Titer
R
0.79
I
2.17
IIA
49.8
IIB
57.9
III
78.5
IV
205.3
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA

Percent Positive
24
55
80
100
100
89
= mild generalized, IIB =

moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

16

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah.

Antibodi anti-reseptor asetilkolin


Antibodi ini spesiflk untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat

berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita dart
golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkorelasi dengan beratnya penyakit.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM AB dapat menunjukkan hasil positif. Penderita
yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi antireseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adalah sangat kecil.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-

AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif


untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya


antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
b. Pencitraan

Chest x-ray (foto rontgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada rontgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
17

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.

Gambar 3. CT-scan thorak menunjukkan adanya massa di mediastinum anterior


(thymoma) pada penderita miastenia gravis
c. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuskular melalui 2 teknik:

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)


Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor

asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek

18

transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
2.9

Diagnosis Banding
Penyakit miastenia gravis dapat didiagnosis banding dengan penyakit

penyakit neuromuscular junction lainnya, seperti:


a. Guillain Barre Syndrome
b. Neuropati perifer
c. Polimiositis
d. Botulisme
e. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome
f. Periodic paralysis
2.10

Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,

tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

19

Terapi Jangka Pendek


a. Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi
dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek
dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin
secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang
akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan
tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperatif.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan
yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali
terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan
dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan
muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan
selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium
yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan
pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.
Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complementactivating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi.

20

IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa
minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon
yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala
yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat. Flulike syndrome seperti demam, menggigil, mual, muntah,
sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Terapi Jangka Panjang
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi
secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang mencolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metil-sulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0.5 - 1.0 mg. Pemberian antikolinesterase
akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek

21

samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasinipatls,


termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi,
dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro-Intestinal dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Diantara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia
gravis, dan diberikan sekall sehari secara selang-seling (alternate days) untuk
menghindari efek samping. Dosis awalnya hares kecil (10 mg) dan dinakkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana
halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampal gejalagejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus
yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap
hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat
kalium. Apabila sudah ada perbaikan Minis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang
efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

22

b. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari selama 8 minggu pertama. Pasien diberikan dosis awal sebesar 2550 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Azathioprine merupakan obat yang
secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.
Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
Respon azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus,
kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang
lain.
c. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
d. Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM
memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

23

Thymectomy (Surgical Care)


Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma dengan atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis.
Tujuan neurologi utama dari thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymectomi memiliki peranan
yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymectomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymectomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan.
2.11

Krisis Miasthenic dan Krisis Kolinergik


Krisis miasthenic sering terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset

penyakit dan sebanyak seperlima pasien berkembang menjadi episode krisis


dalam tahun pertama. Krisis miasthenic paling sering berkembang pada pasien
yang mengalami miastenia gravis generalisata. Namun, kadang-kadang beberapa
pasien memperlihatkan kegagalan pernafasan tanpa disertai kelemahan general.
Sepertiga pasien yang selamat dari episode krisis pertama akan mengalami

24

episode krisis kedua. Krisis miasthenic umumnya terjadi pada pasien yang juga
memiliki thymoma.
Krisis miastenik dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara
cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Ditandai olah : kesukaran bernapas,
hentinapas, sianosis, nadi cepat, tekanan darah meningkat, tidak mampu batuk,
disfagia, kelemahan umum.
Tindakan terhadap krisis miastenik ini adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberlan antikolinesterase
- Bila diperlukan : obat imunosupresan dan plasmaferesis
Krisis kolinergik tidak terlalu sering ditemukan. Karena kelebihan
pemberian pengobatan anticholinesterase. Hal ini menyebabkan penyebaran blok
depolarisasi dari transmisi neuromuskular. Ditandai oleh : kram otot abdomen,
diare, nausea, vomiting, sekresi liur berlebihan, miosis, fasikulasi
Tindakan terhadap krisis miastenik ini adalah sebagai berikut:
KontrolAirway.
- Hentikan sementara pemberian antikolinesterase.
- Perbaiki keadaan umum.
- Atropinisasi. 0,4-0,6 mg i.v diulang tiap 15 menit sampai pupil dilatasi dan
bronchial sekresi terkontrol, baru kemudian dilakukan tappering off.
- Kortikosteroid.
- Plasma exchange atau IV Ig.
2.12

Prognosis
Dengan pengobatan, penderita MG memiliki harapan hidup normal.

Beberapa kombinasi obat, thymectomy, dan terapi lainnya

memungkinkan

penderita MG menjalani kehidupan normal atau mendekati normal. Kadangkadang orang mengalami remisi. Namun, terdapat sebagian orang yang
mengalami penurunan kualitas hidup yang cukup signifikan - baik oleh keparahan
penyakit atau tingkat keparahan efek samping dari obat.

25

Pada umumnya, mereka yang cepat didiagnosis dan menerima pengobatan


yang efektif memiliki hasil terbaik. Seringkali pada dua atau tiga tahun pertama
gejala MG muncul dalam tingkat yang penuh, sehingga dapat menjadi waktu yang
paling sulit bagi pasien. Selama waktu ini, mungkin perlu mencoba beberapa
terapi yang berbeda, untuk melihat mana yang terbaik dan yang paling efektif.
Myasthenia gravis umumnya tidak memburuk dengan bertambahnya usia. Dan
untuk beberapa pasien, gejala berkurang dari waktu ke waktu.
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada
orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang,
terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada
otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal,
10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat,
mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 1520 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal
penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.

26

BAB III. KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun, yang disebabkan oleh


gangguan imunologis pada reseptor asetilkolin neuromuscular junction pasca
sinaps yang ditandai dengan kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka
yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas dan kekuatan otot akan pulih kembali bila penderita beristirahat.
Miastenia gravis dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang
tua, terbanyak terdapat antara umur 10-30 tahun. Miastenia gravis yang dlsertai
timoma terbanyak antara 40-50 tahun. Pada umur di bawah 40 tahun miastenia
gravis lebih banyak dijumpai pada wanita, sementara diatas 40 tahun lebih banyak
pada pria.
Diagnosis miastenia gravis pada awalnya didasarkan pada gambaran klinis
sebagai-berikut: bangun tidur merasa segar atau tidak merasakan gangguan apaapa, makin siang (penderita melakukan aktivitas tertentu sebagai suatu aktivitas
rutin) penderita merasa makin lemah atau mudah lelah, pandangan ganda
(diplopia), atau suara makin lemah dan kesulitan menelan.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Terapi imunosupresif
dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan
morbiditas pada penderita miastenia gravis.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Chandra, et al. Neurologi klinik. 1994. FKUnair. Surabaya.


2. Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41,
1986.
3. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma,
4. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta.
5. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. .2009. Gadjah Mada University press
6. Howard, J. F. Myasthenia Gravis. a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_
gravis.htm. Accessed : March 22, 2008.
7. Sidharta,Priguna. Mardjono,Mahar. Neurologi Klinis Dasar. 2008. DIAN
RAKYAT. Jakarta.
8. Snell RS. Neuroanatomi klinik. 1996. Jakarta : EGC
9. Sudiharto. Basuki,Endro. Standar Pelayanan Medis Penyakit Saraf. FKUGM, 1999

28

Vous aimerez peut-être aussi