Vous êtes sur la page 1sur 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit Lupus ini adalah
Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Istilah Lupus berasal dari bahasa latin yang
berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa Yunani
berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di
sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit
ini diberi nama Lupus.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak
sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang
penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap
tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat.
Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah
terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit
auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target
organ atau sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus biasanya
menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus dan sebagian tubuh
lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular. Terkadang kita
meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi
kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap
sinar matahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah faktor
lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Oleh
1

karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita memakai sun block atau sun screen
(pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh
karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh
utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:
1. Apa pengertian dari penyakit Lupus?
2. Bagaimana epidemiologi pada penyakit Lupus?
3. Bagaimana etiologi pada penyakit Lupus ?
4. Bagaimana klasifikasi pada penyakit Lupus ?
5. Bagaimana patofisiologi pada penyakit Lupus ?
6. Bagaimana kriteria SLE ?
7. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit Lupus?
8. Bagaimana cara pemeriksaan laboratorium ?
9. Apa tujuan pengobatan SLE ?
10. Bagaimana cara Asuhan keperawatan SLE?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus
antara lain:
1. Menjelaskan pengertian dari penyakit Lupus
2. Menjelaskan bagaimana epidemiologi pada penyakit Lupus
3. Menjelaskan bagaimana etiologi pada penyakit Lupus
4. Menjelaskan bagaimana klasifikasi pada penyakit Lupus
5. Menjelaskan bagaimana patofisiologi pada penyakit Lupus
2

6. Menjelaskan bagaimana kriteria SLE


7. Menjelaskan bagaimana manifestasi klinis pada penyakit Lupus
8. Menjelaskan bagaimana cara pemeriksaan laboratorium
9. menjelaskan tujuan pengobatan SLE
10.menjelaskan bagaimana cara Asuhan keperawatan SLE?

BAB II
ISI
2.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit
SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ
yang terlibat.
2.2 Epidemologi
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400
orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras
tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1
kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :
1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika
mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang
ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai
prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di
RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain.
4

2.3 Etiologi
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1.Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE
adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit
ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)kelas II
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit AntigenDR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2.Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor
yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi immunoglobulin dan autoantibodi menjadi
tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3.Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4.Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus(EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu
ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan
isoniazid.

Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit
SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE
juga.
Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.

SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan
degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda
asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)

Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi
sel B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al,
2000)
6

2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang
menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini
timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini
dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn,
2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang
kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal,
hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan
(Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah
pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).
2.5 Patofisiologi

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa
faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu :
1. Fase Inisiasi
Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang
sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
2. Fase Propagasi
Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalammenyebabkan
cedera

jaringan.

Autoantibodi

pada

lupus

dapat

menyebabkan

cedera jaringan dengan cara:


a. Pembentukan dan generasi kompleks imun
b. Berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi
efektor inflamasi di tempat tersebut, dan
c. Secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan

atau penetrasi ke sel hidup.


3. Fase puncak (flares).
Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi
selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk
SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
2.6 Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai
selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1.
Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2.
Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat
yang dapat memicu ANAsebelumnya
8

3.
Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas, datar,
atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4.
Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5.
Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6.
Salah satu Kelainan darah;

anemia hemolitik,

Leukosit < 4000/mm,

Limfosit<1500/mm,

Trombosit <100.000/mm
7.
Salah satu Kelainan Ginjal;

Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel
darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8.
Salah satu Serositis :

Pleuritis,

Perikarditis
9.
Salah satu kelainan Neurologis;

Konvulsi / kejang,

Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi

Sel LE+

Anti dsDNA diatas titer normal

Anti Sm (Smith) diatas titer normal

Tes serologi sifilis positif palsu

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi,
nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupukupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin
disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
9

disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium
dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus,
jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE.
Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom
nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE
yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal,
yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis
penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya
tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit
yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain
yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal
dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE
kronik.
8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
2.8 Pemeriksaan Laboratorium
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada
penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
10

yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).


Anti ss-DNA kurang sensitif
dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks
antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum
tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes
serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA
dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA
(Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan
C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin
kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.9 Tujuan Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan
efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi
klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung
dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan
terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga
juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet
yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan
pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat
11

menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan
kadar
antibodi
anti-DNA
(Venkatraman et
al.,
1999).
Penggunaansunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE
sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari
ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya
pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan
COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari
mediator
inflamasi
termasuk
interleukin,
interferon,
serta tumor
necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi
homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta
keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit
kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang
memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung
dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID
yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang
lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak
meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga
tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan
imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al., 2000).
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,
lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga
menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi
DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan
pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien
memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi.
Sebelum
pengobatan
dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua
12

atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian
obat (Herfindal et al., 2000).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut
lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan
enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak
terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin,
dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi
dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke
tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid
dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat
fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel
tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi
interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002).
Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan
memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima
kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat
respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk
intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian
prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan
yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan
penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik
pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi
DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi
seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya
memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti kealternate-day therapy. Jika tujuan terapi
sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang
timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2
minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadialternateday dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan
adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan
penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia,
lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ
13

besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan
tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala
(Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa
darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab
kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima
kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang
kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering
dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,
diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi.
Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan
antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi
sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.
Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet
count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian,
durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita
lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit
ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita
yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada
saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada
usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya
usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini
memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat
dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA
mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan
sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun
demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
14

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat


menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah
virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg andHorsfall, 1998). Untuk herpes
zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800
mg lima kali sehari selama 57 hari.Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan
golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang
sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya
infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).
2.10 Asuhan Keperawatan
A.

Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan


Keluhan utama : Kelainan kulit meliputi eritema malar ( pipi ) rash seperti
kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya pasien
mengeluh demam dan kelelahan.
Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit Anemia Hemolitik,
Trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses
pembekuan darah ( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetic keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga
cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga
mempunyai resiko tinggi terjadinya SLE
Pola pola fungsi kesehatan
a.Pola Nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg,
penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan
penderita nafsu makannya menurun.
b.Pola Aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa Pada penderita
SLE biasanya mengalami nyeri pada persendian nya.
c.Pola Eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
Namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
d.Pola Sensori dan Kognitif

15

Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari
jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik
e.Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas
seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE.
3. Kardiovaskuler
a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal : Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
c) Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
6. Sistem pernafasan : Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal : Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya
B. Diagnosa keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
C. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
1) Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
16

Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 110).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan
debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada
udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan
ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh
hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu
untuk mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada
hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian
balutan dan debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme
koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam,
bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa
control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali
perhatian.
Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan
amati perubahan.

17

R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion
atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga
klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
b) Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang
diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi
pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat
perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan
dan kemandirian.
D. Evaluasi

18

Evaluasi adalah salah satu alat untuk emengukur suatu tindakan keperawatan pada
pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif (evaluasi proses yang dilihat
dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari) ataupun evaluasi
somatif (evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria
hasil yang diharapkan). Adapun evaluasi yang diharapkan pada klien dengan kasus
SLE ialah
a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang
b. Aktivitas sehari-hari teratur sesuai kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi klien
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari-harinya
d. Integritas kulit kembali normal (elastis,halus dan bersih)
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh, ada beberapa factor yang
mempengaruhi SLE yaitu: factor genetic, imunologi, hormolan, dan lingkungan.
SlE diklasifikasikan menjadi 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus
Erythematosus, Lupus yang diinduksi oleh obat. Manifestasi klinik secara umum yang
19

sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan.

3.2 Saran
SLE adalah penyakit langka yang amat susah di sembuhkan dan menyiksa si penderita
ini. Hal ini di sebabkan karena yang di serang adalah sistem imun manusia, sedangkan
siatem imun itu sendiri sangat penting bagi manusia untuk melindungi diri dari penyakitpenyakit.
Maka dari itu kesehatan tubuh perlu diperhatiakan, factor pemicu SlE pun harus di
waspadai dan sedapat mungkin di hindari sehingga kemungkinan terjangkit penyakit SLE
tidak begitu besar.

DAFTAR PUSTAKA
Septian Dwi. 2012. Makalah SLE. http://wineralways.blogspot.co.id/2012/05/makalahsle.html, diakses pada 28 April 2016
Wahyudi
Roni.
2012.
Lupus
Sistemik
Eritematosus.
http://ronywahyudi.blogspot.co.id/2012/10/lupus-eritematosus-lupus.html, diakses pada 28 April
2016

20

Vous aimerez peut-être aussi