Vous êtes sur la page 1sur 18

MAKALAH

PESIKOLOGI VERSUS DAN PRO AGAMA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pesikologi Agama
Dosen Pengampu : Ibu Fatimtus Zahro, M.S.I

OLEH :
ADIB ULIN NUHA
RIFQI MUHAMMAD S.U
MUHAMMAD ALI ALHAFID

NIM : 114034
NIM : 114047
NIM : 114044

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2016

PESIKOLOGI VERSUS DAN PRO AGAMA


1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum
menjadi ilmu yangotonom, psikologi agama memiliki latar belakang
sejarah perkembangan yang cukup lama.Karena itu psikologi agama
dinilai sebagai cabang psikologi yang relative masih muda.Perbedaan
pendapat

yang

belatar

belakangi

perbedaan

sudut

pandang

antaraagamawan dan para psikolog agama sempat menunda munculnya


psikologi agama sebagaidisiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga
psikologi agama sebagai cabang psikologi barutumbuh sekitar
penghujung abad ke-19, setelah sejumlah tulisan dan buku-buku yang
menjadipendukungnya diterbitkan dan beredar.Dalam usianya yang
menjelang seabad ini tampaknya psikologi agama kian diterimaoleh
berbagai kalangan termasuk para agamawan yang semula menggugat
keabsahannyasebagai disiplin ilmu yang otonom. Sejalan dengan hal itu
maka kemajuan danpengembangan psikologi agama di lapangan
dinilai

banyak

membantu

pemahaman

terhadappermasalahan

keagamaan dalam kaitannya dengan tugas-tugas kependidikan.Maka


penulisan makalah ini membahas psikologi agama selain sebagai
tugaspendidikan juga untuk mempelajari sejarah perkembangan
psikologi agama lebih jauh
b. Rumusan Masalah
Sebagaimana diatas bahwa rumusan maslah dalam makalah ini
adalaha sebagai berikut :
1. Apa pengertian Psikologi dan Agama ?
2. Mengapa Psikologi Versus Dengan Agama ?
3. Mengapa Pesikologi Pro Dengan Agama ?
2. PEMBAHASAN
a. Pengertian Psikologi
Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang
secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi,
atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan
kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini,
psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai
cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada

dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep


yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan
hubungan dengan psikologi adalah konseling. Bahkan secara khusus
dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi
terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang digunakan, dan proses
penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai konseling dapat
pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling psychology).
b. Pengertian Agama
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari
terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan
praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar
pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah
sesuatu

yang

menjadi

urusan

terakhir baginya. Artinya,

bagi

kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya


dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan
dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui
agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan
oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan
oranglain dan berusaha untuk bergabung dengan oranglain dalam
ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama
merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
c. Psikologi Versus Agama
Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan
tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena
pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian
memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan
gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan
setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang
eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental,
dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada

gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa


psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan dirii.

Dimana dalam hal Psikologi versus agama ini terdapat


beberapa sudut pandang yaitu sebagai berikut :
1. Pandangan Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan
adalah paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan
agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai obsesi,
kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak,
dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami
kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter
intelektual. Menganggap agama sebagai patologi, gangguan
kejiwaan, menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi kognitif
behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical
Psychology, terbitan 1980 :
Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang
mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkolerasi sangat
signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya
menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian,
keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang
yang

secara

dogmatis

mempercayai

agama

tertentu

mempercayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini.


Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka,
toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat
religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau
berubah. Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama
dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
2. Pandangan Agama Yang Negatif Terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang
keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan
agamawan yang mencampurkan psikologi dengan agama. Ia
menulis buku dengan judul yang menegaskan posisi psikologi
1 Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama. Hlm, 152-174
3

dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan


Psikologi. Pada salah satu artikelnya yang berjudul First Things
: Faith and Terapy (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan
di Boston College ini menulis : Penting diingat oleh orang-orang
yang beriman bahwa tidak ada kompromi antara agama kristen
dan kelompok psikologi.
Satu-satunya
menyibakkan

cara

kabut

ini

yang

paling

perkasa

adalah

cahaya

wahyu.

untuk
Wahyu

mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional


bukanlah segala-galanya. Al-kitab mengajari kita bahwa jika
tangan kita berbuat dosa, kita harus memotongnya. Lebih baik
memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang
membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik
memasuki kerajaan surga dengan psyche yang mengalami
represi ketimbang memasuki tempat lain dengan dipenuhi
penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur
puncak dalam teori-teori para psikolog. Psikolog sangat sedikit
berbicara tentang kebanyakan manusia yang menderita di dunia
ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa kita
semua akan mati.
3. Keyakinan agama para psikolog
Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi,
skularisasi

perlahan-lahan

menyeret

agama

kepinggiran

kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang Eropa,


pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat
dalam kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad
terakhir ini dan paling rendah sekarang ini. Gereja-gereja
Kristen hampir kosong di Eropa utara, kata Hoge (1997:23). Di
Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak
banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan
orang banyak, keterlibatan dalam kegiatan agama tidak
berkurang;

dalam

beberapa

aspek

keagamaan,

bahkan

bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa


agama dapat menjawab semua atau kebanyakan problem
4

masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57% berdoa sekurang-kurangnya


sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445). Mereka juga
ternyata

menaruh

kepercayaan

kepada

lembaga-lembaga

agama: karena kepercayaan pada lembaga agama menempati


urutan kedua setelah institusi militer (Hastings &Hastings, `1994
: 313).
Lalu, dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya
sekularisasi paling jelas menunjukkan dampaknya di kalangan
academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa lulusan
perguruan

tinggi

menganggap

agama

kurang

penting

dibandingkan dengan orang yang tidak masuk perguruan tinggi.


Dalam tinjauan literature yang dilakukan oleh Beit Hallahmi
(1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan akademisi kurang
beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey
yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para
dosen

menyatakan

tidak

menganut

agama

apapun,

dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup, Jr.


1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan
agama kurang penting dibandingkan dengan penduduk lainnya.
Jika kita membandingkan penelitian ini dengan study yang
dilakukan Leuba, salah seorang perintis psikologi agama, kita
menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami
perubahan.. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan
bahwa makin terkemuka seorang ilmuan, makin rendah
keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa psikologi paling
kecil kemungkinannya untuk Percaya kepada Tuhan yang
menjawab doa.
Menurut Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang
menonjol : kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok
Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara menjelimet.
Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya
kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan
kecenderungan orang yang beragama untuk merasa berdosa
dan

takut

akan

hukuman
5

tuhan.

Dari

situlah,

Freud

membandingkan

unsure-unsur

ini

dengan

gejola

obsesif

neurosis, yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan


dalam

menghadapi

impuls

yang

tidak

dapat

diterima.

Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan,


berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia
dini, anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai
oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang
penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh
sosok berkuasa seperti itu menentramkan anak yang tidak
berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge buatan
baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam
situasi hidup lainnya sekali lagi membangkitkan perasaan tidak
berdaya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa
memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra Tuhan
sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan
kepada bapak, yang disebut Freud, merupakan akar setiap
bentuk agama, ditandai dengan kegamangan. Pasalnya,
sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga
menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah.
Kepasrahan penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada
akhirnya memulihkan kembali hubungan yang sudah lama
hilang.
Karena itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti
bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan
hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah
ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat.
Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian
dihambat untuk berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan
akan didominasi oleh hambatan-hambatan berfikir dan akan
mengendalikan impulsnya melalui represi yang ditimbulkan oleh
ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura
kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi
masyarakat yang memaksakan penekanan naluri melalui
hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu, karena orang6

orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan


bukan karena pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma
agama

yang

membenarkan

memporak-porandakan

larangan

cultural

masyarakat.Hanya

ini

akan

dengan

meninggalkan agam dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud,


dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat
akan

berkembang

melewati

tahap

kekanak-kanakannya.

Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima


banyak celah yang ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita
tentang realitas, sambil dengan berani menghadapi situasi tak
berdaya dan tak bermakna yang menjadi nasib kita semua.
Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud,
peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya
diterima dengan ikhlas.
4. Agama Pada Masa Pranatal dan Anak- Anak
Ketika berada didalam kandungan bayi sudah bisa
merespon sinyal-sinyal yang ada di luar. Apa yang didengar
ataupun yang dirasakan oleh ibu dapat dirasakan oleh bayi
tersebut.
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari
kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada
awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan
merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta
diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap
tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai
pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman
yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun,
setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang
disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama
makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan
itu tunbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya
sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacammacam

emosi

dan

dorongan
7

yang

saling

bertentangan.

Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan


ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik,
akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu
menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya,
bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga,
butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan
anak terhadap Tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha
menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan.
Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan
emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan,
tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi
didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika
orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang
menyenangkan.
Orang bijak telah menunjukkan pada manusia berbagai
macam benda yang akan menarik perhatiannya dan menjadi
objek konsentrasinya untuk menenangkan fikirannya: karena
dalam fikiran yang tenang, Tuhan akan menjelma.2
5. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. walupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki
kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini
memerlukan

pengembangan

melalui

bimbingan

dan

pemeliiharaan yang mantap, lebih-lebih usia dini.


Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai
makhluk yang religius. Selain itu ada pula yang berpendapat
sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah
keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui
proses bimbingan dan latihan setelah ada yang berpendapat
bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin
secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan
2 Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama,(Yogyakarta: Putra Langit, 2003) hal. 96

lainnya. Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama


pada anak, antara lain:
a. Rasa ketergantungan (Sense of depand)
Bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan.
Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan
pada diri anak.
b. Rasa keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa
instink

diantaranya

instink

keagamaan.

Belum

terlihatnya keagamaan pada diri anak karena beberapa


fungsi

kejiwaan

yang

menopang

kematangan

berfungsinya instink itu belum sempurna.


6. Tahap perkembangan agama pada anak.
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui
pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah,
dan

dalam

masyarakat

lingkungan.

Semakin

banyak

pengalaman yang bersifat agama(sesuai dengan ajarannya),


akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan,
kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan
ajaran agama.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa
beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian yang
mana sebagai berikut :
a. The Fairly Tale Stage (Tingkat dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 6 tahun,
konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama
anak masih menggunakan konsep fantastis yang
diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk
akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang
ada dalam dongeng-dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada
para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita
akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa
9

anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanakkanakannya.

Dengan

caranya

sendiri

anak

mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan


dan

ungkapannya

tentang

Tuhan

lebih

bernada

individual, emosional dan spontan tapi penuh arti


teologis.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan
sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta.
Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas
pada

emosi

berubah

menggunakan

pada

hubungan

pikiran

dengan

atau

logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris


bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang
sebagai

permulaan

wajarlah

bila

anak

pertumbuhan
harus

logis,

diberi

sehingga

pelajaran

dan

dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan


dipukul bila melanggarnya)
c. The Individual Stage (Tingkat Individu).
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan
emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia
mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini
terbagi menjadi tiga bagian.
1. Konsep ketuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian
kecil fantasi.
2. Konsep ketuhanan

yang

lebih

murni,

dinyatakan dengan pandangan yang bersifat


Personal.
3. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik,
yaitu agama telah menjadi etos humanis
dalam diri mereka dalam menghayati ajaran
agama.3
3 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005) hal. 67
10

Dalam kehidupan seehari-hari, ternyata tidak semua


anak

dapat

menyesuaikan

diri

dengan

baik

terhadap

lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang miskin


kepribadiannya ataupun kehidupan sosialnya, merasa tidak
bahagia dan mengalami kesukaran dalam mengatasi masalah
yang

timbul.

Itu

semua

karena

banyak

faktor

yang

mempengaruhi keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri. 4


Berkaitan dengan masalah ini. Imam Bawani membagi
fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat
bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa
ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan
psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa
perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan
ruh pada bayi, tepatnya ketika terrjadinya perjanjian
antara manusi dengan Tuhannya.
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui
perkembangan agama pada seorang anak. Namun
isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan
dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan
iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak-kanak.
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk
menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak
sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal
yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orangorang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia
mengenal

Tuhan

disekelilingnya.

Ia

melalui

ucapan-

melihat

ucapan

orang

orang

yang

perilaku

mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak


pada

usia

kanak-

kanak

belum

mempunyai

4 D Gunarta Singgih, dkk, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 1986) hal. 94-95

11

pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan


tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan
dan membiasakan anak dalam melakukan tindakantindakan agama sekalipun sifatnya meniru.
d. Masa Anak Sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa
lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan
perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan
dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin
berkembang.
d. Psikologi Pro-Agama
Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah
kenyataan bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di
kalangan mainstream psikologi dan psikiatri-agama di anggap
sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Belakangan
ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-hasil penelitian
tentang agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa jika
religiusitas di korelasikan dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek
yang di temukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan
negatif antara agama dan kesehatan mental,seperti dinyatakan oleh
Elis dan lain-lain. Sebanyak 47% menunjukan hubungan positif, dan
30% hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil penelitian bertentangan
dengan teori efek negatif agama. Secara singkat, Koenig (1999)
melaporkan dalam bukunya, The Healing Power Of Faith, bahwa
keluarga yang religius umumnya:
1. Punya keluarga yang lebih bahagia
2. Punya gaya hidup yang lebih sehat
3. Dapat mengatasi stress
4. Hidup lebih lama dan lebih sehat
5. Terlindungi dari penyakit kardiovaskular
6. Punya sistem imun yang lebih kuat
7. Lebih sedikit menggunakan jasa rumah sakit
Selain itu, khusus untuk kesehatan mental, yang ,menjadi
perhatian

para

psikolog

dan

psikoterapis,

agama

perlu

dipertimbangkan dan di pelajari karena 5 alasan yang di kemukakan


Koenig :
1. Dengan

mengetahui

latar

belakang

dan

pengalaman

keagamaan pasien, terapis akan lebih memahami konflik yang


12

terjadi pada diri pasien. Misalnya, pasien yang sedang bergulat


menghadapi

perasaan

bersalah

tidak

akan

berhasil

di

sembuhkan dengan psikterapi tradisional. Dengan meneliti latar


belakang agama pasien, psikolok mengetahui bahwa pasien
dibesarkan dalam keluarga fundamentalis yang exstrime.
Pasien menderita karena ketakutan akan akibat dosanya.
2. Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan
peranan yang di mainkanya pada kehidupan sekarang, terapis
akan dapat melakukan intervensi kognitif dan bihavioral dengan
cara-cara yang dapat di terima oleh sistem kepercayaan pasien.
3. Pengetahuan tentang komitmen, prilaku, dan kepercayaan
agama pasien akan membantu terapis untuk mengidentifikasi
sumber daya agama yang sehat, yang bisa di percaya untuk
melengkapi terapi tradisional.
4. Pengalaman

agama

yang

negatif

sebelumnya,

dapat

merintangi pasien untuk menggunakan sumber daya imanya


dalam

mengatasi

persoalan

hidupnya

yang

sekarang.

Mempelajari dan membntu pasien mengelola pengalaman


negatifnya itu dapat membebaskan dia untuk sekali lagi
menggunakan sumber daya agamanya.
5. Menyentuh masalah keagamaan akan menyampaikan
kepada pasien kesan bahwa terapis tidak hanya lengkap dan
menyeluruh dalam penilain diagnostiknya, tetapi juga ia peka
pada wilayah kehidupan pasien yang sangat bermakna bagi
orang yang bersangkutan.
1. Efek Agama Pada Kesehatan Fisik Dan Mental.
Berdasarkan penelitian yang tealh di lakyukan sebelumnya,
kita sampai pada kesimpulan yang agak tentative tentang hubungan
agama dan kesehatan. Salah satu kesimpulan yang dapat kita
nyatakan dalam tingkat kepercaytaan yang tinggib adalah bahwa
agama adalah, terutama yang di dasarkan kepada kepercayaan
Judeo-Kristiani, tidak berpengaruh negative terhadap kesehatan.
Tentu saja tidak termasuk kesini cult, seperti yang terlibat dalam
pembantaian Jonestown dan Waco, juga kelompok-kelompok
13

agama yang menyimpang dan berada di pinggiran masyarakat atau


di luar tradisi agama yang sudah mapan. Tidak ada satupun
penelitian yang mendukung pengaruh negative pada kesehatan
mental dan fisik dari kehadiran gereja, sembahyang, membaca al
kitab, atau keterlibatan dalam ritus-ritus keagamaan, terutama sekali
yang terjadi dalam konteks tradisi agama Judeo-Kristiani.
a) Efek pada kesehatan Mental
Secara umum,kesalehan mengikuti kegiatan agama,
baik sendirian ataupun bersama, berhubungan dengan
kesehatan mental yang baik. Secara spesifik:Sejumlah besar
penduduk amerika (sekitar 20-40%) mengatakan bahwa
agama ialah salah satu dari factor penting yang membantu
mereka mengatasi situasi hidup yang penuh stress.
Penggunaan agama sebagi perilaku koping berkaitan
dengan harga diri yang lebih tinggi dan depresi yang lebih
rendah, terutama di kalangan orang-orang yang cacat fisik.
Agama juga dapat meramalkan siapa yang akan tau tidak
akan mengalami depresi.
Komitmen agama yang taat (terutama keberagman
intrinsic) berkaitan dengan tingkat depresi yang lebioh
rendah, penyembuhan dari depresi yang lebih cepat,
kesejahteraan dan moril yang lebih tinggi, harga diri yang
lebih baik, locus control yang internal, perkawinan yang
bahagia, penyesuaian diri yang lebih cepat pada pasien
yang menbderita dimensia atau kanker stadium akhir.
Pengunjung

gereja

atau

sinagog

yang

rajin,

nberkaitan dengan 40-50% pengurangan resiko depresi,


tingkat bunuh diri lebih rendah, tingkat kecemasan lebih
rendah, tingkat alkoholisme dan penggunaan zat adiktif lebih
rendah, di bdukung sosial yang lebih tinggi; kebahagiaan,
penyesuaian, dan kesejahteraan yang lebih besar, harga diri
yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih tinggi, dan

14

meramalkan perasaan positif 12 tahun kemudian pada orang


dewasa muda.
Kegiatan agam sendirian, seperti sembahyang dan
mmbaca alkitab, berkaitan dengan kesehatan yang lebih
besar, kepuasan hidup yang lebih tinggi, kecemasan mati
yang lebih rendah, dan tingkat alkoholisme dan penggunaan
obat yang lebih rendah gula.
b) Efek pada Kesehatan Fisik
Efek keparcayaan dan pengalaman agama pada
kesehatan fisik sama dengan pada kesehatan mental. Pada
umumnya, orang yang beragama lebih sehat daripada yang
tidak. Secara spesifi:
Pada tingkat tertentu penyakit kronis, lelaki yang lebih
religious menganggap kemampuannya untuk berfungsi
secara lebih tinggi daripada orang yang tidak religious.
Frekuensi kunjungan ke gereja dapat meramalkan
tingkat ketidakmampuan fisik yang lebih rendah pada orangorang tua, pada satu, dua, atau tiga tahun berikutnya.
Keberagaman meramal penyembuhan lebih cepat
dari praktur tulang paha (diukur dari beberapa meter berjalan
dan status ambulans pada saat keluar dari rumah sakit).
Intensitas kepercayaanh agama dan kehadiran di
tempat ibadah berkaitan dengan tingkat sakit yang lebih
rendah.
3. PENUTUP.
a. Kesimpulan
Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang
secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi,
atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan
kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini,
psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai
15

cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada


dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep
yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari
terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan
praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar
pemujaan.
Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan
tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena
pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian
memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan
gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan
setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang
eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental,
dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada
gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa
psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan diri.
Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah
kenyataan bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di
kalangan mainstream psikologi dan psikiatri-agama di anggap
sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Belakangan
ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-hasil penelitian
tentang agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa jika
religiusitas di korelasikan dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek
yang di temukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan
negatif antara agama dan kesehatan mental,seperti dinyatakan oleh
Elis dan lain-lain. Sebanyak 47% menunjukan hubungan positif, dan
30% hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil penelitian bertentangan
dengan teori efek negatif agama. Secara singkat, Koenig (1999)
melaporkan dalam bukunya, The Healing Power Of Faith, bahwa
keluarga yang religius umumnya:

16

DAFTAR PUSTAKA
Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama, ogyakarta: Putra Langit, 2003
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005
D Gunarta Singgih, dkk, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 1986
http://dokumen.tips/documents/psikologi-versus-agama.html

diakses

tanggal

18

Oktober 2016
http://kusmawatiheny.blogspot.com/2013/03/psikologi-vs-agama.html
tanggal 17 Oktober 2016

17

diakses

Vous aimerez peut-être aussi