Vous êtes sur la page 1sur 15

ASEAN Way: Memutus Mata Rantai Human Trafficking

di

Asia Tenggara, Mungkinkah ?


Ali Muhasan
Universitas Hasanuddin
ah4579@gmail.com

Problematika Human trafficking di Asia Tenggara: Studi Beberapa Negara


ASEAN Terpilih
1) Human Trafficking di Indonesia
Indonesia bukan hanya sebagai sumber negara dalam perdagangan manusia
melainkan juga sebagai negara transit dan tujuan dari perdagangan manusia. UNICEF
memperkirakan bahwa sekitar 100.000 wanita dan anak-anak dijualbelikan untuk
eksploitasi seksual di Indonesia dan luar negeri. 30% dari perempuan yang dijual untuk
prostitusi berusia dibawah 18 tahun, dan 40.000 sampai 70.000 anak Indonesia menjadi
korban eksploitasi seksual. Perempuan dan anak-anak Indonesia diperdagangkan untuk
eksploitasi seksual di Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan
Timur Tengah. Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan wanita dan anakanak untuk eksploitasi seksual yang berasal dari RRC, Thailand, Hongkong,
Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina. Penyebab
perdagangan Indonesia sangatlah kompleks. UNICEF melansir bahwa tinggi nya angka
kelahiran dan kepadatan penduduk menjadi penyebab utama berkembangnya
perdagangan manusia di Indonesia. Sekitar 60% anak dibawah umur 5 tahun
di Indonesia tidak memiliki akte kelahiran, dan setengahnya belum didaftarkan
kelahirannya. Itulah yang menjadi faktor pendorong perdagangan anak di Indonesia.
Indonesia termasuk kategori negara yang belum serius dalam menanggulangi
masalah perdagangan perempuan. Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik
(Economy and Social Comission on Asia-Pacific/ESCAP) melaporkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan human
trafficking di Asia Pasifik. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai negara
yang tidak mempunyai standar pengaturan perdagangan manusia, dan bahkan tidak
mempunyai komitmen mengatasi masalah itu. Hingga kini Indonesia mulai bertahap

bekerjasama dengan negara-negara ASEAN utamanya yang berbatasan langsung dengan


Indonesia untuk menakan angka human trafficking di dalam negeri.
2) Human Trafficking di Filipina
Filipina merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan manusia.
Anak-anak korban perdagangan manusia di Filipina telah menembus angka 20.000
hingga 100.000 jiwa. Baik pria maupun gadis di Filipina diperdagangkan sebagai tenaga
kerja dan pekerja seks ke sejumlah negara seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat
Arab, Qatar, Bahrain, Malaysia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Afrika Selatan,
Amerika Utara, dan Eropa. Pemerintah dan NGO memperkirakan jumlah perdagangan
wanita di Filipina sekitar 300.000 hingga 400.000 jiwa dan jumlah perdagangan anak
sekitar 60.000 hingga 100.000 jiwa. Banyak warga Filipina yang bekerja ke luar negeri
dan berakhir dengan kondisi mengenaskan akibat eksploitasi.
Filipina merupakan negara transit bagi korban perdagangan manusia dari China.
Filipina juga merupakan negara tujuan bagi sejumlah wanita dari RRC, Korea Utara,
Jepang dan Rusia untuk tujuan ekploitasi seksual. Sama seperti Indonesia, didalam
negeri Filipina juga terjadi perdagangan manusia dari daerah pedesaan seperti Visayas
dan Mindinao ke daerah perkotaan seperti Metro Manila dan Cebu untuk dipekerjakan
sebagai pekerja seks komersial atau tenaga kerja paksa sebagai pembantu rumah tangga,
karyawan pabrik atau penjual obat-obatan terlarang. Kemiskinan endemik, tingkat
pengangguran yang tinggi, kecendrungan untuk melakukan migrasi, lemahnya hukum
dan pariwisata seksyang mendorong meningkatnya aktifitas perdagangan manusia di
Filipina.
Filipina juga merupakan sumber, daerah transit dan negara tujuan dari
perdagangan manusia yang berorientasi pada tujuan tenaga kerja paksa dan eksploitasi
seksual. Wanita Filipina dijanjikan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang
tinggi diluar negeri, padahal kemudian mereka diperdagangkan sebagai wanita pekerja
seks komersial dengan negara tujuan Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika
Utara. Sekitar 71.084 wanita Filipina yang dikirim sebagai duta kesenian ke Jepang
diduga menjadi korban perdagangan seks. Wanita dan pria Filipina yang bekerja di
sektor domestik dan industri-industri garmen juga seringkali mengalami kekerasan.

3) Human Trafficking di Thailand


Thailand adalah negara sumber, transit, dan tujuan dalam perdagangan pria,
wanita dan anak-anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan pekerja paksa. Perempuan
Thailand diperdagangkan ke Australia, Bahrain, Jepang, Malaysia, Singapura, Afrika
Selatan, Taiwan, Eropa dan Amerika Utara untuk menjadi pekerja seks komersial.
sejumlah Pria, wanita dan anak-anak dari negara Burma, Laos, Kamboja, dan RRC
menjadi imigran yang bekerja di Thailand. Perbedaan ekonomi regional menjadi
pendorong banyaknya imigran illegal di Thailand yang juga memberikan kesempatan
pada para traffickers untuk mendapatkan lebih banyak korban untuk dijadikan pekerja
seks komersial dan pekerja paksa. Perdagangan manusia didalam negeri juga terjadi di
Thailand terutama di Thailand Utara. Pariwisata seks yang tersebar di Thailand telah
menyebabkan peningkatan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi seks
komersial.
Di dalam negeri, Perempuan diperdagangkan dari Timur laut dan Utara menuju
Bangkok untuk menjadi pekerja seks komersial. Perempuan Thailand juga
diperdagangkan ke Jepang, Malaysia, Bahrain, Australia, Afrika Selatan, Eropa, dan
Amerika Serikat bukan hanya untuk menjadi pekerja seks tetapi juga untuk menjadi
buruh kasar. Pria Thailand diperdagangkan untuk bekerja di perikanan dan perkebunan
komersial, industri, dan pekerja bangunan.
Mencari Strategi Efektif: Mengungkap Sisi Klasik Human Trafficking
Kompleksitas masalah kejahatan human trafficking membuat penanggulangan
yang efektif memerlukan paradigma dan strategi yang tepat. Kesalahan paradigma
tentang human trafficking sering ditemukan di dalam praktiknya di lapangan sehingga
kejahatan ini tidak mendapat perhatian yang sepatutnya dan seharusnya didapatkan.
Kesalahan paradigma yang dimaksud adalah: pertama, cara pandang skeptis terhadap
human trafficking yang menyangsikan keabsahan data mengenai korban dan
menganggap human trafficking sebagai komoditas sekuritisasi untuk mengalokasikan
dana bagi anggaran pertahanan nasional. Data yang valid mengenai jumlah korban
memang sampai saat ini sulit diidentifikasi. Umumnya angka jumlah korban yang
dipublikasi merupakan angka estimasi tanpa verifikasi 1. Namun hal ini tidak berarti
1

Sejumlah pengamat dan jurnalis internasional menganggap langkah negara-negara dan organisasi internasional
untuk menetapkan kebijakan tentang kejahatan human trafficking sebagai suatu bentuk sekuritisasi untuk

kejahatan tersebut tidak ada dan tidak cukup besar untuk direspon. Dalam praktiknya,
kejahatan tersebut nyata dan mengancam hak asasi warganegara. Selama tahun 2011 di
Asia Tenggara sendiri, mnurut laporan IOM, terdapat 860 kasus perlindungan terhadap
korban kejahatan ini.
Kesalahan paradigma yang kedua adalah cara pandang abai yang menilai
kejahatan human trafficking sebagai sebagai masalah temporer dan individual. Sebagian
negara telah secara tepat menetapkan human trafficking sebagai kejahatan transnasional
yang solid dan terorganisir. Masalah tersebut dipandang berakar pada persoalan
struktural yang terdapat di dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan hukum suatu
negara. Implikasinya, solusi permasalahan ini memerlukan peran negara agar lebih
terorganisir dan komprehensif. Namun sebaliknya, mengabaikan human trafficking
sebagai kejahatan transnasional akan cenderung menghindari paradigma tanggungjawab
negara terhadap masalah tersebut. Implikasinya, akan sulit mengharapkan munculnya
kebijakan negara yang mendukung upaya penanggulangan kejahatan tersebut2.
Strategi yang efektif harus mempertimbangkan sifat multidimensi pada setiap
aspek penanganannya; multilevel pada tingkat supply dan demand; serta kerjasama
internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. Strategi
multidimensi sangat diperlukan mengingat bahwa kejahatan human trafficking dapat
muncul dan berkembang dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum
tertentu sebagaimana dijelaskan pada bagian awal laporan ini. Beberapa faktor utama
yang dianggap berkontribusi pada kejahatan human trafficking adalah kemiskinan,
globalisasi, industri seks, lemahnya penegakan hukum (termasuk maraknya korupsi)
dan rendahnya tingkat pendidikan. Solusi yang efektif harus mampu mengatasi atau
sedikitnya mengurangi dampak dari faktor-faktor multidimensional tersebut.
Strategi multilevel juga sangat diperlukan mengingat kejahatan jenis ini tidak hanya
terjadi karena adanya supply dari kelompok masyarakat miskin dan terbelakang, akan
tetapi juga karena ada demand dari komunitas lainnya, yang didukung dengan jaringan

menggantikan agenda Perang Dingin yang menjadi kurang relevan setelah 1989. Lihat di antaranya Zbigniew
Dumienski (2012). Dumienski menilai bahwa persoalan sebenarnya bukan merupakan kejahatan transnasional,
melainkan perlindungan hukum dan penegakan hukum bagi migrasi ilegal. Ia cenderung menggunakan konsep
migrasi ilegal (illegal migration) daripada human trafficking atau trafficking in persons.
Wendy N. Duong, 2011. The Southeast Asian Story and Its Forgoten Prisoner of Conscience; Some Proposed
Measure to Combat Human Trafficking. Seattle Journal for Social Justice. Vol. 9, Issue 2: 687. Duong menilai
sejumlah negara tidak merasa bertanggung jawab terhadap upaya untuk menanggulangi kejahatan human
trafficking karena cara pandang yang cenderung abai terhadap kejahatan tersebut.

kejahatan terorganisir yang beroperasi secara transnasional. Memproses secara hukum


para pelaku kejahatan tersebut (traffickers) merupakan langkah penting untuk
mengurangi praktik human trafficking, namun tidak cukup mengatasinya untuk jangka
panjang. Hukum pidana bagi pelaku dapat memberikan keadilan bagi beberapa korban,
namun dengan struktur kejahatan yang terorganisasi, pelaku yang tertangkap akan dapat
digantikan oleh orang lain dalam jangka waktu tertentu. Penetapan dan penegakan
hukum harus diikuti dengan perubahan struktur dan kultur di dalam masyarakat. Supply
dan demand di negara asal maupun negara penerima harus ditangani secara efektif.
Kerjasama internasional untuk menghadapi tantangan human trafficking ini
merupakan suatu keharusan mengingat sifat transnasionalnya. Tindakan untuk
menyelamatkan korban trafficking yang berada di luar negeri atau untuk mengusut
pelaku kejahatan yang basis lokasinya terletak di luar negeri akan sulit untuk dilakukan
tanpa adanya kerjasama dengan negara yang bersangkutan. Persoalan utama yang harus
dihadapi tanpa kerjasama internasional adalah wilayah jurisdiksi. Suatu negara dapat
mengurangi supply dan demand terhadap migran ilegal hanya dengan melakukan
kontrol yang ketat terhadap keduanya. Persoalannya adalah kontrol tersebut tidak dapat
dimiliki secara penuh di luar wilayah jurisdiksi negara tersebut. Demikian pula di dalam
hal perlindungan terhadap korban dan peradilan terhadap pelaku kejahatan trafficking.
Korban dan pelaku yang berada di luar wilayah jurisdiksi negara akan sulit untuk
dilindungi dan diadili tanpa kerjasama internasional.
Di luar persoalan jurisdiksi, sejumlah negara memiliki keterbatasan sumberdaya
ekonomi dan politik dalam mengatasi faktor-faktor penyebab human trafficking. Hal ini
diperparah lagi dengan fakta bahwa umumnya di negara-negara asal, tingkat korupsi
cenderung tinggi. Keterbatasan ekonomi juga mempengaruhi kemampuan negara untuk
melakukan investasi di dalam membangun sistem informasi dan infrastruktur
pengawasan yang memadai. Sistem informasi dan infrastruktur pengawasan diperlukan
untuk tindakan pencegahan serta memberikan perlindungan kepada korban. Sistem
informasi sangat diperlukan untuk menyediakan data yang valid tentang pekerja migran,
termasuk yang ilegal. Kerjasama dengan negara-negara penerima dapat menjadi solusi
alternatif yang dapat mengurangi beban ekonomi negara asal untuk mengatasi masalah
sistem informasi dan pengawasan.

Solusi perubahan paradigma dan prinsip multilevel, multidimensi dan kerjasama


internasional tersebut masih perlu dijabarkan di dalam strategi praktis dalam jangka
pendek, menengah dan panjang. Di atas kertas, perubahan paradigma dan penerapan
prinsip-prinsip tersebut ke dalam strategi menghadapi kejahatan human trafficking dapat
dilakukan. Namun di dalam praktik sesungguhnya sulit untuk dilakukan, terutama
terkait dengan perbedaan karakteristik khusus permasalahan human trafficking di setiap
negara. Oleh karena itu, strategi untuk mengatasi masalah masing-masing negara juga
berbeda, disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi3. Kegagalan
mencari strategi yang tepat bagi tiap negara, atau kecenderungan untuk menerapkan
strategi yang seragam untuk karakteristik permasalahan yang berbeda, dapat
menyebabkan tindakan negara dan aktivis human trafficking kurang efektif dan kurang
relevan.
Terlepas dari perbedaan karakteristik permasalahan setiap negara, banyak
pemerintah negara dan pengamat masalah human trafficking memandang perlu
pengaturan internasional dalam bentuk perjanjian dan hukum internasional agar
terwujud kerjasama menanggulangi kejahatan ini. Lembaga-lembaga internasional yang
terkait dengan kejahatan ini menetapkan beberapa strategi yang dapat diadopsi negaranegara anggotanya untuk menanggulangi human trafficking. UNIFEM (United Nations
Development Fund for Women), misalnya, menyepakati delapan strategi yang
mencakup:
1. Pencegahan melalui peningkatan kapasitas lembaga peradilan dan penegak hukum;
2. Pencegahan melalui pengendalian dan pembatasan prostitusi melalui sistem hukum;
3. Menolong dan merehabilitasi korban;
4. Melindungi perempuan dari kemungkinan trafficking dan penyuluhan tentang bahaya
human trafficking;
5. Mengurangi demand dengan advokasi dan kampanye anti prostitusi anak dan
sebagainya;
6. Mengurangi supply dengan advokasi dan penyuluhan tentang bahaya human
trafficking di antara para orang tua;
3

Lihat Diana Betz, 2009. Human trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy Implications, thesis master pada
Naval Postgraduate School, Monterey, California, hlm. 13. Menurut Betz, setiap negara harus menetapkan strategi
yang sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi yang mungkin tidak seragam. Salah satu contoh
perbedaan dapat dilihat mulai dari interpretasi terhadap konsep human trafficking. Ketidaksepakatan mengenai
konsep tersebut membuat kerjasama penanggulangannya sulit dilakukan.

7. Mengurangi supply dengan cara membuka lapangan kerja dan peluang berusaha;
8. Mengurangi supply dengan kampanye urgensi pendidikan anak bagi para orang tua.
Senada dengan itu, IOM merekomendasikan enam strategi untuk memberantas
human trafficking, terutama untuk perempuan. Strategi tersebut meliputi:
1) Kerjasama internasional. Kepentingan negara asal dengan negara penerima berbeda
dalam menanggulangi human trafficking;
2) Bantuan pembangunan (official development assistance) ditargetkan pada kelompok
yang rentan menjadi korban;
3) Kampanye anti-trafficking pada kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban;
4) Pengetatan kontrol perbatasan dan penetapan kebijakan anti-trafficking yang tegas;
5) Meningkatkan kinerja polisi di bidang ini dengan membentuk satuan khusus untuk
mengatasi human trafficking;
6) Meningkatkan kepedulian dan bantuan kepada para korban yang telah dieksploitasi.

Kebijakan Anti Human trafficking Versi Negara Maju: Belajar dari AS dan
Jerman
Di tingkat negara, strategi-strategi tersebut dikonstruksikan sebagai paradigma
yang disebut sebagai 3P Anti-trafficking Policy. Kebijakan anti-trafficking 3P tersebut
mencakup prevention, protection, dan prosecution. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan
Jerman merupakan dua negara yang di dalam laporan IOM dinilai telah berhasil
membuat dan mengimplementasikan kebijakan anti-trafficking yang tegas4.
Perbedaan antara kebijakan model AS dan Jerman ini dapat memberikan
gambaran tentang model ideal yang diterapkan di negara-negara industri maju. Dalam
indeks 3P5, Jerman mengalami penurunan nilai pada tahun 2010 dan 2011 karena
4

Christal Morehouse, 2009. Combating Human trafficking: Policy Gaps and Hidden Policy Agendas in the USA
and Germany, disertasi doktor pada Faculty of Philosophy, University of Berlin, hlm. 17. Morehouse memandang
bahwa kebijakan anti-trafficking AS dan Jerman dibayangi oleh agenda politik tersembunyi oleh pemerintah
masing-masing sehingga mengurangi efektifitasnya. Namun sejauh ini, kedua negara tersebut telah
mendemonstrasikan keberanian memformulasi dan mengimplementasi kebijakan yang lebih progresif dibandingkan
negara-negara lainnya.
Indeks 3P dikeluarkan oleh DIW Berlin (German Institute of Economic Research, sebuah lembaga riset terkemuka
di negara tersebut), Universitat Gottingen, yang bertujuan untuk mengevaluasi komitmen dan kesungguhan dalam
memerangi human trafficking. Publikasi Indeks tersebut dikeluarkan setiap tahun oleh DIW Berlin dan
kesungguhan dalam memerangi human trafficking. Publikasi Indeks tersebut dikeluarkan setiap tahun oleh DIW
Berlin.

lemahnya perlindungan terhadap korban trafficking, namun secara keseluruhan nilai


yang diperoleh Jerman masih di atas nilai rata-rata seluruh negara di dunia. Indeks 3P
sendiri menggunakan sejumlah indikator untuk menilai setiap unsur kebijakan antitrafficking tersebut.
Indikator yang digunakan untuk menilai prevention adalah:Adopsi hukum antitrafficking yang melarang human trafficking: (1) Adopsi hukum yang melarang child
trafficking; (2) Penerapan hukum-hukum lainnya yang relevan; (3) Sanksi yang
setimpal; (4) Penegakan hukum; (5) Memelihara pemutakhiran statistik kejahatan
trafficking (indikatornya penilaiannya adalah penganugerahan amnesti terhadap korban,
tidak mengenakan persyaratan identifikasi diri untuk mendapatkan status sebagai
korban, menyediakan bantuan hukum, memberikan izin tinggal, menyediakan
akomodasi, menyediakan bantuan kesehatan, menyediakan balai latihan kerja;
menyediakan bantuan rehabilitasi dan menyediakan bantuan repatriasi untuk kembali ke
negara asalnya).
Sedangkan indikator yang digunakan untuk menilai prosecution adalah: (1)
Kampanye publik untuk memperluas kewaspadaan terhadap human trafficking; (2)
Pelatihan bagi pejabat eksekutif dan yudikatif dengan informasi seputar human
trafficking; (3) Pertukaran informasi antar pemerintah; (4) Pengawasan perbatasan dan
pintu masuk migran; (5) Adopsi dan implementasi national action plans untuk
memerangi human trafficking; (6) Meningkatkan kerjasama dengan NGO dan
organisasi internasional; serta (7) Meningkatkan kerjasama dengan pemerintah negara
lain.
Sebagai negara yang menjadi pengirim, transit dan penerima, peran pemerintah Jerman
untuk melakukan pencegahan, perlindungan dan mengadili pelaku kejahatan human
trafficking sangat penting. Kebijakan anti-trafficking di Jerman tidak bisa dilepaskan
dari kebijakan regional Uni Eropa (UE), dimana Jerman menjadi salah satu negara yang
paling berpengaruh selain Perancis dan Inggris. Setiap kebijakan dari UE harus
diratifikasi menjadi peraturan nasional setiap negara anggotanya. Kebijakan yang
didiskusikan dan ditetapkan oleh UE sangat berpengaruh terhadap kerangka kerja
kebijakan anti-trafficking di Jerman.
Di negara ini dibentuk sebuah lembaga koordinasi kebijakan anti-trafficking yang
dinamakan Federal Working Group on Human trafficking. Lembaga ini

mengkoordinasi kebijakan dan implementasi kebijakan anti-trafficking pada


8 kementerian dan 2 badan pemerintahan. Kinerja Federal Working Group ini
mendapat pengawasan dari Komisi Federal untuk Migrasi, Pengungsi, dan
Integrasi.

Sistem hukum dan informasi yang kondusif bagi perang terhadap human
trafficking sejauh ini dipandang cukup maju. Kebijakan anti-trafficking di Jerman telah
diadopsi ke dalam kitab undang-undang hukum pidana nasional pada tahun 1992 dan
dilengkapi dengan undang-undang tentang human trafficking (2005), ketentuan migrasi
dari UE (2007) dan undang-undang prostitusi yang ditetapkan pada tahun 2002. Jerman
juga telah memiliki sistem informasi yang bisa diandalkan dan terintegrasi dari seluruh
kementerian dan badan-badan pemerintah yang terkait, sehingga data terkini tentang
pekerja migran dan pekerja seks dapat dimonitor. Data korban human trafficking, di sisi
lain, masih berdasarkan estimasi.
Kerjasama kelembagaan yang dibangun oleh Pemerintah Federal Jerman untuk
mengatasi human trafficking tidak hanya terbatas pada kerangka kerjasama antar negara
di tingkat regional melalui Uni Eropa. Selain kerjasama yang baik di tingkat UE,
sejumlah negara pengirim pekerja migran yang bukan anggota UE bekerjasama dengan
GTZ dan NGO yang juga menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Federal Jerman.
Paradigma anti-trafficking yang diterapkan oleh AS disebut sebagai 4P Antitrafficking Policy. Keempat P yang dimaksud mencakup Prevention, Protection,
Prosecution dan Partnership. Pada prinsipnya, paradigma 4P tidak memiliki
perbedaan signifikan dari 3P Index versi WDI Berlin. P yang keempat, yaitu
partnership ditambahkan oleh para pembuat kebijakan di AS untuk menekankan
perlunya negara tersebut menerapkan strategi kemitraan di dalam memerangi human
trafficking. Berbeda dengan Jerman, konteks kebijakan anti-trafficking AS adalah
kebijakan nasional dan bukannya di dalam kerangka kerjasama regional. Strategi
kemitraan merupakan pilar penting untuk meningkatkan efektifitas kebijakannya.
Melalui asistensi pembangunan di negara-negara berkembang yang diorganisir oleh
USAID, Pemerintah Federal AS membangun kemitraan dengan banyak negara,
organisasi internasional dan regional untuk mengurangi sisi supply dari kejahatan
human trafficking, maupun pengembangan komunitas internasional yang peduli dan
merespon positif perang terhadap kejahatan human trafficking.

Struktur organisasi yang melakukan koordinasi antara badan pemerintah di


dalam menghadapi kejahatan human trafficking sedikit lebih rumit dibandingkan
dengan Jerman. Di AS, terdapat tiga lembaga yang menjalankan fungsi koordinasi
tersebut, yaitu: Interagency Task Force (ITF) to monitor and combat trafficking in
persons, Senior Policy Operating Group (SPOG), yang dibantu oleh Office of
Management and Budget. ITF yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri AS berkoordinasi
dengan 7 lembaga di tingkat kabinet yang meliputi (1) Departemen Tenaga Kerja; (2)
Departemen Keadilan; (3) Departemen Luar Negeri; (4) Departemen Keamanan Dalam
Negeri (homeland security); (5) Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial; dan (6)
Badan Pembangunan Internasional (USAID). SPOG juga berkoordinasi dengan
lembaga-lembaga setingkat menteri yang sama ditambah dengan Departemen
Pertahanan dan Dewan Keamanan Nasional. Di tingkat implementasi, terdapat 3
lembaga yang terkait dengan penerapan kebijakan human trafficking, yaitu Trafficking
in Persons and Workers Exploitation Task Force, Smuggling and Trafficking
Interagency Working Group, dan Human Smuggling and Trafficking Center. Badan
Intelejen AS (CIA, Central Intelligence Agency) juga berkoordinasi masalah
kewenangan dan informasi dengan SPOG. Sedangkan proses peradilan terhadap kasuskasus traffickers ditangani oleh lembaga khusus, yang dinamakan Human trafficking
Prosecution Unit (HTP).
Peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah AS untuk memerangi kejahatan human trafficking disahkan pada tahun 2000
dan mengalami revisi sebanyak 4 kali hingga tahun 2008. Undang-undang Perlindungan
Korban Trafficking (TVPA, the Trafficking Victims Protection Act) disusun berdasarkan
the Declaration of Independence 1776, Amandemen Konstitusi AS ke-13 tahun 1865,
dan konvensi internasional yang relevan. Berbagai kekurangan yang terdapat di dalam
undang-undang tersebut direvisi hingga bentuknya sekarang yang dianggap sesuai
dengan kepentingan nasional rakyat AS.
Kebijakan anti-trafficking yang dimiliki oleh pemerintah AS seringkali dianggap
prestasi yang membanggakan. Anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah AS melalui
USAID antara tahun 2001 hingga 2010 mencapai US$ 163,3 juta untuk mengurangi sisi
supply di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin dan wilayah lainnya. Untuk tahun 2010
sendiri, anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah AS adalah sebesar US$ 18,5 juta,

juga untuk sisi supply. Berdasarkan laporan USAID, di masa mendatang, AS akan
meningkatkan upaya penanggulangan internal trafficking di dalam wilayah domestiknya
sendiri.
Model penanggulangan kejahatan human trafficking di AS dan Jerman
bukannya tanpa kritik. Morehouse (2009) menyoroti terdapatnya dua kelemahan utama
dari kebijakan anti-trafficking di kedua negara tersebut. Yang pertama adalah kelemahan
data. Pengembangan jaringan koordinasi antara lembaga pemerintah serta pembentukan
beberapa lembaga baru yang khusus dibentuk untuk menangani kejahatan human
trafficking tidak disertai dengan perbaikan data tentang korban dan pelaku kejahatan. Di
kedua negara, dan lebih parah di AS, metode perhitungan angka estimasi korban tidak
dapat dijelaskan secara metodologis. Angka estimasi yang dikeluarkan adalah angka
estimasi kasar yang tidak dapat dijamin ketepatannya. Yang kedua adalah terdapatnya
agenda politik tersembunyi (hidden agenda) di balik penetapan beberapa kebijakan
anti-trafficking. Agenda tersembunyi yang dimaksud adalah kebijakan tentang prostitusi
dan migrasi. Menurut Morehouse, AS dan Jerman mengunakan kebijakan antitrafficking sebagai justifikasi kebijakan pembatasan terhadap migrasi dan prostitusi.
Tujuan utama kebijakan anti-trafficking bukan untuk melindungi hak-hak asasi para
korban dan warganegara yang berpotensi menjadi korban, akan tetapi untuk melakukan
pembatasan terhadap prostitusi dan migrasi. Persoalan dari hidden agenda tersebut
adalah bahwa upaya penanggulangan kejahatan human trafficking tidak dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan serius.
Dalam praktiknya, korelasi antara strategi penanggulangan ini dengan
penurunan angka kejahatan human trafficking tidak pernah sungguh-sungguh
diperhatikan, apalagi dihitung. Perhitungan korelasi antara strategi penanggulangan
human trafficking dengan dinamika kejahatannya yang dilihat dari banyaknya korban,
tampaknya harus menjadi agenda riset lebih lanjut untuk menguji efektifitas strategi
tersebut.
ASEAN Way: Koreksi dan Eksekusi
Jika strategi penanggulangan human trafficking di AS dan Jerman dapat
dianggap sebagai model yang paling progresif, apakah akan efektif untuk diterapkan di
negara-negara ASEAN ?, jawabannya belum tentu iya.

Pertama karena ada perbedaan karakteristik antara kedua model tersebut


dengan negara-negara Asia Tenggara. Sebagai negara industri maju, AS dan Jerman
memiliki anggaran ODA yang cukup besar sebagai bagian dari komitmen terhadap
forum G8. Membuat program dengan target mengurangi supply dari negara-negara lain
melalui ODA dapat dilakukan dengan mudah oleh AS dan Jerman. Sebaliknya, negaranegara Asia Tenggara hanya dapat memanfaatkan ODA yang dialokasikan oleh negaranegara maju untuk mereduksi sisi supply di wilayah Asia Tenggara. Sebagai penerima
ODA, negara-negara Asia Tenggara harus menyesuaikan programnya dengan
kepentingan dan batasan yang ditentukan oleh negara-negara pemberi bantuan. Daya
tawar politik dari negara-negara Asia Tenggara juga relatif kecil untuk membuat
perjanjian internasional seperti ekstradisi, data-sharing dan kebijakan bersama lintasbatas negara. Perbedaan lainnya juga dapat ditemukan dalam kerjasama regional yang
dilakukan Jerman di dalam kerangka UE dan di Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN.
Model kebijakan anti-trafficking UE tidak dapat dengan mudah diadopsi oleh ASEAN
melihat karakteristik pengambilan keputusan di ASEAN yang sedikit berbeda.
Kedua, model kebijakan anti-trafficking AS dan Jerman menunjukkan
beberapa kelemahan yang tidak perlu ditiru oleh negara-negara Asia Tenggara.
Kelemahan data dan prioritas kebijakan yang didemonstrasikan oleh kedua negara maju
tersebut justru harus dihindari oleh negara-negara anggota ASEAN. Yang perlu
dilakukan oleh negara-negara ASEAN adalah menyerap aspek-aspek positif dari strategi
penanggulangan human trafficking model AS dan Jerman, menyempurnakan
kekurangannya, dan menyusun program-program yang sesuai dengan karakteristik
permasalahan dan kondisi sumberdaya negara-negara ASEAN sendiri. Model kebijakan
anti-trafficking yang perlu dipertimbangkan ASEAN dengan demikian harus mencakup
aspek positif dari model-model lain dan memungkinkan konvergensi kebijakan nasional
negara-negara anggotanya.
Mengamati kondisi tersebut maka perlu untuk menetapkan kebijakankebijakan yang dapat mengakomodir pemberantasan human trafficking di Asia
Tenggara. Untuk itulah Asia Tenggara perlu untuk memiliki grand designnya sendiri,
yaitu diberi nama ASEAN Way. Model kebijakan ini sejatinya merupakan hasil
analisis yang dikembangkan agar sesuai dengan kondisi negara-negara di Asia
Tenggara, khususnya anggota ASEAN. Model ini sejatinya diharapkan dapat

diinkorporasi ke dalam model negara-negara di Asia Tenggara. Untuk menciptakan


model ASEAN Way maka perlu untuk mempertimbangakan hal-hal sebagai berikut:
1.

Kriminalisasi human trafficking dengan definisi dan sanksi jelas. Perlu ada
kebijakan anti-trafficking sebagai payung hukum yang memuat secara rinci macammacam tindakan kriminal yang termasuk di dalamnya. Sanksi terhadap kejahatan
ini juga perlu dirinci dan diberlakukan dengan tegas.

2.

Pengadopsian paradigma 3P (prevention, protection and prosecution) atau 4P


(3P + partnership) ke dalam kebijakan anti-trafficking di negara-negara ASEAN
dengan definisi dan interpretasi yang disesuaikan dengan permasalahan,
karakteristik dan kebutuhan negara-negara di kawasan ASEAN.

3.

Pengembangan sistem informasi labor migration dan illegal trafficking. Data


mengenai pekerja migran dan korban maupun jaringan human trafficking harus
dapat tersedia secara on-line dan real-time.

4.

Perbaikan sistem administrasi tenaga kerja. Dengan sistem administrasi yang tertata
dengan baik, pengawasan terhadap pekerja migran ilegal dapat dilakukan dengan
lebih mudah. Pekerja migran yang tidak memiliki kelengkapan administrasi akan
dengan

mudah

terdeteksi.

Pembangunan

sistem

administrasi

ini

dapat

diintegrasikan dengan sistem informasi labor migration dan illegal trafficking.


Sistem ini juga harus terkoneksi secara transnasional.
5.

Pembentukan lembaga koordinasi yang secara khusus ditugaskan untuk menangani


kebijakan anti-trafficking secara lintas-batas kementerian dan badan-badan negara
lainnya. Lembaga koordinasi ini dapat memudahkan formulasi dan implementasi
kebijakan secara efisien dan efektif di tingkat eksekutif.

6.

Pembentukan lembaga pelaksana pengawasan dan pengendalian human trafficking.


Lembaga ini dapat diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk membangun
sistem dan infrastruktur yang memungkinkan pengawasan dan pengendalian
terhadap human trafficking. Lembaga yang dimaksud dapat berbentuk lembaga
independen seperti KPK, Komnas HAM, dan sebagainya.

7.

Pembentukan lembaga peradilan khusus human trafficking. Dengan banyaknya


jumlah korban dan terdeteksinya pelaku trafficking, badan peradilan human
trafficking sangat berguna.

8.

Meningkatkan kemitraan pemerintah dengan masyarakat, baik dari golongan


pengusaha, akademisi maupun aktivis kemanusiaan dalam mencegah dan
memberantas kejahatan human trafficking, serta melindungi para korban.

9.

Pendekatan berbasis komunitas untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat


perlu

dikembangkan.

Partisipasi

aktif

masyarakat

sangat

penting

untuk

ASEAN

untuk

meningkatkan efektifitas pengawasan dan pengendalian.


10. Meningkatkan

kerjasama

regional

antara

negara-negara

meningkatkan efektifitas pengawasan dan pengendalian keamanan di wilayah


perbatasan,

kerjasama

penegak

hukum

dan

peradilan.

ASEAN

perlu

mengembangkan format kerjasama regional yang paling cocok dan dapat diterima
oleh negara-negara anggotanya, yaitu suatu format kerjasama yang tetap
menjunjung tinggi kedaulatan negara namun efektif mengurangi kejahatan human
trafficking. Fokus dan lokus perang melawan kejahatan human trafficking di Asia
Tenggara mungkin harus tetap pada tingkat nasional dimana kewenangan negara
tidak terusik, namun kerjasama dan koordinasi di tingkat regional perlu
dikembangkan. Mekanisme perlindungan korban, penyidikan dan peradilan extrajurisdictional harus dapat disepakati dengan memperhatikan kedaulatan negara;
11. Meningkatkan kerjasama internasional dengan organisasi internasional, NGO dan
negara-negara yang berkepentingan terhadap penanggulangan human trafficking di
Asia Tenggara.
Untuk menekan angka human trafficking di Asia Tenggara maka sejatinya
sebelas strategi tersebut dapat dipertimbangkan dalam perumusan langkah perlawanan
terhadap human trafficking. Sejatinya, keberhasilan memerangi human trafficking bukan
saja berdampak positif terhadap penjaminan HAM dan keamanan, melainkan juga akan
memperbaiki kesejahteraan warga negara setiap negara anggota ASEAN. Jika langkahlangkah tersebut dapat dijadikan dasar perumusan kebijakan domestik dan kerjasama
regional maka bukan tidak mungkin mata rantai masalah human trafficking di Asia
Tenggara dapat diputuskan.

Daftar Pustaka
Betz, D., (2009), Human trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy
Implications, Tesis jenjang master pada Naval Postgraduate School, Monterey,
California
Dumienski, Z, (2012), Myth and Reality of Human trafficking: A View from Southeast
Asia, Interdisciplinary Political Studies, Vol. 2, No. 1, Special Issue: 59-66
Duong, WN., (2011), The Southeast Asian Story and Its Forgotten Prisoner of
Conscience
Kidane, Won, (2011), Some Proposed Measure to Combat Human trafficking, Seattle
Journal for Social Justice, Vol. 9, Issue 2: 679-773
Morehouse, Christal, (2009), Combating Human trafficking: Policy Gaps and Hidden
Policy Agendas in the USA and Germany, disertasi doktor, Faculty of
Philosophy, University of Berlin
Refugee Studies Centre, (2006), People trafficking: upholding rights & understanding
vulnerabilities - special issue of Forced Migration Review, Department of
International Development, University of Oxford, United Kingdom
Warren, P., (2007), Human trafficking being debated in Annapolis, Retrieved
20070524
International Organization of Migration, (2005), Data and Research on Human
trafficking: A Global Survei, Genewa, Switzerland
www.humantrafficking.org

Vous aimerez peut-être aussi