Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Hanifia Azizah
ABSTRAK
Temperatur dan kelembaban adalah salah satu faktor utama yang berperan dalam produksi
telur. Penelitian tentang pengaruh indeks temperatur dengan kelembaban (THI) penting
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan THI
terhadap kualitas eksterior dan tebal kerabang telur ayam ras. Penelitian dilakukan terhadap
350 ekor ayam ras petelur dengan jumlah 60 butir telur dari masing-masing THI yang
berbeda (THI = 89 dan THI= 72 ). Penelitian ini dilaksanakan pada November 2014 di CV.
Acum Jaya Abadi, Kuningan untuk THI tinggi dan di Peternakan milik Bapak Iqbal di Dusun
Cihampelas, Cililin untuk THI rendah. Penelitian ini menggunakan metode uji-t tidak
berpasangan. THI tinggi menyebabkan bobot telur yang rendah, bentuk telur yang lebih bulat
dan kerabang telur yang lebih tipis dibanding THI normal.
Kata kunci : ayam petelur, kelembaban, , kualitas Telur, temperature
ABSTRACT
The temperature and humidity have been the main aspect that play the main role in the eeg
production. So that, investigation about the effect of THI (Temperature Humidity Index) need
to study. The purposed this study to investigated the effect of THI on egg qualities and thick
eggshell of laying hens. Three hundred and fifth of layer in the two THI levels (THI = 89 and
THI = 72) used in this study, and 60 eggs were collected in this both group, expectively, to
measure of exterior qualities and eggshell of layer. This experiment was conducted from
October to December, 2014 at the CV. Acum Jaya Abadi as the place of the THI = 89 and for
THI = 72 was done in the farm at Cihampelas, Cililin. Data was collected and analyzed by
statistical of unpaired t-Test. Based on the result of this study showed that egg weight
average, shape index, and thick eggshell were showed a reducing in the hight THI, except
the specific gravity.
Keywords : egg quality, humidity, layer, temperature
PENDAHULUAN
Ayam ras petelur sebagai hewan berdarah panas (homeoiterm) merupakan ternak
yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca termasuk suhu dan kelembaban.Suhu dan
a. Bobot Telur
Masing-masing telur ditimbang sehingga diketahui beratnya. Telur yang ditimbang adalah
telur utuh yang langsung diambil dari kandangnya.Semakin besar bobot telur maka kualitas
telur semakin baik. Telur ditempatkan dalam timbangan kemudian diukur beratnya dalam
satuan gram. Telur yang diukur merupakan telur utuh yang diambil langsung dari kandang.
b. Shape Index
Bentuk telur yang baik mempunyai indeks telur sebesar 74 (Indratiningsih dan Rihastuti,
1996). Pengukuran shape indeks dengan menggunakan jangka sorong ditentukan sebagai
berikut,
Shape Indeks =
100
c. Specific Gravity
Nilai standar specific gravity untuk ayam tipe petelur adalah 1,075 (Butcher, 1991).
Specific gravity telur dapat dihubungkan dengan ketebalan kerabang (Gaisford,1964).
Telur dimasukkan ke dalam ember yang berisi larutan garam dengan beberapa tingkat
keenceran dan diurutkan mulai dari larutan garam yang terencer (Specific gravity nya
terendah),
Specific gravity ditentukan berdasarkan perbandingan larutan garam yang menyebabkan
telur mengambang.Perbandingan garam dan air untuk penentuan specific gravity dapat dilhat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan air dan garam yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai specific
gravity tertentu
Air (L)
3
3
3
3
3
3
3
3
3
*Sumber: Butcher, 1991
Garam (gr)
276
298
320
342
365
390
414
438
462
1,060
1,065
1,070
1,075
1,080
1,085
1,090
1,095
1,100
d. Tebal Kerabang
Kerabang telur diukur ketebalannya menggunakan mikrometer skrup.Ketebalan
kerabang telur yang berwarna putih berbeda dengan kulit telur yang berwarna coklat.
Ketebalan kulit telur ayam ras normal adalah sebesar 0,33 0,35 mm (Steward dan Abbott,
1972). Ambil sebagian kerabang dari ujung tumpul, ujung runcing dan bagian tengah telur
kemudian ukur dengan menggunakan mikrometer skrup.
4. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik
Penelitian menggunakan metode eksperimental menggunakan rata-rata hitungan,
simpangan baku dan uji-T student.Analisis data menggunakan analisis T-student dengan
populasi tidak berpasangan,:
P1 = Ayam petelur dengan THI 72 (23-24 C ; 50-60%)
P2= Ayam petelur dengan THI 89 (27-33 C ; 85-93%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pengaruh THI terhadap beberapa parameter kualitas telur dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Rata-rata hasil pengamatan kualitas eksterior telur dan tebal kerabang
Perlakuan
No
Perlakuan
Tempat
Bobot telur
(g)
Shape
indeks
Spesifik
Gravity
Tebal
kerabang
(mm)
THI 89
Kuningan
60,49a
77,74a
1,101a
0,36a
THI 72
Cililin
64,48b
75,98b
1,089a
0,46b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunujukkan perbedaan yang
nyata (p < 0,05)
Hasil analisis uji-t tidak berpasangan terhadap kualitas telur menunjukkan bahwa ratarata bobot telur, shape indeks dan tebal kerabang menujukkan perbedaan yang nyata (p <
0,05) pada kedua tempat dengan THI yang berbeda, kecuali tehadap spesifik gravity.
Pada Tabel 2 tampak bahwa rata-rata bobot telur pada THI tinggi lebih kecil yakni
sebesar 60,49 dibandingkan bobot telur ayam ras yang dipelihara pada THI rendah dengan
rata-rata bobot sebesar 64,48.
Pemeliharaan ayam ras petelur dalam kondisi pakan, strain, dan umur yang sama jika
dipelihara pada suhu dan kelembaban yang berbeda maka menunjukkan performans produksi
yang berbeda pula. Menurut Andi Mushawwir dan D. Latipudin (2013) mengemukakan
bahwa nutrisi yang digunakan untuk produksi telur hanya merupakan kelebihan dari nutrisi
yang digunakan untuk proses homeostasis dan hidup pokok. Oleh karena itu, ayam ras
petelur yang dipelihara pada THI tinggi (Kuningan) ayam
cenderung menghabiskan
energinya untuk melakukan proses homeostasis agar suhu tubuhnya tetap dipertahankan
dalam keadaan normal. Selain itu pada THI yang tinggi akan menyebabkan terjadi
penyesuaian pusat regulasi panas tubuh yang berdampak pada menurunnya konsumsi pakan
sehingga mengakibatkan produksi telur termasuk bobot telur menurun.
Terkait homeostasis, dapat dikemukakan bahwa mekanisme ini merupakan usaha
ternak secara fisiologik untuk mempertahankan kondisi normal agar seluruh fungsi sel hingga
jaringan dapat berlangsung sesuai dengan fungsi biokimianya Aengwanich (2007)
melaporkan bahwa cekaman panas mengaktifkan mekanisme homeostasis yang ditempuh
dengan interaksi berbagai jaringan dan organ, antara lain jaringan darah, organ jantung,
jaringan syaraf, otot, sistem respirasi, ginjal, organ pencernaan, adrenal dan hipotalamus.
Dengan demikian tampak bahwa homeostasis yang ditempuh melibatkan banyak
organ guna mempertahankan temperature tubuh ternak melalui thermoregulasi (pertukaran
panas) sebagai dampak konduksi dan radiasi panas yang terlalu berlebihan dari lingkungan
sekitarnya.Pertukaran panas dari tubuh ternak ayam ke lingkungan merupakan homeostasis
utama yang ditempuh sebagai kenaikan THI. Peran hypothalamus dan interkasi organ lain
ditunjukkan melalui stimulasi syaraf sebagai tahap awal ransangan terhadap affektor yang
diterima oleh reseptor syaraf pada permukaan tubuh, selanjutnya mengaktifkan hormone
epinefrin. Franco (2004)
corticotropic relasing factor (CRF), CRF mensitimulasi adrenocortico tropic hormon (ACTH)
di sel-sel pituitary, selanjutnya ACTH akan menstimulasi hormone epinefrin. Selanjutnya
Gasser dkk.(2006) dan Guay dkk. (2007) mengemukakan bahwa hormone epinefrin akan
berikatan dengan reseptor -adrenergik yang terdapat dan tersebar diseluruh vaskuler yang
halus atau pembuluh darah kecil baik venolus maupun atreol, sehingga pembuluh-pembuluh
darah akan mengalami vasodilatasi atau pelebaran/perbesaran vaskuler.
Berdasarakan fakta ini maka dapat dijelaskan bahwa mekanisme fisiologi tersebutlah
yang menjadi faktor penyebab meningkatnya tingkah laku panting atau bernafas cepat dan
dangkal, sebagai mekanisme pengeluaran panas.Kegiatan ini didukung oleh meningkatnya
evaporasi panas ke dalam system pencernaan dan meningkatnya denyut jantung serta
meningkatnya konservasi air tubuh di dalam ginjal.Mutaf dan Seber (2005) serta Mutaf dkk.
(2008) telah melaporkan melalui hasil penelitiannya terdahulu bahwa epinefrin bukan hanya
menyebabkan vasodilatasi tetapi pada saat yang bersamaan akan meningkatkan laju denyut
jantung agar curah dan volume darah yang dialirkan semakin banyak. Mekanisme ini dapat
berlangsung sebagai interaksi kerja otot dada, sistem respirasi dan sistem pencernaan.
Rata-rata indeks telur (shape indeks) pada THI tinggi lebih besar yakni sebesar 77,74
dibandingkan shape indeks ayam ras yang dipelihara pada THI rendah dengan rata-rata shape
indeks sebesar 75,98. Nilai indeks telur yang besar berarti telur memiliki ukuran panjang
lebih kecil dibandingkan dengan nilai indeks telur yang rendah sehingga bentuk telur nya
menjadi bulat. Nilai indeks telur yang tinggi bukan berarti telur berkualitas baik, karena
Bentuk telur yang baik mempunyai indeks telur sebesar 74 (Indratiningsih dan Rihastuti,
1996), berbentuk bulat apabila indeksnya 76 dan oval apabila indeksnya = 72-76 (Sumarni
dan Djuarnani, 1995).
Berdasarkan kriteria bentuk telur yang telah dipublikasin oleh peneliti sebelumnya
maka dapat dikatakan bahwa bentuk telur ayam ras yang dipelihara pada THI yang tinggi
berdasarkan penelitian menyebabkan telur bebentuk bulat yaitu 77,74 dibandingkan telur
ayam ras pada THI yang rendah berdasarkan hasil yang berbentuk oval
yaitu 75,98.
Beberapa faktor mikro yang mempengaruhi bentuk telur antara lain telah dilaporkan oleh
Swenson (1997) bahwa bentuk telur sangat ditentukan oleh ransangan gerakan peristaltic
yang distimulasi oleh system syaraf (Tan dkk., 2003; Tmov dan Gous, 2012) dan oleh
mekanisme hormonal terutama oleh hormon adrenal (epinefrin), angiotensin II, estrogen dan
prostaglandin (Novero dkk., 1991 dan Parkes dkk., 2006.).
Mekanisme kontrol syaraf terhadap pembentukan telur telah banyak dilaporkan.
Stimulasi telencephalon (system syaraf) terhadap penundaan dan percepatan kalsifikasi
(pembentukan kerabang) dan oviposisi telah diteliti Elnager (2000) sedangkan Onagbesan
dkk. (2006) melaporkan mengenai stimulasi preoptic hypothalamus sebagai penyebab
oviposisi premature dan rangsangan diteruskan melalui sistem syaraf oviduct yang
menyebabkan bentuk telur tidak akan oval. Penelitian lain menunjukkan bahwa obat
sympathomimetic dan para sympathomimetic yang diberikan kepada unggas fase bertelur
menyebabkan pengaruh terhadap irama peristaltik ada otot kelenjar kerabang. Penelitianpenelitian ini menujukkan bahwa sistem syaraf memegang peranan yang sangat vital terhadap
kalsifikasi dan oviposisi.Selanjutnya Shaw dkk.(1979) dan Shinder dkk. (2007) melaporkan
bahwa mekanisme control syaraf menjadi tidak terartur dengan meningkatnya tempertaur
lingkungan atau imbangan temperature dengan kelembaban (THI).
kerabang, frekuensi PLIS per menit meningkat, namun durasi menurun secara signifikan
selama periode waktu yang sama, kemudian aktivitas lonjakan impuls syaraf ini terus
menurun hingga 10 menit pada periode post oviposition. Dalam vagina, perubahan PLIS
hanya bersifat sementara.Perubahan PLIS menunjukkan bentuk telur manjadi bulat atau lebih
panjang.
Specific gravity pada THI yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata.Artinya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata dari specific
gravity masing-masing THI. Pada THI tinggi rata-rata specific gravity sebesar 1,101
sedangkan rata-rata specific gravity ayam ras yang dipelihara pada THI rendah dengan ratarata specific gravity sebesar 1,089. Nilai standar specific gravity untuk ayam tipe petelur
adalah 1,075 (Butcher, 1991). Jika dilihat dari nilai rata-rata dari specific gravity masingmasing lokasi, keduanya sudah memiliki nilai diatas standar dengan nilai specific gravity
yang tidak berbeda (p > 0,05) ditunjukan pada telur ayam ras petelur yang dipelihara
dikedua lokasi yaitu Kuningan dan Cililin.
Menurut Gaisford (1964) bahwa Specific gravity telur dapat dihubungkan dengan
ketebalan kerabang.Specific gravity juga berpengaruh pada tingkat kesegaran telur.Beberapa
penelitian sebelumnya (Butcher dan Miles, 1991; Franco, 2004) menunjukkan penurunan
specifik grafity (SG) dengan meningkatnya temperature yang ekstrim.
Berdasarkan hasil penelitian ini yang menunjukkan nilai SG yang tidak berbeda maka
dapat diasumsikan bahwa temperature dengan THI yang tinggi masih mampu ditolerir oleh
DAFTAR PUSTAKA
Aengwanich, W. 2007.Effects of High Environmental Temperature on Blood Indices ofThai
Indigenous Chickens, Thai Indigenous Chickens Crossbred and Broilers.International
Journal of Poultry Science. 6: 427-430.
Andi Mushawwir dan D. Latipudin. 2012. Respon Fisiologi Thermoregulasi Ayam Ras
Petelur Fase Grower dan Layer. Proceeding of National Seminar on Zootechniques of
Indogenous Resourches Development, Semarang.
Andi Mushawwir dan D. Latipudin. 2012. Respon Fisiologi Thermoregulasi Ayam Ras
Petelur Fase Grower dan Layer. Proceeding of National Seminar on Zootechniques
for Indogenous Resources Development.Faculty of Animal Agriculture Diponegoro
University and Indonesian Society of Animal Agriculture, Semarang.
Andi Mushawwir dan D. Latipudin. 2013. Biologi Sintesis Telur, Perspektif Fisiologi,
Biokimia dan Molekuler Produksi Telur . Graha Ilmu : Bandung.
Butcher,G.D. and Miles D. R. 1991. Egg Specific gravity-Designing A Monitoring program.
Institute of Food and Agricultural Science.Florida.www.pjbs.org. Diakses tanggal 24
September 2014.
Elnager, S. A. 2000. Hypothyroid-mediated changes in reproductive function during heat
stress in laying hens at different stages of production. Ph.D. Dissertation. Alexandria
Univ., Egypt.
Franco,D. J. 2004. Effect of heat stres of production, physiologicaland metabolic parameters
in three varieties of laying hens.PhD Dissertation, Univ. of Nebraska, Lincoln.
Gaisford, M .J. 1964.The Application of Shell Strength Measurement in Egg Shell Quality
Determination.British Poultry Science Vol. 6 No.3.
Gasser, A., E. Bruhn and A. H. Guse. 2006. Second messenger function of nicotinic acid
adenine dinucleotide phosphate revealed by an improved enzymatic cycling assay. J.
Biol. Chem. 281:16906-16913.
Mutaf, S., and N. Seber. 2005. The Effect of Insulation Level of Theconstruction Elements
and Evaporative Cooling Systems in Thepoultry Houses on Laying Hen Performance
in Hot Climate. Pages347353 in Proc. 31st Commission International de
lOrganisation Scientifique du Travail en Agriculture-International Commission of
Agricultural Engineering (CIOSTA-CIGR) V. F. und T. MullerbaderGmbH,
Filderstadt, Germany.
Rukhyat, K. Edjeng, S. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya , Bandung.
Shaw, M. J., L. E. Georgopoulos, and A. H. Payne. 1979. Synergistic effect of folliclestimulating hormone and luteinizing hormone on testicular 5-3-hydroxysteroid
dehydrogenaseisomerase: Application of a new method for the separation of testicular
compartments. Endocrinology 104:912918.