Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
di
Sejumlah pengamat dan jurnalis internasional menganggap langkah negara-negara dan organisasi internasional
untuk menetapkan kebijakan tentang kejahatan human trafficking sebagai suatu bentuk sekuritisasi untuk
kejahatan tersebut tidak ada dan tidak cukup besar untuk direspon. Dalam praktiknya,
kejahatan tersebut nyata dan mengancam hak asasi warganegara. Selama tahun 2011 di
Asia Tenggara sendiri, mnurut laporan IOM, terdapat 860 kasus perlindungan terhadap
korban kejahatan ini.
Kesalahan paradigma yang kedua adalah cara pandang abai yang menilai
kejahatan human trafficking sebagai sebagai masalah temporer dan individual. Sebagian
negara telah secara tepat menetapkan human trafficking sebagai kejahatan transnasional
yang solid dan terorganisir. Masalah tersebut dipandang berakar pada persoalan
struktural yang terdapat di dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan hukum suatu
negara. Implikasinya, solusi permasalahan ini memerlukan peran negara agar lebih
terorganisir dan komprehensif. Namun sebaliknya, mengabaikan human trafficking
sebagai kejahatan transnasional akan cenderung menghindari paradigma tanggungjawab
negara terhadap masalah tersebut. Implikasinya, akan sulit mengharapkan munculnya
kebijakan negara yang mendukung upaya penanggulangan kejahatan tersebut2.
Strategi yang efektif harus mempertimbangkan sifat multidimensi pada setiap
aspek penanganannya; multilevel pada tingkat supply dan demand; serta kerjasama
internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. Strategi
multidimensi sangat diperlukan mengingat bahwa kejahatan human trafficking dapat
muncul dan berkembang dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum
tertentu sebagaimana dijelaskan pada bagian awal laporan ini. Beberapa faktor utama
yang dianggap berkontribusi pada kejahatan human trafficking adalah kemiskinan,
globalisasi, industri seks, lemahnya penegakan hukum (termasuk maraknya korupsi)
dan rendahnya tingkat pendidikan. Solusi yang efektif harus mampu mengatasi atau
sedikitnya mengurangi dampak dari faktor-faktor multidimensional tersebut.
Strategi multilevel juga sangat diperlukan mengingat kejahatan jenis ini tidak hanya
terjadi karena adanya supply dari kelompok masyarakat miskin dan terbelakang, akan
tetapi juga karena ada demand dari komunitas lainnya, yang didukung dengan jaringan
menggantikan agenda Perang Dingin yang menjadi kurang relevan setelah 1989. Lihat di antaranya Zbigniew
Dumienski (2012). Dumienski menilai bahwa persoalan sebenarnya bukan merupakan kejahatan transnasional,
melainkan perlindungan hukum dan penegakan hukum bagi migrasi ilegal. Ia cenderung menggunakan konsep
migrasi ilegal (illegal migration) daripada human trafficking atau trafficking in persons.
Wendy N. Duong, 2011. The Southeast Asian Story and Its Forgoten Prisoner of Conscience; Some Proposed
Measure to Combat Human Trafficking. Seattle Journal for Social Justice. Vol. 9, Issue 2: 687. Duong menilai
sejumlah negara tidak merasa bertanggung jawab terhadap upaya untuk menanggulangi kejahatan human
trafficking karena cara pandang yang cenderung abai terhadap kejahatan tersebut.
Lihat Diana Betz, 2009. Human trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy Implications, thesis master pada
Naval Postgraduate School, Monterey, California, hlm. 13. Menurut Betz, setiap negara harus menetapkan strategi
yang sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi yang mungkin tidak seragam. Salah satu contoh
perbedaan dapat dilihat mulai dari interpretasi terhadap konsep human trafficking. Ketidaksepakatan mengenai
konsep tersebut membuat kerjasama penanggulangannya sulit dilakukan.
7. Mengurangi supply dengan cara membuka lapangan kerja dan peluang berusaha;
8. Mengurangi supply dengan kampanye urgensi pendidikan anak bagi para orang tua.
Senada dengan itu, IOM merekomendasikan enam strategi untuk memberantas
human trafficking, terutama untuk perempuan. Strategi tersebut meliputi:
1) Kerjasama internasional. Kepentingan negara asal dengan negara penerima berbeda
dalam menanggulangi human trafficking;
2) Bantuan pembangunan (official development assistance) ditargetkan pada kelompok
yang rentan menjadi korban;
3) Kampanye anti-trafficking pada kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban;
4) Pengetatan kontrol perbatasan dan penetapan kebijakan anti-trafficking yang tegas;
5) Meningkatkan kinerja polisi di bidang ini dengan membentuk satuan khusus untuk
mengatasi human trafficking;
6) Meningkatkan kepedulian dan bantuan kepada para korban yang telah dieksploitasi.
Kebijakan Anti Human trafficking Versi Negara Maju: Belajar dari AS dan
Jerman
Di tingkat negara, strategi-strategi tersebut dikonstruksikan sebagai paradigma
yang disebut sebagai 3P Anti-trafficking Policy. Kebijakan anti-trafficking 3P tersebut
mencakup prevention, protection, dan prosecution. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan
Jerman merupakan dua negara yang di dalam laporan IOM dinilai telah berhasil
membuat dan mengimplementasikan kebijakan anti-trafficking yang tegas4.
Perbedaan antara kebijakan model AS dan Jerman ini dapat memberikan
gambaran tentang model ideal yang diterapkan di negara-negara industri maju. Dalam
indeks 3P5, Jerman mengalami penurunan nilai pada tahun 2010 dan 2011 karena
4
Christal Morehouse, 2009. Combating Human trafficking: Policy Gaps and Hidden Policy Agendas in the USA
and Germany, disertasi doktor pada Faculty of Philosophy, University of Berlin, hlm. 17. Morehouse memandang
bahwa kebijakan anti-trafficking AS dan Jerman dibayangi oleh agenda politik tersembunyi oleh pemerintah
masing-masing sehingga mengurangi efektifitasnya. Namun sejauh ini, kedua negara tersebut telah
mendemonstrasikan keberanian memformulasi dan mengimplementasi kebijakan yang lebih progresif dibandingkan
negara-negara lainnya.
Indeks 3P dikeluarkan oleh DIW Berlin (German Institute of Economic Research, sebuah lembaga riset terkemuka
di negara tersebut), Universitat Gottingen, yang bertujuan untuk mengevaluasi komitmen dan kesungguhan dalam
memerangi human trafficking. Publikasi Indeks tersebut dikeluarkan setiap tahun oleh DIW Berlin dan
kesungguhan dalam memerangi human trafficking. Publikasi Indeks tersebut dikeluarkan setiap tahun oleh DIW
Berlin.
Sistem hukum dan informasi yang kondusif bagi perang terhadap human
trafficking sejauh ini dipandang cukup maju. Kebijakan anti-trafficking di Jerman telah
diadopsi ke dalam kitab undang-undang hukum pidana nasional pada tahun 1992 dan
dilengkapi dengan undang-undang tentang human trafficking (2005), ketentuan migrasi
dari UE (2007) dan undang-undang prostitusi yang ditetapkan pada tahun 2002. Jerman
juga telah memiliki sistem informasi yang bisa diandalkan dan terintegrasi dari seluruh
kementerian dan badan-badan pemerintah yang terkait, sehingga data terkini tentang
pekerja migran dan pekerja seks dapat dimonitor. Data korban human trafficking, di sisi
lain, masih berdasarkan estimasi.
Kerjasama kelembagaan yang dibangun oleh Pemerintah Federal Jerman untuk
mengatasi human trafficking tidak hanya terbatas pada kerangka kerjasama antar negara
di tingkat regional melalui Uni Eropa. Selain kerjasama yang baik di tingkat UE,
sejumlah negara pengirim pekerja migran yang bukan anggota UE bekerjasama dengan
GTZ dan NGO yang juga menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Federal Jerman.
Paradigma anti-trafficking yang diterapkan oleh AS disebut sebagai 4P Antitrafficking Policy. Keempat P yang dimaksud mencakup Prevention, Protection,
Prosecution dan Partnership. Pada prinsipnya, paradigma 4P tidak memiliki
perbedaan signifikan dari 3P Index versi WDI Berlin. P yang keempat, yaitu
partnership ditambahkan oleh para pembuat kebijakan di AS untuk menekankan
perlunya negara tersebut menerapkan strategi kemitraan di dalam memerangi human
trafficking. Berbeda dengan Jerman, konteks kebijakan anti-trafficking AS adalah
kebijakan nasional dan bukannya di dalam kerangka kerjasama regional. Strategi
kemitraan merupakan pilar penting untuk meningkatkan efektifitas kebijakannya.
Melalui asistensi pembangunan di negara-negara berkembang yang diorganisir oleh
USAID, Pemerintah Federal AS membangun kemitraan dengan banyak negara,
organisasi internasional dan regional untuk mengurangi sisi supply dari kejahatan
human trafficking, maupun pengembangan komunitas internasional yang peduli dan
merespon positif perang terhadap kejahatan human trafficking.
juga untuk sisi supply. Berdasarkan laporan USAID, di masa mendatang, AS akan
meningkatkan upaya penanggulangan internal trafficking di dalam wilayah domestiknya
sendiri.
Model penanggulangan kejahatan human trafficking di AS dan Jerman
bukannya tanpa kritik. Morehouse (2009) menyoroti terdapatnya dua kelemahan utama
dari kebijakan anti-trafficking di kedua negara tersebut. Yang pertama adalah kelemahan
data. Pengembangan jaringan koordinasi antara lembaga pemerintah serta pembentukan
beberapa lembaga baru yang khusus dibentuk untuk menangani kejahatan human
trafficking tidak disertai dengan perbaikan data tentang korban dan pelaku kejahatan. Di
kedua negara, dan lebih parah di AS, metode perhitungan angka estimasi korban tidak
dapat dijelaskan secara metodologis. Angka estimasi yang dikeluarkan adalah angka
estimasi kasar yang tidak dapat dijamin ketepatannya. Yang kedua adalah terdapatnya
agenda politik tersembunyi (hidden agenda) di balik penetapan beberapa kebijakan
anti-trafficking. Agenda tersembunyi yang dimaksud adalah kebijakan tentang prostitusi
dan migrasi. Menurut Morehouse, AS dan Jerman mengunakan kebijakan antitrafficking sebagai justifikasi kebijakan pembatasan terhadap migrasi dan prostitusi.
Tujuan utama kebijakan anti-trafficking bukan untuk melindungi hak-hak asasi para
korban dan warganegara yang berpotensi menjadi korban, akan tetapi untuk melakukan
pembatasan terhadap prostitusi dan migrasi. Persoalan dari hidden agenda tersebut
adalah bahwa upaya penanggulangan kejahatan human trafficking tidak dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan serius.
Dalam praktiknya, korelasi antara strategi penanggulangan ini dengan
penurunan angka kejahatan human trafficking tidak pernah sungguh-sungguh
diperhatikan, apalagi dihitung. Perhitungan korelasi antara strategi penanggulangan
human trafficking dengan dinamika kejahatannya yang dilihat dari banyaknya korban,
tampaknya harus menjadi agenda riset lebih lanjut untuk menguji efektifitas strategi
tersebut.
ASEAN Way: Koreksi dan Eksekusi
Jika strategi penanggulangan human trafficking di AS dan Jerman dapat
dianggap sebagai model yang paling progresif, apakah akan efektif untuk diterapkan di
negara-negara ASEAN ?, jawabannya belum tentu iya.
Kriminalisasi human trafficking dengan definisi dan sanksi jelas. Perlu ada
kebijakan anti-trafficking sebagai payung hukum yang memuat secara rinci macammacam tindakan kriminal yang termasuk di dalamnya. Sanksi terhadap kejahatan
ini juga perlu dirinci dan diberlakukan dengan tegas.
2.
3.
4.
Perbaikan sistem administrasi tenaga kerja. Dengan sistem administrasi yang tertata
dengan baik, pengawasan terhadap pekerja migran ilegal dapat dilakukan dengan
lebih mudah. Pekerja migran yang tidak memiliki kelengkapan administrasi akan
dengan
mudah
terdeteksi.
Pembangunan
sistem
administrasi
ini
dapat
6.
7.
8.
9.
dikembangkan.
Partisipasi
aktif
masyarakat
sangat
penting
untuk
ASEAN
untuk
kerjasama
regional
antara
negara-negara
kerjasama
penegak
hukum
dan
peradilan.
ASEAN
perlu
mengembangkan format kerjasama regional yang paling cocok dan dapat diterima
oleh negara-negara anggotanya, yaitu suatu format kerjasama yang tetap
menjunjung tinggi kedaulatan negara namun efektif mengurangi kejahatan human
trafficking. Fokus dan lokus perang melawan kejahatan human trafficking di Asia
Tenggara mungkin harus tetap pada tingkat nasional dimana kewenangan negara
tidak terusik, namun kerjasama dan koordinasi di tingkat regional perlu
dikembangkan. Mekanisme perlindungan korban, penyidikan dan peradilan extrajurisdictional harus dapat disepakati dengan memperhatikan kedaulatan negara;
11. Meningkatkan kerjasama internasional dengan organisasi internasional, NGO dan
negara-negara yang berkepentingan terhadap penanggulangan human trafficking di
Asia Tenggara.
Untuk menekan angka human trafficking di Asia Tenggara maka sejatinya
sebelas strategi tersebut dapat dipertimbangkan dalam perumusan langkah perlawanan
terhadap human trafficking. Sejatinya, keberhasilan memerangi human trafficking bukan
saja berdampak positif terhadap penjaminan HAM dan keamanan, melainkan juga akan
memperbaiki kesejahteraan warga negara setiap negara anggota ASEAN. Jika langkahlangkah tersebut dapat dijadikan dasar perumusan kebijakan domestik dan kerjasama
regional maka bukan tidak mungkin mata rantai masalah human trafficking di Asia
Tenggara dapat diputuskan.
Daftar Pustaka
Betz, D., (2009), Human trafficking in Southeast Asia: Causes and Policy
Implications, Tesis jenjang master pada Naval Postgraduate School, Monterey,
California
Dumienski, Z, (2012), Myth and Reality of Human trafficking: A View from Southeast
Asia, Interdisciplinary Political Studies, Vol. 2, No. 1, Special Issue: 59-66
Duong, WN., (2011), The Southeast Asian Story and Its Forgotten Prisoner of
Conscience
Kidane, Won, (2011), Some Proposed Measure to Combat Human trafficking, Seattle
Journal for Social Justice, Vol. 9, Issue 2: 679-773
Morehouse, Christal, (2009), Combating Human trafficking: Policy Gaps and Hidden
Policy Agendas in the USA and Germany, disertasi doktor, Faculty of
Philosophy, University of Berlin
Refugee Studies Centre, (2006), People trafficking: upholding rights & understanding
vulnerabilities - special issue of Forced Migration Review, Department of
International Development, University of Oxford, United Kingdom
Warren, P., (2007), Human trafficking being debated in Annapolis, Retrieved
20070524
International Organization of Migration, (2005), Data and Research on Human
trafficking: A Global Survei, Genewa, Switzerland
www.humantrafficking.org