Vous êtes sur la page 1sur 6

Dosen PJ

Hari/tanggal

: Drh. Titiek Sunartatie, MS


: Senin, 28 November 2016

LAPORAN PRAKTIKUM PENYAKIT INFEKSIUS I


(IPH 323)
Identifikasi Kapang Penyebab Dermatofitosis pada Kucing
Oleh:
Kelompok 4
Ikbal

B0413000

I Putu Gede Kusuma Yuda

B04130039

Reza mahlefi

B04130044

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN


DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang di


sebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap produk metabolit
jamur dan akibat invasioleh suatu organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah
utama terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi
melalui dan di antara sel, serta terbentuknya respon pejamu. Patogenesis dermatofitosis
tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, higiene perseorangan,
sumber penularan, penggunaan obat- obatan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas
dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien (Adiguna
2004).
Dermatofitosis dapat disebabkan oleh Kapang atau cendawan dengan
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.

genus

Berbagai spesies dari tiga genus

kapang ini dapat menginfeksi kulit, bulu atau rambut, kuku, dan tanduk dalam berbagai
intensitas infeksi. Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya, dan penyakit ini secara
ekonomis sangat penting (Djenuddin, 2005).
Diagnosis dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler perlu
ditinjau terutama yang khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan. Tujuan utama dalam
mendiagnosis dermatofitosis adalah untuk membuktikan adanya invasi oleh kapang
dermatofita pada lapisan epidermis atau batang rambut. Metode diagnostik utama yang
sering digunakan adalah pemeriksaan dengan lampu Wood, pemeriksaan dengan mikroskop
secara langsung dan kultur. Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan
dipertimbangkan untuk saling melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond 2010).

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk memberi pengetahuan mahasiswa melakukan diagnosa
langsung penyebab dermatofitosis dengan cara menemukan makrokonidia pada kerokan
kulit yang terlihat dari perubahan patologi anatomi kulit.
BAB II

BAHAN DAN METODE


2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah scalpel, gelas objek, cover glass,
ose dan jarum, cawan petri, dan mikroskop. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah
KOH 10%, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), aquades, selotape, media biakan SDA (Sabouraud
Dextrose Agar), dan sampel kulit. Hewan sebelumnya diduga menderita dermatofitosis dengan
gejala klinis berupa kebotakan dengan batas yang jelas pada daerah leher. Sampel kulit dikerok
dengan scalpel yang steril dan dimasukkan ke dalam plastik bersih yang berpenutup dan di bawa
ke laboratorium untuk pemeriksaan lanjut.
2.2 Metode
Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah pemeriksaan langsung dengan menempelkan
sampel dari kerokan kulit pada gelas objek. Kemudian sampel ditetesi larutan KOH 10% dan
ditunggu sekitar 15 menit. Larutan KOH 10% ini adalah untuk melisiskan jaringan sehingga
dapat terlihat hifa dan makrokonidia. Selanjutnya sampel diamati di bawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 40x .
Identifikasi berikutnya yaitu menanam sampel kerokan kulit pada media biakan SDA
yang diberi antibiotik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 7 hari. Hasil biakan
tersebut kemudian diamati baik secara makroskopis dengan mengamati morfologi koloni dan
secara mikroskopis dengan mengamati morfologi mikroskopisnya. Pengamatan morfologi
mikroskopis dilakukan secara natif, yaitu dengan menggunakan selotape yang ditempelkan ke
gelas objek yang ditetesi LPCB dan dibuat slide culture dengan teknik Riddel. Penentuan kapang
dilakukan dengan mengidentifikasi berdasarkan morfologi hifa, konidia dan konidiosporanya.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Pembahasan
Identifikasi cendawan dari hasil kerokan kulit dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama
yaitu, pengamatan cendawan secara makroskopis yang meliputi pengamatan terhadap warna dan
bentuk koloni yang dibiakkan pada media agar. Tahap kedua yaitu, pengamatan secara
mikroskopis yang dilakukan dengan membuat slide kutur yang meliputi pengamatan terhadap
bentuk hifa, bentuk, dan ukuran konidia.
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian kutan/superfisial
atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk). Pada
hewan kesayangan, dermatofitosis dapat menginfeksi kulit, rambut, atau kuku. Pada anjing,
sekitar 70% penderita ringworm disebabkan kapang Microsporum canis, 20% oleh M. gypseum,
dan 10% oleh Trichophyton mentagrophytes (Vermout et al. 2008). Di Indonesia yang menonjol
diserang adalah anjing dan kucing. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut
taksonomi tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena pembiakannya dilakukan secara
aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes(Ahmad 2009).
Pada praktikum ini digunakan sampel yang diambil dari kucing dermatitis dan diduga
menderita dermatofitosis. Pertama dilakukan kerokan kulit di daerah punggung dan dilakukan
dilakukan dengan pemeriksaan KOH. Namun, tidak ditemukan adanya makrokonidia dalam
sampel kerokan kulit. Hanya ditemukan hifa dengan septa yang berwarna coklat kehitaman pada
preparat. Setelah diperiksa secara mikroskopis dilanjutkan dengan pembiakkan sampel kerokan
kulit pada media Sabourauds Dextrose Agar (SDA). Pada pengamatan makroskopis minggu
kedua, dapat ditemukan adanya topografi koloni datar, dengan sedikit melipat berwarna putih
seperti kapas, dan tepi berawarna kuning sampai tidak berwarna. Dilanjutkan dengan
pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue. Untuk mengetahui jenis
kapang yang menyebabkan dermatofitosis pada kucing tersebut, maka dilakukan uji lanjut yaitu
Riddle test.
Pengamatan hasil dari kultur Riddle test yaitu secara mikroskopis. Dapat
ditemukan beberapa mikrokonidia, sejumlah dinding tebal dan makrokonidia bergerigi dengan
knob pada ujungnya. Pada literatur pertumbuhan koloni pada media yaitu datar, kasar dan

berambut, dengan celah radial yang rapat serta miselium yang berbentuk cotton atau wool yang
berwarna kuning pucat sampai putih pada bagian tengah dengan tepi berwarna kuning sampai
tidak berwarna.. M.canis memperlihatkan hifa bersepta yang panjang dalam jumlah banyak serta
makrokonidia besar berbentuk batang bulat yang biasanya memiliki septum ganda dan
mengandung lebih dari enam sel. Beberapa mikrokonidia kecil yang berbentuk lonjong oval dan
berdinding halus juga dapat ditemukan, serta klamidokonidia yang berbentuk bulat (Olivares
2003). Berdasarkan pengamatan dan literatur maka jenis kapang yang menyebabkan
dermatofitosis pada kerokan kulit kucing adalah Microsporum canis. M. canis bersifat ectothrix
dan zoofilik yang terdapat pada kucing, anjing, kuda, dan kelinci, gambaran mikroskopis dari
kultur adalah macroconidia berbentuk spindle, berdinding tebal dan kasar. Microconidia
berbentuk clubbing dan berdinding halus, sedangkan M. gypseum bersifat ectothrix dan geofilik.
Gambaran makroskopisnya makrokonidia berbentuk spindle, dinding tipis 3-6 septa, dan
mikrokonidianya sedikit dan berbentuk clubbing (Pohan., A. 2009).

BAB IV

PENUTUP
Simpulan
Setelah dilakukan serangkaian uji untuk mengidentifikasi cendawan penyebab
dermatofitosis pada kucing, didapatkan hasil bahwa cendawan tersebut adalah Microsporum
canis. Microsporum canis merupakan cendawan yang memiliki warna cream, tekstur cottony,
topografi verrucose. Sedangkan secara mikroskopik memiliki makrokonidia berbentuk spindle,
dinding tipis 3-6 septa, mikrokonidianya berbentuk clubbing, hifa bersepta.

DAFTAR PUSTAKA
Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulya U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya
Nasional. Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner.Bogor.
Bond R. 2010. Superficial veterinary mycoses. Clinics in Dermatology. (28) : 226236.
Djenuddin, G. 2005. Penyakit Kulit oleh Kapang Dermatofit (Ringworm) pada Kelinci. Balai
Penelitian Veteriner, Bogor.
Olivares RAC. 2003. Ringworm Infection in Dogs and Cats. in Recent Advances in Canine
Infectious Diseases. [diunduh 27 November 2016]. www.ivis.org.
Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. arthur@fk.unair.ac.id.
Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B. 2008. Pathogenesis of
dermatophytosis. Mycopathologia. 166: 267-275.

Vous aimerez peut-être aussi