Vous êtes sur la page 1sur 224

Hidup dalam Buaian Malaria:

Etnik Kanume Kabupaten Merauke

Alfarabi
Elia Nur. A
Rachmalina Soerachman

Penerbit

Unesa University Press

Alfarabi, dkk

Hidup dalam Buaian Malaria:


Etnik Kanume di Kabupaten Merauke

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xiv ,210 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN: 978-979-028-955-0

copyright 2016, Unesa University Press


All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

iv

SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis
: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE

iii

Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna

iv

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat


di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2015


Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

vi

DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ...........................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI
...........................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................. .
DAFTAR GAMBAR............................................................. ............

ii
v
vii
x
xi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................


1.1. Latar belakang .................................................................
1.2. Tujuan ...........................................................................
1.3. Metode ...........................................................................
1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian ........................................
1.3.2. Jenis dan Sumber Informasi .........................................
1.3.3. Cara Pengumpulan Data ...............................................
1.3.4 Cara Analisa Data...........................................................
1.4. Sistematika Penulisan ......................................................
1.5. Keterbatasan penelitian ..................................................

1
1
8
9
11
12
13
14
15
17

BAB II KONTEKS WILAYAH PENELITIAN ........................................ 19


2.1. Gambaran Umum Suku Besar Marind Anim ................... 19
2.1.1. Kontak dengan Dunia Luar ...................................... 19
2.1.2. Perubahan Besar dalam Suku
MarindAnim ............................................................. 22
2.1.3. Makna Tanah dan Kepemilikan Tanah pada Suku ..
Marind Anim............................................................ 26
2.1.4.Identitas dan Terlecutinya Identitas Marinda Anim
28
2.1.5. Migrasi, Keberagaman dan HubungaAntaretnik ..... 31
2.2. Sejarah Asal Usul Suku Kanume di Kampung Tomer ...... 34
2.3. Sejarah Kampung Tomer ................................................. 49
2.4. Geografi dan Kependudukan ........................................... lxviii
2.5. Transportasi Menuju Kampung Tomer ........................... 56
2.6 Tempat Tinggal di Kampung Tomer ................................ 59
2.7. Penduduk Eks Pelarian di Papua ..................................... 62
2.8. Religi ........................................................................... 65

vii

2.9. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ...........................


2.10. Pengetahuan .................................................................
2.11. Pemahaman tentang Kerusakan Lingkungan ...............
2.11.1. Penambangan Pasir ...............................................
2.11.2. Ilegal Logging .........................................................
2.12. Bahasa ..........................................................................
2.13. Kesenian ........................................................................
2.14.Mata Pencaharian dan Teknologi serta Peralatan
di Kampung Tomer .......................................................
2.14.1. Pertanian di Tomer ...............................................
2.14.2. Nelayan dan Pencari Ikan Kampung Tomer ..........
2.14.3. Mengais rejeki ke Papua .......................................
2.15. Binatang Piaraan di Tomer ............................................
2.16. Bentuk Transfer Pengetahuan ......................................

70
71
73
73
74
75
79

BAB III KONTEKS SITUASI KESEHATAN KAMPUNG TOMER ........


3.1. Beberapa Tradisi Suku Kanume di Kampung Tomer .......
3.1.1.Tradisi Makan Pinang pada Suku Asli
di Kampung Tomer ..................................................
3.1.2. Tradisi Minum Wati .................................................
3.1.3. Tato .........................................................................
3.2. Makna Sehat dan Sakit ....................................................
3.3. Sesuatu yang Dipercaya Menjadi Penyebab Sakit ..........
3.4. Perilaku Pencarian Pengobatan .....................................
3.5. Pelayanan Kesehatan ......................................................
3.5.1. Pelayanan Kesehatan Medis ...................................
3.5.2. Upaya kesehatan berbasis masyarakat...................
3.6. Kesehatan Ibu dan Anak.........................................................
3.6.1. Fase Kehamilan .......................................................
3.6.2. Fase Persalinan........................................................
3.6.3. Fase Pasca Persalinan..............................................
3.6.4. Pemberian ASI Eksklusif ..........................................
3.7. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) .........................
3.7.1. Jamban ....................................................................

96
97

viii

80
80
82
85
86
89

97
102
106
107
110
118
125
125
128
131
131
132
136
138
139
139

3.7.2. Merokok ..................................................................


3.7.3. Penggunaan Air Bersih.............................................
3.7.4. Pemberantasan Jentik Nyamuk ...............................
3.7.5. Aktifitas Fisik ............................................................
3.7.6. Konsumsi Buah dan Sayur .......................................
3.8. Penyakit di Kampung Tomer ...........................................
3.8.1 penyakit Malaria .......................................................
3.8.2. Diare ........................................................................
3.9. Pengobatan Tradisional di Suku Kanume ........................
3.9.1. Metode Ukup ...........................................................
3.9.2. Bakar Batu (Sep/Kaikai ............................................
3.9.3. Tumbuh-tumbuhan .................................................
3.10. Transfer Pengetahuan ..............................................

140
143
143
144
148
149
150
151
152
152
153
155
157

BAB IV PENYAKIT MALARIA ..........................................................


4.1. Mengenal Malaria...........................................................
4.2. Segitiga Epidemiologi Malaria di Kampung Tomer ........
4.3. Penyebab Malaria dalam Perspektif Masyarakat............
4.4. Pencegahan Malaria di Kampung Tomer ........................
4.5. Pengobatan Malaria di Kampung Tomer ........................
4.6. Sumber Pengetahuan Malaria .........................................
4.7. Transfer pengetahuan dan Akulturasi Penanganan Malaria
di Kampung Tomer ........................................................

163
165
167
172
174
177
181

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................


5.1. Kesimpulan ......................................................................
5.2. Rekomendasi ...................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
DAFTAR INDEKS ...........................................................................
GLOSARIUM
...........................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................
TENTANG PENULIS ........................................................................

186
186
189
192
197
201
204
206

182

ix

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.

Data Angka Kesakitan pada Bulan April 2015


di Kampung Tomer ................................................. 149

xi

xii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
Gambar 3.4.
Gambar 3.5.
Gambar 3.6.
Gambar3.7.
Gambar3.8.
Gambar 3.9.
Gambar 3.10.
Gambar 3.11.
Gambar 3.12.
Gambar 3.13.
Gambar 3.14.
Gambar 3.15.

Jalan Rusak Menuju Kampung Tomer ............... 57


Kuda Dahulu digunakan Sebagai Alat
Transportasidi Kampung Tomer ........................ 58
Model Rumah Lama Bantuan Pemerintah ........ lxxiii
Tempat memasak yang Merupakan Bagian dari
Gubuk pada Suku Kanume di Kampung Tomer. 61
Tempat Ibadah Agama Katolik di RT 3
Kampung Tomer ................................................ 67
Tempat Ibadah Umat Islam ............................... 68
Alat Musik Tifa ................................................... xciv
Kegiatan menginang .......................................... 98
Alat Penghalus dan Pencampur Bahan Baku
Menginang ........................................................ 99
Tanaman Wati ................................................... 102
Nelayan Memasang Jaring ................................ cxl
Puskesmas Pembantu Kampung Tomer ........... 125
Puskesmas Naukenjerai .................................... cxlii
Buku KIA khusus Dirancang untuk
Masyarakat Papua ............................................. 129
Ibu Hamil yang Sedang Memeriksa Hasil Bakaran
Kapur di Pantai .................................................. 131
Kulit Kayu Pohon Besi Betina (Kanta) ............... clii
Pohon Beramba ................................................. 139
Kegiatan melinting rokok lampion, b. (nampak depan) dan
c. (nampak belakang)merk rokok lampion ............. cliv

Perempuan Merokok di Kampung Tomer ......... 142


Kubangan, Barang Bekas, Sampah Berdekatan
dengan Pemukiman .......................................... clix
Proses Mengolah Hasil Panen ........................... clxviii
a. Wanita bertugas memilah kerang sebagai
bahan baku kapur.............................................. 148

xiii

Gambar 3.16.
Gambar 3.17.
Gambar 3.18.
Gambar 3.19.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.

xiv

Tumbuh-tumbuhan dalam Metode Ukup ........ 153


Rumah Semut atau Mela atau Musamus ........ clxix
Sambiloto .......................................................... 155
Mangiran ........................................................... 156
Segitiga Epidemiologi .................................... 167
Klasifikasi Nyamuk Berdasarkan Masyarakat
Kampung Tomer ............................................... 169
Genangan Air pada Saat Musim Hujan ............
........................................................... clxxxvi
Segitiga Epidemiologi Malaria di
Kampung Tomer ............................................ 172
Masyarakat Sedang Melakukan Aktivitas Malam
(Mengobrol) disekitar Api-api ........................ cxc
Pohon Pepaya Perempuan ............................. cxcv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap suku bangsa memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan setiap masalah yang mereka alami. Asumsi ini muncul
karena manusia sebagai mahkluk berpikir selalu berusaha untuk
menghadapi apa yang ada dalam kehidupan mereka. Setiap suku
bangsa dalam menghadapi masalah selalu menggantungkan diri pada
bagaimana leluhur mereka menghadapi hal yang sama. Kondisi ini
membuat cara menghadapi masalah merupakan hasil pengetahuan
turun-temurun bahkan terkadang dianggap sakral. Pola masyarakat
secara turun-temurun dalam menghadapi masalah inilah yang disebut
sebagai kebudayaan. Hal ini sesuai dengan konsep kebudayaan yang
disampaikan oleh Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180).
Proses penurunan pengetahuan dari leluhur kepada generasi
berikutnya merupakan bagian dari proses belajar. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa apapun yang diturunkan oleh leluhur suatu
suku bangsa dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Hal tersebut berarti
bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena
hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1990:180). Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa
pola penyelesaian masalah pada suatu suku bangsa adalah sebuah
kebudayaan dari suku bangsa tersebut.
Referensi dari leluhur merupakan panduan bagi suatu suku
bangsa dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Bahkan
bisa dikatakan referensi dari leluhur sebagai ruh dari kebudayaan suku
bangsa tersebut. Menurut Rudito dan Famiola (2013:4) rangkaian

xv

model-model referensi tersebut didasari pada inti dari suatu


kebudayaan, inti dari kebudayaan (core of culture) terdiri dari
pandangan hidup (world view) dan keyakinan (belief), keduanya
dibungkus oleh ethos (sistem pedoman etika berkenaan dengan baik
dan tidak baik). Berdasarkan hal tersebut maka dengan mengetahui
pola-pola penyelesaian suku bangsa dalam menghadapi masalah maka
akan didapatkan juga pandangan hidup dan keyakinan yang mereka
jalankan sehari-hari.
Cara pandang suku bangsa yang berbeda terhadap masalah
yang dihadapi, terkadang mengakibatkan munculnya perbedaan, apa
yang menjadi masalah pada suatu suku bangsa, mungkin tidak
dianggap penting bagi suku lain. Oleh karena itu bagi seorang peneliti
etnografi menghindari generalisasi terhadap hasil riset yang berbasis
suku bangsa sangat dianjurkan. Kondisi yang sama juga muncul dalam
budaya kesehatan. Apa yang dianggap penyakit dalam suku lain bisa
dianggap hal biasa bagi suku yang lain. Hal ini merupakan world
viewyang diyakini berdasarkan pengalaman panjang dalam
menghadapi dunia. Konsep world view merupakan salah satu unsur
terpenting dalam aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya
(Porter dan Samovar dalam Mulyana dan Rachmat, 2005:28).
Ketidakmampuan memahami world view kesehatan dari suku
tertentu akan mengakibatkan kekeliruan dalam memahami, sehingga
akan menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. World
view sendiri akan sangat dipengaruhi oleh sistem-sistem kepercayaan,
nilai dan sikap. Dengan demikian bagaimana memahami kepercayaan,
mengetahui nilai yang diyakini oleh suku tertentu serta sikap mereka
terhadap suatu penyakit atau cara penganggulangannya merupakan
fokus kajian untuk memahami budaya kesehatan suku tertentu dalam
masyarakat.
Selain perbedaan world view antarsuku, cara pandang
terhadap masalah kesehatan juga menjadi berbeda antara tradisional
dan modern. Apa yang dianggap masalah kesehatan dalam kacamata

xvi

kesehatan modern mungkin dianggap biasa dalam kacamata


tradisional. Perbedaan cara pandang ini harus diperhatikan secara
bijaksana karena menyangkut bagaimana menempatkan budaya
kesehatan secara proporsional dengan tidak mendeskriditkan
pengetahuan lokal suku asli dalam menghadapi masalah kesehatan
dalam kehidupan mereka.
Oleh karenanya penting untuk mengetahui bagaimana suku
asli memaknai masalah kesehatan yang ada di sekitar mereka.
Selanjutnya menjadi penting juga mengetahui bagaimana mereka
menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka terima. Melihatnya
secara utuh akan memberikan gambaran kompleks bagaimana budaya
kesehatan suku asli.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan pengetahuan
dan teknologi kesehatan juga telah memberikan kualitas kesehatan
yang lebih baik bagi umat manusia. Oleh karenanya pemanfaatan
pengetahuan dan teknologi kesehatan bagi kesehatan masyarakat
tidaklah dalam rangka menyingkirkan pengetahuan lokal masyarakat,
namun lebih ditempatkan dalam rangka penambahan pengetahuan
lokal yang sudah ada.
Hanya saja dalam hal pemanfaatan pengetahuan dan teknologi
kesehatan masih terkendala dengan penerimaan dan penerapan oleh
berbagai tipe masyarakat. Adanya perbedaan pemahaman dan
hambatan komunikasi menjadi faktor dalam meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat. Oleh karenanya memahami makna kesehatan
dalam kacamata masyarakat menjadi penting dalam menerapkan
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Selain itu migrasi manusia dalam kehidupan masyarakat juga
membawa pertemuan budaya termasuk budaya kesehatan. Mengenai
bagaimana migrasi membawa perubahan pada masyarakat
diungkapkan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut:
Sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak
migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi.

xvii

Migrasi tentu menyebabkan pertemuan-pertemuan antara


kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbedabeda, dan akibatnya ialah bahwa individu-individu dalam
kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur
kebudayaan asing (Koentjaraningrat, 1990:248).
Cara-cara pewarisan pola-pola kebudayaan yang dipunyai oleh
masyarakat yang berupa aturan-aturan mengenai status dan peran
dalam pranata sosial yang berlaku di masyarakat sering disebut
sebagai sosialisasi bila terkait dengan pewarisan status dan peran,
sedangkan secara keseluruhan pola-pola tersebut diwariskan kepada
generasi berikutnya atau orang lain yang berasal dari luar masyarakat
sering disebut sebagai enkulturasi atau pembudayaan (Rudito dan
Famiola, 2013:10-11). Suku-suku pendatang pada suatu daerah
memiliki budaya kesehatan yang berbeda dalam menghadapi masalah
kesehatan. Hal ini sebenarnya menjadi daya dorong bagi perubahan
sosial karena adanya pertemuan budaya yang akan saling
mempengaruhi. Asumsinya budaya-budaya tersebut akan saling
mempengaruhi dan menuju pada percampuran budaya dimana halhal yang baik akan digunakan kedua belah pihak. Pada praktiknya akan
terjadi pola pembelajaran pengetahuan dari suatu suku kepada suku
lainnya. Dari sana muncul apa yang disebut dengan enkulturasi. Suku
asli akan memberikan pengetahuan bagaimana cara hidup di wilayah
mereka kepada suku pendatang dan begitu juga dengan suku
pendatang kepada suku asli.
Dalam hal kesehatan maka budaya kesehatan yang telah
menerapkan pengetahuan dan teknologi baru akan memberikan
dampak bagi suku yang masih menggunakan pemahaman lama.
Namun demikian pengetahuan lokal milik suku asli juga akan
mempengaruhi pemahaman baru yang dibawa oleh suku pendatang.
Proses itu pada akhirnya akan mendorong lahirnya penyatuan budaya
pendatang dengan budaya asli yang ada di wilayah tersebut. Dengan
kata lain akan lahir akulturasi kesehatan. Konsep akulturasi adalah

xviii

mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia


dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsurunsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat, 1990:248). Dengan demikian akulturasi
budaya kesehatan adalah penerimaan unsur-unsur kesehatan dari
kebudayaan asing yang diolah dalam kebudayaan suku asli tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan suku asli.
Selain konsep akulturasi, pertemuan 2 atau lebih budaya yang
berbeda dapat menghasilkan ruang ketiga. Sebuah ruang yang
membentuk gabungan kedua budaya dimana masing-masing unsur
budaya masih bisa dikenali. Bhabha menyebut konsep tersebut
dengan istilah hibriditas. Menurut Bhabha, budaya dan sistem
budaya terbentuk dalam Ruang Ketiga. Interdependensi itu
mengambil wajah dalam hibriditas atau persilangan antara keduanya
(atau sebenarnya dalam global interconnectedness dapat lebih dari
dua sehingga multi). Hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras,
bahasa, dan sebagainya (Supriyono dalam Sutrisno dan Putranto,
2004:145). Meminjam konsep Bhabha maka pertemuan dua atau
lebih budaya kesehatan akan sangat mungkin melahirkan hibriditas
budaya kesehatan pada masing-masing suku.
Hadirnya kebudayaan asing yang dibawa suku pendatang
melahirkan kajian terhadap agent-agent yang menyebarluaskan
pengetahuan baru tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1990;253)
memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang
menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing sangat
penting. Karena dengan pengetahuan tentang mereka ini, yang dalam
ilmu antropologi disebut agents of acculturation, dapat diketahui
unsur-unsur kebudayaan macam apa yang dapat masuk itu.
Proses pertemuan antarbudaya selalu memiliki berbagai
kemungkinan, berlangsung secara setara atau tidak seimbang.

xix

Berbagai kemungkinan ini memberikan gambaran terhadap apa yang


terjadi di wilayah tersebut. Pamungkas dalam Kinasih (2007; xii-xiii)
menyatakan bahwa ada empat kemungkinan pola interaksi antara
suku pendatang dengan suku asli.Pola pertama adalah penundukan,
yaitu meleburnya identitas pendatang oleh identitas lokal,identitas
pendatang dimoderasi sedemikian rupa dalam pemaknaan lokal. Pola
Kedua adalah dominasi, yaitu penundukan identitas lokal oleh
identitas pendatang. Pola ini adalah kebalikan dari pola penundukan
(pola 1). Identitas lokal terserap sedemikian rupa ke dalam identitas
dan pemaknaan etnis pendatang. Pola Ketiga adalahsurvival yaitu koeksistensi negatif dari masing-masing identitas etnis, terutama etnis
pendatang di mana eksistensi identitas etnis hadir di wilayah lokal
tetapi suasana kebatinan mereka berorientasi ke negeri asalnya. Pola
Keempat adalahkooperasi yaitu ko-eksistensi positif dari masingmasing identitas etnis dimana, identitas etnis pendatang dianggap
setara dengan identitas etnis yang lain untuk tumbuh-kembang.
Empatpola tersebut, dapat menjadi panduan dalam melihat budaya
kesehatan.
Tema kesehatan yang difokuskan pada penelitian ini adalah
malaria. Pemilihan tema kesehatan berupa penyakit malaria
didasarkan pada angka kesakitan pada penyakit malaria di Indonesia
masih tinggi. Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Plasmodium spp, yang ditularkan melalui nyamuk Anopheles betina. Di
Indonesia terdapat 14% kabupaten/kota yang merupakan daerah
dengan endemisitas tinggi. Tiga provinsi dengan API tertinggi pada
tahun 2013 yaitu Provinsi Papua (42,65), Papua Barat (38,44) dan
Nusa Tenggara Timur (16,37) (Kesehatan Kesehatan, 2013).
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
prioritas utama dalam rencana strategis kementerian kesehatan tahun
2015-2019. Pengendalian Penyakit Malaria juga sudah menjadi
komitmen global dalam pencapaian target MDGs. Target API tahun
2014 diharapkan dapat mencapai target MDGs yaitu API <1 per 1000

xx

penduduk (Kementerian Kesehatan 2013 : 13).Angka kesakitan atau


Annual Parasite Incidence (API) merupakan indikator keberhasilan
upaya penanggulangan malaria. Cakupan API tahun 2013 secara
nasional telah mencapai 1,38 per 1.000 penduduk berisiko. Sementara
target Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk API tahun 2013
adalah <1,25 per 1.000 penduduk berisiko. Dengan demikian cakupan
API 2013 tidak mencapai target Renstra 2013. Sementara Cakupan API
di Kabupaten Merauke tahun 2012 mencapai 1367 per 1.000
penduduk berisiko (Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke tahun 2012.
Kabupaten Merauke dapat dikategorikan sebagai daerah endemis
tinggi (API > 5 per 1. 000 penduduk) (Dirjen PPBB, Ditjen PP dan PL,
Kementerian Kesehatan, 2011 : 23).
Kabupaten Merauke merupakan miniatur dari Indonesia di
Provinsi Papua. Hal ini terjadi karena adanya program transmigrasi
dari pemerintah pada era Presiden Soeharto, yang menjadikan
Kabupaten Merauke sebagai daerah tujuan transmigrasi. Hingga
akhirnya kini Merauke dihuni oleh berbagai masyarakat dari berbagai
suku bangsa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pertemuan antar suku dapat memungkinkan terjadinya akulturasi,
begitu pula dengan budaya kesehatan.
Beberapa point yang telah dijelaskan di atas merupakan dasardasar mengapa penelitian budaya kesehatan dalam menghadapi
malaria ini dilakukan pada wilayah yang mengalami pertemuan
antarsuku. Hal yang pertama yang akan dikaji adalah bagaimana
mekanisme suku asli dalam menghadapi masalah malaria, kondisi ini
berhubungan dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Hal ini
dianggap penting karena bahan mengenai keadaan masyarakat
penerima sebelum akulturasi dimulai, sebenarnya merupakan bahan
tentang
sejarah
dari
masyarakat
yang
bersangkutan.
(Koentjaraningrat, 1990:252). Yang kedua adalah bagaimana
pengetahuan dan teknologi kesehatan yang baru dimaknai oleh suku
asli. Dan yang ketiga adalah bagaimana pertemuan antarsuku dan

xxi

dampaknya terhadap pertukaran budaya


kesehatan dalam menghadapi malaria.

khususnya

budaya

1.2. Tujuan
Sasaran akhir dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana
interaksi antarsuku di lokasi penelitian dan bagaimana dampak yang
ditimbulkan dari pertukaran informasi dn komunikasi yang mereka
lakukan, khususnya di bidang budaya kesehatan dalam menghadapi
malaria. Pertukaran budaya kesehatan antarsuku dikaji berdasarkan
kearifan lokal yang dimiliki masing-masing suku. Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian yang akan
dicapai adalah:
a. Mendeskripsikan atau menggambarkan sistem nilai, ide, gagasan,
adat istiadat dan norma setempat yang terangkum dalam kearifan
lokal komunitas riset dalam menghadapi masalah kesehatan
khususnya malaria pada tataran world view.
b. Mendeskripsikan atau menggambarkan sistem nilai, ide, gagasan,
adat istiadat dan norma setempat yang terangkum dalam kearifan
lokal komunitas riset dalam menghadapi masalah kesehatan
khususnya malaria pada tataran world view.
c. Mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku dalam menghadapi
masalah penyakit malaria dalam komunitas riset.
d. Menganalisis sistem gagasan, adat istiadat, dan norma tradisional
yang tercakup dalam kearifan lokal dalam praksis kehidupan seharihari.
e. Merumuskan kerangka konsep (conceptual framework) komunitas
riset dalam menghadapi penyakit malaria.

xxii

f. Mengetahui deskripsi ethnografi terkait masalah penyakit malaria


pada suku Kanume, Marind dan suku pendatang (Jawa, Timor1,
dan Makassar) di Kampung Tomer.
Menyusun rekomendasi yang berdasar kearifan lokal untuk
penyelesaian masalah-masalah penyakit Malaria.
1.3. Metode
Berdasarkan pada maksud dan tujuan riset, maka pendekatan
yang digunakan bersifat menggali dan mendeskripsikan. Proses
menggali dan mendeskripsikan menurut Faisal (dalam Bungin
2008:13) melibatkan interprestasi, kesadaran, dan makna subyektif
ditingkat individu sang manusia pelaku suatu tindakan sosial. Dengan
demikian pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif.
Pendekatan riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena
dengan sedalam-dalamnya. Riset tidak mengutamakan besarnya
populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat
terbatas (Kriyantono, 2010:56). Dalam riset kualitatif peneliti adalah
instrumen penelitian yang paling utama. Oleh karena itu keterlibatan
peneliti dalam aktifitas subyek penelitian akan menentukan kualitas
penelitian itu sendiri. Namun demikian peneliti harus bisa membatasi
diri untuk tidak menyimpulkan fenomena yang diamati dalam
kacamatanya sendiri. Karena untuk memahami suatu fenomena sosial
dalam riset kualitatif haruslah dari hasil membaca bagaimana sang
pelaku itu sendiri memahami dunianya. Atau harus merupakan upaya
understanding of understanding (Faisal dalam Bungin, 2008:14).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi.
Menurut Marzali dalam Spradley (2007) tujuan dari penelitian
etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur
sosial dan budaya suatu masyarakat. Dengan demikian untuk
mencapai hal tersebut maka peneliti harus terjun langsung dan ikut
1

Timor adalah cara penyebutan suku Kanume dan Marind yang diikuti oleh yang lain
untuk menunjuk mereka yang berasal dari daerah Maluku, termasuk di dalamnya
Ambon, Kei, dan Tepa.

xxiii

berpartisipasi dalam kehidupan komunitas riset. Menggunakan


konsep etnografi baru ala Spradley maka etnografi digunakan oleh
peneliti bukan untuk melihat other cultures tapi lebih ditujukan
untuk memahami masyarakat kita sendiri. Tujuan utama aktivitas
etnografi adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli (Spradley, 2007:3). Sumbangan etnografi
sendiri dalam penelitian ini dapat dilihat dari bagaimana memahami
masyarakat yang kompleks. Menurut Spradley (2007:17) semakin jelas
bahwa kita tidak memiliki kebudayaan yang homogen; bahwa orang
yang hidup dalam masyarakat modern yang kompleks ini sebenarnya
hidup dengan berbagai macam aturan budaya yang berbeda.
Untuk meneliti suatu suku bangsa maka dibutuhkan fokus yang
memudahkan peneliti untuk mengkaji secara holistik. Oleh karena itu
peneliti harus mempertimbangkan kesatuan sosial yang akan ia teliti.
Karena kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa saat ini
mayoritas memiliki penduduk yang besar, maka para ahli
antropologi membatasi deskripsi dari suatu suku bangsa di suatu
lokasi tertentu. Lokasi itu bisa suatu desa, beberapa desa yang
berdekatan, suatu wilayah geografi, suatu daerah administratif,
bahkan suatu kota atau bagian dari kota. Dalam hal itu
kemurnian masyarakat suku bangsa yang menjadi pokok
deskripsi mereka dikomplekskan oleh adanya penduduk dari sukusuku bangsa lain yang dalam zaman mobilitas besar sekarang ini
sering juga ada di tempat lokasi dari suku bangsa yang lain daripada
lokasi suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi mereka
(Koentjaraningrat, 1990:330).
Berdasarkan
batasan
deskripsi
yang
dikemukakan
oleh
Koentjaraningrat, maka penelitian ini akan memfokuskan kesatuan
sosial pada ruang lingkup desa. Menurut Bungin (2008:187-188) lama
tidaknya penelitian etnografi ini juga bergantung pada pemahaman
terhadap gejala yang diteliti. Penelitian ini bisa berlangsung dalam

xxiv

kurun waktu singkat bila hanya meliputi satu peristiwa yaitu peristiwa
malaria di suatu kampung. Sebaliknya, akan berlangsung dalam waktu
lama bila hendak meneliti a single society, masyarakat yang kompleks.
1.3.1.Penentuan lokasi penelitian
Subyek dalam penelitian ini masyarakat yang berada dalam
suatu desa yang disebut dengan komunitas penelitian. Kalau society
berarti masyarakat umum, community menunjukan arti masyarakat
yang terbatas (Shadily, 1983: 60).Pemilihan lokasi didasarkan pada
masalah penelitian yang akan dikaji. Pokok perhatian dari suatu
deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak
khas. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas
adalah suku bangsa (Koentjaraningrat, 1990:263). Dengan demikian
lokasi penelitian ini akan difokuskan pada suku bangsa yang berada di
suatu desa.
Berdasarkan hasil pengamatan awal maka pemilihan lokasi
didasarkan pada interaksi antara suku asli dengan suku pendatang dan
bagaimana dampaknya pada budaya kesehatan di daerah tersebut.
Asumsi awal yang muncul adalah proses interaksi pada prinsipnya
adalah pertukaran informasi dan budaya.
Sementara dari sudut pandang kesehatan, pemilihan
Kabupaten Merauke didasarkan masalah kesehatan yaitu kejadian
malaria. Kabupaten Merauke merupakan salah satu dari kabupaten
Provinsi Papua yang mana Provinsi Papua merupakan provinsi yang
memiliki API terbesar (42,65). Selanjutnya pemilihan distrik dan
kampung berdasarkan dari keterdapatan interaksi antara suku asli dan
dengan suku pendatang. Dengan demikian terpilihlah Distrik
Naukenjerai. Lebih lanjut lokasi penelitian difokuskan pada Kampung
Tomer yang memenuhi berbagai pertimbangan sebelumnya, yaitu
keterdapatan interaksi antarsuku dan wilayah yang termasuk
endemis malaria.

xxv

Wilayah Kampung Tomer merupakan pertemuan interaksi


antara suku asli Merauke (Kanume dan Marind) dengan suku
pendatang seperti Jawa, Timor dan Makassar. Mengkaji interaksi dan
bagaimana perubahan yang terjadi
bagi kedua belah pihak
merupakan salah satu dasar penelitian ini dilakukan. Pemilihan
Kampung Tomer didasarkan pertimbangan letak kampung Tomer
berada diantara Kampung Onggaya dan Kampung Tomerau. Dari
kampung Onggaya sampai ke Merauke merupakan Kampung yang
masyarakatnya terdiri berbagai macam suku, sedangkan dari kampung
Tomerau sampai ke Kampung Condo merupakan kampung yang relatif
homogen karena didiami oleh suku asli (Kanume dan Marind). Letak
Kampung Tomer yang berada di antara Kampung Homogen dan
Heterogen memberikan keunikan tersendiri. Jika suku asli pergi ke
kampung Tomerau mereka mendapatkan identitas lokal mereka
sebagai suku papua. Sedangkan jika mereka ke Kampung Onggaya
mereka menyadari bahwa di Papua mereka tidak lagi sendiri tapi
hidup berdampingan dengan suku pendatang.
Kampung Tomer sendiri terdiri dari 4 suku besar. Selain suku
asli Papua (Kanume dan Marind), terdapat juga suku Jawa, Makassar
dan Timor di Kampung Tersebut. Keberadaan suku pendatang
tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat dampak dari
interaksi antarsuku terhadap budaya kesehatan kedua belah pihak.
1.3.2. Jenis dan sumber informasi
Data yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis, data primer dan
sekunder. Data primer didapatkan langsung dari subyek penelitian
yang ditemui di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan
informasi yang didapatkan berdasarkan hasil-hasil kajian yang pernah
dilakukan sebelumnya serta dokumentasi yang dimiliki oleh berbagai
pihak yang berhubungan dengan kajian yang ditemukan di lapangan.

xxvi

1.3.3. Cara pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai tehnik. Cara
pertama dalam pengumpulan data adalah dengan melakukan
wawancara mendalam. Proses dari wawancara mendalam didahului
dengan membangun rapport kepada informan penelitian. Peneliti
sangat menyadari bahwa untuk mengungkapkan informasi secara
mendalam maka dibutuhkan kepercayaan yang tinggi dari informan
penelitian kepada peneliti. Proses inilah yang sebenarnya membuat
wawancara mendalam terkadang tidak dapat dilakukan di awal
penelitian. Peneliti yang masih dianggap asing oleh subyek penelitian
tidak akan mendapatkan informasi secara mendalam dari informan
penelitiannya. Dalam etnografi, wawancara merupakan serangkaian
percakapan persahabatan yang di dalamnya peneliti secara perlahan
memasukan beberapa unsur baru guna membantu informan
memberikan jawaban sebagai seorang informan (Spradley, 2007:85).
Tehnik kedua dalam pengumpulan data adalah dengan
menggunakan observasi partisipasi.
Memahami sebagaimana
pemahaman subyek penelitian membutuhkan keikutsertaan peneliti
dalam aktifitas subyek penelitian. Bentuknya adalah dengan
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan masyarakat yang diteliti
(Bungin, 2008:191). Untuk merasakan bagaimana api dan asap begitu
akrab dengan suku Marind dan Suku Kanume maka peneliti ikut serta
duduk bersama dan mengobrol ketika api dan asap tersebut
digunakan.Observasi partisipasi digunakan justru untuk mencegah
peneliti terlalu cepat mengambil kesimpulan setelah wawancara
berlangsung.
Tehnik ketiga yang digunakan adalah dengan menggumpulkan
informasi penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis dengan apa
yang diteliti saat ini. Adanya referensi baik buku maupun jurnal
membantu peneliti untuk memahami temuan-temuan lapangan yang
belum bisa dijelaskan. Terkadang hasil wawancara khususnya tentang
sejarah membutuhkan referensi lain untuk memperkuat pernyataan

xxvii

informan. Pada tingkat inilah pustaka dibutuhkan sebagai pembanding


atau penguat dari data yang sudah dikumpulkan.
Tehnik terakhir yang digunakan adalah dengan menerapkan
pengumpulan dokumen. Data-data yang dibutuhkan terkadang
dimiliki oleh perorangan atau kelompok di wilayah penelitian. Oleh
karena itu mengumpulkan dokumen tersebut merupakan upaya
dalam melengkapi data lapangan.
1.3.4 Cara Analisa Data
Tehnik analisis data dalam penelitian kualitatif didasarkan
proses yang sirkuler. Proses analisis data sudah dilakukan pada saat
pengumpulan data. Setelah itu dilakukan reduksi data. Data yang
sudah mengalami proses reduksi selanjutnya diklasifikasikan dalam
kategori-kategori tertentu. Setelah pengkategorian data maka peneliti
melakukan pemaknaan terhadap data tersebut sampai menuju
penegasan kesimpulan. Proses analisis kualitatif tidak berlangsung
sekali jadi melainkan bersifat sirkuler2 dimana jika terjadi kekurangan
data maka prosesnya dapat dilakukan dari awal kembali.
Dalam metode etnografi, analisis data dilakukan dengan
dimulai dengan analisis domain, analisis taksonomik, analisis
komponen dan menemukan tema-tema budaya. Analisis domain
meliputi penyelidikan terhadap unit-unit pengetahuan budaya yang
lebih besar yang disebut domain. Analisis taksonomi meliputi
pencarian atribut-atribut yang menandai berbagai perbedaan di
antara simbol-simbol dalam suatu domain. Analisis tema meliputi
pencarian hubungan di antara domain dan bagaimana domain-domain
itu dihubungkan dengan budaya secara keseluruhan (Spradley,
2007:132-133).
Untuk menguji keabsahan data maka dilakukan analisis
triangulasi. Menurut Kriyantono (2010:72) analisis triangulasi yaitu
menganalisis jawaban subjek dengan meneliti kebenarannya dengan
2

Baca Bungin (2008)

xxviii

data empiris (sumber data lainnya) yang tersedia. Pilihan Triangulasi


yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber,
triangulasi waktu dan triangulasi metode.
Triangulasi sumber digunakan untuk mengecek ulang derajat
kepercayaan suatu informasi yang diberikan oleh berbagai informan
penelitian. Adanya keseragaman informasi dapat memberikan
gambaran bagaimana informasi yang didapatkan dalam kacamata
berbagai informan. Sedangkan triangulasi waktu digunakan untuk
melihat konsistensi jawaban dari informan yang sama. Dengan
menanyakan pertanyaan yang sama dalam waktu yang berbeda-beda
maka akan terlihat apakah informan betul-betul menguasai atau
memahami informasi yang telah ia berikan pada peneliti. Triangulasi
terakhir yang digunakan adalah dengan triangulasi metode. Konsep
triangulasi metode adalah mengecek keabsahan data dengan cara
membandingkan
hasil penelitian dengan berbagai tehnik
pengumpulan data. Salahsatunya dengan menyamakan hasil
wawancara dengan hasil pengamatan terhadap informasi yang
diberikan oleh informan. Ketika informan mengatakan bahwa ia
adalah seorang nelayan dalam wawancara maka dalam kehidupan
sehari-hari diamati apakah ia betul-betul seorang nelayan. Jika
dirasakan ragu maka peneliti dapat mewawancarai informan itu
kembali untuk memastikan profesi yang ia geluti.
1.4. Sistematika Penulisan
Peneliti dalam proses penulisan mengungkapkan unsur
kebudayaan yang menjadi fokus penelitian. Dengan demikian uraian
dalam tulisan etnografi ini mengambil unsur-unsur kebudayaan yang
berhubungan dengan budaya kesehatan. Sedangkan unsur
kebudayaan yang tidak berhubungan secara langsung dengan budaya
kesehatan akan ditempatkan sebagai pelengkap. Hal ini sesuai dengan
apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1990;334) Setiap ahli
antropologi mempunyai fokus perhatian tertentu. Pengarang

xxix

etnografi dengan suatu fokus perhatian seperti itu biasanya mulai


dengan unsur pokoknya itu, dan memandang unsur-unsur lainnya
hanya sebagai pelengkap atau dari unsur pokok tadi. Bisa juga ia
mempergunakan cara susunan etnografi yang lain dan mulai dengan
unsur-unsur lainnya sebagai pengantar kebudayaan (cultural
introduction) terhadap unsur pokoknya, yang diuraikan pada akhir
karangan etnografinya, yang seolah-olah merupakan klimaks dari
deskripsinya.
Sistematika penulisan dalam buku ini adalah bab I berisi
tentang latar belakang penelitian, tujuan penelitian, lokasi penelitian,
lingkungan penelitian dan demografi suku bangsa. Sedangkan bab II
menguraikan asal usul sejarah suku bangsa Kanume dan sejarah
Kampung Tomer sebagai wilayah Suku Kanume. Dalam bab II juga
diceritakan tentang suku-suku pendatang yang berada di kampung
Tomer dan bagaimana interaksi yang terjadi antarsuku tersebut.
Terakhir akan dilihat akulturasi yang terjadi antara suku asli Papua
(Kanume dan Marind) dengan suku pendatang (Jawa, Timor dan
Makassar).
Bab III akan menceritakan Konteks Kesehatan di Kampung
Tomer. Pada bab ini akan diceritakan bagaimana makna sehat sakit
bagi komunitas sasaran riset, sesuatu yang dipercaya dapat
menyebabkan sakit, perilaku cara pencarian pengobatan, dan cara
pencegahan penyakit. Pada bab ini akan dikaji juga bagaimana
akulturasi yang terjadi di bidang kesehatan.
Pada bab IV akan fokus pada tematik penelitian, yaitu tentang
malaria. Penyakit malaria akan dikaji berdasarkan cara pandang
masing-masing suku dan bagaimana transfer pengetahuan terhadap
malaria berlangsung. Selanjutnya bab IV juga akan menceritakan
bagaimana penanggulangan malaria tersebut berlangsung sampai saat
ini dan akulturasi apa yang terjadi dalam proses tersebut.
Bab V akan menceritakan tentang kesimpulan hasil penelitian
dan saran berdasarkan kajian lapangan. Pada bab V juga akan

xxx

direkomendasikan intervensi yang dapat dilakukan


penanggulangan penyakit malaria di daerah penelitian.

dalam

1.5. Keterbatasan Penelitian


Terdapat keterbatasan penelitian etnografi pada Suku Kanume
di Kampung Tomer Kabupaten Merauke. Keterbatasan tersebut
muncul dalam menggali dan membahas permasalahan tematik
mengenai akulturasi budaya kesehatan yang terjadi antara suku asli
dengan suku pendatang. Tidak semua bentuk akulturasi dapat dilacak
prosesnya. Kebanyakan peneliti hanya mendapatkan hasil bentuk
akulturasi budaya yang yang terjadi di lokasi penelitian. Namun lebih
lanjut, peneliti kesulitan untuk menggali proses terjadinya akulturasi
budaya kesehatan terkhusus pada penanganan penyakit malaria. Hal
ini dikarenakan waktu penelitian yang dirasa kurang oleh peneliti.
Waktu penelitian yang diberikan kepada peneliti yaitu hanya selama
35 hari, dan sudah termasuk perjalanan pulang dan pergi ke lokasi
penelitian. Peneliti merasa waktu 35 hari di lokasi penelitian masih
kurang untuk menelusuri proses awal akulturasi terjadi.
Keterbatasan peneliti dalam menjelaskan secara utuh dalam
menggambarkan konteks kesehatan masyarakat Kampung Tomer juga
berhubungan dengan tenaga kesehatan yang rata-rata adalah petugas
baru. Bidan di Puskesmas Pembantu (Pustu) kampung Tomer,
merupakan bidan yang baru bertugas dua bulan (saat penelitian
berlangsung), sehingga berdasarkan penuturannya banyak yang
belum diketahui terkait kesehatan masyarakat di lokasi riset. Tenaga
kesehatan yang sebelumnya, telah dipindah tugaskan ke Puskesmas
lainnya, dan tidak ada transfer pengalaman dan ilmu antara bidan
yang sebelumnya dengan yang bertugas saat ini. Hal tersebut tak jauh
berbeda dengan kondisi yang terjadi di jajaran Puskesmas. Kepala
puskesmas yang bertugas saat ini merupakan petugas puskesmas yang
baru bertugas selama dua bulan (saat penelitian berlangsung),
sedangkan kepala puskesmas yang terdahulu sudah dipindahkan ke

xxxi

puskesmas lain. Dengan kondisi perubahan tenaga kerja pada Pustu


maupun Puskesmas, menjadikan peneliti kesulitan untuk melakukan
triangulasi maupun penggalian informasi kesehatan. Terlebih lagi
Kepala puskesmas saat ini mengaku tidak memiliki laporan maupun
informasi kesehatan masyarakat terdahulu, sehingga ini mengurangi
kekayaan dan kedalaman informasi yang diperoleh peneliti.

xxxii

BAB II
KONTEKS WILAYAH PENELITIAN
2.1. Gambaran Umum Suku Besar Marind Anim
2.1.1. Kontak dengan Dunia Luar
Papua mulai mengalami kontak dengan dunia luar diperkirakan
berlangsung pada akhir abad 19. Berdasarkan wawancara dengan
bapak TJ (73 tahun) di lapangan, kontak dengan dunia luar ini salah
satunya disebabkan oleh pencarian burung Kuning yang memiliki nilai
jual yang tinggi. Burung Kuning sendiri saat ini dikenal dengan nama
burung Cenderawasih. Perburuan burung ini banyak dilakukan oleh
orang-orang dari Timor Maluku karena bulunya dapat diekspor ke luar
negeri3.
Namun kontak yang paling mempengaruhi orang Papua adalah
masuknya misionaris dan pemerintah Belanda dalam kehidupan
mereka. Orang Papua yang dikenal suka berperang menyulitkan
pemerintah Belanda untuk melakukan penertiban. Oleh karena itu
pada tahap-tahap awal justru peran gereja lebih besar dalam
mempengaruhi kehidupan orang Papua. Para misionaris dapat masuk
sampai jauh ke pedalaman untuk menyebarluaskan agama Kristen.
Suku Marind Anim diperkirakan melakukan kontak dengan Gereja dan
Pemerintah Belanda juga dalam waktu yang tidak jauh berbeda.
Dalam catatan Boelaars (1986;160-161) Papua khususnya Pantai Utara
dan Barat laut sudah lama dipengaruhi oleh pulau-pulau di bagian
Timur Indonesia seperti Ternate, Tidore, Seram, Ambon dan Kei.
3

Hasil wawancara tersebut sesuai dengan catatan Koentjaraningrat (1985;26) yang


menuliskan bahwa sejak akhir abad ke -19 dan permulaan abad ke-20, penduduk
yang mula-mula berasal dari daerah hulu-hulu sungai itu mulai mendapat kontak
dengan dunia luar. Pada permulaan abad ke-20 memang sedang ada kegiatan besar
dari orang Ternate, Maluku, Buton, Muna dan suku bangsa lain dari Sulawesi, dan
juga orang-orang Tionghoa, untuk memburu burung Cenderawasih yang bulunya
bisa diekspor ke luar negeri (aktivitet pemburuan ini berlangsung sampai tahun
1928, waktu pemburuan burung itu dilarang oleh pemerintah jajahan Belanda).

xxxiii

Sehingga agama Kristen pertama kali masuk ke daerah tersebut


sekitar 1855. Pemerintah Hindia Belanda membuka pos-pos tetap
pertama di daerah tersebut. Pada tahun 1902 barulah pos Merauke
didirikan dan misi Katolik mulai menerpa suku Marind Anim.
Dalam catatan sejarah, suku Marind Anim dikenal dengan
suku pemberani yang suka berperang. Perang yang dikenal adalah
perang kui, dimana suku Marind Anim melakukan pengayauan4
dengan cara memotong kepala dari musuhnya5. Selain dikenal suka
melakukan pengayauan, suku Marind Anim juga memiliki upacara
yang kental dengan ritual seksual. Beberapa penelitian terdahulu
menuliskan bahwa agama suku Marind Anim adalah agama Phalus,
dimana sperma laki-laki dianggap sebagai lambang kesuburan.
Prakteknya dalam setiap upacara selalu saja ada pesta seks baik bagi
mereka yang sudah beristri maupun yang belum. Beberapa upacara
yang melakukan ritual seks yang pernah dikaji oleh Dumatubun (2003;
32) adalah :
1. Perilaku Seksual dalam Mite Ndiwa.
Ndiwa merupakan kehadiran ruh ilahi yang dilambangkan
dengan kelapa muda (onggat) lalu roh yang berbicara
dilambangkan dengan Tangg (benda keramat yang terbuat dari
4

Kesukaan suku Marind Anim untuk melakukan pengayauan bahkan terkenal sampai
jauh. Bahkan mereka pernah mengayau sampai ke wilayah Australia dan Papua New
Guinea. Mengayau dilakukan untuk mencari nama bagi anak laki-laki atau binatang
piaraan. Hasil mengayau (kepala manusia) dibawa pulang dan dikumpulkan sebagai
bentuk pristise bagi anak laki-laki. berdasarkan tuturan orang Marind, mengayau
merupakan upaya memperluas wilayah kekuasaan juga untuk mendapatkan nama
kepala (paigih) untuk anak-anak laki atau binatang peliharaan seperti babi dan
anjing (Muntaza, 2013;187).
5
Pastor Vertenten dalam catatan sebagai sesuatu barbar sekaligus menghipnotis: *+
suatu tradisi yang buruk, repulsif, dan barbar. Sekalipun demikian, kata kui,
perjalanan perburuan kepala, dinyanyikan dengan puitis oleh orang-orang liar ini.
Mendapatkan korban, mencari tahu nama korban, memutus kepalanya, dan
membawa pulang kepala itu, adalah tujuan utama; tapi perjalanan itu sendiri
kesenangan terbesar bagi mereka (Muntaza, 2013;187).

xxxiv

belahan nipah). Daging buah kelapa muda diambil yang


melambangkan bahwa Ndiwa sudah dibunuh. Daging buah
kelapa tersebut dicampur sperma dari senggama terputus lakilaki dengan perempuan lalu diberikan kepada peserta untuk
diminum. Maksud dari upacara ini adalah agar mendapatkan
kekuatan ilahi. Maksud dari upacara ini salah satunya adalah
sebagai inisiasi bagi para remaja supaya menjadi anggota
masyarakat yang penuh.
2. Perilaku Seksual Dalam Upacara Bambu Pemali (Barawa).
Upacara bambu pemali dimaksudkan untuk mengusir dewa yang
datang dari atas dengan cara menggosok tiang-tiang rumah
dengan sperma agar tidak suci lagi. Untuk mengeluarkan sperma
maka laki-laki dan perempuan berhubungan seks.
3. Perilaku Seksual dalam Upacara Ezam Uzum.
Dalam aliran Mayo, upacara ezam uzum merupakan hiasan yang
berhubungan dengan seks. Sebelum upacara maka kepala adat
atau pemimpin upacara akan berhubungan badan dengan 3
sampai 5 orang janda untuk mendapatkan sperma. Keberadaan
sperma diperlukan untuk kepentingan upacara yang salah
satunya untuk mengusir setan.
4. Perilaku Seksual Dalam Upacara Subawakum.
Dalam tulisan penelitian Dumatubun (2003;32) Upacara
subawakum merupakan ritual dimana para perempuan
memasukan bambu gila atau welu di celah pangkal paha dan
dipegang ramai-ramai sepanjang malam. Akhir dari proses ini
maka terjadi hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
5. Perilaku Seksual Dalam Upacara Kambara
Upacara Kambara juga merupakan aliran Mayo dimana menurut
kepercayaan kekuatan sperma dapat digunakan untuk
membunuh atau menyembuhkan. Untuk mendapatkan sperma
tersebut maka beberapa orang tua yang dianggap perkasa akan
berhubungan seksual dengan perempuan di kampung.

xxxv

6. Perilaku Seksual Dalam Adat Perkawinan


Laki-laki dan perempuan dalam suku Marind tinggal terpisah
sebelum menikah pada rumah laki dan rumah perempuan. Dan
setiap perempuan Marind diharapkan memiliki kesuburan.
Untuk itu upacara khusus hubungan seks dilakukan sebelum
pernikahan (otiv bombari, biasanya pengantin perempuan harus
melayani dulu beberapa laki-laki dari pihak pengantin pria
sebelum melayani suaminya. Mereka percaya bahwa sperma
yang tertinggal di dalam perut perempuan adalah lambang
kesuburan.
Dalam beberapa catatan antropologi terdahulu ditemukan juga
unsur homoseksual dan homoerotic dalam pendidikan anak laki-laki di
suku Marind Anim. Sebelum dewasa dan siap untuk menikah, maka
anak laki-laki mereka mengalami proses inisiasi dari laki-laki yang lebih
dewasa. Dalam proses inilah terjadi hubungan seksual atau erotic dari
laki-laki dewasa kepada anak laki-laki. Setelah dirasa siap, maka anak
laki-laki tersebut akan mencari perempuan dari sukunya untuk
melakukan hubungan seksual.
2.1.2. Perubahan Besar dalam Suku Besar Marind Anim
Sebuah perubahan besar pada suku Marind Animterjadi saat
mereka terjangkit wabah penyakit. Wabah penyakit inimenyebabkan
banyak kematian dan telah banyak memakan korban6 jiwa. Penyakit
juga menimbulkan kengerian di masyarakat, hingga diceritakan bahwa
pernah ada yang dikubur hidup-hidup. Membutuhkan waktu yang
lama untuk mengetahi jenis penyakit tersebut. Setelah dilakukan
penelitian ternyata penyakit yang menyerang adalah penyakit
kelamingranolomedanSpaanse-Griep. Peristiwa ini diceritakan secara
turun-temurun kepada Suku Marind Anim sehingga pada generasi saat
ini juga mengetahui ihwal cerita yang menyebabkan jumlah mereka
menjadi menurun drastis. Namun yang menarik adalah bahwa
generasi saat ini mengetahui penyebab penyakit wabah yaitu bukan

xxxvi

penyakit kelamin melainkan penyakit cholera. Begitu banyaknya


korban6 nyawa dandiperkirakan kejadian ini terjadi pada tahun 1913.
Berawal dengan kejadian wabah tersebut, masuklah para
misionaris untuk mencoba merawat dan mengobati masyarakat yang
terkena wabah tersebut. Namun diagnosa terhadap wabah tersebut
tidak pernah tepat. Akhirnya hampir tahun 1918, 40% populasi Marind
di Pantai Selatan berkurang dalam lima tahun. Salah seorang pastur
yaitu Vertenten mencoba mengabarkan wabah tersebut ke dunia luar
dengan menggunakan surat kabar untuk memberitakan. Barulah
tahun 1916 dikirim dua dokter, Van der Meer dan Dr. Sitanala untuk
melakukan penyelidikan. Dari sana baru diketahui bahwa penyakit
tersebut adalah Granuloma Veneris, sejenis penyakit kelamin7, yang
penularan melalui aktivitas seksual. Penyelidikan kedua dokter
tersebut dipastikan oleh dokter lainnya yakni Cnopius di tahun 1920an
(Muntaza, 2013;191).
Kehadiran pastur pada saat wabah menyerang memiliki
peranan sangat besar, yakni dalam halperawatan dan
pengobatanpasien yang sakit. Salah satu tindakan yang dilakukan
untuk mencegah penyebar-luasan penyakit yaitu dengan suatu
rencana wilayah istimewa. Rancangan wilayah istimewa ini telah
disetujui dan diberikan subsidi oleh pemerintah pusat di Batavia
(1925). Upaya ini juga dilakukan dengan tujuanuntuk menyelamatkan
suku ini dari kepunahan. Rencana wilayah itu sangat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari orang-orang ini. Dengan rencana itu
6

Menurut laporan misionaris Okaba, diperkirakan seperempat orang Marind


meninggal karena wabah tersebut (Muntaza, 2013;190).
7
Mengenai penyebab penyakit kelamin tersebut menyebar terdapat beberapa versi
yang mengatakan bahwa penyakit tersebut menyebar karena perilaku seks bebas
yang dilakukan oleh suku Marind Anim. Versi lain mengatakan bahwa hal tersebut
karena perempuan Marind Anim bersetubuh dengan orang asing. Bahkan ada yang
mengungkapkan penyebab wabah penyakit ini adalah pembalasan dari orang
Australia yang pernah diserang oleh suku Marind Anim (baca Muntaza, 2013).

xxxvii

didirikanlah "desa-desa model", yakni tempat yang tidak terjangkiti


penyakit kelamindan sejalan dengan itu juga diberlakukan larangan
atas berbagai pesta adat dan upacara yang berbau seksual. Usaha lain
yaitu dengan mengasramakan anak-anak sekolah di asrama-asrama
kecil di bawah pimpinan guru yang bertempatan di halaman rumah
guru itu sendiri. Desa model dalam 25 tahun pertama hanya terdapat
di pantai selatan dan Pulau Yos Sudarso (Kimaam) dan ditempatkan di
bawah pemerintahan sipil.Sementara misi memusatkan perhatiannya
pada karya pertobatan. (Boelars, 1986:161). Gereja juga menerapkan
pemisahan anak-anak dengan orang dewasa. Laki-laki dan perempuan
dipisahkan dalam rumah yang berbeda. Upacara-upacara berbau seks
dilarang dilakukan karena dikhawatirkan dapat menyebarluaskan
penyakit kelamin. Maka dimulailah babak baru kehidupan suku
Marind Anim.
Pencegahan penyebaran penyakit kelamin juga dibarengi
dengan pendidikan, ketertiban dan pengenalan agama kristen.
Perubahan tersebut membuat pendidikan orang tua suku Marind
Anim terhadap anak telah diambil alih oleh gereja. Orang tua tidak
boleh lagi melakukan inisiasi menjelang anaknya dewasa. Penanaman
nilai-nilai Kristen juga membuat mengayau menjadi terlarang karena
bertentangan dengan ajaran Kristus. Maka suku Marind Anim
mengalami pencabutan identitas untuk menunjukan jati diri mereka.
Maka terjadilah apa yang dikatakan Boelaars sebagai moral
despression.
Cara hidup orang Marind-anim dewasa ini merupakan salah satu
contoh yang paling tajam suatu reaksi yang lesu atas suatu usaha
yang mempunyai dampak mendalam terhadap cara hidup
mereka. Reaksi ini disebut dengan istilah Inggris: moral
depression. Istilah itu mengandung arti: sikap yang sama sekali
apatis, tidak berdaya, dan keseganan yang kentara untuk
menerima keadaan-keadaan masa yang sudah berubah, untuk
menerima perubahan-perubahan kebudayaan yang dituntut dan

xxxviii

untuk melihat serta memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan


bentuk-bentuk kehidupan yang baru (Boelaars, 1986:175).
Suku Marind Anim menjadi kehilangan semangat dan apatis
terhadap perubahan yang terjadi. Apa yang mereka banggakan sudah
dicabut. Namun suku Marind Anim juga tidak bisa menyalahkan
Gereja karena telah berjasa mengobati wabah penyakit yang
menyerang mereka. Kini mereka tinggal dalam ketidakpedulian.
Gambaran tersebut diungkapkan Boelaars dalam bukunya Manusia
Irian: Dahulu-Sekarang-Masa Depan.
Orang Marind Anim memang sangat menderita dengan adanya
wabah penyakit kelamin dan Spaanse Griep yang memaksakan
adanya tindakan penyelamatan berupa suatu rencana daerah,
yakni rencana desa-desa model Betapapun baik dan
bermanfaatnya rencana daerah ltu (suku ltu dapat
dipertahankan), rencana ltu toh membawa serta keadaan, bahwa
upacara-upacara asal dengan kekerasan mereka kepada
pengayauan dan kemdahan mereka yang fantastis pada pestapesta yang penuh unsur-urtsur seksual tidak boleh lagi mereka
rayakan Seluruh filsafat kesuburan .mereka, yang dihayati dalam
suatu kultus-sperma, dicap sebagai hal yang buruk Dan
pertimbangan ini dapat ditarik kesimpulan yang radikal, bahwa
para orang tua Marind tidak bisa diperbolehkan memberi
pendidikan kepada anak-anak mereka sendiri Anak-anak ltu
meliwatkan malam hari mereka sesudah sekolah di suatu asrama
di bawah pengawasan guru di pekarangan rumahnya Hubungan di
antara para orang tua dan anak-anak mereka terputus dan para
orang tua ltu, tidak lagi dipandang pantas mendidik anak-anak
mereka, tidak melihat kemungkinan lagi membangun masa depan
mereka sendiri (Boelaars, 1986:176).

xxxix

2.1.3. Makna Tanah dan Kepemilikan Tanah pada Suku Marind Anim
Suku Marind Anim termasuk ke dalam kaum peramu8 dan
ketergantungan mereka terhadap hasil alam sangatlah besar,
termasuk tanah. Sakralitas atas tanah Marind Anim dapat ditandai
dari mulai dari praktik hingga simbol yang dikembangkan. Simbol yang
paling kuat dan merata di seluruh ragam subetnik Marind-Anim atas
tanah adalah pengasosiasian dengan mama, ibu, atau rahim mama.
Simbol ini merupakan representasi atas kesuburan dan kehidupan
(Muntaza, 2013;185).
Sebagai kaum berburu dan meramu maka suku Marind Anim
sangat tergantung dengan kawasan hutan di sekitar mereka. Tanah
menjadi sangat penting dalam kehidupan suku Marind Anim. Tanah
ibarat Ibu yang memberikan mereka banyak manfaat. Mengayau juga
salah satunya untuk melakukan perluasan kekuasaan (perluasan
wilayah). Saking pentingnya tanah dalam kehidupan Suku Marind
Anim maka jika mereka tidak sanggup menjaga tanah maka hal itu
sangat memalukan bagi mereka.
Tanah digunakan salahsatunya untuk perladangan yang
menjamin makanan bagi Suku Marind Anim. Tanah pada suku Marind
Anim akan sangat dekat dengan sub suku. Keberadaan tanah akan
menunjukan wilayah kekuasaan dari sub suku tersebut. Dengan
demikian walaupun diperbolehkan untuk menggarap tanah pada
suatu daerah yang dikuasai oleh suatu Suku Marind Anim namun hal
itu bukanlah jaminan terhadap kepemilikan.
Status tanah akan dilacak berdasarkan sejarah lisan yang
diceritakan secara turun-temurun. Walaupun bentuknya sejarah lisan
namun pengetahuan tentang sejarah tanah tersebut tidak hanya
diketahui oleh pemilik dan keturunannya, tetapi juga diketahui oleh

Baca Boelaars (1986; 3-4)

xl

berbagai keluarga Suku lain yang pernah mendengar sejarah tersebut.


Sejarah tanah merupakan bukti atas kepemilikan tanah9.
Hasil kajian Koentjaraningrat pada masyarakat Papua di Pesisir
Utara mengungkapkan bahwa tanah yang dipakai untuk ladang itu
seringkali belum merupakan hak milik dari seseorang individu. Pada
banyak suku bangsa yang melakukan bercocok tanam di ladang, tanah
itu adalah kepunyaan umum. Ini berarti tanah itu dikuasai oleh
kelompok atau kelompok-kelompok yang menduduki daerah yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1985:46).Kondisi yang sama terjadi
pada Suku Marind Anim. Pengolahan tanah yang dilakukan oleh suku
lain diperbolehkan selama ada izin dan tanah tersebut belum
dimanfaatkan. Sewaktu-waktu tanah tersebut dapat diambil kembali
oleh Suku Marind Anim yang memiliki.
Suku pendatang atau Suku asli Papua lain dapat memiliki
tanah yang dimiliki oleh keluarga Suku Marind Anim. Namun
prosesnya harus melalui upacara adat pukul babi. ...pukul babi itu
segel.. segel adat, kalau tidak pukul babi itu bisa dituntut lagi, tapi
kalau sudah pakai babi, itu tidak boleh... (mama ST, 40 tahun).
Tanpa upacara adat proses pemindahtanganan tanah dapat
digugat kembali dikemudian hari. Binatang babi dianggap sebagai
segel adat dalam perjanjian di Suku Marind Anim. Perjanjian yang
telah disyahkan dengan upacara pukul babi maka dianggap kuat dan
tidak akan dituntut kembali dikemudian hari. Saat ini upacara pukul
babi masih dilakukan oleh Suku Marind Anim, salahsatunya untuk
melegalkan jual beli tanah.

Mengenai fenomena ini dijelaskan oleh Isaacs (1983:154) bahwa fungsi utama masa
lalu adalah mengesahkan masa sekarang, dan dalam pandangan seorang sejarawan
Inggris J.H Plumb hal ini sudah merupakan masalah utama dalam mendukung
kekuatan dan kekuasaan.

xli

2.1.4. Identitas dan Terlecutinya Identitas Marind Anim


Identitas pada dasarnya adalah sesuatu yang memberikan
jaminan keberadaan diri dengan meminjam kekuatan bersama untuk
menghadapi ketidakpastian masa depan. Identitas amatlah vital,
keberadaanya menjadi sesuatu yang hakiki bagi setiap individu
(Kinasih, 2007:8). Dengan demikian identitas memberikan kepastian
bagi individu untuk berbuat dan bertingkahlaku sesuai dengan nilainilai yang dianut oleh kelompoknya.
Pada suku bangsa maka dikenal identitas etnik. Ada dua
pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif dan
pendekatan subjektif. Perspektif objektif melihat sebuah kelompok
etnik sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok
lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau
asal usul kebangsaan. Sedangkan perspektif subjektif merumuskan
etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami
atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnik
dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang lain (Mulyana dalam
Mulyana dan Rakhmat, 2005:152). Membicarakan identitas tidak
lepas dengan budaya yang dimiliki oleh suku bangsa. Begitu
pentingnya budaya maka individu berperilaku berdasarkan budaya
yang dia miliki.
Suku Marind Anim mengenal identitas etnik10 dari budaya11
yang mereka miliki. Menjadi orang Marind berarti telah mengalami

10

Etnik berasal dari kata Yunani ethnos... etnis yang berarti bangsa atau masyarakat
mengacu pada pengertian (identik) pada dasar geografis suatu wilayah dengan
sistem tertentu. Kesamaan-kesamaan seperti kesamaan asal, sejarah, budaya,
agama, dan bahasa sering dijadikan untuk menyebut suatu kelompok etnis. Predikat
menjadi salah satu etnik tertentu merupakan sesuatu yang taken for granted sedari
awal kelahiran. Kelompok etnis sebagai satu kelompok manusia yang membangun
komunitas dan perasaan kolektifnya berdasarkan kesamaan kepercayaan dan
kesamaan asali (Kinasih, 2007:12).

xlii

prosesi budaya Marind. Prosesi budaya Marind Anim ini telah


berlangsung sedari muda. Bisa dibayangkan bagaimana jika budaya
yang mereka miliki dilecuti maka mereka akan kehilangan panduan
dalam menjalani kehidupan. Wabah penyakit kelaminGranuloma
Veneris telah membuat budaya Marind Anim terlecuti dalam
kehidupan mereka. Ritual-ritual mereka yang penuh unsur seksual
telah dianggap sebagai penyebab penularan penyakit kelamin
sehingga dilarang untuk dilakukan kembali. Tanggungjawab dalam
mendidik anak atau yang disebut inisiasi juga telah diambil alih gereja
dan sekolah. Anak-anak tidak lagi mengalami prosesi menjelang
dewasa dan ini mengganggu psikologi orang Marind Anim. Selanjutnya
kebanggaan mereka sebagai suku pemberani juga tidak dapat
dimunculkan kembali karena perang Kui untuk mencari kepala telah
dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran gereja.
Pelecutan budaya tersebut dapat dianggap sebagai pelecutan
identitas Suku Marind Anim.
Hal kedua yang dianggap sebagai pelecutan identitas Suku
Marind Anim adalah peristiwa migrasi terprogram yang dilakukan
pemerintah Indonesia. Tidak dapat dipungkiri program transmigrasi
telah mencaplok tanah adat Suku Marind Anim. Padahal tanah bagi
Suku Marind Anim adalah ibu. Kehilangan tanah merupakan sesuatu
yang memalukan. Hadirnya transmigrasi telah membawa perubahan
psikologi bagi Suku Marind Anim karena semakin lama, pendatang
semakin menguasai tanah yang mereka miliki. (kota)... Merauke itu
tanah Marind, tapi karena dijual pada pendatang, sekarang orang
Marind cuma tinggal di pinggir... (Bapak HH, 56 tahun).
11

Budaya membantu kita memahami wilayah planet atau ruang yang kita tempati.
Suatu tempat hanya asing bagi orang-orang asing, tidak bagi orang-orang yang
menempatinya. Budaya memudahkan kehidupan dengan memberikan solusi-solusi
yang telah disiapkan untuk memecahkan masalah-masalah ... (Haris dan Moran
dalam Mulyana dan Rakhmat, 2005:57).

xliii

Untuk membedakan antara suku Asli dengan pendatang maka


Suku Marind Anim melihat berdasarkan perbedaan fisik. Mereka
menyebut orang pendatang dengan rambut lurus. Istilah yang sering
digunakan adalah pu anim. Hal ini merujuk pada rambut mereka yang
keriting. Cara Suku Marind Anim melihat perbedaan suku melalui fisik
diungkapkan oleh Isaacs (1983;58) bahwa tubuh itu merupakan unsur
pokok yang paling jelas terlihat, dimana identitas itu individu atau
kelompok dibuat. Tubuh merupakan unsur biologi yang tidak bisa
dibantah, diperoleh sebagai sifat warisan yang paling penting melalui
kejadian (Isaacs, 1983:58). Selanjutnya Isaacs melanjutkan bahwa ciri
khas fisik berfungsi sebagai tanda identitas yang seketika itu
menegaskan siapa kita dan siapa mereka, dan sekaligus
menerbitkan solidaritas atau permusuhan sebagaimana kasus itu
adanya. Warna kulit biasanya paling cepat terlihat namun bukan
merupakan satu-satunya perbedaan fisik yang secara penting efektif
(Isaacs, 1983:61).
Sedangkan untuk membedakan antarsuku papua atau
antarsubsuku Marind Anim maka nama marga adalah salah satu
metodenya. Orang Marind Anim akan mengetahui sub suku seseorang
dari marga yang dimiliki. Isaacs mengungkapkan bahwa meskipun
tampaknya nama-nama itu bersifat pribadi, namun nama-nama itu
pada hakikatnya merupakan nama-nama kelompok juga. Nama-nama
keluarga, membawa serta semua persatuanyang menyangkut bahasa
dan tradisi darimana nama-nama itu berasal (Isaacs, 1983:98).
Namun demikian saat di lapangan tetap ditemukan perubahan
identitas pada individu-individu tertentu. Hal ini salah satunya terjadi
pada keluarga keturunan Domingus di RT 3 Kampung Tomer yang
merupakan keturunan Suku Kanume namun menggunakan marga
Suku
Marind12. Keturunan keluarga Dominggus seharusnya
12

Suku Marind di sini dalam konteks suku tersendiri yang dihubungkan dengan
wilayah adat, bukan dalam konteks suku besar Marind Anim yang merupakan induk
dari subsuku lainnya di Merauke.

xliv

menggunakan marga Gelambu, namun di lapangan mereka


menggunakan marga Mahose. Menurut Bapak YM (48 tahun)yang
merupakan keturunan Domingus, mereka menggunakan marga
Mahose yang notabene milik Suku Marind untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan saat mereka melarikan diri ke Papua New Guinea.
Saat di pelarian keluarga Domingus satu-satunya yang berasal dari
Suku Kanume sedangkan yang lain adalah Marind. Akhirnya keluarga
Domingus menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
menggunakan marga Marind pada nama mereka13. Marga Marind
bukan sesuatu yang asing karena istri Domingus berasal dari
keturunan Suku Marind.Namun demikian saat ini keluarga Domingus
sedang mencoba mengembalikan kembali marga mereka ke Kanume.
Perubahan marga yang mereka lakukan adalah sebagai upaya
pertahanan saat berada dalam budaya dominan. Erikson menunjukan
bahwa di seluruh dunia, kelompok-kelompok etnis minoritas berjuang
untuk mempertahankan identitas-identitas mereka saat berbaur ke
dalam kebudayaan dominan (Chusairi dalam Kinasih, 2007:11).
2.1.5 Migrasi, Keberagaman dan Hubungan Antaretnik
Perubahan lainnya (selain serangan wabah penyakit
kelaminGranuloma Veneris) yang mempengaruhi kehidupan Suku
Marind Anim adalah migrasi orang-orang non Papua ke dalam
kehidupan mereka. Berbeda dengan orang Timor yang mereka anggap
datang untuk menyebarkan agama, orang-orang yang datang
belakangan dianggap mencari penghidupan di tanah mereka. Program
transmigrasi yang dikelola pemerintah Indonesia telah mencaplok
tanah adat mereka. Kondisi ini dimulai sekitar tahun 1963 menjelang

13

Mengenai keluwesan identitas ini Kinasih mengungkapkan bahwa Identitas adalah


sebuah proses yang tidak terberi (given), dan tidak statis. Pada suatu ketika
seseorang bisa saja menggunakan suatu identitas tertentu, tetapi di saat yang lain ia
akan menunjukan identitas yang berbeda pula. Identitas adalah sesuatu yang hibrid,
ia sangat licin dan rentan manipulasi (Kinasih, 2007:5).

xlv

PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) orang Papua apakah ingin


bergabung dengan Negara Indonesia atau ikut pemerintah Belanda.
Untuk memenangkan mereka yang pro Indonesia maka pemerintah
Indonesia melakukan pengiriman orang-orang Jawa ke wilayah Papua,
salah satunya Kabupaten Merauke. Selanjutnya program transmigrasi
terus berlangsung dan kehadiran orang-orang Jawa semakin banyak.
Hal ini juga makin ditambah oleh transmigrasi spontan yang dilakukan
oleh orang-orang Makassar dan Bugis dari Sulawesi serta orang Timor
dan Kei dari Maluku. Kehadiran suku pendatang ini makin mendesak
penggunaan tanah di Papua. Suku Marind Anim mulai merasa
terancam karena lahan yang diolah semakin sedikit.
Kehadiran pendatang membuat interaksi suku asli dengan suku
pendatang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Pendatang yang
memiliki semangat hidup lebih tinggi membutuhkan lahan untuk
berusaha. Maka perpindahan lahan berlangsung dari suku asli ke suku
pendatang. Transfer pengetahuan terjadi, pendatang membawa
budaya pertanian, peternakan, memasak dengan bumbu lengkap,
nelayan modern, pakaian, dan banyak lagi. Suku asli
memperkenalkan14 perburuan, sagu dan hasil hutan. Interaksi ini
berlangsung sekian lama dengan percepatan yang tidak seimbang.
Suku pendatang cepat menyerap pengetahuan orang Papua dan
langsung memodifikasinya menjadi lebih maju. Sedangkan orang
Papua lebih lambat dalam menerapkan pengetahuan suku pendatang.
14

Proses pemberian pemahaman dari suku asli kepada suku pendatang disebut
sosialiasi. Penanaman nilai-nilai suku asli kepada suku pendatang disebut
enkulturasi. Menurut Kim (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2005:138). Enkulturasi
merupakan proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan dalam
sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita. Proses belajar yang
terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggotaanggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa.
Selanjutnya Kim juga mengungkapkan bahwa Proses enkulturasi kedua yang terjadi
pada imigran ini biasanya disebut akulturasi (acculturation). Akulturasi merupakan
suatu proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan
memperoleh budaya pribumi ... (Kim dalam Mulyana dan Rakhmat, 2005:139).

xlvi

Maka dalam beberapa tahun suku pendatang sudah jauh lebih maju
dari suku asli. Melihat kemajuan suku pendatang, orang Papua
tersadar tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyusul kemajuan
tersebut. Sedikit demi sedikit orang Papua mulai menganggap suku
pendatang sebagai ancaman bagi mereka.
Cara pandang dan etika yang berbeda dari suku-suku yang
berinteraksi dapat membuat perbedaan pandangan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian proses pertemuan antarsuku yang hidup
bersama pada suatu daerah akan menghasilkan berbagai penyesuaian
dari keduabelah pihak khususnya pada suku pendatang.
Suku asli sebagai pemilik wilayah memberikan pemahaman
kepada suku pendatang melalui proses sosialisasi. Adanya sosialisasi
dari suku asli memungkinkan suku pendatang untuk menyesuaikan
diri di dalam kehidupan sehari-hari. Adanya penyesuaian diri dari suku
pendatang ini dikarenakan posisi mereka yang berada di wilayah suku
asli15.
Walaupun sudah ada usaha penyesuaian dalam hubungan
antarsuku antara pendatang dengan suku asli, namun di dalam praktik
kehidupan tetap saja terdapat perbedaan pandangan16. Hadirnya
perbedaan pandangan ini memunculkan kesalahpahaman di antara
suku yang berinteraksi. Hadirnya kesalahpahaman melahirkan cara
pandang memandang antarsuku menjadi negatif. Menurut Tahara
(2014;27) perbedaan cara pandang akan disertai dengan

15

Menurut Shadily (1983;129) Umumnya pihak yang lebih lemah yang


menyelaraskan diri kepada yang lebih kuat, sehingga seringkali arti kata ini
mendekati arti penaklukan, walaupun penyelarasan ini sering juga terjadi dalam
suasana aman dan persahabatan.Adanya keselarasan diri ini untuk menunjukan citra
positip suku pendatang kepada suku asli.
16
Manusia selalu hidup dalam kelompok-kelompok dengan kondisi lingkungan yang
bisa berbeda-beda, dan perbedaan ini dapat menyebabkan kesalahpahaman
antarkelompok apabila terjadi percampuran atau interaksi di antara kelompokkelompok (Rudito dan Famiola, 2013:2).

xlvii

berkembangnya stereotip17 satu kelompok atas kelompok lain yang


dengan sendirinya kian menurunkan kualitas interaksi sosial yang
berlangsung. Padahal menurut Tahara (2014;33) stereotip jarang
sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau
bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
2.2. Sejarah Asal UsulSuku Kanume di Kampung Tomer
Bicara sejarah selalu berhubungan dengan siapa yang bercerita
dan apa yang diceritakan. Hal ini membuat sejarah masa lalu selalu
memiliki versi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Apalagi jika menyangkut sejarah yang diturunkan secara lisan. Jika
sudah bicara tradisi lisan maka kajian sejarah ini masuk dalam
folklor18. Melalui penuturan secara turun-temurun maka sejarah lisan
memiliki potensi untuk berkurang bahkan bertambah tergantung
kepada siapa yang bercerita.
Mengungkap sejarah Suku Kanume di Kampung Tomer
tergantung dengan siapa yang sedang bercerita dan versi apa yang
sedang diungkapkan. Namun demikian dalam penceritaan sejarah
lisan, seringkali ada benang merah yang memiliki kesamaan antar
pencerita satu dengan yang lainnya yang dapat dijadikan acuan dalam
memahami sejarah itu sendiri. Menangkap dua benang sejarah
dominan Suku Kanume di Kampung Tomer merupakan hasil dari
pengkategorian versi sejarah yang banyak diceritakan oleh informan di
lapangan. Mengenai perbedaan ini dijelaskan oleh Koentjaraningrat
17

Stereotip sendiri menurut Tahara adalah pendapat atau prasangka mengenai


orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan
pada fakta bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu
tersebut. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang
dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.
18
Definisi folklor sendiri adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja
dalam Pudentia, 1998:54).

xlviii

(1990;264) yang menyatakan bahwa dalam kenyataan, konsep suku


bangsa lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Ini
disebabkan karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia
yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat
meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan.
Suku Kanume memiliki sejarah suku bangsa yang berhubungan
dengan asal usul kehidupan mereka. Sejarah ini pada akhirnya
menjadi pedoman bagi Suku Kanume untuk menjalankan kehidupan
dan memahami siapa adanya diri mereka. Nilai-nilai dan norma yang
dijalankan saat ini juga merupakan representasi dari sejarah hidup
yang mereka yakini. Bicara sejarah Suku Kanume, maka versi pertama
selalu menghubungkan bahwa Kanume merupakan bagian dari suku
Marind atau subsuku dari suku Marind. Sehingga sejarah asal-usul
Suku Kanume akan terintegrasi dengan sejarah suku Marind itu
sendiri. Peneliti-peneliti terdahulu menamakan suku asli yang
menempati wilayah di Merauke dengan Marind Anim (baca Boelaars,
1986 dan Koentjaraningrat, 1985). Jika dilihat wilayah suku Marind
yang digambarkan oleh peneliti tersebut maka wilayah Suku Kanume
termasuk ke dalam bagian suku Marind.
Salah satu tokoh masyarakat suku Marind Anim di Kabupaten
Merauke, bapak AL (66 Tahun) yang merupakan ketua dari Lembaga
Masyarakat Adat menyatakan bahwa jika menyebut Suku Marind
Anim maka itu berarti menyangkut semua suku asli yang berada di
Kabupaten Merauke. Pernyataan bapak AL ini didukung oleh bapak YP
(48 tahun) yang berasal dari Suku Kanume:
...kalau kita lihat kulit hitam itu (bisa disebut) Marind, Marind
itu tidak hanya kita panggil orang Marind di sini (Marind dilihat
sebagai suku tersendiri), artinya bahasa Marind itu orang
hitam... (bapak YP, 48 Tahun).
Dalam catatan Keuskupan Agung Merauke juga diungkapkan
tentang Marind yang merupakan suku besar yang terdiri dari subsuku-

xlix

subsuku yang mendiami wilayah tertentu. Gambaran ini disampaikan


oleh ibu AM (42 tahun) yang menceritakan bahwa suku Marind dapat
dibedakan menjadi: Marind Duf (Marind yang menempati pesisir
pantai), Marin Deg/ Marin Bian (Marind yang menempati
pedalaman/hutan), Marind Kanume (Marind yang menempati wilayah
perbatasan dengan negara Papua Nuegini, Marin Yey (Marind yang
menempati wilayah sepanjang sungai Maro), dan Marind Bob (Marind
yang menempati pulau Kimam (pulau Yos Sudarso).
Dari ketiga informan tersebut dapat disimpulkan bahwa Suku
Kanume merupakan subsuku dari Marind. Sehingga sejarah besar
Suku Kanume termasuk bagian dari sejarah besar suku Marind. Dan
sejarah besar suku bangsa selalu dimulai dari penciptaan awal di muka
bumi, seperti yang diceritakan oleh bapak AL (66 Tahun) tentang asal
usul suku Marind Anim.
Menurut bapak AL (66 Tahun) dalam kepercayaan suku Marind
Anim, asal usul mereka berawal dari keberadaan Dema19. Konsepsi
dema dipahami sebagai dewa-dewa20 yang menghuni awal jagat alam.
Keberadaan Dema ini menjadi cikal bakal suku Marind Anim. Ada dua
figur dema yang menjadi sentral21, yaitu DemaGep dan DemaSamie.
Awalnya hanya ada DemaGep, ketika Dema Gep sedang tidur22 tiba19

Dalam bahasa suku Kanume disebut Deme


Dewa-dewa adalah mahluk-mahluk halus yang oleh kepercayaan manusia
dibayangkan dengan nama-nama, bentuk ciri-ciri, sifat-sifat, dan kepribadian yang
tegas. Gambaran yang tegas disebabkan karena bayangan manusia tentang mahluk
halus seperti itu terbeku ke dalam dongeng-dongeng dan kesusteraan suci atau
mitologi, terutama yang tertulis tapi sering juga yang lisan (Koentjaraningrat,
1985:232).
21
Diantara himpunan dewa-dewa yang mengisi dongeng-dongeng suci dari banyak
suku bangsa di dunia, biasanya ada dewa tertinggi atau high god, yang dianggap
pencipta dari seluruh dunia dan alam yang dikenal oleh manusia yang memujanya;
dewa-dewa pembawa adat atau cultural hero, yang di dalam dongeng-dongeng suci
dianggap dewa yang pertama-tama mengajarkan kepada manusia adat istiadat, cara
membuat api, pemakaian alat-alat dsb ... (Koentjaraningrat, 1985:232).
22
Bekas tempat tidurnya menurut Al (66 tahun) masih ada sampai saat ini, namun
karena tidak bisa diungkap sembarangan maka letaknya tidak bisa diberitahukan ke
20

tiba ia terbangun dan heran melihat disebelahnya ada orang tidur


juga, lalu ketika ia berkaca di air maka ia melihat wajahnya sama
dengan wajah orang yang tidur disebelahnya. Spontan ia berkata
Sami eh maka orang yang tidur disebelahnya bernama Samie dan
menjadi temannya di muka bumi.
Namun demikian wujud DemaGep dan DemaSamie tidaklah
sama dengan manusia. Bahkan merekapun tidak bisa disebut manusia.
Dan dari keturunan mereka inilah lahir manusia yang tidak berasal dari
hubungan seksual. Dari masing-masing puting Gep dan Samie lahir
laki-laki dan perempuan. Puting kanan lahir laki-laki dan puting kiri
lahir perempuan. Keturunan dari Samie dan Gep pertama inilah yang
sampai saat ini menjadi fam/marga dari suku Marind Anim sampai
saat ini.
Persebaran suku Marind Anim di berbagai wilayah berkaitan
dengan kepercayaan bahwa dahulunya DemaSamie dan DemaGep
masing-masing memiliki bahtera23. Setiap bahtera mampir ke suatu
tempat maka turunlah dari keturunan Samie dan keturunan Gep di
wilayah tersebut dan membentuk kelompok. Lalu ketika bahtera
pergi maka di wilayah tersebut masing-masing keturunan Gep dan
Samie ditinggalkan di tempat tersebut. Hal itu yang lama-kelamaan
menjadi awal suku Marind Anim hidup terpisah-pisah, bahkan
menurut bapak YL (43) seluruh manusia di muka bumi berasal dari
keturunan Suku Marind yang tersebar melalui bahtera tersebut.
Walaupun suku Marind Anim hidup terpisah-pisah penelusuran ikatan
darah masih dapat dilakukan dengan mengikuti nama fam yang ada
dibelakang nama mereka.
Selain Dema Gep dan Dema Samie sebagai 2 dema yang
tersakral pada suku Marind Anim, terdapat juga dema-dema lain yang
sembarang orang. Menurut keterangannya bekas tidur Dema Gep sangat besar
seperti raksasa.
23
Bahtera dalam penjelasan bapak AL (66 Tahun) merupakan sebuah kapal laut yang
sangat besar namun dapat melayang di udara.

li

menguasai angin, tanaman, binatang dan hal-hal lain di bumi. Demadema ini juga menurunkan keturunannya di bumi. Selanjutnya demademayang sudah memiliki banyak keturunan menjadi khawatir
terhadap keberlangsungan anak cucu mereka. Untuk menjamin
berkelanjutan keturunan mereka para dema pada akhirnya berubah
menjadi bahan makanan seperti sagu, kelapa, jagung dan berbagai
bahan baku makanan lain. Sejarah ini yang menjadi penjelasan
mengapa pada beberapa subsuku Marind Anim mengaku sebagai
keturunan sagu, kelapa dan jagung.
Karena dema sudah berubah menjadi bahan baku makanan
suku Marind, maka hubungan suku Marind dengan alam berlangsung
dekat dan religius. Mereka menganggap bahan baku makanan adalah
poyang yang menyediakan diri bagi mereka. Maka masing-masing
fam/marga memiliki tanaman atau binatang yang sakral bagi
mereka24.
Menurut ibu AM (42 Tahun) sakralitas pada masing-masing
fam/marga suku Marind Anim berbeda satu sama lain. Marga Mahose
mensakralkan anjing dan cenderawasih, marga Gepze mensakralkan
pohon kelapa, marga Kaize mensakralkan burung Kei (Kaswari), marga
Basik mensakralkan Babi, marga Sangkakai mensakralkan saham
(kangguru), marga Balagaize mensakralkan burung elang bangan, dan
marga Ndigken mensakralkan burung dig (burung sendok). Sakralitas
tersebut tetap berlangsung sampai saat ini.
Sedangkan versi kedua tentang sejarah Kanume adalah mereka
yang memiliki pandangan bahwa Suku Kanume bukanlah bagian dari

24

Obyek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. ... oleh
para sarjana obyek keramat itu disebut totem. Totem itu (jenis binatang atau lain
obyek) mengonkretkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu
adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat, berupa clan atau lain
(Koentjaraningrat, 1985:251).

lii

suku Marind25. Salah satunya adalah Suku Kanume yang mendiami


Kampung Tomer. Mereka mempersepsikan Suku Kanume memiliki
perbedaan dengan suku Marind. Perbedaan tersebut salahsatunya
karena wilayah penguasaan tanah adat yang berlainan.
...Suku Kanume itu punya tempat berbeda anak... (sapaan
untuk peneliti), dia punya tempat dari Sota, Yangandur, Rawa
Biru, Onggaya, Tomer, Tomerau, kalau Condo itu tanah Marind
tapi yang tinggal banyak orang Kanume... (bapak HH, 56
tahun).
Dari pernyataan bapak HH (56 Tahun) didapatkan gambaran
bahwa perbedaan Kanume dan Marind salahsatunya disebabkan oleh
penguasaan wilayah. Perbedaan Kanume dan Marind juga dapat
dilihat dari fisik.
...itu saya punya tete (kakek)pernah bilang, Marind punya kaki
lebih besar (sambil menepuk-nepuk betisnya), kalau Kanume
lebih kecil lurus, nah itu seperti.. (sambil menarik celana bapak
ED (31 tahun) Kanume punya kaki lurus kecil... (bapak DM,
35 Tahun).
Selain dari betis kaki, perbedaan Suku Kanume dan Marind
juga diperkuat oleh bapak DM (35 Tahun) dengan perbedaan fisik
secara umum.
...Marind punya badan besar dan bidang (berdiri dengan
menunjukan dadanya), kalau Kanume dia punya badan tinggi
lurus (sambil menunjuk bapak ED)... (bapak DM, 35 tahun).

25

Dalam suatu masyarakat yang lebih besar, kelompok, atau bangsa yang
mempunyai budaya dominan yang sama, mungkin terdapat subkelompoksubkelompok yang memiliki ciri-ciri yang memisahkan dan membedakan mereka
dari subkelompok-subkelompok lainnya (Haris dan Moran dalam Mulyana dan
Rakhmat, 2005:67).

liii

Menurut bapak HH (56 Tahun) Suku Kanume dikenal sebagai


suku yang suka berperang dan selalu menang. Awalnya mereka tinggal
di tempat matahari naik (pegunungan) lalu berangsur pindah ke
tempat matahari turun (pesisir). Daerah pesisir diakui oleh mayoritas
informan sebagai wilayah kekuasaan suku Marind yang berhasil
diambil alih oleh Suku Kanume.
Saat ini wilayah adat Suku Kanume meliputi wilayah Kampung
Ongaya, Tomer, Tomerau, dan Condo, semua kampung tersebut
merupakan wilayah pesisir atau mereka sebut sebagai daerah
matahari turun. Sedangkan daerah matahari naik ada di wilayah darat
menempati Sota, Yangandur dan Rawa Biru. Menurut bapak HH (56
Tahun) Kampung Onggaya dan Tomer adalah wilayah Suku Kanume
yang sudah banyak terjadi pembauran dengan pendatang. Sedangkan
wilayah Kampung Tomerau, Condo, Rawa Biru, Yangandur dan Sota
relatif masih dominan didiami oleh Suku Kanume.
Sama dengan suku Marind, Suku Kanume juga terdiri atas
beberapa marga besar yaitu; Dimar, Mbanggu, Gelambu, Kul, dan
Maiwa. Setiap marga juga memiliki simbol terhadap marganya. Dimar
memiliki simbol burung kasuari. Mbanggu memiliki simbol Kangguru,
Kul punya simbol elang, dan Maiwa sama dengan Kul karena
merupakan pecahan dari Kul. Binatang-binatang tersebut
disakralkan26 oleh masing-masing marga. Dan jika terjadi pelanggaran
terhadap binatang atau tumbuhan yang disakralkan maka marga yang
memiliki simbol tersebut akan marah.

26

Pada banyak religi di dunia jenis-jenis binatang yang dipakai sebagai lambang
upacara, seperti binatang totem misalnya, juga dianggap keramat, dan dengan
demikian menjadi binatang pantangan. Jenis binatang serupa itu tidak boleh
dibunuh atau dimakan oleh warga kelompok yang bersangkutan dengan totem tadi
(Koentjaraningrat, 1985:251).

liv

...itu binatang ada yang punya, boleh saja buru saham


(kangguru), tapi untuk dimakan, kalau dibunuh saja, tergeletak,
maka yang punya (marga Mbanggu) saham bisa marah...
(bapak BB, 35 tahun)
Fungsi marga adalah untuk melihat ikatan keluarga antar
anggota. Mengetahui marga sesama Kanume penting karena untuk
mengetahui asal usul keluarga, serta digunakan untuk mencari
pasangan. Ada larangan pada Suku Kanume menikah dalam satu
marga.
Marga pada Suku Kanume memiliki hubungan dengan suku
Marind. Dimar pada Suku Kanume bisa disamakan dengan Gapse di
Marind. Sedangkan Mahuse di Marind memiliki keterkaitan dengan
Mbanggu di Kanume. Sedangkan Kul dihubungkan dengan Basikbasik.
Hubungan ini juga bisa dilihat dari samanya simbol binatang atau
tumbuhan yang disakralkan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut
bapak SK (74 tahun) hal ini dikarenakan wilayah Suku Kanume di
pesisir dahulunya adalah wilayah suku Marind. Melalui perang suku,
daerah Marind dapat dikuasai oleh Suku Kanume. Penguasaan wilayah
dilakukan oleh marga-marga yang ada di Suku Kanume.
Sehingga jika marga suku Marind yang dahulu pemilik lahan di
daerah tersebut ada keperluan dengan tanah yang kini dikuasai Suku
Kanume maka ia harus menghubungi marga Kanume yang
menguasainya saat ini. Dengan demikian maka jika marga Gipse pada
suku Marind yang ingin berurusan dengan tanah mereka yang dikuasai
Suku Kanume maka mereka akan menghubungi marga Dimar, karena
marga Dimar merupakan marga yang menguasai wilayah mereka
dahulu.
Namun menurut informan yang lain, bapak YL (43 tahun) Suku
Kanume dan Marind merupakan satu keturunan, dan yang
membedakan adalah bahasa. Penyebutkan Kul di Kanume dan
Basikbasik di Marind memiliki arti sama yaitu babi. Oleh karena itu

lv

Kanume sebenarnya adalah bagian dari suku Marind. Ini dibuktikan


dengan bahwa marga Kul di Kanume tidak boleh menikah dengan
Basikbasik di Marind. Alasan yang muncul adalah karena tidak boleh
menikah dengan sesama marga. Dasar inilah yang dijadikan pedoman
bahwa Suku Kanume dan Marind itu sebenarnya adalah sama.
Menurut bapak YL (43 tahun) dalam kepercayaan Suku
Kanume, sebelum manusia diciptakan, tuhan menciptakan Deme
(Dema dalam bahasa Marind) terlebih dahulu. Deme adalah mahluk
yang memiliki apa-apa yang ada di bumi. Dari Deme ini baru ada
manusia di bumi. Suku Kanume yang memahami sejarah dapat
menelusuri poyang keturunannya sampai ke Deme. Salah satu yang
bisa menelusuri jejak sejarahnya sampai ke Deme adalah keturunan
poyang27 Siram. Keturunan poyang Siram saat ini berada di RT 3
Kampung Tomer.
Menurut salah satu keturunan poyang Siram, bapak YM (48
tahun), Deme menciptakan poyang mereka yang bernama Siram.
Poyang Siram memiliki istri yang bernama Kauro. Dari pasangan Siram
dan Kauro lahir 4 orang anak; Nabawihu , Ugatikem, Ngatkoho dan
Tigem. Saat penyakit cholera28 menyerang Desa Tarmakar, maka
banyak penduduk yang mati. Untuk menghindari kematian, penduduk
yang tersisa pergi meninggalkan Kampung Tarmakar, termasuk
keluarga Siram. Serangan penyakit cholera ini diperkirakan terjadi
pada tahun 1920. Bersama ke empat anaknya, dan saudara
27

Poyang dipahami sebagai leluhur yang melahirkan keturunan sampai saat ini.
Terdapat 14 informan yang menceritakan tentang serangan wabah cholera yang
terjadi antara tahun 1918-1920. Wabah tersebut mengakibatkan kematian dalam
jumlah besar pada suku Kanume, beberapa menyebutkan suku Kanume hampir
musnah. Karena peneliti mengganggap hal tersebut kejadian luarbiasa maka peneliti
berasumsi ada catatan tentang peristiwa tersebut. Setelah dilakukan penelitian
pustaka, maka tidak satupun catatan penelitian yang menyebutkan wabah cholera
yang menyerang suku Kanume pada tahun tersebut. Namun demikian pada tahun
yang sama terdapat catatan peneliti terdahulu tentang serangan penyakit
Granuloma Veneris dan Spaanse-griep yang memakan korban jiwa yang sangat
besar pada suku Marind Anim.
28

lvi

perempuannya, Badem dan Panai, Siram dan Kauro menyusuri Kali


Wesi, di tengah jalan Badem meninggal karena cholera,yang tersisa
tetap melanjutkan perjalanan menuju pantai. Akhir dari perjalanan
mereka adalah pemberhentian dekat hulu Kali Wesi, dan disanalah
dibuat Kampung pertama yang diberi nama Kampung Sarkani29.
Sebagai tonggak, tanah tersebut ditanam sagu dan kelapa.
Keluarga Siram berasal dari gunung dan tidak pernah
mendengar suara ombak. Setiap malam ketika mendengar debur
ombak, ia menjadi penasaran siapakah manusia yang mengeluarkan
suara tersebut. Setelah sekian lama, Siram berniat mencari tahu suara
tersebut. Namun sebelumnya ia membuat dahulu anak panah yang
banyak sebagai bekal menghadapi peperangan. Ketika tiba saatnya ia
berpesan kepada Kauro bahwa ia akan berperang melawan suara
tersebut, jika ia kembali nanti sore itu artinya ia sudah bisa
membunuh mahluk tersebut, namun jika ia tidak kembali nanti sore
berarti ia sudah dibunuh mahluk tersebut. Dan berangkatlah ia
menuju pantai memburu suara tersebut. Ketika sampai di pantai,
dilihatnya ombak bergulung-gulung menuju pantai, ia mundur, ketika
ombak yang satu hilang, datang lagi ombak yang lain. Ia berpikir ini
mahluk apa. Lalu saat ombak sedang naik ia mulai menembakan anak
panahnya. Satu demi satu anak panah dilepaskan ke ombak. Namun
ombak terus menerus menerjang pantai. Hingga akhirnya seluruh
anak panah Siram habis. Siram mulai berpikir ini mahluk apa, kenapa
tidak mati di panah. Akhirnya ia berkata, kalau saya tidak bisa bunuh
kamu, sekarang kamu bisa bunuh saya Maka ia berlari menuju
ombak, ketika ombak menerjang dirinya, ia baru sadar, eh .. ini air,
katanya. Ketika kesadarannya muncul maka ia melihat ke sekeliling.
Tampak olehnya daratan yang luas dan indah, maka ia bertekad
29

Sampai saat ini sisa-sisa peninggalan kampung Sarkani masih bisa dilihat dipinggir
Kampung Tomer, sisa-sisa tanaman kelapa dan sagunya masih bisa dilihat sampai
saat ini.

lvii

memindahkan kampungnya ke daerah tersebut. Maka bergegas ia


pulang, namun sebelumnya ia lumuri dulu badannya dengan pasir
sebagai bukti untuk keluarganya. Ketika sampai di rumah ia mengajak
istri dan keluarganya pindah ke daerah tersebut, maka jadilah tempat
tersebut Kampung kedua yang diberi nama Sakarpotar.
Dahulu wilayah pesisir seluruhnya dikuasai oleh suku Marind.
Ketika keluarga Siram tinggal di Sakarpotar, suku Marind dari jauh
melihat api yang dibuat oleh keluarga Siram. Merasa ada yang
menempati wilayah mereka, suku Marind mendatangi daerah
tersebut. Namun sebelumnya mereka mengirim pengintai untuk
memastikan apakah siapakah yang tinggal di sana. Setelah yakin
bahwa yang tinggal adalah manusia dan bukan dari suku mereka,
maka datanglah mereka ke Sakarpotar. Mereka menangkap Siram
dan memukulinya, lalu membentak To..! mer ....!30 yang artinya apa
yang kau cari di sini. Siram mengaku bahwa ia hanya mencari hidup
karena Kampungnya terkena cholera. Menurut bapak YM (48 Tahun)
percakapan tersebut menggunakan bahasa isyarat karena keduanya
saling tidak mengenal bahasa.
Akhirnya Siram dan keluarga
dipersilakan tinggal di daerah tersebut. Kampung mereka dianggap
Kampung pertengahan, atau tempat persinggahan saat suku Marind
ingin ke daerah Condo.
Setelah sekian lama tinggal, anak-anak Siram yang bernama
Nabawihu , Ugatikem, Ngatkono dan Tigem telah tumbuh menjadi
orang dewasa. Khususnya Tigem si anak bungsu, menurut cerita
memiliki badan yang besar berotot, dengan dada bidang, kaki dan
tangan kekar dan perut yang kecil. Perupaan Tigem sering
digambarkan bagaikan panglima perang31.
30

Bentakan itu dipercaya menjadi asal usul nama Kampung Tomer yang dipakai saat
ini.
31
Ketika menceritakan perupaan Tegim, YM (48) tahun menggambarkannya sambil
berdiri, mengisyaratkan dengan gerakan tangan tentang dada Tegim yang bidang,
badannya yang tinggi, tangan dan kakinya yang berotot serta perutnya yang kecil.

lviii

Pada saat itu suku-suku di Papua masih sering melakukan


perang antarsuku. Perang tersebut dikenal dengan nama perang Kui32.
Suku Marind biasa mengambil kepala suku lain untuk cari nama.
Maksud cari nama adalah ketika membunuh seseorang maka nama
orang yang dibunuh tersebut menjadi milik sang pembunuh. Sebagai
bukti maka kepala yang punya nama harus dibawa sebagai bukti.
Perang ini menurut penjelasan bapak YM (48 tahun) memiliki musuh
di daerah Papua Nuegini dan kepulauan yang masuk daerah Australia,
bukan antarsuku di Papua.
Suku Marind sudah dua kali melakukan perang Kui melawan
suku di Papua New Guinea dan dua kali pula selalu kalah. Akhirnya
untuk perang Kui yang ketiga suku Marind mengajak bergabung sukusuku yang bertetangga dengan mereka seperti, Asmat, Muyu, dan
Kanume termasuk kepada keluarga Siram. Siram yang dimintai tolong
hanya menyerahkan dua dari empat anaknya. Setelah berunding maka
yang ikut perang kui adalah Ugatikem dan Tigem. Sedangkan
Nabawihu dan Ngatkono diminta untuk tinggal untuk melanjutkan
keturunan Siram.
Maka berangkatlah Ugatikem dan Tigem bersama-sama
gabungan suku di Papua menyerang ke PNG. Sebelumnya mereka juga
berperang dengan suku Aborigin33 di kepulauan. Panglima perang
Aborigin, Tores Capt dibunuh di Mabio, selanjutnya maytuo (istri)
Tores Capt juga dibunuh.
Setelah menang perang dengan suku Aborigin, gabungan suku
di bawah bendera Marind memasuki Papua New Guinea (PNG).
Mereka berperang dengan suku PNG yang dipimpin oleh Panglima
32

Pastor Vertenten dalam catatan sebagai sesuatu barbar sekaligus menghipnotis:


*+ suatu tradisi yang buruk, repulsif, dan barbar. Sekalipun demikian, kata kui,
perjalanan perburuan kepala, dinyanyikan dengan puitis oleh orang-orang liar ini.
Mendapatkan korban, mencari tahu nama korban, memutus kepalanya, dan
membawa pulang kepala itu, adalah tujuan utama; tapi perjalanan itu sendiri
kesenangan terbesar bagi mereka (Muntaza, 2013;187)
33
Suku asli benua Australia

lix

Perangnya Kukigamea. Kukigamea digambarkan juga besar tinggi dan


berotot. Akhirnya Tigemlah yang melawan Kukigamea. Dengan
kehebatan Tigem maka Kukigamea dapat dibunuh. Setelah Kukigamea
mati maka perang langsung berhenti dengan kemenangan suku besar
Marind. Suku di PNG mengaku kalah. Lalu dilakukan gencatan senjata,
sambil berjanji bahwa ini adalah perang terakhir yang mereka lakukan.
Maka masing-masing pihak melangkah mundur sambil membawa
kepala hasil peperangan dengan diiringi lagu-lagu. Kemenangan
tersebut memberikan nama besar pada suku Marind Anim.
Sebagai ucapan terimakasih kepada Tigem yang telah
membunuh mati Kukigamea. Suku Marind ingin memberikan 5
perempuan kepada Tigem. Namun Tigem menolak dengan alasan
bahwa ia sudah membunuh banyak orang, sehingga darahnya panas.
Jika beristri maka apabila ada pertengkaran ia bisa membunuh istrinya
tersebut. lalu Tigem ditanya ingin apa, Tigem menjawab bila ingin
memberi maka berikanlah lahan padanya. Maka suku Marind
memberi Tigem wilayah dari Ndalir sampai perbatasan Tomerau saat
ini. Menurut bapak HH (56 tahun) itulah penjelasan mengapa Suku
Kanume yang dikenal hidup di wilayah daerah pegunungan (matahari
terbit)memiliki
juga wilayah kekuasaan di pesisir (matahari
tenggelam).
Setelah menerima tanah, maka Tigem juga meminta diri pada
keluarganya agar diperbolehkan memisahkan diri. Ia takut jika
berselisih dengan saudaranya ia bisa membunuh karena sudah
terbiasa. Akhirnya Tigem pergi dan mati disana seorang diri. Adapun
Nabahiwu, Ugatikem, dan Ngatkono tetap melanjutkan hidup di
Sakarpotar. Ugatikem dan Ngatkono tidak memiliki keturunan. Hanya
Nabahiwu yang kawin dengan Naomi yang memiliki keturunan.
Keturunan mereka adalah Domingus dan Perwai. Namun sebelumnya,
Nabahiwu telah mengangkat anak perempuan yang bernama Anit
anak dari Tobias. Selanjutnya Domingus juga mengangkat Amus

lx

secara adat menjadi anaknya. Di kemudian hari anak Domingus yang


bernama Perwai meninggal dunia.
Domingus memiliki anak yaitu Yulianus, Yoseph dan Kaabai.
Anit yang kawin dengan orang dari Timor, tidak memiliki keturunan
dan mengambil anak angkat Tonci. Sedangkan Amus memiliki
keturunan Marten Amus Gelambu dan Alex Amus Gelambu. Merekamereka inilah yang sampai saat ini masih ada dan tinggal di Sakarpotar
atau sekarang di kenal dengan nama Kampung Tomer.
Selanjutnya bapak YM (48 tahun) menceritakan sejarah
keluarga Domingus pada tahun 1961 ketika pemerintah Indonesia dan
pemerintah Belanda berkonflik memperebutkan Irian Jaya (sekarang
Papua). Keluarga Domingus pergi ke perbatasan negara Papua New
Guinea. Ini terjadi karena istri Domingus yang keturunan suku Marind
dan berasal dari Kampung Nasem34 ingin pergi mengungsi ke PNG
mengikuti orangtuanya. Domingus terpaksa ikut karena anak-anak
mereka masih kecil dan membutuhkan pengasuhan ibunya.
Akhirnya keluarga Domingus ditampung di PNG dan tinggal di
Kampung Bula selama 48 tahun. Dalam pengungsian di Kampung Bula
keluarga Domingus mengalami kesulitan karena tidak bisa
mengembangkan diri. Mereka tetap dianggap orang dari Merauke
(merorki dalam sebutan orang PNG). Mereka sulit berkebun karena
tidak memiliki lahan. Namun mereka terlatih dalam bidang kelautan.
Hasil laut yang melimpah membuat mereka mendapatkan hasil yang
bagus. Namun kesulitan di PNG adalah mereka tidak memiliki pasar,
sehingga hasil laut jarang laku dan dibuang saja. Saat menghadapi
penghinaan di Kampung orang, mereka selalu bersabar sambil berkata
bahwa mereka juga punya Kampung sendiri. Untuk pulang ke
Merauke mereka tidak memiliki dana. Oleh karena itu ketika Bupati
Merauke Jhon Gruba Gipse memiliki program pemulangan warga
negara Indonesia ke Papua, mereka sangat menyambut gembira. Dan
34

Nasem merupakan wilayah adat yang dikuasai oleh suku Marind.

lxi

tahun 2005 mereka dipulangkan ke Merauke. Tinggal 1,5 tahun


dipengungsian di wilayah Lampu 1 Merauke sambil menunggu
perumahan buat mereka selesai. Tahun 2007 mereka bisa tinggal
kembali ke Kampung Tomer. Saat ini seluruh pengungsi eks PNG
ditempatkan di RT 3 Kampung Tomer.
Selain sejarah versi bapak YM (48 tahun) tentang asal usul
Suke Kanume di Kampung Tomer, terdapat juga sejarah versi lain
terhadap asal mula Suku Kanume di Kampung Tomer yang diceritakan
oleh bapak HH (56 tahun). Namun demikian tetap terdapat kesamaan
dengan sejarah yang diceritakan bapak YM. ...ini Tomer dulu tanah
Marind, kampung asli Tomer aslinya di Yangandur. Cuma karena
Kanume menang perang jadi Kanume punya tanah ini sekarang...
(Bapak HH, 56 tahun)
Suku Kanume pada awalnya menempati wilayah pegunungan
sampai berbatasan dengan daerah PNG. Namun pada saat Suku
Kanume turun dari pegunungan mereka berperang dengan suku
Marind dan menempati wilayah Tomer dan sekitarnya. Perang
tersebut dikenal dengan nama perang Kui. Perang antara Suku
Kanume dengan suku Marind membuat beberapa wilayah Marind
dikuasai oleh Kanume. Wilayah tersebut adalah Tomerau, Tomer, dan
Onggaya. Sedangkan Condo masih dalam penguasaan Marind. Itulah
yang menyebabkan saat ini mengapa wilayah Marind ditengahtengahnya35 terdapat wilayah Kanume.
Pada saat telah menguasai wilayah Marind terdapat suatu
cerita yang melegenda di Kampung Tomer tentang nenek moyang
Kanume ketika bertemu ombak di laut. Karena selama ini tinggal di
pegunungan dan belum pernah melihat laut, nenek moyang Suku
35

Wilayah pesisir selatan dari kota Merauke sampai ke perbatasan PNG secara
berturut-turut adalah kampung Nasem, Ndalir, Onggaya, Tomer, Tomerau dan
Condo. Kampung Nasem, Ndalir dan Condo merupakan wilayah adat suku Marind,
sedangkan Kampung Onggaya, Tomer dan Tomerau merupakan wilayah adat suku
Kanume.

lxii

Kanume kaget melihat ombak yang bergulung. Ketika dia merasa


ombak itu semakin besar, maka ia memanah ombak tersebut sampai
anak panahnya habis. Setelah didekati ia baru tersadar bahwa ombak
tersebut adalah air.
Suku Kanume pada akhirnya menempati wilayah pesisir dan
beranak pinak di wilayah yang baru. Menurut kepercayaan Suku
Kanume di Kampung Tomer, nenek moyang mereka suka berperang
dan selalu menang. Bahkan jika ada perang antarsuku yang tidak
melibatkan Suku Kanume, maka kedua suku yang berperang akan
berlomba untuk meminta bantuan Suku Kanume. Namun setelah
terjadi penyakit cholera, Suku Kanume di pesisir menjadi berkurang
drastis. Suku Kanume yang mendiami daerah pesisir banyak yang
meninggal sehingga hanya tersisa beberapa keluarga saja. di Kampung
Tomer sendiri bersisa 5 kepala keluarga36.
2.2. Sejarah Kampung Tomer
Letak Kampung Tomer sebenarnya telah sering mengalami
perpindahan. Kampung pertamanya sudah habis tersapu ombak
karena abrasi pantai, letak kampung pertama menurut bapak TJ (73
tahun) berada di tengah laut pada saat ini. Mereka lalu mundur ke
daratan, namun ganasnya ombak laut ternyata menghancurkan
kembalikampung kedua.pengalaman tinggal di kampung keduapernah
dirasakan oleh bapak TJ sendiri.Lagi-lagi masyarakat terpaksa
memindahkan letak kampungnyake tempat yanglebih dalam
(kampung ketiga). Saat ini letak kampung ketiga masih bisa ditelusuri.
Posisinya berada diujung jalan menuju pantai, ujung aspal, istilah
masyarakat Kampung Tomer. Di sana masih bisa dilihat peninggalan
berupa kuburan masyarakat zaman dulu. Tahun 80an.Kampung
keempat sudah naik jauh ke darat. Inilah kampung yang masih
bertahan sampai saat ini. Mengenai alasan perpindahankampung
36

Salah satu dari 5 keluarga yang tersisa ini diakui oleh bapak HH (56 tahun) adalah
keluarga Domingus.

lxiii

keempat ini selain menghindari abrasi pantai juga berhubungan


dengan bantuan yang akan diberikan pemerintah.
...jadi pada waktu tahun 80 pemerintah mau kasi (kasih)
macam bantuan-bantuan bagitu (begitu), rumah....sedangkan
mau bikin rumah bagaimana.. (maksudnya Suku Kanume saat
itu tinggal di atas rawa) dorang (mereka) pindah ke darat...
(bapak TJ, 73 Tahun)
Menurut bapak SK (74 tahun) yang pernah menjadi aparat
desa tahun 19771990 di Naukenjerai. Secara administratif dahulu
wilayah Tomer berada dalam pemerintahan Kampung Onggaya. Tahun
1973 dipilih kepala desa untuk memimpin sebuah kawasan Nauken
(desa). Pada tahun 1974 saat masih dalam penjajahan Belanda-RI ada
pembentukan desa seluruh Irian Jaya. Pada saat itu Onggaya menjadi
pusat Desa membawahi daerah Nasem, Ndalir, Kuler, Tomer,
Tomerau, Condo, dan Corcari. Lalu pada tahun 1978 KampungKampung dibuka dimana kepala Kampung tetap di Onggaya.
Sedangkan wilayah-wilayah dibawahnya dipimpin oleh mandor
(setingkat ketua Rukun Keluarga). Karena Kampung-Kampung yang
dibentuk penduduknya masih sedikit, maka tahun 1980 terjadi
penggabungan penduduk. Penduduk Tomerau digabungkan ke dalam
wilayah Kampung Tomer untuk menambah jumlah penduduk.
...jadi tu (itu) minta tambah jumlah masyarakat begitu,
perbanyakan terima, itu datang dari Tomerau... datang dari
Tomerau kumpul di sini, kumpul semua jadi satu kampung di
sini... (bapak TJ, 73 tahun)
Tahun 1982 dibuka jalan desa yang menghubungkan semua
Kampung. Selanjutnya dibangun juga jembatan Ndalir yang berada di
atas sungai Ndalir untuk memperlancar transportasi.
Tahun 1985 juga terjadi perpindahan penduduk dari Corcari ke
Condo. Menurut bapak SK (74 tahun) perpindahan penduduk tersebut

lxiv

untuk memudahkan jangkauan pemerintah kepada masyarakat.


Daerah Corcari yang letaknya berbatasan dengan PNG sulit dijangkau
oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Untuk mempermudah akses
pendidikan maka penduduk Corcari yang berasal dari Suku Kanume
dipindahkan ke wilayah Condo yang sebenarnya adalah wilayah
Marind. ...Condo itu (wilayah) Marind punya, cuma tahun 80an
pemerintah ada suruh mereka pindah dari Corcari ke Condo...
(bapak, HH 56 tahun).
Sekitar tahun 1987 penduduk Tomerau meminta pulang ke
wilayah mereka karena merasa sulit untuk membuka lahan di Tomer
karena secara wilayah dimiliki oleh Suku Kanume Tomer. Hambatanhambatan untuk hidup dan berusaha menjadi alasan kembali ke
Tomerau.
Istri TJ :Tomerau datang kumpul tapi yang orang kampung di
sini, suka dimarah usir-usir dorang (mereka)
Peneliti :oh kenapa mama usir-usir dorang (mereka)?
Istri TJ :tidak tau, dari macam dong ambil buah kelapa ka
apa ka begitu sesehari begitu kan kumpul-kumpul
kelapa ka apa ka makan begitu to
Peneliti :habis jadinya?
TJ
:aa.. jadi dorang (mereka) pulang, jadi sa (saya)
bilang begini daripada kamorang (kamu orang)
menghabis bukan kamu mengemis kamu punya
tempat cukup luas, saya masih RK, ketua RT, saya
bilang kamorang pulang saja, nanti saya yang
bertanggung jawab ke kepala kampung di Onggaya.
(Wawancara dengan bapak TJ dan istri)
Selanjutnya menurut bapak TJ (73 tahun) orang Tomerau
kembali dan ingin membangun Kampungnya sendiri. Sebelumnya
penduduk Kampung Tomer sudah dibantu perumahan oleh
pemerintah, sehingga ketika penduduk Tomerau pulang, maka rumah-

lxv

rumah tersebut menjadi kosong. Tahun 1988 transmigran Jawa masuk


ke Tomer.
...sa (saya) cerita dulu ya.. (orang) Tomerau su (sudah) pulang
semua lalu tinggal kosong (rumah di Tomer), ada pemerintah
sudah buat rumah untuk masyarakat, jadi bapak Yakob Patik
kalau tidak salah, iya jadi rumah itu kosong tidak ada orangnya
ya ini dorang (mereka) masuk orang-orang ini, jadi saya lapor
ke kepala kampung, de (dia) tanya saya bagaimana kira-kira
bapa (bapak) rasa rumah-rumah ini kosong begini, saya bilang
memang saya rasa rugi karena pemerintah sudah bantu kita
lalu kalau kosong bagini (begini) rasanya kurang bagus to. aa..
jadi sudah dari situ bapa kepala kampung de(dia) bilang sudah
begini saja ko (kau) cari mungkin ko(kau) punya kawan-kawan
sekolah, orang Jawa ka apa ka yang ada di merauke ko suruh
datang... (bapak TJ, 73 tahun)
Transmigran Jawa ini merupakan mereka yang sudah
ditempatkan di Papua namun tidak mendapatkan wilayah yang cocok
untuk bertani. Transmigran Jawa ini menempati rumah-rumah yang
ditinggalkan oleh penduduk Tomerau. ... orang baru pak Warjo, pak
Anwar, pak Saman, pokoknya Jawa-Jawa yang hadir baru... (bapak TJ,
73 tahun).
Tahun 1992 ada peningkatan,Kampung yang pada awalnya
dikepalai mandor menjadi kampung tersendiri dengan dikepalai
seorang kepala kampung. Sejak saat itu Kampung Tomer mengurus
pemerintahannya sendiri. Sampai saat ini baru ada dua periode
pemerintahan Kampung Tomer.
Selain dari Suku Kanume, penduduk Tomer berasal dari Jawa,
Makassar, dan Timor37. Masing-masing kelompok memiliki alasannya
masing-masing pindah ke Kampung Tomer. Menurut bapak NE (53
37

Timor adalah sebutan orang-orang di kampung Tomer terhadap pendatang yang


datang dari kepulauan Maluku, termasuk didalamnya Ambon, Seram, dan Kei.

lxvi

tahun) masyarakat Jawa mulai masuk ke Kampung Tomer pada tahun


1988 dan 1989. Mereka adalah penduduk trans yang merasa wilayah
penempatan mereka tidak memiliki lahan yang subur sehingga pindah
ke lokasi lain, salah satunya Kampung Tomer. Ada sebutan tersendiri
bagi penduduk Jawa yang sudah kelahiran Merauke oleh masyarakat,
yaitu Jamer (Jawa Merauke). Istilah ini untuk memberitahukan bahwa
individu tersebut sudah memiliki setengah Merauke dalam darahnya.
Bapak NE (53 Tahun) juga menyebutkan bahwa penduduk
yang berasal dari Timor awalnya adalah misionaris yang menyebarkan
agama Protestan. Selain menyebarkan agama, mereka juga hidup di
Tomer dan mengajak sanak saudaranya tinggal di Kampung Tomer.
Sedangkan penduduk dari Makassar atau yang sering dipanggil
daeng oleh masyarakat Tomer menurut bapak NE (53 tahun) adalah
masyarakat yang berasal dari wilayah Jenipontoh Sulawesi Selatan.
Tahun 2003-2004 ada sekitar 23 KK yang berlabuh di Merauke. Dari
Merauke mereka langsung dijemput dengan kapal Jhonson38 menuju
Kelapa satu39. Mereka sempat tinggal 3 tahun di wilayah tersebut dan
sudah mulai bersawah, menjadi nelayan. Namun keberadaan mereka
yang tidak melapor membuat aparat Kampung Tomer melaporkan
keberadaan mereka kepada Bupati dan DPRD Merauke. Lalu
pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk memindahkan mereka
ke wilayah Lampu satu40. Sebagian dari mereka diterima oleh kepala
adat Suku Kanume di Kampung Tomer. Ada delapan kepala keluarga
yang diterima, dan hidup sampai sekarang di Kampung Tomer. Pada
awalnya keberadaan orang Makassar di Tomer sedikit menyulitkan
karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, dan tidak tahu tanggal
lahir sehingga untuk keperluan pengurusan Kartu Tanda Penduduk
38

Penyebutan kapal Jhonson sebenarnya adalah kapal dengan mesin merk Jhonson.
Wilayah antara kampung Tomer dan kampung Tomerau. Wilayah Kelapa 1
memiliki pantai berpasir, berbeda dengan kebanyakan pantai di Kampung Tomer
yang berlumpur.
40
Daerah pesisir yang terletak di kota Merauke.
39

lxvii

dan Kartu Keluarga menjadi terhambat. Maka oleh sekretaris


kampung diperkirakan usia mereka berdasarkan ketuaan wajah yang
sama dengan penduduk yang lain.
Di Kampung Tomer juga terdapat Suku Kanume yang pernah
tinggal di wilayah PNG. Menurut bapak NE (53 tahun) mereka adalah
penduduk Kampung Tomer yang pada saat Irian Jaya masuk ke dalam
wilayah Indonesia, pergi menetap ke wilayah PNG. Pada saat
pemerintahan Bupati Merauke Jhon Gruba Gipse, mereka dipulangkan
kembali ke Kampung awal. Jadilah saat ini mereka menempati RT 3 di
mana mereka semua tinggal saat ini. RT 3 sendiri sedikit terpisah
dengan kawasan penduduk Kampung Tomer. Wilayahnya sedikit
masuk ke dalam. Bahasa yang mereka gunakan adalah Inggris, Vigin41,
dan Motu42. Ini merupakan pengaruh dari penggunaan bahasa saat
hidup di PNG. Pada awalnya agak sulit bagi aparat desa Tomer
berkomunikasi dengan mereka karena kendala bahasa. Namun saat ini
mereka sudah bisa berbahasa Indonesia.
2.3. Geografi dan Kependudukan
Suku Kanume di Kampung Tomer merupakan suku yang
menempati wilayah yang berada di pesisir pantai dan berada dalam
kawasan Taman Nasional Wasur. Kampung ini merupakan Kampung
linier di mana rumah-rumah penduduk dominan berada di pinggir
jalan utama, kecuali RT 3 yang berada agak sedikit ke belakang.
Terdapat batas-batas tanah yang dibuat untuk membedakan wilayah
antarkampung. Batas tanah tersebut menurut bapak HH (56 tahun)
dinamakan Karl dalam bahasa Kanume, dan Kabada dalam bahasa
Marind. Batas ini merupakan galian tanah sampai ke pantai. Selain itu
batas wilayah juga bisa mengikuti batas alam seperti sungai.
Jalan utama Kampung Tomer merupakan jalan raya yang
menghubungkan antara Ibu Kota Kabupaten Merauke dengan
41
42

Bahasa daerah di PNG


Bahasa daerah di PNG

lxviii

Kampung Condo. Akses jalan tersebut terbagi dalam kondisi baik dan
kondisi yang rusak karena banyak yang membentuk kubangan. Di
musim hujan jalan-jalan menjadi lebih sulit karena hancur akibat truktruk yang mengangkut pasir. Namun demikian jalan raya yang
melewati Kampung Tomer masih dalam kondisi baik. Badan jalan
berada lebih tinggi dari tanah rumah-rumah penduduk. Di pinggir jalan
terdapat selokan-selokan yang tidak tersambung dengan baik. Di
musim hujan selokan tersebut akan menjadi genangan air. Halamanhalaman rumah juga akan menjadi genangan air apabila hujan turun.
Di halaman rumah terdapat banyak tanaman hasil program di
masa lalu. Mangga, kedondong dan jambu biji merupakan tanaman
buah yang hampir dimiliki oleh setiap rumah di Kampung Tomer.
Menurut bapak NE (53 tahun) tanaman tersebut merupakan program
pemerintah di masa lalu.
Di belakang rumah-rumah terdapat persawahan penduduk. Di
beberapa tempat khususnya di ujung Kampung Tomer, sawah berada
di muka rumah. Menurut bapak MA (54 tahun) yang pernah menjadi
penyuluh pertanian, sawah-sawah di Kampung Tomer dan sekitarnya
merupakan sawah tadah hujan yang hanya panen 1 tahun sekali. Di
musim hujan sawah-sawah bersama rumah masyarakat akan
terendam air. Saat ini sedang akan dikembangkan pencetakan sawah
baru oleh pemerintah dalam wilayah adat Kampung Tomer. Mata
pencaharian dan kegiatan masyarakat jika di musim kemarau akan
banyak beralih ke pantai, rawa dan hutan. Jarak pantai dari Kampung
Tomer sekitar 1 km. Di pantai dan rawa masyarakat dapat menangkap
ikan, udang dan kepiting.Pada musim kemarau masyarakat akan
mendirikan Bivak43 dan bermalam di pantai.
Di belakang Kampung Tomer adalah Taman Nasional Wasur
yang menurut bapak YW (52 tahun) diakui sebagai tanah adat
43

Tempat tinggal sementara yang dibuat semi permanen, biasanya atap terbuat dari
terpal dan daun lontar. Fungsinya adalah tempat tinggal sementara sambil
menunggu hasil tangkapan.

lxix

masyarakat Kanume44yang termasuk wilayah kampung Tomer. Di


daerah tersebut adalah tempat mereka berburu rusa, babi, Saham
(kangguru).
Terdapat beberapa sungai kecil dan kolam-kolam di dalam
Kampung Tomer. Sungai dan kolam tersebut merupakan tempat
mencari ikan masyarakat. Namun demikian menurut mama BD (54
tahun) sungai kecil dan rawa tersebut ditengarai sebagai tempat
pembiakan nyamuk. ...kalau musim kemarau, rawa sungai banyak
nyamuk, bisa bawa sakit... (mama BD, 54 tahun)
2.4. Transportasi Menuju Kampung Tomer
Akses jalan menuju Kampung Tomer saat ini bisa dicapai
dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Jalan raya yang
menghubungkan berbagai Kampung di distrik Naukenjerai di mulai
dari Kampung Nasem, Kampung Kuler, Kampung Onggaya, Kampung
Tomer, Kampung Tomerau dan Kampung Condo. Jalan raya tersebut
tepat membelah dua Kampung Tomer. Namun demikian beberapa
titik di jalan raya terdapat kerusakan yang cukup parah. Hal ini
menurut bapak HH (56 tahun) disebabkan oleh truk yang mengangkut
pasir secara ilegal yang terletak di sepanjang jalan raya khususnya
daerah Ndalir dan sekitarnya. Walaupun sudah dilakukan pelarangan,
penambangan pasir ilegal tetap dilakukan. Kondisi ini salah satunya
disebabkan karena kebutuhan pasir di Merauke cukup tinggi sehingga
harga pasir meningkat. Ketidaktersediaan lapangan pekerjaan juga
membuat penambang pasir tidak banyak mempunyai pilihan.
Akibatnya jalan-jalan menjadi hancur karena tidak sanggup menahan
beban truk pasir. Hal inilah yang menurut bapak HH (56 tahun)
menyebabkan badan jalan raya menjadi hancur.
Pada musim hujan menurut bapak HH (56 tahun) kondisi jalan
menjadi lebih parah, jalan-jalan yang hancur menjadi kubangan tanah.
44

Menurut cerita bapak bapak HH (56 tahun) dahulu saat pemerintah menetapkan
wilayah Taman Nasional Wasur tidak bermusyawarah dengan suku Kanume,
sehingga tanah adat Kanume kini berada dalam kawasan Taman Nasional tersebut.

lxx

Banyak kendaraan roda empat yang terpendam, sehingga dibutuhkan


truk lain untuk menarik. Mobil-mobil roda empat yang bisa melewati
jalan raya ke Tomer adalah yang memiliki mesin besar seperti Hilux
dan Ranger. Sedangkan mobil dengan kapasitas mesin biasa akan
terpendam dan sulit melewati medan jalan. Sedangkan kendaraan
roda dua relatif bisa melewati medan jalan walaupun terkadang harus
didorong ketika mesin mati kemasukan air dan lumpur.
Di tengah Kampung Tomer sendiri jalan relatif bagus dan dapat
dilewati kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Sedangkan
jalan menuju Tomerau dari Tomer terdapat beberapa titik jalan yang
hancur sehingga pada musim hujan menurut bapak HH (56 tahun)
tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Kondisi jalan dari Kampung
Tomerau ke Condo juga banyak yang rusak sehingga sulit dilalui
kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Salah satu kendaraan
yang digunakan untuk mencapai Tomerau dan Condo pada saat
musim penghujan menurut ibu AK (28 tahun) adalah zonder45. Tenaga
kesehatan Distrik Naukenjerai sering menggunakan zonder untuk
melakukan pengobatan rutin bulanan ke daerah Tomerau dan Condo.

Gambar 2.1. Jalan Rusak Menuju Kampung Tomer


(Sumber: Dokumentasi Peneliti, Maret 2015)

Kendaraan umum menuju Tomer dari dan ke Merauke tidak


rutin. Hanya ada satu kendaraan umum yang bisa digunakan, milik ibu
45

Kendaraan zonder adalah sejenis alat berat yang memiliki tenaga besar untuk
melewati medan berlumpur dan kubangan air.

lxxi

IM (41 tahun) yang juga berprofesi sebagai kader kesehatan di


Kampung Tomer. Setidaknya ada tiga kali seminggu keberangkatan
mobil umum dari Tomer ke Merauke dan sebaliknya. Ongkosnya
menurut ibu IM (41 tahun) adalah 10 ribu perorang jika penumpang
penuh. Namun jika penumpang sedikit makan ongkos mobil penuh
ditanggung oleh penumpang yang ada. Kebanyakan orang yang ingin
ke Tomer harus menyewa mobil dengan harga 13 juta perhari pulang
pergi. Sedangkan harga sewa zonder dari wilayah Onggaya ke Condo
bisa mencapai 56 juta per hari dengan bahan bakar minyak
ditanggung penyewa.
Selain dengan kendaraan darat, untuk mencapai KampungKampung di Naukenjerai bisa menggunakan kapal cepat atau disebut
juga secara umum sebagai kapal Jhonson. Dari Meraukeke Condo
biaya sewa kapal Jhonson adalah 2-3 juta. Hal ini bisa terjadi karena
kampung-kampung di Naukenjerai berada di pesisir pantai.

Gambar 2.2. Kuda Dahulu Digunakan Sebagai Alat Transportasi


di Kampung Tomer
(Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015)

Jauh sebelum ada jalan raya, ketika jalan yang


menghubungkan antarkampung masih jalan setapak, penduduk di
Naukenjerai menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Sisa

lxxii

peninggalan penggunaan transportasi ini terlihat dari banyaknya


penduduk yang masih memiliki kuda di setiap rumahnya. Kuda
sekarang digunakan sebagai kendaraan berburu dan menggiring sapi.
Namun penggunaan kuda sebagai alat transportasi tidak sepenuhnya
ditinggalkan. Penggunaan kuda sebagai alat transportasi masih
digunakan ketika kondisi jalan buruk dan musim hujan. Biasanya
Penduduk Tomer akan menggunakan kuda untuk mencapai Kampung
Tomerau dan Kampung Condo.
2.6 Tempat Tinggal di Kampung Tomer
Rumah-rumah penduduk kampung Tomer kebanyakan adalah
rumah yang dibangun oleh pemerintah. Bentuknya persegi panjang
dengan ukuran sekitar 8 meter x 6 meter. Untuk rumah baru yang
dibangun pemerintah bentuknya sudah permanen dengan dinding
semen dan atap seng. Sedangkan rumah-rumah lama masih dibangun
semi permanen dengan dinding kayu dan pondasi semen dan beratap
seng. Sedangkan rumah-rumah asli penduduk Tomer sudah tidak
ditemukan lagi.

Gambar 2.3. Model Rumah Lama Bantuan Pemerintah


(Sumber: Dokumentasi Peneliti, April 2015)

Bagian rumah rata-rata terdiri dari teras, baik yang bersemen


ataupun tidak. Selanjutnya ada ruang tamu, kamar berjumlah satu
atau dua dan ruang kosong lainnya dekat pintu belakang yang

lxxiii

berfungsi macam-macam46, bisa berfungsi sebagai tempat tidur, bisa


tempat menyimpan barang atau tidak digunakan untuk apapun.
Rumah di Tomer rata-rata memiliki halaman yang cukup luas.
Karena kebanyakan letaknya di pinggir jalan, maka jarak rumah ke
jalan raya rata-rata 10 meter. Sehingga halaman depan rumah cukup
lapang. Halaman depan biasanya hanya berisi rumput dan beberapa
tanaman keras atau bunga-bunga. Di ujung halaman dekat jalan
biasanya ada pagar kayu yang dibangun masyarakat. Tidak ada
pemanfaatan khusus terhadap halaman depan. Kalaupun ada
biasanya dibangun parapara47 di bawah pohon besar atau menempel
pada pagar. Fungsi parapara menurut mama DL (52 tahun) adalah
tempat duduk santai baik pada siang hari maupun malam hari.
Selain rumah utama, di belakang rumah terdapat gubuk atau
ada juga yang menyebutnya Bivak.Gubuk ini adalah bangunan yang
terbuat dari kayu dengan atap seng maupun dari daun gebang atau
kulit kayu bush dan tanpa dinding. Gubuk juga berfungsi sebagai
dapur untuk memasak dan menyimpan barang-barang seperti pupuk,
bahan makanan, dan peralatan. Di dalam gubuk biasanya terdapat
paraparauntuk duduk ataupun sengaja membawa kursi untuk duduk
di gubuk tersebut.

46

Menurut mama DL (52 tahun) fungsi ruang kosong dekat pintu belakang biasanya
tergantung situasi. Jika keluarga yang anaknya banyak maka ruang tersebut bisa
digunakan sebagai tempat tidur. Terkadang digunakan juga untuk menaruh barangbarang sementara.
47
Tempat duduk kayu yang cukup lebar (seperti meja pendek) untuk tempat duduk.

lxxiv

Gambar 2.4. Tempat Memasak Yang Merupakan Bagian Dari Gubuk Pada
Suku Kanume Di Kampung Tomer
(Sumber: Dokumentasi Peneliti, April 2015)

Bisa dikatakan aktifitas keluarga lebih banyak dilakukan di


gubuk dibandingkan rumah utama. Di gubuk, penduduk biasa dudukduduk untuk mengobrol dan memakan pinang. Bahkan bertamupun
dilakukan di gubuk. Menurut mama DL (52 tahun) jika mengobrol di
dalam rumah terasa tidak bebas dan tidak santai. Selain itu di gubuk
juga dianggap lebih dingin dibandingkan di dalam rumah. Di saat sore
dan malam, di gubuk dinyalakan api untuk menghasilkan asap sebagai
media mengusir nyamuk.
Selain gubuk, di sekitar rumah penduduk Tomer juga terdapat
tempat menambat binatang, baik kuda ataupun sapi. Binatang di
Tomer jarang menggunakan kandang, kecuali babi. Menurut bapak
HH (56 tahun) kebiasaan menambat piaraan di alam bebas sudah
dilakukan dari dulu, ditambah wilayah Kampung Tomer dan sekitarnya
relatif aman. Sedangkan babi harus mendapatkan pemeliharaan
khusus sehingga menggunakan kandang, sebab bagi masyarakat babi
cukup penting untuk upacara-upacara adat Suku Kanume.
Jamban terletak agak terpisah dengan bangunan utama.
Biasanya ada bangunan tersendiri. Sumurpun terletak di luar rumah
dan biasanya untuk mengambil air menggunakan timba. Listrik

lxxv

sampai saat ini belum masuk ke Kampung Tomer. Untuk penerangan


penduduk biasanya menggunakan pelita atau genset. Untuk berjalan
di malam hari penduduk Kampung Tomer biasanya menggunakan
senter.
2.7. Penduduk Eks Pelarian di Papua New Guinea (PNG)
Menurut bapak NE (53 tahun) penduduk RT 3 merupakan eks
masyarakat yang pernah tinggal di daerah Papua New Guinea. Sejak
tahun 1961 mereka sudah meninggalkan Kampung Tomer dan
menetap di Kampung Bula PNG. Awalnya mereka pergi meninggalkan
Kampung Tomer karena takut dengan perang antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Belanda. Isu keamanan membuat
mereka memutuskan mencari tempat aman. Sebenarnya penduduk
Kampung Tomer yang pindah mengungsi ke PNG hanya 1 keluarga,
yaitu keluarga Domingus. Mereka pergi ke PNG mengikuti istri
Domingus yang asli Marind dan berasal dari Kampung Nasem. Istri
Domingus mengikuti keluarganya yang akan mengungsi. Karena anakanak masih kecil, maka Domingus dan kedua anaknya ikut mengungsi
mengikuti ibunya. Mereka yang Kanume, mengikuti keluarga Marind
yang akan pindah ke PNG.
Setelah empat puluh delapan tahun di Kampung Bula PNG,
mereka mengikuti program pemulangan warga negara Indonesia yang
diadakan pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Saat kembali
mereka sudah beranakpinak dan telah menjadi 18 KK. Setelah
ditampung 1,5 tahun di transito Merauke, maka pada tahun 2006
mereka kembali ke Tomer. Di Kampung Tomer mereka ditempatkan di
lokasi yang terpisah dengan rumah-rumah penduduk. Lokasi mereka
agak ke dalam, sedikit jauh dari jalan utama. Tempat tinggal mereka
dijadikan RT tersendiri, RT 3. YG (52) menceritakan bahwa mereka

lxxvi

semua yang berada di RT 3 memiliki ikatan saudara. Dalam satu


rumah di RT 3 terdapat 3 sampai 5 kepala keluarga48.
Menurut bapak YM (48 tahun) yang besar di Kampung Bula
PNG namun memiliki darah Kanume, masyarakat RT 3 memiliki
kompleksitas sosial. Di satu sisi mereka masih merasa asing di tanah
yang justru tempat leluhur mereka. Kesungkanan melihat perubahan
di Kampung Tomer ditambah lokasi tempat tinggal yang terpisah
membuat interaksi dengan Kampung besar49 menjadi terbatas. Selain
itu kendala bahasa menjadi masalah dalam berkomunikasi di saat-saat
awal interaksi. Empat puluh delapan tahun di PNG membuat mereka
kesulitan berbahasa Indonesia. Yang mereka kuasai justru bahasa
Inggris, Vigin, dan Muta. Komunikasi dengan penduduk Kampung
Tomer yang lain menjadi terhambat50.
Sebagai masyarakat yang bertahun-tahun mengenal pantai
dan lautan, maka pertanian adalah sesuatu yang baru. Maka pada saat
diperkenalkan pada pertanian, masyarakat RT 3 seperti memulai lagi
pelajaran hidup dari awal. Ini juga berhubungan dengan pola makan
mereka yang awalnya tidak mengenal beras. Perkenalan dengan beras
mewajibkan mereka mengenal pertanian dan mulai menanam padi
agar dapat bertahan hidup.
Saat ini masyarakat RT 3 sudah mulai panen yang ke empat
dalam 10 tahun mereka kembali ke Kampung Tomer. Untungnya ilmu
kelautan mereka tidak hilang begitu saja. Pantai dan rawa Tomer yang
48

Keluarga luas (extended family), keluarga seperti ini merupakan kesatuan-kesatuan


erat dari 2 sampai 4 keluarga batih yang tinggal dan hidup bersama berdasarkan
hubungan saudara sekandung, atau hubungan orang tua dan anak, dengan jumlah
bervariasi antara 10 sampai 20 orang (Koentjaraningrat, 1985:52).
49

Sebutan masyarakat RT 3 terhadap lokasi penduduk Kampung Tomer yang berada


di sekitar jalan besar.
50
YM (48 tahun) mengatakanakhir-akhir ini kendala bahasa sudah mulai diatasi
sehingga komunikasi sudah mulai bisa dilakukan, hanya saja interaksi sosial sudah
terlanjur agak renggang.

lxxvii

kaya akan ikan memberikan mereka kesempatan untuk tetap


mempertahankan ilmu nelayan. AM (23 tahun) yang lahir dan sempat
besar di Kampung Bula PNG pernah mengatakan bahwa masyarakat
RT 3 memang lebih baik dan lebih profesional dalam menangkap dan
mengolah hasil ikan yang mereka peroleh.
Menurut bapak YM (48 tahun) pertanian digunakan RT 3 untuk
menstok beras hingga musim tanam berikutnya. Rata-rata masyarakat
Kampung Tomer memilih satu kali panen dalam satu tahun. Dan mulai
beralih profesi menjadi nelayan setelah panen padi pertama selesai.
...semua juga sama, 1 kali (panen) dalam 1 tahun... (bapak YM, 48
tahun)
Hal yang sama dilakukan oleh masyarakat RT 3 Kampung
Tomer. Setelah panen mereka akan lebih memfokuskan pekerjaan
mereka dengan menangkap ikan. Hasil tangkap ikan mereka jual segar
sebagian dan sebagian besar diolah menjadi ikan asin. Dari dua hasil
tersebut masyarakat Kampung Tomer mencoba bertahan hidup.
Interaksi juga terbatas awalnya karena faktor bahasa.
Selanjutnya interaksi di bidang agama juga terbatas karena perbedaan
keyakinan. Jika penduduk asli dan Timor di Kampung besar mayoritas
beragama Protestan, maka masyarakat RT 3 mayoritas beragama
Katolik. Tempat ibadah mereka menjadi berbeda dan kegiatan
keagamaan menjadi tidak bersama. Mengenai interaksi yang terbatas
antara masyarakat RT 3 dengan masyarakat kampung besar.
...Itu RT 3 susah berkomunikasi dengan kita karena bahasanya
beda, mereka kurang bisa bahasa Indonesia, tapi pintar bahasa
Inggris. mungkin itu bawaan waktu di PNG... (bapak NE, 53
tahun)
Menurut bapak YM (48 tahun) sebenarnya orangtua mereka
dahulu beragama Protestan. Bahkan gereja Protestan di Kampung
Tomer salah satunya didirikan oleh bapak YM. Namun pada saat
mengungsi ke PNG, layanan agama yang tersedia hanyalah untuk

lxxviii

Katolik, kondisi ini membuat pengungsi rata-rata memilih untuk


pindah agama. Masih menurut bapak YM (48 tahun) keturunan
Domingus sebenarnya adalah orang Suku Kanume dengan marga
Gelambu. Namun karena mereka hanya satu keluarga dan mengikuti
keluarga Marind saat mengungsi, maka mereka menggunakan
identitas Marind. Hal ini membuat semua Kanume dalam satu
keturuan Domingus menggunakan marga Mahose yang justru dimiliki
oleh suku Marind. Perubahan marga ini juga menjadi sorotan bagi
Suku Kanume yang ada di Kampung Tomer. Masyarakat RT 3 mengaku
sebagai Suku Kanume namun secara identitas menggunakan marga
Mahose.
...kami juga bingung, anak.. (sebutan untuk peneliti), itu
bapak YM, bapak YG, bapak JM pakai itu (marga) Marind,
bapak sudah bilang dengan kepala adat... (bapak AG, 35
tahun).
Bapak YM (48 tahun) menceritakan bahwa dalam berbagai
kegelisahan masyarakat RT 3 bertahan dalam melanjutkan hidup.
Semua aktifitas mereka coba ikuti walau dengan banyak pertanyaan.
Budaya PNG yang mereka dapati sedari kecil ikut mewarnai kehidupan
mereka. Bahasa adalah yang paling mudah dilihat. Selain itu juga ada
pengetahuan kesehatan dan keterampilan medis tersendiri.
Kemampuan mereka berbahasa Inggris juga ikut memberikan nuansa
positif bagi mereka karena dapat memperoleh informasi dari bacaan
asing. Salah satunya adalah buku kesehatan tentang there is no
doctor. Buku pegangan kesehatan yang mereka miliki saat mengalami
sakit dan kecelakaan.

lxxix

2.8. Religi
Menurut bapak AL (66 tahun) dalam kepercayaan awal51Suku
Kanume mereka percaya bahwa ada zat utama yaitu Allahwi. Kata ini
sudah ada sebelum agama-agama baru masuk ke Suku Kanume.
Sehingga ketika agama Kristen masuk ke Merauke, suku Marind Anim
ikut saja dan tidak menolak karena mereka sudah percaya sebelumnya
tentang zat Allahwi.
...sebelum Kristen datang, suku Marind (termasuk Kanume)
sudah mengenal kata Allahwi sebagai penguasa alam, jadi
ketika Kristen masuk, mereka terima saja karena sama...
(bapak Al, 66 tahun)
Zat Allahwi mereka percaya sebagai penguasa alam dan jauh
lebih tinggi dari deme/dema. Sehingga dalam kepercayaan mereka
ketika mati maka mereka menghadap Allahwi, sedangkan jika di dunia
mereka meminta kepada deme/dema. Kenapa deme/demamenempati
posisi meminta, ini dikarenakan deme/demamereka percaya sebagai
nenek moyang mereka. ...ada kepercayaan pada Marind (termasuk
Kanume) bahwa Dema akan membantu keturunannya... (bapak AL,
66 tahun).
Saat ini menurut bapak HH (56 tahun) Suku Kanume banyak
memeluk agama Kristen Prostestan dan Katolik dengan tidak
meninggalkan kepercayaan mereka terhadap Deme dan Allahwi.
Agama Kristen menjadi mudah diterima dikarenakan peran misionaris
yang intens hadir di tengah-tengah masyarakat sejak jaman kolonial

51

Bagian yang menyertai setiap orang dari masa lalu, ialah apa yang dinamakan
kepercayaan. Agama itu datang dengan berbagai nama dan bentuk, namun agama
sebenarnya berhubungan dengan kepercayaan kepada dewa atau dewa-dewa di
dalam suatu bentuk kekuatan gaib, yang menguasai bumi dan mengatur nasib
semua yang hidup di dalamnya (Isaacs, 1983:190).

lxxx

Belanda52. Menurut bapak AK (28 tahun) pemberian bantuan


pengobatan dan pendidikan membuat agama Kristen dapat diterima
dan menjadi agama baru bagi Suku Kanume. Salah satu cerita yang
sering didengar adalah ketika penyakit kusta banyak menyerang suku
di Papua. Keberadaan pastor yang dapat menyembuhkan penyakit
tersebut menjadi alasan Suku Kanume masuk ke agama Kristen.
Kedudukan pastor dan pendeta juga menjadi penting dalam struktur
sosial53Suku Kanume.
Di Kampung Tomer sendiri agama yang umum adalah
Protestan, Katolik dan Muslim. Masing-masing agama dapat
dilekatkan pada suku-suku tertentu walaupun pada beberapa individu
terjadi perpindahan agama karena aktor perkawinan.
Agama
Protestan merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh
Kampung Tomer. Menurut mama DL (52 tahun) peran misionaris pada
awal sejarah penyebaran agama yang berasal dari Timor sangat besar
dalam menyebarkan agama Protestan di tengah masyarakat. Peran
gereja Protestan yang mendampingi kehidupan masyarakat diterima
dengan baik dan menjadi agama kebanyakan penduduk Tomer.
Pemeluk agama Protestan di Kampung Tomer berasal dari Suku
Kanume, Marind, dan Timor. Saat ini di Kampung Tomer terdapat satu
gereja Protestan. Di samping itu di Kampung Tomer terdapat juga
pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang
dikelola yayasan Kristen Protestan.

52

Penyiaran agama Kristen mulai di daerah itu sejak tahun 1911; mulai tahun 1913
sudah ada di antara penduduk yang dikristenkan, sedangkan dalam tahun 1920
Belanda mulai menempatkan pemerintah jajahannya (Koentjaraningrat, 1985:2627).
53
Menurut NE (53) gereja dapat memberikan sashi, semacam larangan terhadap
benda-benda tertentu. Larangan gereja ini diikuti oleh masyarakat Kanume di
kampung Tomer.

lxxxi

Gambar 2.5. Tempat Ibadah Agama Katolik Di Rt 3 Kampung Tomer

(Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015)


Agama Katolik banyak dipeluk oleh Suku Kanume yang berada
di RT 3 Kampung Tomer. Mereka yang pernah tinggal di PNG telah
memeluk agama Katolik sebelumnya. Saat ini di RT 3 terdapat gereja
Katolik.
Agama Islam banyak dianut oleh penduduk pendatang,
khususnya dari pendatang Jawa dan Makassar. Agama Islam adalah
agama bawaan yang mereka anut dari daerah asal. Saat ini di
Kampung Tomer terdapat satu masjid yang dilengkapi fasilitas tempat
TPQ (Taman Pendidikan Quran) bagi anak-anak.

Gambar 2.6. Tempat Ibadah Umat Islam

(Sumber: Dokumentasi Peneliti, April 2015)


Kehidupan beragama penduduk Kampung Tomer berjalan
secara aktif, khususnya bagi agama Protestan. Banyak aktifitas yang
berlangsung di luar ibadah rutin setiap minggunya. Gereja Protestan

lxxxii

membentuk perkumpulan-perkumpulan bagi penduduk, diantaranya


adalah; Perwalansia (Persekutuan Wadah Lanjut Usia), Perwata
(Persekutuan Wadah Wanita), Perwaba (Persekutuan Wadah Bapakbapak), Perwaja (Persekutuan Wadah Anak dan Remaja). Setiap
wadah yang dibentuk gereja memiliki aktifitas masing-masing yang
berhubungan dengan ibadah serta hal-hal lain yang menyangkut
kelompoknya.Agama Katolik juga memiliki aktifitas ibadah setiap
minggunya. Keberadaan mereka yang di bawah keuskupan Merauke
membuat berbagai kegiatan keuskupan juga banyak dilakukan oleh
pemeluk agama Katolik di RT 3 Kampung Tomer.
Agama Islam selain memiliki ibadah rutin 5 waktu juga
memiliki aktifitas pembelajaran alquran bagi anak-anak di TPQ (Taman
Pendidikan Quran). Walaupun menurut bapak MA (54 tahun) salah
seorang pengurus masjid terkadang proses TPQ berjalan naik turun
karena anak-anak yang belajar mengaji kadang semangat dan
terkadang bosan.
Menurut bapak MA (54 tahun) kehidupan beragama
antarpemeluk agama juga berjalan baik. Masing-masing pemeluk
agama saling menghormati dan saling membantu agama lain. Salah
satu contohnya adalah ketika kematian terjadi pada mereka yang
beragama Islam, maka dari yang menggali kubur, menyiapkan
keranda, dan mempersiapkan pengajian adalah dari berbagai agama.
Tidak ada pembatas untuk berpartisipasi. kalau di sini kerukunannya
bagus, gak ada pembedanya. Ini waktu bangun masjid juga dibantu
sama orang asli. Kita juga bantu waktu mereka bangun gereja. (bapak
MA, 54 tahun)
Masih menurut bapak MA (54 tahun) yang juga salah seorang
tokoh muslim di kampung Tomer, pada setiap perayaan lebaran
maupun natal terjadi saling mengundang untuk merayakan bersama.
Kondisi ini membuat kerukunan beragama di Kampung Tomer dapat
berjalan baik. Bentuk kerukunan tersebut juga terlihat dari
pertemuan-pertemuan Kampung yang diadakan. Pada setiap

lxxxiii

permulaan acara selalu diawali dan diakhiri oleh doa. Uniknya adalah
jika permulaan kegiatan diawali oleh doa dari agama Islam maka
penutupan diakhiri oleh doa dari agama Protestan, begitupun
sebaliknya.
kalau di sini toleransinya tinggi, mau Islam mau Kristen tetap
saling bantu. Kalau ada yang kena musibah semua turun (turut
membantu). Terus walaupun muslim sini pendatang tapi kalau
acara resmi, doanya gantian, kalau yang buka (doa
pembukaan) Islam maka yang nutupnya (doa penutup)
Kristen. Kalau yang bukanya (doa pembuka) Kristen terus yang
nutupnya (doa penutup) Islam. (MA, 54 tahun)
Hal itu adalah bentuk kesepakatan yang telah diambil oleh
masyarakat Tomer untuk menjaga keharmonisan antarpemeluk
agama.
2.9. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Suku Kanume diikat dengan marga dalam hubungan
kekerabatan. Namun demikian secara umum Suku Kanume bergabung
dalam Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang merupakan upaya yang
mereka lakukan dalam memperjuangkan hak-hak Suku Kanume.
Khususnya dalam lahan yang sering berkonflik. LMA berfungsi sebagai
lembaga yang memediasi persoalan yang berhubungan dengan adat.
LMA selain ada di kabupaten juga terdapat disetiap Kampung dalam
bentuk kepala adat54.
Di Kampung Tomer sendiri terdapat beberapa organisasi baik
yang berlatar belakang agama, budaya maupun kesehatan. Untuk
yang berlatar agama khususnya Protestan terdapat Perwalansia
54

Orang-orang yang dianggap menguasai aturan adat dan diangkat sebagai kepala
suku pada komuniti lokal, biasanya dipakai oleh pihak pemerintah guna menjalankan
misi pemerintah untuk mendapatkan akses yang selama ini dipegang oleh komuniti
(Rudito dan Famiola, 2013:29).

lxxxiv

(Persekutuan Wadah Lanjut Usia), Perwata (Persekutuan Wadah


Wanita), Perwaba (Persekutuan Wadah Bapak-bapak), Perwaja
(Persekutuan Wadah Anak dan Remaja). Sedangkan yang berlatar
Islam adalah TPQ.
Untuk organisasi yang berlatar budaya adalah adanya
pembentukan kepala adat bagi suku-suku yang ada di Kampung
Tomer. Sehingga di Kampung Tomer tidak hanya ditemui kepala adat
Suku Kanume, tetapi juga terdapat kepala adat suku Jawa, kepala adat
suku Makassar, kepala adat suku Timor. Keberadaan kepala adat
masing-masing suku ini untuk dijadikan rujukan bagi anggotanya.
Di bidang kesehatan terdapat Posyandu (Pos Pelayanan
Terpadu) dan Poslansia (Pos Layanan Lanjut Usia). Posyandu dimulai
setiap tanggal 11 setiap bulannya dan tanggal 13 untuk Poslansia.
Keberadaan dua pos tersebut membantu kesehatan yang ada di
tengah masyarakat Kampung Tomer. Selain itu juga terdapat 5 kader
kesehatan di Kampung Tomer yang membantu program-progran
kesehatan di tengah masyarakat.
Menurut bapak YW (52 tahun) Suku Kanume memiliki sistem
pemerintahan sendiri. Pada setiap Kampung ada ketua adat Suku
Kanume yang bertugas untuk mengatasi permasalahan internal Suku
Kanume atau yang berhubungan dengan Suku Kanume. Sedangkan
untuk pemimpin seluruh Suku Kanume maka ada satu orang yang
diangkat sebagai kepala suku. ...tiap kampung ada kepala adat
Kanume, kalau kepala Suku Kanume ada di Sota, adat di kampung itu
urusan kepala adat... (YM, 52 tahun).
Pada awalnya masa jabatan kepala suku adalah seumur hidup
atau sampai yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi secara
kesehatan namun pada tahun 2015 ini sedang dirancang pemilihan
kepala suku dengan periode waktu tertentu. Bulan april 2015 telah
terjadi pemilihan ketua Suku Kanume yang baru.

lxxxv

2.10. Pengetahuan
Penuturan ibu DL (52 tahun),pengetahuan di masyarakat
Tomer didapatkan secara turun temurun, khususnya dalam hal
kepemilikan tanah dan kesehatan. Kepemilikan tanah didasarkan pada
cerita turun-temurun yang diperkuat oleh kesaksian keluarga lain yang
mengetahui hal tersebut. Sementara pengetahuan kesehatan mereka
dapatkan melalui praktik langsung pada saat menghadapi penyakit
tertentu. Masalah kesehatan salahsatunya diatasi dengan tanamantanaman yang ada di sekitar lingkungan mereka. Namun jika sudah
dianggap berat maka mereka akan merujuk kepada dukun-dukun
Kampung yang ada di wilayah mereka. Dukun kampung inilah yang
menjadi referensi pengetahuan kesehatan sebelum adanya dokter,
mantri dan bidan.
Dalam hal pendidikan anak keluarga Suku Kanume
melibatkannya dalam aktifitas keseharian seperti memancing,
berburu, dan melaut. Situasi tersebut membuat pendidikan formal
seperti sekolah menjadi terhambat dalam mendidik anak-anak Suku
Kanume. Bapak OK (30 tahun) salah satu direktur lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan bercerita bahwa Suku Kanume yang
mengenyam pendidikan masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan
konsep pendidikan formal belum begitu menjadi pola kebiasaan Suku
Kanume. Anak-anak Suku Kanume yang bersekolah juga masih banyak
yang tidak menamatkan sekolah karena faktor orang tua yang tidak
mendorong anaknya menyelesaikan sekolah. Tak jarang justru anakanak dibawa oleh orang tua ke hutan untuk berburu ketika jam
sekolah. Pengetahuan Suku Kanume tentang permasalahan hidup
diperoleh berdasarkan pengalaman bersama dan praktik langsung di
lapangan. Kemampuan mereka lebih ditujukan pada bagaimana
mempertahankan diri dalam kehidupan dalam bentuk pencarian
bahan makanan.
Terdapat dua lembaga pendidikan di Kampung Tomer yang
dikelola lembaga pendidikan Kristen Protestan. Yang pertama adalah

lxxxvi

sekolah dasar dan yang kedua adalah sekolah menengah pertama.


Kedua sekolah ini membantu pendidikan penduduk Kampung Tomer.
Menurut OK (30 Tahun) pemahaman orang tua terhadap pentingnya
pendidikan masih belum tinggi. Tak jarang pada saat jam-jam sekolah
anak-anak diajak berburu ke hutan sehingga pendidikan menjadi
terbengkalai. penyebab anak-anak tidak tamat sekolah itu orangtua,
mereka sering ajak anak ke hutan padahal anak sekolah. (bapak OK,
30 tahun).
2.11. Pemahaman Tentang Kerusakan Lingkungan
2.11.1. Penambangan Pasir
Dalam salah satu ceritanya HH (56 tahun) mengungkapkan
kegelisahannya tentang penambangan pasir ilegal. Isu ini belakangan
mulai mengganggu lapisan masyarakat. Pasir-pasir yang diangkut dari
wilayah kuler diambil dari sekitar pantai dan pinggir jalan....itu bapak
Bupati sudah larang orang ambil pasir, tapi orang tetap ambil pasir,
akhirnya jalan rusak, kita susah lewat... (bapak HH, 56 tahun).
Salah satu akses yang penting dalam pengambilan pasir adalah
jalan. Penambangan pasir ilegal mulai marak dilakukan semenjak
akses jalan dapat dimasuki oleh truk pasir. Penambangan pasir dapat
berlangsung marak karena permintaan pasir dari Merauketerbilang
tinggi. Sebagai salah satu distrik yang terdekat ke ibukota kabupaten,
pasir dari Naukenjerai memegang peranan penting. Harga pasir yang
cukup berharga dalam pandangan masyarakat menjadi alasan
mengapa penambangan ini terus berlangsung. Pengumpul mengambil
pasir dari pekerja sebesar 600 rb per truk. Setelah dibawa ke
Meraukemaka harga pasir bisa mencapai 1,2 -1,3 juta pertruk. Tidak
adanya lapangan pekerjaan lain menjadi alasan penambang pasir
untuk terus melakukan pekerjaan tersebut.
Pengambilan pasir di pantai ditengarai menjadi penyebab
hancurnya pantai-pantai di pesisir distrik Naukenjerai. Menurut HH
(56 tahun) dahulunya pantai-pantai di Naukenjerai berpasir, namun
setelah ada penambangan pasir ilegal, pantai-pantai berubah menjadi

lxxxvii

endapan lumpur. Belum ada tindakan tegas dari pemerintah dalam


menindak penambang pasir ilegal. Walaupun jalur dari distrik
Naukenjerai ke Merauke hanya satu, namun upaya pembukaan pos
jaga tidak dilakukan.
Salah satu efek negatif dari penambangan pasir adalah
hancurnya akses jalan yang tidak mampu menahan beban truk pasir.
Akibatnya banyak lubang besar di jalan. Di musim hujan kondisi jalan
akan lebih buruk lagi sehingga akses kendaraan roda dua dan empat
menjadi terganggu.
Pandangan masyarakat terhadap penambangan pasir juga ada
yang mendukung. Ada alasan bahwa sebagai bentuk partisipasi
pembangunan terhadap daerah. Namun demikian rata-rata
masyarakat merasa terganggu terhadap aktifitas penambangan pasir
yang merusak akses jalan dan pesisir pantai di Naukenjerai tersebut.
2.11.2. Ilegal Logging
Kayu sebagai kebutuhan pembangunan merupakan salah satu
elemen yang penting. Letak Kampung Tomer yang berbatasan dengan
Taman Nasional Wasur membuat kebutuhan kayu tergantung dengan
taman nasional tersebut. Namun demikian wilayah taman nasional
juga diakui sebagai wilayah adat bagi Suku Kanume. Menurut DM (35
tahun) Taman Nasional Wasur merupakan tempat berburu bagi Suku
Kanume. Wilayah tersebut merupakan tempat berburu khususnya di
musim kemarau. Banyak rusa, Saham (kangguru), dan babi di Taman
Nasional. Selain berburu Taman Nasional juga menyediakan kayu
untuk kebutuhan pembangunan rumah masyarakat.
Namun demikian dengan adanya pendatang, maka kawasan
Taman Nasional Wasur juga dimanfaatkan oleh pendatang untuk
berburu dan mencari kayu. Pendatang tidak hanya mencari kayu
untuk digunakan sebagai kebutuhan pribadi, tetapi juga mulai
dibisniskan. Pohon yang sering digunakan untuk diambil kayunya
adalah pohon bush. Menurut JS (20 tahun) yang sering menebang

lxxxviii

kayu di hutan, pohon bush di taman nasional bisa sekeliling lingkar


tangan dewasa. Mereka mengambil kayu bush dengan memanfaatkan
sinso55 dan mengangkutnya ke Kampung dengan sapi pekerja. Harga
satu kubik kayu bush di Kampung mencapai 1,2 juta. Saat ini kayu hasil
Taman Nasional hanya bisa digunakan untuk kerperluan di Kampung
Tomer, karena jika dibawa ke Merauke maka akan ditangkap. Sampai
saat ini belum ada tindakan bagi pengambil kayu di hutan tersebut.
Mereka mengambil ke hutan karena kayu bush besar di Kampung
sudah habis. Kayu bush yang tersisa di Kampung hanya kayu bush
sebesar paha orang dewasa.
Muncul kegelisahan dari Suku Kanume melihat perilaku
pendatang yang mengambil kayu di Taman nasional yang mereka akui
sebagai wilayah adat mereka. ...kami orang Papua susah ganti baju,
itu mereka ambil kayu di sini, ada perasaan tidak enak.. anak (sapaan
untuk peneliti)... (bapak AG, 35 tahun). Saat ditanya apa yang
seharusnya dilakukan melihat perilaku pendatang tersebut, AG hanya
terdiam.
2.12. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari di
Kampung Tomer adalah bahasa Indonesia. Hal ini dimungkinkan
karena Kampung Tomer terdiri atas beberapa suku yang tinggal dalam
satu tempat. Bahasa Indonesia menjadi pengantar bagi komunikasi
antar penduduk. Dalam prakteknya terjadi penggunaan bahasa daerah
masing-masing suku menjadi bahasa bersama dalam keseharian.
Terjadi pertukaran bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Dari bahasa
Timor dikenal kata pak cek, mak cek, sagero dan sophie. Dari Marind
dikenal kata kahose. Dari bahasa Makassar kata daeng digunakan
untuk penyebutan mereka yang dari Sulawesi. Suku Jawa di Kampung
Tomer sudah menggunakan bahasa Indonesia logat Merauke yang
membuat logat Jawa mereka mulai menipis. Walaupun demikian
55

Alat potong gergaji mesin

lxxxix

istilah-istilah Jawa tetap menyelip dalam obrolan sesama mereka. Dari


semua bahasa daerah, hanya bahasa Indonesia yang betul-betul
digunakan untuk berkomunikasi di Kampung Tomer.
Oleh karena itu hambatan komunikasi akan muncul saat
seseorang atau kelompok tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Hal ini menurut cerita NE (53 tahun) pernah terjadi pada masyarakat
RT 3. Mereka yang saat itu baru kembali dari PNG tidak memiliki
pengetahuan tentang bahasa Indonesia. Pada akhirnya komunikasi
menjadi tidak berjalan karena masyarakat RT 3 hanya bisa berbahasa
Inggris, Vigin dan Mota, sedangkan masyarakat Kampung besar Tomer
tidak bisa mengerti bahasa yang digunakan oleh RT 3. Untungnya saat
ini masalah bahasa sudah bisa diatasi karena sedikit demi sedikit
masyarakat RT 3 sudah mengerti dan bisa berbahasa Indonesia.
Namun demikian bahasa Inggris, Vigin dan Mota yang mereka kuasai
tidak dihilangkan begitu saja. Oleh karena itu dalam kehidupan seharihari masyarakat RT 3,akan terdengar komunikasi yang menggunakan
berbagai bahasa56 dalam satu percakapan.
Masih menurut bapak NE (53 tahun) kendala bahasa juga
ditemui pada masyarakat Makassar di Kampung Tomer, khususnya
mereka yang baru saja memasuki Kampung Tomer pada tahun 2007.
Mereka yang berasal dari Jenipontoh sama sekali tidak menguasai
bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa untuk berkomunikasi hanya
dilakukan dengan bahasa daerah mereka. Untungnya sudah ada
beberapa suku Makassar yang sudah lama tinggal di Kampung Tomer,
sehingga untuk berkomunikasi dengan mereka yang tidak bisa
berbahasa Indonesia digunakan pendamping sebagai penerjemah.
Sampai tahun 2015 masih banyak kaum daeng(sebutan bagi suku
Makassar di Kampung Tomer dan pada umumnya di Papua) belum
56

Bahasa sering berfungsi mempertahankan pemisahan identitas masyarakat tutur di


dalam masyarakat yang lebih besar, di mana anggota masyarakat tutur itu juga
merupakan anggota masyarakat yang lebih besar tersebut ( Ibrahim, 1994:24).

xc

dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Proses komunikasi yang


mereka lakukan hanya terbatas pada lingkungan internal karena
keterbatasan bahasa tersebut.
Namun demikian bahasa Indonesia membuat beberapa bahasa
daerah, khususnya Suku Kanume, mulai terancam keberlanjutan
bahasanya. Saat ini bahasa Suku Kanume hanya terbatas pada
generasi tua yang jumlahnya mulai tidak banyak. Suku Kanume juga
mulai jarang menggunakan bahasa lokal. Hal ini karena generasi muda
Kanume mulai tidak menggunakan bahasa lokal mereka. Walaupun
jika seseorang berbahasa Kanume mereka mengerti namun tidak bisa
membalasnya karena jarang digunakan. Ada kekhawatiran dari mama
DL (52 tahun) bahwa jika tidak segera diantisipasi, keberadaan bahasa
Kanume akan hilang. ...Iya saya masih ingat, itu dulu guru-guru larang
kita punya bahasa, lama-lama kita lupa. Sekarang anak-anak sudah
tidak bisa lagi bahasa Kanume... (mama DL, 52 tahun).
Saat ini bahasa Kanume hanya tertinggal pada beberapa istilah
saja yang sering digunakan seperti rokok, korek api dan tas pinang.
Menurut DL (52 tahun) penyebab hilangnya bahasa Kanume adalah
ketika pengajaran dilakukan oleh orang Timur yang melarang siswasiswi menggunakan bahasa Kanume. Akibatnya bahasa Kanume mulai
tidak dipakai. Saat ini bahasa Kanume hanya dikuasai oleh orang tuatua saja. Ada usaha dari perangkat desa untuk mengembalikan bahasa
Kanume di Kampung Tomer dengan berkerja sama dengan sekolah
untuk membekali anak-anak dengan bahasa Kanume di sekolah,
bersamaan dengan sini dan budaya Kanume.
Dalam obrolan sehari-hari penduduk Kampung Tomer
khususnya yang berasal dari Suku Kanume, Marind dan Timor memiliki
rasa humor yang tinggi57. Terkadang dalam humor tersebut menyelip
sindiran atau kritik terhadap seseorang. Selain humor terdapat juga

57

Lelucon juga merupakan cara umum untuk menyampaikan kritik yang mungkin
tidak bisa diterima apabila disampaikan secara langsung (Ibrahim, 1994:49).

xci

berbagai istilah untuk menceritakan maupun menyindir58 perbuatan


seseorang atau kelompok. Dalam setiap obrolan akan selalu muncul
humor yang membumbui percakapan. Bahkan terdapat istilah
terhadap humor-humor yang dikemukakan oleh masyarakat.
Istilah itu menurut bapak BB (35 tahun) dikenal dengan kata
MOB (Mendengar Obrolan Palsu). MOB merupakan gaya bahasa
orang Merauke pada umumnya yang mengarah pada sesuatu yang
lucu. MOB dimunculkan sebagai selingan dalam obrolan. Sehingga
dalam setiap obrolan ada saja tawa yang dibuat oleh salah satu dari
peserta obrolan. MOB bisa berupa plesetan kata, cerita bohong dan
cerita menjurus saru atau vulgar. Biasanya ujung dari humor tersebut
ditimpali dengan kata selingan atau iklan. Selain itu terdapat juga
istilah Abunawas. Abunawas adalah sebuah istilah yang digunakan
dalam obrolan orang Meraukeuntuk menggambarkan perbuatan yang
cerdik, licik, pintar dalam suatu kejadian, baik dalam bentuk MOB
ataupun kisah nyata.
Selain humor dan istilah bahasa yang digunakan oleh Suku
Kanume juga adalah diam59. Walaupun ada sesuatu yang tidak ia
setujui namun di depan orang ramai orang Kanume biasanya diam.
Konsep diam ini juga pernah diungkapkan oleh bapak AL (66 tahun)
...orang Marind Anim (termasuk Kanume) adalah orang yang
sopan, jika merasa tersindir di depan orang banyak, maka ia
58

Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang umum


untuk mendeporsonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan ketidaklangsungan
(Ibrahim, 1994:48).
59

Bahasa memfungsikan suatu peran dalam kontrol sosial dengan memberikan


sarana untuk memberitahu orang secara langsung mengenai apa yang harus
dilakukan tetapi juga memberikan kontrol tidak langsung seperti ancaman , kutukan,
olok-olok, dan gosip. Salah satu bentuk kontrol yang paling kuat dalam banyak
masyarakat adalah diam yang juga merupakan bagian sistem komunikatif (Ibrahim,
1994:56).

xcii

akan diam, nanti ketika ada kesempatan ia akan mendekati


orang yang berkata dan mengatakan named apakah tadi yang
dimaksud saya?.
2.13. Kesenian
Suku Kanume memiliki kesenian. Kesenian selalu dihubungkan
dengan ekspresi60 yang mereka rasakan dalam kehidupan. Oleh
karenanya momen-momen tertentu ekspresi tersebut muncul dalam
bentuk kesenian. Kesenian yang sering muncul adalah tifa (sejenis
tambur yang terbuat dari kayu yang dibolongi dan disalah satu
ujungnya diberi kulit binatang yang diikat, ketika dipukul
mengeluarkan suara).
Tifa biasanya dimainkan dalam tarian gatsi61. Tarian gatsi
merupakan tarian massal di mana antara penari dan penonton
berbaur dalam sebuah tarian. Tarian ini biasanya muncul dalam
perayaan penyerahan tanah, bunuh babi, pernikahan, pelubangan
kuping anak.
Selain itu juga dalam suasana duka cita juga dikenal istilah
Yallud, sebuah prosesi memperingati 40 hari matinya almarhum
dengan cara menceritakan kehidupan orang yang mati dalam sebuah
irama. Biasanya yang mendengar akan menangis. Terdapat juga
wambi ngem, seluruh tubuh dikasih lumpur selama 1-40 hari untuk
menunjukan bahwa ia sedang berkabung karena kematian. Biasanya
perempuannya hanya ber-beha dan bercelana dan seluruh tubuhnya
dilumuri lumpur. Ia hanya melepaskan lumpur ketika mau tidur.
Namun besoknya akan melumpuri diri lagi terus sampai 40 hari.

60

Seni tradisional bisa termasuk sebagai alat komunikasi karena didalamnya juga ada
pesan-pesan yang disampaikan pada orang lain (Nurudin, 2005:118).
61
Bentuk-bentuk pertunjukan rakyat di daerah papua banyak berupa tari-tarian. Taritarian ini boleh dibilang kurang komunikatif ditinjau dari segi informasi drama dan
wayang orang (Nurudin, 2005:131).

xciii

Gambar 2.7. Alat musik Tifa


(sumber: dokumentasi
peneliti)

2.14. Mata Pencaharian dan Teknologi serta Peralatan di Kampung


Tomer
Mata pencaharian Suku Kanume akan sangat tergantung
dengan dimana mereka tinggal. Suku Kanume yang bertempat tinggal
di Pesisir pantai akan lebih banyak menggantungkan hidupnya dengan
hasil laut. Dengan peralatan sederhana mereka menjadi pencari ikan
dan udang. Sedangkan Suku Kanume yang bertempat tinggal di
wilayah hutan akan lebih banyak menjadi pemburu binatang. Suku
Kanume juga telah melakukan pertanian hampir selama 20 tahun di
Kampung Tomer. Dalam bidang pertanian masyarakat kampung
Tomer dibantu oleh penyuluh62 pertanian. Peran penyuluh bagi
masyarakat desa sangatlah penting63, hal ini seperti diungkapkan oleh
62

Penyuluh menurut Everet M. Rogers adalah seorang yang atas nama pemerintah
atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhan untuk mengadopsi inovasi
(penemuan) (Rejeki dan Herawati dalam Nurudin, 2005:131).
63

Fenomena penyuluhan pembangunan adalah ciri khas yang ada di pedesaan. Para
petugas penyuluh biasanya ingin menyebarkan suatu inovasi (penemuan),
sedangkan di desa belum tersentuh inovasi itu. Oleh karena itu, inovasi perlu
disosialisasikan ke tengah masyarakat pedesaan (Nurudin, 2005:132).

xciv

mama ST (40 tahun).dulu kami anggap rumput saja, walaupun sudah


diterangkan namun kami belum percaya sebelum melihat hasilnya.
Setelah ada hasil baru kami banyak tanya ( mama ST, 40 tahun).
2.14.1. Pertanian di Tomer
Kampung Tomer yang pada awalnya dikelilingi rawa kini sudah
banyak berubah menjadi areal persawahan. Pengaruh pendatang
cukup besar dalam mengenalkan pertanian kepada suku asli Papua.
Menurut bapak SK (74 Tahun), lelaki kelahiran Tomer, yang dulunya
pernah menjadi sekretaris desa Onggaya64, pengetahuan Suku
Kanume di Naukenjerai dibawa olehnya dengan cara menanam padi
dengan melibatkan masyarakat asli. Beliau menanam seperempat
hektar sawah dengan mengupah penduduk asli Papua untuk
mencangkulnya. Setelah panen dia mengajak masyarakat asli untuk
memotong hasil padi, lalu hasilnya dibagi-bagikan kepada masyarakat
asli. Setahun kemudian masyarakat asli sudah mulai ikut menanam
padi dalam jumlah terbatas. Teknologi yang digunakan pada saat itu
masih menggunakan cangkul untuk membajak sawah.
Masih menurut bapak SK (74 tahun) kedatangan para
pendatang dari Jawa ke Naukenjerai membuat pertanian di
Naukenjerai meningkat secara tajam. Beberapa penduduk trans Jawa
yang merasa wilayah transnya di wilayah Merauke tidak subur,
memilih pindah ke Kampung Tomer. Karena rumah di Kampung Tomer
pada saat itu sudah ditinggalkan oleh masyarakat Tomerau yang
kembali ke Kampungnya, maka pindahan trans Jawa tersebut
menempati rumah-rumah yang kosong tersebut. Orang Jawa di Tomer
memulai pertanian dalam skala yang lebih besar dan lebih serius.
Sehingga pertanian menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat
Tomer sampai saat ini.

64

Dahulu semua Kampung di Distrik Nauken jerai berada di bawah pemerintahan


Desa Onggaya.

xcv

Bapak MA (54 tahun) menceritakan bahwa tiap-tiap penduduk


Tomer baik pendatang maupun suku asli memiliki sawah sekitar
seperempat hektar sampai dua hektar. Letak sawah-sawah tersebut
masih berada di depan atau di belakang rumah mereka. Sama seperti
kebanyakan persawahan di Naukenjerai, sawah-sawah di Tomer masih
mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan) sehingga dalam satu
tahun hanya satu kali panen. Hasil panen padi biasanya akan disimpan
sebagai persiapan untuk makan selama menunggu musim tanam
berikutnya, dan sebagian lagi untuk bibit. Hanya sebagian kecil yang
dijual. Dengan kata lain masyarakat Tomer saat ini kebanyakan tidak
lagi banyak membeli beras dari luar daerah.
Sawah-sawah di Tomer mengandalkan air hujan. Namun
demikian pada saat curah hujan tinggi maka debit air di sawah
menjadi berlebihan. Hal ini dikarenakan saluran pembuangan air di
persawahan Tomer tidak berfungsi dengan baik karena pada dasarnya
areal persawahan adalah bekas-bekas rawa. Hal ini mengakibatkan air
terjebak dalam cekungan lahan persawahan bekas rawa-rawa
tersebut. untuk mengatasinya.
Saat ini sawah-sawah di Tomer menggunakan drainaseatau
kantung air di tengah atau di pinggir sawah. Fungsi drainase ini adalah
untuk menampung air yang berlebih sekaligus sebagai persediaan air
jika sawah kekurangan air. Sepintas drainase ini mirip kolam di tengah
dan di pinggir sawah.
Teknologi yang digunakan petani Tomer saat ini sudah lebih
maju. Penggunaan handtraktor dan traktor sudah banyak digunakan
untuk menggarap lahan. Walaupun cara pembibitan dan penanaman
masih manual, namun pada saat panen petani sudah menggunakan
alat perontok gabah saat panen. Gabah-gabah yang sudah terpisah
akan dimasukan mesin menjadi beras. Saat ini teknologi pertanian
sudah membantu petani Tomer dalam mengelola hasil pertanian.

xcvi

2.14.2. Nelayan dan Pencari Ikan Kampung Tomer


Pencari ikan di Kampung Tomer dapat dibagi menjadi 2. Yang
pertama adalah mereka yang mencari ikan di laut. Dan yang kedua
adalah mereka yang mencari ikan di darat (rawa dan sungai). Kedua
pencari ikan ini rata-rata dijalani secara bersamaan oleh penduduk
Kampung Tomer.
Pantai di Kampung Tomer, sama seperti pantai lainnya di
Naukenjerai adalah pantai yang ketika air laut surut akan menyisakan
daratan sampai 500 meter dari pantai ke tengah laut. Dan pada saat
air laut pasang daratan tersebut akan hilang di telan air laut. Pantai
pantai tersebut terdiri dari lumpur hitam dan pepohonan bush di
pinggirnya. Dahulunya menurut masyarakat, pantai-pantai di Tomer
memiliki pasir putih, namun karena pengambilan pasir di di daerah
Ndalir, pasir-pasir banyak tertutup lumpur-lumpur tanah. Sekitar 10
meter dari bibir pantai maka akan ditemui pasir putih bekas pecahan
kerang dan siput laut. Kerang dan siput laut juga merupakan bahan
kapur yang sering digunakan masyarakat untuk makan pinang.
Pencari ikan di laut dapat disebut sebagai nelayan. Penduduk
Kampung Tomer yang mencari ikan di laut adalah nelayan yang masih
menggunakan peralatan tradisional. Cara penangkapan ikan tidak
menggunakan kapal. Ikan-ikan ditangkap hanya di pinggir pantai
dengan menggunakan jaring panjang yang dibentangkan baik secara
vertikal maupun horizontal ketika air laut turun. Ketika air laut naik
maka jaring-jaring tersebut akan terendam air dan disanalah ikan-ikan
akan masuk dalam jaring. Proses pemasangan jaring biasanya akan
dilakukan di pagi sampai siang hari hari saat laut surut, dan
pengakatan jaring dimulai sore, malam sampai subuh hari pada saat
lut pasang.
Hasil ikan dari menjaring selain digunakan untuk makan seharihari juga dijual pada pengumpul ikan yang datang dari merauke.
Penjualan ikan menjadi pendapatan penduduk khususnya pada saat
musim tanam padi sudah berlangsung. Untuk menangkap ikan di laut,

xcvii

beberapa penduduk Tomer mendirikan Bivak di pinggir pantai. Bivak


adalah tempat bermukim sementara di pantai yang merupakan
bangunan yang terbuat dari bambu atau kayu dengan atap dari terpal.
Jika harus bermalam maka Bivak juga dilengkapi dengan peralatan
tidur dan masak. Ketika bermalam di pantai, salah satu yang sering
datang adalah nyamuk. Maka untuk mengusir nyamuk nelayan
menghidupkan api dan memasang kelambu ketika tidur.
Hasil laut lain yang dimanfaatkan oleh penduduk adalah udang
dan kepiting. Menurut BB (35 tahun) pada saat musim tertentu, hasil
udang akan berlimpah. Sedangkan kepiting masih terbatas pada
ukuran yang sedang sebesar tiga jari orang dewasa. Hasil laut tidak
hanya dikonsumsi dan dijual langsung tetapi juga diolah oleh
masyarakat. Mereka menjadikan udang ukuran kecil untuk terasi.
Kemampuan mengolah udang menjadi terasi menurut BD (54 tahun)
didapatkan dari pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
selain itu juga ditularkan oleh pendatang yang berasal dari Jawa.
Selain itu hasil laut ikan juga sudah mulai diolah menjadi ikan
asin. Keterampilan pembuatan ikan asin telah banyak dikuasai
masyarakat sebagai mata pencaharian lain. Keterampilan ini juga
didapatkan dari pelatihan yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah
dan transfer dari pendatang khususnya dari Jawa dan Makassar.
...dulu kita yang mengajari orang asli di sini, dari bertani sampai buat
ikan asin... (bapak SK, 74 tahun).
Hasil laut saat ini dirasa nelayan cukup mengalami penurunan
menurut bapak YW (52 tahun). Hal ini menurut mereka dikarenakan
adanya para daeng-daeng65 dari Merauke yang mencari ikan di tengah
laut. Kapal-kapal daeng baik besar dan kecil dapat mereka lihat dari
pinggir pantai. Kapal-kapal tersebut menggunakan alat tangkap yang
lebih modern bahkan menggunakan jaring besar dalam menangkap

65

Sebutan suku Kanume terhadap mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan baik
suku Bugis maupun suku Makasar.

xcviii

ikan. Hal itu mereka percayai membuat ikan-ikan tidak sempat lagi ke
pantai. Akibatnya hasil melaut mereka menjadi turun.
Selain air laut, Kampung Tomer juga memiliki kolam-kolam
(rawa) dan sungai kecil yang juga banyak terdapat ikan. Kolam dan
sungai-sungai kecil ini banyak terdapat di dalam dan di pinggir
Kampung Tomer. Ikan-ikan yang di tangkap adalah mujaer, gastor66,
lele, ikan tulang sembilan, kakap putih rawa. Menurut bapak BB (35
tahun) ikan kakap sebelum ke laut bertelur dan berkembangbiak di
rawa, setelah besar baru ia mencari jalan ke laut.
Nelayan air tawar menggunakan teknologi penangkapan ikan
dengan menggunakan pancing, jaring dan jala. Menurut bapak BB (35
tahun) hasil tangkap ikan air tawar lebih banyak digunakan untuk
makan sehari-hari. Namun jika hasil melimpah maka tidak menutup
kemungkinan akan dijual juga. Beberapa nelayan air tawar khususnya
yang berasal dari RT 3 mencari ikan sampai jauh meninggalkan
Kampung Tomer. Mereka mencari sungai-sungai yang lebih besar.
Hasilnya biasanya lebih banyak dan diletakkan di peti es untuk dijual
kepada pengumpul. Pekerjaan mencari ikan di sungai atau rawa biasa
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan67.
2.14.3. Mengais Rejeki ke Papua New Guenia (PNG)
PNG bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Kampung
Tomer. Mendengar PNG maka yang sering dihubungkan adalah Rusa
dan Kina. Perburuan rusa oleh masyarakat Kampung Tomer menurut
bapak DM (35 tahun) dilakukan sampai ke perbatasan PNG bahkan
sampai memasuki wilayah PNG. Jumlah rusa yang terus berkurang,
membuat perburuan rusa mulai merangsek sampai ke perbatasan.
Jarak Kampung Tomer ke perbatasan adalah 12 jam pada kondisi
66

Gabus Toraja, ikan yang dipercaya orang Merauke dibawa oleh orang Toraja.
Menurut Koentjaraningrat yang pernah meneliti masyarakat yang tinggal di daerah
pantai utara Irian Jaya (sekarang Papua), mencari ikan adalah pekerjaan laki-laki
maupun perempuan (Koentjaraningrat, 1985:29).
67

xcix

basah. Namun dapat jauh lebih dekat pada saat musim kering. Pada
musim kering, jalanan menjadi tidak ada hambatan. Jarak dari Tomer
ke Tomerau hanya menjadi jam. Sedangkan jarak Tomerau ke
Condo hanya berkisar 1 jam. Sedangkan Condo ke perbatasan PNG
bisa ditempuh satu jam menggunakan motor. Dekatnya jarak dan
banyaknya Rusa di PNG membuat perburuan ke negara tetangga
tersebut marak dilakukan, khususnya di musim kering. ...kalau musim
kering datang nanti ramai orang-orang berburu rusa, sampai jauh,
sampai PNG... (Bapak DM, 35 tahun).
Perburuan ke PNG bukan tanpa resiko. Dari cerita bapak DM
(35 tahun) sudah banyak kendaraan roda dua yang dibakar penjaga
PNG karena memasuki wilayah mereka. Namun hal itu tidak membuat
pemburu menjadi jera dan terus melakukan perburuan. Salah satu
motivasinya adalah rusa masih banyak tersedia dan harga daging rusa
relatif mahal.
Selain perburuan, PNG juga dikenal dengan perburuan Kina
oleh masyarakat. Kina adalah mata uang PNG. Selisihnya dengan
rupiah mencapai 4.000. Selisih inilah yang dikejar oleh masyarakat
Kampung Tomer. Cara yang ditempuh adalah dengan berjualan
barang sampai ke PNG. Bapak OT (46) menceritakan bahwa cara
mendapatkan Kina adalah dengan membawa barang-barang
kelontong dan menjualnya dengan harga Kina. Keuntungan yang
didapat bisa berkali-kali lipat. Berjualan biasanya dengan
menggunakan motor. Namun sama seperti berburu rusa, berburu Kina
juga rentan mengalami penangkapan yang dilakukan oleh petugas
PNG. Kalau tertangkap maka kendaraan tidak diambil kembali.
Barang-barang PNG juga memasuki wilayah Kampung Tomer
dan Kampung lainnya diperbatasan, salah satu yang terkenal adalah
parang PNG yang dikenal memiliki kualitas besi baja yang kuat. Selain
itu terdapat juga tripang dari PNG yang memasuki wilayah Indonesia.
Masih menurut bapak OT (46 tahun) sebenarnya untuk
berbisnis legal ke PNG sudah disediakan pemerintah. Di Kampung

Condo terdapat pos imigrasi bagi mereka yang ingin melintas batas.
Namun fasilitas tersebut jarang digunakan masyarakat Kampung
Tomer yang lebih terbiasa melintasi batas secara ilegal.
2.15. Binatang Piaraan di Tomer
Di Tomer terdapat beberapa binatang piaran penduduk.
Keberadaan binatang ini menjadi bagian dari kehidupan baik untuk
diambil hasilnya ataupun diambil jasanya. Beberapa binatang tersebut
adalah:
1. Anjing
Anjing merupakan binatang yang banyak dipelihara oleh
penduduk Tomer, khususnya yang beragama Kristen Protestan dan
Katolik. Ada dua jenis anjing yang dipelihara, yang pertama adalah
anjing berburu. Anjing ini bentuknya lebih terawat dan sering diajak
oleh pemiliknya jika masuk hutan ataupun keseharian. Jenis kedua
adalah anjing Kampung yang dapat ditemui di setiap rumah.
Keberadaan anjing kampung ini biasanya di sekitar rumah. Anjing
kampung biasanya juga masuk ke dalam rumah bagian belakang,
duduk dan tertidur. Selain itu anjing Kampung juga berada disekitar
gubuk duduk di bawah kursi atau naik ke parapara. Bekas-bekas
makanan di piring akan menjadi santapan anjing Kampung tersebut.
Beberapa anjing Kampung memiliki ciri-ciri badan kurus, bulu
tipis dengan ekor yang melengkung ke bawah. Anjing-anjing ini
terkadang berkeliaran di jalan dan rumah-rumah penduduk. Dari hasil
pengamatan dan wawancara terdapat kasus penduduk Tomer yang
digigit anjing. Selain itu anjing kampung juga terlihat tidak begitu
diurus di mana mereka dibiarkan berkeliaran, dan mencari makan
sendiri, hal ini membuat tubuh anjing Kampung terlihat kurus. Di
samping itu kotoran anjing juga banyak berserakan. Di musim hujan
kotoran anjing akan tergenang di halaman yang dijadikan tempat
berjalan penduduk Kampung Tomer.

ci

2. Kuda
Kuda pernah menempati posisi penting dalam transportasi
Kampung Tomer. Dahulunya menurut DM (35 tahun) kuda dijadikan
tunggangan untuk mencapai wilayah-wilayah yang luas. Untuk
mencapai antarkampung, kuda adalah kendaraan yang paling bisa
diandalkan. Hal ini dikarenakan pada masa lalu jalan yang ada masih
jalan setapak dan menembus hutan dan rawa-rawa.
Pada saat ini kuda tidak lagi menjadi alat transportasi utama.
Kehadiran jalan raya antara Meraukesampai ke Condo membuat
kendaraan roda dua dan roda empat mengambil peran dalam alat
transportasi. Namun demikian peran kuda dalam transportasi tidak
dapat dihapuskan sepenuhnya. Pada saat musim hujan di mana
kondisi jalan buruk, maka Kuda dapat diandalkan dalam menempuh
perjalanan tersebut. Peran kuda saat ini lebih digunakan untuk
mengembala sapi. Karena jumlah sapi yang digembala bisa sampai 2030 ekor, maka peran kuda sangat penting untuk menggiring mereka.
Kuda di Tomer tidak memiliki kandang tersendiri, mereka dibiarkan
tidur di rumput dan semak-semak disekitar pemukiman.
3. Sapi
Ada dua macam sapi di Tomer. Yang pertama adalah sapi
pekerja. Sapi ini memiliki tubuh besar berotot. Bentuk dan jenisnya
seperti sapi bali atau sapi australia. Sapi pekerja digunakan untuk
menarik beban. Beberapa penduduk yang mencari kayu di hutan
menggunakan sapi untuk membawa hasil kayu yang sudah disinso.
Sapi pekerja biasanya tidak memiliki kandang. Mereka ditambatkan
begitu saja di depan rumah. Kotoran mereka terkadang bertumpuk di
depan rumah.
Sapi yang kedua adalah sapi pedaging. Sapi yang disengaja
untuk dibesarkan agar dapat diambil dagingnya. Sapi tipe ini biasanya
dipiara dalam bentuk kelompok besar. Dari cerita DM (35 tahun) Satu
kawanan terdiri dari 20 sampai 30 ekor. Cara pemeliharaan adalah

cii

dengan membiarkan kawanan sapi tersebut di hutan sekitar Kampung


untuk mencari makan. Lamanya bisa 15 sampai 20 hari. Dalam satu
bulan kawanan sapi tersebut di bawa ke Kampung sebanyak 1 atau 2
kali. Kandang mereka terpisah namun tetap di sekitar pemukiman.
Sapi pedaging juga dimiliki perorangan dengan jumlah kecil 1- 3 ekor.
Biasanya sapi tersebut digembala sekitar Kampung dan memiliki
kandang kecil di belakang rumah.
4. Bebek
Walaupun tidak banyak, bebek juga dipelihara oleh penduduk
Kampung Tomer. Daerah yang memiliki kolam dan pertanian dinilai
penduduk cocok untuk memelihara bebek. Namun demikian belum
banyak penduduk memelihara bebek untuk sumber pendapatan
keluarga. Baru beberapa kepala keluarga yang mulai mengusahakan
bebek sebagai peliharaan.
5. Ayam
Walaupun banyak ditemui, namun ayam di Kampung Tomer
belum dipelihara secara komersial. Rata-rata mereka tidak memiliki
kandang dan dibiarkan berkeliaran. Jika malam hari banyak ayam yang
menclok didahan-dahan pohon.
6. Ikan
Pemeliharaan ikan juga belum dikelola secara baik walaupun
cukup air bagi perikanan. Baru beberapa penduduk yang mencoba
membuka kolam ikan sebagai penyuplai kebuTuhan.
2.16. Bentuk Transfer Pengetahuan dan Akulturasi Budaya di
Kampung Tomer
Pertemuan antarsuku yang hidup bersama pada suatu daerah
akan memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan, baik dari
pendatang maupun dari suku asli. Transfer pengetahuan ini dapat
berlangsung secara disengaja maupun alami tergantung interaksi yang
mereka lakukan. Proses penerimaan pengetahuan di antara kedua

ciii

belah pihak akan menghasilkan apa yang disebut dengan akulturasi.


Meminjam konsep Koentjaraningrat tentang akulturasi68, maka
penerimaan budaya asing oleh suku asli dengan tidak menghilangkan
kepribadian suku asli tersebut merupakan cara pandang yang
digunakan dalam melihat percampuran budaya di komunitas riset.
Kampung Tomer yang terdiri dari berbagai etnis juga
mengalami transfer pengetahuan dari suku pendatang dengan suku
asli. Proses transfer ini berlangsung secara berbeda tergantung berapa
lama interaksi yang telah mereka lakukan dan bagaimana penerimaan
dan penolakan kedua belah pihak. Sebelum melakukan kajian
akulturasi maka penting untuk mengetahui bagaimana keadaan suku
asli sebelum akulturasi terjadi69.
Seperti diceritakan sebelumnya, suku besar Marind Anim
(termasuk Kanume) mengalami apa yang disebut Boelaars70moral
depression, sebuah istilah untuk menggambarkan ketidakberdayaan,
keseganan menerima perubahan keadaan dan memanfaatkan bentukbentuk kehidupan baru. Boelaars mengungkapkan hal tersebut dalam
bukunya Manusia Irian: Dulu - Saat Ini Masa Depan, tahun 1986,
hampir 30 tahun yang lalu. Rentang waktu yang cukup panjang dapat
digunakan untuk melihat apakah ada perubahan psikologi pada suku
Marind Anim khususnya pada sub Suku Kanume saat berinteraksi
dengan pendatang.
Kondisi psikologi pendatang juga akan ikut mempengaruhi
bagaimana proses interaksi dan akulturasi berlangsung. Apa yang
dibawa oleh pendatang dan saluran apa yang mereka gunakan dapat
berdampak bagi penerimaan suku asli. Selanjutnya penerimaan
pendatang terhadap budaya suku asli akan juga mengungkapkan
bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Sebagai catatan, suku asli
Papua yang bukan Suku Kanume namun tinggal di kampung Tomer
68

Baca Koenjtaraningrat (1990;248).


Baca Koentjaraningrat (1990;252)
70
Baca Boelaars (1986;175)
69

civ

juga dianggap pendatang. Hal ini dikarenakan suku di Papua selalu


dihubungkan dengan wilayah yang mereka miliki. Kampung Tomer
merupakan wilayah dengan kepemilikan Suku Kanume, maka suku asli
Papua yang tidak termasuk Kanume juga dianggap pendatang dalam
skala yang lebih kecil jika dibandingkan dengan suku non Papua. Di
Kampung Tomer sendiri saat ini tinggal suku Marind yang secara adat
memiliki wilayah di kampung Nasem, Kuler, Condo dan sebagian besar
kota Merauke.
Dalam interaksi antarsuku maka hal pertama yang dapat dilihat
adalah bahasa. Interaksi antarSuku Kanume dengan pendatang di
kampung Tomer dimulai dengan bahasa yang mereka gunakan seharihari. Bentuk akulturasi budaya dalam bahasa terlihat dari penggunaan
dalam penyebutan benda-benda dan peristiwa di sekitar kehidupan.
Diantara suku asli Papua, bahasa Kanume dan Marind digunakan
secara bergantian. Ini membuktikan bahwa hasil interaksi selama ini
memberikan pertukaran bahasa. Kondisi ini juga makin diperkuat dari
adanya kawin campur antara Suku Kanume dengan suku Marind.
Walaupun secara marga sang anak akan mengikuti bapaknya, namun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa ibu ikut mempengaruhi
kosa kata anak. Dampaknya penyebutan akan suatu benda dan
peristiwa mewarnai perkembangan bahasa si anak. Hadirnya
pendatang suku Jawa, Timor, dan Makassar ikut menambahkan kosa
kata bagi Suku Kanume. Beberapa kata baru mereka ambil dari suku
pendatang seperti ukup, pak cek, mak cek, sagero, sofi (dari suku
Timor). Daeng (dari suku Makassar). Sedangkan suku pendatang
(Jawa dan Makassar) menyerap cara susunan kalimat, cara
pengucapan, dan logat/intonasi suara dari Suku Kanume dalam
komunikasi sehari-hari. Contoh dari adaptasi bahasa yang digunakan
oleh pendatang yang berasal dari Suku Kanume adalah:
1. Dalam susunan kalimat; kata mari makan berubah menjadi
makan sudah

cv

2. Dalam cara pengucapan; kata saya, punya, sudah berubah


menjadi sa, pu, su
3. Dalam logat/intonasi suara, ada penekanan atau meninggikan nada
pada tengah atau akhir kata. Contoh: itu su..dah! (dah diucapkan
dengan nada lebih tinggi).
Transfer pengetahuan di bidang pertanian merupakan bentuk
akulturasi budaya antara Suku Kanume dengan suku pendatang (Jawa,
Timor, dan Makassar). Pada awalnya Suku Kanume tidak melihat
pengolahan pertanian sebagai mata pencaharian dan sumber
makanan utama. Hadirnya suku pendatang memberikan perubahan
pada Suku Kanume untuk mulai memanfaatkan lahan sebagai wilayah
pertanian. Proses transfer pengetahuan awalnya adalah dengan
melibatkan Suku Kanume dalam pengerjaan sawah mulai dari
pengolahan tanah, pembibitan, penanaman sampai panen71. Status
Suku Kanume pada saat itu adalah sebagai pekerja yang diupah oleh
pendatang. Pada saat panen pekerja tersebut diberikan hasil padi
untuk dimasak di rumah. Setelah beberapa tahun, Suku Kanume baru
mulai menanam sendiri di lahan mereka.
Walaupun sudah mulai menerapkan pertanian sebagai bahan
makanan dan profesi baru. Ada perbedaan antara Suku Kanume
dengan suku pendatang dalam pengolahan lahan pertanian. Suku
pendatang memiliki proses yang lebih kompleks dalam mengolah
pertanian. Mereka memiliki aktifitas memupuk, menyemprot hama,
dan menyiangi rumput. Sampai pasca panen maka bisa dikatakan
bahwa aktifitas suku pendatang akan lebih banyak di sawah. Intensitas
suku pendatang lebih tinggi dibandingkan Suku Kanume dalam
mengurus sawah. Bahkan beberapa petani Suku Kanume memiliki
proses yang lebih singkat dalam mengolah pertanian. Setelah ditanam
maka ditinggalkan dan dibiarkan sampai menjelang panen.

71

Berdasarkan cerita Bapak SK (74 tahun) dan Bapak TJ (73 tahun).

cvi

Perbedaan cara aktifitas mengolah pertanian ini berhubungan


dengan karakter masing-masing suku. Kanume yang menurut
Boelaars72 lebih suka mendapatkan kepuasan secara langsung,
membutuhkan perjuangan lebih untuk menyesuaikan diri dengan
proses bertani yang membutuhkan kesabaran dan keuletan. Hal ini
berbeda dengan suku pendatang (Jawa, Makassar dan Timor) yang
bisa menunggu panen dan mengusahakan hasil panen secara
maksimal.
Di bidang perikanan terdapat awal yang sama dalam
memanfaatkan hasil sungai, rawa dan laut. Suku Kanume di kampung
Tomer memanfaatkan hasil dari perairan tersebut dengan
menggunakan teknologi sederhana seperti, jaring, jala dan pancing.
Sedangkan suku pendatang (Jawa dan Makassar) memiliki latar
belakang sebagai petani. Suku Makassar yang berasal dari Jenipontoh
berbeda dengan suku Makassar lainnya yang dikenal sebagai pelaut
ulung. Jenipontoh adalah daerah darat berbatu dan masyarakatnya
menggantungkan diri dari bertani. Bagi orang Jawa dan Makassar
mencari ikan adalah profesi yang baru. Sawah yang hanya bisa panen
1 kali dalam 1 tahun membuat sisa aktifitas sambil menunggu masa
tanam adalah beralih menjadi nelayan.
Pada proses transfer pengetahuan, Suku Kanume memberikan
informasi tentang wilayah-wilayah yang bisa menjadi tangkapan ikan
dan jenis-jenis ikan apa saja yang terdapat di kawasan mereka. Karena
teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh Suku Kanume masih
sangat sederhana maka tidak lama kemudian pengetahuan
penangkapan ikan suku pendatang sudah menyamai Suku Kanume.
Bahkan sebaliknya sedikit demi sedikit suku pendatang memberikan
pengetahuan baru tentang pengolahan hasil tangkap kepada Suku
Kanume. jika sebelumnya Suku Kanume mengolah hasil tangkap
secara langsung untuk dikonsumsi, maka kehadiran pendatang telah
72

Baca Boelaars (1986;201)

cvii

mengenalkan mereka tentang teknologi pengolahan hasil tangkap.


Suku Jawa mulai mengenalkan terasi73 dan ikan asin kepada Suku
Kanume sebagai pengetahuan baru dalam pengolahan hasil tangkap.
Pengetahuan baru ini membuat Suku Kanume dapat memanfaatkan
hasil tangkap secara maksimal. Jika sebelumnya hasil ikan dipilih
karena keterbatasan pengolahan, maka saat ini sudah bisa
dimaksimalkan karena sudah bisa diolah menjadi ikan asin.
Kemampuan pengolahan ikan asin telah menjadi sumber pendapatan
sendiri dan membantu Suku Kanume secara perekonomian.
Sedangkan terasi merupakan pengolahan udang kecil-kecil (penamaan
Suku Kanume adalah udang halus) yang selama ini tidak
dimanfaatkan. Sama seperti ikan asin, terasi saat ini sudah
memberikan penambahan sumber ekonomi kepada Suku Kanume.
Kehidupan beragama di kampung Tomer berlangsung secara
harmonis. Tiga agama besar (Prostestan, Katolik dan Islam) di
Kampung Tomer dapat hidup secara berdampingan. Toleransi
beragama diimplementasikan dalam keikutsertaan memberikan
bantuan dalam membangun tempat ibadah, membantu saat ada yang
terkena musibah, dan saling mengucapkan saat ada yang merayakan
hari besar. Terakhir bentuk toleransi yang dilakukan oleh Suku
Kanume (yang Protestan dan Katolik) terhadap suku pendatang (yang
Islam) adalah mengganti kegiatan jumat bersih menjadi kamis bersih
dengan alasan memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk
beribadah secara khusuk di hari jumat.
Selain toleransi dalam kehidupan beragama, terjadi juga
peniruan dalam beberapa aktifitas keagamaan. Umat Islam yang
memiliki tradisi pengajian malam jumat dari rumah ke rumah
diadaptasi oleh umat Kristen di kampung Tomer untuk menerapkan
hal sama. Sebelumnya aktifitas ibadah umat Kristen terpusat di gereja,

73

Olahan udang kecil yang dikukus, dihancurkan dan difermentasi. Biasanya


digunakan sebagai tambahan sambal atau sayur.

cviii

namun saat ini umat Kristen di kampung Tomer telah juga beribadah
dari rumah ke rumah secara bergantian.
Pemberian ruang bagi suku pendatang untuk mengembangkan
adat istiadatnya juga dilakukan di kampung Tomer, khususnya oleh
aparat kampung dan kepala adat Kanume. Implementasi dari
pemberian ruang tersebut adalah dibentuknya kepala adat masingmasing suku. Saat ini sudah terbentuk ketua adat suku Jawa, ketua
adat suku Makassar dan ketua adat suku Timor. Masing-masing
kepala adat akan bertanggungjawab terhadap permasalahan yang ada
di suku masing-masing.
Proses interaksi antarsuku di kampung Tomer berlangsung
dengan baik. Namun jika digali lebih dalam terdapat beberapa
ungkapan yang mencerminkan cara pandang masing-masing suku
terhadap suku lainnya. Interaksi berlangsung dalam hal-hal umum dan
sosial. Saling sapa dan bantu merupakan sesuatu yang harus dilakukan
namun tidak untuk berkerjasama dalam bidang pekerjaan atau ruangruang pribadi.
Karakter masing-masing suku menjadi latarbelakang dasar
sudut pandang terhadap suku lainnya, khususnya terhadap suku asli
Kanume dan Marind. Dalam kacamata pendatang kedua suku asli
tersebut dikenal agak pemalas, kuat makan dan ngopi, berpendidikan
rendah, agak bodoh, dan sering mabuk. Label yang disematkan
tersebut membuat kerjasama dalam bidang pekerjaan jarang
dilakukan. Selain itu anggapan bahwa suku asli tidak berpendidikan
membuat tingkat kepercayaan terhadap pengelolaan pemerintahan
kampung (khususnya dalam mengolah bantuan) menjadi rendah.
Namun
untuk
mengungkapkan
ketidaksetujuan
terhadap
pemerintahan kampung yang dominan dipegang suku asli, masih ada
kecanggungan karena psikologi sebagai pendatang. Dampak dari hal
tersebut pendatang lebih fokus mengembangkan perekonomiannya
dengan cara fokus mengolah lahan, mencari ikan atau membuka kios.

cix

Ungkapan ketidaksetujuan hanya dibicarakan pada ruang-ruang


kelompok internal suku mereka.
Suku Kanume sendiri bukan tidak merasa cara pandang yang
dimiliki oleh suku pendatang. Namun mereka tidak bisa berbuat apaapa karena dalam penglihatan mereka suku pendatang memang lebih
rajin mengolah lahan, lebih memperhatikan pendidikan dan lebih
sukses jika dilihat dari tampilan dan peralatan. Suku Kanume (dan
Marind) menyadari perubahan telah banyak terjadi di sekitar mereka
namun mereka belum bisa beranjak dari ketertinggalan mereka
sendiri. Bantuan pemerintah menjadi prioritas utama untuk
meningkatkan taraf hidup. Mereka selalu mengatakan pentingnya
prioritas bagi orang asli suku Papua. Sebuah dilema bagi suku Papua
yang ingin berubah namun menggantungkan diri pada sesuatu di luar
mereka.

cx

BAB III
KONTEKS SITUASI KESEHATAN KAMPUNG TOMER
Pendahuluan
Sistem kesehatan berkenaan dengan cara suatu budaya
menghindari dan mengobati penyakit, atau merawat para korban
bencana alam atau kecelakaan. Konsep kesehatan dan masalahmasalah medis berlainan antara budaya satu dengan budaya lainnya
(Haris dan Moran dalam Mulyana dan Rakhmat, 2005:65). Sebagai
sebuah Kampung yang dihuni oleh 4 suku besar, maka pengetahuan
dan pemahaman terhadap kesehatan merupakan gabungan dari hasil
interaksi penduduk Kampung Tomer selama ini. Tidak dapat dipungkiri
bahwa setiap suku memiliki budaya kesehatannya masing-masing dan
berusaha mempertahankan budaya kesehatannya tersebut. Namun
demikian tetap terjadi transfer budaya kesehatan antarsuku
khususnya dalam hal mengatasi penyakit yang tidak diketahui dalam
budaya asal mereka.
Budaya kesehatan akan sangat tergantung kepada geografi
lingkungan, ketersediaan tanaman obat, akses pada layanan
kesehatan, dan local genius kesehatan yang tersedia di wilayah
tersebut. Sebagai penduduk lokal, Suku Kanume lebih menguasai alam
di Kampung Tomer. Adat mereka yang sebelumnya tidak mengakses
layanan kesehatan medis, sangat mengandalkan pengetahuan turun
temurun dalam keterampilan dan penggunaan tanaman obat.
Walaupun saat ini Suku Kanume sudah mulai mengakses kesehatan
medis, namun pengetahuan dan keterampilan lokal tersebut tidak
serta merta hilang, namun tetap digunakan dalam situasi yang
terbatas.
Kehadiran suku pendatang di Kampung Tomer ikut mewarnai
budaya kesehatan. Suku Jawa, Makassar dan Timor membawa budaya
kesehatannya masing-masing dalam bentuk pengetahuan dan
keterampilan. Terkadang pengetahuan kesehatan tersebut saling

cxi

dipertukarkan dengan Suku Kanume atau antarsuku pendatang.


Hasilnya pengetahuan kesehatan tersebut menjadi milik bersama.
bahkan jika ditelusuri siapa yang pada awalnya membawa budaya
kesehatan tersebut sudah sulit dilacak. Salah satu pengetahuan
kesehatan yang digunakan semua suku di Kampung Tomer adalah
Ukup. Ukup sendiri dikenal dengan mandi uap dengan berbagai
macam tanaman obat. Pengetahuan ini dimiliki semua suku walaupun
dengan jenis tanaman yang berbeda. Menurut BapakTJ (73 tahun)
informan mengatakan bahwa Ukup ini berasal dari Timor, beberapa
yang lain mengatakan Ukup ini asli milik Kanume, suku Jawa juga
merasa mereka memiliki budaya Ukup. Terlepas bahwa mungkin
semua suku memiliki pengetahuan Ukup di daerahnya, namun ini
adalah salah satu bukti bahwa pengetahuan kesehatan salah satu suku
akhirnya menjadi pengetahuan kesehatan bersama.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka status kesehatan
penduduk Kampung Tomer merupakan gabungan atas pengetahuan
dan keterampilan lokal yang dimiliki masing-masing suku. Ada yang
hanya dijalankan oleh suku tertentu, ada juga yang sudah terjadi
pertukaran pengetahuan kesehatan antarsuku.
3.1. Beberapa Tradisi Suku Kanume di Kampung Tomer
3.1.1. Tradisi Makan Pinang Pada Suku Asli di Kampung Tomer
Makan pinang atau menginang, yang mana dalam bahasa
marind disebut Kavos dan dalam bahasa Kanume disebut serai
merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh suku asli di
kabupaten Merauke (Susiarti, 2005: 218). Namun masyarakat juga
biasa menyebutnya kahos. Hampir di setiap tempat dan di setiap
saat mulut suku asli selalu mengunyah pinang. Kebiasaan menginang
ini sudah lama dilakukan oleh wanita dan pria, baik tua maupun muda,
hal ini juga menjadi sarana bersosialisasi sehari-hari oleh masyarakat
(Susiarti, 2005: 218). Tradisi ini tidak hanya terbatas pada orang-orang
dewasa, tetapi juga menjangkau kalangan muda suku asli. Bahkan Saat

cxii

ini anak-anak kecil Suku Kanume juga sudah mulai mengikuti tradisi
mengunyah pinang. Karena memang tidak ada larangan tegas bagi
anak-anak untuk ikut mengunyah pinang seperti orang tua mereka.

Gambar 3.1. Kegiatan menginang yang dilakukan beramai-ramai

(sumber: dokumentasi peneliti)


Bahan baku dari menginang ialah pencampuran dari buah
pinang kering, buah sirih, kapur, dan ditambah tembakau atau yang
biasa disebut lempeng. Untuk lempeng sendiri, tidak selalu digunakan,
hanya penambah dan disesuaikan dengan kebiasaan seseorang. Bahan
kapur yang dipakai untuk cerai74 berasal dari kulit kerang laut (bahasa
lokal : Bia) yang banyak terdapat di pantai. Sedangkan buah pinang
kering adalah biji pinang yang telah dikeringkan dan diiris tipis-tipis
kemudian dikeringkan. Walaupun terdiri atas beberapa bahan baku,
namun secara umum Suku Kanume menyebut kegiatan tersebut
dengan makan pinang saja. Harga dari bahan baku mengunyah pinang
cukup terjangkau, pinang kering dihargai sekitar Rp.2000-Rp.5000.
Khusus untuk kapur dapat mereka produksi sendiri dengan membakar
bekas rumah kerang sehingga menjadi serbuk putih.

74

Bahasa Kanume untuk menginang, sedangkan kahosadalah menginang dalam


bahasa Marind.

cxiii

Menurut Mama YU (60) tata cara makan pinang yang lazim


dilakukan masyarakat yaitu pertama-tama mengunyah pinang kering
terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan mengunyah buah sirih dan
tembakau. Setelah itu baru dilanjutkan dengan mengambil butiran
kapur. Kadang cara memakan kapur adalah dengan mencocol buah
sirih ke dalam butiran kapur. Terkadang juga dengan menggunakan
jari yang dicelupkan ke dalam butiran kapur lalu dijilat. Semua bahan
baku tersebut dikunyah hingga menjadi cairan merah setelah
bercampur dengan air ludah. Hanya saja prosesi mengunyah pinang
tidak diakhiri dengan ditelan tetapi diludahkan kembali. Proses
pengunyahan ini sedikit berbeda pada para Lansia yang sudah tidak
memiliki kemampuan mengunyah, para Lansia akan menggunakan
alat khusus untuk menghaluskan dan mencampurkan bahan baku
menginang. Selain menggunakan alat tersebut, para Lansia juga
terbiasa untuk meminta pertolongan dari anggota keluarga untuk
mengunyakan, seperti cucu atau anak mereka. Bahkan terdapat
beberapa gelintir orang yang menambahkan aktivitas merokok ketika
sedang memakan pinang, tak terkecuali laki-laki maupun perempuan.

Gambar 3.2. Alat


penghalus dan pencampur
bahan baku menginang

(sumber: dokumentasi
peneliti)

Keseharian masyarakat asli Tomer tidak bisa lepas dari


mengunyah pinang, setiap aktivitas kesehariannya selalu diawali dan
disertai dengan cerai. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur mulut
mereka tidak pernah lepas dari mengunyah pinang. Bahkan secara
bercanda mereka bilang bahwa jika makan masih bisa mereka tahan,

cxiv

tapi kalau tidak mengunyah pinang bisa pusing kepala. Sehingga


kemana-mana orang suku asli selalu membawa tas yang berisi
peralatan kahos. Tas yang khusus untuk keperluan kahos tersebut
mereka sebut sebagai Taire/ siduat atau nakun/nokan
Menurut BapakYL (43 tahun) yang terbiasa pinang, pada saat
mengunyah maka mereka merasakan hangat di mulut lalu memacu
pikiran menjadi terang sehingga dapat beraktifitas dengan baik. Rasa
panas yang ditimbulkan pinang dan pedas yang ditimbulkan buah sirih
diredakan dengan serbuk kapur.
Itu bagaimana ya. kalau tidak makan pinang (menginang) itu
kepala jadi pusing, lesu. kalau sudah makan pinang
(menginang) mulut hangat pikiran tenang, kerja juga enak.
(Bapak, YL 43 tahun).
Kombinasi tersebut terus diulang-ulang karena setelah
pengunyahan maka akan dilanjutkan dengan meludah. Ludahan hasil
mengunyah pinang yang berwarna merah disemburkan kemana saja
di sekitar mereka beraktifitas. Tanah bekas ludah pinang akan terlihat
merah kecoklatan.
Mengunyah pinang ini memberikan dampak terhadap gigi
mereka yaitu menjadikan gigi berwarna merah kekuning-kuningan.
Menginang dilakukan laki-laki dan perempuan Kanume. Ini berlaku
bagi pemakai baik muda maupun tua. Anak-anak usia 13 tahun sudah
mulai menginang. anak-anak kecil sekarang su (sudah) mulai makan
pinang, umur-umur 12, 13 itu sudah.. (DM, 35 tahun).
Orang tua juga tidak melarang anak-anak menginang. Ada
kebiasaan pada orang yang sudah tua untuk meminta bantuan anak
kecil mengunyah pinang sampai halus, setelahnya baru dikunyah oleh
orang tua tersebut. ...biasa itu.. pertama bantu kunyah-kunyah,
lama-lama dia suka juga. (DM, 35 tahun).
Gigi orang tua yang mengunyah pinang sejak lama terlihat
masih utuh, namun sudah berwarna merah kehitam-hitaman.Namun

cxv

demikian menurut tenaga kesehatan, tradisi mengunyah pinang


mengancam kesehatan penggunanya. Bahan baku dari makan pinang
yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dari sudut pandang
kesehatan yaitu dari bahan baku pinang dan kapur. Pinang dianggap
dapat menyebabkan kanker pinang, sedangkan kapur dianggap dapat
berdampak kepada lambung, selain itu ketika hasil dari menguyah
pinang ditelan akan mengakibatkan kanker lidah, dan pipi.
sepengetahuan saya tuh pinangnya, kanker pinang itu kan di
india juga sudah banyak terjadi to. Kalau kapur katanya dokter
pengaruhnya ke lambung, ke lambung juga nggak bagus, kan
mereka itu bukan hanya dibuang ludahnya tapi separuh ada juga
yang ditelan ludahnya, jadi disana sudah ada beberapa yang kena
kanker lidah, lidahnya terbelah, dia sudah meninggal, trus kanker
pipi itu sampe pipinya tabongkar itu, dokter bilang itu karna
kanker pinang. (bidan PA, 36 tahun)
Saat ini petugas kesehatan gencar memberitahukan bahaya
kapur bagi pengunyah pinang. Selain itu petugas kesehatan
mendorong masyarakat untuk kumur-kumur dan menggosok gigi
setelah mengunyah pinang. Di sisi lain masyarakat merasa telah
memiliki cara lain untuk mengatasi masalah kebersihan gigi selain
menggunakan pasta gigi, yaitu dengan cara menggosok gigi
menggunakan poter. Poter adalah pasir pantai yang terkena air ombak
pantai. Poter ini dipercaya dapat membersihkan dan menghilangkan
sisa-sisa warna hitam pada gigi.
kalau orang-orang tetua dorang yang makan pinang, kalau rasa
su (sudah) geli dalam mulut, biasa kalau gigi su (sudah) hitam
kayak belanga (bagian belakang panci yang hitam) toh, dorang
(mereka)ambil pasir untuk bersihkan, langsung pake (pakai)
tangan (pake telunjuk lalu di gosokkan ke gigi langsung), pasir
yang dipake itu pasir yang di pantai, yang kena basah, yang kasih

cxvi

pukul (kena) ombak, dong (mereka) bilang itu poter. Tapi harihari bisa juga pake odol.(Mama KM, 30)
3.1.2. Tradisi Minum Wati75 dan Kebiasaan Minum Sagero dan Sofi
Wati adalah tanaman sejenis pohon sirih. Bentuk daunnya
hampir mirip dengan daun dari pohon sirih, hanya saja daun wati
berukuran lebih besar dan tebal dari pada pohon sirih. Daun wati
merupakan bahan baku utama minuman adat Suku Kanume.
Minuman wati wajib ada di setiap acara-acara adat Suku Kanume.
Bagian tanaman wati yang dijadikan minuman adat adalah bagian
batangnya. Dahulu setiap rumah Suku Kanume pasti memiliki
tanaman wati ditanam di pekarangan rumah, namun sekarang sudah
tidak banyak lagi yang membudidayakannya. Dalam acara adat
minuman wati dikonsumsi sebelum bermain shi76, minuman wati
dipercaya akan memberikan semangat dan tenaga pada orang yang
meminumnya untuk bermain shi.

Gambar 3.3. Tanaman Wati

(sumber: dokumentasi peneliti)

75

Dalam banyak literatur wati dinyatakan tanaman yang mengandung efek


penenang (narcotic) (Muntaza, 2013;192)
76
main shi adalah kegiatan menarikan tarian adat yang diiringi dengan pukulan tifa
yang biasa dilakukan semalaman hingga pagi

cxvii

Minuman wati ini hanya boleh dikonsumsi oleh para orang


dewasa baik pria maupun wanita, karena merupakan minuman keras.
Seseorang yang tidak terbiasa mengkonsumsi wati atau terlalu banyak
meminumnya biasanya orang tersebut akan tidak sadarkan diri selama
beberapa hari. Biasanya seseorang yang mengkonsumsi wati hanya
akan bisa berbicara saja tanpa bisa berpidah-pindah tempat atau
bahkan membuat kekacauan, karena tubuh akan terasa lunglai, dan
pada akhirnya akan tertidur pulas selama beberapa hari lamanya.
itu saya pernah saksikan BapakYulin de (dia) punya
Bapak(Bapak) de (dia) mabuk wati sampe (sampai) de (dia)
tidur tangan di bara api ini angus (hangus). (BapakTJ, 73).
Cara mengkonsumsi, mula-mula wati ini akan dihancurkan
dengan cara dikunyah hingga menghasilkan sari dari batang wati. Sari
hasil kunyahannya kemudian diludahkan atau dikeluarkan ke dalam
sebuah wadah. Besar wadah tersebut kecil saja, kira-kira sebesar
tempat lulur purbasari, namun dahulu terbuat dari batok kelapa.
itu dorang (mereka) kunyah, kunyah dia dulu, jadi macam
sekarang sa (saya) yang kunyah terus airnya itu macam kita
makan tebu begitu, airnya itu.. dong (dia) sudah siapkan
tempurung kecil tempat itu tempat khusus, itu pokoknya satu
tempurung kecil saja minum itu langsung ini, ini semua minum
tidur tebalek (terguling) to sampai tidak bisa bangun-bangun
nanti besok baru bangun karena de (dia, maksudnya wati) lebih
kuat daripada minum sopi (BapakTJ, 73 tahun)
Masing-masing orang dapat mengunyah untuk dirinya sendiri.
Namun apabila terdapat seseorang yang sudah tidak bisa mengunyah
batang wati tersebut, maka anggota keluarga yang lainnya akan
mengunyahkannya, misalnya sang nenek atau kakek yang sudah tidak
sanggup mengunyah, maka cucunya yang akan mengunyahkannya.

cxviii

iya yang ada gigi to kalau yang su (sudah) tua-tua kan de (dia)
bisa punya sendiri de (dia) bisa makan sendiri de (dia) telan
airnya begitu. yang tidak bisa kunyah ah itu nanti anaknya ka..
cucunya ka.. makan kunyah, dia baru. (BapakTJ, 73 tahun)
Cara konsumsi minum wati yang demikian secara medis
memiliki potensi besar akan menularkan penyakit. Penyakit tersebut
yaitu penyakit yang cara penularannnya tercadi secara oral seperti flu,
hepatitis, hingga TBC. Tradisi minuman wati yang harus melalui proses
pengunyahan di dalam mulut menurut TJ (73 tahun) sering kali
memberikan efek tidak mengenakkan bagi si pengunyahnya yaitu
perasaan lidah yang tebal atau kebal atau mati rasa pada lidah dan
mulutnya. Biasanya akan terasa beberapa jam setelah selesai
mengunyah dan tidak ada perlakukan khusus yang dilakukan untuk
menghilangkan perasaan tersebut kecuali mendiamkannya.
Masyarakat Suku Kanume selain mengenal minum wati juga
mengenal minuman sofi. Sofi adalah sebuah minuman yang
memabukkan yang terbuat dari air yang dikeluarkan dari tandan muda
buah kelapa yang diiris atau nira. Nira merupakan bahan yang sama
digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula merah, masyarakat
Kanume biasa menyebutnya dengan sagero. Sagero (tuak) tersebut
setelah diambil dari mayang kelapa (tandan kelapa) ditadah
menggunakan bambu atau jerigen kemudian disuling dengan cara
memasukan kedalam panci besar yang tertutup rapat . Panci tersebut
telah dilubangi dan diberi saluran berupa bambu sebagai jalur
keluarnya uap sagero yang direbus.Sagero tersebut direbus hingga
sageronya habis dan menyisahkan endapan berwarna kecoklatan.
Tujuan dari perebusan ini dimaksudkan untuk menghasilkan uap dari
perebusan sagero. Hasil uapnya akan dikeluarkan melalui bambu yang
tersedia di panci dan akan disalurkan ke botol-botol. Hasil uap
tersebut yang disebut dengan sofi dan yang dikonsumsi.
Sofi sebenarnya bukan minuman asli Suku Kanume. Minuman
sofi ini dikenalkan oleh orang-orang dari Timor.

cxix

jadi orang tutor timur itu dong (dia) datang, dong (dia) ajar
dorang (mereka) iris mayang sagero itu, sadap dengan bambu
terus masak bikin sofi ya begitu baru dijual begitu. (BapakHH,
56 tahun).
Orang-orang dari Timor ini dapat datang ke tanah Suku
Kanume dengan tujuan memburu burung kuning atau burung
cendrawasih pada tahun 1918an77. Efek dari minum sofi ini agaknya
sering menimbulkan kekacauan jika orang yang meminumnya tidak
dapat mengontrol diri dan emosinya.
ah itu, itu dong (dia) punya minuman ini to adat itu, dong
(dia)pu(punya) barang apa, kalau sagero dan sopi ini dari sana
bukan adat kanume punya, itu adat itu dari luar, macam sofi,
sagero itu datangnya dari Tepa78 sana (BapakTJ, 73 tahun)
Secara peraturan negara, agama, maupun adat kegiatan
meminum minuman yang memabukkan tidak diperbolehkan. Hal
tersebut dianggap dapat memunculkan keributan. Saat ini Kampung
Tomer telah memiliki kesepakatan bersama antara aparat Kampung
dengan pos TNI79 untuk memberikan pengawasan dan penindak
lanjutan kepada peminum yang membuat keributan.
Bapakkemarin su rapat dengan danki sama aparat kampung,
siapa mabuk di kampung akan direndam di kolam dan kerja
sosial (BapakED, 32 tahun).
Penindak lanjutan ini berupa hukuman dari TNI yaitu
merendam diri selama semalam, mengerjakan pekerjaan sosial yaitu
membersihkan tempat-tempat umum dan tempat ibadah.

77

Baca Koentjaraningrat (1985;26)


Sebuah daerah yang berada di kepulauan Maluku
79
Kampung-kampung di pesisir selatan kota Merauke sampai ke perbatasan PNG
terdapat Pos TNI sebagai penjaga keamanan.
78

cxx

3.1.3. Tato
Masyarakat Tomer tidak aneh dengan tato. Pada saat mereka
berinteraksi sehari-hari tato akan mudah dilihat pada tubuh mereka
yang terbuka. Biasanya bagian tubuh yang ditato tersebut adalah
tangan, lengan, paha, punggung, dada dan muka. Warna tato tersebut
rata-rata biru kehitam-hitaman. Tato tidak menjadi sesuatu yang
menyeramkan karena tato yang digunakan biasanya berbentuk tulisan
nama dan perasaan hati. Tato tidak hanya digunakan oleh laki-laki
tetapi digunakan juga oleh perempuan. Bahkan pada perempuan
posisi tato sampai ke muka.
Secara fungsi, tato yang dibuat Suku Kanume lebih banyak
menunjukan identitas diri. Nama-nama pribadi lebih banyak tertera di
bagian tubuhpengguna tato. Selain itu tato juga lebih berfungsi secara
ekspresi. Ungkapan hati seseorang yang diabadikan dalam bentuk
tulisan. Selain tulisan, tato pada Suku Kanume juga berbentuk titik di
dahi, panah yang menembus hati, dan garis lurus di wajah. Secara
umum pengguna tato lebih ditunjukan untuk identitas. Walaupun ada
juga pengguna tato yang hanya ikut-ikutan menggambar tubuh.
Mama ST (40 tahun) salah satu pembuat tato mengatakan
bahwa tato yang dibuat di Suku Kanume berasal dari bahan arang
hasil pembakaran dicampur dengan air susu ibu. Prosesnya dimulai
dengan menggambar tubuh lalu ditusuk-tusuk jarum berulang ulang
kali mengikuti gambar sampai mengeluarkan darah. Lubang tusukan
jarum selain jalan mengeluarkan darah juga sekaligus memasukan
campuran asi dan arang karbon ke dalam tubuh. Cairan yang masuk ke
dalam tubuh tersebut yang kemudian memberikan warna biru
kehitaman di kulit. Terperangkapnya karbon dan asi di dalam tubuh
tersebut yang disebut tato.
Salah satu yang menjadi catatan adalah penggunaan jarum
pembuat tato. Dalam beberapa kali wawancara Mama ST terkadang
mengatakan tidak menggunakan jarum yang sama untuk orang yang
berbeda, namun di waktu lain mengatakan menggunakan kembali

cxxi

jarum tersebut. hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa jarum


pembuat tato dapat menularkan penyakit disamping potensi kanker
kulit akibat di tato. Namun demikian Mama stella mengatakan bahwa
ini bukan cara penyebaran HIV dan tidak menularkan. ah bisa ganti
dengan ko (kamu) punya teman, teman bisa pake jarum itu, kalau ini
tidak masuk AIDS iyo. (Mama ST, 40 tahun).
3.2. Makna Sehat dan Sakit
Membicarakan makna sehat dan sakit pada penduduk
Kampung Tomer memiliki variasi jawaban yang bermacam-macam.
Masing-masing suku memiliki persepsinya masing-masing. Bahkan
individu dalam satu suku juga berbeda dalam mengungkapkan makna
sehat dan sakit yang mereka pahami. Dari hasil wawancara maka
makna sehat dan sakit dapat dibedakan menjadi;
1. Kondisi kejiwaan
Makna sehat dan sakit dipahami sebagai kondisi kejiwaan yang
mempengaruhi perasaan. Sehingga pada saat seseorang jiwanya
sedang terganggu karena ada masalah atau hal lain dan itu membuat
perasaannya tidak enak maka hal itu juga dianggap sakit. Hal ini
Karena pada saat perasaan tidak enak, seseorang cenderung banyak
merenung, melamun dan tidak banyak tertawa. Sedangkan orang
sehat dipahami sebagai orang yang jiwanya senang, banyak tertawa
dan banyak bercanda. Sehat dipahami sebagai situasi dimana
seseorang dapat menikmati hidup dengan tertawa dan bercanda.
sehat itu macam bisa tertawa, macam Mamanii, kalau sakit dorang
(mereka) tuuh merenung saja di rumah, tidak banyak omong. (Mama
BD, 54 tahun).
Selain itu menurut BapakSK (74 tahun) terdapat juga konsep
sakit yang juga berhubungan dengan perasaan, yaitu situasi dimana
seseorang merasa tidak enak perasaan, sehingga malas makan,
bahkan terkadang juga tidak terasa lapar. Konsep sakit ini dipengaruhi

cxxii

oleh pikiran baik berupa masalah keluarga ataupun masalah


pendapatan.
2.Berdasarkan aktivitas
Aktifitas masyarakat dalam bertani, mencari ikan dan berburu
dijadikan indikator seseorang dikatakan sehat atau sakit. Seseorang
merasa sehat jika ia masih bisa melaksanakan aktifitasnya dalam
mencari nafkah. Sehat dipahami sebagai kondisi dimana seseorang
tidak mempunyai halangan dalam menjalankan aktifitas
kesehariannya. Sementara sakit dipahami sebagai situasi dimana
tubuh tidak dapat menjalankan aktifitas sehari-hari dalam mencari
nafkah.
Berangkat dari konsep tersebut maka tubuh seseorang yang
mengalami kecelakaan dalam pekerjaan dan menimbulkan luka, maka
status sehat sakitnya akan ditentukan apakah luka tersebut
mempengaruhi aktifitasnya atau tidak. Maka tidak jarang pencari ikan
yang mengalami luka karena tertusuk kayu, masih saja tetap mencari
ikan, dan menyatakan dirinya sehat, karena merasa luka tersebut
tidak menghambat pekerjaannya.sehat itu bisa melaut, pergi pasang
jaring atau ke s
awah. (BapakLS, 56 tahun).
Konsep sehat sakit berdasarkan aktivitas fisik, menjadikan
seseorang baru mencari pengobatan ketika rasa sakitnya sudah
menghambat aktifitas mencari nafkah dan aktivitas fisik lainnya.
Proses pengobatan dan penyembuhan ditentukan oleh si penderita.
Jika si penderita sudah merasa dapat beraktifitas kembali mencari
nafkah, maka ia sudah merasa dirinya sehat, walaupun penyakit dan
lukanya belum sembuh secara medis. Namun jika ia masih belum bisa
beraktifitas mencari nafkah maka ia masih mempersepsikan dirinya
sakit.
3.Bentuk tubuh
Dari wawancara dengan BapakYL (43 Tahun) di RT 3 Kampung
Tomer diperoleh makna sehat dan sakit berdasarkan bentuk tubuh

cxxiii

seseorang. BapakYL dan istrinya AC (35 tahun) mempersepsikan


bahwa bentuk tubuh seseorang menggambarkan kondisi
kesehatannya. Bentuk tubuh yang gemuk dianggap gambaran orang
sehat. Badan yang gemuk akan membuat kerja menjadi bersemangat
dan berkeringat. Sebaliknya tubuh yang kurus adalah gambaran orang
sakit. iyoo.. sehat tuh kalau kou (kau) pu (punya) badan gemuk, tidak
kurus. (Mama AC, 35 tahun).
Dari kepercayaan tersebut, BapakYL memprediksi status
kesehatan seseorang. Jika seseorang berat badannya sedikit demi
sedikit menurun, diikuti dengan muka yang tidak segar (pucat) maka
dapat dipastikan bahwa orang tersebut sakit. Biasanya muka pucat
juga diikuti oleh batuk dan beringus. sering anak-anak ada sakit
dalam, begitu kita lihat de (dia) tidak kelihatan nampaknya, ada apa ini
tapi badannya saja yang turun.... (BapakYL, 43 tahun).
Mama AC (35 tahun) mencontohkan perempuan di RT 3 gemuk
dibandingkan dengan perempuan di RT lain di Kampung Tomer. Itu
dijadikan indikator bagi Mama AC dalam kesehatan. Dari gambaran
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna sehat juga bisa
dipahami dari bentuk tubuh yang gemuk ditambah kalau bekerja
berkeringat dan selalu bersemangat. Sedangkan sakit dipahami
sebagai terjadi perubahan pada tubuh dalam bentuk penurunan berat
badan, muka pucat, kadang diikuti oleh batuk, beringus, bahkan batuk
darah.
2. Pada Lansia
Konsep sehat dan sakit juga memiliki variasinya ketika
ditanyakan pada mereka yang sudah menginjak usia tua. Mereka yang
masuk dalam kategori tersebut akan menandai diri mereka sehat atau
sakit berdasarkan kekuatan tubuh dalam menjalankan aktifitas seharihari. Dengan standar kekuatan orang-orang tua maka yang dianggap
orang sehat adalah mereka yang masih dapat berjalan jauh, kerja
cukup berat dan jarang sakit.kalau su (sudah) tua begini, yang

cxxiv

penting bisa jalan jauh, tidak diam saja, bisa kumpul-kumpul di


pantai. (Mama KL, 54 tahun).
Yang dimaksud dengan berjalan jauh adalah pergi ke pantai,
karena pantai sering dijadikan kegiatan untuk kumpul-kumpul dan
perayaan. Kerja cukup berat merupakan aktifitas bantu-bantu
kegiatan bersama. Sedangkan orang sakit adalah orang yang sudah
tidak bisa jalan jauh dan tidak bisa berkerja cukup keras. Aktifitasnya
hanya bisa duduk-duduk saja dan tunggu panggilan. Yang dimaksud
dengan tunggu panggilan menurut Mama KL (54 tahun) adalah
menunggu meninggal. Makna sehat dan sakit bagi mereka yang sudah
menginjak usia tua ini mereka pahami dalam kacamata aktifitas yang
dapat dilakukan dalam usia mereka.
3.3. Sesuatu Yang Dipercaya Menjadi Penyebab Sakit
Penyebab sakit sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman masyarakat Kampung Tomer dalam mempersepsikan
sebab-sebab penyakit. Sesuatu yang dianggap sebagai penyebab
penyakit pada persepsi salah satu orang mungkin dianggap biasa bagi
orang yang lain. Bahkan sesuatu yang dianjurkan pada pihak lain
justru dianggap sebagai penyebab penyakit bagi orang lain.
Keberagaman pengetahuan kesehatan tersebut membuat sakit
memiliki variasi sebagai penyebabnya. Berdasarkan hasil penelitian
terdapat beberapa yang dipercaya menjadi penyebab sakit, yaitu:
a. Lingkungan Kotor
Lingkungan dipercaya sebagai salah satu penyebab
menyebarnya bibit penyakit, apalagi lingkungan yang kotor. Hal
tersebut diungkapkan dalam wawancara dengan Mama ST (40 tahun),
yang menjelaskan bagaimana lingkungan kotor dapat mengundang
lalat dan nyamuk, kemudian lalat dan nyamuk tersebut akan
bersarang di dalam rumah. Lalat dan nyamuk tersebut yang dipercaya
akan menyebarkan penyakit. Dari pemahaman tersebut mendorong

cxxv

perilaku keseharian beberapa orang untuk memiliki kebiasaan


menjaga kebersihan dan kerapihan tempat tinggal.
b. Melanggar Pantangan
Pantangan merupakan salah satu yang dapat mendatangkan
penyakit. Melanggar pantangan sama juga memberikan peluang
penyakit hinggap pada tubuh. Salah satu pantangan yang masih
berlaku di RT 3 adalah laki-laki tidak boleh dekat dengan perempuan
yang akan melahirkan. Hal ini dipercaya karena darah kotor persalinan
akan menyebabkan nafas laki-laki menjadi pendek dan dapat
menyebabkan kematian. Hal inilah yang menyebabkan perempuanperempuan di RT 3 pada beberapa tahun sebelumnya harus
melahirkan di hutan terpisah dari keluarganya.
Pantangan lain yang dipercaya di sebagian masyarakat adalah
pantangan minum buah kelapa hijau80, karena dipercaya dapat
mengakibatkan kekambuhan pada penyakit malaria. Oleh karena itu
air kelapa muda dianggap pantangan bagi penderita malaria.
Dikampung komer juga terdapat pantangan yang bersifat khusus
kepada ibu hamil dan ibu melahirkan. Ibu hamil dilarang untuk terlalu
banyak melakukan aktivitas di air-air dingin terlebih lagi air kotor.
Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang seperti itu akan
mengakibatkan ibu menderita tetanus, yang dapat menyebabkan
kecacatan bayi atau bahkan kematian pada ibu dan bayi.
dong (dia) orang melahirkan dan orang hamil itu tidak boleh
berenang-berenang di air, nanti kalau berenang di air bisa kena
tetanus. Tetanus itu macamnya kejang-kejang, mulai dari
80

Pantangan makanan adalah juga amat lazim dalam kebudayaan daripada banyak
suku bangsa di dunia. Belum tentu hal itu bersangkutan dengan religi, sehingga
belum tentu pantangan makanan itu disebabkan karena makanan tadi dianggap
keramat. Banyak pantangan malahan berdasarkan kepercayaan bahwa makanan itu
bisa merugikan kesehatan atau menghalang-halangi suatu tujuan (Koentjaraningrat,
1985:252).

cxxvi

panas tinggi, terus panas tinggi panas tinggi, akhirnya kejangkejang, badan itu terasa lemas, itu mulut tekancing (tidak bisa
dibuka), tidak bisa minum, tidak bisa makan. (Mama YU, 60
Tahun)
c. Binatang
Binatang juga dipahami dapat menyebarkan penyakit pada
masyarakat. Salah satu yang paling dipahami adalah nyamuk. Hasil
wawancara dengan Mama ST (40 tahun) dan Mama AC (35 tahun)
memberitahukan bahwa pemahaman masyarakat bahwa nyamuk
dapat menularkan penyakit malaria dan demam berdarah.
Pemahaman tersebut yang melatar belakangi masyarakat berperilaku
selalu menghidupkan api-api di sore hari dan tidur dengan kelambu.
Selain nyamuk, terdapat juga pendapat mengenai kotoran dari
binatang baik anjing, sapi ataupun kuda yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit. Pemeliharaan binatang yang tidak diletakan di
kandang, mengakibatkan kotoran para hewan berserakan dimana
saja. Sehingga ketika memasuki musim hujan kotoran tersebut akan
bercampur dengan air hujan sehingga dipercaya dapat menyebabkan
penyakit diare atau disentri. kalau ada luka-luka begitu, terus kena
abu-abu kotoran kuda, hewan gitu, begitu juga sama bisa kasih
tetanus. (Mama YU, 60).
Kotoran anjing dan kuda juga dipahami masyarakat sebagai
penyebab penyakit tetanus. Diceritakan lebih lanjut proses
penularannya terjadi melalui angin yang telah bercampur dengan
debu dan kotoran binatang yang kemudian menempel pada luka yang
tidak dirawat atau dibersihkan.
Khusus untuk binatang anjing masyarakat juga menyatakan
terdapat beberapa kejadian kesakitan yang diakibatkan gigitan yang
dilakukan anjing pada manusia, mereka biasa menyebut binatang
anjing yang sering menggigit manusia dengan sebutan anjing jahat.

cxxvii

d. Aktifitas Keseharian
Aktifitas keseharian dianggap BapakLS (56 tahun) berpotensi
memberikan penyakit pada masyarakat. Aktifitas penduduk yang
banyak menggunakan benda tajam seperti parang, dapat
menyebabkan kejadian luka akibat parang. Diceritakan lebih lanjut,
kejadian tersebut sering terjadi pada anak-anak kecil di Tomer, anakanak terbiasa dengan memegang parang karena mengikuti orang
tuanya.
Aktifitas keseharian lainnya yang dianggap berisiko adalah
kegiatan mencari ikan. Aktifitas mencari ikan di laut yang dilakukan
tanpa menggunakan alas kaki membuat pencari ikan rentan terkena
kayu tajam atau benda tajam lainnya sehingga bisa menimbulkan luka.

Gambar 3.4. Nelayan Memasang Jaring

(sumber: dokumentasi peneliti)


Menurut BapakYL (43 tahun) kebiasaan keseharian yang
banyak dilakukan di air dipahami dapat menyebabkan sakit-sakit pada
tulang, gatal-gatal pada kulit, hingga mendapatkan penyakit malaria.
e. Makanan
Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh dipercaya
masyarakat dapat menyebabkan sakit pada tubuh. Makanan yang
sudah tercemar penyakit akan mendatangkan penyakit pada tubuh.
Makanan yang tidak sesuai dengan tubuh juga dipercaya dapat
mendatangkan penyakit. Salah satu contoh makanan yang tidak sesuai

cxxviii

menurut BapakYL (43 tahun) adalah rica-rica (cabe rawit) dan alkohol.
Rica-rica tidak sesuai untuk anak-anak, jika berlebihan maka anakanak akan mengalami muka pucat dan terkena sakit. Oleh karena itu
BapakYolman tidak memperbolehkan anak-anak memakan rica-rica
selain yang sudah disediakan oleh orangtuanya dalam makanan.
.....karna mereka pulang dari sekolah nasi kosong, nasi putih
satu piring itu mereka bisa pake makan rica garam saja itu,
makanya anak-anak kecil begini sering itu lihat kondisi muka
pucat, badan saja turun, main oke, bibir pica-pica (pecahpecah), batuk, karna anak-anak ini tidak bisa ada protein
sedikit itu ikan atau lauk apasaja... (BapakYL, 43 tahun)
f. Gangguan Deme
Menurut BapakAL (66 tahun) deme dalam bahasa Kanume
atau dema dalam bahasa Marind dipercaya sebagai sesuatu yang
melahirkan leluhur mereka. Selain itu deme juga dipercaya sebagai
pemilik alam. Masing-masing tumbuhan dan hewan dipercaya
memiliki deme-nya masing-masing. Keberadaan deme sampai saat ini
masih dipercaya keberadaannya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat81.
Kesalahan manusia dalam memperlakukan alam dapat
berimplikasi pada munculnya sakit pada tubuh. Sakit ini menurut
BapakYL (43 tahun) dipercaya sebagai gangguan deme. Salah satu
contohnya adalah ketika seseorang memotong pohon tanpa maksud
dan tujuan yang jelas, jika deme pohon tersebut marah atas
perbuatan tersebut maka orang yang bersangkutan akan

81

Hal ini juga diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam buku Beberapa Pokok
Antropologi Sosial (1985) yang menyatakan bahwa ruh-ruh leluhur, ruh-ruh lainnya,
hantu dan sebagainya dianggap juga oleh banyak suku bangsa di dunia sebagai
penduduk dunia gaib. Ruh-ruh tersebut dianggap menempati alam sekitar tempat
tinggal manusia (Koentjaraningrat, 1985:234-235).

cxxix

mendapatkan kesakitan yang berasal dari perbuatan deme82.


Termasuk juga dalam perbuatan membunuh binatang tapi tidak
digunakan untuk pemenuhan sehari-hari.
Jika seseorang terkena gangguan deme, maka tidak semua
orang mengetahui apa yang menjadi penyebab sakitnya. Dibutuhkan
orang khusus yang mengerti kondisi yang sebenarnya dari orang yang
sakit. Jika sakit biasa maka bisa diobati di bidan atau dokter. Namun
jika tak kunjung sembuh maka keluarga akan membawanya ke orang
tertentu yang bisa memberitahu apakah penyakitnya disebabkan
deme atau tidak. Orang tersebut dikenal dengan sebutan dokter adat.
Sebutan dokter adat berarti bahwa hanya dengan cara adat penyakit
tersebut bisa sembuh. Kemampuan dokter adat mengeluarkan
pengaruh deme dari tubuh seseorang menentukan sembuh tidaknya
seseorang tersebut.
Pada Kampung Besar (RT 1, RT 2, RT 4, RT 5) sebagian besar
masyarakat tidak percaya lagi dengan gangguan deme. Hal ini
menurut Mama KL (54 tahun) dikarenakan dahulunya deme-deme di
Kampung Tomer sudah diminta pindah pada saat pendirian Kampung.
Dahulu upacara dan pembakaran Sep telah dilakukan agar Deme tidak
lagi mengganggu. Oleh karena itu gangguan Deme sudah tidak
dipercaya kembali oleh mayoritas penduduk Kampung besar. Kondisi
berbeda83 terjadi pada penduduk Kampung Tomer di RT 3. Situasi
sosial budaya di mana mereka baru kembali menempati Kampung
Tomer di tahun 2005 setelah 48 tahun bertempat tinggal di Kampung
82

Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1985) berdasarkan hasil
penelitiannya yang dilakukan di pantai utara papua bahwa terdapat terdapat
pengkategorian mahluk dan kekuatan yang menduduki dunia gaib, salah satunya
adalah kekuatan sakti yang bisa berguna maupun yang bisa menyebabkan bencana.
83
Sebagian besar masyarakat lainnya masih mempercayai gangguan deme. Mereka
mempercayai bahwa deme ini masuk ke dalam tubuh sambil membawa pernyakit.
Seringkali mahluk-mahluk halus tadi dapat masuk dalam tubuh binatang, dan sering
juga katanya mahluk hidup tadi dapat masuk dalam tubuh orang yang hidup
(Koentjaraningrat, 1985:235).

cxxx

Bula PNG membuat mereka masih mempercayai adanya gangguan


deme-deme. Kepercayaan yang mereka miliki terhadap deme-deme
membuat mereka masih memelihara sikap dan tindaktanduk agar
tidak membuat deme marah.
Akibat gangguan deme ini dapat mengakibatkan demam, sakit
kepala bahkan hilang pikiran seperti tidak bisa diajak berbicara,
membuat penderita mengasingkan diri, berteriak-teriak seperti orang
gila. kita bisa lihat ciri-cirinya, kalau sudah demam, teriak-teriak,
hilang pikiran seperti orang gila itu ada gangguan deme. (YL, 43
tahun).
Wujud dari gangguan deme ini berbeda-beda. Seperti pada
salah satu kasus pada anak kecil yang berat badannya terus menurun
dan menangis terus setiap malam, yang tanpa sengaja terfoto oleh
salah seorang warga. Pada foto tersebut tergambarkan bahwa si anak
yang sedang terlilit ular besar yang mana bila dilihat dengan kasat
mata tidak terlihat. Bukti tersebut dipercaya masyarakat bahwa si
anak tersebut terkena gangguan dewa yang merubah wujudnya
menjadi ular.
Kasus lain masyarakat meyakini bahwa gangguan deme juga
dapat menyebabkan seseorang terkena malaria tropika. Apabila dikaji
secara keilmuan medis malaria tropika ini memiliki gejala klinis84 yang
menyebabkan si penderita tidak sadarkan diri atau hilang kesadaran
atau seperti orang gila. Iya, bisa.. malaria tropika itu, iya bisa, dia
(Deme) masuk tuh kepada dong (dia) pu (punya) tubuh, dia tinggal ku
pu (punya) pikiran, dia yang kuasa. (Mama KM, 30 tahun)
Deme atau diartikan makhluk halus, menjadi sesuatu yang
senada namun tak sama antara Suku Kanumeyang mempercaya deme
dan suku daeng yang juga mempercayai gangguan makhluk halus
84

Gejala klinis dari malaria tropika yang memiliki kemiripan dengan ciri-ciri sakit yang
diakibatkan gangguan Deme ini yang memungkinkan masyarakat mengkaitkan
ganguan Deme sebagai penyebab penyakit malaria tropika.

cxxxi

namun tak ada nama khususnya. Menurut Ibu SM (35 tahun) makhluk
halus dalam definisi suku daeng adalah arwah dari seseorang yang
telah dibunuh oleh manusia lainnya yang meninggali suatu tempat
tertentu.
Suku daeng percaya bahwa terdapat satu jenis penyakit yang
disebabkan makhluk halus yaitu poro-poro. Gejala dari poro-poro ini
adalah panas, demam, kemudian muncul bintik-bintik merah yang
gatal. Orang daeng biasanya tidak melakukan pencarian pengobatan
untuk penyakit tersebut. Mereka yakin penyakit tersebutakan hilang
dengan sendirinya tanpa diobati. Namun bahayanya poro-poro ini
dapat mengakibatkan kematian apabila bintik-bintik merah ini masuk
dalam tubuh. Hal yang dapat menyebabkan bintik merah tersebut
masuk ke dalam tubuh adalah terkena air dan udara. Sehingga ada
pantangan dari penyakit poro-poro ini yaitu terkena air termasuk juga
mandi dan keluar rumah agar tidak terkena angin.
g. Suanggi85
Di kampung Tomer ini masih terdapat sekelompok masyarakat
yang percaya akan individu-individu yang memiliki kekuatan untuk
mencelakai. Khususnya pada kelompok masyarakat RT 3 masih sangat
kental kepercayaan pada ilmu yang dapat menyebabkan seseorang
sakit bahkan mati. Ilmu tersebut mereka anggap sebagai black power
(ilmu hitam). Ilmu tidak baik yang digunakan seseorang untuk
mencelakai orang lain, masyarakat biasa menyebutnya suanggi86.
85

Terdapat perbedaan penyebutan istilah, beberapa peneliti menggunakan kata


suangi (baca Koentjaraningrat, 1985), sedangkan masyarakat Kampung Tomer
menyebutnya dengan sebutan Suanggi
86
Di Indonesia terutama di Kepulauan Maluku dan Irian Jaya (sekarang Papua),
kepercayaan kepada witchcraft itu juga masih ada. Kepercayaan serupa itu disebut
kepercayaan suangi. Seorang suangi dianggap sebagai orang yang berbakat menjadi
suangi. Sifat-sifat itu sering mula-mula tidak tampak, tetapi bisa sekonyong-konyong
muncul kalau orang sudah dewasa. Kalau ada kabar angin bahwa seseorang individu
menunjukan ciri-ciri suangi timbul dan menjalar, maka si malang seringkali tidak
tahu-menahu akan mulai dijauhi orang. (Koentjaraningrat, 1985:285).

cxxxii

Menurut BapakYL (43 tahun) cara yang digunakan oleh orang


yang memiliki ilmu suanggi adalah dengan memotong-motong tulang
dan daging secara gaib. Orang yang terkena suanggi akan merasakan
sakit pada tubuhnya, namun tubuhnya tetap utuh. Mengenai kelakuan
seorang suangi87, berbagai bisikan akan cepat berpindah dari mulut ke
mulut. .....yah sudah de mulai ambil cara begitu, mungkin de pergi
cari jalan keluar untuk bikin sakit dia, kaki patah jatuh dari pohon tapi
itu akibat orang lain pake black power (BapakYL, 43 tahun).
Hanya orang yang punya kemampuan khusus yang dapat
mengetahui bahwa tubuh seseorang tersebut telah dipotong-potong.
Jika sudah diketahui maka yang terkena suanggi harus segera berobat
pada orang bisa mengobati secara gaib juga. Jika tidak segera ditolong
maka orang yang bersangkutan akan mengalami kematian.
Suanggi dilakukan biasanya dikarenakan ada ketersinggungan
atau sakit hati dalam interaksi keseharian. Namun demikian pada
Kampung besar, sebagian besar masyarakat tidak mempercayai lagi
adanya suanggi. Masyarakat mempercayai bahwa dengan masuknya
agama, injil dan pendeta suanggi ini sudah mulai banyak menghilang,
hanya saja tetap ada yang menggunakan satu dua orang saja.
Suanggi itu orang biasa yang pake ilmu-ilmu, mungkin ada
sentimen pribadi ka mengenai tanah, atau dusun, de punya
hak ulayat dicuri orang lain...... (BapakYL, 46).
3.4. Perilaku Pencarian Pengobatan
Pada saat mengalami atau menghadapi kesakitan maka
masyarakat Kampung Tomer memiliki berbagai solusi untuk keluar
dari kondisi tersebut. Berdasarkan pengetahuan, kepercayaan dan
pengalaman yang mereka miliki maka cara mencari sesuatu yang

87

Katanya seorang suanggi pada malam buta suka datang dengan diam-diam masuk
ke rumah dan berubah menjadi mahluk halus masuk ke dalam tubuh mangsanya dan
makan habis tubuh itu dari dalam (Koentjaraningrat, 1985:285).

cxxxiii

mempunyai daya penyembuh juga bermacam-macam. Pengaruh latar


belakang budaya
mempengaruhi pemilihan seseorang untuk
mengatasi sakit yang diderita. Budaya Kanume, Marin, Jawa,
Makassar, Timor memiliki pertimbangan masing-masing dalam
menghadapi sakit yang mereka derita. Selain itu masing-masing
individu juga memiliki pertimbangan untuk memilih tempat
pengobatan yang dipercaya. Kepercayaan terhadap penyebab sakit
juga mempengaruhi pencarian pengobatan. Berdasarkan hasil
penelitian lapangan terdapat beberapa prilaku pencarian pengobatan
pada masyarakat Kampung Tomer, yaitu :
a. Tidak Melakukan Apa-apa
Di lapangan masih ditemui masyarakat Kampung Tomer yang
tidak melakukan pencarian pengobatan ketika mengalami kondisi
sakit. Mereka hanya beristirahat di rumah dan tidak mengakses
fasilitas kesehatan Puskesmas pembantu yang tersedia di Kampung
Tomer. Pada saat ditanya apakah yang menjadi penyebab tidak mau
berobat ke Puskesmas pembantu, Jawabannya adalah karena malu.
Mereka malu karena berobat itu gratis, sehingga sungkan untuk pergi
berulang-ulang ke Puskesmas pembantu. Situasi ini banyak dialami
oleh suku Makassar yang datang terakhir di Kampung Tomer.
Tidak berobat karena malu dengan malas. Malunya itu karena
masalahnya gratis terus, jadi kita malu, kalau satu dua kali
tidak apa-apa, tapi kalau sudah 4 kali 5 kali malu kita, iya
memang mereka bilang jangan malu-malu, tapi kita malu (ibu
YT, 31 tahun)
Adanya kendala bahasa, yang mana kebanyakan dari mereka
tidak menguasai bahasa Indonesia yang tidak dikuasai, ditambah rasa
malu saat berobat gratis, hingga akhirnya membuat kelompok
tersebut pada saat mengalami sakit tidak melakukan apa-apa. Batas
kondisi ini adalah tubuh mereka sendiri. Ketika tubuh mereka dirasa

cxxxiv

masih sanggup menahan sakit maka beristirahat saja di rumah adalah


pilihan mereka dalam menghadapi kondisi sakit.
b. Tindakan Mengobati Diri Sendiri
Pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan terhadap
kesehatan membuat beberapa masyarakat Kampung Tomer dapat
mengobati sendiri penyakit yang mereka derita, khususnya dengan
menggunakan pengobatan tradisional. Pengetahuan kesehatan ini
didapatkan secara turun-temurun dan disebarluaskan antargenerasi
bahkan antarsuku. Terkadang pengetahuan kesehatan tersebut sudah
sulit dilacak siapa yang pertamakali memperkenalkannya. Adanya
pengetahuan dan keterampilan pengobatan tradisional tersebut
membuat masyarakat merasa penyakit-penyakit tertentu dapat
diobati sendiri oleh masyarakat.
Beberapa penyakit yang dapat diatasi sendiri oleh masyarakat
adalah bisul, jatuh, keseleo, panas demam, luka berdarah, diare dan
sakit gigi. Bahkan pengetahuan dan keterampilan tersebut juga telah
dikuasai oleh anak-anak Kampung Tomer. Ketika ditanyakan terkait
obat tradisi yang dipergunakan menyembuhkan penyakit tersebut ,
para anak kecil akan berlomba menjawab dan memberi penjelasannya
dengan detail.
Tindakan pengobatan sendiri ini biasa di lakukan ketika
masyarakat merasa mampu mengobatinya, namun jika pada waktu
tertentu belum mengalami kemajuan, maka mereka akan mengakses
layanan kesehatan.
c. Mencari Pengobatan Dengan Membeli Obat di Kios (warung)
Bagi beberapa orang di kampung Tomer, obat-obatan yang
tersedia di kios menjadi pengobatan pertama. Aktifitas mereka yang
banyak berhubungan dengan terik matahari dan air (rawa maupun
laut) menyebabkan banyak yang mengeluhkan sering sakit kepala dan
kekelahan. Apabila sakit kepala menyerang maka salah satu obat yang
paling sering digunakan adalah puyer yang banyak disediakan di kios.

cxxxv

Keberadaan obat-obatan di warung juga menjadi alternatif


ketika mereka merasa sungkan untuk berobat ke Puskesmas
pembantu. Kesungkanan ini dikarenakan penyakit yang mereka derita
dianggap ringan dan dapat diobati sendiri. Pertimbangan lain juga
karena obat yang tersedia di kios telah berpengalaman mengobati
sakit yang mereka derita. Setelah meminum obat yang dijual di kios
tidak beberapa lama sakit akan hilang dan mereka bisa beraktifitas.
Ketika sakit tidak hilang barulah mereka berobat ke Puskesmas
pembantu yang tersedia di Kampung Tomer.
d. Gereja (Dewan Stasi dan Pendeta)
Dewan Stasi dan Pendeta dipercaya dapat memberikan
penyembuhan bagi penderita sakit. Menurut BapakLB (37 tahun)
Bagi mereka yang memeluk agama Katolik dan Protestan, percaya
bahwa segala sesuatu di dunia ini diberikan oleh Tuhan Yesus,
termasuk penyakit. Oleh karena itu jika Tuhan Yesus berkenan maka
penyakit tersebut juga dapat diangkat kembali dari tubuh.
Berdasarkan kepercayaan tersebut maka beberapa orang di Kampung
Tomer khususnya ketika mengalami sakit meminta bantuan dewan
Stasi dan pendeta untuk berobat88. Mereka yang beragama Katolik
akan meminta bantuan dewan stasi, sedangkan yang beragama
Kristen Protestan akan meminta bantuan pendeta.
......Itu dari kepercayaan dan kita yakin bahwa benar sa (saya)
punya sakit ini tidak ada dokter lain hanya Tuhan, jadi semua
88

Kondisi pencarian pengobatan menggunakan dewan Stasi dan pendeta ini dapat
dijelaskan melalui konsep dari Koentjaraningrat yang menjelaskan Kalau manusia
dalam hidupnya tak dapat mencapai keinginannya, atau maksud dan tujuannya,
karena ia sampai kepada batas kemampuan sistem pengetahuannya atau ilmu
pengetahuannya itu tadi, maka ia sering akan mencari usaha lain untuk mencapai
kehendaknya; ia sering akan lari ke religi atau agama, dan mendoa kepada ruh-ruh,
dewa-dewa, atau Tuhan, untuk mendapat apa yang diingininya itu; tetapi lebih
sering ia akan lari ke ilmu gaib (Koentjaraningrat, 1985:277).

cxxxvi

penyakit ini kan di ciptakan oleh Tuhan sendiri maupun apa


binatang segala macam dicipta oleh Tuhan, jadi dia benarbenar yakin bahwa nanti Tuhan akan tolong saya, jadi paling 2
hari dia sudah sembuh. (BapakLB, 37 tahun)
Cara pengobatan dengan menggunakan jasa Gereja adalah
dengan meminta doa pada Pendeta. Nantinya Pendeta akan memberi
doa pada segelas air. Kemudian air tersebut diminum sebagai
perantara pengobatan. Jika yang sakit tidak bisa menemui pendeta
langsung karena kondisi badannya lemah, maka pendeta dapat
diminta untuk datang ke rumah mendoakan kesehatan si sakit.
Bahkan ketika di rumah sakitpun pendeta dapat diminta
datang untuk memberikan doa. Adanya kekuatan doa pendeta dapat
membantu kesembuhan memberikan keyakinan pada si sakit untuk
sembuh. Namun demikian pemilihan dewan Stasi dan Pendeta untuk
berobat hanya dilakukan pada mereka yang keimanannya kuat, dan
yakin bahwa pendeta dapat memperbaiki status kesehatannya.
Bagi penganut agama Kristen pengobatan pada dewan stasi ini
biasa di lakukan untuk mengetahui penyebab sakit apa yang diderita,
apabila jika penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan melalui dewan
stasi, maka dewan stasi akan memberi arah untuk melakukan
pengobatan apakah ke medis atau ke dokter adat.
kebanyakan itu kita biasa ke gereja, untuk disembuhkan, jadi
di sini ada tete(kakek) dewan di sebelah, sebelum ke rumah
sakit atau ke orang dukun begitu yang bisa cek tubuhnya
kenapa-kenapa mungkin ada roh halus trus apa ini ka begitu,
kita minta pertolongan dulu ke Bapakdewan Stasi de
sembayang dolo (dulu) minta pertolongan dari Tuhan untuk
mungkin roh halus bisa keluar atau penyakit itu bisa
tersembuh ka..... (BapakYL, 43 Tahun)

cxxxvii

e. Medis (Rumah Sakit, Puskesmas, Pustu, Pos TNI)


Di Kampung Tomer sendiri terdapat dua tempat pencarian
pengobatan secara medis, yakni layanan kesehatan dari pemerintah
yaitu Puskesmas Pembantu (Pustu), selain itu juga terdapat pada pos
jaga TNI yang dilengkapi layanan pengobatan bagi para anggota TNI.
Beberapa anggota TNI sengaja dibekali dan dilatih untuk menjadi
tentara kesehatan (Tenkes), sehingga memiliki pengetahuan
kesehatan dan pengobatan untuk keperluan lokasi tugas, serta
didukung dengan perbekalan obat. Dengan hadirnya tenkes dan
perbekalan pengobatannya, menjadikan pos jaga TNI tempat
pencarian pengobatan masyarakat.
Dua tempat tempat pencarian pengobatan ini dapat memberikan
pertolongan pertama pada masyarakat. Jika dirasa membutuhkan
pertolongan lebih lanjutan, maka masyarakat Kampung Tomer akan
dirujuk untuk melakukan pengobatan ke Puskesmas Naukenjerai yang
berada di Kampung Onggaya. kalau sakit mereka biasa ke tempat
saya, atau ke pos jaga (pos kesehatanTNI), nanti kalau butuh
pertolongan lebih baru ke puskesmas. (WL, 24 tahun, Tenaga
Kesehatan).
f. Dokter Adat
Kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib yang dapat
menyebabkan sakit pada manusia maka masyarakat suku asli (Kanume
dan Marin), juga melahirkan kepercayaan terhadap pengobatan
khusus yaitu melalui dokter adat89. Dengan demikianmenurut BapakYL
(43 tahun) proses pencarian pengobatan ketika meyakini sakit yang
diderita akibat suanggi atau gangguan deme, maka pengobatannya
dilakukan kepada dokter adat.
Masih menurut BapakYL Profesi dokter adat tidak dimiliki oleh
sembarang orang. Dokter adat adalah seseorang yang dianggap suci
89

Koentjaraningrat menjelaskan adanya ilmu yang mengenal cara-cara untuk


mengusir ruh jahat (Koentjaraningrat, 1985:283).

cxxxviii

karena tidak pernah membunuh orang dan tidak melakukan


perbuatan kotor. Orang tersebut ditunjuk oleh tetua adat untuk
membantu anggota sukunya yang membutuhkan. Dokter adat jugalah
yang dapat mengetahui apakah seseorang yang sakit tersebut betulbetul terkena gangguan Deme atau tidak. Jika tidak maka biasanya
orang tersebut disarankan berobat ke medis baik ke dokter ataupun
bidan. Namun jika diketahui orang tersebut memang terkena
gangguan deme, maka ia akan diobati secara adat. Terkadang bila
gangguan deme sudah dikeluarkan namun yang bersangkutan masih
ada gejala sakit maka dianjurkan untuk berobat ke dokter atau bidan.
...orang itu terpilih dalam forum adat, dia terpilih bahwa kau
ini yang bisa perhatikan warga jadi orang itu dia tidak punya
kotor sedikit, pernah ada dengar informasi bahwa orang ini
pernah bikin sesuatu untuk ibu sana, orang ini pernah bunuh
anak yang sana, jadi di dalam forum itu tidak boleh de punya
namanya noda begitu jadi dia itu sudah khususnya tunjuk
untuk bisa rawat masyarakat, de bisa tolong masyarakat....
(Bapak YL, 43 tahun)
g. Dukun Kampung
Profesi dukun Kampung dahulu memegang peranan penting
dalam mengatasi masalah kesehatan di Tomer, khususnya pada saat
akses untuk mencapai layanan kesehatan masih terbilang sulit. Dukun
Kampung menjadi andalan karena memiliki kedekatan emosional
dengan si sakit atau keluarganya. Dukun Kampung kebanyakan
merangkap menjadi dukun bayi.
Menurut Mama AD (67 tahun) proses pencarian pengobatan
pada dukun kampung saat ini sudah jarang Kampung Tomer.
Walaupun sudah jarang diminta pertolongan, namun profesi dukun
Kampung tetap menjadi rujukan masyarakat terhadap penyakit
tertentu. Bentuk permintaan pertolongan ini biasanya tentang
penyakit atau kondisi yang tidak terlalu berbahaya seperti gatal-gatal,

cxxxix

ingus, membenarkan posisi bayi dalam kandungan, bisul, dan


kesakitan akibat terjatuh.
Pencarian pengobatan yang dilakukan kepada dukun kampung
ini tidak selalu untuk mendapatkan tindakan pengobatan, tetapi dapat
hanya berupa permintaan informasi tentang tanaman apa yang bisa
mengobati penyakit yang dimaksud dan bagaimana meramu dan
menggunakannya. Lalu keluarga si sakit akan mencari tanaman
tersebut dan meramunya sendiri untuk mengobati.
3.5. Pelayanan kesehatan
3.5.1. Pelayanan Kesehatan medis
a. Pustu
Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kampung Tomer baru
dibangun sekitar tahun 199690, ketika penugasan tenaga kesehatan
sudah sampai pada tingkatan Kampung. Tenaga kesehatan yang
ditempatkan di Tomer adalah bidan di desa. Kewenangan dari bidan di
desa ini adalah membatu persalinan dan memberikan pengobatan
ringan hingga memberikan rujukan untuk ke Puskesmas.

Gambar 3.5. Puskesmas Pembantu Kampung Tomer

(sumber: dokumentasi peneliti)

90

Data profil Kampung Tomer 2014

cxl

Letak Pustu berhadap-hadapan dengan bangunan balai


Kampung dan sekolah dasar, berada di tengah-tengah Kampung,
sehingga dengan mudah dapat dijangkau dari kedua belah penjuru
desa. Menurut Mama KT (53) kampung Tomer akan kembali
mendapatkan bantuan bangunan kesehatan untuk penunjang layanan
Pustu, sehingga dibuatkanlah rumah yang rencananya diperuntukkan
untuk rawat inap ibu bersalin di Pustu. Namun kemudian pada waktu
berdekatan, dibangun juga Puskesmas Naukenjerai sebagai pusat
layanan kesehatan tingkat distrik.Sehingga bangunan yang rencananya
akan digunakan untuk rawat inap, menjadi rumah tinggal bidan di
desa, sedangkan bangunan Pustu lama digunakan untuk kegiatan
Posyandu balita.
Menurut Ibu PA (40 tahun) penggunaan layanan Pustu oleh
masyarakat sudah cukup bagus di awal-awal keberadaannya. itu
waktu saya tugas di sana, masyarakat biasa datang ke pustu, sekedar
ngobrol atau berobat. (ibu PA, 40 tahun).
Hal ini dikarenakan masyarakat sesungguhnya sudah mengenal
pengobatan medis sebelum Pustu masuk. Pada tahun-tahun
sebelumnya masyarakat mendapatkan layanan kesehatan terdekat di
kampung Onggaya dengan seorang mantri kesehatan. Karena jaraknya
yang jauh masyarakat baru menggunakan layanan tersebut ketika
penyakit atau sakit yang dirasa sudah sangat parah dan berbahaya
mengancam keselamatan hidup. Namun setelah masuknya layanan
kesehatan hingga level Kampung membuat perilaku pencarian
pengobatan terhadap layanan kesehatan medis meningkat. Saat ini
masyarakat telah menggunakan layanan medis yang tersedia di
kampung masing-masing.
b. Puskesmas
Menurut cerita Ibu PA (40 tahun) dan Mama KL (54 tahun)
Kampung Tomer mulai tahun 2009 merupakan wilayah kerja
Puskesmas Naukenjerai. Sebelumnya Kampung Tomer dan 5 Kampung

cxli

lainnya masih masuk ke wilayah kerja Puskesmas Rimba Jaya. Pada


awal tahun 2015 Puskesmas Naukenjerai baru saja banyak mengalami
perubahan formasi tenaga kesehatan. Puskesmas nauken jerai
memiliki 15 tenaga kesehatan, yang terdiri dari 1 dokter umum, 3
bidan di Puskesmas, 3 bidan di Kampung (Pustu), 4 perawat di
Puskesmas, 2 perawat di Pustu, 1 SKM, 1 tenaga analis. Program di
Puskesmas Naukenjerai terbagi atas program KB dan KIA, Gizi,
Imunisasi, P2PL, dan malaria. Jarak Kampung dengan Puskesmas
relatif cukup dekat yaitu kurang lebih 2,5 KM atau bila ditempuh
dengan motor membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit.

Gambar 3.6. Puskesmas Naukenjerai

(sumber: dokumentasi peneliti)


c. Satgas TNI
Kampung Tomer yang merupakan salah satu Kampung yang
dekat perbatasan Indonesia dan PapuaNew Guinea (PNG), dengan
keadaan geografis tersebut, menjadikan Kampung Tomer dan
Kampung sekitarnya ditempatkan satu satuan tugas (satgas) Tentara
Negara Indonesia (TNI). Menurut AN (22 tahun) yang juga salah
seorang anggota TNI, setiap satgas TNI yang bertugas terdapat 2 atau
3 orang yang dilatih atau memang memiliki keahlian kesehatan,
mereka juga dibekali dengan alat pemeriksaan, alat bedah ringan dan
obat-obatan mendukung, merea disebut dengan tentara kesehatan
(tenkes).

cxlii

Tugas utama dari Tenkes ini sebenarnya adalah sebagai


pertolongan pertama untuk para tentara yang mungkin mengalami
sakit di tempat satuan tugas. Namun di lapangan keberadaannya juga
dimanfaatkan juga oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar juga
banyak yang menggunakan layanan kesehatan milik satgas. Hal ini
dikarenakan masyarakat lebih merasa cepat sembuh ketika berobat
pada tentara kesehatan ketimbang pada bidan di desa (Pustu) dan di
Puskesmas. Hal ini juga didukung pernyataan dari bidan di desa
(bidan WL, 22 tahun) dan salah seorang tentara kesehatan (AL, 24
tahun) yang mengakui obat-obat yang dimiliki merupakan obat-obat
yang memiliki dosis tinggi.itu masyarakat suka berobat ke pustu
(Puskesmas Pembantu)karena dosisnya tinggi, jadi cepat sembuh.
(bidan WL, 22 tahun).
3.5.2. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
a. Posyandu
Dari Mama BD (54 tahun) didapat gambaran bahwa Posyandu
balita rutin digelar satu bulan sekali di aula balai Kampung sekitar
tanggal 13-15 setiap bulannya. Posyandu balita ini dikoordinir oleh 5
orang kader dan didukung oleh 3 tenaga Puskesmas untuk bagian gizi,
imunisasi, dan pemeriksaan ibu hamil. Empat dari lima orang kader ini
merupakan kader perintis Posyandu balita di Tomer dan telah menjadi
kader sekitar 19 tahun lamanya. Posyandu balita di Kampung Tomer
ini baru dimulai tahun 1996-an.Setelah bidan di desa pertama masuk
yaitu bidan Puji Sulastri, sebelumnya kegiatan Posyandu balita ini
dilakukan di Kampung Onggaya sebagai pusat pemerintahan
Kecamatan Naukenjerai. Saat itu Kampung Tomer yang merupakan
bagian dari kecamatan Naukenjerai masih merupakan bagian wilayah
kerja Puskesmas Rimba Jaya, sehingga kegiatan Posyandu balita pada
tahun sebelum 1996-an dikoordinir oleh Puskesmas Rimba Jaya.
Tiap bulan Puskesmas Mopah baru mengadakan Puskesmas
keliling ke tiap-tiap wilayah kerjanya, termasuk Onggaya sebagai pusat

cxliii

pemerintahan distrik Nauken jerai. Untuk mengadakan pemeriksaan


umum, pemeriksaan ibu hamil dan Posyandu balita. Pada saat itu
warga Tomer membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk dapat
mengikuti Posyandu di Onggaya dengan berjalan kaki.
Hingga Posyandu balita terbagi di Kampung Tomer, pelayanan
Posyandu balita tidak hanya diperuntukkan untuk warga Kampung
Tomer, namun juga juga untuk masyarakat Kampung Tomerau dan
Condo. Demi untuk mendapatkan layanan Posyandu balita,
masyarakat Tomerau dan Condo melakukan perjalanan yang cukup
panjang. Mereka harus bermalam diperjalanan dan membawa
perbekalan yang cukup banyak. Melewati rawa dan jalanan yang
setepak. Demi untuk dapat menjangkau Kampung Tomer sebagai
tempat layanan kesehatan yang terdekat dari Kampungnya.
Posyandu balita di Kampung Tomer pada pelaksanaannya
hanya menggunakan 2 meja saja. Sedangkan Posyandu balita
seharusnya terdiri dari 5 meja. Dua meja tersebut terdiri dari pertama
adalah meja pendaftaran yang mengurusi pendaftaran, penimbangan
berat badan, pengukuran tinggi badan dan penulisan KMS pada buku
KIA yang biasa di kerjakan oleh 2-3 kader. Kemudian meja kedua
adalah meja kesehatan yang meliputi pemeriksaan jika sakit dan
pemberian imunisasi, meja ini biasa diisi oleh pihak Puskesmas atau
bidan di desa.

Gambar3.7. Buku KIA khusus dirancang untuk masyarakat papua

(sumber: dokumentasi peneliti)

cxliv

Selain kegiatan penimbangan, pengukuran dan pemeriksaan,


kegiatan tambahan seperti penyuluhan kesehatan juga diberikan guna
meningkatkan pengetahuan masyarakat. kegiatan penyuluhan
kesehatan ini biasa dilakukan oleh para kader, para kader secara
bergiliran bertugas menyampaikan pesan-pesan kesehatan tiap
bulannya. Untuk penunjang pengetahuannya para kader dibekali
sebuah buku tentang kader kesehatan pemberian dari Puskesmas.
Para balita yang datang pada kegiatan Posyandu juga diberikan PMT.
Sumber keuangan PMT berasal dari dana GERBANGKU (Gerakan
Pembangunan Kampung) yag merupakan program unggulan dari
Bupati Merauke terpilih BapakRomanus Mbarata. Namun apabila
tidak ada bantuan pembiayaan untuk pengadaan PMT, maka tidak ada
pengadaan PMT. Tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan
swadaya terkait upaya kesehatan masyarakat sangat rendah.
Menurut Mama BD (54 tahun) total jumlah balita yang ada di
Kampung Tomer adalah 49 balita, namun untuk kehadiran hanya
sekitar 30-35 anak yang datang rutin mendatangi Posyandu. hal ini
dikarenakan masyarakat kebanyakan hanya membawa anak balitanya
ketika sudah waktunya mendapatkan imunisasi.
b. Posyandu Lansia
Menurut Mama BD (54 tahun) Posyandu Lansia baru mulai
dilaksanakan pada bulan April 2015. Posyandu Lansia di Tomer ini erat kaitannya
dengan perhimpunan wadah Lansia yang merupakan bentukan gereja Protestan
Kampung Tomer. Saat ini posyandu Lansia baru berjalan dua kali. Kegiatan
posyandu lansia antara lain penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan,
pemeriksaan serta edukasi terkait status kesehatan masing-masing Lansia. Rencana
kegiatan tambahan untuk posyandu lansia adalah senam Lansia. Posyandu Lansia
dikoordinasikan oleh 5 orang kader kesehatan dan dibantu tenaga pustu dan
puskesmas yaitu dokter umum. Jumlah Lansia di Kampung Tomer kurang lebih
sekitar 55 orang. Tingkat partisipasi posyandu lansia cukup tinggi untuk pelaksanaan
yang baru dua kali dilaksanakan.

cxlv

3.6. Kesehatan Ibu dan Anak


3.6.1. Fase Kehamilan
Kehamilan merupakan salah satu fase penting dalam
kesehatan ibu dan anak. Keadaan ibu hamil di Kampung Tomer
mayoritas rutin memeriksakan diri ke bidan di Kampung. Menurut
Mama YA (60 tahun) beban kerja ibu antara sedang mengandung
dengan tidak mengandung tidak ada bedanya. Ibu hamil tetap saja
beraktifitas seperti biasa sama seperti sebelum mengandung. Ibu
tetap beraktivitas membantu suami dan tetap ke sawah, hanya saja
tidak melakukan hal-hal yang berat dalam pandangan mereka. Selain
itu para ibu juga tetap menekuni kegiatan membuat kapur dari kulit
bia/kerang di pantai, melakukan pekerjaan rumah, dan membersihkan
pekarangan. Salah satu tujuan yang diyakini ibu hamil di Kampung
Tomer adalah beraktivitas dan berjalan jauh disaat hamil dapat
mempermudah dan menguatkan fisik ibu pada saat proses persalinan.

Gambar3.8. Ibu hamil yang sedang memeriksa hasil bakaran kapur di pantai

(sumber: dokumentasi peneliti)


Walaupun demikian menurut Mama YA ada kegiatan ibu hamil
yang dilarang menurut adat, bahkan sudah dianggap sebagai
pantangan pada ibu hamil.ibu hamil tidak boleh turun ke pantai.
Dalam hal ini bertemu dengan air / masuk ke air pantai, itu
pantangan. (Mama YA, 60 tahun).

cxlvi

Kepercayaan masyarakat Suku Kanume apabila ibu hamil


masuk ke air pantai dapat mengakibatkan ikan, udang, menjadi hilang
dari pantai dan pencari ikan tidak akan menemui ikan dan udang. Ibu
hamil hanya diperbolehkan berkegiatan di pinggir-pinggir pantai dan
tidak masuk ke airnya. Larangan bagi ibu hamil untuk berjalan dan
mandi di air-air kotor dan dingin seperti rawa-rawa dan sawah.
Larangan tersebut muncul karena dikhawatirkan akan terkena
tetanus. Hal tersebut masyarakat ketahui dari tenaga kesehatan.
Namun juga sudah menjadi tradisi bagi Suku Kanume untuk tidak
banyak melakukan kegiatan di air selama hamil. Untuk air mandi pun
dianjurkan untuk menggunakan campuran air hangat. Tetanus
menurut masyarakat merupakan penyakit yang berbahaya bagi ibu
hamil karena dapat mengakibatkan kematian pada ibu atau kecacatan
bahkan kematian pada bayi. Maka dari itu masyarakat juga
menyarankan pada ibu-ibu hamil untuk melakukan imunisasi Tetanus.
Pengetahuan tersebut juga masyarakat dapatkan dari tenaga
kesehatan di Kampung yaitu bidan di desa.
Masyarakat meyakini pada masa kehamilan berlangsung tidak
ada makanan yang menjadi pantangan atau dihindari untuk
dikonsumsi oleh para ibu hamil baik secara tradisi maupun kesehatan.
Begitu pula dengan makanan khusus yang dimakan selama kehamilan
juga tidak ditemui. Kegiatan dan makanan yang tidak terlalu dibatasi
pada masa kehamilan, juga tidak ada perawatan tertentu yang harus
diikuti atau dikerjakan baik secara adat maupun kesehatan,
menjadikan kehamilan pada Suku Kanume dianggap biasa saja.
3.6.2. Fase Persalinan
Berbeda dengan fase kehamilan wanita Suku Kanume. Pada
fase persalinan terdapat rambu-rambu adat. Tradisi persalinan pada
Suku Kanume tidak banyak berbeda dengan tradisi persalinan pada
suku-suku di Merauke lainnya seperti pada suku Marin, suku Muyu
dan lainnya, yaitu melahirkan di luar rumah atau di luar dusun.

cxlvii

Berdasarkan kepercayaan masyarakat Suku Kanume dulu yang


diungkapkan Mama ST (40 tahun), persalinan harus dilakukan di luar
rumah dikarenakan adat mereka menyebutkan bahwa darah
persalinan adalah darah kotor dan dapat menyebabkan sakit pada
suami dan anggota keluarga lainnya. Penyakit yang diakibatkan dari
darah kotor persalinan berupa napas pendek, muncul rambut-rambut
putih, dan tubuh yang melengkung seperti udang.
Alasan yang berbeda diungkapkan Mama DL (52 tahun) yang
menjelaskan maksud dari melahirkan di luar rumah tersebut
dikarenakan agar persalinannya tidak diketahui banyak orang. Selain
itu juga karena moyang-moyang dulu menganggap persalinan adalah
hal yang memalukan, sedangkan dirumah terlalu banyak orang.Maka
ibu bersalin harus melahirkan jauh dari rumah dan dari banyak orang,
bahkan diusahakan sampai untuk tidak berteriak saat melahirkan,
sehingga tidak diketahui banyak orang.Cerita yang berbeda juga
menjelaskan mengapa persalinan dilakukan diluar rumah, yang
kebanyakan dilakukan dikebun, karena untuk mendekatkan ibu
dengan sumber makanan.
Suami pada saat tersebut hanya bertugas menyediakan
makanan untuk ibu yang melahirkan dan sanak keluarga yang
membantu. Namun tetap tidak boleh menemui ibu tersebut hingga 40
hari lamanya. Penjelasan lebih lanjut diberikan Mama ST (40 tahun)
bahwa waktu yang diambil 40 hari ini dimaksudkan agar ibu sudah
dapat memulihkan kembali kekuatannya dan darah kotor setelah
persalinan telah habis, sehingga siap untuk kembali ke Kampung.
Saat melakukan persalinan ibu hamil biasa hanya dibantu oleh
sanak keluarga yang memiliki pengalaman membantu persalinan,
tidak harus dengan dukun Kampung. Hal tersebut menjadikan banyak
wanita di Suku Kanume mampu membantu persalinan. Bahkan saat ini
masih ditemui juga ibu yang melahirkan sendiri tanpa dibantu orang
lain.

cxlviii

Alat-alat terdahulu yang digunakan dukun Kampung saat


memotong tali pusar adalah kulit luar pohon bambu atau rumut pisau.
Agar tidak terinfeksi kuman atau steriliril dari kuman-kuman para
dukun biasa mencelupkan kulit luar bambu ke dalam air panas supaya
kuman-kumannya mati. Untuk saat ini dukun Kampung tidak lagi
menggunakan alat potong tersebut karena mereka sudah merasa
tidak aman lagi menggunakan alat tersebut karena alam mereka
sudah mulai kotor, dan sebagai alat penggantinya adanya
menggunakan silet yang direbus terlebih dahulu.
Bidansu (sudah) larang toh, karena rumput-rumput itu kena
ini toh, kena penyakit, karena su (sudah) ada sapi, ada kuda,
jadi sudah biar sudah, kita pake obat dari suster dorang
(mereka). (Mama AD, 67 tahun)
Persalinan pada masyarakat Kanume di Kampung Tomer sudah
banyak yang beralih ditolong oleh tenaga kesehatan. Masyarakat
Kampung Tomer ini sudah memandang bahwa keadaan dan kondisi
alam yang terdahulu dengan saat ini sudah berbeda.dulu Mama,
masih sukatolong orang melahirkan, tapi sekarang tidak, su (sudah)
ada bidan toh. (Mama AD, 67 tahun).
Keadaan dan kondisi alam saat ini sudah tidak sebersih kondisi
alam yang dahulu ketika moyang-moyang masih menjaga tradisi.
Sehingga persalinan dengan tradisi seperti dulu dianggap dapat
membahayakan ibu dan muncul anggap lebih aman untuk bersalin di
tenaga kesehatan. hal ini tak lepas dari peranan tenaga kesehatan di
Kampung yang memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada
masyarakat. bahkan dukun juga sudah ada yang melepaskan
pekerjaannya dan menyarankan untuk melakukan persalinan ke
tenaga kesehatan seperti bidan dan dokter di Puskesmas. suster
dorang (mereka) bilang toh, Mamasu (sudah) tua, mata su (sudah)
susah melihat, su (sudah) tidak usah lagi bantu bantu persalinan. Itu
sudah.. (Mama AD, 67 tahun).

cxlix

Praktik dukun yang masih dilakukan di Kampung Tomer saat ini


hanya terbatas pada urut bayi untuk membenarkan dan meluruskan
posisi bayi. Usaha tersebut juga sudah tidak banyak dilakukan oleh
masyarakat Tomer. Peran dukun Kampung membantu persalinan ini
masih digunakan ketika bidan tidak ada di tempat.
... urut itu untuk kasih betul posisi bayi, mungkin ada
melintang kah, atau apa kah, itu bisa kasih lancar juga. Tapi
Mama tidak urut, tidak, karna (karena) sudah rasa aman
Mamapu (punya) bayi di dalam perot (perut). (Mama KM, 30
tahun)
Namun sampai saat ini masih ada satu atau dua orang yang
melahirkan ditolong dukun Kampung. Walaupun demikian menurut
Mama YU (60 tahun) setelah melahirkan tetap memanggil bidan untuk
memberikan pertolongan berikutnya. Bidan diperlukan setelah
melahirkan adalah untuk memberikan obat. Alasan pemilihan dukun
Kampung sebagai penolong persalinan adalah dukun Kampung
dianggap lebih berpengalaman karena sudah berusia tua.kalau dukun
kampungkan su tua, su pengalaman, ibu bidan masih muda. (Mama
YU, 60 tahun).
Ada juga keadaan dimana ibu bersalin ingin dibantu oleh
keduanya yaitu ditolong oleh bidan dan dukun Kampung. Selain
bersalin ditolong oleh bidan dan atau dukun Kampung, masyarakat
juga ada yang melakukan persalinan secara mandiri. Dalam hal
tersebut terdapat alasan yang kondisi yang berbeda. Alasan pertama
yang ditemui adalah ibu merasa mampu untuk melahirkan sendiri
sendiri tanpa bantuan bidan dan dukun Kampung. Alasan lain muncul
dari suku daeng. Menurut ibu SL (35 tahun) selain merasa mampu
untuk melahirkan sendiri, ibu-ibu merasa enggan untuk memanggil
bidan karena apabila memanggil bidan seluruh tetangga daeng akan
mengetahui akan ada persalinan. Selain sang ibu mengaku malu ketika
melahirkan di depan banyak orang, dampak lain dari keadaan tersebut

cl

warga daeng akan berduyun-duyun datang untuk membantu ibu


hamil untuk melahirkan dengan cara membantu bayi untuk cepat
keluar dengan cara mengurut-urut perut ibu hamil. Tuturnya lebih
lanjut, keadaan tersebut dapat menyebabkan kematian bayi, karena
sudah dipaksa-paksa untuk keluar namun belum waktunya.
Kalau misalnya ee banyak orang, kan kebanyakan orang
melahirkan di dorong begini, terlalu banyak orang. Kan kalau
ada suster kan orang-orang datang semua, sa(saya) pu (punya)
suku sendiri, orang Makassar, orang-orang bilang itu mau
melahirkan kita datang. Makanya kalau saya su(saya)
sembunyi. Orang Makassar itu kalau ada yang melahirkan, mati
dia pu (punya) anak, karena bukan waktunya dia keluar,
dipaksa keluar (Ibu SL, 35 tahun).
3.6.3. Fase Pasca Persalinan
Upaya perawatan pasca melahirkan yang umumnya dikerjakan
oleh para ibu hamil di Kampung Tomer sudah berbasiskan pelayanan
medik. Masyarakat sudah terbiasa untuk menggunakan obat-obatan
dan pelayanan medis dari bidan di Kampung atau Puskesmas. Namun
walaupun sudah menggunakan layanan medik, masyarakat tetap
menggunakan obat tradisi untuk perawatan pasca persalinan.
Masyarakat suku asli memiliki obat tradisi untuk perawatan kehamilan
yaitu kulit kayu pohon besi betina yang dalam bahasa Kanume di
sebut dengan pohon kanta. Kulit pohon kanta ini di jemur hingga
kering, kemudian setelah kering direbus kemudian di minum pada
pagi, siang, malam. Kulit kayu pohon kanta menurut tradisi harus
mulai diminum saat setelah melahirkan hingga 40 hari.
Sedangkan untuk penerapannya saat ini ada masyarakat yang
meminumnya dibarengi dengan minum obat dari tenaga kesehatan,
dan ada yang mulai meminumnya saat setelah obat dari tenaga
kesehatan habis. Kegunaan kayu kanta menurut masyarakat adalah

cli

untuk membersihkan kotoran sisa-sisa persalinan, memulihkan dan


menyembuhkan kandungan. Keragaman suku yang ada di Tomer juga
memberi dampak terhadap penggunaan kulit kayu kanta. Tidak hanya
suku asli saja yang meyakini dan mengkonsumsi kayu kanta, sebagian
masyarakat pendatang mulai mempergunakan kulit kayu kanta.

Gambar 3.9. Kulit kayu pohon besi betina (Kanta)

a. Kulit kayu yang belum dijemur, b. Kulit kayu yang telah dijemur dan
siap digunakan (sumber: dokumentasi peneliti)
Keragaman suku yang ada di Tomer juga memberi dampak
terhadap penggunaan kulit kayu kanta. Tidak hanya suku asli saja yang
meyakini dan mengkonsumsi kayu kanta, sebagian masyarakat
pendatang mulai mempergunakan kulit kayu kanta, disamping juga
tetap menggunakan obat dari bidan. Keberadaan minuman tradisi
tersebut juga mendapat dukungan dari bidan setempat.
saya biarkan aja selama itu tidak meracuni mereka to, selama
itu nggak ada efek sampingnya, memang menurut saya herbal
itu lebih bagus kalau memang dari dulunya seperti itu. (bidan
PA, 36 tahun)

clii

3.6.4. Pemberian ASI Eksklusif


Praktek pemberian ASI eksklusif di masyarakat Kampung
Tomer masih jauh dari harapan pemberian ASI eksklusif yang
sebenarnya. Penuturan para kader kesehatan (Mama BD, 54 tahun)
menjelaskan bahwa pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan
pada bayi hanya berlangsung sampai 3-4 bulan, selanjutnya bayi
sudah mulai diberikan makanan tambahan berupa bubur siap saji,
walaupun ibu tetap memberikan ASI sampai usia 2 tahun.
Alasan yang paling sering diungkapkan para ibu yang sudah
memberikan makanan tambahan pada usia 3-4 bulan adalah karena
ketersediaan ASI yang kurang, sehingga bayinya merasa kurang dan
rewel. Keadaan ini telah diketahui oleh tenaga kesehatan Puskesmas
Naukenjerai, dan dianggap menjadi sebuah pembenaran alasan dari
masih rendahnya cakupan ASI eksklusif.
Selanjutnya Mama BD (56 tahun) menjelaskan bahwa dahulu
kala para moyang memberikan ASI saja tanpa makanan yang lain
hingga bayi muncul gigi, sedangkan menurutnya bayi mulai muncul
gigi ketika bayi berusia di atas 6 bulan. Namun kondisi tersebut mulai
berubah ketika makanan bubur siap saji dan susu formula mulai
masuk Kampung, dan terdapat pertukapan pengetahuan dan
pengalaman dari masyarakat pendatang dalam penggunaan bubur
siap saji. Hal tersebut yang menyebabkan para ibu menyusui menjadi
malas untuk mengusahakan ASI untuk bayinya, karena merasa sudah
menemukan tambahan apabila kekurangan ASI dan diperoleh dengan
mudah.
Kekurang lancaran ASI ibu menyusui ini diakibatkan konsumsi
sayur-sayur hijau yang kurang menurut para kader. Namun
sebenarnya menurut Mama BD (54 tahun) secara tradisi terdapat
makanan yang biasa digunakan untuk memperbanyak produksi ASI
yaitu daun kelor. Sedangkan daun katuk dan kacang tahah merupakan
tanaman penambah ASI yang diketahui dari para pendatang.
Pertambahan informasi ini menandakan adanya pertukaran

cliii

pengetahuan antar pendatang dan suku asli yang dapat


mempengaruhi kesehatan. Terdapat pula cara tradisi yang biasa
digunakan untuk menambah produksi ASI, yaitu memijat payudara
dengan daun beramba yang diasar atau dipanggang sebelumnya di
atas perapi. Namun cara tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh
masyarakat suku asli.
Gambar 3.10.Pohon
Beramba

(sumber: dokumentasi
peneliti)

3.7. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)


3.7.1. Jamban
Kepemilikan jamban di Kampung Tomer ini sudah terpenuhi
kurang lebih 65% jamban baik milik pribadi maupun bantuan dari
pemerintah91. Wilayah RT yang masih mengalami banyak kekurangan
jamban adalah RT 3 yang merupakan warga pemulangan dari PNG dan
RT 1 yang banyak dihuni suku daeng. Kepemilikan jamban sehat ini
sangat mempengaruhi perilaku BAB seseorang di Kampung Tomer.
Seluruh keluarga yang telah memiliki jamban sehat akan berperilaku
BAB di jamban sehat miliknya. Namun berbeda pada RT 3 yang hanya
memiliki 4 jamban sehat yang digunakan untuk 18 KK yang terdapat di
RT 3.
Menurut BapakYL (43 tahun) keempat jamban tersebut warga
gunakan terutama dan terlebih dahulu diperuntukkan untuk para
91

Data hasil Survei Mawas Diri (SMD) 2013

cliv

wanita dan anak-anak, sedangkan para pria menggunakan


drainaseyang sama untuk BAB dan mandi sehari-hari. walaupun
masyarakat RT 3 sadar betul dan tahu bahwa perilaku tersebut sangat
merugiiikan kesehatan dan dapat berpotensi menyebarkan berbagai
penyakit ketika mulai datang musim banjir. Berbeda dengan para suku
daeng yang juga hampir sama memiliki keterbatasan sarana jamban
pada lingkungan tempat tinggalnya.Namun suku daeng merasa acuh
terhadap keadaan tersebut, bahkan suku daeng membuang
kotorannya atau BAB di hutan-hutan, sedangkan mandi dilakukan
dipinggiran sumur atau mengangkut jerigen air dari drainase ke
rumah.
3.7.2. Merokok
Selainmenginang, Suku Kanume di Tomer juga erat dengan
rokok. Paduan pinang dan rokok menjadi keseharian mereka. Rokok
yang dihisap oleh Kampung Tomer dibagi dua, pertama adalah rokok
linting dan yang kedua rokok filter dan kretek. Namun demikian tidak
terlihat kesetiaan terhadap salah satu merk rokok. Dalam pergaulan
sehari-hari saling meminta rokok merk apapun sudah menjadi hal
yang umum. Pilihan rokok dipengaruhi tingkat pendapatan yang
dimiliki oleh seseorang. Jika sedang memiliki uang maka rokok yang
biasa dibeli adalah rokok filter.
Rokok paling populer adalah merk Surya 16, kemudian
dibawahnya adalah Gudang Garam Kretek Merah. Rokok yang dipilih
ketika sedang tidak banyak uang adalah merk tembakau Lampion.
Lampion adalah tembakau yang jika ingin dijadikan rokok harus di
linting terlebih dahulu. Pada beberapa orang terdapat juga yang
menggunakan tembakau lempeng sebagai bahan rokok. Tembakau
lempeng adalah tembakau yang dipadatkan lalu dipotong kecil-kecil.

clv

a.
b.
c.
Gambar 3.11.Kegiatan melinting rokok lampion, b. (nampak depan)
dan c. (nampak belakang) merk rokoklampion
(Sumber: dokumentasi peneliti)
Perilaku merokok sudah ada yang memulainya dari kecil. Hal
ini dikarenakan anak-anak yang merokok tidak mengalami larangan
dari orangtuanya. Namun demikian sebagian anak-anak yang lain
masih belum mengenal rokok sebagai aktifitas keseharian mereka. Ini
berbeda pada remaja. Pada mereka yang remaja, rokok sudah menjadi
keseharian. Tidak adanya larangan keras pada mereka membuat
merokok bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Orang dewasa adalah
penghisap rokok paling besar. Hampir di setiap tempat akan ditemui
laki-laki dewasa merokok. Merokok sering dilakukan bersamaan
dengan menginang.
Tempat merokok juga bisa dimana saja, tidak ada wilayah
khusus. Rokok bisa dihisap di dalam rumah, di gubuk, di pantai.
Namun yang belum diperhatikan adalah merokok dimana ada anak
kecil didekatnya. Merokok dekat anak kecil ternyata tidak
memberikan kekhawatiran bagi mereka. Tak jarang terlihat mereka
yang memiliki bayi masih merokok di dalam rumah dan di dekat bayi
dan anak kecil.
Perokok juga tidak didominasi laki-laki. Perempuan merokok
bukanlah suatu pemandangan yang aneh, baik tua maupun muda.

clvi

Khususnya di RT 3 Kampung Tomer, perempuan merokok menjadi


pemandangan yang biasa. Sambil mengobrol dan menonton voli
perempuan di RT 3 melakukan aktifitas merokok.

Gambar 3.12. Perempuan Merokok di Kampung Tomer

(sumber: dokumentasi peneliti)


Perilaku merokok masyarakat Kampung Tomer termasuk
tinggi, karena sering sekali ditemui para Bapak-Bapakyang merokok
baik di luar maupun di dalam rumah. Menurut Mama ST (40 Tahun)
merokok bagi masyarakat sama halnya dengan menginang (makan
pinang), apabila tidak dilakukan maka akan membuat badan sakit dan
tidak bersemangat. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada suku asli
saja namun juga pada suku pendatang.
Salah satu kader kesehatan Mama KL (54 tahun) menjelaskan
tingkatan keganasan rokok, mulai dari rokok merk Surya yang paling
baik karena memiliki filter, kemudian merk Gudang Garam cukup
berat, rokok merk Lampion sudah berat, hingga lempeng92 dan
cengkeh yang paling berbahaya.
92

Tembakau kering yang dipotong dadu kecil-kecil

clvii

Perilaku merokok ini juga tidak mengenal usia, tak sedikit juga
ditemui para usia remaja yang sudah merokok hingga para Lansia.
Merokok juga sudah tidak mengenal tempat merokok, dimana saja
mereka dapat merokok tanpa memperdulikan anak-anak yang ada di
sekelilingnya, bahkan kegiatan seperti olahraga voli tidak mampu
menghentikan sementara perilaku merokok. Gambar bahaya rokok
yang terdapat pada bungkus rokok sebenarnya membuat takut
masyarakat terhadap rokok, namun tetap tidak dapat menjadikan
masyarakat meninggalkan perilaku tersebut.
3.7.3. Penggunaan air bersih
Sumber air bersih masyarakat Kampung Tomer berasal dari air
sumur dan sumur tadah hujan. Air tersebut biasa digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari mandi hingga memasak. Sementara itu, air
minum, masih terdapat masyarakat yang mengkonsumsi air minum
secara langsung dari sumur, walaupun sudah banyak masyarakat yang
memiliki kebiasaan mengkonsumsi air dengan cara direbus terlebih
dahulu. Lebih lanjut Mama KS (30 tahun) menjelaskan alasan
memasak air terlebih dahulu adalah guna menghilangkan kadar kapur
dalam air. Sedangkan Mama KT (54 tahun) menjelaskan bahwa,
masyarakat biasa mengkonsumsi air mentah yang berasal dari
tadahan air hujan, dikarenakan rasanya yang manis.
Kalau bagian kampung besar ini su masak. Tapi kalau di
belakang tetap masih air mentah, mentah dari sumur terus
minum, katanya manis kalau tidak dimasak, kalau dimasak
kurang enak, kalau timba dari sumur langsung minum itu enak
(Mama KS, 30 tahun)
3.7.4. Pemberantasan Jentik Nyamuk
Tidak ada perilaku pemberantasan jentik nyamuk di
masyarakat. Masyarakat biasa membiarkan sumur-sumur terbuka,
dengan alasan untuk menampung air hujan. Masyarakat juga banyak
lalai membiarkan barang bekas seperti botol dan kaleng

clviii

sembarangandidekat rumah. Kebanyakan rumah juga tidak menjaga


kebersihan kintal93 rumah.

Gambar 3.13. Kubangan, barang bekas, sampah berdekatan dengan


pemukiman

(sumber: dokumentasi peneliti)


3.7.5. Aktifitas Fisik
Kekuatan fisik sangat diutamakan dalam mencari makan di
Kampung Tomer. Aktifitas mencari makan di luar rumah
membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Hanya karena kebiasaan
setiap harinya membuat mereka menganggapnya biasa. Ada tiga
aktifitas dalam mencari makan di Kampung Tomer. Yang pertama
adalah aktifitas bertani, kedua adalah aktifitas mencari ikan dan yang
ketiga adalah aktifitas berburu.
Proses bertani dimulai dari pengolahan lahan untuk ditanam.
Pada proses ini masyarakat Tomer sudah menggunakan jasa traktor
dan handtraktor. Berikutnya adalah masa penyemaian bibit. Masa
penyemaian bibit dilakukan secara manual dengan menyebarkan
gabah pada lahan yang telah dipersiapkan. Ukuran lahan untuk
penyemaian tidaklah besar hanya kira-kira 3 m x 4 m. Menurut
BapakMA (54 tahun) proses yang banyak memakan tenaga adalah
ketika saat musim tanam tiba. Bibit yang sudah disemai akan ditanam
mengikuti alur yang telah dibuat. Proses ini biasanya di tengah terik
matahari.
93

Wilayah di sekitar rumah

clix

Gambar 3.14. Proses Mengolah Hasil Panen

(sumber: dokumentasi peneliti)


Setelah bibit ditanam akan dilanjutkan dengan pemupukan,
namun dalam proses pemupukan tidak semua petani Kampung Tomer
melakukan hal tersebut. Adanya anggapan bahwa lahan mereka sudah
subur membuat setelah penanaman petani Tomer sudah
menganggapnya selesai.
Hanya pendatang dari suku Jawa dan Makassar yang
melakukan pemupukan. Setelah padi berbuah muda maka akan ada
lagi penyemprotan untuk menjaga supaya buah yang baru muncul
tidak diserang hama wereng. Hampir sama dengan pemupukan, suku
asli (Kanume dan Marin) tidak banyak melakukan penyemprotan
hama, hanya suku Jawa, Timor dan Makassar yang melakukannya.
Pada proses panen merupakan aktifitas fisik yang banyak
menggunakan tenaga. Proses panen dimulai dari pemotongan padi,
perontokan buah, penjemuran gabah, dan penggilingan gabah. Dalam
proses panen, perontokan buah dan penggilingan gabah sudah ada
bantuan mesin. Hanya saja untuk perontokan buah masih harus antri
karena pada masa panen biasanya terjadi berbarengan. Sehingga
sebagian petani masih menggunaka cara lama yaitu menggebuk
batang padi yang berbuah pada tangga kayu yang sengaja dibuat.
Pada proses pertanian terdapat beberapa aktifitas fisik berat
yang dilakukan oleh petani yaitu penanaman, pemotongan padi,
perontokan dan penjemuran gabah. Proses pertanian dari menanam

clx

sampai panen hanya dilakukan selama kurang lebih 4 bulan. Aktifitas


fisik berat hanya dilakukan pada awal penanaman dan akhir
pemanenan.
Selain pertanian, aktifitas fisik berat juga banyak terjadi dalam
pencarian ikan. Pencarian ikan merupakan aktifitas keseharian yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Kampung Tomer. Tempat
pencarian ikan terbagi menjadi 2. Yang pertama adalah di tepian
pantai dan yang kedua adalah di rawa-rawa. Kedua tempat tersebut
jauh dari pemukiman penduduk. Untuk ke tepi pantai ada jarak sekitar
1 km. Sedangkan untuk ke rawa ada jarak antara 500 m 5 KM di luar
perKampungan. Pencarian ikan rata-rata dilakukan dalam 2 cara.
Pertama dengan menggunakan jaring dan yang kedua dengan
memancing. Sebagian kecil menangkap ikan dengan menggunakan
jala. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring berhubungan
dengan pasang air laut. Ketika air laut pasang maka jaring dipasang
dipinggir pantai.
Secara horizontal sepanjang pantai atau vertikal dipasang ke
arah laut. Kedua aktifitas tersebut menggunakan fisik yang kuat
karena biasanya dilakukan sore hari sampai malam, atau menjelang
subuh sampai pagi hari. Tidak jarang mereka harus menginap di pantai
sambil menunggu jaring. Ketika hasil tangkapan sudah tampak maka
hasilnya akan digotong pulang. Mereka yang menggunakan motor
akan meletakkannya di belakang. Sedangkan yang jalan kaki akan
memikulnya.
Proses pencarian ikan dengan jaring di rawa juga
menggunakan metode yang sama. Aktifitas menjaring didominasi oleh
laki-laki. Namun tidak sedikit perempuan juga ikut terlibat dalam
proses menjaring. Masyarakat RT 3 lebih banyak aktifitas fisik berat
karena memiliki tehnik menjaring yang lebih banyak. Latar belakang
mereka yang menjadi nelayan di Kampung Bula PNG memberikan
kemampuan menangkap hasil laut lebih banyak yang berkonsekuensi
pada penggunaan aktifitas fisik yang berat. Sedangkan aktifitas

clxi

memancing lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Aktifitas


memancing banyak dilakukan di rawa dekat pantai. Prosesnya dimulai
dengan berjalan kaki sejauh 1 km, biasanya di siang hari sampai
menjelang magrib.
Menurut BapakBB (35 tahun)berburu adalah aktifitas yang
sering dilakukan saat musim panas. Pada saat musim kemarau, jalanjalan menjadi kering dan dapat dilalui oleh kendaraan untuk berburu.
Kendaraan yang digunakan mulai dari kuda, motor sampai mobil.
Biasanya perburuan dilakukan di hutan sampai perbatasan ke PNG.
Binatang yang diburu adalah babi, Saham (kangguru) dan Rusa.
Perburuan biasanya ditemani anjing. Aktifitas berburu biasanya
menggunakan parang dan senapang sebagai senjata. Proses mengejar
dan berburu binatang membuat perburuan sering dilakukan di malam
hari. Aktifitas ini didominasi laki-laki. Namun saat binatang buruan
masih banyak yang berada di sekitar Kampung, perempuan juga sering
terlibat dalam perburuan.
Selain ketiga aktifitas utama tersebut, terdapat juga aktifitas
fisik yang tergolong berat yaitu mengumpulkan kerang untuk dibuat
kapur. Walaupun tidak semua masyarakat melakukannya, namun
proses pembuatan kapur membutuhkan berbagai bantuan tenaga.
Proses mengumpulkan kerang dan memilih kualitas yang bagus
biasanya dilakukan oleh perempuan. Peran laki-laki biasanya
dibutuhkan pada saat akan melakukan pembakaran. Laki-laki akan
menebang batang dan menyusun kayu-kayu hingga menjadi kubus,
ditengah tumpukan kayu tersebut diletakkan kerang. Proses
pembakaran memakan waktu 1 hari. Setelah kerang dibakar maka
akan dilanjutkan dengan memisahkan kerang dari abu, menumbuknya
menjadi halus, mencampurnya dengan air, dan akhirnya menghasilkan
kapur yang siap pakai sebagai teman menginang atau dijual ke
Merauke.

clxii

a.

b.

Gambar 3.15. a. Wanita bertugas memilah kerang sebagai bahan baku kapur,
b. Pria bertugas dalam pembakaran kerang menjadi kapur.

(sumber: dokumentasi peneliti)


Aktifitas berjalan mencari ikan, menanam padi, memotong
padi, berlari untuk berburu, membanting padi, menjaring, menebang
pohon, dan mengangkut hasil padi, ikan, buruan, dan kapur masuk
dalam kategori aktifitas fisik berat. Sedangkan aktifitas fisik sedang
dapat ditemui pada proses memilih kerang kualitas bagus,
memancing, menyemai padi dan berkendara untuk berburu.
Aktifitas fisik ringan dapat ditemui pada saat magrib sampai
menjelang tengah malam. Kebiasaan masyarakat Tomer untuk
berkumpul di gubuk dan di halaman rumah sambil menginang dan
merokok merupakan aktifitas keseharian yang dapat ditemui. Mereka
biasanya saling bercerita tentang keseharian sambil tertawa. Sesekali
mereka menambahkan kayu sebagai penerang sekaligus pengusir
nyamuk. Tidak adanya listrik, membuat mereka yang tidak memiliki
genset lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol sambil
menunggu kantuk tiba.
3.7.6. Konsumsi Buah dan Sayur
Konsumsi buah dan sayur di Kampung Tomer ini masih rendah.
Melimpahnya sumber daya alam seperti ikan dan daging rusa menjadi
pilihan utama masyarakat Kampung Tomer. Masyarakat biasa
memancing ikan terlebih dahulu untuk konsumsi hariannya. Apabila

clxiii

sedang malas masyarakat akan mengkonsumsi nasi kosong94 saja


atau nasi teh atau nasi kopi yaitu nasi putih yang dicampur dengan
kopi atau teh.
Kalau sudah malas masak, malas cari, itu sudah, orang sini tuh
kalau makan tu, itu dia makan nasi pake teh juga bisa. Bikin teh
manis, kayak kita bikin teh manis, itu dituang dinasi, mereka
makan pun jadi, siram pake kopi pun juga bisa, disini ini
memeang tradisinya begitu biasa. (ibu IM, 35 tahun)
Sayuran yang biasa menjadi makanan di masyarakat adalah
daun kumbili (daun ubi), daun singkong, jantung pisang daun atau
bunga pepaya, kangkung rawa dan daun kelor. Sedangkan buah yang
paling sering dikonsumsi adalah pisang, kedondong dan jambu lokal
(kejawas).
3.8.Penyakit di kampung Tomer
Tabel 3.1. Data angka kesakitan pada bulan April 2015
Kampung Tomer
19

20

16

15
10
5

11
4

Sumber : Data sekunder dari Pustu Kampung Tomer


Berdasarkan data sekunder milik Pustu Kampung Tomer
menunjukkan 3 penyakit yang paling banyak terjadi di kampung
94

Nasi kosong adalah ungkapan untuk makan nasi putih tanpa sayur dan lauk-pauk.

clxiv

Tomer adalah malaria klinis, kemudian diikuti ISPA dan penyakit kulit
(alergi).
3.8.1 Penyakit Malaria
Salah satu penyakit menular yang sudah dipahami hampir
seluruh penduduk Kampung Tomer adalah Malaria. Menurut BB (30
tahun) penyakit malaria dari dulu telah menjadi keseharian
masyarakat. Akibatnya penyakit ini bagi sebagian orang yang
mengidap dianggap biasa. Ketika Demam malaria datang mereka
hanya berselimut tebal dan sekian lama kemudian ketika demamnya
hilang maka mereka kembali beraktifitas.
Salah satu jenis malaria yang ditakuti oleh masyarakat adalah
tropicana. Mereka akan sangat mudah menjelaskan apa akibat yang
terjadi jika terkena malaria tropicana. Selebihnya penyakit malaria
tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan.
Pemahaman masyarakat terhadap penyebab malaria juga
sudah sangat baik. Menurut Mama ST (40 tahun) rata-rata masyarakat
dapat menjelaskan nyamuk apa yang menyebarkan malaria dan
bagaimana ciri-ciri nyamuk tersebut ketika menggigit. Adanya
pemahaman terhadap sumber penyebaran malaria mendorong
kebijakan yang berhubungan nyamuk dapat diterima dengan baik.
Salah satu kebijakan yang langsung diterima masyarakat adalah
penggunaan kelambu.
Jika terkena malaria, atau ada gejala malaria masyarakat akan
mendatangi bidan desa atau pos TNI. Di Kampung Tomer pos TNI juga
melayani kesehatan masyarakat. Namun tidak semua masyarakat
langsung mendatangi layanan kesehatan ketika demam malarianya
kambuh. Mereka biasanya menunggu terlebih dahulu apakah
demamnya akan hilang setelah diselimuti kain tebal. Jika hilang maka
mereka tidak ke layanan kesehatan, namun jika demem terus
menerus berlangsung baru mereka mendatangi layanan kesehatan.

clxv

Pengobatan secara tradisional juga dilakukan oleh masyarakat


ketika terkena penyakit malaria. Menurut Mama YA (60 tahun) yang
paling dikenal adalah dengan meminum rebusan tanaman samiloto.
Ada namanya sambiroto, itu dia pahit, 2 hari belum hiang rasa
pahitnya, susah untuk hilang rasa pahitnya. (Mama YA, 60
Tahun).Rasa pahit yang dikeluarkan rebusan samiloto dipercaya
masyarakat Kampung Tomer setara dengan kina, sehingga dapat
mengobati penyakit malaria. Selain samiloto, tanaman lain yang
dipercaya dapat mengobati penyakit malaria adalah tanaman
mangiran. Tanaman ini direbus dan juga mengeluarkan rasa pahit
sehingga dipercaya juga dapat mengobati penyakit malaria.
Bagi mereka yang memiliki bibit malaria, penduduk Kampung
Tomer percaya bahwa tidak boleh meminum air kelapa muda. Jika
minum air kelapa muda maka penyakit malarianya akan kambuh.
Kepercayaan ini sudah dianggap kebenaran tanpa ada yang bisa
menjelaskan ada apa dengan air kelapa muda tersebut.itu pas saya
tanya-tanya dengan orang asli, baru tau, kalau air kelapa itu
pantangan malaria. (ibu LS, 32 tahun).
Secara umum untuk mengusir nyamuk malaria, penduduk
Kampung Tomer memiliki cara yang sama, yaitu dengan membuat api
dan asap pada saat magrib. Asap yang dibuat dipercaya dapat
mengusir nyamuk. Asap biasanya dibuat di gubuk yang menjadi
aktifitas utama masyarakat Kampung Tomer, khususnya Suku
Kanume. Selain mengusir nyamuk dengan menggunakan asap,
penduduk Kampung Tomer juga mengetahui bahwa dengan memakan
daun pepaya muda juga dapat mencegah terkena penyakit malaria.
3.8.2. Diare
Diare merupakan salah satu penyakit menular yang ada di
Kampung Tomer. Sebagai sebuah daerah yang memiliki hewan ternak
yang banyak, potensi terkontaminasi kotoran hewan sangat besar.
Tercatat di Kampung Tomer ada anjing, babi, sapi, kuda, bebek, dan

clxvi

ayam. Kecuali babi, rata-rata binatang tersebut tidak dipelihara di


kandang namun dibiarkan berkeliaran secara bebas. Kotoran mereka
berserakan dimana saja. Hal ini yang disinyalir menjadi asal
penyebaran diare khususnya pada anak-anak (Bapak YL, 35 Tahun). Di
musim hujan, kotoran binatang juga bersatu dengan air, dan biasanya
juga berada di halaman rumah yang juga dijadikan sebagai
perlintasan. Jika terkena diare masyarakat akan mendatangi layanan
kesehatan untuk meminta obat.
3.9. Pengobatan Tradisional di Suku Kanume
3.9.1. Metode Ukup
Ukup adalah metode pengobatan dengan mendudukan
penderita di kursi yang dibawahnya diletakkan panci atau kuali yang
telah berisi ramuan tradisional, kemudian penderita ditutup seluruh
tubuhnya menggunakan tudung atau kain penutup dari kepala hingga
kaki. Penutupan menggunakan tudung ini dimaksudkan agar uap
panas dari ramuan yang diletakkan dibawah penderita tidak keluar ke
udara luar. Panci atau kuali yang berisi ramuan berupa tumbuhtumbuhan tersebut sebelumnya direbus hingga mendidih sebelum di
letakkan di bawah penderita. Menurut Mama AD (67 tahun) tumbuhtumbuhan tersebut terdiri dari daun pisang ambon yang telah kering,
sereh merah, daun mengkudu, pohon tanduk rusa, daun langgoni.
Versi lainnya juga dapat ditambah dengan daun pisang nona dan daun
pepaya yang berwarna kuning.
Menurut Mama AD (60 tahun) ukup ini dipercaya dapat
membersihkan kandungan ibu setelah melahirkan, membantu
penyembuhan untuk kejadian jatuh dari pohon, serta membantu
memperbaiki stamina tubuh. Beberapa masyarakat juga melakukan
ukup untuk penyembuhan malaria. Ukup dipercaya dapat
menyembuhkan dan memulihkan diri dari banyak penyakit.
.... mama pu anak jatoh dari pohon itu, bisa pake ukup, ....,
kalau badan sakit, bisa mandi dengan ukup itu, nanti dia bisa

clxvii

rasa pu badan, ..., habis melahirkan, Ukup itu tetap pakai, itu
tidak boleh lepas, karna itu dia cuci ketong pu pori-pori yang
tadi kotoran masuk di dalam itu,..., dari kudis-kudis ini, itu ada
kutu, bisa pake ukup (Mama AD, 60 tahun)

Gambar 3.16. Tumbuh-tumbuhan dalam metode Ukup

a. tanduk rusa (kiri), daun mengkudu (kanan), b. Daun sereh merah, c.


Daun langgono, d. Daun pisang ambon yang kering (sumber:
dokumentasi peneliti)
3.9.2. Bakar Batu (Sep/Kaikai)
Metode bakar batu atau sep/Kaikai tidak hanya digunakan
untuk membuat makanan sagu atau membakar makanan lainnya.
Menurut sep/Kaikai ini juga digunakan sebagai pengobatan tradisional
masyarakat Tomer khususnya mereka yang berSuku Kanume. Metode
sep/Kaikai yaitu meletakkan penderita di atas batu yang telah dibakar
sebelumnya. Batu yang dipercaya memberikan khasiat lebih adalah
batu yang berasal dari sarang semut atau musamus, Suku
Kanumebiasa menyebut batu dengan sebutan mela. Mela dapat
dengan mudah ditemui di dalam hutan atau di pinggir-pinggir
pemukiman.

clxviii

Gambar 3.17.Rumah Semut atau Mela atau Musamus

(sumber: dokumentasi peneliti)


Cara
penggunaannya,
batu
ditumbuk
kemudian
dibakar.Setelah batu dibakar hingga menjadi bara api tidak
ada.Kemudian angkat batu tersebut dan diberikan penutup daun
mengkudu pada bagian bawah dan penutup kayu bus pada bagian
atas. Setelah itu bisa ditutup kembali menggunakan tikar atau karungkarung goni. kemudian penderita langsung ditidurkan diatasnya
dengan melakukan berbagai posisi seperti terlentang, tengkurap,
hadap kanan dan kiri. Sebagai tambahan dapat menambahkan dengan
daun-daun minyak kayu putih. Daun tersebut dapat diletakkan di atas
tikar. Pemberian daun ini dapat memberikan aroma harum.
Metode sep/Kaikai oleh Suku Kanume banyak diterapkan pada
pemulihan kandungan ibu setelah bersalin. Selain itu Metode
sep/Kaikai dipercaya dapat menyembuhan penyakit dalam dan
memperbaiki stamina tubuh.
sembuhkan luka-luka dalam, macam ketong habis melahirkan,
terus kena pukulan kah, kena tabrakan kah, dong bilang dara
mati. (Mama AD, 60 tahun)

clxix

3.9.3. Tumbuh-tumbuhan
a. Halia
Halia dalam bahasa Indonesia disebut dengan tanaman jahe
baik jahe merah atau putih. Namun jahe merah lebih dipercaya
memiliki banyak manfaat dalam mengobati suatu penyakit. Penyakit
yang dapat diobati oleh halia ialah dari mulai penyakit yang hanya
demem biasa hingga mengobati kecelakaan kerja seperti patah tulang
atau kulit terbelah. Cara penggunaannya juga sangat beragam, mulai
dengan cara diminum hingga ditumbuk halus dan ditempelkan pada
luka.
..pake halia, yang ketong bilang apa ini dalam bahasa, jane,
mau putih kah merah kah, tumbuk dia, baru gosok kembali di
tempat itu, nanati dia pu uap itu masuk ke dalam toh, jadi
bagus juga.. (Mama AD, 60 tahun)
b. Sambiloto
Sambiloto merupakan tanaman tradisional yang paling sering
digunakan masyarakat Tomer khususnya Suku Kanumedalam
mengobati malaria. Daunnya direbus kemudian diminum selama
muncul rasa sakit malaria. Masyarakat biasa langsung menggunakan
sambiloto ini untuk mengatasi kambuhnya gejala malaria yang berupa
Demam, dingin dan mengigil, apabila tidak kunjung sembuh barulah
masyarakat pergi menuju pelayanan kesehatan terdekat. Daun
sambiloto yang memiliki rasa yang pahit yang dipercaya dapat
menyembuhkan penderita dari malaria.

clxx

Gambar 3.18. Sambiloto

(sumber: dokumentasi peneliti)

c. Mangiran
Mangiran adalah obat tradisional yang sering disebut untuk
pengobaan malaria. Bagian yang digunakan sebagai obat adalah
bagian daun. Daun mangiran ini direbus kemudian diminum rutin.
Mangiran juga dapat dikombinasikan dengan sereh untuk mengobati
sakit kepala.

Gambar 3.19. Mangiran

(sumber: dokumentasi peneliti)


d. Daun Sereh Merah
Daun sereh merah banyak digunakan pada ibu bersalin. Daun
sereh merah juga digunakan pada metode ukup pada ibu setelah
melahirkan dengan tujuan untuk mengeluarkan kotoran-kotoran dari
pori-pori tubuh.

clxxi

Ukup itu tetap pakai, itu tidak boleh lepas, karna itu dia cuci
ketong pu pori-pori yang tadi kotoran masuk di dalam itu, jadi
mandi pake ini, terus pake air bersih lagi untuk cuci badan,
dong bilang itu spul badan. (Mama AD 60 tahun)
e. Pohon turi
Pohon turi dipercaya dapat mengobati batuk berlendir dari
bayi umur satu bulan, anak hingga orang dewasa. Cara membuatnya
yaitu dengan mengambil kulit pohon turi ditambah kelapa, bawang
merah, kemudian dibakar secara bersama, kemudian ditumbuk hingga
halus dan disaring airnya untuk diminum.
f. Santan
Santan adalah air kelapa yang telah diperah. Suku
Kanumebiasa menggunakan santan untuk pengobatan penderita yang
terkilir karena jatuh. Mula-mula air santan direbus hingga kemudian
digunakan mandi oleh penderita.
g. Kayu besi
Kayu besi atau Suku Kanume menyebutnya dengan sebutan
kanta sedangkan di bagian Utara Papua menyebutnya dengan sebutan
barapen. Kulit dari pohon kayu besi ini digunakan untuk
membersihkan kandungan pada ibu setelah bersalin. Tidak semua
pohon kayu besi yang tumbuh memiliki khasiat demikian, namun
hanya kayu besi betina, sedangkan pohon kayu besi yang jantan
banyak digunakan sebagai bahan baku pembangunan rumah. Pohon
kayu besi ini banyak terdapat di pantai.
Pada masyarakat Kanume biasanya sang suami akan mulai
mengambil kulit kayu besi betina tersebut pada saat istrinya sudah
mengandung cukup besar. Kemudian akan mulai menjemurnya hingga
kering dan kemudian dapat disimpan hingga hari persalinan dan siap
digunakan. Caranya kulit kayu yang sudah kering dijemur kemudian

clxxii

diseduh oleh air hangat dan dikonsumsi setiap hari oleh ibu setelah
bersalin.
3.10. Transfer Pengetahuan dan Akulturasi Kesehatan di Kampung
Tomer
Keberagaman suku yang hidup pada suatu daerah
memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan untuk menghadapi
masalah secara bersama-sama. Salah satu masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari adalah persoalan kesehatan. Untuk
menghadapi masalah kesehatan maka tukar menukar informasi sangat
dibutuhkan apalagi pada penyakit yang dianggap suatu momok
bersama.
Keberadaan suku pendatang (Jawa, Timor, Makassar) di
kampung Tomer memberikan warna pada kehidupan suku asli
(Kanume dan Marind). Secara sosial budaya interaksi antarsuku ini
berjalan dengan baik, maka kemungkinan transfer budaya kesehatan
juga berlangsung dengan lancar. Masing-masing suku memiliki
pengetahuan kesehatan yang mereka bawa secara turun-temurun
maupun dari inovasi yang mereka dapatkan dari lingkungan.
Keberadaan pengetahuan kesehatan tersebut sangat tergantung
dengan penyakit yang sering menyerang pada lingkungan dimana
mereka berada. Pengetahuan kesehatan juga akan sangat tergantung
dengan ketersediaan bahan obat yang disediakan oleh alam di
lingkungan tempat tinggal. Dengan demikian ketika pengetahuan ada
namun ketersediaan bahan baku terbatas maka kemungkinan yang
muncul adalah tidak menggunakan lagi pengetahuan tersebut, atau
melakukan modifikasi dengan menyesuaikan diri dengan bahan yang
tersedia di daerah tersebut.
Di samping itu budaya kesehatan memiliki agen-agen
tersendiri untuk menyebarluaskan inovasi-inovasi kesehatan terbaru.
Keberadaan agen-agen ini didukung fasilitas yang memaksimalkan
perubahan budaya kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Di era

clxxiii

pembangunan seperti saat ini agen-agen kesehatan sudah hampir


menjangkau seluruh pelosok-pelosok daerah sehingga transfer
pengetahuan kesehatan sudah menjangkau masyarakat-masyarakat
terkecil keberadaan agen-agen begitu vital merubah budaya
kesehatan masyarakat di suatu daerah. Bahkan pada titik tertentu
menggeser pengetahuan lokal masyarakat tentang kesehatan. Agenagen kesehatan ini dikenal oleh masyarakat sebagai bidan, penyuluh
kesehatan, mantri, dokter, dengan dukungan fasilitas seperti
Puskesmas Pembantu, Puskesmas Kampung, Puskesmas kecamatan,
Puskesmas Keliling, dan Rumah Sakit. Keberadaan mereka membawa
perilaku pengobatan dan perilaku hidup sehat di tengah-tengah
masyarakat.
Setiap suku di kampung Tomer membawa pengetahuan
kesehatan yang mereka miliki sebelumnya. Namun demikian
keberadaan Suku Kanume dan Marind awalnya tetap lebih unggul
karena lebih siap dalam menghadapi penyakit karena memahami
potensi wilayahnya dengan baik. Keunggulan suku asli juga didukung
pengetahuan terhadap tanaman dan binatang yang dapat digunakan
untuk pengobatan. Kondisi ini berbeda dengan suku pendatang (Jawa,
Makassar dan Timor) yang walaupun memiliki pengetahuan
pengobatan namun terkendala dengan ketersediaan bahan baku
pengobatan di tempat tinggal yang berbeda tersebut. Dalam kondisi
tersebut maka di tahap awal ketergantungan kepada suku asli masih
sangat tinggi. Ketergantungan terhadap suku Asli juga diperkuat
dengan kondisi transportasi di bawah tahun 2000an masih sangat
buruk. Efeknya melakukan pengobatan ke medis juga menjadi
alternatif yang sulit. Situasi di tahun-tahun tersebut juga masih minim
tenaga kesehatan yang tinggal di Kampung. Di bawah tahun 2000,
Puskesmas terdekat berada di Mopa (dalam wilayah kota Merauke).
Dengan akses jalan yang buruk dan letak yang jauh maka berobat ke
medis menjadi sulit dilakukan. Maka alternatif dalam pengobatan
adalah dengan menggunakan pengetahuan lokal kesehatan.

clxxiv

Dalam kondisi tersebut maka kesehatan menjadi


permasalahan bersama. Kekurangan yang satu harus tertutupi dengan
keberadaan yang lain. Situasi tersebut telah mendorong transfer
budaya kesehatan antarsuku di kampung Tomer. Pada transfer
kebudayaan tersebut maka keberadaan dukun-dukun kampung Suku
Kanume memiliki peran penting. Informasi terhadap fungsi dan
kegunaan tanaman sangat tergantung dari apa yang dikatakan oleh
dukun kampung Kanume tersebut. Lambat laun pengetahuan
pengobatan tersebut menjadi milik bersama semua suku dan
keberadaan dukun kampung Kanume hanya menjadi rujukan bagi
sukunya sendiri (Terkecuali terhadap penyakit-penyakit berat yang
memang harus ditangani oleh dukun kampung Kanume sendiri). Hal
yang sama juga terjadi dari suku pendatang kepada suku asli (Kanume
dan Marind).
Kemampuan yang dimiliki oleh suku pendatang dalam hal
kesehatan baik dalam bentuk pengobatan maupun perilaku ditransfer
kepada suku asli. Pengetahuan tersebut tidak masuk ke suku asli
melalui pengobatan namun masuk melalui peniruan. Adaptasi yang
dilakukan oleh Suku Kanume terhadap pengetahuan kesehatan suku
pendatang mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara
menyeluruh maupun dengan perubahan disana-sini. Begitu naturalnya
pengetahuan kesehatan tersebut digunakan membuat semua suku
mengakui hal tersebut sebagai bagian dari pengetahuan kesehatan
mereka. Beberapa pengetahuan kesehatan yang telah mengalami
akulturasi adalah metode ukup, pengobatan malaria (akan dibahas
pada bab berikutnya).
Salah satu bentuk pengetahuan kesehatan yang digunakan
oleh Suku Kanume, Marind, Jawa dan Timor di kampung Tomer adalah
pengobatan dengan metode ukup. Metode ini diakui oleh suku yang
menggunakannya sebagai bagian dari pengetahuan lokal mereka
sendiri. Walaupun beberapa informan mengatakan metode tersebut
dibawa oleh suku Timor yang diadaptasi oleh Suku Kanume dan

clxxv

Marind, namun pada beberapa individu Kanume dan Marind


mengakui bahwa hal tersebut adalah peninggalan dari leluhur mereka.
Tidak jauh berbeda, menurut Bapak MA (54 Tahun) suku Jawa
juga mengakui bahwa metode ukup adalah pengetahuan lokal yang
mereka miliki secara turun-temurun. Adanya pengakuan terhadap
ukup bisa saja karena memang ada pengetahuan lokal tersebut pada
masing-masing suku. Namun demikian bagaimana hal tersebut bisa
dipraktekkan di wilayah yang sama membutuhkan pendahulu yang
memulaidan memberi inspirasi atau mengingatkan kembali kepada
suku lain untuk mempraktekan hal yang sama. Keberadaan bahan
baku juga memegang peran penting untuk melakukan hal tersebut.
Tanpa bahan baku maka metode ukup sulit untuk dipraktekan.
Berdasarkan hal tersebut tentu ada pendahulu dalam mempraktekkan
pengetahuan tersebut yang membuat suku lain mengikuti hal
tersebut.
Walaupun semua suku menerapkan metode ukup namun tetap
ada perbedaan bahan yang digunakan dalam pengobatan tersebut.
Namun demikian tetap ada bahan utama yang digunakan oleh semua
suku. Perbedaan bahan yang digunakan walaupun sedikit adalah
tanda bahwa pengetahuan tersebut telah mengalami akulturasi
budaya kesehatan. Masing-masing suku tetap ingin menampilkan
pengetahuan lokal yang mereka miliki dalam metode tersebut.
Keberadaan agen-agen kesehatan melalui bidan yang bertugas
di Puskesmas Pembantu yang ada di kampung Tomer turut
memberikan perubahan bagi budaya kesehatan di kampung Tomer.
Salah satunya adalah perubahan dalam prosesi melahirkan. Suku
Kanume dan Suku Marind memiliki tradisi melahirkan jauh dari rumah
dan tidak dilihat banyak orang. Suku Makassar di kampung Tomer juga
tidak biasa melahirkan ditolong bidan karena keengganan dan malu
menggunakan jasa medis. Suku Jawa dan suku Timor lebih banyak
menggunakan jasa bidan dalam melahirkan. Kehadiran bidan
sebenarnya telah merubah pola kelahiran ibu-ibu di kampung Tomer.

clxxvi

Bahkan beberapa dukun bayi telah pensiun semenjak kehadiran


bidan. Sebagian besar masyarakat telah menggunakan jasa bidan
untuk membantu persalinan.
Bidan su (sudah) larang toh, karena rumput-rumput itu kena
ini toh, kena penyakit, karena su (sudah) ada sapi, ada kuda,
jadi sudah biar sudah, kita pake obat dari suster dorang
(mereka). (Mama AD, 67 tahun)
Namun sebagian masyarakat yang lain tetap menggunakan
cara-cara lama untuk persalinan dengan meminta pertolongan
saudara perempuannya. Praktek ini masih berlaku pada beberapa
orang Suku Kanume dan Marind di kampung Tomer. Begitu juga
dengan suku Makassar. Namun demikian kehadiran bidan telah juga
membawa perubahan pada mereka walaupun tidak seratus persen.
Jalan tengah yang mereka pilih adalah melahirkan terlebih dahulu
dengan bantuan saudara perempuannya, kemudian setelah bayinya
lahir baru memanggil bidan untuk memastikan kondisi kesehatan si
ibu dan bayi. Jalan tengah ini menjadi unik karena sebelum
melahirkanpun ibu-ibu tersebut memeriksakan kehamilannya ke
bidan. Namun saat melahirkan dengan kalangan internal keluarga,
lalu setelah lahir kembali ke bidan. Hal tersebut menunjukkan
kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan dari layanan
kesehatan atau bidan, namun juga tetep tidak meninggalkan
pengobatan tradisionalnya yaitu meminum pohon kanta.
Proses tersebut merupakan bentuk akulturasi budaya
kesehatan modern dengan tradisional yang masih ada saat ini di
kampung Tomer.

clxxvii

BAB IV
PENYAKIT MALARIA
Pendahuluan
Malaria bukanlah penyakit baru bagi masyarakat Tomer. Bisa
dikatakan malaria adalah bagian dari kehidupan mereka. Masingmasing suku memiliki persepsinya masing-masing terhadap penyakit
ini, karena sudah lama hidup pada daerah endemis malaria, malaria
tidak lagi dianggap sesuatu yang membahayakan. Bahkan pada
beberapa suku seperti Kanume dan Marind, malaria sudah menemani
mereka dari lahir. Hubungan antara masyarakat dan penyakit malaria
menjadi sudut pandang menarik untuk mengungkap bagaimana
masyarakat Tomer bertahan dengan malaria.
Bagaimana melihat malaria tergantung dengan siapa
menanyakan hal tersebut. Jika ditanyakan malaria pada suku
Makassar yang ada di Kampung Tomer, apakah anda tahu tentang
malaria? maka rata-rata jawaban mereka adalah tahu. Lalu jika
ditanyakan apa yang anda lakukan jika terkena malaria? Maka
jawabannya rata-rata adalah istirahat saja. Pemahaman dan
penanggulangan penyakit malaria pada suku Makassar sangat minim,
hal ini juga berlaku pada penyakit yang lain. Kondisi ini dikarenakan
konsep sehat dan sakit suku Makassar lebih ditekankan pada fungsi
tubuh dalam aktifitas keseharian. Walaupun sakit, namun jika masih
bisa dibawa kerja, maka mereka masih menganggap dirinya sehat.
Malaria dalam pandangan suku Makassar tidak jauh berbeda dengan
penyakit-penyakit yang lain. Ia hanya jadi berbahaya jika sudah
membuat badan tidak bisa dibawa beraktifitas mencari nafkah.
Situasi yang berbeda akan muncul jika malaria dilihat dari
sudut pandang suku Jawa di Kampung Tomer. Budaya kesehatan
medis yang sudah jauh lebih baik dikenal masyarakat Jawa membuat
penanggulangan malaria selalu dikaitkan dengan medis. Peran bidan
dan dokter menjadi penting saat suku Jawa mengalami malaria karena

clxxviii

dianggap dapat menyebabkan kematian. Karena budaya kesehatan


medis lebih dikenal oleh masyarakat Jawa, maka perilaku dalam
menghadapi malaria akan sangat bergantung dari anjuran dan saran
petugas medis. Jika disuruh beristirahat atau meminum obat, maka
suku Jawa di Kampung Tomer relatif lebih mengikuti dan menurut
terhadap anjuran tersebut. Walaupun pada beberapa orang
penanggulangan sakit malaria dapat dilakukan dengan pengobatan
tradisional, namun pemilihan layanan kesehatan modern tetap
menjadi pilihan utama masyarakat Jawa di Tomer.
Suku Timor dikenal sebagai pengenal Kristen dan injil bagi
masyarakat Nasrani di Kampung Tomer. Hal ini berkaitan dengan
peran leluhur mereka yang menyebarkan agama di Papua. Selain itu
orang Timor di Kampung Tomer juga dikenal sebagai pendidik bagi
suku asli (Kanume dan Marind). Sejarah tersebut mendorong orang
Timor tetap menekuni hal yang sama, yaitu sebagai agamawan dan
guru. Dengan demikian secara pendidikan, orang Timor dikenal
memiliki status yang tinggi. Pengetahuan yang tinggi membuat cara
mereka menangani masalah didasarkan pada cerita-cerita moyang
mereka dan digabungkan dengan pendidikan yang mereka miliki.
Melihat Malaria dalam kacamata orang Timor merupakan gabungan
antara kemampuan mereka menghadapi malaria di masa lalu dengan
pengetahuan modern yang mereka miliki. Saat berhadapan dengan
malaria, orang Timor relatif lebih siap karena memiliki pengetahuan
lokal yang baik terhadap tanaman-tanaman yang dapat mengatasi
penyakit malaria. Pengetahuan ini didapatkan secara turun temurun.
Jika sudah dianggap membahayakan mereka akan segera
menggunakan layanan kesehatan medis untuk mengatasi malaria.
Sedangkan suku asli Kanume dan Marin adalah mereka yang
paling banyak bersentuhan dengan malaria. Cerita-cerita malaria
sudah menjadi teman kehidupan. Dari leluhur, mereka sudah
mengenal gejala yang saat ini dianggap malaria. Pengetahuan akan hal
tersebut melahirkan berbagai macam cara menanggulangi malaria

clxxix

dalam kehidupan mereka. Maka dari makanan, perilaku pencegahan


dan cara pengobatan telah dimunculkan untuk menghadapi malaria.
Penyebab malaria pun mulai dikaji baik dari sisi spiritual, adat dan
ilmiah. Mereka menemukan banyak hal, baik yang dapat mereka
terima maupun yang tidak. Semuanya mengarah pada satu hal bahwa
malaria bukanlah sesuatu yang menakutkan kembali. Hadirnya malaria
berulang-ulang dijawab dengan pengobatan yang rutin. Kehadiran
layanan medis modern ikut menjadi salah satu alternatif bagi suku asli
untuk terus bertahan menghadapi malaria.
Melihat malaria dalam kacamata 4 suku besar di Kampung
Tomer menimbulkan berbagai perspektif tentang penyakit tersebut.
Kehadiran mereka bersama dalam suatu daerah dan tantangan yang
sama dalam menghadapi malaria melahirkan juga transfer
kebudayaan dan pengetahuan dalam menghadapi penyakit tersebut.
Transfer pengetahuan ini salah satunya melalui pengobatan
tradisional yang dipercaya dapat mengatasi malaria. Transfer
pengetahuan ini berlangsung sudah cukup lama sehingga terkadang
tidak diketahui siapa yang memiliki pengetahuan ini pada awalnya.
Semuanya mengklaim memiliki pengetahuan tersebut dan semuanya
terus menyampaikan pengetahuan tersebut kepada yang bertanya.
Walaupun saat ini layanan medis telah dapat dinikmati oleh semua
masyarakat Kampung Tomer, namun mereka tetap mempertahankan
pengetahuan lokal tentang bagaimana menghadapi malaria. Dari
kacamata inilah tim Peneliti REK 2015 mengupas akulturasi
penanganan malaria di Kampung Tomer.
4.1. Mengenal Malaria
Tidak ada istilah khusus saat menyebutkan nama penyakit
malaria. Penyakit ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah umum. Ada
idiom yang hadir di tengah-tengah masyarakat Merauke, kalau belum
kena malaria maka belum sah menginjak tanah Merauke. Malaria
dianggap sebagai penyakit yang biasa menjangkiti masyarakat

clxxx

kampung tomer. Hal tersebut terlihat dari ekspresi dan tanggapan


masyarakat ketika ditanyakan terkait penyakit malaria. Idiom ini
muncul dari beberapa orang yang ditemui peneliti. ...aah, itu biasa
saja... kalau rasa menggigil tinggal kasih selimut, biar badan
berkeringat, nanti sembuh sendiri... (Bapak EP, 42 tahun).
Hampir seluruh masyarakat dapat menyebutkan gejala-gejala
dari penyakit malaria. Gejala-gejala malaria yang disebutkan oleh
kebanyakan masyarakat adalah panas tinggi, badan terasa dingin dan
menggigil, masyarakat menyebutnya dengan demam goyang.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut masyarakat akan menyatakan
bahwa dirinya sedang terkena malaria95, walaupun tanpa pemeriksaan
laboratorium sebelumnya. Selain itu, masyarakat juga sudah
mengetahui pengobatan untuk penyakit malaria, berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat.
Berdasarkan penuturan masyarakat, penyakit malaria yang
paling banyak diderita masyarakat Kampung Tomer adalah malaria
tersiana. Selain dari itu, terdapat juga beberapa penderita malaria
tropika. Penuturan lebih lanjut dijelaskan masyarakat bahwa malaria
tropika merupakan malaria terberat dan terberbahaya. Hal tersebut
dikarenakan malaria tropika menyerang saraf otak manusia, salah satu
dampak dari malaria tropika yaitu penderita menjadi kehilangan
kesadaran atau gila.
4.2. Segitiga Epidemiologi Malaria di Kampung Tomer
Proses timbulnya penyakit, sebuah teori pernah dikemukakan
oleh John Gordon menyebutkan bahwa timbul atau tidaknya suatu
95

Berdasarkan ilmu kedokteran, penyakit malaria diawali gejala prodromal yang


tidak spesifik diantaranya lesu, sakit kepala, anoreksia, noesea an vomitus, bahkan
terjadi demam yang tidak teratur. Selain itu juga dikenal dengan gejala trias malaria,
yakti demam malaria, splemomegali (pembesaran limfa), hepatomegali
(pembesaran hati. Sementara itu Jenis dan Periodik demam malaria berbeda-beda
berdasarkan spesies plasmodiom yang menyerang (Agoes, 2009; 215-216).

clxxxi

penyakit pada manusi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu,


pejamu (Host), bibit penyakit (agent), dan lingkungan (Enviroment)
(Gerstman, 2003). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias
penyebab penyakit atau trias epidemiologi atau segitiga epidemiologi
(Gerstman, 2003 : 46-48).
Segitiga epidemiologi (trias epidemiologi) merupakan konsep
dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan
antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit dan
masalah kesehatan lainya. Timbulnya penyakit berkaitan dengan
gangguan interaksi antara ketiga faktor tersebut. Keterhubungan
antara Host, agent, dan enviroment ini merupakan suatu kesatuan
yang dinamis yang berada dalam keseimbangan pada seorang individu
yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan
segitiga inilah yang akan menimbulkan penyakit (Gerstman, 2003 : 4648).
Hubungan antara host, agent dan enviroment dalam
menimbulkan suatu penyakit amat komplek dan majemuk.Disebutkan
bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi, dimana host dan agent
saling
berlomba
untuk
menarik
keuntungan
dari
enviroment.Hubungan antara host, agent dan enviroment ini
diibaratkan seperti timbangan. Disini host dan agent berada diujung
masing-masing tuas, sedangkan enviroment sebagai penumpunya.
A

H
E
Gambar 4.1. segitiga epidemiologi

Sumber : Gerstman, 2003 : 46-48


1. Agent
Agent adalah suatu unsur, organisme hidup, atau kuman
infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Pada

clxxxii

kasus penyakit malaria yang merupakan agent penyakit adalah


Plasmodium Sp. Plasmodium merupakan parasit bersel satu (protozoa)
yang termasuk genus Plasmodia,famili Plasmodiidae dari ordo
Coccidiidae (Chwatt dalam Hakim, 2011). Plasmodium sebagai parasit
malaria baru ditemukan pada abad ke 19. Di Indonesia, spesies
Plasmodium yang hidup pada manusia yang dominan adalah
P.falciparum dan P. vivax. Sedangkan P.ovale dan P.malariae biasanya
ditemukan di wilayah Indonesia bagian Timur (Hakim, 2011, 109).
Jenis Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia dibagi
menjadi empat jenis. Masing-masing memiliki ciri yang berbeda di
bawah mikroskop, dan masing-masing menghasilkan pola gejala yang
agak berbeda. Dua atau lebih spesies dapat hidup di daerah yang
sama dan menginfeksi satu orang pada saat yang sama.Empatspesies
plasmodium yang menginfeksi manusia adalah Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium
ovale (Adam, 1992 : 70).
2. Host
Host atau pejamu dalam kasus malaria terdiri dari host
definitive (nyamuk Anopheles spp) dan host intermediate (manusia).
Sementara itu masyarakat telah memiliki pemahaman bahwa
penyebab penyakit malaria adalah nyamuk. Lebih lanjut masyarakat
menjelaskan 4 jenis nyamuk yang terdapat di Kampung Tomer,
mereka mengelompokkan ke empat nyamuk tersebut berdasarkan
warna yakni hitam dan putih dan berdasarkan ukuran yaitu panjang
dan kecil. Berdasarkan keempat kategori nyamuk tersebut masyarakat
meyakini bahwa nyamuk yang dapat menyebabkan malaria adalah
nyamuk dengan ciri khas posisi menggigit nungging atau mengarahkan
pantat ke atas. Berdasarkan keterangan bapak YN (60 tahun)
masyarakat biasa menyebutnya dengan sebutan nyamuk pantat
tinggi atau pantat panjang atau pantat tajam, nyamuk tersebut

clxxxiii

dapat berwarna hitam maupun putih dengan ukurannya yang


beragam.
Panjang
Hitam
Kecil

nyamuk

Panjang

Putih
Kecil

Gambar 4.2. Klasifikasi nyamuk berdasarkan masyarakat Kampung Tomer

Sumber : Data Primer Penelitian


Penyakit Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk spesies
Anopheles. Di Papua sedikitnya tercacat terdapat 3 spesies Anopheles
yang menjadi vektor penyakit malaria yakni, Anopheles farauti
Laveran, Anopheles koliensis Owen, dan Anopheles punctulastus
Dnitz. Kesamaan bionomik dari ketiga nyamuk tersebut adalah
kebiasaan menggigit yakni pada malam hari. Namun hanya Anopheles
punctulastus Dnitz yang tidak ditemukan beristirahat di dalam
rumah. Habitat dari Anopheles farauti Laveran berada di daerah
pantai dengan ketinggian mencapai 2.250 M dan laguna, sedangkan
Anopheles koliensis Owen, dan Anopheles punctulastus Dnitz berada
di persawahan, parit, sungai, dan kolam. (Herianto, dkk, 2011, 30 : 35 :
44)
Host intermediate yaitu manusia dipengaruhi keturunan,
mekanisme pertahana tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pekerjaan, kebiasaan-kebiasaan hidup, status kesehatan
umum termasuk status gizi, bentuk dan fungsi anatomi fisiologis,
penyakit yang diderita sebelumnya (Thomas and Weber, 2001 : 1020). Pada kasus penyakit malaria di Kampung Tomer Merauke ini, yang
merupakan faktor-faktor dari host intermediate yang mempengaruhi

clxxxiv

penularan malaria adalah pekerjaan dan kebiasaan-kebiasaan hidup


atau life style masyarakat96.
Masyarakat Tomer mayoritas banyak yang melakukan
pekerjaan dan kegiatan di luar rumah saat malam hari, seperti
kegiatan menjaring dan berburu hewan ke hutan. Kegiatan di luar
rumah pada saat malam hari merupakan salah satu faktor risiko
tertularnya malaria97. Selain pekerjaan masyarakat ada juga kebiasaan
masyarakat yang memiliki faktor resiko yang dapat menyebabkan
terjangkit malaria yaitu kebiasaan menginap di bivak-bivak (tempat
tinggal sementara) di pinggiran pantai dan kebiasaan menghabiskan
malam dengan duduk-duduk santai di luar rumah atau di bivak atau
gubuk sambil berbincang berbagai hal dengan seluruh keluarga.
3. Enviroment
Faktor Enviroment atau lingkungan memegang peranan yang
cukup penting dalam menentukan terjadinya sifat karakteristik
individu sebagai Host dan ikut memegang peranan dalam proses
kejadian penyakit. Salah seorang masyarakat menjelaskan bahwa
keberadaan nyamuk malaria sangat berkaitan dengan musim dan
keadaan lingkungan sekitar.
...jadi nyamuk itu dia biasa ada pada musim banjir sekarang ini,
dengan musim banjir pertama itu yang air belum mengalir, itu
nyamuk itu ada, sesudah banjir, air sudah penuh itu mereka
sudah mulai hilang dengan air sudah mulai kering, nyamuk itu
muncul pada itu, karna dia kan nanti taru telurnya di air-air
macam begini (menunjuk kubangan air) yang ada sekarang
sumur kecil ini... (Bapa YL, 43 tahun)
96

Kejadian penyakit malaria selain dipengaruhi oleh bionomik nyamuk dan kondisi
habitat spesies nyamuk, juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan perilaku penduduk
(Achmadi, 2009 : 148).
97
Hal ini seperti yang telah di ungkap pada penelitian di Kabupaten Sekadau
menunjukkan adanya hubungan kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria (Santy, et al, 2014 : 270)

clxxxv

Kondisi lingkungan tersebut dianggap sebagai tempat


berkembang biak nyamuk Anopheles yang merupakan agent
pembawa penyakit malaria. Selain keberadaan kubangan-kubangan,
faktor geografis lingkungan kampung Tomer yang mana banyak
terdapat persawah, rawa dan sungai, juga merupakan habitat dari
nyamuk Anopheles (Herianto, dkk, 2011, 30 : 35 : 44). Penelitian dari
Sila dan Karolus (2013) di Kupang menunjukkan hubungan yang
signifikan antara kejadian malaria dengan jarak tempat tinggal dan
tempat perindukan nyamuk seperti sawah dan lagoon (<200 m). Hasil
penelitian diketahui bahwa responden yang tinggal di sekitar tempat
perindukan nyamuk memiliki risiko terdiagnosis malaria sebesar 53%
(Hasyim, dkk, 2014).
Hasil pengamatan peneliti di lapangan juga menemukan
bahwa kubangan atau cekungan tanah apabila datang musim hujan
penuh dengan air hujan dan lama untuk surut.Komposisi tanah di
Kampung Tomer yang mayoritas merupakan tanah lempung atau
tanah liat. Kedua jenis tanah tersebutmemiliki kemampuan menghisap
air kedalam tanah sangat rendah. Akibatnya menghasilkan genangangenang air yang tidak mudah surut berhari-hari.

Gambar 4.3. Genangan air pada saat musim hujan

(sumber: dokumentasi peneliti)


Kondisi tersebut diperparah dengan sikap masyarakat yang
kurang peduli terhadap lingkungan. Suku asli seperti Kanume dan
Marind khususnya, memiliki sikap apatis, tidak peduli, tidak mau tahu

clxxxvi

terhadap lingkungan sekitar. Sikap tersebut biasa disebut matohale


yang berarti malas tahu atau menunjukkan sikap cuek.
...mereka untuk menjaga kesehatannya juga masih susah,
contoh kebersihannya masih belum diterapkan begitu to
kebersihan lingkungan kebersihan dirinya juga belum... (Bidan
PA, 40 tahun)
...kalau mereka sudah tidak suka maka akan keluar ungkapan
matohale, yang artinya malas tau, cuek, yang kalau sudah keluar
ungkapan itu, maka susah kembali untuk diajak... (ibu AM, 42
tahun)
Dengan demikian dapat digambarkan sebuah segitiga
epidemiologi penyakit malaria di Kampung Tomer, dengan
penggambaran Agent penyakit yang begitu banyak dan didukung
dengan
lingkungan
yang
baik
untuk
perindukan
dan
perkembangbiakan nyamuk anopheles sebagai agent, di mana
manusia sebagai Host juga memiliki faktor risiko yang mendukung
tertularnya penyakit malaria.
H

A
E
Gambar 4.4. Segitiga epidemiologi Malaria di Kampung Tomer
4.3. Penyebab Malaria dalam perspektif masyarakat
Seluruh masyarakat Suku Kanume dan suku pendatang di
Kampung Tomer mengetahui dengan baik bahwa penyebab malaria
adalah nyamuk. Nyamuk merupakan penyebab awal seseorang
terkena malaria. Mama ST (40 tahun) menjelaskan proses penularan
malaria, bahwa seseorang akan tertular malaria ketika orang tersebut
digigit oleh nyamuk malaria yang mana nyamuk tersebut sebelumnya

clxxxvii

telah terlebih dahulu menggigit penderita malaria. Sementara itu


berdasarkan beberapa hasil wawancara terdapat pula hal-hal yang
dianggap dapat menyebabkan kambuhnya penyakit malaria,
diantaranya adalah:
1. Bekerja Terlalu Berat
Bekerja terlalu berat dipercaya masyarakat dapat
membangkitkan kembali bibit malaria di dalam tubuh. Bekerja terlalu
berat diyakini akan memberikan kelelahan tubuh. Kekelahan tubuh ini
menyebabkan bibit malaria menjadi kambuh saat tubuh terlalu capek
bekerja.
2. Terlalu Banyak Main Air (Dingin)
Mereka yang pernah kena malaria dianjurkan jangan terlalu
banyak main di air. Kepercayaan ini muncul karena pada saat tubuh
terlalu dingin maka malaria akan kambuh.
3. Minum Air Mentah
Pada beberapa kasus, didapatkan bahwa meminum air mentah
juga dapat mengakibatkan terkena malaria. Malaria yang diakibatkan
oleh air mentah dinamakan malaria perut. Dampak dari malaria perut
adalah buncit pada perut.
...itu akibatnya karena minum air mentah, itu tadi yang sa
(saya) bilang itu, apa lah itu air tergenang di tong itu, itu
yang paling berbahaya, itu paling cepat, dia pu(punya) ciriciri begitu perut mules-mules, panas-panas dingin kita pu
(punya)badan, tiba-tiba perutnya tuh membengkak...
(mama KS, 35 tahun)
4. Gangguan Deme
Dalam kepercayaan Suku Kanume, Deme juga dipercaya bisa
mendatangkan penyakit malaria. Mereka yang melakukan kesalahan
karena melanggar sesuatu di alam dipercaya akan diberi gangguan
Deme. Gangguan ini dapat mengakibatkan malaria bagi yang terkena,
khususnya malaria tropika

clxxxviii

4.4. Pencegahan Malaria di Kampung Tomer


Hasil dari beberapa wawancara yang dilakukan kepada bapak
MU (suku Jawa, 73 tahun), bapak YN (suku Timor, 60), mama AD (Suku
Kanume, 67 tahun), mama ST (suku Marind, 40 Tahun), Ibu NY (suku
Jawa, 50 tahun), mama SD (suku Timor, 34 tahun) menunjukkan
terdapat beberapa upaya pencegahan yang sering kali dilakukan oleh
masyarakat Tomer untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk
yang dipercaya dapat menyebabkan penyakit malaria, antara lain:
1. Pembuatan api-api98
Pengetahuan Suku Kanume terkait penyakit malaria yang
disebabkan karena gigitan nyamuk sudah diketahuinya sejak lama.
Lebih lanjut masyarakat menjelaskan bahwa terdapat kebiasaan Suku
Kanume yang mereka anggap sebuah usaha untuk menghindarkan diri
dari gigitan nyamuk. Kebiasaan tersebut adalah membuat api-api di
pekarangan rumah pada saat sore hari sampai malam. Kebiasaan
membuat api-api ini biasa dibarengi dengan kegiatan berkumpul
untuk sekedar berbincang-bincang hangat dan bersenda gurau dengan
keluarga atau sekelompok masyarakat lain pada malam hari. Dalam
berinteraksi masyarakat Kanume memiliki kebiasaan yang disebut
cerita mati, yaitu kebiasaan berbincang-bincang yang sulit diakhiri.
Suku Kanume sangat senang bercerita mati, kegiatan itu biasa mereka
lakukan berkelompok hingga dini hari ditemani dengan api-api.

98

Api-api adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kayu yang dibakar dan
memanfaatkan asapnya untuk mengusir nyamuk.

clxxxix

Gambar 4.5. Masyarakat sedang melakukan aktivitas malam (mengobrol) di


sekitar api-api

(sumber: dokumentasi peneliti)


Bahan baku yang biasa digunakan untuk pembuatan api-api
antara lain kayu, rumput dan serabut kelapa. Pembuatan api-api ini
juga bertujuan untuk mengusir hawa dingin malam, selain itu asap
yang dihasilkan diyakini dapat mengusir kehadiran nyamuk. Dengan
demikian masyarakat meyakini bahwa dengan cara pembuatan api-api
dapat menghindarkan mereka dari gigitan nyamuk....memang
nyamuk takut itu de (dia) pu (punya) asap to... (Bapak TJ, 73 tahun).
Kegiatan pembuatan api-api untuk mengusir nyamuk tidak hanya
dilakukan oleh Suku Kanume saja, namun juga dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat kampung Tomer, termasuk suku
pendatang.
2. Menggunakan Kelambu
Penggunaan kelambu juga diterapkan masyarakat untuk
menghindari gigitan nyamuk. Masyarakat menyatakan memperoleh
kelambu tersebut dari tenaga kesehatan. masyarakat juga dapat
menjelaskan penggunaan dan kegunaan kelambu. Pengetahuan
terkait kelambu diperoleh masyarakat dari tenaga kesehatan, melalui
penyuluhan kesehatan yang digelar di balai desa. ...jadi kita semua 13

cxc

rumah ini semua pake kelambu jatah, dari pos yang langsung bagi, itu
pake kelambu itu anti malaria itu... (bapak YL, 43 tahun).
Mekanisme pembagian kelambu berdasarkan pernyataan
salah satu kader kesehatan (mama BD, 54 tahun) kelambu di bagikan
berdasarkan jumlah tempat tidur yang ada. Namun terdapat keluarga
yang menyatakan hanya mendapatkan satu kelambu untuk seluruh
penghuni rumah, sedangkan keluarga tersebut terdiri dari beberapa
keluarga, sehingga ibu SL (35 tahun) menyatakan bahwa tidak semua
anggota keluarganya menggunakan kelambu.
...kelambu tidak punya, kita tidak di kasih kelambu, saya
hanya dapat satu, tapi saya punya orang banyak sekali yang
tinggal disini, saya pakai, tapi hanya satu saja... (ibu SL, 35
tahun).
Masyarakat menyatakan bahwa kelambu tidak hanya digunakan di
dalam rumah, namun juga digunakan saat melakukan aktifitas di luar
rumah. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengamatan peneliti di
masyarakat, bahwa masyarakat menggunakan kelambunya juga ketika
sedang beraktifitas di luar rumah, seperti sedang menginap di bivak di
pantai dan saat sedang pergi menjaring dan berburu ke hutan.
...jadi sempat juga jalan itu kelambu, jatah itu yang ada kita
pake untuk amankan kita punya diri dalam kelambu, paling kita
masak cepat-cepat, makan, sendok makanan, selesai, langsung
duduk dalam kelambu, baru makan, jadi kelambu itu paling
kita bawa dua, untuk makan dalam kelambu dan untuk tidur...
(bapa YL, 43 tahun)
3. Menggunakan Obat Nyamuk dan Replan
Masyarakat juga sudah mengenal obat nyamuk oles atau
replen dan obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar juga digunakan
masyarakat ketika di luar rumah, tidak hanya di dalam rumah.
Sedangkan Obat nyamuk oles atau replan biasa masyarakat gunakan

cxci

ketika sedang berburu ke hutan, replant ini banyak masyarakat


dapatkan dari pos TNI, sedangkan obat nyamuk bakar biasa
masyarakat peroleh di kios-kios kampung.
4.5. Pengobatan Malaria di Kampung Tomer
Pengobatan malaria di kampung Tomer cukup bervariasi. Hal
tersebut ditunjukkan dari hasil wawancara dengan berbagai informan
seperti pada bapak MU (suku Jawa, 73 tahun), bapak YN (suku Timor,
60), bapak SK (ketua suku Jawa, 74 tahun), mama AD (Suku Kanume,
67 tahun), mama ST (suku Marind, 40 Tahun), Ibu NY (suku Jawa, 50
tahun), mama SD (suku Timor, 34 tahun), ibu SL (suku Makassar, 35
tahun). Dengan demikian dapat dikategorikan pencarian pengobatan
malaria menjadi:
1. Penggunaan Obat Medis
Pengobatan medis biasa masyarakat peroleh melalui layanan
puskesmas, pustu maupun satgas TNI. Masyarakat suku Jawa menurut
bapak SK (74 tahun) telah mengenal pengobatan medis dari era
Belanda. Pengunaan obat medis menjadi rujukan utama pencarian
pengobatan. Sedangkan pengobatan tradisional masih digunakan
dalam batas-batas tertentu.
2. Pengobatan Tradisional99
Hidup bersama malaria melahirkan berbagai metode dalam
bertahan terhadap serangan penyakit tersebut. kemampuan dalam
bertahan menghadapi malaria lahir justru pada saat akses layanan
kesehatan medis belum sebegitu lancar seperti sekarang ini.
Pengetahuan terhadap penanggulangan malaria membuat penyakit
tersebut bisa diatasi. Beberapa penanggulangan penyakit malaria
99

Menurut UU Nomer 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Obat Tradisional adalah


bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

cxcii

merupakan
pengetahuan
tradisional.
Pengobatan
dengan
memanfaatkan tumbuhan obat. Untuk saat ini pengobatan yang
paling sering digunakan masyarakat Kampung Tomer untuk
pengobatan malaria adalah pengobatan dengan pelayanan medis.
Namun untuk pengobatan pada saat relaps atau kambuh dengan rasa
kesakitan ringan masyarakat banyak menggunakan pengobatan
tradisional.
Pengobatan tradisional ini terdiri dari tanaman obat dan
metode penyembuhan. Penggunaan tanaman obat sebagai
penyembuh malaria tidak hanya dimilki oleh masyarakat suku asli. Hal
yang sama juga berlaku pada metode penyembuhan. Suku pendatang
juga memiliki pengetahuan terhadap pengobatan pada malaria.
Berikut ini adalah pengobatan tradisional yang dipercaya memberi
kesembuhan terhadap malaria.
a. Rumput Maniram
Bahan baku yang dibutuhkan adalah 5 pohon mangiran (hingga
akar-akarnya) dicampur akar pepaya jantan 7 potong. Direbus, airnya
3 gelas dijadikan 1 gelas diminum hangat-hangat sekali habis.
b. Pohon Sambiroto
Daun sambiroto (andrographis paniculata nees100) adalah salah
satu tanaman obat yang terdapat hampir diseluruh daerah di
Indonesia dengan berbagai nama daerah. Cara penggunaannya yaitu
dengan cara beberapa pohon samiroto101 direbus dengan 3 gelas air
hingga menguap menjadi 1 gelas. hasil penelitian membuktikan
bahwa isolat sambiloto mampu menghambat pertumbuhan
100

Andrographis paniculata yang juga dikenal sebagai King of Bitters adalah


tanaman telah digunakan selama beberapa abad di Asia untuk mengobati penyakit
gangguan saluran cerna, pernafasan, demam, herpes, radang tenggorokan, dan
beberapa penyakit kronik dan infeksi lainnya, termasuk malaria. (Zein, 2005 : 5)
101
EkstrakSambilototerbuktimemiliki efek anti malariafalciparumpada in-vitro dan
memiliki efekmaksimum padadosis200ug/ml (Zein, et al, 2014 : 41-43). Widyowati,
et al. (2003)

cxciii

plasmodium falciparum pada stadium gametosit in vitro.


Pengaruhekstraksambilotosebagaiantimalariatelahterungkapbaik
dalammonoterapidan dalamkombinasi (Hafid, et.al, 2014 : 205-208).
c. Pohon Pepaya
Daun pepaya telah lama dipergunakan oleh kelompok
masyarakat untuk pengobatan, seperti obat sakit malaria, penambah
nafsu makan, obat cacing, obat batu ginjal, meluruhkan haid, dan
menghilangkan rasa sakit (Dalimarta & Hembing, 1994). Terdapat
bagian dari pohon pepaya yang digunakan menjadi obat malaria yang
berbeda pengolahannya;
1). Pucuk daun pohon pepaya yang berwana hijau. Cara
mengkonsumsinya dengan cara di rebus kemudian diminum. Hal
tersebut dimungkinkan karena daun pepaya memiliki senyawa
untuk mengurangi rasa nyeri, seperti yang diutarakan pada
peneitian Afrianti, 2014102).
2). Daun yang berwarna kuning, dipercaya berguna untuk sakit pada
tulang-tulang dan demam akibat malaria. Daun pepaya kuning ini
digunakan bersama sereh merah untuk pengobatan dengan
metode ukup
3). Akar pohon pepaya. Akarnya dipilih dari pohon pepaya laki-laki.
Cara membedakannya yaitu pepaya perempuan adalah yang
memiliki bunga, sedangkan pepaya laki-laki adalah pepaya yang
memiliki buah. Cara mengkonsumsinya dengan cara direbus
kemudian di minum.

102

Hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol daun
pepaya dosis 300 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB memberikan aktifitas penurunan rasa
nyeri yang berbeda nyata dibandingkan paracetamol dosis 65 mg/kgBB

cxciv

Gambar 4.6. Pohon pepaya perempuan

(sumber: dokumentasi peneliti)


d. Manghangatkan Badan di api-api atau para-para
Cara menghangatkan badan di api-api yaitu dengan tidur
dengan perapian. Dipercaya dengan seperti itu akan menghilangkan
sakit malaria seperti sakit kepala, demam dan rasa dingin
e. Metode Ukup
Metode Ukup selain digunakan oleh ibu setelah melahirkan
untuk membersihkan kandungan. Metode ukup ini dipercaya mampu
mengembalikan stamina tubuh, mengeluarkan penyakit lewat poripori tubuh keluar.
3. Obat Warung
Beberapa masyarakat menggunakan obat warung sebagai
pengobatan malaria. Bapa EP (42 tahun) misalnya, beliau terbiasa
menggunakan puyer bintang tujuh apabila muncul gejala-gelaja yang
dianggap sebagai penyakit malaria.
4. Tidak Melakukan Apa-apa
Tak jarang juga terdapat masyarakat yang enggan melakukan
pengobatan baik medis maupun tradisional, hal tersebut karena
mereka menganggap bahwa malaria akan dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan. ...Ya sembuh sendiri, tapi lama baru
sembuh.. 10 hari.. (Ibu SL, 35 tahun).

cxcv

4.6. Sumber Pengetahuan Malaria


Sumber pengetahuan terkait penyakit malaria banyak di dapat
masyarakat dari tenaga kesehatan. Masyarakat mengenal malaria
sudah sejak lama, namun pengetahuannya semakin bertambah ketika
senantiasa terus terpapar informasi kesehatan dari tenaga kesehatan.
Informasi kesehatan ini diakui masyarakat biasa diperoleh melalui
penyuluhan.
...ada penyuluhan juga biasa di balai kampung dan juga ada
petugas juga kesini, kasih apa ini, kita juga disini dengan
masyarakat sering kumpul begini-begini, macam kita dapat
kelambu jatah dari posko sini, sempat juga mereka kasihtau
cara-caranya malaria itu begini-begini nanti kami cara
gunakannya begini begitu... (bapa YL, 43 tahun)
Terdapat juga masyarakat yang mengetahui jenis nyamuk yang
menyebabkan malaria melalui bungkus kelambu berinsektisida yang
dibagikan ke warga. Bungkus kelambu berinsektisida dijadikan media
edukasi malaria. ...seperti nyamuk malaria yang sudah ada di gambar
kelambu itu... (Bapak YL, 43 tahun).
Berbeda dengan pengetahuan seputar penyakit malaria,
pengetahuan obat tradisional yang digunakan untuk pengobatan
tradisional tidak bersumber dari tenaga kesehatan, melainkan dari
pertukaran informasi dari suku-suku yang tinggal di Kampung, dengan
adanya perbedaan budaya pengobatan dari masing-masing suku
terjadilah saling tukar ilmu atau transfer keilmuan terkait pengobatan
tradisional yang digunakan tiap suku.
Pertukaran informasi ini sudah sangat lama terjadi di
masyarakat, jauh sebelum medis ada dan sebelum mereka
mengetahui betul tentang malaria. Sehingga menjadi sulit mencari
asal usul tanaman obat yang digunakan di masing-masing suku, karena
sudah bercampr baur dan kesamaan informasi di setiap suku.

cxcvi

4.7. Transfer Pengetahuan dan Akulturasi Penanganan Malaria di


Kampung Tomer
Kejadian sakit malaria, bukan merupakan hal baru atau
mengherankan bagi suku asli. Hal ini karena suku mereka sudah
mengenal penyakit malaria dari zaman moyang-moyang. Masyarakat
merasa sudah biasa menghadapi penyakit malaria. Suku Kanume
memiliki cari sendiri untuk penanggulangan malaria, baik melalui cara
pencegahan maupun pengobatan berdasarkan pengetahuan lokal
yang telah dimiliki. Begitu pula dengan suku pendatang, yaitu Suku
Jawa, Timor dan Makassar juga memiliki pengetahuan lokal sendirisendiri. Dengan demikian berdasarkan pengetahuan yang mereka
miliki sebelumnya ditambah pengetahuan baru maka suku pendatang
mulai mempersiapkan diri menghadapi penyakit malaria, termasuk
dalam hal pencegahan dan pengobatan.
Proses ini setidaknya dimulai dengan menggabungkan
pengetahuan lokal Suku Kanume dan pengetahuan lokal mereka
sendiri ditambah pengetahuan baru yang mereka terima. Pada
akhirnya kemampuan menghadapi malaria merupakan sebuah
gabungan pengetahuan lokal suku asli dengan suku pendatang
ditambah inovasi baru yang disebarluaskan oleh agen kesehatan.
Gabungan pengetahuan suku asli dengan suku pendatang ditambah
agen kesehatan juga dialami oleh Suku Kanume yang mengadaptasi
kemampuan pendatang menghadapi malaria dengan tidak meninggal
pengetahuan lokal mereka.
1. Pencegahan
Salah satu upaya pencegahan malaria di Kampung Tomer
adalah kebiasaan membuat api-api. Upaya tersebut tidak hanya
dilakukan oleh Suku Kanume karena dilakukan juga oleh suku
pendatang. Suku pendatang juga mempercayai keefektifan dari cara
pengusiran nyamuk yang dilakukan oleh suku asli.
Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh keluarga suku
Jawa yang telah tinggal di kampung Tomer kurang lebih selama 29

cxcvii

tahun, ibu NY (50 tahun). Beliau dan keluarga membuat api-api ketika
sedang melakukan kegiatan bersantai di luar rumah pada malam hari.
Ibu NY menyatakan bahwa mempelajari hal tersebut dari penduduk
asli dan turut meyakini hal tersebut dapat mengusir nyamuk.
Perilaku pencegahan penyakit malaria dengan mencegah
gigitan nyamuk menggunakan pembuatan api-api oleh pendatang
merupakan hasil dari transfer pengetahuan budaya yang terjadi
antara masyarakat asli kepada pendatang. Transfer pengetahuan yang
terjadi adalah pendatang yang ikut mengadaptasi perilaku yang
dianggap dapat mencegah gigitan nyamuk.
Transfer pengetahuan dalam hal pencegahan malaria, tidak
hanya terjadi di antara suku asli dan suku pendatang, melainkan juga
terjadi antara masyarakat, khususnya suku asli dengan tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan dinilai menjadi bagaian dari transfer
pengetahuan terkait perilaku pencegahan malaria di masyarakat. Hal
ini dikarenakan tenaga kesehatan merupakan pihak luar yang
membawa sesuatu hal yang baru untuk diadaptasi oleh masyarakat,
yakni program-program kesehatan.
Program kesehatan yang dibawa oleh tenaga kesehatan untuk
upaya pencegahan malaria adalah penggunaan kelambu. Pada
awalnya masyarakat tidak mengenal penggunaan kelambu.
Diceritakan bahwa dahulu masyarakat tidak menggunakan kelambu,
sehingga hanya menggunakan api-api untuk mengusir nyamuk....kan
orang tutor dulu tu (itu) tarada(tidak ada) punya kelambu begitu, jadi
biasa tu (itu) para-para begini bikin kasih tinggi to, jadi tiap malam itu
bikin api asap-asap... (bapa TJ, 73 tahun)
Hingga pada saat ini masyarakat sudah menggunakan kelambu
untuk mencegah diri dari gigitan nyamuk. Hasil transfer pengetahuan
yang dihasilkan antara masyarakat dengan tenaga kesehatan dalam
upaya pencegahan malaria ialah penggunaan kelambu.Namun
demikian masyarakat tidak meninggalkan metode pembuatan api-api
untuk mengusir nyamuk.

cxcviii

2. Pengobatan
Pengobatan malaria pada masyarakat Kampung Tomer seperti
yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan keragaman perilaku
pengobatan. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya
penggabungan antara pengetahuan lokal yang dimiliki dengan
pengetahuan baru serta ditambah inovasi yang disebarluaskan oleh
agen kesehatan. Salah satu pengetahuan kesehatan yang digunakan
untuk mengobati penyakit malaria adalah penggunaan pohon
sambiroto.
Rasa sambiroto yang pahit dipercaya oleh Suku Kanume,
Marind, Jawa, Timor dan Makassar dapat mengobati malaria. Bahwa
siapa yang pertama kali membawa pengetahuan ini dan
mentransfernya kepada suku-suku yang lain sulit untuk dilacak. Suku
asli, Kanume dan Marind mengakui bahwa sambiroto adalah
pengetahuan lokal yang mereka miliki dalam mengobati penyakit
malaria. Suku Jawa dan Suku Timor juga mengakui bahwa sambiroto
adalah pengetahuan yang sudah mereka ketahui dari turun-temurun.
Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa sambiroto adalah
pengetahuan umum untuk mengobati malaria, namun penggunaan
tanaman tersebut sangat berhubungan dengan penyakit malaria.
Suku bangsa yang tidak banyak mengalami sakit malaria akan
jarang menggunakan tanaman sambiroto. Dengan demikian
keberadaan sambiroto akan memiliki makna yang berbeda pada
daerah yang sering terkena malaria. Namun karena cara pengolahan
sambiroto sangat mudah untuk mengobati malaria maka cara
pengobatannya tidak membutuhkan keterampilan yang khusus.
Kemudahan tersebut membuat transfer kepada anggota suku yang
lain dan generasi selanjutnya berlangsung secara cepat. Kemudahan
ini membuat suku-suku di kampung Tomer merasa pengetahuan
tersebut adalah milik suku mereka masing-masing.
Kondisi berbeda ditemui pada suku Makassar yang baru 8
tahun tinggal di kampung Tomer. Saat dilakukan penggalian asal

cxcix

muasal
mereka mengetahui pengetahuan pengobatan malaria
dengan menggunakan samiroto, mereka jawab berasal dari suku asli
Kanume. Saat pertama kali terkena malaria mereka bertanya kepada
Suku Kanume apa obat yang bisa mengobati malaria. Pengetahuan
terhadap siapa yang pertama kali memberikan informasi kesehatan
tentang sambiroto kepada suku Makassar masih dapat dilacak karena
masa tinggal mereka di kampung Tomer baru berlangsung 8 tahun.
Hal ini berbeda dengan Suku Kanume, Marind, Jawa, Timor yang telah
hidup di kampung Tomer minimal 30 tahun.
Adanya perbedaan penggunaan sambiroto dalam hal takaran
tanaman, jumlah air, dan waktu penggunaan merupakan modifikasi
yang dimiliki oleh karakter masing-masing suku, baik asli (Kanume dan
Marind) maupun suku pendatang (Jawa, Makassar, Timor). Dengan
demikian walaupun inti bahan tanaman obat sama namun
pengetahuan lokal masing-masing suku telah memberikan perbedaan
dalam penggunaan sambiroto untuk mengobati malaria.
Ini
merupakan sebuah akulturasi kesehatan yang muncul di Kampung
Tomer.

cc

BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Suku Kanume merupakan suku asli Merauke bersama-sama
Marind yang mengalami apa yang dinamakan Boelaars sebagai moral
depresion. Saat ini konsep Boelaars tersebut terwakilkan oleh kata
lokal matohale yang berarti malas tahu. Istilah ini jauh lebih kompleks
karena sekaligus menggambarkan sifat Suku Kanume yang tidak
berdaya, apatis, gugup dengan perubahan yang terjadi di sekitar
mereka. Kondisi ini terlihat dari begitu besarnya ketergantungan Suku
Kanume terhadap bantuan pemerintah baik dalam bentuk
pembangunan rumah, jamban, jalan, pertanian, perikanan, dan
peternakan.
Kehadiran suku pendatang (Jawa, Makassar, Timor) di
kampung Tomer telah memungkinkan terjadinya transfer
pengetahuan. Baik dari Suku Kanume maupun suku pendatang. Suku
Kanume mentransfer pengetahuan berburu, mencari ikan, dan
pengobatan melawan malaria. Sementara itu suku pendatang
memperkenalkan pertanian, pendidikan, dan pengetahuan kesehatan.
Di samping itu terdapat juga agen-agen perubahan pemerintah yang
juga memberikan perubahan sosial pada Suku Kanume dan suku
Pendatang di kampung Tomer. Agen-agen perubahan itu masuk
melalui pintu penyuluhan seperti pertanian, perikanan, dan
kesehatan. Kehadiran para penyuluh ini telah membuat terjadi
perubahan perilaku pada Suku Kanume, salahsatunya adalah dalam
penggunaan kelambu ketika akan tidur. Transfer pengetahuan di
antara Suku Kanume dengan suku pendatang berlangsung dengan
kecepatan yang tidak sama. Suku pendatang cepat menyerap
pengetahuan baru yang mereka terima dari Suku Kanume dan
memodifikasinya menjadi lebih baik. Maka dalam waktu yang tidak
terlalu lama pengetahuan suku pendatang sudah menyamai

cci

pengetahuan Suku Kanume. sedangkan Suku Kanume mengalami


kecepatan yang tidak sama saat menerima pengetahuan baru yang
dibawa oleh suku pendatang. Suku Kanume memerlukan intensitas
penyampaian pesan dan pendampingan dalam menggunakan
pengetahuan baru yang mereka terima. Suku Kanume membutuhkan
bukti terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang mereka terima
sebagai hal baru. Salah satu contohnya adalah dalam menerima
pengetahuan tentang pertanian. Sebelum meyakini bahwa rumput
yang ditanam tersebut dapat menghasilkan beras untuk di makan
maka Suku Kanume belum melakukan tanam padi. Setelah terbukti
barulah Suku Kanume mempraktekan tanam padi sebagai pekerjaan
utama mereka saat ini.
Perbedaan kecepatan menyerap dan mempraktekan
pengetahuan diantara Suku Kanume dengan suku pendatang ini
melahirkan cara pandang keduanya. Suku Kanume dianggap malas
dan apatis dalam pandangan suku pendatang. Sedangkan keberadaan
suku pendatang yang lebih maju daripada suku asli, mulai
menimbulkan perasaan terancam pada Suku Kanume. Hal ini
diperkuat dengan suku pendatang yang mulai membeli tanah-tanah di
kampung Tomer. Situasi ini tidak muncul dipermukaan, namun
menjadi cara pandang jika dibicarakan di lingkungan internal suku.
Di bidang kesehatan terjadi juga transfer pengetahuan. Di
tingkat suku asli ditemukan banyak budaya kesehatan dalam
menanggulangi penyakit, namun pengetahuan tersebut hanya
menjadi prioritas kedua. Prioritas pertama Suku Kanume dalam
pengobatan penyakit adalah ke medis, kecuali untuk hal-hal yang
berhubungan dengan gaib (deme) atau suanggi. Kehadiran bidan,
mantri, dan dokter membawa perubahan besar dalam cara
pengobatan pada Suku Kanume. Walaupun demikian masih
ditemukan pengetahuan pengobatan tradisional dalam mengobati
penyakit. Suku pendatang juga membawa pengetahuan pengobatan
yang mereka miliki baik secara turun temurun maupun berdasarkan

ccii

pengetahuan terbaru. Transfer budaya kesehatan antara Suku


Kanume dengan suku pendatang membuat pengetahuan kesehatan
tersebut menjadi milik bersama. ketika sudah menjadi milik bersama
maka asal usul pengetahuan tersebut sudah sulit dilacak.
Pengetahuan bersama dengan tetap ditemukannya ke-khas-an
pada bentuk pengetahuan tersebut merupakan bukti telah adanya
akulturasi kesehatan di kampung Tomer. Salah satu bentuk akulturasi
kesehatan tersebut adalah metode ukup. Walaupun semua suku
memiliki pengetahuan tentang ukup (kecuali suku Makassar) namun
bahan yang digunakan tidak sepenuhnya sama. Ada satu atau dua
bahan yang berbeda dalam membuat ramuan ukup. Perbedaan bahan
tersebut berdasarkan keyakinan masing-masing suku.
Pengetahuan lokal terhadap pengobatan tradisional sangat
tergantung dari ketersediaan bahan obat dari lingkungan sekitar.
Habisnya tanaman obat akan berdampak pada hilangnya pengetahuan
lokal terhadap pengobatan. Saat ini Suku Kanume menggantungkan
diri pada tanaman obat yang tersedia di alam. Hanya ada beberapa
orang yang menanam tanaman obat di pekarangan. Selebihnya untuk
mencari bahan obat, Suku Kanume menggantungkan diri pada
ketersediaan di alam. Hal ini mengkhawatirkan karena keberadaan
tanaman obat akan menjamin keberlangsungan pengetahuan
pengobatan itu sendiri.
Penyakit malaria merupakan tantangan bersama yang harus
dihi hadapi setiap tahunnya. Transfer pengetahuan terjadi dalam hal
pencegahan dan pengobatan. Pantangan-pantangan menjadi
pengetahuan bersama sehingga menjadi lumrah diucapkan pleh siapa
saja. Salah satunya pantangan meminum air kelapa muda bagi
penderita malaria. Sedangkan untuk pengobatan masing-masing suku
memiliki pengetahuan yang sama tentang sambiroto dan mangiran
sebagai obat malaria. Tidak diketahui pasti siapa yang membawa
pengetahuan tersebut. Namun ketersediaan tanaman ini di sekitar

cciii

Kampung Tomer membuat sambiroto dan mangiran djadikan


pengobatan alternatif dalam mengobati malaria selain ke medis.
Khusus untuk penyakit malaria mengapa selalu menyerang, hal
ini sangat berhubungan dengan sifat matohaleyang dimiliki oleh Suku
Kanume. Geografis kampung Tomer yang berawa dimana air sulit
terserap tanah ketika musim hujan membuat genangan air banyak
berada di sekitar pemukimam. Sikap tidak mau tahu dan tidak berdaya
membuat belum ada perilaku aktif untuk mengurangi habitat nyamuk
malaria tersebut. Dibutuhkan intervensi perubahan sikap matohale
Suku Kanume agar dapat mengurangi dampak nyamuk malaria.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan kajian penelitian di lapangan maka beberapa
point penting direkomendasikan untuk membawa perubahan bagi
masyarakat Suku Kanume, khususnya di bidang kesehatan.
1. Dibutuhkan intervensi dalam bentuk social eingenering untuk
merubah sikap matohaleSuku Kanume dengan cara memberikan
penyuluhan kesehatan dalam bidang malaria yang berhubungan
dengan kondisi lingkungan.
2. Untuk menjamin ketersediaan tanaman obat khususnya dalam
menghadapi malaria, maka direkomendasikan dibuat kebun
tanaman obat kampung Tomer. Fungsi kebun ini adalah sebagai
jaminan keberadaan tanaman obat tetap tersedia. Efek dari kebun
obat ini adalah menjamin pengetahuan lokal masyarakat suku asli
dapat terjaga.
3. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan secara dini dalam
menghadapi penyakit, khususnya malaria, maka pengetahuan lokal, tanaman
obat, lingkungan malaria, dimasukan dalam muatan lokal di sekolah. Untuk itu
pihak sekolah didorong untuk membuat silabus mata pelajaran pengetahuan
lokal pengobatan. Masuknya pengetahuan lokal pengobatan dalam kurikulum
lokal akan mendorong perubahan sikap matohalepada Suku Kanume
terhadap penyakit malaria, khususnya generasi muda.

cciv

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2009. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 3, No. 4. Pages :
147-153.
Adam, Syamsunir. 1992. Dasar-dasar Mikrobiologi dan Parasitologi
untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Adnan Hamdan dan Hafied Cangara, 1996. Prinsip-prinsip Hubungan
Masyarakat. Surabaya: Usaha Nasional.
Afrianti, Ria., Yenti, Revi., & Meustika, Dewi. 2014. Uji Aktifitas
Analgetik Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.) pada
Mencit Putih Jantan yang di Induksi Asam Asetat 1%.Jurnal
Sains Farmasi & Klinis. Vol. 1(1), page : 54-60.
Agoes, R. Dan Natadiasastra, D. 2009. Parasitologi Kedokteran :
Ditinjau dari Organ yang Diserang. Jakarta: EGC.
Boelaars,Jan, 1986. Manusia Irian: Dahulu Sekarang Masa
depan. Jakarta: PT. Gramedia.
Bungin,

Burhan, 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif;


Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan
Model Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Dalimarta dan Hembing. 1994. Atlas tumbuhan obat Indonesia.


Jakarta: Trubus Agriwidia.
Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke. Profil Kesehatan Kabupaten
Merauke Tahun 2012. Dinas Kesehatan Kab. Merauke.
Merauke
Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL. 2011. Buku Saku Menuju Eliminasi
Malaria. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

ccv

Dumatubun, A.E ., 2003. Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa


Marind-Anim. Jurnal Antropologi Papua Volume 1. No. 3 April
2003.
Gerstman, B. Burt. 2003. Epidemiology Kept Simple : An Introduction
to Traditional and Modern Epidemiology Second edition.
Weley-liss Inc : Hoboken. New Jersey.
Hafid, Achmad Fuad., Retnowati , Dini., Widyawaruyanti, A.T.Y. 2014.
The Combination Therapy Model of Andrographis Paniculata
Extract and Chloroquine on Plasmodium Berghei Infected
Mice. Asian Journal of Pharm Clinical Research. Vol 8, Issue 2,
page : 205-208
Hakim, Lukman. 2011. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis.
Aspirator. Volume. 3 No. 2. Page : 107-116.
Hasyim, Hamzah., dkk. 2014. Determinan Kejadian Malaria di
Wilayah Endemis. Jurnal Kesehatan Masyrakat Nasional. Vol 8,
No7, Page : 291-294.
Heriyanto, dkk. 2011. Atlas Vektor Penyakit. Jakarta: Kemenkes RI. hal
30 : 35 : 44.
Ibrahim,

Abd Syukur 1994. Panduan Penelitian


Komunikasi.Surabaya: Usaha Nasional

Etnografi

Isaacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis:


Identitas Kelompok dan Perubahan Politik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Kemeterian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2013. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

ccvi

Kemeterian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian


Kesehatan Tahun 2015-2019. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia Nomor
293/Menkes/Sk/Iv/2009 Tentang Eliminasi Malaria di
Indonesia
Kinasih, Ayu Windy, 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo.
Yogyakarta: Lab JIP FISIP UGM
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
P.T. Dian Rakyat
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T.
Rineka Cipta
Kriyantono, Rachmat, 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi Disertai
Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising,
Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta:
Prenada Media Group. Hal 56, 72.
Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat, 2005. Komunikasi
Antarbudaya; Panduan Berkomunikasi Dengan OrangOrang Berbeda Budaya.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muntaza. 2013. Satu Abad Perubahan Sakralitas Alam Malind-Anim.
Sosiologi Reflektif, Volume 8, No. 1, Oktober 2013. Halaman
180-208
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Hal 53, 54, 57.

ccvii

Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2013. Social Mapping- Metode


Pemetaan Sosial: Teknik Memahami Suatu Masyarakat
atau Komuniti (edisi revisi). Bandung: Rekayasa Sains.
Santy., Fitriangga, Agus., Natalia, Diana., 2014. Hubungan Faktor
Individu dan Lingkungan dengan Kejadian Malaria di Desa
Sungai Ayak 3 Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau.
Jurnal EJKI. Vol. 2 No. 1. Page 265-272
Shadily, Hassan, 1983. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia.
Jakarta: PT Bina Aksara.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wacana. Hal 3, 17, 85, 132-133.
Sutrisno

Mudji dan Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika


Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta:Kanisius

Tahara, Tasripin. 2014. Melawan Stereotip: Etnografi, Reproduksi


Identitas, dan Dinamika Masyarakat Katobengke Buton
yang Terabaikan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Thomas and Weler. 2001. Epidemiologic Methods for the Study of
Infectious Diseases. USA: Oxford Universuty Press.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Widyowati, R., Santa, I.G.P., Rahman, A., Tantular, I., Widyawaruyanti,
A. 2003. Uji In Vitro aktivitas Antimalaria Isolat dari
Andrographis paniculata terhadap Plasmodium Falciparum
pada Stadium Gametosit. Majalah Farmasi Erlangga. Vol 3 No
3. Page : 99-102
Zein, U. Fitri. L.K., Saragih, A. 2014. Comparative Study of Antimalarial
Effect of Sambiloto (Andrographis paniculata) Extract,
Chloroquine and Artemisinin and Their Combination Against
Plasmodium falciparum In-vitro. Acta Medica Indonesiana -

ccviii

The Indonesian Journal of Internal Medicine. Volume 45. Page


: 38-43
Zein, Umar. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat dalam Upaya
Pemeliharaan Kesehatan. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara. e-USU Repository\

ccix

INDEKS

Agen-agen kesehatan 178


akulturasi budaya kesehatan
12, 25
Akulturasi Kesehatan iii, 177,
216
Anopheles spp 189
api-api 127, 195, 196, 201,
204, 205
ASI eksklusif 155, 156

daeng 63, 87, 88, 97, 132,


153, 157, 158
dema 45, 47, 77, 129, 216
demam goyang 186
Deme 45, 51, 77, 129, 131,
132, 140, 194, 216
Dewan Stasi 137
Dimar 49, 50, 51
drainase 95, 158
dukun Kampung 83, 141, 151,
152, 153

B
beramba 157
Bia 112
Bivak. 71
budaya kesehatan 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 18, 20, 23, 25,
110, 177, 178, 179, 181, 182,
184, 209, 216

folklor 43

cholera 31, 52, 54, 59


Condo 19, 48, 49, 54, 58, 60,
61, 65, 66, 67, 68, 69, 98, 99,
101, 104, 146

ccx

enkulturasi 11, 41
etnografi 8, 17, 18, 20, 22, 23,
25, 224, 228
F

gatsi 91
Gelambu 39, 49, 56, 76
granolome 31

gubuk 71, 72, 100, 159, 167,


170, 191
H
Halia 174
J
jentik nyamuk 162
Jhon Gruba Gipse 57, 64
K
Kaikai iii, 172, 173
Kali Wesi 52
Kampung Bula 57, 73, 74, 131,
165
kangguru 48, 50, 66, 86, 165
kapal Jhonson 63, 69
kapur vi, 96, 112, 113, 114,
115, 116, 148, 161, 166, 167
Kavos 111
kayu bush 71, 86
kayu kanta 154, 155
Keuskupan Agung 45
Konsep sehat sakit 123
Kul 49, 50, 51

M
Maiwa 49
makna sehat 24, 122, 123,
124
malaria tropika 132, 187, 194
Mangiran vi, 175
Marind Anim i, 27, 28, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 56,
77, 90, 103, 217
matohale 192, 193, 208, 211,
212
Mbanggu 49, 50
menginang v, 111, 112, 113,
114, 115, 158, 159, 160, 166,
167
misionaris 27, 31, 63, 77, 78
moral depresion 208
moral despression 33
Motu 64
N
namun menggunakan 39, 226
O
Ongaya 49

L
lagoon 191

211

Papua ii, v, 13, 14, 19, 20, 24,


27, 28, 35, 36, 40, 41, 45, 54,
55, 57, 62, 72, 78, 86, 88, 93,
98, 104, 109, 133, 144, 176,
184, 189, 220
parapara 71, 100
penyakit kelamin 31, 32, 33,
34, 38, 40
perang kui 28, 55
Perilaku Seksual 29, 30, 220
pinang 72, 89, 96, 111, 112,
113, 114, 115, 116, 158, 160
plasmodium 188, 200
PNG ii, 55, 57, 58, 61, 64, 72,
73, 74, 75, 76, 79, 87, 98, 99,
120, 131, 144, 157, 165
Posyandu Lansia 147
poyang 47, 51
Poyang Siram 51
pu anim 38
pukul babi 36

Sagero ii, 116, 119, 218


Saham 66, 86, 165
Sambiloto vi, 174, 175, 200,
223
Satgas TNI 144
sejarah lisan 35, 43
sep 172, 173
Sofi ii, 116, 119, 218
Sota 48, 49, 82
Spaanse-Griep 31
Suanggi 133, 134, 218

R
Rawa Biru 48, 49
relaps 199
Rumput Maniram 199
rusa 66, 86, 98, 99, 167, 171,
172

212

T
Taman Nasional Wasur 64, 66,
85, 86
tato 120, 121
teknologi kesehatan 10, 15
tersiana 187
Tomer i, ii, iii, v, vi, vii, 16, 19,
20, 24, 25, 39, 43, 48, 49, 51,
52, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70,
72, 73, 74, 75, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 106,
107, 108, 110, 111, 114, 120,
122, 123, 124, 125, 128, 131,
133, 134, 135, 136, 137, 139,

141, 142, 143, 144, 145, 146,


147, 148, 151, 152, 154, 155,
157, 158, 160, 161, 162, 163,
164, 167, 168, 169, 170, 172,
174, 177, 178, 179, 180, 181,
182, 183, 184, 185, 187, 189,
190, 191, 192, 193, 195, 196,
198, 199, 203, 204, 205, 206,
207, 208, 209, 210, 211, 224,
225
Tomerau 19, 48, 49, 56, 58,
60, 61, 62, 63, 66, 67, 69, 94,
98, 146
transfer pengetahuan 24, 102,
103, 105, 107, 177, 178, 204,
205, 208, 209
Transfer Pengetahuan ii, iii,
102, 177, 203
transmigrasi 14, 38, 40

U
Ukup iii, vi, 111, 171, 172,
176, 201, 202, 218
V
Vigin 64, 74, 87
W
Wati ii, v, 116, 117
world view 8, 9, 15
Y
Yangandur 48, 49, 58

213

GLOSARIUM
Akulturasi

Penerimaan budaya oleh suku yang sedang


berinteraksi, di mana budaya tersebut diolah
sedemikian
rupa
tanpa
menghilangkan
kepribadian budaya masing-masing suku yang
sedang berinteraksi.

Akulturasi Kesehatan

Penerimaan budaya kesehatan dari suku asli


atau suku pendatang yang diolah sedemikian
rupa tanpa menghilangkan kepribadian masingmasing budaya suku tersebut.

Bionomic

Kesenangan nyamuk yang meliputi: tempat


bertelur (breeding habit), kesenangan mengigit
(feeding habit), kesenangan tempat istirahat
(resting habit), jarak terbang.

Cerai

Menginang

Daeng

Sebutan untuk orang yang berasal dari Sulawesi


Selatan.

Deme/dema

Penyebutan terhadap leluhur Suku Kanume dan


Marind yang menguasai tempat-tempat dan
benda-benda di dunia.

Demam Goyang

Gejala malaria yang banyak disebutkan


masyarakat meliputi panas tinggi, badan terasa
tinggi dan menggigil.

Dokter Adat

Sebutan bagi seseorang yang memiliki


kemampuan untuk mengobati penyakit yang
berhubungan dengan hal-hal gaib. Biasanya
untuk mengobati gangguan deme atau suanggi.

Dong

214

Dia

Dorang

Dia orang

Gubuk

Bangunan yang terpisah dari rumah utama.


Berfungsi sebagai tempat memasak dan
mencuci piring. Bangunan ini sering digunakan
sebagai tempat kumpul keluarga.

Kahose

Menginang.

Kao

Kau.

Matohale

Biar sudah (sebuah ungkapan


menggambarkan ketidakingintahuan).

Moral Depression

Kondisi psikologi yang pasrah, tidak mau tahu,


dan gugup dengan perubahan di sekitarnya.

Marind Anim

Penyebutan secara umum bagi gabungan sukusuku asli yang ada di Merauke.

Pu

Punya

Pica-pica

Pecah-pecah

Poro-poro

Kepercayaan pada seseorang yang memiliki


ilmu hitam dan dapat mencelakakan orang
lain.

Pukul Babi

Suatu upacara adat pada Suku Kanume dan


Marind untuk melegalkan perjanjian. Biasanya
digunakan dalam jual beli.

Sa

Saya

Sagero

Minuman memabukan yang terbuat dari air


hasil irisan sari mayang.

Su

Sudah

Suanggi

Kepercayaan pada kekuatan jahat yang dapat


merusak tubuh bahkan kematian.

untuk

215

Sofi

Minuman memabukan yang berasal dari air


nira yang telah mengalami penyulingan.

Timor

Sebutan dari Suku Kanume untuk suku-suku


yang berasal dari Maluku (termasuk Ambon,
Kei, dan Tepa)

Totem

Sebuah objek yang disakralkan oleh suatu


masyarakat
yang
memiliki
keterikatan
terhadap objek tersebut.

Ukup

Sebuah metode pengobatan di mana sebuah


ramuan yang terdiri atas beberapa tanaman
yang di rebus lalu uapnya dimanfaatkan untuk
menyebar di seluruh tubuh sehingga keluar
banyak keringat. Biasanya agar uap tidak
keluar kemana-mana maka panci dan orang
yang berobat berada dalam 1 kain.

216

UCAPAN TERIMAKASIH
Riset etnografi kesehatan pada Suku Kanume di kampung Tomer
ini telah banyak memberikan kesadaran pada peneliti bahwa yang
dimaksud bermacam-macam suku bangsa itu tidak dilihat dari
kuantitas melainkan dimaknai sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
Makna keberagaman begitu menyentuh hati peneliti, bahwa kesatuan
itu bukan satu, tapi berbeda-beda dalam satu. Perbedaan ini tidak
untuk dibeda-bedakan tapi harus diakui perbedaannya. Justru
kekayaan bangsa Indonesia terletak pada perbedaaan-perbedaan
tersebut. Mencoba untuk membuatnya menjadi sama akan
menghilangkan jati diri suku bangsa tersebut yang berarti juga
menghilangkan jati diri bangsa Indonesia.
Riset ini membawa peneliti untuk belajar banyak pada Suku
Kanume tentang pentingnya identitas, tentang penerimaan, tentang
hidup bersama, tentang kegelisahan, tentang toleransi, tentang
makna pembangunan, dan masih banyak lagi tentang suara-suara
yang ingin didengar. Suara-suara tersebut mengiringi langkah peneliti
sampai kembali ke rumah masing-masing. Memberi ruang untuk
mereka berkata dalam buku ini adalah salah satu cara suara-suara itu
didengar oleh para pengambil kebijakan.
Pada akhirnya kami tidaklah berhenti menjadi peneliti, kami
menjadi pembelajar. Belajar kembali mendengar, melihat, merasakan
dan berempati pada komunitas sasaran riset. Kami menjadi manusia
baru.
Pada proses penyusunan buku ini banyak pihak-pihak yang telah
membantu dari mulai persiapan, survey awal, workshop pengumpulan
data, turun ke lapangan, dan workshop penulisan hingga akhirnya
buku ini selesai. Pada kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak tersebut yang diantaranya adalah:
1) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI.,

217

2) Kepala Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan


Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan RI,
3) Ketua Pelaksana Riset Etnografi Kesehatan 2015,
4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke beserta staf,
5) Kepala Distrik Merauke beserta staf,
6) Kepala Kampung Tomer dan aparatnya,
7) Warga Kampung Tomer,
8) Suryadi selaku asisten peneliti yang telah banyak membantu
kelancaran jalannya penelitian di lapangan
9) Keluarga penulis, yang telah memberikan kepercayaan kepada
kami untuk belajar.
10) Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan
satu-persatu
Menjadi sesuatu yang lebih baik adalah proses yang harus terus
berjalan. Oleh karenanya kami akan menantikan kritik dan saran
terhadap buku yang telah kami susun ini.
Terakhir, buku ini menjadi karya monumental kami, untuk
mengingatkan bahwa di luar sana masih banyak suara-suara yang
harus didengar.
Belajarlah Menjadi Pendengar, Karena Yang Bicara Sudah Terlalu
Banyak, Lalu Tulislah, Agar Tidak Sekedar Menjadi Obrolan Biasa.
Surabaya, 29 Juni 2015
Tim Penulis

218

TENTANG PENULIS
Alfarabi
Alfarabi merupakan salah satu staf
Pengajar Komunikasi di Fakultas Fisip
Universitas Negeri Bengkulu (UNIB).
Pria kelahiran Lubuk Linggau ini
memiliki
riwayat
pendidikan
di
beberapa kota. Berawal dari pendidikan
Sekolah Dasar di Panancangan 2 Serang
Banten
tahun
1987-1992,
lalu
dilanjutkanpada SMP N 5 Serang Banten
tahun 1992-1995. Jenjang berikutnya ia tempuh di Kabupaten
Bogor tepatnya di SMUN 1 Ciawi Bogor tahun 1995-1998,
kemudian untuk pendidikan sarjana ia memilih kota Bengkulu
sebagai tempat menuntut ilmu komunikasi hingga tahun 2005.
Dan tak berselang lama dari kelulusan sarjananya, tahun 2008 ia
terdaftar sebagai mahasiswa pasca sarjana di kota gudeg
tepatnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan konsentrasi
Kajian Budaya media.
Sebagai dosen muda, selain kesibukannya dalam mengajar,
ia juga aktif melakukan penelitian-penelitian.Cukup banyak
penelitian yang telah dilakukkannya, tidak hanya pada bidang
sosial, tetapi juga pada bidang kesehatan. Berikut adalah judul
penelitian yang pernah dikerjakannya antara lain,
1
2
3

Ruang Identitas Remaja Perempuan Tionghoa (2010)


Struktur dan Fungsi Perayaan Tabut dalam Memelihara
Integrasi Budaya (2011)
Penelitian Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal
Etnomedisin dan Tumbuhan Obat di Indonesia Berbasis
Komunitas (RISTOJA 2012)
Karakteristik Konflik Latent antara Etnik Pendatang

219

dengan Etnik Lokal (2013)


5 Hambatan Komunikasi pada Konflik Latent antara Etnik
Pendatang dengan Etnik Lokal (2014)
Selain berbagai publikasi ilmiah yang dihasilkan dari
berbagai penelitian. Pria yang memiliki hobby traveling ini, juga
menghasilkan banyak karya fiksi seperti cerpen dan film pendek.
Dalam mempublikasikan karya-karyanya tersebut, ia tidak
menggunakan nama aslinya namun menggunakan nama-nama
khusus. Seperti pada karya cerpennya, ia menggunakan nama
pena yaitu Abails dan Jwenti. Sedangkan untuk karya flim
pendeknya ia menggunakan nama karya yaitu abai lovesong.
Berikut adalah judul dari cerpen dan film pendek buah tangan
dari penulis
Cerpen:
1. Surat Untuk Tuhan dimuat dalam SKM Harian Jogja
Tahun 2009
2. Menari di Bulan dimuat dalam SKM Harian Jogja Tahun
2009
3. Pria Harmonika dimuat dalam SKM Harian Jogja 2010
4. Warung Bu Sri dimuat dalam SKM Harian Jogja 2010
Film:
1. Pil Mimpi publikasi di Youtube
2. Fallibel publikasi di Youtube
Untuk saran korespondensi bisa melalui
e-mail : alfarabi_unib@yahoo.co.id

220

ELIA NUR AYUNIN


Elia Nur Ayunin, dilahirkan di Kabupaten
Kulonprogo, Yogjakarta. Ia menempuh
pendidikan SD hingga SMU di Kota rantau,
Kota Depok, Jawa Barat. Kemudian
dilanjutkan pendidikan sarjana di Kota
Purwokerto, Jawa Tengah, tepatnya di
Universitas Jenderal Soedirman pada
tahun 2009 hingga 2013. Berdasarkan latar
belakang keluarga yang mayoritas adalah
tenaga pendidik, mendorong Elia untuk
bercita-cita menjadi seorang dosen. Dan
demi untuk menggapai cita-cita tersebut, ia kini melanjutkan
pendidikan pasca sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia dengan peminatan keilmuan promosi
kesehatan dan ilmu perilaku dan sudah dinyatakan lulus pada
April 2015 silam.
Dara berdarah Jawa dan Sunda ini, cukup aktif dalam
mengisi kegiatan selama mengenyam pendidikan sarjananya.
Selain aktif dalam kegiatan dan organisasi di dalam kampus, ia
juga cukup aktif dalam organisasi Ikatan Senat Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) yang bertanggung
jawab terhadap pengembangan keilmuan. ISMKMI merupakan
satu-satunya organisasi mahasiswa kesehatan masyarakat yang
beranggotakan Senat atau BEM Fakultas maupun Prodi
Kesehatan masyarakat se-Indonesia. Kecintaannya dan
keaktifannya terhadap dunia Per-KesMas-an, menjadikan ia
mendapat kesempatan terlibat kedalam organisasi mahasiswa
yang lebih besar yaitu HPEQ (Health Professional Education
Quality) Student tahun 2012 sebagai perwakilan dari ISMKMI.
HPEQ Student adalah sebuah inisiasi dari sinergisitas antar

221

organisasi mahasiswa kesehatan, yang mana HPEQ sendiri


merupakan project milik Direktorat Jenderak Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan Nasional RI, yang membahas tentang
penataan pendidikan kesehatan. Masih pada tahun yang sama,
keterlibatannya di HPEQ Student, memberikan amanah baru
yakni membantu menginisiasi terbentuknya e-journal mahasiswa
kesehatan masyarakat yang pada akhirnya diberi nama BIMKMI
(Berkala Ilmiah Kesehatan Masyarakat Indonesia).
Berbeda dengan kesibukan saat masa perkuliahan S1, pada
perkuliahan pasca sarjana, alumnus UNSOED ini banyak
dihabiskan dengan melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan
penelitian. Antara lain yaitu pada penelitian pada ibu hamil
ODHA, ini merupakan penelitian milik Kementerian Kesehatan
yang berkerja sama dengan IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia) dan didanai oleh Global Fund (GF),
dengan judul Tindak Lanjut Pengobatan ARV oleh Ibu Hamil
Positif HIV di Layanan PPIA dan Faktor-Faktor Penyebabnya di
Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014,
sebagai koordinator lapangan. Selain itu, sempat menjadi
peneliti junior/asisten peneliti pada penelitian dana hibah
Penelitian Unggulan Perguruan Tingi (PUPT) Universitas
Indonesia dengan judul Pemberdayaan Bidan dan Kader Bidang
Kesehatan Maternal dan Neonatal di Kecamatan Sawit dan
Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Jawa Tengah pada
tahun 2014. Dan sempat menjadi enumerator di beberapa
penelitian kuantitaf dan kualitatif. Hingga pada saat ini yaitu
pada penghujung masa studi pasca sarjana, ia mengikuti
penelitian etnografi kesehatan di Merauke.
Dalam dunia tulis menulis dan publikasi ilmiah, dara
kelahiran 1991 belum banyak memiliki pengalaman yang berarti.
Keterlibatannya pada Penulisan Buku Etnografi Kesehatan ini
merupakan karya terbesar di usianya yang sekarang. Namun,

222

selain dari pada itu pada tahun 2013, ia sempat berkesempatan


menjadi narasumber, mempersentasikan karya tulisannya yang
berjudul Pengaruh Pelatihan Pengembangan Media Promosi
Kesehatan Ibu Hamil terhadap Pengetahuan dan Keterampilan
pada Petugas Penyuluh Kesehatan di Kabupaten Banyumas
pada Kongres Promosi Kesehatan ke 6 di Jakarta. Karya tulis
sebelumnya yang pernah dihasilkannya adalah karya tulis pada
Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat
(PKM-PM) Bidang Kesehatan tahun 2011 dan Program Kreatifitas
Mahasiswa Bidang Artikel Ilmiah (PKM-AI) Bidang Kesehatan
tahun 2013.
Untuk saran korespondensi bisa melalui
E-mail : elia.ayun@gmail.com

223

Vous aimerez peut-être aussi