Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Achmad Zahriar Badarudin Syam
140070300011129
LAPORAN PENDAHULUAN
Konsep Dasar CKD
A. Definisi
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan. Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel berikut:
Batasan penyakit ginjal kronik
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Price, S.A. & Wilson, 2003)
Deskripsi
Risiko meningkat
2
3
4
5
LFG (mL/menit/1.73 m)
90 dengan faktor risiko
90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialisis
B. Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut (Price, 2002), adalah :
1. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa
memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi
dalam dua kategori besar : Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis,
sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis
akut). Sistitis kronik dan pielonepritis kronik adalah penyebab utama gagal
ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2. Penyakit peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh
glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi
kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Nefrosklerosis hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi
atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan
air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin.
4. Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit
herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir
kimia
Gagal ginjal akut tipe renal disebabkan oleh adanya batu ginjal yang
mengganggu filtrasi cairan di ginjal. Adanya batu ginjal yang tidak
ditatalaksanakan dengan baik, pada akhirnya akan dapat menyebabkan
terjadinya gagal ginjal akut, bahkan juga kronik. Etiologi:
GNA, nefrosklerosis, Nefritis interstitialis, Nekrosis tubuler akut, Nekrosis
kortikal akut, Sindrom uremik.
3. Post Renal (obstruksi aliran urin)
Gagal ginjal tipe post renal disebabkan oleh adanya sumbatan pada
saluran-saluran yang keluar dari ginjal, seperti adanya batu di ureter,
terjadinya pembesaran prostat atau adanya tumor di kandung kemih, dan
sebagainya. Terjadinya sumbatan tersebut akan menyebabkan turunnya
fungsi pembuangan cairan oleh ginjal. Etiologi:
a. Obstruktif:
1) saluran kencing: batu, pembekuan darah, tumor, kristal, dll
2) tubuli ginjal: kristal pigmen, protein (mieloma)
b. Ekstravasasi
C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit
ginjal dalam keluarga (Brunner & Suddarth, 2002).
D. Patofisiologi
Pada GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk
akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga
tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia
maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens
kreatinin akan menurun sehingga kreatinin akan meningkat. Kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya juga meningkat. Ginjal juga tidak mampu
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin
kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa
hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis
dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal
kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal
ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost
5. Kelainan selaput serosa
:
:
:
:
:
Pernafasan
Gastrointestinal
:
:
Kemih
Reproduksi
Saraf
Tulang
Sendi
:
:
:
:
Hematologi
mudah
mengalami
F. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus
(Brunner & Suddarth, 2002).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
GGK,
perjalanan
penyakit
termasuk
semua
faktor
yang
dapat
penurunan
faal
ginjal,
hemopoiesis,
elektrolit,
H. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau
serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
kompartemen
darahnya
adalah
kapiler-kapiler
selaput
dialisa
yang
dilakukan
diluar
tubuh
dengan
(biasanya
dapat
diantisipasi)
terutama
Pengkajian
1.
2.
Sirkulasi
Riwayat
hipertensi
lama
atau
berat,
palpitasi,
nyeri
dada
Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4.
Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat
warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5.
Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi,
anoreksia,
mual,
muntah,
rasa
logam
pada
mulut,
asites
Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
koma
7.
Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8.
Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal
Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9.
Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi),
petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM
terbatas
10.
Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11.
Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)
B.
Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kompensasi paru.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine,
masukan cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan renal berhubungan dengan kerusakan
nefron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai oksigen ke perifer.
5. Nyeri akut berhubungan dengan penurunan suplai darah ke otak.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet.
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan uremia dan penurunan
turgor kulit.
8. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan fleksibelitas
nefron.
9. Konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas fisik dan intake
nutrisi.
10. Perubahan citra tubuh berhubungan dengan perubahan tubuh sekunder
proses penyakit (edema).
11. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit.
12. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan kurangnya informasi.
C.
Rencana Keperawatan
1.
2.
3.
dengan
respon
psikologi
5.
pasien.
b. Berikan tindakan kenyamanan.
c. Dukung pasien menerima realita
d. Bantu pasien mengidentifikasi perilaku membantu.
Gangguan rasa nyaman : pusing berhubungan dengan
sirkulasi (Carpenito,1997)
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
a. Observasi keadaan umum pasien.
b. Monitor tanda tanda vital.
c. Anjurkan pasien tidur tanpa bantal.
6.
dengan
8.
9.
10.
11.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M.Jakarta: EGC; 2000
Mansjoer, Arif (2000) . Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculspius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 2003 Ralp
& Rosenberg. 2003. Nursing Diagnosis: Definition & classification 20052006. Philadelphia USA
Soeparman, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
TMP =
Pbi : Tekanan di blood inlet
Pdi : Tekanan di dialisat inle
Pbo : Tekanan di blood outle
Pdo : Tekanan di dialisat outlet
KUF (koefisien ultra filtrasi) dalam ml/jam /mmHg merupakan
karakteristik dari dializer yang menyatakan kemampuan atau koefisien
untuk mengeluarkan air dan luas permukaan dializer.
3. Proses Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan tekanan gradient
dengan kata lain air bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi (tubuh
pasien) ke tempat yang lebih rendah (cairan dialisat).
C. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga
dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut
dibawah :
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
2. K serum > 6 mEq/L
3. Ureum darah > 200 mg/Dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
6. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak
tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5%
dialisis), sakit tulang belakang (2-5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis)
dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius
Sedangkan
hemodialisa
adalah
menurut
tidak
PERNEFRI
mungkin
(2003)
didapatkan
kontraindikasi
akses
vaskuler
dari
pada
b. Air, Jumlah air yang dibutuhkan untuk 1 kali HD + 150 liter selama
5 jam HD. Kualitas air yang dibutuhkan harus memenuhi standar
untuk proses HD yang sudah diolah melalui pengolahan air (water
treatment).
3. Dializer
Membrane semi permeable adalah suatu selaput atau lapisan yang sangat
tipis dan mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana partikel
dengan BM kecil & sedang (small dan middle molekuler) dapat melewati
pori membrane, sedangkan partikel dengan BM besar (large molekuler)
tidak dapat melalui pori membrane tersebut.
Dializer merupakan suatu tabung yang terdiri dari 2 ruangan (2
kompartemen) yang dipisahkan oleh selaput semi permeable. Darah
mengalir di 1 sisi membrane dan dialisat pada membrane lainya. Di dalam
dializer ini terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Material membrane :
a.
b.
c.
d.
Cellulose
Subtitusi cellulose
Cellulosynthetic
Synthetic
klirens
dan
ultrafiltrasinya.
g. Harga
Pada mulanya HD dilakukan dengan menggunakan membrane yang
mempunyai klirens dan ultrafiltrasi yang rendah yang memerlukan waktu
sampai 6 jam untuk mendialisis pasien. Kemajuan biomaterial dializer
memungkinkan dialysis lebih pendek lagi (4 jam) dalam 3 kali seminggu.
Preskripsi Hemodialisis
E. Asesoris Peralatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
selaput
Semipermeabel.
Proses
pemisahan
ini
dibersihkan
yang
dari
berfungsi
zat-zat
sebagai
racun
ginjal
melalui
buatan
proses
untuk
difusi
dan
kedalam
kompartemen
dialisat
setiap
saat
bila
darah
dan
dialisat.
Sedangkan
tusukan
vaskuler
dan
selanjutnya
kembali
lagi
ketubuh
penderita.
sebuah
menyaring
saringan
sampah
khusus
metabolisme
(Dialiser)
yang
berfungsi
dan
yang
berlebih.
air
sampah
dan
air
serta
garam
berlebih
akan
urutan
dari
mulai
500-1500
ml/min.
KoA
yang
1. Menyiapkan Mesin HD
a.
Mesin Hemodialisa
Listrik
Air yang diolah / dimurnikan dengan cara :
filtrasi
softening
deionisai
reverense osmosis
Saluran pembuangan cairan (drainage)
b.
rinse
dialyse.
Sirkulat Dialisat
Pencampuran Dialisat yaitu dialysat yang pekat dan air yang sudah di
olah, di campur secara otomatis konstan selama HD oleh pompa
proportioning dengan perbandingan campuran : Dialisat pekat : Air = 1
: 34. Campuran ini di pompakan sekali saja kompartemen dialisit,
kemudian di buang.
Komposisi dialisat
-
Natrium
Kalium
= 0 4,0 meg / 1
Calsium
Magnesium
Khlorida
= 98 112 meg / 1
= 33 25 meg / 1.
Dextrose
= 2500 mg / 1
2. Sirkulasi
1. Dialiser ( ginjal buatan)
Paralel Plate
Coil.
Sediaan dialiser :
4.
5. Pasang VBL dan bubble trap (perangkap udara) dengan posisi tegak
(vertical).
6. dengan teknik aseptic, buka penutup ( pelindung yang terdapat di
ujung ABL dan tempatkan pada dialiser) (inlet) . Demikian juga
dengan VBL.
7. Hubungkan
Untuk mengeluarkan
Temperatur dialisat
Konduktifitas
Aliran (flow)
Monitor tekanan
3. Memulai HD
Persiapan pasien
-
Perlengkapan
1. Jarum punksi :
Jarum
dengan
katheter
(IV
Catheter
G.16,15,14) 1 1 inchi.
2. NaCL (untuk pengenceran)
3. Heparin injeksi
4. Anestesi local (lidocain, procain)
5. Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc.
6. Kassa
7. Desinfektan (alcohol bethadin)
8. Klem arteri (mosquito) 2 buah.
9. Klem desimfektam
10. Bak kecil + mangkuk kecil
11. Duk (biasa,split, bolong)
12. Sarung tangan
13. Plester
14. pengalas karet atau plastik
15. Wadah pengukur cairan
16. botol pemeriksa darah
Persiapan
1. Tentukan tempat punksi atau periksa tempat shut
atau katheter di pasang dan di buka balutan.
2. Alas dengan pengalas karet / plastik.
3. Atur posisi
4. Kumpulkan peralatan dan dekatkan ke pasien
5. Siapkan heparin injeksi
Prosedur
darah
untuk
pemeriksaan
lab
(bila
diperlukan)
6. Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan
NaCL (dosis awal)
7. Fiksasi dan tempat punksi di tutup kasa.
Shunt (Scribner)
1.
2.
3.
Klem
kedua
kanula
(arteri
dan
5.
6.
7.
8.
9.
Punksi femoral
1.
2.
3.
4.
Ambil
darah
untuk
6.
7.
8.
9.
Fiksasi.
Darah
dialirkan
kedalam
sirkulasi
dengan
VBL
disuci
hamakan,
kemudian
II. MASALAH
Programkan HD.
Rapikan peralatan.
MEKANIS
SELAMA
HEMODIALISIS
DAN
PENATALAKSANAANNYA
1. Masalah / Komplikasi yang berhubungan dengan pasien
a. Gangguan keseimbangan cairan.
(1) Hypervolemia (Fluid over load)
Tanda dan Gejala :
Oedema.
Hipertensi
Penatalaksanaan :
Hipotensi
Mulut dan lidah kering , kadang kadang suara serak atau parau.
Penatalaksanaan
(1) Hiperkalemia
Tanda dan gejala :
Gelisah
Lemas
Penatalaksanaan :
HD tanpa kalium
(2) Hipokalemia
Tanda dan gejala :
Penatalaksanaan :
(Vasopresor)
(C) Hipertensi Akut
Tanda dan Gejala :
Penatalaksanaan :
Mengeluh kedinginan
Penatalaksanaan :
Mengeluh mual
Penatalaksanaan :
Berikan Oksigen
Berikan ISN
Pijat
(i) Anemia
Penatalaksaan :
Memeriksa Hb dan Ht
Makan cukup
(J) Kejang
Penyebab : Hipertensi berat, emboli udara, Disequlibrium yang berat
Penatalaksanaan :
Berikan oksigen.
Penatalaksanaan :
o Posisi trendelenberg
o Berbaring kesisi kiri badan
o QB dan TMP diturunkan.
o
Berikan Oksigen.
Spesis (darah) karena shunt dan fistula yang terinfeksi atau dialiser
dan AVBL, atau mesin yang terkontaminasi
Suhu tinggi
Penatalaksanaan :
Antibiotika
Pencegahan
(m) Hepatitis
Penyebab :
Transfusi
Kontak peorangan
HbSAg +
Penatalaksanaan :
Istirahat dan gizi yang baik SERTA ISOLASI
Pencegahan :
Polikistik Ginjal
A. Pengertian
Kista ginjal adalah suatu rongga yang berisi cairan dengan lapisan epitelial. Kista
ginjal dapat disebabkan oleh anomali kongenital ataupun kelainan yang didapat.
Pada ginjal bisa terdapat satu atau banyak kista yang tersebar, baik hanya pada
satu ginjal maupun kedua ginjal, baik pada korteks maupun pada medula. Kista
ginjal dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu (1) ginjal multikistik displatik, (2)
ginjal polikistik, dan (3) kista ginjal soliter. Diantara bentuk-bentuk kista ginjal
ini, ginjal polikistik adalah paling fulminant yang berkembang secara progresif
menuju kerusakan kedua buah ginjal.
Penyakit ginjal polikistik adalah suatu penyakit keturunan dimana pada kedua
ginjal ditemukan banyak kista, ginjal menjadi lebih besar tetapi fungsi ginjal
semakin menurun. Karakteristik penyakit ginjal polikistik yaitu terdapatnya
multipel kista pada kedua ginjal. Penyakit ini juga dapat menyebar dan merusak
hati, pankreas, dan dalam bentuk yang jarang pada jantung dan otak.
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal
normal akibat penekanan. Ginjal dapat membesar (kadang-kadang sebesar sepatu
bola) dan terisi oleh sekelompok kista-kista yang menyerupai anggur. Kista-kista
ini terisi oleh cairan jernih atau hemoragik.
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kistakista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla. Selain
oleh karena kelainan genetic, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit.
B. klasifikasi
1. Penyakit Ginjal Polikistik Dominan Autosomal (Dewasa)
Penyakit ginjal polikistik dewasa (PGPD) ditandai dengan kista membesar
di kedua ginjal yang akhirnya merusak parenkim sekitar. Penyakit ini ditemukan
pada sekitar 1 dari 500 sampai 1000 orang dan menyebabkan 10% kasus gagal
ginjal kronis. Secara genetis, penyakit ini bersifat heterogen. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh pewarisan paling sedikit dua gen dominan autosomal dengan
penetrasi tinggi. Pada 90% keluarga PKD1 (gen defektif), terletak di lengan
pendek kromosom 16. Gen ini mengkode sebuah protein besar (4kD) dan
kompleks, melekat ke membran, terutama ekstrasel, dan disebut polikistin-1.
Molekul polikistin memiliki regio homologi dengan protein yang diketahui
berperan dalam perlekatan sel ke sel atau sel ke matrik (misal, domain mirip-
lektin, domain mirip-fibronektin. Saat ini belum diketahui bagaimana mutasi pada
protein tersebut menyebabkan terbentuknya kista, tetapi diperkirakan gangguan
pada
interaksi
sel-matriks
menyebabkan
gangguan
pada
pertumbuhan,
diferensiasi, dan pembentukan matriks oleh sel epitel tubulus dan menyebabkan
terbentuknya kista. Menarik dicatat bahwa walaupun mutasi sel germinativum gen
PKD1 terdapat di semua sel tubulus ginjal pasien, kista terbentuk hanya di
sebagian tubulus.
Hal ini dijelaskan dengan kenyataan bahwa untuk terbentuknya kista
kedua alel PKD1 harus lenyap. Oleh karena itu, seperti pada gen penekan tumor,
diperlukan pukulan (mutasi) somatik kedua agar penyakit muncul. Gen PKD2,
yang berperan pada 10% kasus, terletak di kromosom 4 dan mengkode polikistin2, suatu protein dengan 968 asam amino. Walaupun secara struktur berbeda,
polikistin 1 dan 2 diperkirakan bekerja sama dengan membentuk heterodimer.
Oleh karena itu mutasi di salah satu gen menimbulkan fenotipe yang sama.
C. Etiologi
Banyak teori mengenai terjadinya kista. Antara lain; kegagalan
menyatukan nefron dengan duktus kolekting (saluran pengumpul), kegagalan
involusi dan pembentukan kista oleh nefron generasi pertama, defek pada tubular
basement membrane, obstruksi nefron oleh karena proliferasi sel epitel papilla.
Ada pula yang beranggapan bahwa perubahan metabolism menghasilkan suatu
bahan kimia yang akan merangsang terjadinya kista.
D. Patofisiologi
Penyakit ginjal polikistik pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan
gejala sampai dekade keempat, saat mana ginjal telah cukup besar. Keluhan pasien
tersering adalah nyeri pinggang atau paling tidak sensasi berat. Peregangan akut
kista, baik akibat perdarahan intrakista atau obstruksi, dapat menyebabkan nyeri
hebat. Kadang-kadang perhatian pertama kali timbul oleh terabanya suatu massa
abdomen. Hematuria makroskopik intermiten sering terjadi. Penyulit terpenting,
karena efek buruknya pada fungsi ginjal yang sudah kritis, adalah hipertensi dan
infeksi saluran kemih. Hipertensi dengan derajat bervariasi terjadi pada sekitar
75% pasien. Aneurisma sakular sirkulus Willisi terdapat pada 10% sampai 30%
pasien, dan para pasien ini berisiko tinggi mengalami perdarahan subaraknoid.
Kista hati asimtomatik terjadi pada sepertiga pasien.
Walaupun penyakit ini akhirnya mematikan, prognosis umumnya lebih
baik daripada sebagian besar penyakit ginjal kronis. Penyakit cenderung relatif
stabil dan berkembang sangat lambat. Gagal ginjal stadium akhir terjadi pada usia
sekitar 50 tahun, tetapi perjalanan penyakit ini sangat bervariasi, dan pernah
dilaporkan pasien dengan rentang usia yang normal. Mereka yang mengalami
gagal ginjal diterapi dengan transplantasi ginjal. Kematian biasanya disebabkan
oleh uremia atau penyulit hipertensi.
E. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal polikistik pada dewasa atau penyakit ginjal polikistik
dominan autosomal tidak menimbulkan gejala hingga dekade keempat, saat
dimana ginjal telah cukup membesar. Gejala yang ditimbulkan adalah :
Nyeri
Nyeri yang dirasakan tumpul di daerah lumbar namun kadang-kadang
jugadirasakan nyeri yang sangat hebat, ini merupakan tanda terjadinya iritasi
didaerah peritoneal yang diakibatkan oleh kista yang ruptur. Jika nyeri yang
polikistik Ginjal dirasakan terjadi secara konstan maka itu adalah tanda dari
perbesaran satuatau lebih kista.
Hematuria
Hematuria adalah gejala selanjutnya yang terjadi pada polikistik.
Gross Hematuria
Terjadi ketika kista yang rupture masuk kedalam pelvis ginjal. Hematuria
mikroskopi
lebih
sering
danmerupakan peringatan
terjadi
disbanding
terhadap
gross
hematuria
kemungkinan
F. Patologi
Kedua ginjal sangat membesar dan secara makroskopis menampakkan banyak
sekali kista di seluruh korteks dan medula. Pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan bahwa "kista-kista" merupakan dilatasi duktus kolektivus.
Interstitium dan sisa tubutus mungkin normal pada saat lahir, tetapi perkembangan
fibrosis inierstisial dan atrofi tubulus dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Sebagian besar penderita juga mempunyai kista di dalam hati. Pada kasuskasus yang berat, kista dalam hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi
porta, dan kematian karena varises esofagus. Apabila keparahan manifestasi butt
melebihi keparahan manifestasi keterlibatan ginjal, gangguannya disebut fibrosis
hati kongenital. Apakah penyakit polikistik infantil dan fibrosis ban kongenital
merupakan ujung spektrum dari sebuah gangguan tunggal yang berlawanan atau
gangguan autosom resesif tersendiri dengan manifestasi yang serupa, masih harus
tetap ditentukan.
G. Manifestasi Klinis
Penderita yang khas mempunyai massa pinggang bilateral pada saat lahir.
Gangguan ini dapat dihubungkan dengan oligohidramnion, karena janin tidak
menghasilkan urin yang cukup. Oligohidramnion dapat mengakibatkan sindrom
Potter (hidung pesek, dagu berceruk, lipatan epikantus, telinga terletak abnormal
rendah, kelainan tungkai), sebagai akibat kompresi janin, dan hipoplasia paru.
Hipoplasia paru dapat menyebabkan kegawatan pernapasan neonatus, dengan
pneumotoraks spontan. Hubungan antara gangguan perkembangan paru dan ginjal
cukup sering untuk membenarkan pemeriksaan ultrasonografi ginjal pada semua
neonatus yang menderita pneumotoraks spontan. Hematuria makroskopis atau
mikroskopis dan hipertensi (yang mungkin berat) lazim ada. Fungsi ginjal dapat
normal atau menurun, tergantung pada beratnya malformasi ginjal. Jarang,
penderita sesudah masa bayi baru pertama kali datang dengan keadaan sepertidiabetes insipidus nefrogenik, insufisiensi ginjal atau hipertensi.
H. Prognosis
Anak dengan pembesaran ginjal yang berat dapat meninggal pada masa
neonatus karena insufisiensi paru atau ginjal. Anak-anak yang mampu bertahan
dapat hidup selama beberapa tahun sebelum terjadi insufisiensi ginjal. Selama
masa ini, ukuran ginjal mengkerut dan hipertensi menjadi kurang berat. Bila
terjadi gagal ginjal, dialisis dan transplantasi ginjal harus dipertimbangkan. Pada
penderita yang sedang menderita fibrosis hati, sirosis dapat mengakibatkan
hipertensi portal, karenanya prognosisnya jelek.
I. Penatalaksanaan
Pengobatannya pada penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD)
dan penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) adalah bersifat
suportif yang mencakup manajemen hipertensi yang cermat (Nelson, 2000). Pada
buku lain menyebutkan bahwa pengobatan yang sesuai untuk ARPKD dan
ADPKD yang berkembang menjadi gagal ginjal adalah dialysis dan transplantasi
ginjal dan pada ADPKD pengobatan bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
memelihara fungsi ginjal seperti terapi pada pengendalian hipertensi dan infeksi
saluran kemih (Price dan Wilson, 2005).
J. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ginjal dapat ditemukan beberapa hal yaitu :
Inspeksi
Terlihat pembesaran atau adanya massa pada pinggang baik bilateral atau
unilateral.
Palpasi
Saat melakukan palpasi bimanual maka akan teraba ginjal dengan
permukaan yang tidak rata.
Nyeri ketok ginjal
Terdapat rasa nyeri ketika dilakukan nyeri ketok ginjal pada sudut
kostovetebralis.
K. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu dalam
menegagkan diagnosis adalah :
Ultrasonografi ginjal
yang
memiliki tujuan untuk mengetahui ukuran dari ginjal dankista. Selain itu juga
dapat terlihat gambaran dari cairan yang terdapat dalam cavitas karena pantulan
yang ditimbulkan oleh cairan yang mengisi kista akan memberi tampilan berupa
struktur yang padat. Ultrasonografi ginjal dapat juga digunakan untuk melakukan
screening terhadap keturunan dan anggota keluarga yang lebih mudah untuk
memastikan apakah ada atau tidaknya kista ginjal yang gejalanya tidak terlihat
(asymptomatic) (Gearhart dan Baker, 2001).
MRI
Etic resonance imaging (MRI) lebih sensitif dan dapat mengidentifikasi polikistik
ginjal yang memiliki ukuran diameter 3 mm (Grantham, 2008). MRI dilakukan
untuk
melakukan
screening
pada
pasien
polikistik
ginjal
autosomal
Computed tomography
Biopsi
Biopsi ginjal ini tidak dilakukan seecara rutin dan dilakukan jika diagnosis tidak
dapat ditegagkan dengan pencitraan yang telah dilakukan (Gearhart dan Baker,
2001).
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler
Dengan Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK Magelang
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Nanda. 2005. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT
Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika