Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Anak Noken :
Dalam Budaya Lani
Etnik Lani Kabupaten Tolikara
Ari Wahyudi.S.
Arih Dianing.I.
Agung Dwi.L.
Penerbit
Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xv, 161 hal., Illus, 15.5 x 23
ISBN : 978-979-028-969-7
copyright 2016, Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
Penanggung Jawab
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat
di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM .....................................................................
KATA PENGANTAR ..............................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................
DAFTAR TABEL.....................................................................
DAFTAR GAMBAR ...............................................................
DAFTAR BAGAN...................................................................
iii
v
vii
xi
xii
xv
1
1
4
4
5
7
7
12
12
13
15
18
22
22
30
33
33
37
38
39
41
42
42
43
45
50
51
vii
52
53
58
58
61
61
62
63
66
67
68
70
71
72
72
72
73
74
76
76
77
77
77
78
82
82
83
84
86
87
viii
54
78
79
80
81
89
91
91
91
93
94
97
103
106
112
115
115
118
120
121
123
123
124
127
128
129
130
133
135
136
138
138
139
139
141
142
144
145
ix
146
149
149
149
150
150
150
150
150
151
151
151
152
152
154
158
154
156
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Gambar 2.9.
Gambar 2.10.
Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Gambar 2.15.
Gambar 2.16.
Gambar 2.17.
Gambar 2.18.
Gambar 2.19.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
Gambar 3.4.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.7.
Gambar 4.8.
Gambar 4.9.
8
9
10
11
13
16
17
19
20
21
23
23
26
27
29
36
44
46
50
58
60
63
69
94
108
109
111
112
113
117
119
122
xi
Gambar 4.10.
Gambar 4.11.
Gambar 4.12.
Gambar 4.13.
Gambar 4.14.
Gambar 4.15.
xii
123
128
129
130
134
137
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
116
143
xiii
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1.
Bagan 4.1.
66
100
xv
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Pendahuluan
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan proses besar
menuju status derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Pencapaian
indikator kesehatan mengerucut pada tingginya angka harapan hidup
dimana angka morbiditas dan angka mortalitas menjadi acuan penting
dalam evaluasi. Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Balita (AKABA) di Propinsi Papua yang diakibatkan oleh
multifaktor yang kompleks. AKI yang tinggi di Papua tidak hanya disebabkan
oleh adekuasi pelayanan kesehatan maternal, tetapi juga banyak faktor
seperti tingginya fertililitas dan pernikahan usia muda. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat menempatkan Kabupaten Tolikara pada peringkat
terakhir dari 497 kabupaten di Indonesia.
Faktor penyebab tingginya angka kematian di Papua memang cukup
kompleks. Tidak hanya menyangkut aspek kedokteran (biologis-medis) dan
pelayanan kesehatan semata, tetapi juga mencakup aspek sosial budaya,
ekonomi, politik, lingkungan, tingkah laku, interaksi diantara aspek-aspek
tersebut membentuk mata rantai kematian pada masyarakat Papua.
Menurut Giyai (2012) ada 5 faktor utama penyebab tingginya angka
kematian di Papua, yaitu : politik dan kekerasan, budaya dan pemahaman,
stress akibat Otsus, miras dan KDRT serta penyakit.
Tingginya angka morbiditas masih didominasi oleh penyakit menular
seperti, malaria, TB Paru, HIV/AIDS, diare, filaria,DBD, ISPA, Pneumonia,
campak dan kusta.
Tingginya temuan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu hal yang
meresahkan berbagai pihak pemangku kepentingan di Papua. Data resmi
menunjukkan adanya temuan kasus HIV AIDS yang menembus angka 10.000
kasus pada periode Tahun 2011. Beberapa kabupaten di wilyah pegunungan
tengah Papua disinyalir memberikan kontribusi sebagai kantong ketiga
Bab 2
Konteks Wilayah Penelitian
2.1. Sejarah Bokondini
Distrik Bokondini adalah salah satu distrik yang secara administratif
berada di bawah pemerintahan Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua.
Untuk menuju ke distrik tersebut, kita harus menempuh jarak dengan
waktu tempuh sekitar 2,5 jam dengan menggunakan sepeda motor atau
mobil dengan tipe double gardan. Perjalanan tersebut ditempuh melalui
Wamena dengan kondisi jalan yang masih berupa makadam atau sirtu.
Secara historis, Distrik Bokondini dimiliki oleh pemerintahan
Kabupaten Jayawijaya. Namun tepatnya pada tahun 2003, Kabupaten
Tolikara mengalami pemekaran yang secara tidak langsung juga
berdampak pada Distrik Bokondini. Distrik Bokondini secara administratif
terbagi dalam 10 kampung dan 1 kelurahan. Kampung Mingganggo,
Apiam, Umaga, Galala, Mairini, Tenggagama, Kolugume, Lambogo,
Dunduma, Yawalani dan Kelurahan Bokondini merupakan 11 lokasi
administrasi yang terletak di Bokondini. Distrik Bokondini memiliki
wilayah seluas 445 km dari keseluruhan wilayah kabupaten Tolikara
seluas 5.234 km. (Tolikara dalam Angka 2014, BPS)
Distrik Bokondini pada awalnya memiliki nama Bogondini. Bogo
adalah nama sungai di Bokondini dan Ndini yang berarti tempat yang
datar. Bogondini adalah sungai Bogo yang terleta di tempat yang datar.
Seperti apa yng telah dijelaskan oleh Mama On (umur 40 tahun) :
..Bogo itu nama sungai, Ndini berarti di tempat yang
datar,Bogondini pu arti sungai Bogo di tempat yang
datar, karena misionaris datang, dan biar mudah eja, sering
mereka sebut Bokondini sudah.., jelasnya
Gambar 2.1.
Sungai Bogo di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, Distrik
Bokondini merupakan tempat pertama masuknya Injil di Papua pada tanggal
1 Mei 1956. Power Erickson adalah seorang misionaris yang pertama kali
masuk di Bokondini. Pada awalnya masyarakat merasa ketakutan, karena
mereka terlihat jauh berbeda secara fisik. Waktu itu masyarakat
memberikan makanan yang sama untuk dapat dikonsumsi oleh misionaris
tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui mereka sebagai manusia
yang sama. Seperti yang diutarakan oleh Mama On :
badan putih, rambut putih, hantu kah atau manusia?, biar
tahu, masyarakat coba kasih singkong, dia makan, kasih air, dia
minum, baru kasih wam (babi), dia makan juga, begitu baru
masyarakat percaya kalo dia bukan hantu, jelas Mama On
Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya tugu dan situs-situs
lainnya yang menjadi penanda masuk Injil pertama di Bokondini. Adanya
kolam pembaptisan, tugu penanda, dan bandar udara.
Gambar 2.2.
Situs Injil di Klasis Bogoga
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Peristiwa tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal sejarah
berdirinya Distrik Bokondini. Waktu itu, para misionaris mengerahkan
tenaga masyarakat untuk membuat bandar udara yang hingga saat ini
dapat terus digunakan. Pembuatan tersebut difungsikan untuk
memudahkan mobilitas misionaris dalam melakukan penyebaran agama.
Saat itu pembuatan bandar udara tersebut hanya menggunakan linggis
dan sekop dalam kurun waktu selama 2 minggu. Paska pembuatan,
masyarakat menerima kulit bia (kerang/keong) sebagai upah untuk
pembuatan bandar udara tersebut. Selain bandar udara, ada bangunan
sekolah yang waktu itu juga dibangun oleh misionaris.
Sekolah dasar swasta Yayasan Pendidikan Penginjilan Gereja
Indonesia (SDS YPPGI) adalah sekolah pertama yang dibangun oleh
misionaris pada tahun 1956 di Distrik Bokondini. Namun karena suatu
perkembangan yang melahirkan adanya sebuah perubahan, SDS YPPGI
tersebut sekarang sudah tidak aktif lagi. Latar belakang pendidikan yang
berbeda antara dahulu dengan sekarang menjadi salah satu faktornya.
Lulusan guru pada saat itu hanya berasal dari Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) yang mana mereka disekolahkan oleh Gereja. Realita yang
9
terjadi saat ini di mana banyaknya sekolah negeri dan swasta yang
mayoritas gurunya lulusan sarjana (S1). Sekolah dasar negeri tersebut
adalah SDN Inpres 1 Bokondini yang terletak di Galala (dahulu Kota
Lama). Sedangkan untuk swasta, yaitu SD Obanggen yang terletak di
Kelurahan Bokondini. Kondisi tersebut senada dengan yang disampaikan
oleh Mama Ic (umur 44 tahun) :
.sekolah ini su lama, saya jadi guru tahun 93 begitu sampai
2000, baru setelah itu pindah ke TK to, sekarang murid su
sedikit, mulai 2010 itu su mulai berkurang, lagi, lagi, sampai
sekarang su tidak ada, banyak sekarang guru-guru S1, jadi
dong pilih lebih bagus, di sini dulu hanya lulusan SPG saja,
ungkap Mama Ic
Gambar 2.3.
Gedung Sekolah YPPGI dan rumah dinas
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain SDS YPPGI dan bandar udara, pada masa misionaris juga
terdapat kolam pembaptisan. Kolam tersebut digunakan untuk
membaptis atau mengangkat para warga untuk berpindah kepercayaan
dari animisme menjadi agama Kristen Protestan. Kolam tersebut terletak
tidak jauh dari lokasi Puskesmas dan saat ini digunakan sebagai tempat
pemancingan kecil oleh warga sekitar.
10
Gambar 2.4.
Kolam Pembaptisan pada masa Misionaris
Sumber : Dokumentasi peneliti, April 2015
Masyarakat Bokondini saat itu belum mengenal sistem pemerintahan.
Selain persebaran penduduk yang belum berkoloni, belum adanya
bangunan-bangunan perkantoran seperti kantor distrik, masyarakat yang
masih buta huruf dan tulis menjadi salah satu penyebabnya.
Empat tahun berselang sekitar tahun 1960, pemerintah kolonial
Belanda masuk dan mulai menduduki Papua. Pada saat itu, sistem
pemerintahan baru dibuat yang setingkat kecamatan. Namun keadaan
tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1962, pemerintah Indonesia dapat
merebut kembali Papua dari tangan kolonial Belanda. Pada tanggal 15 Mei
1969, pemerintahan kolonial Belanda meninggalkan Papua. Semenjak
11
12
Gambar 2.5.
Profle tank di Bokondini (kiri), Mata air (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
2.2.2. Kependudukan
Berdasarkan data BPS tahun 2013, jumlah penduduk yang berada
di Bokondini sekitar 6.005 jiwa. Jumlah tersebut terbagi dalam 3.189 jiwa
untuk laki-laki dan 2816 jiwa untuk perempuan. Jumlah tersebut
tentunya tersebar di 11 lokasi administratif yang berada di Bokondini.
Secara administratif, tidak ada data monografi yang tercatat baik di
distrik maupun di kampung.
Data lain yang berhubungan dengan jumlah penduduk hanya
terdapat di Puskesmas. Data per 1 Januari 2014 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk Bokondini adalah 3.425 jiwa yang terbagi laki-laki 1.747
jiwa dan perempuan 1.678 jiwa. Realita yang terjadi bahwa tidak ada
angka yang dapat menunjukkan jumlah penduduk secara pasti. Mulai dari
jumlah penduduk dilihat dari pekerjaan, melek huruf dan pendidikan.
13
14
Hal ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Kak Hab M (umur
23 tahun) yang berprofesi sebagai nakes honorer bahwa :
..orang sini itu ramah, dia selalu bilang selamat pagi, selamat
sore, selamat malam, kalau bertemu begitu, tapi memang kita
tetap harus hati-hati, namanya juga tetpa pendatang to, apalagi
kalau sudah dengan masalah adat begitu, mereka bisa beda.,
ungkap Kak Hab M
Pandangan tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Bud Karm
(66 tahun) yang seorang pedagang bahwa, nggih tiyang mriki niku ramah,
cerita Bud Karm.
Beberapa testimoni tersebut tentunya dapat dikatakan bahwa
mayoritas orang Lani memiliki keramahan kepada setiap pendatang. Hal ini
tentunya dapat menimbulkan rasa nyaman bagi para pendatang yang tinggal
di Bokondini.
Di sisi lain, para pendatang secara tidak langsung tentunya memiliki
dampak yang baik bagi perkembangan kampung Bokondini sendiri. Seperti
yang dijelaskan oleh tim peneliti Unesco bahwa pendatang memiliki
kontribusi kepada kehidupan keluarga, pemerintahan, non-pemerintahan,
pendidikan, dan ekonomi (Oscar Handlin dkk, 1955)
2.3. Pola Pemukiman dan MCK
Pola pemukiman penduduk Distrik Bokondini terbagi di beberapa
wilayah. Untuk wilayah kota distrik, pola pemukiman sudah berkumpul.
Beberapa bangunan seperti rumah dan kantor-kantor pemerintahan sudah
menghiasi setiap ruas jalan di Bokondini. Mayoritas rumah menghadap ke
Utara dan Selatan. Kondisi tersebut berbeda dengan pola pemukiman di
kampung. Pola pemukiman di kampung tetap berkelompok dalam satu area.
Namun dalam area tersebut, antara rumah yang satu dengan yang lain
biasanya memiliki hubungan keluarga.
Pada umumnya rumah warga di Kelurahan Bokondini terbuat dari
kayu. Dinding dan alas rumah tersebut terbuat dari kayu. Kayu yang
digunakan pun memiliki kualitas yang bagus, seperti kayu gap, ip, eriboni
15
Gambar 2.6.
Rumah adat Honai (kiri), Rumah papan (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
16
Gambar 2.7.
Bak penampungan (kir), Closet leher angsa di Bokondini (kanan)
Sumber ; Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Kondisi tersebut berbeda halnya dengan pola MCK bagi mereka
yang berada di perkampungan. Mayoritas mereka masih belum
menggunakan MCK. Kebutuhan BAB dan sebagainya biasa mereka
lakukan di sungai. Pada dasarnya baik dari pemerintah ataupun LSM yang
telah memberikan bantuan berupa MCK umum. Namun, karena jarang
digunakan oleh masyarakat, MCK umum tersebut terlihat kurang bagus.
17
18
Gambar 2.8.
Tugu Salib (tempat peringatan 1 Mei)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Juni 2015
Hal itu juga serupa dilakukan oleh umat Islam dalam perayaan Isra
Miraj. Masjid Muthmainah menjadi tempat berkumpulnya mereka
dalam peringatan tersebut. Dengan membawa berbagai jenis makanan,
mulai makanan ringan hingga makanan berat. Para pendatang di
Bokondini waktu itu mengundang seorang ustadz untuk berceramah
dalam kegiatan Isra Miraj. Ustadz tersebut berasal dari Purwokerto dan
sudah lama tinggal di Wamena sejak tahun 2003. Secara tradisi, kegiatan
tersebut dimulai sehabis waktu sholat dzuhur hingga waktu sholat ashar,
sekitar jam 12 hingga jam 15.
Dalam konteksnya, masyarakat Bokondini juga memiliki
kepercayaan terhadap orang yang sudah mati yang terjadi di masyarakat
Lani. Hal tersebut dapat dilihat di kuburan-kuburan yang selalu
dibangunkan sebuah rumah. Rumah tersebut diasumsikan sebagai
perlindungan bagi sang mati. Perlindungan dari cuaca panas dan hujan,
sehingga merasa teduh di alam sana.
19
Gambar 2.9.
Bentuk kuburan di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain pemberian rumah, pemberian makanan terhadap si mati
juga biasa dilakukan. Namun dengan adanya pencerahan dari Hambahamba Tuhan seperti Gembala dan Pendeta, kebiasaan tersebut mulai
menghilang. Seperti yang sempat diceritakan oleh Mama On yang pernah
terjadi dalam kaitannya dengan pemberian makanan si mati :
hei, jangan gerak, dia sedang makan, mereka semua
diam, takut, padahal yang makan tikus, tapi itu sekarang
hanya beberapa tempat saja, jelas Mama On.
Selain hal tersebut, masyarakat masih mempercayai hal-hal gaib,
seperti seekor burung hitam yang mengelilingi rumah seorang warga, maka
salah satu anggota keluarga dari warga tersebut nantinya akan mengalami
sakit atau mati. Hal tersebut sependapat dengan yang telah diutarakan oleh
Mama On :
hee, kemaren ko(kamu) tidak dengar suara burung kah? Dia
ada putar-putar di ko pu rumah, hati-hati nanti sakit atau
mati begitu, cepat bayar ko pu utang, jangan sampai su tidak
ada, utang belum bayar, kata Mama On
20
Gambar 2.10.
Kayu Game
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain hal tersebut, kayu game dalam keseharian masyarakat
Bokondini juga dikenal sebagai obat untuk penyakit epilepsi. Biasanya
penderita epilepsi yang sering kambuh akan diberikan Kayu Game dalam
bentuk lebih kecil dalam wujud kalung yang diragkaikan dengan tali di
lehernya. Kayu Game tersebut akan digigit ketika serangan kejang datang.
Kepercayaan pengobatan Kayu Game tersebut berangkat dari pemahaman
masyarakat bahwa epilepsi atau ayan adalah salah satu penyakit yang
21
disebabkan oleh gangguan roh halus. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bapak Noa P (umur 75 tahun) bahwa :
biasa orang yang sering kejang-kejang macam kerasukan
begitu dia pakaikan game untuk kasih kalung, jadi kalau
kejang-kejang su terasa mau datang, dia bisa gigit game,
jelas Bapak Noa P
2.5.
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.5.1. Sistem Pemerintahan
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya tidak lepas dari normanorma atau kaidah-kaidah yang berlaku. Realita yang ada di Bokondini
terdapat beberapa aturan-aturan sosial dan adat. Aturan-aturan tersebut
dibentuk oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh di Bokondini. Misalnya,
pendeta (klasis), kepala Lembaga Masyarakat Adat (LMA), kepala suku, dan
kepala kampung.
Aturan tersebut dibuat dengan tujuan agar masyarakat setempat
dapat hidup berdampingan dengan selaras, serasi dan seimbang. Tidak ada
peperangan ataupun konflik antar warga atau kampung.
Secara administratif, Distrik Bokondini dipimpin oleh seorang
camat/kepala distrik. Kepala distrik dibantu oleh sekretaris distrik dan aparat
pemeritahan distrik lainnya. Realita yang terjadi selama kami berada di sana,
kegiatan pemeritahan di distrik tidak terlalu berjalan dengan aktif. Kami
hanya dapat bertemu dengan sekretaris distrik pada minggu pertama kami
tiba. Paska tersebut hingga saat kami hendak pulang, kami tidak dapat
bertemu lagi dengan sekretaris distrik atau para staf distrik lainnya.
22
Gambar 2.11.
Kantor Distrik Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, April 2015
Kondisi yang terjadi mungkin disebabkan oleh adanya isu-isu yang
berkembang bahwa Bokondini akan menjadi sebuah kabupaten. Hal ini
tampak jelas pada papan nama yang terdapat di belakang kantor distrik,
yaitu Kantor Persiapan Kabupaten Bogoga.
Isu pemekaran saat ini menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan
di kalangan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang terlibat dalam
pembentukan Kabupaten Bogoga tersebut.
Gambar 2.12.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
23
24
25
meninggal, jadi potong jari satu, dulu sepeti itu, sekarang tidak
boleh, klasis ada larang begitu, jelas Pak Uk Ag
Gambar 2.13.
Ninggi Bangge (mutilasi jari) orang Lani
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Sedangkan LMA (Lembaga Masyarakat Adat) tentunya juga memiliki
peran yang sangat penting dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Biasanya LMA lebih fokus kepada hal-hal mengenai budaya. LMA dipimpin
oleh seorang yang telah dipilih oleh masyarakat. Saat ini lembaga tersebut
dipimpin oleh Bapak Konstan Baminggen. Masa jabatannya sudah sejak
tanggal 1 Januari 1995 hingga sekarang. Keberadaan LMA tentunya menjadi
tempat bagi masyarakat Lani dalam membantu menyelesaikan
permasalahannya. Misalnya permasalahan seperti kepemilikan lahan kebun,
pernikahan, peperangan, dan lain-lain. Dalam kesehariannya, apabila ada
yang tidak melaksanakannya, nantinya akan dikenakan sebuah sanksi
berupa denda adat. Denda adat biasanya berbentuk uang atau wam. Wam
atau babi dalam hal ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Masyarakat
Pegunungan Tengah khususnya menilai wam sebagai mas kawin, alat
perdamaian, acara adat, acara bakar batu, dan lainnya.
Selain Klasis dan LMA, terdapat beberapa organisasi atau aparat
lainnya, seperti pusat pelatihan masyarakat Eruwok, Polisi, dan lain-lain.
Pusat pelatihan Eruwok sendiri memiliki fokus dalam hal ekonomi,
26
Gambar 2.14.
Pusat Pelatihan Masyarakat Eruwok di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Pelatihan penggunaan komputer dimaksudkan agar para warga dapat
memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Dengan memiliki ketrampilan
khusus tentunya menjadi nilai lebih. Hal tersebut dirasa penting bagi
perkembangan sumber daya manusia di Bokondini. Hal ini sama seperti yang
diutarakan oleh Bapak Yev Ab (umur 47 tahun) bahwa :
..kita di sini komputer baru mau belajar, padahal yang lain
sudah oke-oke, di sini baru sanggup belajar-belajar seperti itu,
kasih kumpul pemuda-pemuda, pengangguran terlalu banyak,
jadi kasih pekerjaan seperti itu.akibat itu banyak gejolak
sosial yang muncul, itu akibatnya itu saja,, jelas Bapak Yev Ab
Implementasi terhadap bidang ekonomi lebih menitikberatkan pada
kegiatan simpan pinjam. Istilah simpan pinjam diganti dengan istilah bank
27
28
Gambar 2.15.
Kegiatan pengkaderan HIV di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Kegiatan tersebut diharapkan agar para peserta yang terlibat dapat
mensosialisasikan masyarakat pada umumnya dan keluarga pada
29
30
31
32
2.6.
Pengetahuan
2.6.1. Konsep tentang sehat sakit
Disadari atau tidak faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan
budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan
sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan ibu dan anak (Maas, 2004).
Pada beberapa informan ditemukan informasi bahwa penyakit HIV
AIDS adalah disebabkan karena penyakit kutukan atau penyakit kiriman,
Mereka menganggap bahwa penyakit ini adalah penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, mereka mengatakan ini sebagai penyakit tinggal menunggu
waktu. Keluarga ODHA juga memperlakukan pasien dengan kurang baik,
misalnya dengan tidak memberikannya makan dan minum, tidak
mengindahkan kesakitannya dan tidak mengurus segala hal yang bersifat
hygiene personal si sakit. Setelah ODHA tersebut meninggal pun
diperlakukan dengan cara membakar jenazah dan segala perlengkapan yang
dipergunakannya semasa hidup. Tetapi ada juga keluarga yang tetap
memperlakukan ODHA dengan baik, mendukung upaya pengobatannya
dengan disiplin dalam PMO ARV. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Yev Ab
(umur 47 tahun) bahwa :
.kita ini harus bantu mereka, biar mereka itu tidak tambah
sakit, butuh bantuan, dukungan to, tapi orang yang tidak
tahu malah kasih jauh dia, tidak kasih bantu dia, begitu,
jelas Bapak Yev Ab
Beberapa informan yang ditemui sedang berobat ke Puskesmas
mengaku merasakan sakit yang diderita dalam jangka waktu lama sebelum
akhirnya memutuskan untuk pergi untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan di Puskesmas. Ada yang merasakan demam selama 1-3 minggu
baru kemudian memeriksakan diri. Masyarakat cenderung menganggap
demam sebagai gejala penyakit yang memiliki tahapan severity (keparahan)
yang ringan. Gejala atau penyakit yang menurut mereka memiliki tahapan
severity sedang atau berat adalah pada keadaan luka terbuka yang
33
34
35
Gambar 2.16.
Foto Mama, anak dan babi di honai yang sama
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain itu ada juga beberapa kepercayaan masyarakat terhadap
suatu penyakit yang terjadi. Misalnya gila, sakit jiwa atau semacamnya.
Seseorang dikatakan menderita sakit Gila apabila dianggap telah
melanggar pantangan adat. Misalnya melanggar larangan untuk
melakukan hubungan suami istri di luar rumah, mereka mengatakan hal
itu dapat Ditiru oleh Tuan Tanah dan akhirnya menjadi gila.
Menurut cerita yang dikisahkan oleh Men, dahulu sempat terjadi
gila musiman di Bokondini. Secara historis, penyakit tersebut tidak
begitu jelas berasal dari mana, ada yang mengatakan karena guna-guna
atau penyakit kiriman.
.gila musiman begitu, sampai dia ada kecoa keluar dari
hidung, telinga, sampai saudara pun tidak tahu, maka biasa
jadi patung, biar aman begitu, cerita Men. biasa dia 2-3
minggu begitu dia baru sadar, tidak tahu juga kenapa,
pokoknya kalau dia su mulai gila itu gemetar, gemetar
begitu, sudah gila itu berarti, dia hanya dikasih kurung saja
to, kalau tidak ganggu-ganggu orang, bisa kena denda juga
to, keluarga repot, jadi kasih kurung sudah., tambah
Mama Men
36
37
38
39
40
41
2.7. Bahasa
Masyarakat Bokondini sehari-hari menggunakan bahasa Lani
sebagai bahasa percakapan. Bahasa tersebut digunakan oleh semua
orang Lani di Bokondini. Namun, beberapa orang juga dapat berbahasa
Indonesia pada umumnya. Para pendatang biasanya menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dengan orang Lani di
Bokondini. Para pendatang pada umumnya hanya mengerti beberapa
kata sederhana, misalnya pagi, siang, sore, malam, tidak, dan terima
kasih.
Seperti yang dialami oleh Bud Karm (umur 66 tahun), dimana dia
adalah seorang pedagang kelontong dari Pacitan. Sehari-hari dalam
melayani pembeli kadang dia hanya merespon dengan kata leg (tidak)
apabila barang yang ingin dibeli sedang habis.
Hal itu juga dialami oleh Hab M yang seorang pedagang kios di
pasar dan honorer di Puskesmas. Saat bekerja sebagai staf honorer, dia
membantu di bagian farmasi dan memberikan panduan untuk obat yang
diberikan. Agar mudah dimengerti dia menggunakan kata kuben(pagi),
lingge (siang), kiyama (sore), kik me (malam) untuk pasien
tersebut.
2.8. Kesenian
Setiap etnis tentunya memiliki kesenian yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Mulai dari alat musik yang digunakan hingga rangkaian
nada yang dihasilkan. Dalam budaya Lani, khususnya pada masyarakat
Bokondini mengenal beberapa alat musik dan lagu, seperti seki-seki,
Besek, dawe-dawe, yosim (alat musik seperti gitar dengan senar
maksimal sejumlah 16), tifa dan lok nggih (alat musik tiup). Lok Nggih
biasanya digunakan pada saat akan menjemput tamu.
Selain alat musik dan lagu, masyarakat Lani memiliki semacam
prosesi pada saat acara kematian yang biasa disebut lendawe. Lendawe
adalah suatu kegiatan tanya jawab yang dilakukan secara bergantian
pada saat acara kematian sedang berlangsung.
42
43
Gambar 2.17.
Kegiatan pasar di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Pasar tersebut terletak tidak jauh dari lokasi Puskesmas. Aktivitas
jual-menjual tersebut dimulai dari pukul 08.30 hingga 11.30 WIT. Pasar
tersebut digunakan oleh masyarakat kampung di Bokondini. Lokasi
penjual dibagi berdasar asal kampung. Seperti contoh, di bagian Barat
digunakan oleh masyarakat kota dan sekitarnya, bagian Utara digunakan
masyarakat dari kampung Bewani dan Bilu, serta sebelah Selatan
diperuntukkan bagi masyarakat kampung Tenggagama dan Yawalani.
Untuk bagian Timur pasar dibangun kios untuk para pendatang.
Bangunan kios tersebut tentunya berstatus sewa. Harga sewa mayoritas
pada nominal 3 juta hingga 6 juta rupiah, tergantung dari luas kios
tersebut. Biasanya untuk pemenuhan kebutuhan kios, para pendatang
membeli kebutuhannya di Wamena. Mereka pada umumnya menitipkan
catatan belanja kepada sopir angkutan umum yang akan berangkat ke
Wamena.
Biasanya yang terjadi pada hari pasar adalah pelayanan di
Puskesmas menjadi meningkat dibandingkan denga hari-hari biasa. Hal
tersebut dikarenakan beberapa warga yang berjualan di pasar juga
langsung datang ke Puskesmas. Lokasi pemukiman beberapa warga yang
terletak di balik pegunungan menjadi salah satu faktor penyebabnya.
44
Tidak hanya pasar di distrik, beberapa warga juga ada yang menjual
hasil kebunnya di pasar yang terdapat di Wamena. Mereka juga biasanya
menggunakan angkutan umum untuk mencapai Wamena. Harga barang
tentunya mengalami kenaikan apabila dijual di Wamena.
Selain berkebun atau bertani, beberapa juga ada yang bekeja
sebagai tenaga pendidikan, kesehatan dan aparat pemerintahan Distrik
Bokondini. Untuk tenaga kesehatan sendiri jika dilihat dari sumber daya
manusianya sudah mengalami peningkatan. Putra-putri daerah sudah
mulai berperan dalam perkembangan kesehatan di Bokondini. Hal ini
serupa dengan yang disampaikan oleh Bapak Sim D (umur 58 tahun)
selaku pensiunan TNI yang sudah tinggal sejak tahun 1977 bahwa :
.ya baik saja, baik-baik, kan dulu-dulunya rata-rata
pendatang, satu-satu saja putra daerah, pelayanan baik
terhadap ke masyarakat, baru yang putra daerah itu baru
muncul saja to satu-satu diambil jadi pegawai., cerita
Bapak Sim D
2.10. Teknologi dan Peralatan
Mobilitas penduduk di Bokondini terbilang cukup tinggi. Hal ini
terlihat sudah ada sarana transportasi yang dapat digunakan. Kendaraan
bermotor, bermobil, angkutan umum dan pesawat udara jenis ATR.
Kehadiran MAF di beberapa titik wilayah di Papua dianggap memberikan
andil terhadap penguatan peran politik dan sosial di daerah daerah
terisolasi jalur darat (Zibel & Michael,2001). Pada umumnya, masyarakat
menggunakan angkutan umum berbentuk kendaraan roda empat jenis
double gardan sebagai salah satu sarana transportasi. Hal tersebut
dikarenakan beroperasi setiap hari dan cukup ekonomis. Angkutan umum
tersebut hanya memiliki tujuan ke Wamena. Biaya yang dikeluarkan
kurang lebih Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk sekali jalan menuju
Wamena. Menurut salah satu informan yaitu Bapak Yev Ab menceritakan
bahwa akses darat mulai ada di Bokondini sejak tahun 1997. Saat itu
masih berbentuk tanah merah dan belum ada pengerasan. Sekitar tahun
1994-1996 para warga menggunakan transportasi udara untuk ke
45
Wamena. Akhir tahun 1996, akses darat sedikit demi sedikit sudah mulai
dikerjakan oleh pemerintah Jayawijaya dan masyarakat. Pesawat udara
jenis ATR menjadi alternatif lain bagi masyarakat Bokondini pada saat itu.
Namun saat ini transportasi tersebut hanya dapat digunakan apabila
disewa. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Bapak Yev Ab (umur
47 tahun) bahwa :
dulu harga pesawat 1500, itu untuk utusan misionaris, kalau
umum dia pu harga 2000, baru jalan dulu itu masih tanah
merah, jadi macam lumpur begitu kalau hujan, sekarang su
bagus, masih hard-top atau kijang begitu, cerita Bapak Yev
Ab
Kondisi tersebut tentunya dapat berdampak pada pelayanan
kesehatan yang ada di Bokondini. Masih minimnya transportasi pada
waktu menjadi salah satu kendala terhambatnya pelayanan Puskesmas.
Seperti contoh apabila hendak melakukan rujukan ke rumah sakit
Wamena.
Gambar 2.18.
Bandar Udara di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
46
48
.itu karena tidak ada sabun, jadi itu dia punya itunya kan
seperti busa, dia punya apa, kalau kita ambil daunnya, gosok
begini, di badan seperti busa begitu, ungkap Mama Sir Ko
Saat ini hampir seluruh masyarakat Lani di Bokondini sudah beralih
menggunakan sabun. Sabun tersebut mereka peroleh dengan cara
membeli dari kios yang ada di pasar. Sabun mandi seperti lifeboy,lux,
B29, rinso, dan merek lainnya. Hal tersebut senada dengan yang
diucapkan oleh Kakak Wep W (umur 36 tahun) bahwa :
..kalau pakai rinso, badan bisa bersih, kalo sabun mandi
dia masih abu-abu, tidak tahu sudah dorang dapat pelajaran
dari mana, biar begitu ada juga yang pakai lifeboy, senang di
pu busa lembut, kulit rasa bagus, sering dipakai sudah,
jelas Kakak Wep W
Tradisi bakar batu pada etnis Lani atau masyarakat Bokondini pada
umumnya telah digunakan sebelum adanya peralatan masak memasak.
Bahkan setelah masuk peralatan masak memasak, seperti belanga, kuali
dan lainnya, tradisi bakar batu tetap digunakan hingga saat ini. Tradisi
tersebut biasanya digunakan pada saat acara adat seperti pesta, hari
besar agama, kematian dan lainnya.
Belanga, kuali dan lainnya mulai masuk di Bokondini pada tahun
1997, yaitu pada saat jalan darat sudah mulai dibangun untuk tujuan
Wamena. Hingga saat ini masyarakat Bokondini telah menggunakan
beberapa alat masak yang umumnya digunakan oleh masyarakat
perkotaan.
49
Gambar 2.19.
Peralatan dapur (kiri), Kuali (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Menurut kisah yang diceritakan oleh Men bahwa para ibu di sini
sudah mulai mengenal atau belajar membuat kue. Keadaan tersebut
mulai hilang ketika Kabupaten Tolikara telah mengalami pemekaran.
Kondisi tersebut juga menjadi perhatian penting bagi Mama Men (umur
43 tahun), yang menyatakan bahwa :
.dulu itu mama-mama di sini sudah mulai tahu cara bikin
kue, waktu itu belum pemekaran, kegiatan PKK begitu, baru
setelah pemekaran, dia hilang, haduh, politik itu bisa hambat
kita pu (punya) perkembangan desa.., jelas Mama Men
Selain itu, peran LSM dalam permberdayaan ekonomi keluarga
terlihat nyata ketika distrik sebagai perpanjangan pemerintah tidak lagi
berfungsi. Beberapa kursus memasak pernah diberikan oleh LSM kepada
ibu ibu di daerah Bokondini.
2.11.
50
51
Sikap yang ramah dan terbuka juga mereka tunjukkan pada kami
(peneliti) dengan tak segan mengajarkan pada kami beberapa istilah
Bahasa Lani yang kami anggap perlu dalam menggali informasi penelitian.
Sapaan hangat selalu mereka lontarkan pada setiap kesempatan.
2.11.2. Denda Adat dan Kesulitan Ekonomi
Namun demikian tali persaudaraan diantara masyarakat Lani
seringkali renggang ketika bertemu dengan permasalahan denda adat.
Denda Adat adalah sebuah aturan yang disepakati secara bersama untuk
diterapkan dalam rangkaian penyelesaian permasalahan di masyarakat
Lani. Seorang pendatang menceritakan tentang permasalahan yang dia
hadapi yang berakibat pada jatuhnya denda adat. Hal ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Hab M (umur 23 tahun) bahwa :
pernah pagar disamping rumah saya ada yang tabrak
malam malam, mungkin dia melintas tidak tau ada pagar
disitu, jadi kena ada luka lecet di dahi, saudara saudaranya
saya kenal baik karena hampir setiap hari ketemu ngobrol,
sudah seperti kawan baik saja, tapi pada saat kejadian
dengan adiknya itu, mereka seperti tidak lagi kenal saya,
tidak bela saya padahal saya jelas tidak bersalah to, pake
acung acung parang ke leher saya untuk bayar denda, setelah
saya bayar denda, eh paginya dia datang lagi belanja ke
warung saya, pake uang denda itu, macam sudah lupa
kemaren acung-acung parang ke leher saya.., jelas Hab M
Penyelesaian sengketa kepemilikan atau perseteruan fisik yang
berujung hilangnya nyawa atau cacat fisik seringkali diselesaikan di
Lembaga Adat dengan pembayaran denda. Adapun jumlah denda yang
dibayarkan adalah sesuai dengan aerugian akibat perseteruan dan sesuai
dengan kesepakatan pihak pihak yang berselisih. Pembayaran denda
dilaksanakan dengan menghimpun denda dari sumbangan para sanak
saudara dan kerabat dekat. Hal ini yang diceritakan oleh Kalema (36
tahun) bahwa :
52
53
.kita harus bisa push their button, kita kunci dulu manfaat
apa yang bisa mereka peroleh kalau mau jalankan satu
kegiatan..apapun kegiatan itu, kalau mereka sudah dapat
clue nya, pasti mereka mau bergerak, kita kunci dulu bahwa
perlakuan mereka terhadap penderita AIDS itu tidak baik,
tidak sesuai dengan perintah Tuhan untuk saling mengasihi,
baru mereka mau menerima program pembentukan konselor
pendamping HIVAIDS, jelas Ibu Nao
2.11.4. Riwayat Perang Suku, Primordialisme dan Impian untuk Hidup
Sejahtera
Riwayat perang suku yang panjang pada masyarakat Papua secara
umum menyisakan luka dan trauma mendalam dan terbentuk hingga saat
ini. Perang suku dipastikan berangsur angsur membaik sejak masuknya
Agama Kristen ke Papua. Seperti yang telah diceritakan oleh Bapak Mar
(umur 60 tahun) bahwa :
Kami rasa damai itu sejak masuk injil, perang su tidak ada
lagi, tete moyang cerita saat itu yang diperlukan hanya rasa
damai antar suku dan misionaris bisa mendamaikan para
kepala suku, sa rasa kalau Islam yang pertama masuk dan
kasih kenal pada kami waktu itu, mungkin kami akan peluk
agama Islam, agama apapun itu yang pasti bisa kasih kami
damai.., jelas Bapak Mar
Peristiwa perang berikutnya adalah perang antara OPM dengan
warga masyarakat dan TNI. Pergolakan hampir terjadi di setiap wilayah di
Papua.Masyarakat Bokondini mengenal pergolakan di wilayahnya
dengan sebutan Bokondini Berdarah 77. Pergolakan memanas pada
tahun 2000 an yang mengakibatkan evakuasi besar besaran masyarakat
pendatang. Hingga saat ini pertikaian pertikaian antara OPM dengan TNI
dan masyarakat masih sering terjadi di beberapa wilayah di pegunungan
tengah. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ibu Ar (umur 49
tahun) bahwa :
54
55
baik ada apa masalahnya, baru nanti kita yang pukul, nanti kita
yang kena denda, jelas Kev
Selain itu, menurut Kev laki-laki di sini memiliki karateristik yang
hampir sama dengan laki-laki pada etnis Papua lainnya. Hal ini senada
dengan yang diungkapkannya bahwa :
.perilaku laki-laki di Lani masih sama dengan perilaku Laki-laki
pada banyak etnis di Papua zaman dahulu. Kalau anda lihat, laki-laki
disini lebih banyak jalan-jalan daripada mengerjakan pekerjaan kebun
atau hal hal yang sifatnya ekonomi, mereka bergerak dalam
pengawasan teritorial, berjaga apabila ada bahaya dan segera bergerak
untuk melakukan gerakan baik yang bersifat ofensif maupun
defensif, jelas An Bam
Pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi yang peneliti temui di Bokondini.
Kaum laki-laki lebih banyak terlihat tidak melakukan pekerjaan yang bernilai
ekonomi. Banyak dari mereka yang sebenarnya tercatat sebagai Pegawai
Negeri Sipil tetapi tidak beraktivitas sesuai dengan tanggung jawabnya.
Karena SK yang keluar tidak disertai pendirian fisik struktur kantornya, hanya
sekedar selembar SK yang menunjukkan adanya aktivitas pemerintahan di
Bokondini.
.mereka tidak jelas kerjanya tiap hari itu apa, tapi mereka
terima gaji...disini pengangkatan PNS berdasarkan
pembagian seluruh fam dan sifatnya bisa diturunkan ke
orang yang dianggap mampu atau lebih dipercaya di fam itu,
Misal ada 20 lowongan PNS maka dibagi ke misal 10 fam
yang ada di wilayah tersebut..dan kalau ada yang meninggal
nantinya bisa diwariskan ke anakknya atau siapa yang bisa
dianggap mampu oleh kepala suku. Kantornya tidak ada tapi
mereka terima gaji PNS tiap bulan, jelas An Bam
56
57
Bab 3
Konteks Masalah Kesehatan
3.1. Sejarah Puskesmas
Secara historis, Puskesmas Bokondini telah mengalami dua kali
relokasi gedung. Pada saat pemerintahan Belanda, puskesmas pada
waktu itu lebih dikenal sebagai Balai Pengobatan (BP). Tahun 1977 adalah
tahun pertama kali puskesmas dipindah dari Kota Lama (sekarang Galala)
ke Kota Baru (kota Bokondini). Hal tersebut dikarenakan adanya gejolak
antara masyarakat setempat dengan pemerintah Indonesia.
Gambar 3.1.
Puskesmas Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Gejolak tersebut bermula dari perang suku antar suku. Hal tersebut
mendorong pasukan TNI untuk campur tangang mendamaikan suku
tersebut. Namun pada kenyataannya, panah yang berasal dari suku
tersebut mengenai pasukan TNI. Akhirnya timbul konflik antara TNI
dengan suku setempat. Hal terebut senada dengan yang diceritakan oleh
Bapak Sim D (umur 58 tahun) bahwa :
58
59
Gambar 3.2.
Puskesmas baru Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Sebelum tahun 2014, pelayanan di Puskesmas tidak dibuka secara
rutin. Pelayanan kesehatan waktu itu hanya dibuka dengan frekuensi 2-3
hari dalam seminggu. Pelayanan kesehatan pada waktu itu dipusatkan di
rumah dokter. Pelayanan Puskesmas Bokondini mulai berjalan rutin sejak
tahun 2014. Bersamaan dengan datangnya beberapa tenaga kesehatan,
yaitu perawat dan bidan honorer dari Toraja. Kepala Puskesmas yang
baru waktu itu menetapkan 5 hari pelayanan dalam seminggu yaitu hari
senin-jumat dengan jam pelayanan antara jam 08.00-14.00. Untuk
pelayanan kesehatan di luar jam kerja tersebut dapat dilayani oleh dokter
di rumah dokter.
Salah satu terobosan inovatif yang mulai dilakukan oleh
Puskesmas Bokondini adalah dibukanya layanan VCT dan IMS,
pemeriksaan TB, Rawat inap dengan 3 tempat tidur, pengaktifan
puskesmas keliling dan program garden visit. Garden visitmerupakan
upaya Puskesmas untuk menjangkau masyarakat di pelosok yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Garden visit dan puskesmas keliling
tidak bersifat rutin, kegiatan tersebut dilakukan apabila ada anggaran
untuk pembiayaan program tersebut.
60
61
62
Gambar 3.3.
Kegiatan pengukuran tinggi badan
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Dalam kegiatan tersebut kami mendapatkan data tinggi badan
dari 31 balita dalam seminggu. Jumlah balita tersebut melampaui jumlah
balita yang datang ke posyandu 2 minggu sebelumnya yang hanya sekitar
22 balita saja.Dari hasil olah data tersebut didapatkan bahwa 14 balita
berstatus sangat pendek, 14 balita berstatus pendek dan hanya 3 balita
yang berstatus tinggi badan normal. Data tersebut cukup mewakili
fenomena stunting pada balita etnis Lani.
Salah satu faktor yang kemungkinan berkontribusi terhadap
kondisi stunting di Etnis Lani adalah usia pernikahan ideal pada
perempuan. Usia ideal menikah di Lani berkisar antara 15- 16 tahun.
Pada saat penelitian dilakukan bahkan kami menjumpai beberapa ibu
muda berusia di bawah 15 tahun yang sedang memeriksakan
kehamilannya di puskesmas.
3.2.3. Caries Dentis dan Pulpitis
Selain data 10 besar penyakit juga ditemukan data morbiditas
lainnya yang diantaranya adalah adanya keluhan caries dentis dan
pulpitis. Caries dentis adalah keluhan nyeri atau ngilu pada gigi akibat
63
gangguan pada email gigi. Sedangkan pulpitis adalah infeksi pada gigi
yang ditandai dengan keadaan gigi yang berlubang, bahkan infeksi bisa
menjangkau sampai ke pulpa dan ditandai dengan rasa nyeri dan
bengkak pada gusi.
Ketidakberadaan dokter gigi dan layanan Balai Pengobatan Gigi
(BPG) di Puskesmas Bokondini menyebabkan tidak adanya pelayanan
khusus untuk menangani keluhan akibat gangguan kesehatan pada gigi.
Keluhan pada gigi biasanya hanya diberikan pengobatan dengan
analgesik dan antibiotik sesuai dengan stok persediaan obat puskesmas.
Keluhan pada gigi kemungkinan diakibatkan oleh perubahan
konsumsi makanan pada Etnis Lani. Pola konsumsi masyarakat Etnis Lani
pada zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Pada era sebelumnya masyarakat Lani mengolah makanan
mereka tanpa menggunakan bahan makanan tambahan. Mereka
mengolah makanan dengan cara membakar ataupun dengan metode
bakar batu. Mereka banyak mengkonsumsi epere, erom dan kasbi
sebagai bahan sumber karbohidrat dan sayur serta buah sebagai sumber
vitamin dan mineral. Sumber protein mereka peroleh dari jamur hutan,
telur ayam hutan dan ayam peliharaan. Babi bukanlah jenis ternak yang
bisa diandalkan sebagai sumber protein. Ternak babi di Lani dan
masyarakat Papua pada umumnya merupakan nilai ekonomis yang tinggi
sebagai simbol pembayaran denda. Penjualan babi dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sekunder dan bahkan tersier. Hal tersebut
serupa dengan yang diutarakan oleh Bapak Yul B (umur 46 tahun) bahwa :
.kita jual babi itu kita baru bisa dapat jutaan, artinya
puluhan juta, kalau lewat gaji kita siapkan untuk anak-anak
tidak pas karena kebutuhan di rumah juga ada seperti beli
vetsin, garam, sabun, apa seperti itu., jelas Bapa Yul B
Garam adalah salah satu bahan makanan tambahan yang
dikenalkan misionaris pada tahun 1957 bersamaan dengan masuknya
injil. Pada etnis Mee di Paniai, keberadaan supermi dan sarden
64
65
Jenis Konsumsi
Makanan
generasi muda
66
Tidak ada budaya menyapih ASI seperti pada Etnis Jawa. Anak
Lani akan mendapatkan ASI sampai dia besar dan memutuskan untuk
tidak mau lagi menyusu pada ibunya. Sering ditemukan anak dengan usia
2 tahun yang masih menyusu. Adanya budaya pantang sanggama selama
ibu menyusui wajib dipatuhi oleh orang tua di Lani. Kondisi tersebut
sama seperti yang dijelaskan oleh Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :
itu sudah, waktu kasih ASI memang tidak boleh buat
sesuatu, baru kalau su begitu, lahir adik baru, ASI belum
selesai, kasian anak yang pertama to, itu kalau begitu dong
bisa kena denda, jelas Mama Men
Namun pemberian ASI pada masyarakat Lani masih disertai
dengan pemberian makanan tambahan yang terlalu dini. Bayi yang masih
berusia 2-3 bulan sudah diberikan pisang bakar atau erom bakar yang
sudah dihaluskan terlebih dahulu. Mama Men juga menjelaskan ciri-ciri
anak pada saat dia ingin makan, kalau bayi su nangis, baru dia ada
keluar ludah begitu, kasih makan sudah tandanya, jelas Men.
Orangtua di Lani juga beranggapan bahwa pemberian makanan
tambahan secara dini pada bayi pada zaman nenek moyang juga tidak
memberikan efek bahaya terhadap kesehatan bayi, bahkan bayi menjadi
lebih tenang tidur karena perutnya kenyang. Hal ini serupa dengan yang
dijelaskan oleh Mama On (umur 40 tahun) bahwa :
.bayi di sini biasa diberi pisang begitu, kalau memang
rewel, dia langsung diam habis itu.kadang kalo dia
pengen makan makanan orang dewasa, Mama kasih kunyah
dulu, baru disuapkan ke bayi begitu., jelas Mama On
3.3.2. Kebiasaan Merokok dan Makan Pinang
Seperti masyarakat di Indonesia Timur pada umumnya,
masyarakat Lani pun lekat dengan pinang. Mereka makan pinang disetiap
kesempatan. Hanya saja ketika masuk ke wilayah Bokondini, tepatnya di
68
Gambar 3.4.
Kondisi jalan di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Klasis Bogoga dan LMA Distrik Bokondini membuat aturan yang
disepakati oleh masyarakat, yaitu aturan tentang larangan makan pinang
dan larangan membiarkan babi bebas berkeliaran di wilayah Kota
Bokondini.
Fenomena merokok pada anak sudah mulai merebak di
Bokondini. Ada orangtua yang membiarkannya saja dan ada pula
orangtua yang mulai memproteksi anaknya untuk tidak bergaul dengan
temannya yang sudah mulai merokok. Kebiasaan tersebut sudah terlihat
pada keluarga Kak Wep W (umur 36 tahun) bahwa :
.kalau An tidak boleh masuk kesini, karena dia sudah
berani merokok, Bc tidak boleh dekat dekat...macam dia
sudah punya kerja dan punya uang sendiri saja., jelas Kak
Wep W
69
70
71
Penyakit Menular
Penyakit menular masih mendominasi 10 besar penyakit di
wilayah kerja Puskesmas Bokondini. Malaria dan HIV/AIDS merupakan 2
penyakit menular yang terbesar. Data insiden TB tidak didapatkan. Hanya
ISPA yang masih merebak seperti halnya pola 10 besar penyakit di
propinsi propinsi lainnya di Indonesia.
3.4.1. Malaria
Data Puskesmas Bokondini tahun 2014 menunjukkan angka
kesakitan yang cukup tinggi untuk kasus malaria. Tercatat 39 kasus
malaria tropika, 40 kasus malaria tertiana dan 12 kasus malaria mix
72
73
74
75
76
77
.orang mabuk disini bisa buat sendiri pakai air nanas yang
didiamkan 3-4 hari...atau bisa juga air bekas cuci beras itu
mereka kasih Fer***** lalu diamkan saja semalam, jelas
Kak Yul Bi
Luka gores atau luka lecet (vulnus exoriasi) adalah sebuah kasus
yang khas terjadi di wilayah pegununngan tengah. Luka lecet yang terjadi
dalam aktivitas keseharian masyarakat menjadi sulit sekali sembuh.
Bahkan cenderung melebar dan bernanah. Peneliti sempat mengalami
luka lecet yang makin melebar tak kunjung sembuh sampai 2 minggu.
3.6.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi pada masyarakat Etnis Lani di Bokondini
didominasi oleh tingginya angka kesakitan IMS dan HIV AIDS akibat
perilaku seks bebas. Pendidikan Kespro (Kesehatan reproduksi) pada
remaja belum menjadi prioritas utama keluarga.
Beberapa remaja putri bahkan tidak mengetahui bahwa
menstruasi adalah sebuah proses biologis yang akan dialamioleh semua
perempuan. Mereka akhirnya terkejut ketika harus mengalami nyeri haid
untuk pertama kalinya. Orang tua cenderung sungkan untuk
mengkomunikasikan konsekuensi konsekuensi yang akan dialami anak
perempuannya ketika mereka telah mengalami proses ovulasi dan
menstruasi. Mereka beranggapan bahwa tanpa diberikan informasi
apapun pastilah anak-anak itu akan tahu dari temannya, saudaranya atau
dari sumber informasi lainnya. Hal ini senada dengan yang diucapkan
oleh Mama Men (umur 44 tahun) bahwa :
.kalau dulu dong belum paham, ada kaget, mereka pikir
kenapa, di dalam tubuhnya ada apa, kemudian kurung diri
karena takut atau malu dilihat dengan teman, jelas Mama
Men
79
Keluarga Berencana
Program Keluarga Berencana merupakan salah satu dari sekian
program yang tidak berjalan dengan baik di Tolikara` Pada kondisi di
daerah, masyarakat khususnya di desa ataupun pelosok pelosok yang
mengambil keputusan untuk tidak mengikuti program KB, biasanya
disebbkan karena pemikiran pemikiran yang cenderung masih tradisional.
Berikut adalah bagan yang dapat menggambarkan kondisi
program KB di Distrik Bokondini.
Retensi Kebijakan :
Siklus haid tidak
lancar
mengakibatkan sakit
pada ibu dan bayi yg
disusui
Membuat badan ibu
gemuk
Menyebabkan
infertilitas
Membunuh calon
bayi
Politik untuk
menurunkan
populasi Orang Asli
Papua
Budaya Pantang
sanggama selama ibu
menyusui
Suami
Selingkuh
IMS meningkat
Infertilitas
PROGRAM KB
Budaya
Berganti
Pasangan dan
Budaya Kawin
cerai
80
81
82
terdiri dari dokter, bidan, perawat dan kader kesehatan. Tetapi yang
tampak setiap harinya hanya sekitar 12-15 orang saja yang melakukan
pelayanan.
Ada ditemukan rendahnya motivasi kerja PNS dibanding tenaga
honorer. Beberapa tenaga PNS dijumpai tidak melakukan pelayanan di
puskesmas, justru tenaga honorer-lah yang menjadi ujung tombak dalam
pemberian layanan kesehatan di Puskesmas. Akan tetapi pengabdian
para tenaga honorer ini sering tidak disertai dengan pembayaran honor
rutin setiap bulannya. Bahkan ada yang bertutur bahwa mereka
terkadang baru menerima pembayaran gaji setelah lebih dari 4 bulan. Hal
ini sama seperti yang diceritakan oleh Hab M (umur 23 tahun) bahwa :
aduh, di sini itu kita memang harus pikir cara biar bisa
bertahan, gaji juga baru dikasih ke kami tidak tentu, contoh
sekarang saja, dari Januari sampai sekarang, kami ini yang
honorer belum terima gaji., jelas Hab M
3.8.3. Informasi Kesehatan
Informasi kesehatan yang tidak baik menyebabkan banyak data
yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Manajemen data yang kurang
baik menyebabkan pencatatan dan pelaporan yang tidak adekuat sampai
ke level propinsi. Seperti yang diceritakan oleh Po Ka (umur 28 tahun)
bahwa :
.kami selalu kirimkan data-data kami setiap bulan ke dinas,
tapi selang beberapa waktu dinas pasti minta lagi dengan
alasan data dari kami hilang, padahal kakak, puskesmas kami
paling rajin untuk data program dan hanya ada 2 puskesmas
yang datanya selalu terkumpul di Tolikara, mungkin itu yang
buat angka capaian kami terlihat rendah dibanding
kabupaten lain., jelas Po Ka
Manajemen logistik yg kurang tertata menyebabkan kekurangan
logistik bahan habis pakai dan kelangkaan obat atau bahkan penemuan
83
84
85
86
87
88
bisa pakai mobil Puskesmas, tapi yang sering dana tidak ada,
jadi kalau merujuk, pasien sendiri cari mobil, jelas Po Ka
Selain Jamkespa dan JKN, terdapat anggaran dari BOK.
Penggunaan anggaran BOK digunakan untuk pembiayaan kegiatan
pusling, transport rujukan ke RS, transport dan pemeliharaan kendaraan,
pembiayaan kegiatan inovatif puskesmas seperti garden visite dan VCT
mobile.
3.8.7. Kepemimpinan dan Kebijakan Pemerintah
Keberadaan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam masyarakat
juga merupakan komponen penting dalam penggerakan dan
pemberdayaan masyarakat. Program kesehatan apapun akan dapat
berjalan baik dengan menggandeng LMA dalam pelaksanaannya. Pihak
Puskesmas meminta bantuan kepada ketua LMA untuk menerjemahkan
ajakan untuk memeriksakan kesehatan ke Puskesmas dengan bahasa
Lani.
Klasis merupakan struktur keagamaan yang mengatur tentang
situasi dan kondisi secara agamis yang berlangsung damai di masyarakat.
Aturan klasis merupakan aturan tertinggi yang harus dipatuhi oleh
masyarakat Bokondini. Walaupun sebenarnya, Bokondini bukanlah
contoh yang representatif yang bisa dianggap mewakili populasi Lani di
Kabupaten Tolikara. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh dokter
Tar (umur 28 tahun) bahwa :
.masyarakat Bokondini merupakan anomali dari
masyarakat Lani di Tolikara, disini jarang ada orang mabuk,
jalanan juga bersih, orang begitu taat ke gereja setiap
minggu, di tempat lain (di Tolikara) tidak ada yang seperti
ini., jelas dokter Tar
Kepemimpinan yang baik akan mampu mengakomodir semua
kepentingan lembaga dibawahnya. Unsur kepemimpinan yang
diharapkan oleh program kesehatan adalah kepemimpinan yang mampu
89
90
Bab 4
Anak Noken dalam Budaya Lani
4.1.
92
93
Gambar 4.1.
Contoh tali karung untuk ikat tali pusat
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain hal di atas, mayoritas masyarakat Lani di Bokondini dahulu
memotong tali pusar dengan menggunakan kepala busur panah, yang
biasa dikenal dengan istilah pik nde. Saat ini tentunya berganti kepada
yang sifatnya lebih modern,yaitu silet. Hal tersebut sama seperti yang
disampaikan oleh Mama Sir Ko :
pik nde itu untuk potong tali pusar, dia itu macam anak
panah yang ada di ujung begitu, kecil saja dia, baru mereka
ambil untuk potong itu tali pusar, sekarang juga masih pakai,
tapi beberapa su ada yang pakai silet, jelas Mama Sir Ko
4.1.3. Rahu-Rahu : Budaya Pijat Bayi pada Etnis Lani
Perawatan pada bayi baru lahir pun dilakukan sendiri tanpa
bantuan dukun bayi atau kader kesehatan. Biasanya kader kesehatan
yang dekat dengan bidan atau Puskesmas akan membawa bayi baru lahir
tersebut untuk segera mendapatkan HB0, tetapi bagi mereka yang
rumahnya jauh maka imunisasi awalpun tidak mereka dapatkan. Ada
yang menceritakan bahwa bayi yang baru lahir harus segera dimandikan
dengan air dingin dan dimasukan dalam noken yang sudah dilapisi
94
dengan kain atau daun yalingga. Tetapi ada pula yang menceritakan
bahwa setelah bayi lahir maka dia akan memperoleh pemijatan selama 7
hari oleh ibunya sendiri. Hal ini sama seperti yang diceritakan oleh Mama
On (umur 40 tahun) bahwa :
..kita biasa kasih yalingga untuk alas bayi, yalingga itu
lembut untuk kulit bayi, semacam ada lapisan halus di atas
daun yalingga, kalau bayi kincing atau buang air besar di atas
yalingga, kulitnya tidak merah merah seperti kalau kita kasih
mereka kain baju., jelas Mama On
Rahu-rahu adalah teknik memijat sekaligus menghangatkan bayi
baru lahir yang masih sering dilakukan oleh Etnis Lani. Biasanya ibu yang
telah melahirkan akan duduk di depan perapian yang menyala di dalam
honai. Bayi baru lahir diletakkan di pangkuan ibu. Ibu akan memanaskan
daun dolungga hingga berair dengan asap perapian. Setelah itu baru
daun tersebut digunakan untuk memijat bayi. Pemijatan dilakukan
dengan menempelkan daun kebagian tubuh bayi dengan gerakan
memijat mulai dari dada, perut, kaki,tangan dan punggung bayi secara
berurutan. Apabila daun dirasa tidak lagi menyimpan panas, maka daun
tersebut kembali didekatkan pada perapian. Pada pemijatan bagian
kepala, ibu menggunakan telapak tangannya langsung untuk dihangatkan
dengan didekatkan pada perapian, kemudian tangan tersebut digunakan
untuk mengepal-ngepal kepala bayi, memijat pipi, dahi dan hidung bayi
secara bergantian. Sama dengan daun dolungga, bila ibu merasa
tangannya tidak lagi hangat maka ibu akan mendekatkan kembali
tangannya ke perapian, demikian seterusnya dilakukan pagi dan sore
sampai 7 hari setelah kelahiran. Baru setelah itu bayi boleh dimandikan
dengan air dingin. Hal ini sama dengan yang diutarakan oleh Mama Sir Ko
bahwa :
.kalau Lani asli yang masih ada di gunung-gunung sana
masih suka kasih mandi bayi 7 hari itu dengan air dingin,
kalau mama-mama yang di kota mereka sudah kita bagi tahu
95
jadi mereka rebus air untuk kasih mandi bayi,ada juga tete
moyang yang mereka ada tinggal dekat air jatuh (air
terjun.pen), mama yang baru melahirkan kasih mandi dengan
duduk dibawah air jatuh. jelas Mama Sir Ko
Ibu nifas pun akan memakai daun dolungga yang telah
dilemaskan dan dihangatkan oleh api dari perapian untuk ditempelkan di
perut dan vagina. Daun dolungga pada ibu nifas tidak hanya berfungsi
sebagai pembalut, tetapi juga sebagai pengobatan untuk mempercepat
keluarnya darah nifas,merapatkan kembali vagina dan mengembalikan
perut kembali ke ukuran semula sebelum hamil dan melahirkan.
Selain hal itu dalam konteks budaya Lani, plasenta anak yang baru
lahir akan dibakar agar hangus dan hilang hingga menjadi abu. Ada
sebuah pandangan yang mana bila dikubur akan menyebabkan sakit pada
si anak. Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh Mama Men (43
tahun) bahwa :
.itu sudah begitu, kalau dikubur misal cacing ada makan
to, bisa bayi nangis atau sakit begitu, supaya tidak begitu
maka dia pu plasenta kasih bakar, biar hangus hilang, jadi
cacing atau apakah begitu tidak bisa makan, jadi bayi tidak
rasa sakit, itu sudah kepercayaan., jelas Mama Men
Dalam masyarakat Lani, ibu nifas tidak memiliki periode istirahat
yang panjang. Ketika pusat bayi telah tanggal, kurang lebih ketika bayi
berusia 5-7 hari, maka ibu dan bayi yang baru lahir tersebut mempunyai
kewajiban untuk segera berkebun kembali. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Kakak Et Pe (25 tahun) bahwa :
.begitu sudah dolungga itu, biasa memang buat kasih
berhenti darah kotor, sehari itu bisa 3 sampai 4 kali ganti,
baru itu sampai 3 hari baru bersih sudah, lalu seminggu habis
kasih lahir anak, biasa sudah kerja kembali., cerita Kakak
Et Pe
96
97
adalah pada ibu, terutama ketika anak tersebut masih balita. Pada waktu
itu ada pantangan bahwa suami tidak boleh terkena air kencing anaknya.
Air kencing bayi bisa membuat lemah badan dari para laki-laki dewasa
yang harus selalu dalam keadaan siaga berperang. Ibu bertanggungjawab
untuk bekerja di kebun, mengurus anak dan menyiapkan makanan untuk
keluarga.Karena faktor keamanan pada masa itu yang identik dengan
perang suku. Jumlah anak yang sedikit dianggap dapat memudahkan
mereka berlari dalam pengungsian ke dalam hutan pegunungan ketika
perang suku pecah. Hal tersebut sama seperti yang telah diceritakan oleh
Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :
..ya dulu sedikit karena sering perang to, jadi kalau cuma
satu bawa mudah, kalau banyak bawa susah, mau bawa
bagaimana lagi,. baru karena kalau perang, bawa anak,
kemudian anak ada kencing kah, menangis begitu, bisa jadi
lemas kita pu badan.,cerita Mama Men
Perang suku pada zaman itu mudah sekali tersulut terutama
terpicu oleh masalah perebutan babi dan perempuan. Riwayat perang
suku yang berkepanjangan pada waktu itu disebut sebagai salah satu
faktor yang menyebabkan populasi Orang Asli Papua (OAP) menurun jauh
dibanding populasi orang PNG (Papua New Guinea) (Giyai, 2012). Secara
psikologis dampak perang suku masih terasa sampai saat ini yaitu masih
adanya primordialisme yang masih kental pada masyarakat antar
kabupaten di pegunungan tengah. Perseteruan warga antar kabupaten
masih sering terjadi karena terpicu oleh hal-hal kecil. Bentukperseteruan
tersebut bisa berupa pemalangan jalan ataupun penyerangan secara
fisik.
Pergeseran paradigma terjadi pada saat injil mulai masuk ke
Bokondini. Perang antar suku tidak banyak terjadi, faktor keamanan
memberikan kenyamanan dan keinginan untuk memperbanyak jumlah
anak. Hal tersebut juga didukung oleh Don yang berpendapat bahwa
banyaknya anak sekarang karena sudah sedikitnya perang yang terjadi,
sekarang su damai, tidak ada perang begitu, jadi bapak bikin mama
98
senang, mama bikin bapak senang, saling bantu, jadi anak banyak, jelas
Don.
Mereka berpendapat bahwa dengan mempunyai banyak anak
maka dalam keluarga tersebut akan dapat saling membantu dalam
keadaan suka maupun duka. Apabila anaknya berjumlah sedikit maka
kelak anak-anak mereka tidak lagi mempunyai tempat berbagi ketika
mereka dalam keadaan susah. Hal ini senada dengan yang diutarakan
oleh Mama Men, kalau sekarang banyak anak bagus, soal dia kalau nanti
ada apa-apa banyak yang bantu to, misal dia mau nikah, atau ada denda
begitu, tambah Men.
Firman Tuhan dalam Injil pun mengajarkan mereka untuk
memperbanyak jumlah keturunan. Jumlah anak waktu itu antara 6-10
untuk seorang ibu. Beban kerja ibu semakin bertambah seiring
banyaknya jumlah anak. Hal tersebut dikarenakan suami masih tidak
terlibat dalam kegiatan perekonomian keluarga ataupun mengurus anak anaknya. Kepala keluarga dalam hal ini suami masih terikat dengan
kebiasaan zaman perang yaitu berperan dalam menjaga teritorial
wilayah. Pembagian peran mengurus rumah dan kebun akhirnya terbagi
pada anak anak tertua. Terkadang anak 5 tahun pun harus mendapat
peran untuk menjaga adiknya yang masih bayi sementara kakakkakaknya harus membantu bekerja di kebun atau mencari kayu bakar.
Hak kesehatan dan pendidikan bagi anak menjadi terabaikan. Hal ini yang
mendasari aturan usia masuk sekolah yang berbeda antara Papua dengan
daerah lain. Yaitu sedikitlebih tua dibanding usia standar secara nasional.
Misalnya aturan umur masuk untuk SMU adalah memakai batas
maksimal 21 tahun untuk bisa mendaftar sebagai siswa. Kepala sekolah
SMU Bokondini, Bapak Ar (umur 52 tahun) menjelaskan beberapa aturan
terkait syarat masuk SMU di Bokondini bahwa :
..kalau disini ada syarat kalau mau mendaftar masuk SMU,
usia maksimalnya 21 tahun dan membuat pernyataan tidak
akan hamil selama menjalani studi, nggak seperti di Jawa to
mbak., jelas Bapak Ar
99
Zaman Perang
Jumlah anak <<
Aturan Adat
Faktor Keamanan
yang kurang baik
Dahulu
Jumlah anak >>
Faktor Keamanan
yang baik
Firman Tuhan
Kenyamanan
keluarga besar
Sekarang
Jumlah anak <
Tingkat Pendidikan
Tingkat Sosioekonomi
Konteks Sosiobudaya
Bagan 4.1.
Pergeseran Paradigma Jumlah Anak Ideal Etnis Lani
Sumber : Hasil Olahan Peneliti
Pada periode tahun 1990-an paradigma ini berubah. Peran suami
untuk mengurus keluarga lebih terlihat. Mereka mau untuk mengurus
anak anak, menggendong anak dan memberi makan. Membawa anakanaknya pergi berobat ke Puskesmas atau rumah dokter untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan ketika mereka sakit. Beberapa
bahkan bekerja sebagai pegawai di kabupaten.
Tingkat pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya berkontribusi
pada pilihan sebuah keluarga untuk menentukan jumlah anak yang akan
mereka miliki. Let Kar (umur 26 tahun) adalah salah satu orangtua yang
memilih untuk tidak memiliki anak dalam jumlah banyak. Saat ini Let
hanya memiliki 1 orang anak berusia 8 tahun. Suaminya bekerja di
Wamena dan masih menyelesaikan kuliahnya. Menurutnya lebih baik
100
101
102
103
104
Hal ini serupa dengan yang diutarakan oleh Kak Wep W (36 tahun)
bahwa:
di sini kami itu tidak tahu apa-apa to, biasa mereka yang pi
sekolah di Wamena atau di mana begitu, itu kadang yang
bawa hal kurang baik, kasih musik nyala kencang-kencang,
tidak tahu waktu.Ria ini su kita kasih tahu, maen tidak
boleh jauh-jauh, dekat-dekat saja, dia sekolah to, jangan
sampai dia pu sekolah itu berhenti karena buat sesuatu.,
cerita Kak Wep W
Namun realita yang ada mengatakan bahwa tidak sedikit juga
anak-anak khususnya perempuan yang bergaul dengan bebas di
Bokondini. Hal tersebut tentunya sudah mendapat perhatian dari
orangtua untuk terus diberitahukan kepada anak-anaknya. Pergaulan
yang bebas tersebut juga berdampak pada pendidikan dan kesehatan
anak. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Bapak Yul B (46 tahun)
bahwa :
..apa, kasih pemahaman, pengertian, pengalaman yang
saya alami seperti itu saya sudah kasih keterangan sama
anak-anak, nanti akan begini jadinya begini, kalau begini
jadinya begini, itu saya sudah kasih tahu, ada yang baik dan
buruk, tapi mereka tidak dengar saya, jadi ini mereka sudah,
sekolah itu kesempatan mereka buat jadi apa hubungan
dengan mereka bebas bicara di sana, bebas pacar di sana,
setelah kembali, waktu dan tempat sudah mereka tentukan,
jadi orang tua tidak tahu, jelas Bapak Yul B
Pergaulan bebas tersebut secara tidak langsung akan merugikan
semua pihak, khususnya perempuan. Kehamilan di luar nikah dan saat
masih bersekolah, tentunya akan berakibat pada status pendidikannya.
Dalam artian bahwa anak perempuan tersebut tidak bisa melanjutkan
pendidikan di sekolah tersebut lantaran sedang mengandung anak. Hal
ini sejalan dengan yang diceritakan oleh Bapak Yul B bahwa :
105
.dan itu sewaktu dia SMP sudah kabur dengan, sudah baku
bawa dengan aa laki-laki, itu saya dari awal sejak sebelum
terjadi itu saya sudah, sudah marah-marah, sudah kasih tahu
jangan seperti ini seperti itu, nanti akibatnya begini saya
sudah kasih tahu.ya orang hamil kan tidak mungkin
sekolah, jadi dari sekolah sudah diberhentikan, jadi yang
kami, termasuk saya merasa dirugikan orangnya yang dia
punya pacar itu, itu sedikit apa pengalaman yang saya bisa
cerita.., cerita Bapak Yul B
Hal tersebut senada dengan yang telah dijelaskan dalam buku
yang berjudul A Companion to Psychological Anthropology bahwa :
the psychocultural anthropology of childhood asks how
children and adolescents around the world acquire,
transform, share, integrate, and transmit cultural
knowledge.
Berdasar quote di atas dan melihat budaya yang berkembang di
Bokondini secara tidak langsung akan berdampak pada tumbuh kembang
anak-anak khususnya remaja. Seperti yang telah dijelaskan oleh Thomas
S. Weiner dan Edward D. Lowe dalam Globalization, Childhood, and
Psychological Anthropology bahwa budaya adalah sebuah alat yang
unggul dimana remaja belajar menggunakan untuk adaptasi ke
kehidupan. Situasi lokal terdiri dari rutinitas dan aktivitas dari sebuah
komunitas budaya. Tulisan-tulisan, rencana-rencana, dan tujuan-tujuan
orangtua dan anak di semua komunitas budaya sangat penting dalam
memahami pola dari kepribadian dan perilaku yang menghasilkan. (Casey
dan Edgerton dkk, 2005)
4.3.
106
dilaksanakan pada saat hari pasar. Seperti yang sudah dijelaskan pada
bab 2, kegiatan pasar dilakukan 3 kali dalam seminggu. Yaitu di hari
Selasa, Kamis dan Sabtu. Alasan dilaksanakan pada hari pasar adalah
karena hanya pada hari pasar ibu-ibu mempunyai kesempatan untuk
pergi ke Kota Bokondini untuk menjual hasil kebun atau mencari bahan
makanan lainnya. Itupun tidak semua ibu balita dan ibu hamil mau untuk
berkunjung ke Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan Posyandu.
Terkadang bahkan petugas Puskesmas harus turun ke pasar untuk
mengajak mereka untuk datang ke Puskesmas. Hal ini senada dengan
yang diceritakan oleh Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :
pasar itu kan berdekatan dengan puskesmas to, kalau hari
pasar pasti mereka yang diatas turun ke pasar, jadi mama
bisa sekalian timbang bayinya, nanti bidan bisa kasih tau
mama mama di pasar untuk kasih timbang bayi ke Puskesmas
sebentar,.jelas Mama Men
Pada saat penelitian sempat dilaksanakan 1 kali Posyandu pada
Bulan Mei 2015 di Puskesmas Bokondini. Jumlah balita yang datang pun
tidak banyak hanya 26 balita saja. Kegiatan Posyandu yang dilaksanakan
adalah penimbangan berat badan balita, imunisasi dan pemeriksaan ibu
hamil. Tidak dijumpai kegiatan penyuluhan dan pemberian makanan
tambahan.
107
Gambar 4.2.
Kegiatan Posyandu di Puskesmas
Simber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Laporan Posyandu ke Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) setiap
bulannya dilengkapi dengan mengerahkan para kader kesehatan untuk
melakukan penimbangan balita di gereja. Hal tersebut karena data
penimbangan balita di Puskesmas sangat sedikit. Ada kegiatan
penimbangan oleh kader di gereja di hari Minggu pada setiap bulan.
Penimbangan di gereja dilakukan dengan menggunakan alat timbangan
dacin ukuran 100 kg. Alat timbangan tersebut digunakan secara bergiliran
oleh para kader kesehatan untuk melakukan penimbangan balita di 5
gereja di wilayah Bokondini.
108
Gambar 4.3.
Penimbangan anak di Puskesmas
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Kondisi geografis di Bokondini menjadi salah satu penyebab tidak
banyaknya ibu-ibu yang datang untuk mengikuti kegiatan Posyandu.
Sehingga hal tersebut berdampak pada sedikitnya data tentang berat
badan anak di Bokondini. Seperti yang telah disampaikan oleh Mama On
(40 tahun) bahwa :
.tidak tahu kenapa, kita sudah ajak mereka datang ke
Puskesmas untuk Posyandu, tapi mereka tidak datang,
mungkin terlalu jauh atau bagaimana, jadi kader di kampungkampung saya tugaskan untuk lengkapi data penimbangan
per gereja, kalau hari minggu pasti mereka datang ke gereja
to, kalau tidak pasti gembala ada kejar mereka ke rumahrumah, jelas Mama On
Walaupun tidak banyak, cara tersebut terbilang cukup berhasil.
Seperti yang telah disampaikan pada bab 2, gereja di Bokondini juga
merupakan sebuah media komunikasi masyarakat. Hal ini sama seperti
yang disampaikan oleh Mama Es (45 tahun) bahwa :
109
Gambar 4.4.
. Kegiatan Pemberian Makanan Ibu Hamil pada Program 1000 Hari di Puskesmas
Karubaga
Sumber : DKK Tolikara
111
Gambar 4.5.
Contoh Menu Makanan pada Program 1000 Hari
di Puskesmas Karubaga
Sumber : DKK Tolikara
4.4.
112
Gambar 4.6.
Bayi dalam noken
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
113
114
115
116
Gambar 4.7.
Salah satu anak mengkonsumsi mi instan
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Pemilihan makanan tersebut tentunya dapat berdampak pada
pertumbuhan seorang anak nantinya. Di sisi lain, makanan-makanan
tersebut tentunya secara tidak langsung akan menjadi kegemarannya
pada saat dewasa nanti. Hal ini senada dengan yang telah dipaparkan
oleh Foster dan Anderson bahwa pengalaman-pengalaman masa kecil,
sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita
pada usia dewasa, makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap
menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih
mudah untuk ditolak. (Foster & Anderson, 1986)
117
118
disekitar rumah dan bebatuan di sekitar sungai adalah area yang sering
dilalui binatang ternak seperti babi.
Babi seringkali dibiarkan lepas pada pagi hari dan akan
dimasukkan lagi ke kandang pada sore hari. Babi pada saat di luar
kandang dapat membuang kotoran dimanapun termasuk rerumputan di
sekitar rumah tempat mereka menjemur baju. Selain babi, kadang juga
terdapat hewan lainnya seperti anjing. Anjing kadang-kadang juga
terlihat BAB dan BAK di sembarang tempat, biasanya di sekitar area
halaman rumah.
Area tersebut selain sering terpapar oleh kotoran babi juga sering
terpapar oleh kotoran manusia. Hal tersebut dikarenakan perilaku BAB
pada balita yang masih disembarang tempat.
Menurut pihak Puskesmas, kebiasaan menjemur baju di area
tersebut menyebabkan tingginya penyakit kulit seperti pioderma dan
dermatitis pada masyarakat terutama balita. Pioderma dan dermatitis
menempati 10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas Bokondini.
Gambar 4.8.
Rumput sebagai tempat menjemur
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
119
120
121
Gambar 4.9.
Ibu dengan 2 anak sedang di pasar
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Penuturan berbeda kami dapatkan dari informan yang rumahnya
dekat dengan pusat Kota Bokondini. Mereka menuturkan bahwa anakanaknya bersekolah, hanya saja mereka datang ketika ujian kenaikan
saja. Hal ini serupa yang disampaikan oleh Kak Robin bahwa :
.anak anak ini berangkat sekolah kalau ada ujian kenaikan
saja, biasa ibu guru datang kesini bagi tahu...kalau hari biasa
mereka tidak berangkat sekolah...yang sering juga guru guru
tidak datang mengajar ke sekolah (Rob, 30 tahun)
Ketersediaan sarana pendidikan di Distrik Bokondini terdiri dari
adanya SD, SMP dan SMU. Yaitu : SD Inpres 1 Bokondini, SMP Bokondini
dan SMU Bokondini. Selain institusi pendidikan dari pemerintah.
Terdapat juga institusi pendidikan swasta yaitu SD Ob Anggen. Ketika
122
Gambar 4.10.
SD Inpres 1 Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
4.5.
123
adalah salah satu daerah pertanian penghasil sayuran dan buah terbaik di
pegunungan tengah. Sayur dan buah yang berlimpah ini dimanfaatkan
dengan baik untuk konsumsi harian masyarakat. Babi bukanlah sumber
protein utama karena harganya yang sangat mahal. Terkadang ada yang
menjual daging babi hutan hasil perburuan atau tak sengaja tertangkap
karena merusak kebun warga. Sumber protein yang tersedia adalah tahu,
tempe dan telur. Hanya masyarakat dengan tingkat ekonomi yang baik
saja yang bisa menikmati makanan bersumber protein. Karena bahan
makanan ini harus didatangkan dari Wamena sehingga harganya pun
menjadi tidak murah bagi sebagian besar masyarakat.
Kebiasaan mengkonsumsi kopi dengan gula yang berlebihan
menjadi kesukaan masyarakat Bokondini. Kopi manis dinikmati bersama
ketika ada tamu atau keluarga yang datang, terkadang kopi manis juga
diberikan kepada para pekerja kebun ketika mereka bekerja bersamasama untuk membuka kebun baru.
Biskuit, wafer dan aneka permen yang dijual masyarakat
pendatang di warung pun disukai oleh masyarakat Lani. Biasanya mereka
akan memakannya dalam perjalanan dari warung menuju ke rumahnya.
Akibatnya adalah sampah plastik pun bertebaran tanpa ada yang merasa
bertanggungjawab untuk membersihkannya.
Anak Lani senang sekali memakan mi instan secara langsung
tanpa memasaknya terlebih dahulu. Mereka akan menghancurkan mi
dalam keadaan kemasan yang masih tertutup, yaitu dengan cara
meremas remasnya, kemudian baru kemasan dibuka dan mereka
langsung memakannya tanpa bumbu. Tetapi ada masyarakat yang
mengolah mi instan dengan cara memasaknya menjadi sayur berkuah
dengan menambahkan sayuran hijau seperti daun epere dalam jumlah
banyak.
4.5.2.Kebiasaan Buang Air Besar (BAB)
Pembiasaan Buang Air Besardi WC pada anak Lani dilakukan
secara bertahap. Pada bayi lahir hingga berumur 6 bulan, BAB dilakukan
di atas pangkuan ibunya. Kaki ditekuk keatas dan bayi akan BAB dipaha
124
sang ibu tanpa diberi alas apapun. Setelah itu baru ibu akan membuang
kotoran bayinya itu kehalaman atau ke semak semak rerumputan di
halaman rumah.
Pada usia bayi mulai merangkak dan belajar berjalan yaitu umur
7-12 bulan, bayi akan mempunyai mobilitas yang lebih tinggi. Mereka
akan dengan mudah menjangkau sudut-sudut rumah, atau bahkan mulai
menjelajahi halaman rumah. Mereka tidak akan tenang BAB lagi pada
pangkuan ibunya. BAB akan dilakukan kapanpun dan dimanapun mereka
berada. Ibu akan membiarkannya. Bila BAB telah selesai maka ibu akan
bergegas membersihkannya. Masyarakat yang tinggal jauh dari sumber
air akan membersihkan bagian tubuh bayi dari sisa kotoran dengan
menggunakan kain atau daun-daun yang ada disekitar rumah. Apabila
mereka tinggal didaerah dengan akses air yang baik maka mereka akan
segera membersihkan bayinya. Mereka tidak membersihkan bagian
tubuh bayi tersebut dengan sabun, hanya dengan air saja.
Pada usia 1-3 tahun balita mulai diajarkan untuk BAB di WC.
Mereka telah mempunyai kemampuan verbal dan non verbal untuk
memberikan isyarat kepada orang disekitarnya bahwa dia berkebutuhan
untuk melakukan BAB. Apabila mereka tidak mempunyai jamban, maka
BAB tetap akan dilakukan di tempat terbuka, hanya saja pada usia
mereka sudah dapat diberikan arahan agar tidak BAB di dekat area jalan
yang sering dilalui orang atau tidak BAB di area yang sering dipakai untuk
aktivitas bersama keluarga.
Untuk keluarga yang telah mempunyai jamban leher angsa maka
balita biasanya sudah mulai diajarkan untuk BAB di jamban atau WC.
Beberapa warga di luar kota Bokondini mempunyai jamban cemplung.
Mereka belum berani untuk melatih balitanya agar BAB di jamban
cemplung karena alasan keselamatan.
125
Studi Kasus 1
Pola asuh balita: Pembiasaan BAB di Jamban
Cemplung
Eta Penggu (24 tahun) adalah ibu dari 3 orang anak.
Berbagi pengalaman tentang cara membiasakan anak
anaknya untuk BAB di WC. Pada usia bayi sampai anak
berusia 4 bulan, bayi BAB tanpa alas di pangkuan atau
paha ibunya. Kemudian ketika dia sudah bisa merangkak
atau berjalan keluar rumah, yaitu kira-kira usia 3 tahun,
anak akan BAB disembarang tempat di halaman terbuka.
Mereka belum berani untuk membiasakan balitanya untuk
BAB di WC karena jamban mereka adalah Jamban
Cemplung yang diameternya lebih dari 30 cm.
Membiarkan mereka untuk BAB di atas jamban cemplung
dianggap beresiko terhadap keselamatan anak. Ketika
berusia 4-5 tahun biasanya mereka kita arahkan untuk
tidak BAB di jalan terbuka yang sering dilalui orang. Pada
Usia 6-7 tahun baru mereka berani untuk BAB di Jamban
cemplung.
126
kelompok tiga tahun itu bisa mengerti, kalau dua tahun kami
tidak bisa ajak mereka ke WC, jelas Kak Yul W
4.5.3. Kebiasaan Mandi : Tingginya Pioderma dan Dermatitis)
Kebiasaan mandi di Bokondini sangat beragam. Pada bayi mereka
akan dimandikan 1-2 hari sekali, tergantung pada kondisi udara dan
ketersediaan air. Apabila kondisi udara sangat dingin dan hujan
sepanjang hari terus mengguyur, maka bayi hanya akan dimandikan 1 kali
dalam sehari. Pada beberapa keluarga ada yang selalu meluangkan waktu
untuk merebus air hangat untuk mandi bayi dan balitanya, terutama
untuk mandi di pagi hari sebelum mereka beraktivitas. Pada anak usia 5
tahun ke atas mereka harus mandi sendiri tanpa bantuan orangtua atau
saudara. Mereka mandi sesuai dengan kebutuhan mereka. Terkadang
mereka tidak mandi pagi tetapi siangnya mandi dan bermain bersama
teman - teman di sungai seusai pulang dari sekolah.
Pada masyarakat yang tinggal dekat aliran sungai, aktivitas
mencuci pakaian di sungai pun dapat diteruskan dengan aktivitas mandi.
Pada beberapa anak dijumpai bahwa mereka mandi tanpa pola yang
baku, terkadang 1-2 hari mereka tidak mandi, ketika tubuh terasa lemas
dan tidak bersemangat mereka baru berangkat mandi. Tapi sering juga
mereka mandi sampai 3-4 kali dalam sehari. Mereka membersihkan
badan dengan menggunakan sabun mandi yang mengandung antiseptik
dan terkadang menggunakan deterjen pencuci pakaian untuk mandi dan
keramas, tapi beberapa mengaku tidak menggunakan sabun apapun
hanya mandi dan berendam diri di sungai.
127
Gambar 4.11.
Anak mandi di sungai
Sumber ; Dokumentasi peneliti, Mei 2015
4.5.4. Kebiasaan Cuci kaki dan cuci tangan
Cuci kaki dan cuci tangan setelah bermain dan sebelum makan
belum menjadi aktivitas rutin bagi anak Lani. Ada orangtua yang sudah
mulai mengerti akan pentingnya kesehatan maka mereka akan menyuruh
anak-anaknya untuk mencuci tangan dan kaki. Ada yang sudah
menggunakan sabun dan ada pula yang belum.
128
Gambar 4.12.
Anak tertidur dengan kaki kotor
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
4.5.5. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Pada usia balita, anak telah dibiasakan untuk berjalan jauh tanpa
menggunakan alas kaki. Ada anggapan bahwa kebiasaan memakai alas
kaki membuat kulit telapak kaki menjadi tipis dan tidak kuat berjalan
jauh. Apalagi memang dengan kontur wilayah pegunungan, pemakaian
alas kaki dianggap tidak efisien. Sandal biasanya akan rusak setelah 1-2
hari pemakaian. Beberapa bantuan dari luar pernah memberikan sandal
dan sepatu untuk anak anak Bokondini, tetapi baru dipakai beberapa hari
san sandal itu menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan kembali. Anak
anak menjadi sangat sayang kepada sandal atau sepatu yang dibelinya
kemudian. Mereka rela berjalan sambil menenteng sandal atau
mengalungkan sepatunya di leher daripada harus memakainya dan
mendapati sandal atau sepatu mereka rusak kemudian.
129
Gambar 4.13.
Beberapa anak tanpa alas kaki
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
4.5.6. Kebiasaan Menggosok gigi (caries dentis dan pulpitis)
Masyarakat Etnis Lani tidak mempunyai budaya untuk
menggosok atau membersihkan gigi. Tidak seperti Etnis Gem di
Mamberamo tengah yang mempunyai sejenis daun-daunan untuk
membersihkan gigi. Seperti yang diutarakan oleh Kakak Yul W (umur 34
tahun) bahwa :
itu tidak biasa, tidak ada, itu ada satu, itu kan termasuk
makanan selesai makan sayur mereka biasa tapi itu budaya,
bukan budaya kami itu budaya orang Gem, bagian bawah, itu
ada satu makanan, itu kayak daun di sini tidak ada, itu selesai
makan biasa kunyah-kunyah, untuk membersih gigi, itu
budaya mereka, tapi mungkin kami tidak ada., jelas Kakak
Yul W.
Untuk membersihkan gigi mereka kerap mengunyah tebu yang
banyak ditanam di kebun. Tapi sejak masuknya sikat dan pasta gigi yang
banyak dijual warung-warung ada beberapa masyarakat yang
130
131
Studi Kasus 2
Pola Asih : Membesarkan Olin Tanpa Kehadiran Mama
Black Sweet (36 tahun) adalah seorang duda dengan 1 anak
gadis bernama Olin (5 tahun). Istrinya meninggal 1 tahun yang
lalu akibat sakit. Setelah itu dia mengambil ijin untuk tidak
terlibat banyak dalam pekerjaan kantornya dan lebih memilih
untuk menghabiskan waktu menemani dan merawat Olin di
rumah. Dia mengakui banyak hal yang sangat sulit dia
lakukan dalam perannya sebagai singleparent, menyiapkan
makanan untuk Olin, memandikan dan menganyam
rambutnya adalah hal yang paling sulit dia lakukan. Walapun
demikian Blacksweet mengataan bahwa saat ini dia belum
berpikir untuk mencari ibu pengganti buat si kecil Olin. Saat ini
Olin sudah terbiasa untuk melakukan beberapa hal sendiri
atau bersama teman. Olin anak yang ramah dan periang.
Seperti halnya anak anak di Bokondini, Olin sangat suka
memakan mie instan langsung dari bungkusnya tanpa
dimasak terlebih dahulu. Ketika ditanya tentang makanan
favorit, Dia menjawab bahwa makanan kesukaan Olin adalah
nasi dan sayur..
133
Gambar 4.14.
Anak-anak jualan di pasar
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Selain mengajarkan untuk berkebun masih terdapat beberapa
cara yang diajarkan oleh orangtua. Seperti cara memasak, memotong
kayu untuk membuat rumah atau mencari kayu bakar. Ha; tersebut
serupa dengan yang disampaikan oleh Kak Pan E (umur 35 tahun) bahwa
:
..biasa dia sekitar umur 5 tahun begitu, su mulai ikut-ikut
masak, baru 8 tahun su bisa masak, seperti anak saya yang
nomor 2 ini, dia su jago masak, baru kalau dia su bisa kerja di
luar, kerja di dalam pasti juga su bisa, jelas Kak Pan E
134
135
136
Gambar 4.15.
Anak sedang membuat kandasten dengan parang
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015
Yuli dan Panias adalah contoh dari orangtua Etnis Lani yang mulai
mengajarkan kemandirian pada buah hatinya sejak dini. Membiasakan
mereka berjalan jauh tanpa alas kaki sejak balita, mengajari anak laki laki
mereka tentang cara menggunakan parang untuk mencari kayu,
mendidik anak perempuanya untuk memetik sayur, menganyam noken
dan menganyam rambut sejak dini. Hal tersebut sama seperti yang
diutarakan oleh Kak Yul W (umur 34 tahun) bahwa :
.mereka harus tahu ini kebun mereka, ini tanah mereka,
tempat mereka akan bergantung untuk bisa hidup, Mereka
harus mengenal baik bagaimana hidup dengan alam
pegunungan seperti ini., cerita Kak Yul W
Berbagai gambaran di atas patutnya menjadi perhatian penting
bagi orangtua di Bokondini. Hal tersebut dapat dilihat bahwa umur
sekitar 9 tahun sudah dapat menggunakan parang dalam kesehariannya.
137
138
139
hak asuhnya. Bila hak asuh anak rumput jatuh pada ibu dan pasangan
suaminya, bisa jadi mereka akan memperoleh hak pendidikan dan
pemenuhan kebutuhan kesehatan yang sama dengan anak-anak kandung
yang lain. Walaupun pada beberapa informan ditemukan bahwa ada
perbedaan perlakuan dimana anak rumput tidak mendapatkan hak yang
sama dengan anak kandung terkait hak mengenyam pendidikan dan
pemenuhan kebutuhan kesehatan. Terkadang si anak rumput sudah
dibebani dengan tanggungjawab kebun, menjaga adik-adiknya dan
aktivitas domestik lainnya sehingga tidak diberikan kesempatan padanya
untuk dapat memperoleh pendidikan yang layak.
Studi Kasus 4
Hak Pendidikan bagi Anak Rumput
Wepek Wan (37 tahun) adalah seorang istri dan ibu dari 4 orang
anak, dengan segala keterbatasan dia selalu berusaha
memberikan yang terbaik yang menjadi kebutuhan keempat
buah hatinya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan
sanitasi, pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pemenuhan
kebutuhan kesehatan. Ri, anak sulungnya(18 tahun) saat ini
tengah menempuh pendidikan di SMA, Bac(10tahun) dan Ber(8
tahun) duduk di kelas 5 dan kelas 2 SD, sementara si bungsu
Chel(2 tahun) lebih banyak menghabiskan waktu di rumah
bersama ibunya.
Suami Wepek mempunyai 3 anak dari perempuan lain,
Perempuan tersebut meninggal saat melahirkan bayi kembarnya
(anak ke 4 dan ke 5 yang akhirnya juga meninggal tak lama
setelah dilahirkan). Ke 3 anak tiri Wepek ini tinggal bersama
mertua Wepek yang berjarak 2 rumah dari rumahnya.
Sangat berbeda dengan kondisi anak kandung Wepek, ketiga
anak tiri yang semuanya adalah perempuan ini tidak
seberuntung keempat anak Wepek. Mereka tidak diberikan
kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Setiap
harinya kepada mereka diberikan kewajiban untuk membantu
mengurus kebun dan mencari kayu bakar untuk kebutuhan
domestik anggota keluarga. Bahkan mereka tidak pernah diajak
untuk berkumpul bersama dalam acara ulangtahun Bac yang ke
10 Mei lalu.
140
141
Kota Bokondini adalah salah satu ibukota distrik di Tolikara yang telah
terjamah oleh peradaban dan budaya dari masyarakat pendatang.
Kehadiran pendatang ada dalam konteks penyediaan kebutuhan fisik dan
non fisik. Seperti pasar, sanadang pangan dan lainnya.
Pendatang memberikan kebutuhan informasi dan budaya-budaya
baru. Proses akulturasi budaya yang terjadi saat ini pada masyarakat Lani
kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap perilaku masyarakat,
utamanya dalam bidang kesehatan. Setiap budaya baru tentunya akan
membawa kepada sebuah perubahan, baik di masyarakat atau individu.
Perubahan tersebut tentunya dapat membawa kemajuan atau
berkembang suatu daerah atau mungkin sebaliknya.
4.8.1. Fenomena Goyang Oles di Kalangan Anak Remaja
Upaya untuk menurunkan jumlah temuan kasus baru HIV/AIDS di
Bokondini memerlukan pemetaan kontekstual terhadap budaya
berperilaku Etnis Lani, utamanya adalah budaya yang bersentuhan
denganfaktor resiko tinggi penularan HIV/AIDS, yaitu perilaku seks bebas.
Perilaku seks bebas merupakan budaya yang secara umum ada
secara sporadis di Papua. Budaya tersebut ada sejak jaman nenek
moyang. Bentuk dan namanya sangat beragam ada pada etnis - etnis di
Papua.
Budaya Tukar Gelang adalah prosesi mengenal pasangan sebelum
menikah dalam budaya Lani, Pada prosesnya akan diadakan semacam
pesta dengan keramaian orang. Sekelompok laki-laki dan perempuan
memilih pasangan dalam sebuah perayaan. Tradisi ini yang pada saat ini
diplintir oleh sekelompok masyarakat sebagai Tradisi goyang oles. Tradisi
goyang oles diyakini oleh masyarakat sebagai penyimpangan dari Budaya
Tukar gelang. Budaya Tukar gelang bertujuan untuk mencari pasangan
yang setelahnya akan dinikahi, sedangkan tradisi Goyang Oles hanya
untuk mencari kepuasan seks semata.
Berikut merupakan tabel yang menjelaskan tentang pergeseran
budaya Tukar Gelang ke budaya Goyang Oles :
142
di
143
144
145
146
147
148
(Mertia, dkk, 2011). Pembiaran terhadap paparan goyang oles sejak dini
mungkin merupakan salah satu dari faktor tersebut
Klasis, gereja dan Lembaga masyarakat adat (LMA) yang selama
ini memiliki potensi sebagai penegak aturan dalam sosiobudaya Etnis Lani
belum bisa memberikan keterikatan masyarakatnya terhadap sebuah
aturan, Sebuah tantangan bagi lembaga ini untuk bisamemberikan sanksi
tegas yang bisa diberikan secara nyata dalam jangka pendek selain
hukuman dari Tuhan.
4.9.
149
150
151
152
sebagai wilayah dengan prevalensi HIV /AIDS yang tinggi seharusnya bukan
alasan untuk pemerintah di daerah untuk menggalakkan program -program
terobosan guna meningkatkan deteksi dini HIV/AIDS, penelolaan
manajemen PMO, Penggalangan conselor HIV/AIDS dari kader dan
terobosan unggulan di bidang promotif dan preventif lainnya.
153
Bab 5
Kesimpulan dan Rekomendasi
Nilai anak dalam Etnis Lani membentuk struktur sosial yang
menempatkan anak perempuan sebagai modal utama dalam keluarga.
Secara umum masyarakat Etnis Lani memaknai kehadiran anak-anak
mereka sebagai bentuk kepatuhan terhadap ajaran Injil.
Berkembangbiaklah dan penuhi muka bumi ini demikian perintah Allah
dalam Injil.
Konteks politik dan tingginya angka kematian OAP (orang asli
Papua) turut menghangatkan isu yang makin merebak. Yaitu isu tentang
kematian HIV/AIDS dan senjata genoside hasil konspirasi politik
Pemerintah Indonesia untuk menumpas OAP. Multifaktor inilah yang
merangkai kompleksitas gagalnya program KB di Kabupaten Tolikara.
Adanya tuntutan melahirkan anak yang banyak tidak disertai
upaya pemeliharaan kesehatan masyarakat yang baik menimbulkan
tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi/Balita. Studi di
beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kendati seluruh
komponen indikator Pelayanan KIA telah meningkat namun AKI dan AKB
justru mengalami peningkatan signifikan (Profil Kemenkes RI,2013).
Tingginya angka penyakit menular, kondisi geografis dan
keterbatasan akses pelayanan tidak disikapi dengan pembentukan Pola
asuh yang baik terhadap anak-anak Etnis Lani. Sementara programprogram yang ditawarkan selama ini belum menyentuh aspek pentingnya
pendidikan terkait pola asuh orangtua terhadap anak.
Potret Pola asuh Anak Lani
Secara umum ruang lingkup pola asuh di Etnis Lani belum
menerapkan asuhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan baik.
Tingginya arus informasi media dan perubahan gaya hidup dan
pergeseran komposisi makanan tidak diimbangi dengan pengetahuan
tentang bagaimana menjaga kesehatan anak.
154
155
a.
b.
c.
156
157
Daftar Pustaka
Anindita AR
(2013), Studi Kasus tentang Pola Berpikir Tradisional pada
Pasangan Suami Istri Yang Tidak Mengikuti Keluarga Berencana. Artikel
Penelitian
Arora A, Bedros D Bhole S, Eastwood J, Moody G
(2012), A Qualitative Evaluation of The Views of Childhood Oral
Health education Materials in New South Wales Australia. Health
Promotion Journal Australia 2012;23:112-6
Butt L
(2013), Local Biologies and HIV/AIDS in Highland Papua Indonesia.
Cultural Medicine Psychiatry 2013;37:179-194
(2005), Lipstic Girls and Fallen women : AIDS and
Conspiratorial Thinking in Papua,Indonesia. Cultural Anthropology;Aug
2005;20.3;Proqest. Pg.412
Carrier James G
(2005), A Handbook of Economic Anthropology. USA: Edward
Elgar
Casey C and Edgerton Robert B
(2007), A Companion to Psychological Anthropology: Modernity
and Psychocultural Change. Australia: Blackwell Publishing
De Onis M, Blossner M, Borghi E
(2011), Prevalence and Trend of Stunting Among Pre School
Children 1990-2020. Public Health Nutrition:15(1)142-148
Diana FM
(2006), Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Batita di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. September 2006 I(1)
Dundon A
(2007), Warrior Women, The Holy Spirit and HIV/AIDS in Rural
Papua New Guinea. Oceania. Maret 2007;77.1:Proquest. Pg.29
158
159
Nursal D
(2008), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual
Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Maret-September 2001 II(2)
Pangau-Adam M, Noske R, Muehlenberg M
(2012), Wildmeat or Bushmeat? Subsistence Hunting and
Commercial Harvesting in Papua (west New Guina) Indonesia. Human
Ecology 40.4 (Aug 2012):611-621
Prendergast AJ, Rukobo S, Chasekwa B, Mutasa K, Ntozini R, Mbuyu MN,
Jones A, Mouton L, Stollzfus RJ, Humprey JH
(2014), Stunting is Characterized by Chronic Inflamation in
Zimbabwean Infants. PlosOne February 2014 Vol 9 Issue 2 ie86928
Senn N, Maraga S, Sie A, Rogerson SJ, Reeder JC, Siba P, Mueller I
(2013), Population Hemoglobin Mean and Anemia Prevalence in
Papua New Guinea: New Metric for Defining Malaria Endemicity
Soejoeti S.,
Konsep Sehat Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya.
Depkers RI, Jakarta.
Sugiarti E
(2007), Marginalisasi Wanita Madura : Implikasi program Keluarga
Berencana diDesa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains). Mozaik, Jurnal
Ilmu Humaniora. Vol 2 No2 Juli-Desember 2007
UNESCO
(1955), The Positive Contribution by Immigrants. Paris
Wide C
(2007), Turning Sex into a Game : Gogodala Mens Response to
The AIDS Epidemic and Condom Promotion in Rural Papua New Guinea.
Oceania, Maret 2007: 77.1 Proquest. Pg 58
Winkelman M
(2009), Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San
Fransisco: Jossey-Bass
WHO
160
161