Vous êtes sur la page 1sur 5

Fenomena Bencana Banjir di Indonesia

Bencana alam merupakan suatu fenomena yang tidak bisa


dihindari

oleh

manusia.

Semampu

apapun

manusia

melakukan

antisipasi apabila bencana tersebut datang, bisa saja menimbulkan


korban jiwa maupun harta. Menurut data UNISDR (The United Nations
Office for Disaster Risk Reduction) risiko bencana yang dihadapi
Indonesia sangatlah tinggi dan dalam perhitungan UNISDR terdapat
5.402.239 orang yang berpotensi terkena oleh dampak bencana.
Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di
Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, banjir merupakan peristiwa atau keadaan
dimana terendamnya suatu daerah atau daratan dikarenakan volume
air yang meningkat. Bila genangan air terjadi cukup tinggi, dalam
waktu lama, dan sering maka hal tersebut

akan

mengganggu

kegiatan manusia. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, luas area dan
frekuensi banjir semakin bertambah dengan kerugian yang makin
besar (BNPB, 2013). Banjir memiliki berbagai jenis antara lain banjir
bandang yaitu banjir besar yang datang secara tiba-tiba, banjir hujan
ekstrim yang terjadi dalam waktu 6 jam setelah hujan turun, banjir
luapan sungai atau banjir kiriman yang terjadi dalam waktu lama,
banjir pantai atau banjir ROB yang disebabkan oleh angin puyuh laut
atau taifun dan gelombang pasang air laut, dan yang terakhir ialah
banjir hulu yang terjadi pada wilayah sempit dengan kecepatan air
yang tinggi serta berlangsung dengan cepat. Pada umumnya banjir
dapat memberikan 2 dampak yaitu dampak secara langsung dan
secara tidak langsung. Biasanya dampak yang terjadi secara langsung
lebih mudah

diprediksi daripada dampak yang tidak langsung.

Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh banjir antara lain rusaknya


rumah-rumah

yang

diterjang

banjir,

timbulnya

korban

jiwa,

terputusnya akses jalan, timbulnya berbagai penyakit, serta petani


gagal panen di beberapa daerah.
Bencana banjir yang terjadi biasanya disebabkan oleh beberapa
faktor seperti perubahan guna lahan, pembuangan sampah yang tidak
sesuai dengan tempatnya, terjadinya erosi dan sedimentasi, sistem

pengendalian banjir yang tidak tepat, serta curah hujan yang tinggi.
Pembangunan yang kurang memperhatikan konservasi lingkungan dan
siklus tata air pula dapat menjadi faktor penyebab terjadinya banjir
dikarenakan dengan adanya pembangunan yang menyalahi aturan
tersebut, maka daerah resapan air akan berkurang sehingga air
limpasan hujan berpotensi untuk menggenang dan apabila genangan
tersebut volumenya bertambah maka banjir tidak bisa dihindari.
Menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika),
bulan Januari-Februari merupakan bulan yang berpotensi terjadi
bencana banjir dikarenakan pada bulan tersebut curah hujan biasanya
lebih tinggi dari bulan lainnya. Pada bulan-bulan tersebut pemerintah
telah siap siaga untuk menanggulangi bencana banjir, namun siapa
yang menyangka bahwa tanggal 28 September 2016 bencana banjir
melanda

Kabupaten

dan

Kota

Madiun.

Menurut

Kepala

Bidang

Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Madiun, tercatat sebanyak


empat desa terendam oleh banjir diantaranya adalah Desa Tempursari,
Desa Mojorayung, Desa Bacem, dan Desa Sumberejo. Terdapat 86
rumah terendam banjir dan 1 rumah yang roboh diakibatkan kayu
penyangga pada atap rumah yang sudah lapuk. Menurut warga sekitar
lokasi kejadian, air yang menggenangi rumah warga memiliki tinggi
sekitar 10 hingga 70 sentimeter. Tidak hanya banjir, tetapi tebing yang
berada di belakang rumah warga dan memiliki tinggi 5 meter juga
dilaporkan longsor. Banjir yang terjadi di Kabupaten dan Kota Madiun
disebabkan oleh meluapnya air Anak Sungai Bengawan di Madiun yang
melintasi Kecamatan Wungu, Kecamatan Kebonsari, dan Kecamatan
Madiun. Meluapnya air Anak Sungai Bengawan dibarengi oleh kondisi
saluran

air

minimnya

yang
resapan

buruk

dikarenakan

sehingga

banjir

penumpukan
tidak

dapat

sampah

dan

dihindari.

Air

diperkirakan masuk ke dalam rumah warga sekitar pukul 05.00 pada


Rabu pagi. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, tetapi
apabila diakumulasikan maka sudah dapat dipastikan kerugian yang
ditanggung mencapai puluhan juta rupiah.
Prediksi curah hujan tinggi yang dilakukan oleh BMKG ternyata
tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Akhir-akhir ini kondisi cuaca di
Indonesia

memang

sulit

diprediksi

sehingga

penduduk

sudah

seharusnya siap siaga menghadapi pergantian cuaca yang ekstrim di


luar prediksi. Banjir di Kabupaten dan Kota Madiun sudah bisa menjadi
gambaran bahwa kondisi iklim di Indonesia kurang stabil. Perubahan
kondisi iklim umumnya disebabkan oleh efek rumah kaca dan
peningkatan gas di atmosfer sehingga memberi dampak berupa musim
penghujan yang tidak menentu.
Dalam mengatasi permalahan banjir di Kabupaten dan Kota
Madiun, Pemerintah telah menyiagakan Tim Reaksi Cepat (TRC) yang
ditempatkan

di

15

Kecamatan

di

Kabupaten

Madiun

dan

mengumumkan daerah mana saja yang rawan bencana banjir serta


longsor sehingga bisa lebih dipersiapkan. Menurut catatan BPBD
Kabupaten Madiun, terdapat 34 desa di 8 kecamatan yang rawan
terhadap bencana banjir dan 18 desa yang rawan longsor. Tidak hanya
menyiagakan

TRC,

tetapi

BPBD

juga

menghimbau

warga

yang

bermukim di daerah rawan banjir agar tetap waspada apabila hujan


deras turun semalam penuh sehingga apabila air terus meluap, warga
disarankan agar mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Mengingat datangnya hujan yang tidak dapat diprediksi serta
datangnya bencana banjir, maka sudah seharusnya baik masyarakat
maupun

pemerintah

menyiapkan

strategi

guna

mengantisipasi

terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, upaya yang dilakukan bisa


secara teknis maupun non teknis (Grigg, 1996 dalam Kodoatie dan
Syarief, 2006). Teknis yang dimaksud disini ialah tindakan berupa
normalisasi sistem drainase yang ada mulai dari collector (saluran
kecil) hingga main drain (sungai), pendirian bangunan pengendali
banjir, pengurangan debit puncak banjir, upaya agar muncul inovasiinovasi resapan air seperti sumur resapan yang berguna menampung
hujan

sehingga

dapat

mengurangi

air

limpasan

hujan

yang

menggenang serta menambah cadangan air tanah. Tidak hanya upaya


teknis tetapi upaya non teknis juga dapat dilakukan, upaya non teknis
yang dimaksud ialah pengaturan kegiatan manusia agar sesuai dengan
lingkungan

seperti

pengendalian

penggunaan

lahan,

penegakan

peraturan yang ada terkait sikap-sikap manusia dalam merawat


kelangsungan
sosialisasi

siklus

terhadap

tata

air,

memberikan

masyarakat

terkait

penyuluhan
pentingnya

maupun
menjaga

lingkungan sekitar. Upaya-upaya lain terhadap pengendalian banjir


yang dapat dilakukan ialah melalui 3 pendekatan utama yaitu
memindahkan penduduk biasa yang biasa atau akan terkena banjir,
memindahkan banjir, mengondisikan penduduk hidup bersama dengan
banjir (Wisner et al, 2004).
Upaya

non-struktural

merupakan

upaya penyesuaian dan

pengaturan kegiatan manusia supaya harmonis dan serasi dengan


lingkungan. Contoh upaya non-strktural adalah pengaturan maupun
pengendalian penggunaan lahan

atau

tata

ruang,

penegakan

peraturan/hukum, pengawasan penyuluhan kepada masyarakat, dll.


Selain upaya tersebut, upaya pengendalian banjir dan dampaknya
dapat dilakukan melalui 3 pendekatan utama yaitu memindahkan
penduduk

yang

biasa

atau

akan

terkena

banjir,

memindahkan

banjirnya, mengkondisikan penduduk hidup bersama dengan banjir


(Wisner et al, 2004). Dari 3 pendekatan tersebut yang sering
dilakukan

adalah mengendalikan

banjirnya

penduduk hidup bersama banjir. Berbagai

dan

upaya

membiasakan
tersebut

dilakukan pada daerah, tetapi hasil yang diberikan belum

telah
sesuai

seperti yang diharapkan, banjir masih tetap terjadi dengan korban


baik jiwa maupun harta yang tidak sedikit. Upaya mengatasi banjir
juga

kadang-kadang ditentang

penduduk

karena

mereka

harus

pindah atau direlokasi ke wilayah lain (Rosyidie, 2012).


Menurut Departemen Kehutanan, upaya

pengendalian

banjir

melalui pengelolaan DAS selama ini dianggap belum berhasil dengan


baik antara lain karena kurangnya koordinasi dan keterpaduan dalam
perencanaan,

pelaksanaan

dan

pemantauan pengelolaan

DAS

termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini terutama disebabkan


oleh banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Penanganan banjir yang dilakukan secara menyeluruh serta
berkelanjutan (memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan)
sudah menjadi tanggung jawab seluruh pihak baik masyarakat,
lembaga,

instansi

yang

terkait

dengan

masyarakat,

maupun

pemerintah. Kerjasama antar aspek sudah seharusnya dilakukan guna


mendapatkan hasil yang maksimal dan optimal. Adanya upaya dari
segi teknis dan non teknis apabila dilakukan secara berkelanjutan

maka dapat memperkecil kejadian dan dampak yang disebabkan oleh


banjir dimasa mendatang.
Dalam merealisasikan usaha-usaha di atas, umumnya terjadi
berbagai macam kendala. Faktor Kendala-kendala yang dimaksud
antara lain proses penyebaran informasi mengenai rencana relokasi
kepada

masyarakat,

komunikasi

antar

stakeholder

yaitu

antara

masyarakat dengan pemerintah yang kurang baik, serta kurang


diberikannya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan.

Faktor-faktor

tersebut

secara

tidak

langsung

dapat

mempengaruhi pola pikir masyarakat terkait menjaga lingkungan


terutapa siklus tata air serta sistem drainase yang ada. Maka dari itu
perlunya dilakukan proses sosialisasi informasi secara jelas dan merata
kepada seluruh masyarakat mengenai rencana-rencana apa saja yang
perlu dilakukan terkait rencana teknis maupun non teknis, pemerintah
serta instansi perlu melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan
atau

perancangan

kebijakan

seperti

yang

telah

disebutkan

sebelumnya. Melalui adanya hal-hal tersebut maka bisa dipastikan,


penanggulangan maupun antisipasi terhadap banjir dapat berjalan
secara optimal melalui pihak pihak terkait.

Vous aimerez peut-être aussi