Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Histamin adalah amina molekular ringan yang merupakan turunan dari Lhistidine dan diproduksi oleh tubuh. Dari empat jenis histamin yang diketahui,
histamin dapat mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi sel, memodulasi
inflamasi, dan menjadi neurotransmitter.1,2,7 Antihistamin (AH) adalah zat yang
digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya.
Aktivitas antihistamin H1 pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh
Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa
ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi marmut dari berbagai
dosis letal histamin, menghambat spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh
histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Obat ini terlalu
toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah
memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu
antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan AH di Amerika
yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan prometazin
pada tahun 1945 dan 1946.5 Pada akhir tahun 1980 hingga tahun 1990, mulai
diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus sawar otak
sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Antihistamin
golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH non-sedatif.2
Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis tahun 1969. Reseptor H2
terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan reseptor
H3 pada manusia diyakini terdapat pada otak dan paru, tetapi tidak terdapat di
kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada selsel dan jaringan tubuh tetapi tidak pada kulit.1 Antagonis reseptor H3 dan H4 belum
tersedia untuk penggunaan klinis, namun, eksperimen selektif dan poten untuk
antagonis reseptor H3, thiperamida dan clobenpropit, sedang dikembangkan.7
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin
sangatlah penting untuk dikuasai sebagai kompetensi dasar dokter umum.
ANTIHISTAMIN
ANTIHISTAMIN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Histamin
Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh yaitu
pada jaringan sel mast dan peredaran basofil yang berperan terhadap berbagai
proses fisiologis yang penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion
pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigenantibodi bila ada rangsangan senyawa alergen. Senyawa alergen dapat berupa
spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik lain,
deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina. Histamin
merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin. 2,7
2.1.1. Sejarah
Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal
abad ke 19, histamin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru paru segar.
Histamin juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi
nama histamin (histos = jaringan). 2,7
Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin didasarkan pada adanya
persamaan antara efek histamin dan gejala gejala syok anafilaktik dan trauma
jaringan. Meskipun didapatkan perbedaan di antara spesies, pada manusia
histamin merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe segera
(immediate) dan reaksi inflamasi; selain itu histamin memiliki peran penting
dalam sekresi asam lambung; dan berfungsi sebagai suatu neurotransmiter dan
neuromodulator. 2,7
2.1.2. Kimia
Histamin merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada tanaman maupun
jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret
sengatan binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidine dengan xara
ANTIHISTAMIN
dekarboksilasi oleh enzim histidine dekarboksilase, dan memerlukan piridoksat
fosfat sebagai kofaktor. 2,7
ANTIHISTAMIN
Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai
jaringan target. Reseptor histamin dibagi menjadi histamine 1 (H-1), histamine 2
(H-2), histamine 3 (H-3), histamine 4 (H-4). 2,7
Tabel-1. Jenis-jenis reseptor histamin7
Jenis
resepto
r
H1
H2
H3
H4
Distribusi
Mekanisme
Antagonis selektif
parsial
Mepyramine,
Triprolidine, Cetirizine
Cimetidine, Ranitidine,
tiotidine
Thioperamide,
iodophenpropit,
clobenpropit
G5, cAMP
Gi, cAMP
Gi, cAMP
Thioperamide
vasodilatasi,
hipotensi,
wajah
memerah,
pusing,
takikardia,
ANTIHISTAMIN
bronkokonstriksi, menaikkan permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lain-lain.
Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asan amino histidin. Histamin
terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara
biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein basa. Histamin akan
dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa
kimia. Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara kompetitif
dari reseptornya sehingga mampu meniadakan histamin. 2,7
2.1.4. Histamin Endogen
Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis
terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa
histamin merupakan mediator terakhir dalam respon sekresi cairan lambung;
histamin juga berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP. 2,7
Distribusi. Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun,
bakteri dan tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung prekusor
histamin. Kadar histamin paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus dan
paru paru. 2,7
Sumber, Sintesis dan Penyimpanan. Histamin yang berasal dari makanan atau
yang dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamin endogen karena
sebagian besar histamin ini dimetabolisme dalam hati, paru paru serta jaringan
lain dan dikeluarkan melalui urin. Setiap sel jaringan mamalia yang mengandung
histamin, misalnya leukosit, dapat membentuk histamin dari histidine. Enzim
penting untuk sintesis histamin adalah L histidine dekarboksilase. Depot
utama histamin adalah sel mast dan juga basofil dalam darah. Histamin disimpan
sebagai kompleks dalam heparin dalam secretory granules. Histamin dalam
bentuk terikat tidak aktif, tetapi banyak stimulus yang dapat memicu penglepasan
histamin sel mast untuk selanjutnya mempengaruhi jaringan sekitarnya. Turn over
histamin dalam depot ini lambat. Apabila terjadi pengosongan, baru setelah
beberapa minggu dapat terisi kembali. Histamin non sel mast didapatkan antara
ANTIHISTAMIN
lain di otak, dimana histamin berfungsai sebagai neurotransmiter dalam berbagai
fungsi otak, seperti kontrol neuroendokrin, regulasi kardiovaskular, regulasi
panas, dan arousal. Histamin juga disimpan dan dilepaskan sel seperti
enterokromafin dibagian fundus lambung, dan histamin yang dilepaskan
mengaktivasi sel parietal mukosa lambung untuk memproduksi asam lambung.
Histamin juga terdapat dalam jumlah besar di sel epidermis dan mukosa usus
dengan turn over yang cepat. 2,7
Fungsi Histamin Endogen. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi antigen
antibodi (antibodi IgE) menyebabkan kulit melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi, gatal dan edema. Penglepasan histamin selama terjadinya reaksi
antigen antibodi telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Hipotesis yang
menyatakan
bahwa
histamin
merupakan
perantara
terjadinya
fenomena
ANTIHISTAMIN
gatal gatal. Gejala ini nyata pada telapak tangan, muka, kulit kepala dan telinga,
diikuti dengan rasa panas. Kemerahan kulit segera meluas ke seluruh badan.
Tekanan darah menurun, frekuensi jantung bertambah, timbul sakit kepala berat.
Setelah beberapa menit tekanan darah kembali normal, dan timbul edema
terutama di daerah abdomen dan toraks disertai kolik, mual, hipersekresi asam
lambung dan bronkospasme. 2,7
Penglepasan histamin oleh sebab lain. Proses fisik seperti mekanik, termal atau
radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan
histamin. Hal ini terjadi misalnya pada cholinergic urticaria, solar urticaria dan
cold urticaria. Pada beberapa orang, pendinginan akan menyebabkan kemerahan
lokal, flare, gatal gatal dan edema. 2,7
Pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Histamin banyak dibentuk di jaringan
yang sedang bertumbuh cepat atau sedang dalam proses perbaikan misalnya pada
jaringan embrio, regenerasi hati, sumsum tulang, luka, jaringan granulasi dan
perkembangan keganasan pada berbagai spesies terutama tikus. Histamin yang
berbentuk ini disebut nascent histamine; tidak ditimbun tetapi berdifusi bebas.
Penghambatan histidin dekarboksilase akan menghambat perkembangan janin
pada tikus. Sebaliknya obat yang meningkatkan kapasitas pembentukan histamin
akan mempercepat penyembuhan luka. Nascent histamine diduga juga berperan
dalam proses anabolik. 2,7
2.1.5. Histamin Eksogen
Histamin eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam lumen usus
dan kolon yang membentuk histamin dari histidin. Sebagian histamin ini diserap
kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan sebagian kecil
masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk merangsang
sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamin dalam darah arteri
akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya tukak peptik. 2,7
ANTIHISTAMIN
Farmakokinetik. Histamin diserap secara baik setelah pemberian SK atau IM.
Efeknya tidak ada karena histamin cepat dimetabolisme dan mengalami difusi ke
jaringan. Histamin yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri
usus (E.Coli) menjadi N asetil histamin yang tidak aktif. Sedangkan histamin
yang diserap diinaktivasi dalam dinding usus atau hati. 2,7
Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolisme histamin, yaitu: (1)
metilasi oleh histamin N metiltransferase menjadi N metilhistamin; N
metilhistamin oleh MAO diubah menjadi asam N metil imidazol asetat; (2)
deaminasi oleh histaminase atau diaminoksidase yang nonspesifik menjadi asam
imidazol asetat dan mungkin juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribosa.
Metabolit yang terbentuk akan diekskresi dalam urin. 2,7
Intoksikasi. Keracunan histamin jarang terjadi. Bila terjadi, gejala utama berupa
vasodilatasi umum, tekanan darah turun sampai syok, gangguan penglihatan dan
sakit kepala (histamine cephalgia). Sakit kepala ini biasanya sebelah, hilang
timbul, terutama terjadi pada malam hari, disertai lakrimasi dan rinore ipsilateral.
Juga dapat terjadi muntah, diare, rasa logam, sesak napas dan bronkospasme.
Pengobatan keracunan histamin yang paling baik adalah dengan memberikan
adrenalin. AH1 hanya bermanfaat bila diberikan setengah jam sebelum keracunan
terjadi. 2,7
Indikasi. Histamin digunakan untuk beberapa prosedur diagnostik: (1)
Penetapan kemampuan sekresi asam lambung. Basa histamin 0,3 0,7 mg
diberikan subkutan sesudah puasa satu malam, setelah 60 90 menit akan terjadi
sekresi asam lambung yang maksimal. Pada penyakit achylia gastrica vera,
anemia pernisiosa, gastritis atrofik atau karsinoma lambung, sekresi asam
lambung tidak terjadi atau berkurang. Pada tukak duodenum dan sindrom
Zollinger Ellison ditemukan hipersekresi asam lambung dengan tes ini. H2
agonis misalnya dimaprit dan impromidin bekerja lebih selektif dari histamin
dalam mensekresi asam lambung. (2) Tes integritas serabut saraf sensoris pada
kelainan neurologis dan lepra. Penyuntikan intradermal histamin akan
ANTIHISTAMIN
menimbulkan flare melalui refleks akson; (3) Inhalasi histamin juga digunakan
untuk menilai reaktivitas bronkus; (4) Diagnosis feokromositoma, histamin
0,025 0,05 mg IV sewaktu tekanan darah turun akan meninggikan tekanan
darah. Peninggian tekanan darah ini disebabkan karena histamin merangsang
medula adrenal sehingga adrenalin dilepaskan dalam jumlah besar. 2,7
Kontraindikasi Dan Efek Samping. Histamin tidak boleh diberikan pada pasien
asma bronkial atau hipotensi. Dosis kecil histamin 0,01 mg/kgBB subkutan untuk
tes sekresi asam lambung akan menimbulkan kemerahan di wajah, sakit kepala
dan penurunan tekanan darah. Hipotensi ini biasanya bersifat postural (hipotensi
ortostatik) dan pulih sendiri bila pasien dibaringkan. 2,7
Sediaan. Histamin fosfat tersedia sebagai obat suntik yang mengandung 0,275
atau 0,55 mg/mL (sesuai dengan 0,1 0,2 mg dan 2,75 mg/mL histamin basa). 2,7
2.2
Antihistamin
Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
dari
bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang
berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun
patologis.1-4
Aktivitas antihistamin H1 pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh
Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa
ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi marmut dari berbagai
dosis letal histamin, menghambat spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh
histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Obat ini terlalu
toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah
memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu
antagonis histamin yang efektif,5 selanjutnya diikuti perkembangan AH di
Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan
prometazin pada tahun 1945 dan 1946.3 Pada akhir tahun 1980 hingga tahun
ANTIHISTAMIN
1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus
sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu.
Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH
non-sedatif.2 Terfenadin dan astemisol merupakan AH generasi kedua yang
pertama kali dikeluarkan, namun pada beberapa penelitian di Amerika, terfenadin
dan astemizol kini sudah ditarik dari peredaran karena memiliki bahaya interaksi
obat yang serius berupa pemanjangan interval QT yang berhubungan dengan
Torsades de pointes. Dengan adanya efek kardiotoksik itu maka dikembangkan
suatu AH yang non-sedatif dan non-kardiotoksik seperti desloratadin, levosetirisin
dan feksofenadin.1,2,6
Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis tahun 1969. Reseptor H2
terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan reseptor
H3 pada manusia diyakini terdapat pada otak dan paru, tetapi tidak terdapat di
kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada selsel dan jaringan tubuh tetapi tidak pada kulit.1
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin
sangatlah penting.
Pada referat ini akan dibahas mengenai klasifikasi, farmakologi, efek
samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin terutama
antihistamin H1 baik klasik/sedatif maupun non sedatif yang sering digunakan
diantaranya klorfeniramin, difenhidramin, hidroksisin, loratadin, cetirizin dan
feksofenadin.2,3,6-8
ANTIHISTAMIN
Gambar 2. Mekanisme AH1. Dimana reseptor H1, AH1 menginhibisi pelepasan mediator
pre formed dan menurunkan produksi sitokin dari pro inflammatory, ekspresi dari
molekul adhesi, dan kemotaksis dari eosinofil. = penurunan; GMCSF = granulosit
makrofag koloni stimulasi faktor; ICAM 1 = interseluler adhesion molekul 1; IL1, IL-6, IL-8 = interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8; TNF = tumor necrosis
factor ; VCAM 1 = vascular cellular adhesion molecule 1. 1
Antihistamin H1
Alkilamin (propilamin)
Etanolamin
(Aminoalkil
eter)
karbioksamin
maleat,
ANTIHISTAMIN
embramin
hidroklorida,
mefenhidramin
metilsulfat,
Piperidin
azatadin
maleat,
siproheptadin
Rumus bangun
(b) Difenhidramin
(c) Tripelenamin
(d) Siproheptadin
(e) Hidroksisin
(f) Klorfeniramin
(g) Prometasin
hidroklorida,
ANTIHISTAMIN
Gambar 3. Struktur Kimia Antihistamin generasi I. (a) Antihistamin pada
umumnya; (b) Difenhidramin; (c) Tripelenamin; (d) Siproheptadin; (e)
Hidroksisin; (f) Klorfeniramin; (g) Prometasin9
b. AH-1 non sedatif (AH-1 generasi II dan III )
Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir
ditemukan dengan
AH 1 generasi II
Yang termasuk golongan ini adalah:
-
Akrivastin
Astemisol
Cetirizin
Loratadin
Mizolastin
Terfenadin
Ebastin
Rumus bangun
(a) Astemisol
(c) Loratadin
ANTIHISTAMIN
(b) Terfenadin
(d) Cetirizin
AH 1 generasi III
Yang termasuk golongan ini adalah:
-
Levosetirisin
Desloratadin
Feksofenadin
Rumus bangun
(a) Feksofenadin
(c) Desloratadin
(b) Levosetirisin
Gambar 5. Struktur Kimia Antihistamin Non Sedatif AH 1 generasi II.
(a)Feksofenadin; (b) Levosetirisin; (c) Desloratadin.9
2. Antihistamin tipe H2
Yang termasuk golongan ini adalah :
Simetidin
Ranitidin
ANTIHISTAMIN
Famotidin
Nizatidin
Rumus bangun
(a) Simetidin
(c) Ranitidin
(b) Famotidin
(d) Nizatidin
FARMAKOLOGI
1. Antihistamin H1 Klasik
Mekanisme kerja:
Antihistamin H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap histamin
pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan pada reseptornya
serta mencegah aktivasi dari reseptor tersebut.1,2,4,7 Ikatan antara AH dan
reseptornya bersifat reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar
yang tinggi.1,7 Dengan menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh,
ANTIHISTAMIN
yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang secara
klinis berupa eritem, bentol (urtika) dan rasa gatal. Obat ini lebih efektif jika
diberikan sebelum terjadinya pelepasan histamin. 3 Antihistamin klasik, juga
memiliki aktivitas antikolinergik, efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk
perjalanan.1,5
ANTIHISTAMIN
Panduan penggunaan AH-1 pada wanita hamil terbatas. Sebagian besar
AH-1 untuk wanita hamil oleh United States of Food and Drug Administration
(FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.1,10
Kontra Indikasi
Kehamilan3
Ibu menyusui3
Retensi urin3
Asma3
Efek samping:
Sifat lipofilik dari antihistamin tipe H1 klasik menyebabkan distribusi
jaringan yang luas. Obat ini dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air
susu ibu,3 karena itu dapat memberikan efek pada:
Gastrointestinal
Gejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan
diare.1,2,3,5
Kardiovaskular
Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara.1,2 Difenhidramin
dapat menghambat potassium channels, memperpanjang interval QT,
bahkan menyebabkan aritmia ventrikular.10
Genitourinaria
ANTIHISTAMIN
Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin2,4,11
Darah
Klorfeniramin
dapat
menyebabkan
pansitopenia,
agranulositosis,
Kulit
Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug
eruption dan fotosensitif.1
Interaksi obat
Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin H1
diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap
SSP seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat efek
vasopresor dari epinefrin. Efek antikolinergik dari AH-1 klasik akan lebih berat
dan lebih lama bila diberikan bersama obat golongan inhibitor monoamin
oksidase, seperti isokarboksazid, nialamid, moklobemid, ranilsipromin, dan
fenelzim1,2
2. Antihistamin H-1 non sedatif / antihistamin H-1 generasi ke-2 dan ke-3
Mekanisme kerja
Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada
reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin,
dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. 1,2,3 Antihistamin H1 non
sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak,
dan lebih mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik.1,2,3,4 Walaupun
golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan
ANTIHISTAMIN
efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih
sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya
lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.3 Salah satu penelitian yang
membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda,
yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin
paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh
feksofenadin, akrivastin dan setirisin.12 Setirisin memiliki efek anti inflamasi
seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan
jalan menghambat:
-
ANTIHISTAMIN
Kontraindikasi
Kehamilan3
Ibu menyusui.3
Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,
sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antihistamin tipe H-1 klasik.1
Kardiovaskular
Efek
samping
kardiovaskular
berupa
fibrilasi
ventrikel,
Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus
hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama
5 bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan
sampai sedang dapat terjadi.3
Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta
pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan
ANTIHISTAMIN
adanya reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan
dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus
psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan
terfenadin.3
dan
beberapa
efek
antikolinergik
lainnya,
namun
interval
QT
dapat
terjadi
pada
penderita
yang
ANTIHISTAMIN
Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam.5 Dosis yang diberikan 4-6
mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik
pada anak-anak dan dewasa.4
Sediaan:
-
Difenhidramin
Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam
praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini
mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60%
dari dosis
Hidroksisin
ANTIHISTAMIN
Hidroksisin merupakan derivat dari piperasin, sering digunakan sebagai
transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai
dalam 2-3 jam setelah pemberian peroral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian
diekskresikan ke dalam urin.15 Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk
pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian
ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk pengobatan urtikaria
kronis, urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus yang
diinduksi oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan dosis
pemberian 10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam.4
Sediaan:
-
Loratadine
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas
yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis
yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja
yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal
aktifnya.1
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari
dan cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya
sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu
0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik
pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari
miocardial potassium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.1
Loratadin merupakan antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam. 5
Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah
0,5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi
pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang
diberikan.2,3
Sediaan:
ANTIHISTAMIN
-
Cetirizine
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada
manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk
metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena Cetirizine
cepat diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin,
maka dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.2
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar
7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%.2 Cetirizine dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta
menurunkan prostaglandin D2. Cetirizine diindikasikan untuk terapi urtikaria
kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin
untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.3
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)
dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien
dengan gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari.
Lama kerja dari Cetirizine adalah 12-24 jam.5
Sediaan:
-
Feksofenadin
Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor
kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping
antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.2,3,4
Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua
kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3
jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar
ANTIHISTAMIN
60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh
feksofenadin adalah 11-15 jam, 2 diekskresikan sebanyak 80% pada urin dan 12%
pada feses.1,2
Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria
idiopatik kronis.4,10 Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid
dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat
sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.2
Sediaan :
-
Pada anak-anak:
Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL,
loratadin, desloratadin, feksofenadin, setirisin.19
Pada bayi:
Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena efek
ANTIHISTAMIN
ANTIHISTAMIN
Mekanisme kerja
Mirip dengan AH-1, AH-2 bekerja dengan menginhibisi secara kompetitif pada
reseptornya, yaitu mukosa gaster, otot polos, otot jantung, epitel, endotel, dan
bahkan pada sel mast serta dendritik. AH-2 ini juga memediasi permeabilitas
vaskular kutan, pelepasan mediator inflamasi, rekruit sel-sel, dan presentasi
antigen, namun alurnya dan signifikansinya masih belum diketahui.1
Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Setelah pemberian secara oral, AH-2 akan diabsorbsi dengan baik dalam
saluran cerna dalam 1-2 jam. Antihistamin H2 mempunyai waktu paruh bervariasi
antara 2-8 jam. Setelah melewati metabolisme di liver, nantinya akan
diekskresikan dalam bentuk tidak terubah di urin sebanyak 69%.1,5
Kegunaan klinis
Kebanyakan obat ini digunakan sebagai tambahan AH-1 pada kasus
urtikaria kronis dan angioedema refraktori. Kombinasi AH-1 dan AH-2 juga dapat
membantu mengurangi pruritus dan wheal pada mastocytosis sistemik serta
urtikaria pigmentosa.1,3
Pertimbangan
Efek samping:
Gastrointestinal
Gejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia,
konstipasi dan diare.1,2,3,5
ANTIHISTAMIN
Ginekomastia
Darah (jarang)
trombositopenia dan anemia 1,3,5
Interaksi obat
Simetidin berinteraksi dengan banyak obat jantung. Ranitidine berinteraksi
dengan fentanyl, midazolam, nifedipine, dan warfarin. Ranitidin dapat
mengurangi absorpsi diazepam dan mengurangi konsentrasi plasmanya sebanyak
25%. Famotidine dan nizatidine diasosiasikan dengan interaksi obat lain yang
rendah.1
SIMETIDIN DAN RANITIDIN
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara
selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam
lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung
dihambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H 2
lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam
lambung pada keadaan basal, simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi
asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung. 2,7,8,
Farmakokinetik. Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode
pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60 90.
Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10 20% dari
kadar serum. Sekitar 50 80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin
diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2
jam.2,7,8,
ANTIHISTAMIN
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira kira 1,7 3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1 3 jam setelah
penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal. Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada
fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat
melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis
reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus. 2,7,8,
Indikasi. Simetidin, ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk
mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya.
Dengan dosis lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak
duodenum. 2,7,8,
Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari
efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak
duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800 mg, ranitidin
300 mg, famotidin 40 mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama 8 minggu.
Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien
gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi. Selain untuk tukak duodenum,
dengan dosis yang sama, simetidin, ranitidin dan antagonis reseptor H 2 lainnya
juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak
lambung. 2,7,8,
Efek Samping. Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa efek samping
ANTIHISTAMIN
lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara
lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten. 2,7,8
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi
dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat
simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah
pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin
terhadap peninggian prolaktin ini kecil. 2,7,8
Interaksi Obat. Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas oral
simetidin sebanyak 20 30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis,
akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid
atau metoklopramid dan simetidin oral. 2,7,8
Ketokonazole harus diberikan 2 jam sebelum pemberian simetidin karena
absorpsi ketokonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin.
Selain itu ketokonazol membutuhkan pH asam untuk dapat bekerja dan menjadi
kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat
AH2. 2,7,8
Simetidin menghambat sitokrom P 450 sehingga menurunkan aktivitas
enzim mikrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan
terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya
dipengaruhi simetidin antara lain warfarin, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. 2,7,8
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin.
Nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan
ranitidin. Selain penghambatan terhadap sitokrom P 450 diduga ada mekanisme
lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi
ANTIHISTAMIN
diazepam dan mengurangi kadar plasma nya sejumlah 25%. Obat obatan ini
diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam. 2,7,8
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam. 2,7,8
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat klirens obat lain. Simetidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar
lidokain serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Obat ini tak
tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan
berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati
atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa slurred speech, somnolen, letargi,
gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi dan kejang. Gejala gejala
tersebut hilang/ membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala seperti demensia
dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai
efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan, mungkin
karena sukarnya melewati sawar darah otak. 2,7,8
Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan kreatinin
plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi simetidin dan kreatini.
Simetidin dapat meningkatkan beberapa respon imunitas selular (cell mediated
immune response) terutama pada individu dengan depresi sistem imunologik.
Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek
kardiotoksik lain. 2,7,8
FAMOTIDIN
Farmakodinamik. Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat
sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh
ANTIHISTAMIN
pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih
poten daripada simetidin. 2,7,8
Farmakokinetik. Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira kira dalam
2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3 8 jam dan
bioavailabilitas 40 50%. Metabolit utama adalah famotidin S Oksida.
Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di
urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20
jam.2,7,8
Indikasi. Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8
minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Profilaksis untuk
tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres kurang lebih sama
dengan antagonis reseptor H2 lainnya. 2,7,8
Efek Samping. Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi,
misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan
ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin karena tidak
menimbulkan efek antiandrogenik. 2,7,8
Interaksi Obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam, teofilin,
warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazole membutuhkan pH asam untuk bekerja
sehingga kurang efektif bila diberikan bersama AH2. 2,7,8
Dosis. Oral, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40 mg satu kali
sehari pada saat akan tidur. 2,7,8
NIZATIDIN
Farmakodinamik. Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung
kurang lebih sama dengan ranitidin. 2,7,8
ANTIHISTAMIN
Farmakokinetik. Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak
dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien
uremik dan usia lanjut. 2,7,8
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam,
masa paruh plasma sekitar
Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal; 90% dari dosis yang digunakan
ditemukan di urin dalam 16 jam. 2,7,8
Indikasi. Efektifitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding
dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari
biasanya dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dengan
pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data
nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung sama dengan AH 2
lainnya. 2,7,8
Efek Samping. Nizatidin jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum
ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak menimbulkan gejala
klinik yang bermakna. Potensi nizatidin untuk menimbulkan hepatotoksisitas
rendah. Nizatidin tidak memiliki efek antiandrogenik. Nizatidin dapat
menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan
kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat
sistem P 450. 2,7,8
Dosis. Oral: untuk orang dewasa dengan tukak duodenum aktif dosis 300 mg
sekali sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, 2 kali sehari. 2,7,8
ANTIHISTAMIN
ANTIHISTAMIN
BAB III
KESIMPULAN
Antihistamin
adalah
zat yang
atau
berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan
atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi.
Antihistamin yang sering digunakan diantaranya adalah: klorfeniramin,
difenhidramin, hidroksisin, loratadin, setirisin, dan feksofenadin.
AH-2 lebih jarang digunakan untuk dermatologi dibandingkan dengan AH-1.
AH-2 biasanya digunakan sebagai terapi tambahan jika terapi dengan AH-1 tidak
cukup.
DAFTAR PUSTAKA
ANTIHISTAMIN
ANTIHISTAMIN
12. Mann RD, Pearce GL, Dunn N, Shakir S. Sedation with non sedating
antihistamines: four prescription-event monitoring studies in general practice.
BMJ; 2000: 320.h.1184-7.
13. Breathnach SM. Drug reactions. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
penyunting. Rook textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell
Scientific Publisher; 2004.h.73.151-152.
14. Mastey V. Torsades de pointes in patients receiving terfenadin or astemizole
(diakses
tanggal
9
Desember
2015).
Tersedia
dari
URL:http://www.hsph.harvard.edu