Vous êtes sur la page 1sur 20

Rumah yang Diin tai

Jika ada seorang pencuri hendak beroperasi, ia akan mempelajari terlebih dahulu, sasaran manakah yang
lebih diprioritaskan. Jika yang menjadi sasaran adalah rumah. Ada tiga rumah; pertama: rumah kosong tak
berpenghuni dan tak ada perabotnya. Kedua: rumah orang biasa yang berpenghasilan pas-pasan, tentunya
isi dan perabot rumahnya biasa-biasa saja. Ketiga: rumah megah milik orang kaya yang dipenuhi perabotan
mahal dan perhiasan yang berharga. Tanpa berpikir panjang, pencuri akan menentukan targetnya pada
pilihan ketiga. Meski, tentunya ia akan berpikir bagaimana mengelabuhi penjaga dan menunggu kelalaian
pemilik rumah megah tersebut.
Untuk sasaran pertama, apa yang bisa dipilih dari rumah kosong tak berpenghuni dan tak ada isinya.
Angker dan kurang menarik.
Yang kedua, barang yang bisa diambil pun tak banyak. Kalaupun dijadikan sasaran, ia tak akan perlu
tenaga dan pikiran yang besar untuk mendapatkannya. Isinya sederhana.
Berbeda halnya dengan rumah ketiga. Isinya, benda-benda mewah dan berharga. Pemiliknya, orang
terpandang dan bijaksana serta teguh.
Perumpamaan di atas, pencuri adalah syeitan dan iblis. Rumah-rumah tersebut adalah hati setiap
manusia. Tipe pertama adalah hati milik orang-orang kafir dan munafik, kosong tanpa iman dan amalnya
sia-sia. Tipe kedua adalah hati orang awam. Isinya sederhana. Sedang tipe ketiga adalah hati orang mukmin
yang bersungguh-sungguh. Semakin tinggi kedudukannya maka semakin banyak dan semakin hebat para
pengintai yang mengancamnya.
Tipe rumah ketiga dengan penjagaan yang ketat tidaklah mustahil untuk dibobol. Tentu dengan
memanfaatkan kelalaian dan kelengahan pemiliknya serta penjaganya. Disamping itu bisa dengan
konspirasi dan pengkhia-natan orang dalam.
Kelengahan yang dilakukan oleh pemilik hati adalah dengan kemaksiatan. Kemaksiatan yang dilakukan
oleh orang terpandang dan berilmu akan bernilai lain di sisi Allah dengan kesalahan yang dilakukan oleh
orang awam. Adapun konspirasi dari dalam adalah bisikan hawa nafsu yang kuat yang memperturutkan
keinginan "pencuri" hati; iblis. Kita kecolongan, pada saat hati ini perpaling kepada kemaksiatan. Hanya
berpaling saja, jendela rumah kita sudah dibobolnya. Apalagi sampai kita terperosok di dalamnya, isi dan
perabot rumah kita sudah dijarahnya. Kaki-kaki kotor pencuri itu menodai ubin-ubin bening rumah kita.
Bahkan pada taraf teror yang paling parah, kita akan menuruti semua keinginan para pencuri yang berada
dalam rumah kita. Saat itu mereka menjadi para perampok, sedang diri kita benar-benar tak berdaya.
Pada bulan ini Allah Swt. menambah para penjaga 'rumah' kita. Menambah dengan menurunkan rahmat
dan maghfirah-Nya. Pada saat kita lengah, kita memiliki senjata ampuh untuk kembali teguh; istighfar.
Musuh dan pencuri bisa segera kita usir dan menjauh dari rumah kita. Ibadah-ibadah sunnah bisa menjadi
pembenteng pertama, ibadah-ibadah wajib menjadi lapis kuat kedua. Keikhlasan, kedermawanan,
solidaritas, pengertian, berbaik sangka, pemaaf akan menjadi pasukan rahasia yang sangat kuat yang tak bisa
ditebak oleh para pencuri. Pada saat itu pencuri tersebut telah benar-benar KO. Tapi kita perlu tahu, ia tak
segera pulang dan pergi meninggalkan rumah tersebut. Ia akan terus mengintai dan mengincar rumah
mewah itu. Karena kemegahan dan ketinggian nilainya.
Barang siapa ingin menjaga hatinya hendaknya ia selalu menjaga kebeningannya dengan senantiasa
beristighfar kepada-Nya. Bahkan beristighfar dari istighfar itu sendiri. Beristighfar karena istighfar kita
sangat kurang dan terbatas serta kurang dijiwai. Hanya menjadi penghias bibir yang tak diikuti kepahaman
hati akan maknanya.
Hati ibarat tangki bensin dalam sebuah kendaraan. Ia berfungsi vital sebagai penampung bahan bakar.
Mari kita bayangkan keadaan sebuah kendaraan yang kehabisan bahan bakar. Atau ada bahan bakarnya
(bensin), tapi diletakkan tidak di dalam tangkinya. Mobil tersebut tetap ada wujudnya. Namun tak mampu
menjalankan fungsinya. Ia menjadi bangkai dan mati dengan kesempurnaan fisik yang terlihat. Demikian
juga manusia jika ia mementingkan penampilan fisiknya sementara tangki hatinya tak pernah diisi, maka ia
bagaikan kendaraan tanpa bahan bakar. Jika demikian, mampukah ia menempuh perjalanan hidup yang
panjang dan penuh misteri?

1
Pada bulan ini, dibulan Ramadhan, Allah menyediakan segala fasilitas pembekalan dan subsidi 'bahan
bakar' tersebut. Semua tergantung pribadi masing-masing, mau ataukah tidak ia memanfaatkannya.
Kemudian kesiapan tangki 'hati' menampungnya.
Bisa kita bayangkan berikutnya. Seorang bodoh yang dengan serakah mengambil bensin sebanyak-
banyaknya kemudian ia siramkan ke mobilnya, ia ambil botol-botol besar untuk diisi bensin kemudian ia
masukkan ke dalam mobil. Bisakah mobilnya berjalan? Sedang tangki bensinnya masih kosong. Dem ik ian
juga kita dibulan ini. Set iap hari kita berpacu membaca Al Qur'an, sha lat seban yak-
banya knya, ber se de kah, berbuat banyak un tuk orang lai n. Semua itu tak kan ada guna nya
bi la tan pa di se rta i ke ikh lasa n dan pen ghayata n. Me mbaca Al Qur'a n namun ma sih
dis el in gi pe rgun ji ngan. Shala t yang b an yak namun mas ih dis er tai ke en gga nan m enya ntun i
fak ir mis ki n. Ber se de kah namun dibare ng i m enya ki ti hat i orang lain. Berbuat kebai kan
na mun di se rta i pamr ih dunia. Popu lari tas. K et ena ran. Kre di t po in jabata n. Cin ta dan
ridha manus ia.
Semuanya disebabkan kebodohan kita. Karena kita tidak tahu dimana meletakkan bahan bakar.
Jawabnya hanya satu "Taqwa itu di sini" demikian Rasulullah Saw. mengisyaratkan ke dada beliau sebanyak
tiga kali. Ya, ketakwaan itu tempat bersemayamnya di hati. Ketakwaan tidak–hanya–dilihat dari banyaknya
shalat dan bacaan al Qur'an atau kedermawanan seseorang. Namun semuanya ditentukan dengan kebaikan
hati. Bila hati ini telah terisi penuh oleh takwa maka semuanya menjadi indah. Shalatnya adalah pencegah
dari perbuatan mungkar dan kebatilan. Bacaan Al Qur'annya diterjemahkan dengan kesantunan perilaku
hariannya. Kedermawanannya disertai tawadhu dan rendah hati. Tak pernah sedikit pun keluar cacian dan
hinaan mengungkit pemberiannya.
Ya, itulah kualitas isi hati setiap kita. Silakan sebanyak-banyaknya mengisi. Tapi tempatnya dalam hati.
Itulah rumah kita yang selalu diincar dan diintai oleh para pencuri cinta-Nya. Mereka hendak merampas
cinta-Nya agar kita menjadi orang-orang yang dimurkai-Nya. Agar cinta-Nya hilang dari rumah kita dan
berganti kebencian dan kemurkaan yang maha dahsyat dari Dzat yang murka-Nya tak terbendung oleh apa
dan siapa pun.
Parahnya, bila kita kecurian namun kita tak merasa kehilangan sedikit pun. Sebagai contoh, kita sering
merasa telah berbuat baik namun pada hakikatnya kita melakukan sebaliknya. Menasehati orang di depan
umum. Bersedekah karena riya. Menuntut ilmu supaya dikira pandai. Berjihad agar dianggap pemberani.
Hanya hati yang beninglah yang mampu merasakan noda halus ini. Untuk membersihkannya pun
diperlukan kelembutan hati. Jangan sekali-kali kita lengah. Jangan beri kesempatan pencuri-pencuri itu
mendekat ke sekeliling rumah kita. Kaca jendela rumah kita, biarkan tetap bening. Barangkali isi rumah
kita akan terlihat dari luar dengan bagus. Tapi kita tetap merawatnya dari dalam dengan perawatan yang
tak diketahui oleh mereka yang melihatnya dari luar. Jangan takut akan intaian dan incaran para puncuri.
Kita selalu waspada karena kita selalu terjaga dan menjaga rumah kita.
Satu hal yang perlu kita catat, bukan menjadi aib bila hati kita terkotori. Bila rumah kita berdebu dan
kotor. Yang menjadi aib adalah membiarkannya kotor. Segera usap dan hapuslah kotoran yang melekat itu,
sebelum noda itu kian melekat dan sulit untuk dihilangkan.
Di bulan ini Allah Swt. mengobral pencuci hati-hati kita yang keruh. Dengan istighfar dan bacaan Al
Qur'an. Berteman orang-orang shalih dan senantiasa berzikir.
Itulah rahasia Allah yang bernama hati,"… sesungguhnya dalam jasad ini ada segumpal daging
(mudhghah). Jika ia baik maka seluruhnya akan baik, bila ia buruk maka seluruhnya akan buruk.
Ketahuilah itu adalah HATI (qalb)". (HR Bukhari Muslim, Sabda Rasulullah Saw. diriwayatkan sahabat
Nu'man bin Basyir ra.).
"Wahai pembalik hati, tetapkan hati kami atas dien-Mu. Wahai pemaling hati, palingkan hati kami pada
ketaatan-Mu".

2
Te rla mbat Buka n Be rart i Ti dak Sama s eka li

Kaki ini meniti lemah anak tangga diantara gelap Masjid-Mu. Malam ini sudah masuk 10 malam terakhir
ramadhan, malam ke 22 dari untaian malam berkah. Hati berseru takbir dengan kepalan jari-jari lemas
terurai lagi. Allah ijinkanlah aku menjumpaimu pada malam-malam terakhir ini, setelah sekian malam aku
hanya bergulat dengan dunia. Seharian dikejar amanah kegiatan bukan hal yang lumrah bagiku. Malam ini
saatnya aku bercumbu penuh khusyu dengan-Nya dengan tubuh ini diselimuti gigil ngilu.
Tilawahku tertinggal waktu. Malu pada jam yang tetap istiqomah berputar, tapi amalanku tak pernah
mau untuk istiqomah berjalan. Tarawih dan Qiyamullail semau gue-ku, apakah Engkau terima ? Hanya
Engkau yang Maha Menentukan hasil dari semua usaha, aku tak sanggup mendengarkan hasil perhitungan-
Mu saat ini. Amalanku yang dijejali riya semoga Engkau ampuni. Berapa kali shadaqahku ? ah, lagilagi malu
pada kotak shadaqah, pada tangan kanan dan kiri yang selalu saling melihat ketika kurogoh sisa uang saku.
Ramadhan kali ini menyisakan sayatan pilu diruhaniku. Aku tak mampu menghisab diri dari kebaikan
dan keburukan, dari amalan dan dosa, apalagi dari ikhlas dan riya. Bukan terlalu banyak, tapi terlalu kecil
dan tak terindera. Semuanya aku kembalikan pada-Mu. 22 hari kulewati tanpa makna secuilpun yang
tergores di kalbu. Bukan ini mauku. Bukan ini tujuanku. Tapi inilah yang sudah kudapat sampai saat ini.
Sebuah keterlambatan.
Allah, terangkanlah padaku tentang makna keterlambatan. Semuanya sudah berjalan jauh tapi aku masih
berlari kecil di tempat. Lelah ini kulahap sendiri. Ingin rasanya berlari sekencang mungkin untuk menyusul
mereka yang telah jauh. Ternyata terlambat bukan berarti tidak samasekali. Masih ada waktu. Masih ada
jalan. Manfaatkanlah arti dari kesempatan.
Sekarang ijinkanlah hamba-Mu ini memulai lagi. Merangkai malam-malam sunyi menjadi parade dzikir
untuk-Mu. Mencuci diri dari noda, yang entah dari mana harus kumulai membersihkannya. Merangkak
menggapai uluran maghfirah-Mu. Ramadhan masih tersisa beberapa hari lagi. Dan masih ada Lailatul Qadar
yang setia menunggu jelmaan manusia-manusia yang Dia ridloi. Aku sangat menyadari betapa tidak
pantasnya diri ini menerima anugerahmu itu. Tapi, apakah salah jika manusia dungu ini menginginkan
syurga-Mu.
Ijinkanlah aku menapaki keterlambatan dengan beribu semangat juang. Agar aku bisa sampai kehadirat-
Mu seperti juga mereka yang telah sampai mendahuluiku. Ijinkanlah aku mendapatkan anugerah Lailatul
Qadar-Mu, mungkin untuk yang pertama kali, dan mungkin sekali-kalinya dalam hidup ini. Karena aku
tidak tahu apakah tahun depan bisa berjumpa Ramadhan lagi, dan berjuang bersama mendapatkan
anugerah-Mu itu.
feli@indosatm2.com
Dari yang tertatih di putaran terakhir Ramadhan

3
Sen tuhan B erkah

Sungguh seorang yang menghamba pada Yang Maha Mulia akan ikut mulia. Karena Yang Mulia
memberikan kemuliaan-Nya dengan berkah kasih sayang dan cinta serta ampunan-Nya terhadap kesalahan
dan kekhilafan.
Di awal bulan istimewa-Nya Allah menurunkan kasih sayang untuk para pemburu cinta-Nya. Saat
sepuluh hari pertama lewat dan seandainya Dia mengumumkan daftar nama orang-orang yang dirahmati-
Nya, apakah nama kita termasuk di dalamnya? Kita pun segera memasuki peluang hari berikutnya untuk
memburu ampunannya, mencari maghfirah-Nya.
Sepuluh hari kedua pun telah lewat. Seandainya Allah mengumumkan list nama-nama yang diampuni
oleh-Nya, apakah nama kita ada di sana? Tak ada yang berani menjawabnya.
Saat ini, kita memasuki etape terakhir pembekalan ini. Rute tersulit yang di dalamnya –kadang– orang
telah kehilangan konsentrasi. Sebagian justru jauh berpikir duniawi ke depan, bagaimana mempersiapkan
keadaan setelah puasa. Padahal Ramadhan belum benar-benar meninggalkan kita.
Ini merupakan babak final yang menjadi akibat dari dua level sebelumnya. Rahmah dan kasih sayang
Allah membawa ampunan untuk para hamba-Nya. Seandainya ia merasa belum maksimal merasakannya, ia
akan memburu ampunan tersebut. Dan ampunan tersebutlah yang membawa pembebasan dari kemurkaan-
Nya yang dahsyat. Pembebasan dari api neraka.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan". (QS. 97:1)
Allah menurunkan Al Qur'an pada sebuah malam yang mulia yang "lebih baik dari seribu bulan" . (QS.
97:3)
Mengapa Allah begitu mengistimewakan malam itu. Malam yang hanya sebagian saja dari waktunya
dijadikan Allah sebagai fasilitator turunnya Kalam-kalam suci itu dari lauh mahfuzh-Nya.
Malam yang hanya bersentuhan sesaat saja dengan Al Qur'an, nilainya digandakan Allah lebih baik dari
30.000 malam yang tidak bersentuhan dengan lailatul qadr tersebut.
Betapa beruntungnya malam itu. Lebih beruntung lagi, bagi mereka yang menggunakan kesempatan ini.
Bagi para pemburu kebaikan seribu bulan, pasti dijadikan sebuah peluang emas untuk menutupi
keterbatasan dua etape sebelumnya di 20 hari yang telah lewat.
Lantas bagaimana dengan seorang mukmin yang tenggorokannya dilewati oleh huruf-huruf Al Qur'an.
Tentu tenggorokan tersebut lebih baik dari tenggorokan-tenggorokan lainnya. Satu hurufnya saja diberi
insentif ukhrawi berupa sepuluh kebaikan. Ada berapa huruf di dalamnya. Telinga yang mendengarkannya,
lebih baik dari telinga yang menjauh darinya. Mata yang membacanya, lebih baik dari mata yang
menghindarinya. Dan mata ini menjadi akumulasi ketiganya, ia meneteskan air mata karena
mendengarkan, melihat dan membacanya. Air mata kesyahduan. Ada ketakutan di sana. Ada pengharapan.
Ada kenikmatan. Ada seribu ada, tak terungkap dengan kata-kata. Sungguh, tetesan itu hanya dinikmati
oleh mereka yang sanggup meneteskan air mata; sedang orang disekelilingnya keheranan mengapa hal itu
bisa terjadi.
Itulah kenikmatan bersentuhan dengan keberkahan. Bagaimana seorang mukmin yang seluruh hidupnya
selalu bersentuhan dengan Al Qur'an. Dadanya menjaga dan menghafalnya. Perilakunya mencerminkan
keberkahan itu. Sungguh, orang seperti ini lebih baik dari seribu orang yang tak pernah bersentuhan
dengan keberkahan itu.
Abu Musa al Asy'ari meriwayatkan sabda Rasulullah Saw. "Perumpamaan seorang mukmin yang
membaca Al Qur'an seperti buah Utrujjah, baunya harum dan rasanya enak. Sedang orang mukmin yang
tak suka membaca Al Qur'an bagaikan buah Tamr, tak ada baunya dan rasanya manis…." (HR. Bukhari
Muslim)
Menurut berbagai riwayat malam keberkahan tersebut terjadi di sepuluh hari terakhir ini, di etape
terakhir madrasah pembekalan ini. Ibunda Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq ra. meriwayatkan sabda
Rasulullah, "Carilah lailatul qadr pada hari-hari ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan" (HR.
Bukhari Muslim)

4
Pada sepuluh hari terakhir, Rasulullah Saw. meningkatkan ibadahnya melebihi 20 hari yang telah lewat.
Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan, "Rasulullah Saw. ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir
mengencang-kan sarung dan membangunkan keluarganya" (HR.Ahmad)
Kegigihan Rasulullah Saw. hendak memberi contoh kepada kita betapa siapapun dia, jika tak
menggunakan peluang ini akan sangat merugi dan menyesal di kemudian hari. Apakah dia telah memiliki
tabungan yang banyak sehingga ia malas menggunakan peluang yang sulit terulang lagi. Karena tak ada
jaminan hal ini akan didapatinya di tahun depan. Semuanya serba ghaib. Atau bagi mereka yang hari-hari
sebelumnya penuh dengan kekhilafan dan dosa serta kelalaian. Saat inilah kebangkitan hakiki itu.
Pemburu seribu bahkan tiga puluh ribu keberkahan…
Syeikh Mubarakfuri mempunyai analisis yang bagus, berkenaan dengan malam keberkahan tersebut. Di
hari ke berapakah Al Qur'an turun pertama kali kepada Rasulullah Saw.?
Suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, mengapa beliau sering berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab
karena pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku menerima wahyu dari Allah untuk pertama kali.
Sudah menjadi kesepakatan ulama, bahwa al Qu'ran diturunkan pada bulan Ramadhan, sebagaimana
yang dinashkan Al Qur'an dan Hadits. Allah telah mengabadikan hal itu "(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil)…". (QS. 2:185). Berikutnya Allah menegaskan lagi, "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan". (QS. 44:3)
Pada bulan Ramadhan tahun itu, hari Senin terulang sebanyak empat kali. Yaitu pada tanggal ke 7, 14,
21, dan 28. Dalam hadits-hadits nabawi dianjurkan untuk mencari lailatul qadr pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadhan. Bahkan ada yang lebih spesifik lagi, yaitu pada hari-hari ganjil. Dengan demikian,
lailatul qadr terjadi pada malam ke 21. Karena 7, 14 dan 28 tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang
disebutkan dalam gabungan hadits-hadits yang ada. Lantas benarkah, malam keberkahan tersebut terjadi
pada hari itu. Allahu a'lam. Sangat banyak pendapat yang mengatakannya. Ada yang menjadikan bulan
Ramadhan secara umum. Ada yang mengkhususkan pada sepuluh hari terakhir. Ada yang mengkhususkan
lagi pada hari-hari ganjil di sepuluh hari tersebut. Ada yang berpendapat pada hari 27. Ada ….

Men gapa Allah meraha sia kan ma lam k ebe rkahan itu?.

Sungguh hikmah Allah Swt. demi keseriusan hamba-hamba-Nya dalam berusaha. Kesungguhan dalam
mencari malam keberkahan tersebut. Seandainya hijab dibuka dan malam tersebut diketahui siapa saja,
kemungkinan besar hari-hari dan malam-malam lain akan ditinggalkan mereka yang malas. Kesungguhan
beribadah pada malam keberkahan tersebut tak lain adalah pemaknaan kepasrahan yang dalam dari seorang
hamba yang menyerahkan segala-Nya pada Sang Pencipta.
Penghambaan yang terefleksi dalam kesungguhan beribadah dan totalitas penjiwaan di dalamnya. Ada
kekhusyukan. Ada ketakutan. Ada pengharapan. Ada… Kepasrahan dalam menerima cinta dan kasih
sayang-Nya serta berharap atas keampunan-Nya terhadap kekhilafan manusiawi yang dilakukannya.
Masihkah setelah ini ada keraguan? Atau bahkan keputusasaan? Sungguh, saatnya lah sekarang bagi kita
untuk memburu hari pembebasan kita dari kemurkaan dan kemarahan Allah. Ya, karena kita telah
memiliki cinta-Nya. Yakinlah itu. Kita sedang memburu ampunan-Nya. Dan kemudian pembebasan itu
benar-benar diberikan kepada kita. Saatnya sudah dekat. Jangan kita jauhkan dengan kelalaian, kesalahan
bersikap, keteledoran dan berbagai kebodohan. "Wahai pemburu kebaikan gunakan kesempatan ini, wahai
pemburu dosa berhentilah".
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan". (QS. 55:13)
Saifu l Bahri saiful_elsaba@yahoo.com

5
Ana k-Ana k Den gan Bau Matahar i

Laki-laki kecil itu berusia sekitar 8 tahun. Tubuhnya kecil. Tapi dia tampan dan berkulit bersih. Dia
mengenakan baju yang kelihatannya branded, hanya saja lusuh. Menggendong ransel dan memakai jam di
tangan kanan. Meskipun ia bau matahari ada yang menarik dari dirinya. Matanya bersinar cerdas. Dan saya
langsung jatuh cinta. Saat ia menyanyikan lagu dengan diiringi musik dari botol aqua kecil yang diisi
dengan sedikit beras. Dia tak menyanyikan lagu dangdut atau lagu pop yang sedang ngetrend lainnya. Ia
juga tidak menyanyikan lagu-lagu khas pengamen jalanan yang biasa dibawakan para pengamen. Ia
menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebuah lagu tentang keindahan alam yang
tak lagi saya ingat syairnya. Dengan suara yang terlantun jernih, tidak fals.
Saat selesai satu lagu dan kami meminta tambahan lagu, dia langsung bernyanyi kembali tanpa
membantah. Ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Ia tidak bersekolah karena tidak
punya uang, tetapi ia belajar sama ayah, demikian jawabnya terhadap pertanyaan tentang sekolah.
Tiga hari kemudian saya masih selalu bertemu dengannya. Di arena peringatan Hari Anak Nasional di
Taman Ismail Marzuki, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan saya menjadi salah satu
panitianya. Setiap hari ia menghadiri pameran, ikut bermain dan berlomba di semua acara yang
diselenggarakan secara gratis itu. Satu hal yang paling menarik perhatiannya adalah bazaar buku. Ada satu
buku pengetahuan popular dengan gambar warna-warni yang sangat menarik perhatiannnya. Begitu ingin
dia memiliki buku itu, tetapi sayang harga buku itu cukup mahal.
Akhirnya, dia hanya bisa memandangi dan membuka-buka, berlama-lama di depan stand sepanjang
pameran berlangsung. Namun, ternyata Allah sayang padanya.
Pada hari terakhir, ada lomba spontanitas dengan hadiah buku-buku pengetahuan ppopular itu. Dan dia,
lelaki kecil itu, memenangkannya. Sampai malam hari, saat kami berkemas, dia masih datang, membawa tas
kresek berisi buku-buku. Dengan ceria dia bermain, bercerita dan bergaul tanpa takut. Menjawab setiap
pertanyaan dengan lincah. Bahkan dengan bangga dia bercerita, kalau di rumah ia punya buku tentang
Albert Einstein. Si kecil itu, Waliyan namanya.
Azan isya baru saja berlalu. Kawasan Tanah Abang masih ramai saat saya menaiki PPD reguler 916.
Masih ada dua sosok kecil, kotor, tak beralas kaki, dan bau yang menghuni bangku-bangku itu saat para
penumpang masuk.
Sosok yang lebih besar, perempuan kecil berkuncir kuda, bangkit terlebih dahulu sambil
membangunkan partnernya yang sepertinya adalah adiknya. Si cowok kecil bangun dengan malas, namun
tidak punya pilihan lain selain berdiri dan bersiap ‘bekerja’ kembali.
Mereka minggir ke belakang, sambil tertawa-tawa. Ketika penumpang telah penuh, mereka segera
beraksi. “Di Pondok keciiil, di atas bukit….” Syair itu mengalun cempreng dari mulut rambut merah itu. Si
kecil bahkan berkali-kali terpejam, nampak sekali masih sangat ngantuk, namun tetap terus bernyanyi
karena kakaknya menyenggolnya berulang kali. Matanya baru terbuka lebar, saat seorang penumpang
mengangsurkan selembar lima ratu-an perak, yang segera ditunjukkannya dengan gembira pada kakaknya.
Dia seakan belum pernah menerima uang ‘lima ratus perak’ ketika ngamen.
Saya ingin menanyai mereka tentang banyak hal, tapi situasi tak memungkinkan. Yang saya dengar dari
percakapan mereka adalah, perbincangan dengan kata-kata yang cukup jorok dan selingan tentang
makanan dan lain-lain. Tak ada tentang buku, sekolah, belajar dan sejenisnya.
Banyak hal yang membuat mereka sama. Pertama, mereka sama-sama bau matahari karena setiap hari
mandi matahari. Kedua, mereka memiliki kepolosan dan potensi kecerdasan yang relatif sama.
Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan, untuk tetap menjaga keceriaan mereka. Menjaga fitrah dan
kepolosan mereka. Mereka memang bukan siapa-siapa, tetapi insya Allah, mereka tidak tumbuh menjadi
preman, kalau saja ada yang peduli.
Mungkin, kita bisa berkontribusi, setidaknya agar anak-anak berbau matahari itu bisa tetap belajar dan
cinta buku, sebagai bekal masa depannya, seperti si kecil Waliyan. Mungkin mereka masih akan tetap
berbau matahari tiap pagi, tapi semoga masih ada harapan, bau itu adalah bau yang sehat dan mendorong
mereka ‘belajar’ tentang kehidupan dan menjadi lebih kuat, karena ada orang dewasa yang mengarahkan
mereka dengan nilai-nilai yang mendidik.

6
Azi mah R ahayu
(@az, terkenang waliyan yang ganteng)

7
Sesuatu Yan g Tak Ter ni lai

“Hujanlah sesukamu, toh rinainya akan kami tanggung semua” (Harun Al Rasyid). Kalimat yang terucap
dari bibir sang Khalifah tersebut begitu singkat dan sederhana. Sang Khalifah seperti tidak peduli akan
hujan turun tiada henti atau bahkan berhenti turun. Itu semua tidak berpengaruh terhadapnya. Meskipun
ia pun sadar akan konsekuensi rinai yang muncul saat hujan turun, ia tak tergoyahkan. Tidak ada ketakutan
ataupun kekhawa-tiran akan resiko yang muncul. Ia sadar segala sesuatu sudah diatur dengan cermat dan
teliti. Ada zat yang berkuasa atas segalanya. Zat yang ketentuannya tak bisa ditolak ataupun dihindari.
Terdapat ketabahan, keberanian, dan juga prasangka baik atas apapun yang terjadi. Ini didasari atas
keyakinan bahwa apapun yang ditetapkan Alloh adalah suatu kebaikan. Maka bagi orang-orang yang sangat
kuat keyakinannya dan sangat dalam cintanya, apapun yang terjadi pada dirinya tidak sampai mengubah
prasangka baiknya kepada Alloh. Tidak ada yang ia takuti. Hari ini ataupun esok. Alloh sajalah tumpuan
terakhir, harapan yang tak akan pernah mengecewakan, dan Sang Penghitung yang Maha Teliti tiada dua.
Ada sebuah permata di hati orang-orang beriman yang saat ia terasa kelezatannya, segalanya terlihat
begitu indah. Permata itu adalah iman. Saat iman meraja, tak ada lagi duka dan derita. Ini bukan karena
tidak ada luka dan perih, bukan. Ada duka dan luka. Tapi luka yang ada tidak lagi terasa sakit tertutupi
kesadaran akan kenikmatan yang akan diperoleh kelak sebagai hadiah tak terukur dari Alloh. Apabila ini
terpatri, seorang hamba akan mampu berteriak lantang menyuarakan kebenaran, berjalan tegap diatas bara
celaan orang, gigih membela kebenaran dan keadilan. Ia tak akan gentar akan terpaan gelombang yang
menggila, duri, dan amukan badai kehidupan.
Iman adalah bekal seorang mukmin untuk mengarungi kehidupan. Mencuat dari lubuk hati, iman
merupakan bentuk kesadaran yang sederhana akan kehidupan. Bahwa setiap kehidupan dan kematian
berada di tangan Alloh. Termasuk juga didalamnya rizqi dan pengalaman hidup yang akan muncul, baik
berupa kesenangan ataupun kesusahannya.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasululloh SAW pernah bersabda akan tiga kunci merasakan kelezatan
iman: cintai Alloh dan Rasul-Nya diatas segalanya, cintai seseorang hanya karena Alloh semata, dan
membenci kekufuran untuk dirinya seakan neraka terletak dihadapannya jika ia melakukannya.
Alloh adalah zat yang paling layak untuk dicintai. Ia pantas untuk dinomorsatukan. Karena ia adalah
Sang Pencipta, Maha Pemurah yang memiliki cinta yang tak bermusim. Alloh juga memiliki ampunan dan
rahmat yang tiada batas. Bagaikan samudra tak berpantai. Tak bertepi. Cintailah Alloh saja karena ia akan
membalas berlipat dan tak akan membuat kecewa, sedih dan sakit. Sementara Rasulullah adalah sosok yang
lembut, berahlaq mulia, penyantun, dan sangat dalam kasihnya untuk segenap umat. Beliau berpribadi
sempurna dan pembawa suluh penerang penjuru alam raya.
Cintailah juga saudara kita hanya karena Alloh, karena sifat cinta kita lemah. Kita butuh Alloh untuk
menjaga selalu perasaan itu. Tiada keabadian tanpa izin dan kemurahan Alloh. Kita diciptakan dengan
segala keterbatasan diri. Cinta saudara karena Alloh akan sangat mengagumkan manakala kita mengaca
kepada hubungan kaum Anshar dan Muhajirin. Berbagai kisah yang menyentuh menggambarkan ketulusan
dan sikap itsar yang luar biasa. Hinnga ada diantara mereka yang bersedia memberikan istri untuk
saudaranya. Cinta karena Alloh akan membuat segalanya tampak sederhana dan penuh makna.
Membenci kekufuran adalah syarat ketiga untuk merasakan lezatnya iman. Memang tidak mudah
karena iman adalah sesuatu yang tak ternilai. Tak ternilai karena tidak didapatkan secara percuma. Kecuali
Alloh berkehendak lain. Tapi yakinlah bahwa hanya dengan iman saja jiwa akan terbebas dari sifat-sifat
buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia. Muhammad Iqbal melukiskan dengan heroik dalam
puisinya gambaran jiwa yang tercelup iman dan terhiasi keberanian yang menggelora:
Gema seruan kita terdengar melintasi gereja-gereja di Britania. Sebelum skuadron membebaskan negeri-
negeri.
Mengapa kau lupakan Afrika. Jangan kau lupakan hamparan saharanya. Bumi itu mendayung laksana pijar
bola api.
Bentengkan dada kita sebagai pedang. Mengapa kita gentar saat kezaliman menggila. Kesewenangan
merajalela.

8
Laksana kilatan kelewang yang hanya menerpa bunga-bunga terkubur rumput liar. Mengapa sirna nyali
kita pada penguasa bengis yang hendak memerangi kita? najwasaja@yahoo.com
*Kepada semua sahabat seperjuangan: semoga ukhuwah tetap terjalin meski lewat pena.

9
Dia yan g Dikarun iai Ketu lusa n

Saya sedang berdiri menunggu angkot didepan gang ketika laki-laki itu mendekat. Ia melambaikan
tangan, sambil cengar- cengir dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, “Mba, berangkat ke
kantor?” Entahlah, tepatnya apa yang ia ucapkan. Mungkin saya tak memperhatikan atau ucapannya tidak
jelas. Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk acuh menjawab sapanya, kemudian kembali
mengarahkan pandang ke kanan, arah angkot akan memunculkan hidungnya.
Tetapi laki-laki itu tak bergeming. Ia tetap berdiri di sisi saya. Ketika sebuah angkot mendekat, ia turut
melambaikan tangan, memberi isyarat supaya angkot berhenti. Saya menoleh sebal, sedikit merasa
terganggu oleh sikapnya, kemudian buru-buru naik.
Ketika angkot bergerak lagi, laki-laki itu melambaikan tangan, masih cengar-cengir dan menatapi angkot
yang bergerak menjauh, bahkan sempat melakukan gerakan kiss bye. Astaghfirullah, refleks saya
beristighfar. Dalam hati saya merutuk-rutuk, merasa dipermalukan.
Memangnya dia siapanya saya? Ketemu juga baru beberapa kali. Karena saya memang penghuni baru di
kawasan tersebut. Ceritanya sih, anak kost. Esok, esok dan esoknya, nyaris tiap hari kejadian yang sama
berulang. Karena mau tidak mau, saya memang harus melalui jalan itu untuk mendapat angkot terdekat. Ia
terus menyapa, selalu dengan gumamannya yang tidak jelas, dan cengirannya yang khas. Dan setiap kali,
saya juga menjawab dengan sikap seperlunya.
Kadang-kadang malah pura-pura tidak melihat. Tapi itu tak membuatnya mundur atau marah. Dia biasa
saja, sapaan-sapaan dengan gumam itu tak berubah. Karena nyaris setiap hari bertemu, lama-lama saya
memperhatikan tingkah lakunya. Rupanya, setiap hari dia memang ngetem di depan gang tersebut sebagai
tukang parkir. Membantu menjaga dan mengatur mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan karena mobil
tidak dapat masuk gang. Dan adalah kebiasaannya menyapa setiap orang yang melewati gang tersebut:
wanita maupun laki-laki. Ibu-ibu atau bapak-bapak. Tua-muda. Besar kecil. Semua dengan sapaan dan
cengiran yang sama. Semakin lama saya mengenalnya, saya juga mulai menemukan kebiasaannya yang lain:
membantu mencegat bajaj, mencegat taksi, menaikkan atau menurunkan barang-barang penumpang dari
atau ke dalam angkot, taksi dan bajaj. Tanpa diminta. Tentu saja, sekali lagi ini –alih-alih membantu-
seringkali menimbulkan kejengkelan yang ditolong. Bahkan terkadang saya berpikir, orang ini memalak
orang-orang yang ditolongnya secara halus. Seperti calo angkot, taksi dan bajaj yang sering saya jumpai di
terminal Senen. Seperti kuli angkut di Senen yang langsung mengangkat barang tanpa diminta, meski
hanya 2-3 meter saja kemudian minta uang jasa dengan memaksa.
Tapi, ternyata tidak. Ya, dia tidak pernah meminta uang jasa pada orang-orang yang ditolongnya. Yang
saya saksikan adalah dia ikut menunggu taksi atau bajaj dengan setia, bahkan di waktu hujan sekalipun,
menghentikannya, kemudian menaikkan barang dan membukakan pintu penumpang dengan sungguh-
sungguh. Diberi uang jasa atau tidak, dia kemudian tetap akan melambaikan tangan, nyengir dan
melakukan gerakan kiss bye saat taksi atau bajaj mulai bergerak.
Pernah suatu hari, saya meminta tolong membawakan satu set PC dari pinggir jalan ke tempat tinggal
saya. Sigap dia meminjam troli dari kantor di pinggir jalan itu dan menaikkan barang-barang saya. Namun
gerakannya yang ‘grasa-grusu’ membuat saya berteriak-teriak agar dia hati-hati. Tetapi saya terlambat, baru
beberapa langkah, CPUnya jatuh terbanting. Untung masih di dalam kardus yang ada bantalannya, sehingga
tidak mengalami kerusakan. Andai monitornya yang jatuh, mungkin layarnya pecah.
Saat itulah saya baru ngeh, kalau ternyata laki-laki ini menderita keterbelakangan mental. Tidak parah
memang. Belum sampai taraf idiot. Orang jawa menyebutnya pekok (si bodoh). Sesuatu yang harusanya
saya sadari dan maklumi sejak awal, melihat sikap dan perangainya yang agak aneh. Sejak itulah saya
bersimpati padanya. Karena dalam kekurangannya dia masih bekerja meski hanya menjadi tukang parkir
untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Karena dalam keterbelakangannya, dia memiliki ketulusan dan
kepolosan yang mungkin tidak dipunyai banyak manusia berakal normal. Sehingga bila dia menyapa, maka
saya pun berusaha membalasnya dengan ramah. Setiap kali ada keperluan angkat–mengangkat barang, saya
meminta bantuannya dengan memberi imbalan, meski sekedarnya.

10
Laki-laki yang masih belum saya ketahui namanya itu, sampai saat ini masih tetap dengan gumam dan
cengiran khas, dan rautnya tetap berubah menjadi sunggug-sungguh saat membantu orang-orang yang
dijumpainya di depan gang itu diminta maupun tidak.
Maha Besar Allah yang selalu mengaruniakan eistimewaan di balik setiap kekurangan makhlukNya.
Azi mah R ahayu
(@az, pagi mulai merangkak dalam mendung)

11
Tin gga l 15 Hari Lag i. ...

Tinggal 15 Hari Lagi …………. Bulan hampir sempurna di langit Wollongong, menandakan berlalunya
waktu dengan cepatnya. Alhamdulillah, kita telah berada di pertengahan bulan Ramadhan, syahrul
mubarak, syahrul jihad, syahrul tarbiyah. Marilah kita sadari, 15 hari lagi Ramadhan tahun ini akan
menutup tirainya. Tirai akan tetap tertutup tidak peduli apakah kita sudah mengoptimalkan (lihat QS. Al-
Ankabut, 29:6) amalan kita, ataukah kita melalaikan Ramadhan ini. Allah tidak akan rugi bila kita tidak
mengoptimalkan amalan kita, bahkan kita sendiri yang akan rugi.
Pertengahan Ramadhan adalah saat yang tepat dan saat yang terbaik sebagai tempat kita berhenti untuk
mengevaluasi apa yang telah kita lakukan 15 belas hari lalu dan apa yang hendak kita lakukan dan hendak
kita capai dalam 15 hari mendatang. Ya ayyuhal ladzina aamanu taqullaaha faltanzhur nafsum ma qaddama
lighad, wa taqqullah, innallaaha khabirun bima ta’malun. (Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan
bertakwalah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.)
Pada awal Ramadhan, kita telah berusaha untuk “plan the work and work the plan”. Hingga tibalah
saatnya kita duduk dan merenung sejenak, menghisab amalan kita. Tanggal 15 Ramadhan adalah masa yang
tepat bagi kita untuk bermuhasabah. Karena kita masih punya kesempatan 15 hari lagi untuk memperbaiki
apa yang salah, menambah apa yang kurang, dan meningkatkan apa yang sudah baik. Bagaimanapun Allah
menilai kesudahan kita, apakah kita mengakhiri Ramadhan dalam keadaan taqwa dan penuh ketaatan
kepadaNya, ataukah sebaliknya?
Urgensi memperbaiki amalan di saat-saat akhir terangkum dalam doa husnul khatimah berikut:
Allahummaj’al khaira ‘umri aakhirahu, wa khaira ‘amalii khawaatiimahu, wa khaira ayyamii yauma liqa-
ik (Disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya). Ya Allah, jadikanlah sebaik-baiknya umurku
pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku
menemui-Mu.
Saat-saat ini adalah saat yang tepat untuk menyadari kesalahan dan kelalaian kita. Cukuplah sudah, dan
marilah kita jangan berputus asa dari rahmat Allah. Sebagaimana para shahabat menyeimbangkan antara
khaufan iqaballah dan raja’ rahmatillah. Demikian juga kita, hendaknya ketika bertambah rasa takut kita
akan siksaan Allah, maka tambahkanlah pula rasa harap kita akan rahmat Allah. Demikian pula sebaliknya.
Berikut ini adalah beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari usaha kita bermuhasabah.
Perta ma , tetapkan satu masa khusus untuk merenung apa yang telah kita lakukan sebelum ini.
Kemudian bandingkanlah dengan beberapa obyektif minimum yang telah kita tetapkan sebelum ramadhan,
misalnya: sholat berjama’ah di mesjid 3x sehari, melakukan shalat rawatib, shalat tarawih 8 rakaat setiap
hari, shalat dhuha 2x 4 rakaat seminggu, membaca Al-Quran 1 juz perhari, membaca al-matsurat
(kumpulan wirid-wirid yang shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam), bersedekah $1 setiap hari,
dan membaca buku yang bermanfaat.
Kemudian, kita tanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada diri kita sendiri. Apakah amalan yang
telah kita lakukan sesuai dengan obyektif yang telah disebutkan di atas? Jika ya, maka tanyakanlah apakah
obyektif tersebut terlalu mudah bagi kita? Kalau terlalu mudah, maka ubahlah obyektif tersebut agar
menjadi lebih menantang. Jika tidak, maka teruskanlah usaha untuk mencapat obyektif yang telah kita
tetapkan tersebut pada 15 hari mendatang.
Jika obyektif tersebut tidak tercapai, carilah penyebabnya. Jika sudah ditemukan maka carilah cara
untuk mengatasinya, agar kita bisa mencapai obyektif tersebut pada 15 hari yang akan datang. Jika tidak
tercapainya obyektif tersebut karena ada halangan yang tidak bisa diatasi, ini berarti obyektif tersebut
terlalu berat, maka ubahlah obyektif itu agar lebih realistis. Tetapi tidaklah terlalu dimudahkan, sehingga
akan meniadakan mujahadah (jihadisasi atau optimalisasi) untuk mencapai obyektif tersebut.
Kedua , kita akan bertemu dengan malam Nuzul Al-Quran pada malam 17 Ramadhan yang biasanya
akan diperingati di mesjid-mesjid. Buatlah rancangan agar kita bisa menghadiri majlis-majlis ilmu tersebut.
Bawalah keluarga kita bersama kita untuk memahamkan keluarga kita akan apa itu makna dari Nuzul Al-
Quran. Kita bisa membacakan kisah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika menerima wahyu. Atau
kita juga bisa membaca tafsir surat Al-‘Alaq untuk menghayati wahyu pertama yang diturunkan tersebut.

12
Ket iga , yang terpenting dari 15 hari yang terakhir adalah malam-malam 10 hari terakhir dari bulan
Ramadhan. Malam-malam ini sangat penting karena terdapatnya Lailatul Qadar pada salah satu dari malam-
malam ganjil, yaitu 21, 23, 25, 27, 29 Ramadhan. Pada malam ini kebaikan yang dilakukan pada malam
tersebut sama seperti melakukan kebaikan selama 1000 bulan. Oleh karena itu, tidak wajar dan merupakan
suatu kesombongan bila malam tersebut kita sia-siakan. Apalagi usia kita belum tentu mampu untuk
melakukan ibadah sebanyak itu.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dalam malam-malam ini akan menggandakan ibadahnya. Beliau
akan beri’tikaf selama 10 hari penuh di mesjid dan melakukan berbagai ibadah sepanjang beliau beri’tikaf.
Untuk memaksimalkan manfaat dari peluang ini, kita memerlukan perencanaan yang komprehensif agar
ibadah kita dapat dilakukan dengan baik tanpa mengganggu kewajiban yang lain. Berikut ini adalah
beberapa pertimbangan yang bisa kita perhatikan.
Yang paling afdhal tentu saja ialah bila kita mampu beri’tikaf selama 10 hari di mesjid tanpa terputus
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Sebagian yang lain bahkan menyengaja
untuk melakukan umrah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini agar bisa memaksimalkan kesempatan
untuk beribadah pada saat-saat terakhir ini.
Namun kita juga maklum, bahwa banyak orang yang mungkin tidak memiliki kemampuan tersebut.
Salah satu alternatif adalah dengan meminta cuti agar dapat melakukan i’tikaf. Jika hal ini juga tidak dapat
dilakukan, maka boleh juga dipertimbangkan untuk mengambil cuti setengah hari pada hari-hari terentu
saja. Ini untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk beristirahat selepas Shubuh agar
dapat bekerja dengan ihsan pada siang harinya.
Jika ini juga tidak mungkin dilakukan, maka usahakanlah semaksimal mungkin untuk melakukan i’tikaf
sebanyak yang kita mampu tanpa mengabaikan tanggung jawab kita yang lain. Adalah kurang baik bagi
seorang muslim untuk kehilangan produktivitas di tempat kerja dengan alasan letih beribadah di malam
harinya. Hal ini akan memburukkan nama baik Islam dan umatnya.
Untuk memakmurkan 10 malam terakhir dan menunaikan tanggung jawab lain tentunya memerlukan
kekuatan fisik yang prima. Oleh karena itu, siapkanlah langkah-langkah untuk membina stamina dan
menjaga kesehatan melalui makanan seimbang dan gaya hidup sehat.
Usahakan juga untuk melibatkan keluarga dalam program beri’tikaf di mesjid dengan membawa isteri
dan anak-anak. Penglibatan mereka merupakan suatu bentuk didikan kita agar mereka terbiasa dan
mengalami sendiri kenikmatan beri’tikaf ini. Hal ini juga akan membantu mengokohkan hubungan anak-
anak dan ibu bapak dan sekaligus mengundang berkah Allah bagi keluarga.
Carilah mesjid-mesjid yang menyelenggarakan program i’tikaf dan carilah ilmu mengenai amalan-
amalan yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan sepuluh malam terakhir. Cari juga ilmu tentang Lailaul
Qadar, adab-adab i’tikaf dan hal-hal lainnya agar kita beramal dengan ilmu bukan ikut-ikutan dan juga
tidak terperangkap dalam perkara-perkara bid’ah. Hal ini bisa kita lakukan dengan membaca buku-buku
atau bertanya kepada para ustadz.
Kee mp at , jangan lupa untuk meningkatkan doa bagi diri sendiri dan umat Islam seluruhnya. Kita
memhami bahwa saat ini umat Islam dalam keadaan tertindas, baik dari dalam maupun dari luar. Berdoalah
pada 15 hari terakhir bulan Ramadhan ini agar Allah memberikan hidayahNya bagi kita dan umat Islam
seluruhnya, serta mintalah pertolonganNya bagi kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Kel ima , jangan lupa untuk menunaikan zakat fitrah. Masa yang sunnat adalah apabila masuk waktu
maghrib di malam Idul Fitri sampai sebelum sholat Idul Fitri. Ingatlah bahwa pahala berpuasa akan
tergantung diantara bumi dan langit sehingga zakat fitrah ditunaikan. Tidak membayar zakat fitrah bagi
mereka yang mampu juga merupakan suatu dosa.
Zakat fitrah hanya dibayar ketika bulan Ramadhan, tetapi ia bukan merupakan satu-satunya zakat yang
wajib dikeluarkan oleh seorang muslim. Zakat yang lain juga wajib dibayarkan, misalnya: zakat tabungan,
saham, niaga, emas, dan lain-lain jika mencukupi syarat-syaratnya.
Carilah ilmu tentang zakat agar kita bisa membayar sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan atau
tanyakanlah kepada para ustadz. Jika kita mempunyai kewajiban untuk membayar zakat selain zakat fitrah
tetapi belum menunaikannya, ambil kesempatan pada bulan Ramadhan untuk melaksanakannya karena

13
pahala yang berganda. Oleh karena itu, lihatlah harta kita dan mulailah hitung zakat kita agar kewajiban ini
tidak terabaikan.
Kee nam , pada malam Idul Fitri tetapkanlah sedikit waktu untuk bermuhasabah akan apa-apa yang
telah kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan. Pikirkanlah langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk
memastikan kehidupan kita sebagai seorang muslim selepas bulan Ramadhan ini, menjadi lebih baik dari
sebelum Ramadhan.
Apakah ibadah yang hendak diteruskan selepas Ramadhan atau ditingkatkan seperti solat Witir,
membaca Al-Quran atau puasa Senin dan Kamis?
Apakah sifat-sifat keji atau tabiat buruk yang perlu ditinggalkan atau dikurangi?
Apakah sifat-sifat terpuji dan tabiat baik yang akan diteruskan selepas Ramadhan seperti sabar, welas
asih, kasih sayang, tidak banyak berbicara atau bangun awal?
Bagaimanakah kita bisa menyumbang atau berkhidmat kepada masyarakat selepas Ramadhan?
Selamat mencoba. Semoga Allah ta’ala memberikan pertolongan, rahmat, dan berkahnya kepada kita.
Wallahu musta’an.
Tedd y Surya G unawan
tsgunawan@ee.unsw.edu.au
Buat Ade dan ikhwah sekalian di Wollongong dan Sydney, mari kita praktekkan muhasabah dan gapai
pahala yang optimal di bulan mulia ini.

14
Pers im pan gan Cin ta

Perputaran waktu yang terjadi –sungguh– sangat cepat. Belum lama kita menyambut kedatangan tamu
Allah, Ramadhan Mubarak. Kini telah berlalu sepertiga dari waktu yang ditentukan Allah untuk kita
menemaninya.
Ya, berlalu sepertiga berarti takkan lama lagi ia akan berlalu. Dan hari-hari indah itu hanya tinggal
kenangan.
“Sepertiga pertamanya rahmah” demikian kata Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan barakah
ini.
Rahmah menjadi permulaan kebaikan yang kita lakukan “Dengan menyebut asma Allah yang Rahman
dan yang Rahim”. Rahmah yang menjadi kata di awal persuaan dua orang mukmin, ”Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh”. Rahmah yang menjadi sebab kelembutan Rasulullah Saw. dalam berdakwah.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka…”. (QS. 3:159) Dalam Al Qur’an pun Ar Rahman
menjadi satu-satunya nama surat Al Qur’an yang menggunakan salah satu dari al asma’ al husna.
Betapa besar nilai sebuah rahmah. Apalagi rahmah dari Allah yang merefleksikan cinta dan kasih
sayang-Nya.
Dan hari ini kita berada dipersimpangan cinta dan rahmah-Nya. Marilah kita bersama-sama muhasabah.
Sudahkah kita menjadi orang yang penyayang terhadap yang lemah. Pengasih terhadap yang fakir.
Lembut terhadap orang lain. Pemaaf terhadap kekhilafan saudara kita. Mencintai orang-orang yang
mencintai kita. Memberikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada orang-orang yang mencintai-Nya
serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada cinta-Nya. Menebarkan cinta kepada orang-orang
yang membenci kita. Menyambung tautan persaudaraan kepada mereka yang memutusnya karena
ketidaktahuan atau karena kesalahpahaman yang dibesar-besarkan.
Sudahkah kita mencintai kaum muslimin. Mencintai sesama manusia. Menyayangi makhluk-makhluk
Allah. Sekalipun seekor ikan dalam akuarium yang ada di ruang tamu kita. Sekalipun seekor kucing yang
berada dalam rumah kita. Sekalipun seekor burung yang ada di depan rumah kita. Atau tanam-tanaman
yang menghias halaman rumah kita.
Sudahkah benar-benar kita menghayati sepuluh hari yang penuh cinta ini? Sehingga kita menjadi orang
yang benar-benar penyayang dan pengasih terhadap siapa saja. Terutama terhadap saudara kita, sesama
kaum muslimin. Masih adakah setelah itu kedengkian. Kebencian. Iri dan dengki. Atau bahkan
permusuhan?
“Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh mereka yang di langit”…
dan malaikat pun akan menyayangi kita.
“Barang siapa yang tidak menyayangi takkan pernah disayangi”. Bila kita tak pernah mengasihi dan
menyayangi orang lain bagaimana mungkin kita berani ‘mengemis’ cinta-Nya. Sungguh, sangat malu.
Sebelum kita menyayangi dan mengasihi serta mencintai orang lain, kita cintai diri kita sendiri.
Mencintai diri sendiri dengan menanamkan kecintaan terhadap cinta. Menanamkan cinta berarti mencabut
dengki dan permusuhan. Menyemaikan kasih sayang berarti membuang iri dan buruk sangka.
Menyuburkan cinta dan kasih sayang berarti memupuk kebaikan terhadap diri kita untuk mempergunakan
waktu yang disediakan Allah dengan mengoptimalkan potensi dan kesempatan. Mentadabburi ayat-ayat-
Nya, menyentuhkan kening kita dengan sepenuh cinta, menguraikan air mata cinta pada-Nya, menolong
sesama dengan cinta-Nya, bahkan mengeluhkan segalanya kepada Dzat yang selalu memiliki cinta. Dzat
yang sayang-Nya takkan berbilang. Dzat yang kasih-Nya tiada pernah pilih kasih. Lautan cinta-Nya tanpa
batas dan tak bertepi.
Adakah alasan setelah ini untuk berputus asa?
Hanya mereka yang benar-benar telah kehilangan rasa cinta terhadap dirinya yang berputus asa.
“Semua yang ada di langit di bumi selalu minta kepada-Nya.Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”.(QS.55:29)

15
Allah Maha Mengetahui. Meski setiap detik dan setiap waktu berbagai permohonan diajukan kepada-
Nya. Mereka yang memohon ampunan dan cinta-Nya. Mereka yang memohon rizki yang halal dan berkah.
Mereka yang memohon anak yang shalih. Mereka yang memohon kelulusan dalam ujian. Mereka yang
memohon pekerjaan. Mereka yang mohon dimudahkan jodohnya. Mereka yang memohon kesembuhan
dari penyakit. Mereka yang mohon keselamatan dalam perjalanannya. Mereka yang memohon
diselamatkan dari mara bahaya. Mereka yang memohon perlindungan dari godaan nafsu dan syeitan.
Mereka yang memohon perlindungan dari kejahatan perampok dan tipu daya pencuri.
Dan Allah Maha Mendengar. Selalu mendengar rintihan fakir miskin dan anak yatim. Mendengar
keluhan orang-orang tertindas yang dizhalimi. Mendengar kepanikan mereka yang dikejar-kejar
kezhaliman. Mendengar keluh kesah orang-orang lemah.
Disamping itu Dia tetap menghidupkan dan mematikan, memberi rizki dan menahannya.
Namun, bosankah Allah mendengar itu semua? Pernahkah Dia kuwalahan menerima semuanya?
Pernahkah Dia kehilangan stok cinta? Apakah kita belum yakin akan janji-Nya,”… Aku mengabulkan
permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran”. (QS. 2:186)
Dan karunia berharga berupa bulan Ramadhan ini telah benar-benar ada di hadapan kita. Bahkan telah
bersama kita sepertiga waktunya. Benarkah kita menjadi orang-orang yang dirahmati. Benarkah kita
merasakan adanya rahmah Allah dalam diri kita. Bersama, kita renungkan dan bayangkan. Seandainya saat
ini Allah menunjukkan kepada kita daftar orang-orang yang bernar-benar dikasihi dan dicintai-Nya selama
sepuluh hari pertama di bulan ini, bisakah kita menjawab pertanyaan berikut: Apakah kita termasuk di
dalam daftar tersebut. Berada pada urutan berapakah?
Bila kita tak mampu menjawabnya. Takut… sungguh sangat takut kita menjawabnya. Karena
keterbatasan kita. Karena kelengahan kita. Maka beristighfarlah. Segera bangun dari kelalaian. Allah telah
membuka persimpangan cinta-Nya dengan karunia baru.
“… dan tengahnya adalah maghfirah” demikian Rasulullah Saw. menyambung keterangan beliau
tentang karakteristik bulan ini. Ada sepuluh hari berikutnya. Maka segera kita gunakan untuk memperbaiki
hari kita yang telah lewat. Dengan sepenuh cinta. Karena tiada jaminan kita akan menyelesaikan sepuluh
hari ke depan. Semuanya serba ghaib dan menjadi rahasia Allah.
“Ya Rahman karuniailah kami cinta-Mu. Karuniailah kami kecintaan kepada kebaikan-Mu, kekuatan
melakukan kebaikan, serta kemampuan menebarkan kebaikan di sekeliling kami. Ya Ghafur, ampunilah
segala kekhilafan kami dalam mempergunakan hari-hari-Mu. Memanfaatkan peluang cinta yang Kau beri.
Ampunilah kami dan masukkanlah kami ke dalam golongan mereka yang disayangi dan dicintai serta
diampuni dosanya dan dibebaskan dari api neraka-Mu”
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. 55:13)
Saifu l Bahri saiful_elsaba@yahoo.com

16
Cin ta dan Se juta Pe ngam punan

Kita adalah kumpulan waktu yang makin menipis dari hari ke hari. Perjalanan waktu yang kita tempuh
pun makin menyusut. Karenanya jatah waktu kita makin sedikit. Inilah yang dinamakan kesempatan hidup
dan berbuat. Kelak kita diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.
Hidup di dunia–bagi manusia–bagaikan perjalanan. Bagi kita yang sudah menempuh jarak +20-30 an
tahun, tentu banyak menemukan berbagai pengalaman berharga. Namun yang pasti, setiap perjalanan
memerlukan sarana. Perjalanan seseorang juga tak mungkin dilakukan tanpa istirahat dan bekal. Kita yang
berjalan kaki, dalam menempuh sebuah tujuan pun memerlukan minum dan makan. Mobil yang kita
tumpangi juga perlu diisi bahan bakar. Proses ini kita namakan: pembekalan.
Salah satu karunia Allah yang berharga adalah Ramadhan, bulan pembekalan. Bahwa setiap tahun kita
diberi kesempatan untuk sejenak bersama diri kita, merenung, berpikir dan melakukan dialog batin. Proses
ini juga dinamakan: pembekalan.
Apa yang terjadi dalam menempuh jarak perjalanan yang kita sendiri kurang tahu panjang pendeknya?
Kita hanya tahu tujuan akhirnya saja. Bahkan kita pun tak mengetahui, kapan kita sampai di tempat tujuan
tersebut. Peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan tersebut menjadi ghaib kecuali yang telah kita lewati.
Semua terhijab.
Perjalanan berat ini perlu kesiapan mental yang kuat. Karena bisa jadi kita tersesat di tengah jalan atau
melakukan kesalahan yang kadang mengakibatkan kendaraan jadi rusak. Kemana kita mencari perbaikan?
Kemana kita mencari bengkel?
Hanya satu: Allah. Karena hanya Dia yang mencipta dan mengetahui secara detail tentang kita. Lalu,
bagaimana kita berinteraksi dengan Allah secara efektif. Bukankah Allah membuka pintu rahmah dan
maghfirah-Nya setiap saat?
Bulan Ramadhan merupakan peluang emas. Allah mengistimewakan bulan ini. Rahmah-Nya diluaskan,
pengampunan-Nya dibentangkan. Barang siapa yang mengejarnya, serius memohon dengan segenap azam.
Allah menjanjikan akan memenuhinya. Bukankah Allah yang menyuruh kita untuk berdoa? Bukankah Dia
juga yang berjanji mengabulkannya? Bukankah Dia pula yang memberitahu kedekatan itu? Dekat tanpa
jarak dan perantara. (QS. 2:186)
Bulan yang pintu perbaikan senantiasa dibuka. Dengan segala kelapangan Allah menerima siapa saja.
Bagi pemburu kebaikan Allah mempersilakan. Bagi pelaku dosa Dia bersedia mengulurkan maghfirah-Nya.
Lantas, syeitan manakah yang membisikkan keputusasaan itu. Bukankah syeitan pun terbelenggu di bulan
ini. Itu hanya bisikan nafsu yang terbiasa dengan buaian hawa dan kelezatan fana. Atau keraguan yang
sempat bersemi di hati yang sedang sakit. Bukankah hati seperti ini perlu siraman. Ke mana lagi hendak
dicari, jika bukan sekarang; Ramadhan. Hanya satu yang tak diberi kesempatan, mereka yang berputus asa
dari rahmat-Nya. Sungguh bodoh orang yang tak mau memanfaatkan ini… Bila Allah telah menyediakan
bekal perjalanan sementara kita tak mau mengambilnya. Atau tak mampu karena keterlambatan dan
keteledoran yang kita lakukan.
Jangan sampai kita termasuk orang yang disabdakan Nabi Saw. “Merugilah orang yang menjumpai
Ramadhan, sedang dosanya belum diampuni”.
Jika kita beristighfar setiap hari seratus kali, selama bulan Ramadhan, akan terkumpul istighfar sebanyak
3000 kali pada bulan ini. Namun bila Allah memberi kesempatan berjumpa dengan lailatul qadar. Koleksi
istighfar kita akan mencapai 3.000.000 selain 3000 yang telah kita hitung. Dengan sejumlah istighfar
tersebut akankah dapat menebus kesalahan dn kekhilafan yang pernah kita lakukan? Enggan bersyukur.
Maksiat mata yang mengkhianati kebesaran-Nya. Dosa lidah yang tajam melukai kelembutan cinta-Nya
pada makhluk-Nya. Telinga yang mendengar pergunjingan kemungkaran. Kaki yang melakukan
kezhaliman. Tangan yang menghalangi kebaikan. Belum segudang gerutu hati mengomentari keputusan
dan takdir-Nya.
Allah tak perlu angka-angka di atas. Itu hanya refleksi keluasan cinta-Nya dalam memotivasi hamba-Nya
untuk melawan keputusasaan. Bukankah kelipatan tersebut hanya Dia yang paham? Kita hanya diberitahu
perkiraannya saja.

17
Ya Rahman genggamlah jiwa ini. Karena ia ada pada “jari-jari” kekuasaan-Mu. Tunjukkan kemana hati
ini berlabuh, jika tidak ke pangkuan kasih sayang-Mu. Pahamkan jiwa dan hati ini agar tak mendustai
kebeningannya. Jangan Kau pekatkan ia karena nafsu dan bisikan. Bisikan apapun, ya Halim. Karena hamba
telah berkali-kali jatuh. Jangan bosan Engkau menuntun. Jangan enggan Engkau ulurkan lagi. Entah sampai
kapan hamba menyesal, kemudian menyesal dan menyesal lagi. Satu-satunya hal yang tak hamba sesali
adalah menjadi makhluk-Mu. Karena Engkau tiada pernah bosan mengasihi dan memberikan cinta. Karena
Engkau selalu … ya hamba yakin selalu bersama hamba. Meski hamba telah berkali-kali melukai cinta-Mu
dengan maksiat dan dosa.
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sepenuh iman dan keikhlasan, maka dosanya
yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Saifu l Bahri saiful_elsaba@yahoo.com

18
Ne gth in k

Seorang teman, sebutlah namanya A, marah-marah karena permintaan konfirmasi dari perusahaan
rekanan belum dikirim juga. Padahal penanggungjawabnya adalah B, sahabatnya sendiri. Berkali-kali dia
menghubungi ke kantor, yang bersangkutan tidak ada di tempat. Telpon ke HP tidak diangkat, sms tidak
dibalas. Berbagai pikiran menyerbu benaknya. Ini orang tidak bertanggungjawab. Dia tidak becus kerja.
Tidak professional. Termasuk hubungan pribadi terbawa-bawa. Apa sih maunya si B ini? Sengaja mau
menghancurkanku? Dan lain-lain.
Semuanya bernuansa negatif. Bahkan akhirnya dia nekat mengirim sms ultimatum. “Tak ada lagi
persahabatan setelah semua ini”.
Detik-detik terakhir, saat kemarahannya berada pada puncaknya, Hpnya berbunyi. Nama si B
terpampang di yar. A sudah siap menyembur dan meledak. Namun mendadak kelu, ketika yang terdengar
adalah suara tak di kenal, “Mbak, Saya C kolega B di kantor. B sedang di UGD, tadi siang kecelakaan. Untuk
sementara HP B saya pegang, juga semua urusan”.
A tertegun, merasa seluruh tulangnya dilolosi. Kemarahannya menguap, berganti dengan sedih, sesal
dan malu teramat sangat. Kalau saja sms terakhirnya bisa di undo. Andai pula waktu bisa diputar ulang.
Ingin dia segera terbang, menjenguk sang sahabat dan meminta maaf saat itu juga atas prasangkanya.
Mungkin kita pernah mengalami dan merasakan kondisi seperti di atas. Dalam skala kecil maupun besar.
Dalam kondisi sadar, namun mungkin lebih banyak yang tak sadar. Coba kita tengok ke dalam hati dan
benak kita.
Apa pikiran spontan yang muncul di benak kita saat, misalnya, orang-orang terdekat cuek-cuek saja pada
hari jadi kita? Mereka tidak sayang kita. Dia tidak peduli. Ternyata dia bukan sahabat yang baik, tanggal
lahir teman sendiri dilupakan. Barangkali pertanyaan dan pernyataan itu yang kemudian menghuni.
Apa pula yang langsung muncul di benak, saat seseorang yang telah membuat janji dengan kita, tidak
hadir atau terlambat? Dasar si X selalu molor, tidak tepat janji dsb. Mungkin prasangka itu yang
bersemayam di dada, disertai dengan kekesalan menggunung. Padahal, bukankah sebenarnya begitu banyak
kemungkinan bisa menjadi penyebabnya? Padahal, jika kita pikir, kecil kemungkinan seorang dekat
‘sengaja’ menyakiti kita?
Bukankah, misalnya, sebagai orang dekat -alih-alih erprasangka-, si A mestinya bisa meyakinkan diri
bahwa si B tidak akan mengabaikannya apalagi mencelakainya? Atau bisa pula sebaiknya si A mencemaskan
kondisi si B karena sulit dihubungi, khawatir ada apa-apa dengannya? Bisa jadi, orang-orang dekat kita
tidak mengirim do'a hari lahir karena memang mereka tidak biasa melakukannya atau sedang sibuk sekali,
bukan karena tidak sayang pada kita? Mungkin saja, seseorang gagal memenuhi janji karena terjebak macet,
demo atau ada urusan mendadak yang harus diselesaikan? Begitu banyak alas an ‘pembenaran’ bisa dicari,
namun, sekali lagi, biasanya yang muncul adalah su’udzan, prasangka buruk, negatif thinking.
Itu hanya contoh sederhana dan berkaitan dengan hubungan antar pribadi. Negthink juga muncul dalam
kaitannya terhadap diri sendiri dan juga Allah Sang Pencipta. Banyaknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini
adalah contoh ekstrim. Mereka mengakhiri hidup karena berputus asa terhadap kondisi dirinya, dan juga,
mungkin tanpa sadar, menyalahkan Dia yang telah memberikan ‘takdir’. Barangkali kita tidak seekstrim itu,
tapi tak ada salahnya kita tengok: Apa yang kita sangkakan saat kegagalan demi kegagalan menimpa diri?
Saat musibah demi musibah tak henti menyapa? Saat harapan tak sesuai kenyataan?
Bahkan dalam ruang yang lebih luas, negthink sampai memakan korban. Berapa kali kita mendengar
berita pembantaian warga oleh warga karena sangkaan ‘dukun santet’? Berapa banyak tawuran antar
sekolah dan antarwarga karena saling mengira pihak lawan yang memulai? Karena seorang warga mengira
warga sebelah meludah di hadapannya dengan sengaja?
Tanpa sadar, budaya Negthink telah menjadi karakter yang melekat dalam hidup kita. Sehingga nyaris
dalam tiap kondisi, pikiran pertama yang muncul di benak adalah sesuatu yang bernada negatif. Terhadap
orang lain, terhadap diri sendiri, bahkan terhadap Allah!
Jika saat ini di sekeliling kita banyak peristiwa besar terjadi yang disebabkan oleh su’udzan, prasangka
buruk dan negthink, mungkin tiba waktunya bagi setiap diri kita untuk bercermin: Apakah persepsi yang

19
muncul secara spontan dalam benak saya lebih sering negatif jika melihat suatu fenomena, mendengar
berita, menghadapi masalah?
Setelah menemukan jawabnya, kita layak merenungkan pernyataan Ibnul Qayim Al Jauziyah: “Segala
amal dan perilaku diawali dari persepsi dan pandangan seseorang”. Jika paradigma dan persepsi spontan kita
lebih lebih banyak negatifnya sangat logis jika kemudian juga menghasilkan perilaku dan amal yang negatif
pula. Maka, upaya merubah budaya Negthink merupakan upaya utama yang perlu dilakukan oleh setiap
kita. Dari hal yang paling kecil. Dalam kedudukan yang paling awal. Yaitu memulai berpikir positif
terhadap diri sendiri.
Insya Allah, pada gilirannya, kita akan dapat menjiwai firman Allah dalam QS Al Hujurat 12: “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
adalah dosa”. Dan semoga, dengan demikian akan banyak persoalan besar akan terselesaikan.
Azi mah R ahayu revisi kesekian kali
*)Terima kasih untuk Faisal yang telah menohok saya dengan komentar Negthink: I do learn a lot from u

20

Vous aimerez peut-être aussi