Vous êtes sur la page 1sur 12

AUTISM IS NOT A JOKE

Sudah saatnya persepsi masyarakat mengenai kata Autis


sebagai ejekan
perlahan-lahan sirna dari masyarakat

Jakarta, 29 Maret 2015 Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) hari ini mengadakan kegiatan FUN WALK serentak di 3 Kota besar
seperti Jakarta, Bandung, dan Solo guna mengkampanyekan kata Autis bukanlah sebagai bahan ejekan.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh MPATI dalam rangka memperingati Hari Autisme Sedunia yang jatuh setiap tanggal 2 April setiap tahunnya,
sebagai usaha kongkrit untuk memberikan kesetaraan hak kepada anak dengan autisme.
Setelah dicanangkan Jakarta Ramah Autisme pada April 2013 yang lalu oleh Bapak Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta, MPATI
berupaya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak dengan autisme di Indonesia.
Saya percaya bahwa kunci utama dari suksesnya penanganan anak Autis terletak pada diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat.
Tidak luput dukungan dari berbagai pihak justru merupakan harapan besar bagi orang tua dan guru dalam menangani anak penyandang autis.
Salah satunya adalah dengan tidak menggunakan kata Autis sebagai bahan ejekan Ujar Gayatri Pamoedji Pendiri dan Ketua MPATI sekaligus
orang tua dari anak dengan autisme.
Kegiatan Fun Walk 2015 Autism is Not a Joke menampilkan acara hiburan seperti musik, tarian tradisional, pameran lukisan yang merupakan
karya dari anak-anak autis berprestasi di Indonesia dan juga sharing session dengan para Pelopor dan Perintis MPATI yang telah berhasil
sosialisasi penanganan autisme.
Setiap tahunnya MPATI selalu antusias menyambut Hari Autisme Sedunia dengan mengadakan berbagai kegiatan-kegiatan positif yang turut
didukung oleh Pemprov DKI. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut mendukung ter-realisasinya acara ini
seperti, Lottemart, Rumah Zakat, Bank DKI, Nutrifood, Female Radio dan SCTV Ujar Ida Kadarusno Ketua Panitia Fun Walk Autism is Not
a Joke.

Sementara Director Marketing Lotte Retail Indonesia Engeline Tjia mengatakan LOTTE Mart memberi perhatian khusus terhadap penderita
Autis. Bentuk perhatian yang kami lakukan adalah dengan penyantuman resep dan foto di katalog LOTTE Mart bagi anak-anak dengan
Autisme, serta sosialisasi bersama narasumber yang dilakukan di dalam store, enam kali selama satu tahun, ungkap Engeline. Kegiatan yang
dilakukan bersama MPATI merupakan program LOTTE Mart dalam mendukung Indonesia Sehat.
Maraknya penggunaan kata Autis oleh beberapa pihak sebagai bahan ejekan, cemooh, bahkan sebuah lirik lagu dari salah satu grup musik
tanah air, merupakan hal-hal yang dapat dilupakan sejenak bagi orang normal, tapi bagi para keluarga anak Autis hal tersebut sangat
menyakitkan dan tidak mudah dilupakan. Kami berharap persepsi masyarakat mengenai Autis bukanlah hal yang lucu melainkan candaan yang
menyakitkan dan perlahan-lahan dapat sirna dari masyarakat tutup Lula Kamal Duta MPATI.
TENTANG MPATI
Didirikan pada tanggal 24 Juni 2004, (tahun 1998 dengan nama KOMPAS, Komunitas Masyarakat Peduli Autis dan ADHD), Masyarakat Peduli
Autis Indonesia (MPATI) merupakan yayasan nirlaba yang memfokuskan diri pada penyediaan informasi, alat pendidikan, pelatihan, dan
konseling mengenai isu autisme di Indonesia. MPATI berkeyakinan bahwa melalui melalui penanganan terpaduyaitu diagnosa akurat,
pendidikan tepat, dan dukungan kuatanak autis akan dapat memiliki masa depan yang lebih baik.

MPATI dimotori oleh para relawan dari berbagai latar belakang, sebagai konsultan ahli. MPATI bekerja sama dan mendapat bantuan dari para
profesional dan ahli Autisme di Australia dan Amerika. Semenjak didirikan, MPATI telah menerbitkan 1 poster deteksi dini, 1 buah video
panduan, 2 buku, 1 komik, serta menyelenggarakan berbagai seminar, workshop, dan kampanye kesadaran masyarakat di 15 provinsi di
Indonesia.
INFORMASI LEBIH LANJUT
MASYARAKAT PEDULI AUTIS INDONESIA (MPATI)
Gd. Hastacentra Lt.2
Jl. Raya Tanjung Barat No.7 Pasar Minggu, Jakarta 12510
Ph/Fax: 021.7815225 ext.237 / 021.7816441, 0813 8074 1898.
Email : yayasan_mpati@yahoo.com. Website : www.autismindonesia.org

Autismaze Ubah Persepsi Keliru tentang Anak Autis


KOMPAS.com - Persepsi keliru yang berkembang di masyarakat mengenai individu dengan
spektrum autisma atau orang awam biasa menyebutnya sebagai anak autis, membawa dampak
buruk bagi anak autis juga keluarga, terutama orangtuanya. Pemulihan anak autis menjadi
terkendala karena banyak orang yang tidak mengerti dan menerima keberadaan anak autis ini.
Meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh terkait keberadaan anak autis, rupanya pengertian
dan penerimaan terhadap anak autis masih rendah.
"Kesadaran tentang keberadaan anak autis sudah tumbuh, namun masyarakat belum mengerti
dan menerima anak autis yang memang sangat membingungkan dari proses berpikir dan
perilakunya," jelas Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan psikiater anak, dr Melly
Budhiman, SpJK, saat dihubungi Kompas Health, Kamis (26/9/2013).
Melly mengatakan penerimaan anak autis punya peran penting terhadap keberhasilan pemulihan
anak autis yang unik. Tanpa penerimaan dari lingkungannya, anak autis tidak memiliki
kepercayaan diri dan akan terus menjadi korban bullying serta masih mungkin mengalami
diskriminasi terutama di sekolah.
Rendahnya pengertian dan penerimaan terhadap anak autis juga berdampak pada orangtua
dengan anak autis. Orangtua sulit membawa anak autis untuk bisa beradaptasi dengan
lingkungannya, karena merasa khawatir atau bahkan malu, akibat tidak adanya pemahaman yang
baik dan kurangnya penerimaan dari masyarakat.
Menurut Melly, anak autis dan orangtuanya paling membutuhkan pengertian. Dan memang
butuh upaya lebih banyak untuk bisa membuat masyarakat mengerti kondisi individu dengan
gangguan spektrum autisma ini.
Meski begitu, penerimaan akan anak autis juga tak kalah penting. "Jika mereka merasa diterima,

dengan mendapatkan kesempatan sekolah atau main di taman bersama anak-anak lainnya, anak
autis tidak merasa minder. Penerimaan juga membantu anak autis untuk berkembang lebih baik.
Pemulihan autisma juga bisa lebih baik. Mereka menjadi lebih percaya diri, mau bergaul, dan
tidak lagi di-bully," terangnya.
Ia mengakui, kebanyakan anak autis mengalami bullying di sekolah. Mereka dianggap sakit dan
bisa menularkan penyakit kepada anak lainnya. Padahal, lanjutnya, anak autis tidak aneh dan
tidak sakit namun mengalami gangguan perkembangan. Anak autis bukan sakit jiwa tapi individu
ini memang unik. Mereka menunjukkan reaksi yang berbeda, bahkan ekstrem, terhadap hal-hal
dan situasi yang terkait dengan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan
pengecapan.
Melly menjelaskan, ada tiga gejala inti individu dengan ganguan spektrum autisma. Di
antaranya, gangguan komunikasi dua arah, kemungkinan lainnya ia bicara terus-menerus atau
bahkan tidak bisa bicara sama sekali; gangguan sosialisasi, tidak bisa bergaul atau menolak
bergaul, merasa nyaman dengan diri sendiri; dan perilaku yang menonjol, ia merasa memiliki
dunia sendiri, dan sering melakukan gerakan berulang.
"Setiap anak autis unik. Ada yang tidak mengalami gangguan namun ada juga yang mengalami
satu bahkan lebih gangguan ini. Gejala pada anak autis tidak ada yang sama," ungkapnya.
Autismaze
Harapannya, masyarakat bisa lebih mengerti dan menerima kondisi anak autis yang unik. Untuk
itulah, YAI menggelar kegiatan bertajuk Autismaze, sebagai salah satu bentuk kampanye peduli
autisma.
Berlangsung di Epicentrum Walk, Kuningan, pada 28-30 September 2013, YAI mendirikan
wahana labirin otak berukuran 255 meterpersegi yang juga diberi nama Autismaze. Melalui
wahana ini, Melly mengatakan, YAI ingin mendemonstrasikan kepada masyarakat umum
bagaimana keunikan anak autis.
"Wahana labirin otak ini bisa dikunjungi siapa saja, anak, remaja, dewasa. Idealnya, wahana ini
menampung lima orang," terangnya.
Labirin otak Autismaze ini akan mengajak pengunjung untuk lebih mengerti anak autis. Caranya,
setelah bertemu di zona pertama, anak autis akan menuntun pengunjung menelusuri tujuh zona
lainnya. Sejak awal memasuki Autismaze, pengunjung akan mendapatkan pengetahuan mengapa
anak autis itu unik. Dijelaskan bahwa tidak seperti orang normal, anak autis memiliki ambang
batas panca indera yang tidak seimbang, bisa terlalu tinggi (hypo) atau terlalu rendah (hyper).
Berbeda dengan manusia normal yang memiliki ambang batas panca indera seimbang sehingga
bisa mengontrol emosi dan mengekspresikannya dengan baik. Ketidakseimbangan ambang batas
panca indera inilah yang memicu tingkah laku unik anak autis.
Selanjutnya, pada zona di dalam labirin otak yang dibagi berdasarkan lima indera (pendengaran,
penglihatan, penciuman, peraba, pengecap), Autismaze menstimulasikan cara kerja otak anak

autisma. Harapannya, Anda akan lebih mengerti mengapa ada anak autis yang ketika melihat
cahaya merasa seperti serangan serbuan jarum ke matanya.
Anda juga akan lebih memahami, mengapa anak autis hypersensitif mendengar suara detik jam
seperti suara yang sangat keras dan mengganggunya. Atau mereka yang tergolong hypoaccoustic hanya bisa menangkap beberapa suara bahkan tidak bisa menangkap suara yang Anda
dengar.
Begitu pun dengan penciuman. Anda mungkin bisa mencium aroma mawar yang lembut dan
menyukainya. Namun pada beberapa anak autis, ia menyukai bunga mawar karena keindahannya
tapi tidak suka aroma yang menurut mereka terlalu menyengat.
Lain lagi dengan indera peraba dan pengecap. Pada beberapa anak autis, sentuhan lembut dari
Anda bisa menjadi hal yang paling tidak menyenangkan baginya. Anak autis, meski tidak semua
mengalaminya, juga bisa menjadi sangat pemilih terhadap makanan karena mengalami gangguan
pada indera perasanya.
Ia menambahkan, dengan pengertian dan penerimaan masyarakat terhadap anak autis, para
orangtua dengan anak autis pun akan merasakan manfaatnya.
"Sebenarnya orangtua yang paling berat posisinya. Kampanye semacam ini paling dibutuhkan
oleh para orangtua. Karena mereka sangat membutuhkan dukungan. Hanya dengan penerimaan,
anak-anak autis bisa terbantu untuk pulih supaya bisa menyusul perkembangan seperti anak lain
seusianya," terang Melly.
Penulis
Editor

: Wardah Fazriyati
: Wardah Fazriyati

http://health.kompas.com/read/2013/09/27/1745395/Autismaze.Ubah.Persepsi.Keliru.tentang
.Anak.Autis

Mengubah Persepsi Anak Autis Melalui


Autismaze
Meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh terkait keberadaan anak autis, rupanya
pengertian dan penerimaan terhadap anak autis masih rendah.
Persepsi keliru yang berkembang di masyarakat mengenai individu dengan spektrum autisma
atau orang awam biasa menyebutnya sebagai anak autis, membawa dampak buruk bagi anak
autis juga keluarga, terutama orangtuanya. Pemulihan anak autis menjadi terkendala karena
banyak orang yang tidak mengerti dan menerima keberadaan anak autis ini.
Meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh terkait keberadaan anak autis, rupanya pengertian
dan penerimaan terhadap anak autis masih rendah.
"Kesadaran tentang keberadaan anak autis sudah tumbuh, namun masyarakat belum mengerti

dan menerima anak autis yang memang sangat membingungkan dari proses berpikir dan
perilakunya," jelas Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan psikiater anak, dr Melly
Budhiman, SpJK, saat dihubungi Kompas Health, Kamis (26/9/2013).
Melly mengatakan penerimaan anak autis punya peran penting terhadap keberhasilan pemulihan
anak autis yang unik. Tanpa penerimaan dari lingkungannya, anak autis tidak memiliki
kepercayaan diri dan akan terus menjadi korban bullying serta masih mungkin mengalami
diskriminasi terutama di sekolah.
Rendahnya pengertian dan penerimaan terhadap anak autis juga berdampak pada orangtua
dengan anak autis. Orangtua sulit membawa anak autis untuk bisa beradaptasi dengan
lingkungannya, karena merasa khawatir atau bahkan malu, akibat tidak adanya pemahaman yang
baik dan kurangnya penerimaan dari masyarakat.
Menurut Melly, anak autis dan orangtuanya paling membutuhkan pengertian. Dan memang
butuh upaya lebih banyak untuk bisa membuat masyarakat mengerti kondisi individu dengan
gangguan spektrum autisma ini.
Meski begitu, penerimaan akan anak autis juga tak kalah penting. "Jika mereka merasa diterima,
dengan mendapatkan kesempatan sekolah atau main di taman bersama anak-anak lainnya, anak
autis tidak merasa minder. Penerimaan juga membantu anak autis untuk berkembang lebih baik.
Pemulihan autisma juga bisa lebih baik. Mereka menjadi lebih percaya diri, mau bergaul, dan
tidak lagi di-bully," terangnya.
Ia mengakui, kebanyakan anak autis mengalami bullying di sekolah. Mereka dianggap sakit dan
bisa menularkan penyakit kepada anak lainnya. Padahal, lanjutnya, anak autis tidak aneh dan
tidak sakit namun mengalami gangguan perkembangan. Anak autis bukan sakit jiwa tapi individu
ini memang unik. Mereka menunjukkan reaksi yang berbeda, bahkan ekstrem, terhadap hal-hal
dan situasi yang terkait dengan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan
pengecapan.
Melly menjelaskan, ada tiga gejala inti individu dengan ganguan spektrum autisma. Di
antaranya, gangguan komunikasi dua arah, kemungkinan lainnya ia bicara terus-menerus atau
bahkan tidak bisa bicara sama sekali; gangguan sosialisasi, tidak bisa bergaul atau menolak
bergaul, merasa nyaman dengan diri sendiri; dan perilaku yang menonjol, ia merasa memiliki
dunia sendiri, dan sering melakukan gerakan berulang.
"Setiap anak autis unik. Ada yang tidak mengalami gangguan namun ada juga yang mengalami
satu bahkan lebih gangguan ini. Gejala pada anak autis tidak ada yang sama," ungkapnya.
Autismaze
Harapannya, masyarakat bisa lebih mengerti dan menerima kondisi anak autis yang unik. Untuk
itulah, YAI menggelar kegiatan bertajuk Autismaze, sebagai salah satu bentuk kampanye peduli
autisma.
Berlangsung di Epicentrum Walk, Kuningan, pada 28-30 September 2013, YAI mendirikan

wahana labirin otak berukuran 255 meterpersegi yang juga diberi nama Autismaze. Melalui
wahana ini, Melly mengatakan, YAI ingin mendemonstrasikan kepada masyarakat umum
bagaimana keunikan anak autis.
"Wahana labirin otak ini bisa dikunjungi siapa saja, anak, remaja, dewasa. Idealnya, wahana ini
menampung lima orang," terangnya.
Labirin otak Autismaze ini akan mengajak pengunjung untuk lebih mengerti anak autis. Caranya,
setelah bertemu di zona pertama, anak autis akan menuntun pengunjung menelusuri tujuh zona
lainnya. Sejak awal memasuki Autismaze, pengunjung akan mendapatkan pengetahuan mengapa
anak autis itu unik. Dijelaskan bahwa tidak seperti orang normal, anak autis memiliki ambang
batas panca indera yang tidak seimbang, bisa terlalu tinggi (hypo) atau terlalu rendah (hyper).
Berbeda dengan manusia normal yang memiliki ambang batas panca indera seimbang sehingga
bisa mengontrol emosi dan mengekspresikannya dengan baik. Ketidakseimbangan ambang batas
panca indera inilah yang memicu tingkah laku unik anak autis.
Selanjutnya, pada zona di dalam labirin otak yang dibagi berdasarkan lima indera (pendengaran,
penglihatan, penciuman, peraba, pengecap), Autismaze menstimulasikan cara kerja otak anak
autisma. Harapannya, Anda akan lebih mengerti mengapa ada anak autis yang ketika melihat
cahaya merasa seperti serangan serbuan jarum ke matanya.
Anda juga akan lebih memahami, mengapa anak autis hypersensitif mendengar suara detik jam
seperti suara yang sangat keras dan mengganggunya. Atau mereka yang tergolong hypoaccoustic hanya bisa menangkap beberapa suara bahkan tidak bisa menangkap suara yang Anda
dengar.
Begitu pun dengan penciuman. Anda mungkin bisa mencium aroma mawar yang lembut dan
menyukainya. Namun pada beberapa anak autis, ia menyukai bunga mawar karena keindahannya
tapi tidak suka aroma yang menurut mereka terlalu menyengat.
Lain lagi dengan indera peraba dan pengecap. Pada beberapa anak autis, sentuhan lembut dari
Anda bisa menjadi hal yang paling tidak menyenangkan baginya. Anak autis, meski tidak semua
mengalaminya, juga bisa menjadi sangat pemilih terhadap makanan karena mengalami gangguan
pada indera perasanya.
Ia menambahkan, dengan pengertian dan penerimaan masyarakat terhadap anak autis, para
orangtua dengan anak autis pun akan merasakan manfaatnya.
"Sebenarnya orangtua yang paling berat posisinya. Kampanye semacam ini paling dibutuhkan
oleh para orangtua. Karena mereka sangat membutuhkan dukungan. Hanya dengan penerimaan,
anak-anak autis bisa terbantu untuk pulih supaya bisa menyusul perkembangan seperti anak lain
seusianya," terang Melly.
(Rosmha Widiyani/Kompas.com)
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/mengubah-persepsi-anak-autis-melalui-autismaze

Dilema Anak Autis


http://health.detik.com/read/2010/04/17/142018/1340191/763/dilema-anak-autis

Jakarta, Angka kejadian autisme di Indonesia terus meningkat dan sudah


mengkhawatirkan. Tapi hingga kini permasalahan anak autis masih sangat rumit
dan menjadi dilema bagi penyandangnya. Anak-anak yang memiliki gejala autis
sudah ada sejak zaman dahulu, tapi tak sedikit dari anak-anak ini yang
mendapatkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apa saja masalah autisme
yang ada di Indonesia?
Anak-anak yang memiliki gejala autisme sudah ada di Indonesia sekitar tahun 1990.
Awalnya penyakit ini sering dikira hanya penyakit orang kaya saja, padahal semua
orang dari berbagai ras, ekonomi sosial dan tingkatan pendidikan bisa terkena
autisme.
"Angka kejadian autisme di Indonesia cukup meningkat dan sudah
mengkhawatirkan. Tapi hingga kini di Indonesia permasalahan autisme masih
sangat rumit," ujar Dr Melly Budhiman, SpKJ dalam acara Expo Peduli Autisme 2010,
di Gedung Sucofindo, Jakarta, Sabtu (17/4/2010).
Lebih lanjut Dr Melly menuturkan ada 8 permasalahan autisme di Indonesia, yaitu:
1. Geografis Indonesia yang terlalu luas
Indonesia terdiri dari 17.000 pulau dan hanya sekitar 800 pulau yang berpenghuni.
Hal inilah yang menimbulkan kesulitan dalam menjangkau anak-anak autis di
daerah-daerah. Hingga kini diperkirakan anak autis di Indonesia bagian timur belum
tertangani dengan baik. Selain itu anak-anak autis yang berada di pulau lain hanya
sedikit yang bisa membawa anaknya ke Jakarta, sedangkan penanganan autisme
itu membutuhkan waktu jangka panjang.
"Karena besarnya luas Indoensia jadinya sulit untuk melakukan survei atau
pendataan mengenai penyandang autis di Indonesia," tambahnya.
2. Sulitnya penanganan autis di berbagai daerah
Banyaknya etnis yang ada di Indonesia juga terkadang menyebabkan adanya
persepsi yang berbeda-beda mengenai penanganan autisme. Pada daerah yang
memiliki kepercayan tinggi terhadap magis-mistis akan lebih percaya jika anaknya
ditangani oleh dukun. Sementara itu didaerah lain ada yang memasung anak autis
karena dianggap memiliki penyakit jiwa.
"Banyak dokter di daerah yang belum begitu mengerti mengenai autisme dan juga
tidak adanya pusat terapi di daerah-daerah atau pusat kesahatan yang menyulitkan

orangtua untuk melakukan penanganan lebih lanjut," ungkap dokter yang juga
menjadi Ketua Yayasan Autisma Indoneisa.
3. Kurangnya tenaga profesional
Anak-anak yang menunjukkan gejala autisme timbul dalam waktu yang cepat,
sehingga para praktisi kesehatan belum siap untuk mengimbanginya ditambah
dengan pengetahuan yang masih terbatas mengenai autisme. Dr Melly
mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang autisme semakin berkembang.
Hingga kini hanya ada sekitar 40 psikiater anak yang 50 persenya berada di Jakarta.
Selain itu banyaknya dokter yang belum mengerti tentang autisme serta kurangnya
tenaga profesional menyebabkan seringnya salah diagnosa seperti dikira anak
kurang stimulasi, mengalami gangguan bicara, ADHD atau keterbelakangan mental.
Akibatnya penanganan yang diberikan menjadi tidak tepat, sehingga perbaikan
gejala yang ada menjadi lebih lambat. Hal ini bisa membuat kondisi anak autis
menjadi lebih berat.
4. Pandangan masyarakat mengenai autisme
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengerti tentang autisme. Mereka
memiliki pandangan berbeda-beda terhadap anak autis, ada yang bilang bahwa
anak autis adalah anak nakal yang sulit diatur, anak keterbelakangan menta, sakit
jiwa atau kemasukan roh jahat. Selain itu tidak semua orangtua mau mengakui
kondisi anaknya, masih banyak yang menolak atau menyembunyikannya karena
merasa malu.
"Sayangnya banyak juga masyarakat atau lingkungan yang tidak mendukung usaha
dari orangtua anak autis. Tak jarang keluarga anak autis seringkali dijauhi karena
dianggap bisa menulari anaknya, atau anak autis sering diejek dan dijadikan bulanbulanan oleh teman sebayanya," tambahnya.
5. Terapi yang mahal
Kebanyakan pusat-pusat terapi hanya berada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya
serta sulitnya mendapatkan terapis yang benar-benar mengerti cara menangani
anak autis. Tak sedikit pusat terapi yang hanya bertujuan mencari uang saja dan
terapis tidak dibekali pengetahuan dan kemampuan yang cukup.
Penyebab autisme sangat kompleks, karenanya tidak ada satupun obat yang bisa
menyembuhkan autisme dengan cepat. Untuk memperbaiki gangguan yang ada
bisa memakan waktu lama bahkan hingga bertahun-tahun, karenanya tidak semua
kalangan bisa membayar terapi untuk anaknya.
6. Asuransi tidak menerima anak autis
Asuransi kesehatan memang gencar mempromosikan diri menawarkan jasanya, tapi
sulit sekali mencari asuransi yang mau menerima anak autis. Alasan yang sering
dikemukakannya adalah autisme "penyakit bawaan" yang tidak bisa disembuhkan.
Selain itu banyak kantor yang tidak mau menanggung pengobatan anak autis
karyawannya. Akibatnya penanganan untuk anak autis ini harus ditanggung sendiri

oleh orangtuanya.
7. Permasalahan di sekolah
Setelah melakukan berbagai terapi selama bertahun-tahun, maka anak-anak sudah
siap untuk masuk sekolah formal. Namun banyak orangtua yang bingung kemana
harus memasukkan anaknya, hampir sulit sekali mencari sekolah khusus untuk
anak autis. Sedikit sekali sekolah umum yang mau menerima anak berkebutuhan
khusus dan terkadang harus membayar lebih mahal.
"Tidak jarang keberadaan anak autis di sekolah diprotes oleh para orangtua temantemannya. Selain itu anak autis juga sering menjadi bahan ejekan oleh temantemannya, dan guru yang mengetahuinya kadang tidak melarang hal ini," ujar staf
psikiatri anak di RS MMC Kuningan.
8. Peran pemerintah masih minim
Peran pemerintah hingga kini masih minim dan belum bisa berbuat banyak untuk
anak-anak autis di Indonesia. Padahal jika anak-anak ini tidak tertangani dengan
benar akan membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang tidak bisa mandiri
dan tidak mampu menghidupi diri sendiri. Hal ini tentu saja akan menajdi beban
bagi keluarga maupun pemerintah.
"Masyarakat yang belum megerti perlu diberikan edukasi mengenai autisme,
sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, pelecehan ataupun bullying. Dan
dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk membantu anakanak autis," tambahnya.
(ver/ver)

Banyak Orang Anggap Autisme Sebagai


Penyakit
http://health.liputan6.com/read/550728/banyak-orang-anggap-autisme-sebagai-penyakit

Banyak orang yang belum paham benar apa itu autisme. Ini ditandai dengan
pandangan yang menyebutkan bahwa autisme itu penyakit. Bahkan ada
menyebutnya sebagai penyakit menular.
Dari wawancara yang dilakukan Liputan6.com dan ditulis Selasa (2/4/2013),
kepada sejumlah orang dari berbagai kalangan masyarakat kita tahu bahwa
setidaknya beberapa orang belum paham benar apa itu autisme.
Ambil contoh misalnya pandangan seorang pria usia 21 tahun bernama Amri. Buruh
pabrik ini mengaku tidak tahu sama sekali mengenai autisme. "Autis? Orang
gangguan jiwa, ya? Saya belum pernah dengar. Autis itu gangguan mental?"
katanya.

Ada lagi yang menyebut bahwa autisme sebagai keterbelakangan mental meski
tidak dianggap sebagai penyakit. Inilah pendapat Ervan, pria usia 25 tahun asal
Jakarta. "Autis itu keterbelakangan mental yang terjadi pada seseorang. Menurut
gue itu bukan penyakit, tetapi kekurangan hormon. Kalau penyakit 'kan, bisa
disembuhin, kalau itu kan ngga bisa disembuhin," ujarnya.
Suwito, pensiunan usia 50 tahun mengaku pernah membaca tentang autisme,
namun tidak pernah tahu rupa orang dengan autisme itu seperti apa.
Sementara Deny Wibisiono, ayah dua anak ini menjelaskan bahwa autis adalah
sindrom. Sindrom bawaan lahir. "Jadi semacam terlalu fokus pada sesuatu, dan
dunianya beda seperti orang pada umumnya. Dia selalu berada di dunia sendiri,"
kata pria bertubuh besar ini.
"Ada yang bilang itu penyakit, tapi menurut saya bukan. Tapi, cenderung memang
syndrome bawaan dari lahir," ujar Denny menambahkan.
Untuk seorang gadis belia berusia 21 tahun, Risna Yuli Yunawati,
autisme dibenaknya adalah anak kecil yang senang main-main dan tertawa sendiri.
Kalau main sendiri, anak tersebut tidak mau diganggu. "Autis itu penyakit.
Alasannya, karena bisa diobati. Yang bisa diobati kan penyakit. Bisa jadi
juga keturunan," ujarnya.
Adhitya Prawira Atmaja, pria usia 30 tahun ini menyebutkan bahwa autisme adalah
penyakit yang diderita seseorang dan bawaan lahir. Biasanya ada kelainan sisi
mental seseorang.
"Biasanya sih, bawaan dari lahir. Dan biasanya dari kecil sampai besar. Biasanya
ada yang menonjol dari orang penderita autis tersebut. Entah itu mudah mengapal,
lebih cerdas, dan lain-lain," kata Adhitya.
Adelline (22) juga menganggap autisme sebagai penyakit. "Penyakit turunan, dan
terus dia punya dunianya sendiri," ujar Adelline.
Seorang pekerja di bidang Media Sosial, Thia Soediro pun menganggap
autisme sebagai penyakit bawaan sejak lahir dan bentuk dari keterbelakangan
mental.
"Walau terbelakang mentalnya, mereka memiliki semangat tinggi yang sering
membuat kita terharu," kata Thia.
Bagi Sisil (25), autis itu seseorang yang bisa dibilang memiliki kelainan
genetik. Menurutunya, penyandang autisme memiliki energi lebih dibanding yang
lain sehingga gerak-gerik dan perilakunya cenderung aktif, bahkan hiperaktif.
"Mereka juga seolah memiliki dunianya sendiri," katanya.
Jawaban berbeda datang dari Isa (30). "Saya tahu autisme itu bukan penyakit, tapi

yang jelas, orang dengan autisme itu sama seperti kita. Kita sebagai orang yang
bisa dibilang jauh lebih beruntung mereka, tidak boleh membeda-bedakannya.
Mereka juga butuh perhatian dan kasih sayang dari kita," kata wiraswastawati yang
aktif dalam kegiatan sosial.
Sementara Ibnu Anshari (25 ) menyebutkan anak autis itu adalah anak yang
berkelakukan beda dibandingkan dengan anak yang lain. "Secara medis, saya akui
saya tidak tahu itu penyakit atau tidak. Yang jelas, mereka memiliki kelebihan lain
dari pada kita," ujar pekerja swasta ini. (Adt/Abd)

112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme


Rep: Fenny Melisa/ Red: Hazliansyah
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah


Setia mengatakan, diperkirakan terdapat 112.000 anak di Indonesia menyandang autisme, pada
rentang usia sekitar 5-19 tahun.
"Bila diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun
dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai 66.000.805 jiwa berdasarkan data
BPS tahun 2010 maka diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autisme pada
rentang usia 5-19 tahun," ujar Diah pada seminar "Diagnosis Akurat, Pendidikan Tepat dan
Dukungan Kuat untuk Menciptakan Masa Depan Anak Autis yang Lebih Baik" di Jakarta Selasa
(9/4).
Diah menuturkan, data anak yang menderita autis di berbagai belahan dunia menunjukkan angka
yang bervariasi. Berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang
penyandang autisme di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia mengidap
autisme.
"Penelitian Center for Disease Control (CDC) di Amerika pada tahun 2008 menyatakan bahwa
perbandingan autisme pada anak umur 8 tahun yang terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80.
Penelitian Hongkong Study pada tahun 2008 melaporkan tingkat kejadian autisme di Asia

prevalensinya mencapai 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun," jelas Diah.
Diah mengatakan autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dengan gejalanya
meliputi perbedaan dan ketidakmampuan dalam berbagai bidang seperti kemampuan
berkomunikasi, motorik, dan interaksi sosial. Faktor genetik, konsumsi obat, dan konsumsi
logam melalui makanan dapat menjadi penyebab anak menjadi autis.
"Bagi orangtua coba perhatikan kondisi anak pada golden period (1-5 tahun) apakah sudah bisa
bicara, cendrung bermain sendiri, tidak ada kontak mata atau emosi, atau apakah ada
keterlambatan tumbuh kembang anak anak lainnya. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, maka
kemungkinan menyandang autisme," kata Diah.

Vous aimerez peut-être aussi