Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Septa A.K.
Isti K.
Gurendro Putro
Penerbit
SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
Penanggung Jawab
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat
di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM .................................................................................
PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................
DAFTAR TABEL.................................................................................
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
iii
v
vii
xi
xii
1
1
10
10
10
11
11
11
11
12
12
12
12
13
13
14
14
14
17
19
21
23
vii
Wamargege.......................................................
2.2. Geografi dan Kependudukan ..............................................
2.2.1. Suku Tehit di Kampung Konda.................................
2.2.2. Pola Tempat Tinggal .................................................
2.2.3. Listrik dan Penerangan .............................................
2.2.4. Pemekaran Kampung Baru: Simora dan Demen ......
2.2.5. Suku Yaben di Kampung Wamargege .....................
2.2.6. Perbandingan Bahasa Tehit dan Yaben....................
2.2.7. Suku Yaben dan Keluarga Berencana .......................
2.2.8. Tanjung Bakoi dan Tanjung Seneboi ......................
2.3. Sistem Religi ........................................................................
2.3.1. Gereja Kristen Injili ...................................................
2.3.2. Praktek Keagamaan dan Kepercayaan Tradisional............
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ...............................
2.4.1. Keluarga Inti .............................................................
2.4.2. Kekerabatan .............................................................
2.4.3. Mas Kawin dan Pernikahan Adat .............................
2.4.4. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal ................
2.5. Pengetahuan Tentang Kesehatan .......................................
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Saki ..........................
2.5.2. Pengetahuan Tentang Obat Tradisional ...................
2.5.3 Berburu Babi Hutan ..................................................
2.6. Bahasa ................................................................................
2.6.1. Bahasa Tehit dan Bahasa Yaben...............................
2.6.2. Bahasa Umum.................................................... .....
2.7.1. Goyang Pantat ..........................................................
2.7. Kesenian ..............................................................................
2.7.1. Goyang Pantat ..........................................................
2.8. Mata Pencaharian ...............................................................
2.8.1. Penokok Sagu ..........................................................
2.8.2. Nelayan.....................................................................
2.8.3. Tukang Sayur ...........................................................
2.8.4. Kios di Wamargege................................................ ..
viii
26
27
27
33
35
37
40
40
44
45
48
48
55
57
57
58
59
61
62
62
63
66
69
69
69
99
70
71
72
72
74
77
78
80
81
83
111
111
112
83
83
84
85
85
86
89
90
91
92
93
94
96
97
97
98
99
100
101
101
101
105
105
114
ix
116
116
118
119
121
123
127
129
131
131
139
142
144
146
149
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.6
Tabel 3.1
41
82
87
88
102
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24.
Gambar 25.
xii
2
4
5
6
7
7
10
14
21
26
30
33
34
35
36
36
38
39
40
41
43
46
48
49
Gambar 26.
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 29.
Gambar 30.
Gambar 31.
Gambar 32.
Gambar 33.
Gambar 34.
Gambar 35.
Gambar 36.
Gambar 37.
Gambar 38.
Gambar 39.
Gambar 40.
Gambar 41.
Gambar 42.
Gambar 43.
Gambar 44.
Gambar 45.
Gambar 46.
Gambar 47.
Gambar 48.
Gambar 49.
Gambar 50.
Gambar 51.
51
52
53
57
64
64
66
68
71
73
74
75
75
76
77
79
86
88
89
90
91
92
93
94
95
96
xiii
Gambar 52.
Gambar 53.
Gambar 54.
Gambar 55.
Gambar 56.
Gambar 57.
Gambar 58.
Gambar 59.
Gambar 60.
Gambar 61.
Gambar 62.
Gambar 63.
Gambar 64.
Gambar 65.
xiv
97
99
100
101
104
106
107
108
109
114
115
118
122
127
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan suatu investasi
jangka panjang bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Undangundang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
mensyaratkan tiga hal yaitu kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat
sebagai tiga pilar bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Masyarakat dan manusia dengan segala aspek kehidupannya harus
dilihat sebagai satu-kesatuan dan bukan hanya dipandang sebagai makhluk
biologi, an sich. Bahwa manusia harus dipandang sebagai subyek dan bukan
sebagai obyek, sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi satu kebutuhan
mutlak dalam pembangunan kesehatan.
Pembangunan kesehatan didasarkan pada beberapa indikator yaitu
kesehatan balita, kematian ibu, kematian bayi, penyakit menular dan
penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, perilaku beresiko, serta status
gizi rentan. Hal ini ditunjang dengan penilaian beberapa determinan yang
berkaitan satu dengan yang lain dapat bersifat determinan bersama dari
indikator kunci kesehatan. Secara umum, faktor determinan kesehatan
mencakup aspek perilaku dan lingkungan yang mendukung (Kemenkes,
2013). Lebih jauh lagi perilaku dipengaruhi oleh aspek sosial, ekonomi,
budaya dan demografi.
Gizi balita memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Modifikasi model determinan sosial kesehatan
menyatakan dalam tingkatan ekologi, kesehatan perorangan ditunjukkan
dengan status gizi saat balita. Masalah gizi adalah gangguan kesehatan
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya
pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang dapat diperoleh dari makanan.
Gangguan gizi pada saat balita dan berlangsung terus-menerus akan
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan individu karena tiga tahun
kehidupan pertama merupakan the golden age (masa emas pertumbuhan).
Hal ini dapat mengganggu status kesehatannya baik secara fisik maupun
kecerdasan karena sel-sel otak tidak mampu berkembang optimal.
Ternyata pola pertumbuhan seseorang sejak lahir sampai meninggal
bukan merupakan suatu kurva garis lurus, melainkan terdiri atas beberapa
bagian yang menunjukkan kecepatan tumbuh yang cepat, diselingi oleh
kecepatan tumbuh lambat. Fase pertumbuhan cepat disebut growth spurt,
sedangkan fase pertumbuhan lambat disebut growth plateau. Pada kurva
pertumbuhan seseorang kita dapatkan dua fase growth spurt, yakni pada
periode umur bayi dan balita, serta pada umur remaja atau adolescent. Di
antara kedua fase growth spurt terdapat fase growth plateau, yakni pada
periode prasekolah dan bagian akhir dewasa (adult life) (Wirjatmadi,2012).
Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten yang baru berdiri
sejak tahun 2007 setelah mengalami pemekaran dari Kabupaten Sorong.
Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari 15 distrik dan 121 kampung serta 2
kelurahan. Ibukota kabupaten adalah Teminabuan.
Kabupaten Sorong Selatan terletak pada titik koordinat 13100 13300 Bujur Timur dan 0100 - 0230 Lintang Selatan. Kabupaten Sorong
Selatan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Maybrat, sebelah
selatan berbatasan dengan Teluk Bintuni dan Laut Seram Provinsi Maluku,
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong, dan Laut Seram serta
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maybrat (Distrik Aitinyo) dan
Kabupaten Teluk Bintuni (Distrik Aranday).
Kondisi topografis yang sangat bervariasi yaitu dataran rendah dan
pesisir air payau dengan luas 75%, sedangkan dataran tinggi dengan luas
25%. Daerah dataran rendah terdiri dari 4 distrik yaitu Distrik Teminabuan,
Distrik Wayer, Distrik Konda Dan Distrik Moswaren. Daerah pesisir terdiri
dari 6 distrik yaitu Distrik Kais, Distrik Kais Darat, Distrik Metemani, Distrik
Inanwatan, Distrik Kokoda, Distrik Kokoda Utara. Daerah dataran tinggi
terdiri dari 5 Distrik Yaitu Distrik Seremuk, Distrik Saifi, Distrik Sawiat, Distrik
Salkma, Distrik Fkour (Profil Dinas Kesehatan 2013).
Wilayah Kabupaten Sorong Selatan dapat ditempuh dengan
menggunakan jalur darat, laut dan udara. Jalur darat ditempuh 3-4 jam
dengan menggunakan mobil , dan double garden dari Sorong. Jalur laut
dapat ditempuh dengan menggunakan perahu selama + 1 hari dari Sorong,
sedangkan jalur udara dapat menggunakan Susi Air yang beroperasi hanya
pada Hari Kamis dan Sabtu dari Bandara DEO (Domine Edward Osok) Sorong
ke Bandara Teminabuan. Perjalanan dari Kota Sorong menuju Teminabuan
memiliki medan jalan yang berkelok-kelok dan naik-turun. Sebagian jalan
sudah bagus tetapi sebagiannya lagi masih rusak dan membutuhkan
perbaikan. Di sepanjang jalan dari Sorong menuju Teminabuan akan ditemui
anjing yang berkeliaran di jalan, para sopir yang melintasi jalan ini berusaha
menghindari anjing yang berkeliaran di jalan karena jika menabrak, mereka
harus membayar denda kepada pemiliknya. Satu anjing dihargai ratusan ribu
sampai 5 jutaan rupiah tergantung dari permintaan si pemilik, sedangkan
babi peliharaan antara 2-5 juta. Jika sopir melakukan tabrak lari, maka dalam
sehari semalam jalan akan dipalang dan semua kendaraan yang melintas
harus membayar denda. Satu mobil 50 ribu sampai ratusan ribu, sedangkan
motor puluhan ribu tergantung pemberian si pengendara.
Selain itu di jalur ini juga kadang terjadi tabrakan antar mobil karena
para sopir yang terbiasa melewati rute ini sering memacu kendaraannya
dengan kencang sehingga jika sesama sopir tidak hati-hati di tikungan
tertentu sering terjadi tabrakan karena jalan yang sempit. Mi sepanjang jalan
ini juga jarang terdapat bengkel atau tukang tambal ban sehingga jika terjadi
10
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi
kesehatan di masyarakat.
2. Mendapat gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial
budaya terkait dengan permasalahan gizi, penyakit menular, penyakit
tidak menular dan perilaku hidup bersih dan sehat pada Suku Tehit dan
Yaben di Kabupaten Sorong Selatan.
3. Memahami pola kehidupan Suku Tehit dan Suku Yaben di Kampung
Konda dan Wamargege yang memungkinkan adanya celah untuk
meningkatkan taraf kesehatan yang lebih baik dan upaya mengurangi
adanya kasus gizi buruk.
1.4. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 40 hari terhitung mulai dari tanggal
25 April sampai dengan 3 Juni 2015. Selama waktu itu peneliti tinggal
bersama warga Kampung Konda dan Wamargege mengikuti aktivitas dan
berbaur dengan masyarakat.
1.5. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini
adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli (Spradley, 1997: 3). Data dikumpulkan melalui observasi
partisipasi, wawancara mendalam, pengamatan langsung dengan ditunjang
oleh data visual (foto, video), data-data sekunder dan studi kepustakaan.
1.5.1 Observasi Partisipasi
Observasi partisipasi dilakukan dengan terlibat langsung dalam setiap
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Konda dan Wamargege.
Observasi partisipasi dilakukan dengan mengikuti kegiatan keseharian
masyarakat, aktivitas dalam pekerjaan masyarakat yaitu menokok sagu dan
datang langsung ke Tanjung Bakoi, tempat warga Wamargege mencari
udang dan ikan. Peneliti juga ikut dalam kegiatan keagamaan seperti ibadat
di gereja setiap Hari Minggu dan terlibat dalam dapur umum warga pada
saat kegiatan retret gereja.
11
12
13
BAB II
KAMPUNG KONDA DAN WAMARGEGE : JENDELA
UNTUK MELIHAT SUKU TEHIT DAN YABEN
DI WILAYAH SORONG SELATAN
Dalam bab ini akan dideskripsikan tentang unsur-unsur budaya yang
menaungi Suku Tehit dan Suku Yaben yang tinggal di wilayah Kampung
Konda dan Wamargege. Unsur-unsur budaya ini sebenarnya bukan sesuatu
yang terpisah namun saling terkait menyerupai sistem organ dalam tubuh
manusia.
14
Hal itulah yang membuat cerita sejarah di Kampung bisa simpang siur
atau bahkan tidak ada yang mau menjawab, bukan berarti mereka tidak tahu
tapi karena ada orang lain yang lebih berhak menceritakan atau karena takut
melanggar sumpah. Kadang diam adalah pilihan terbaik bagi mereka jika
mereka tidak ingin terkena dampak dari cerita yang mereka utarakan. Bagi
peneliti hal ini menjadi kesulitan, meskipun akhirnya ada tokoh-tokoh
masyarakat atau tetua kampung yang mau bercerita meskipun ada
percaturan politik eksistensi di balik cerita mereka. Seperti misal masingmasing suku atau marga akan menganggap merekalah yang paling berhak
mendiami kampung ini karena merekalah yang pertama kali menduduki
kampung ini atau merekalah yang paling banyak berjasa dibandingkan marga
atau suku yang lain. Itu sudah. Jawaban yang sering didengar oleh peneliti
ketika bertanya tentang hal-hal yang belum diketahui semisal, Mengapa
kampung ini bisa diberi nama Konda?. Bagi mereka yang tidak tahu atau
hanya tahu sedikit mereka akan menjawab Itu sudah.
Budaya membaca juga masih sangat kurang sehingga mendengarkan
adalah cara mereka menyerap cerita sejarah baik dari orang tua mereka atau
generasi terdahulu yang mereka sebut sebagai moyang moyang mereka.
Menurut cerita Bapak Kepala Kampung Konda, suku yang mendiami
Kampung Konda ini aslinya adalah Suku Tehit. Cerita Kampung Konda ini
sangat panjang dari mulai kedatangan marga pertama sampai menjadi
kampung seperti sekarang ini.
Marga dari Suku Tehit yang menempati pertama kali kampung ini
adalah Marga Kofarit. Marga ini datang dari Klamono (Sebuah Kampung
yang berada di perbatasan Sorong dan Teminabuan) dan menetap di
kampung ini. Setelah Kofarit kemudian Marga Meres datang untuk
gelombang selanjutnya. Kedua Marga ini kemudian punya hak atas
kepemilikan tanah di kampung ini sehingga di jalan utama masuk Kampung
Konda ditandai dengan semua orang yang ingin menetap dan membangun
rumah di kanan jalan dari arah masuk harus minta ijin Marga Meres
sedangkan mereka yang akan menetap dan membangun rumah di kiri jalan
harus minta ijin Marga Kofarit. Hal ini diceritakan oleh Bapak Sekretaris
Kampung Konda yang punya Marga Kofarit:
15
16
17
18
J. Miedema, 1997: 212. Text s from the oral Tradition In The Eastern Birds Head
Peninsula of Irian Jaya. Inventory,Transcripts and Reproductions of (origin) Stories
in Dutch and Indonesian c.1955-1995
19
20
21
22
Sejak pemerintah Indonesia berkuasa penuh di daerah itu mulai 1962, di daerah
tersebut mulai diadakan berbagai perubahan dalam rangka penyeragaman sistem
administrasi pemerintahan nasional sesuai dengan sistem yang berlaku pada
daerah-daerah lain di Indonesia (Mansoben, 1995:79).
23
dengan wilayah dan orang-orangnya yang sulit. Karena pulau terpencil, jika
harus ke Kokoda menggunakan kapal dan harus ditempuh selama kurang
lebih 12 jam menggunakan perahu. Jika ombak tinggi karena ada di dekat
laut lepas tidak ada yang berani berlayar mereka harus menepi ke hutan
bakau terdekat baru nanti jika tidak pasang mereka baru berani
melanjutkan perjalanan.
Menurut cerit perawat tadi, Orang Kokoda ini masih satu rumpun
dekatnya dengan Orang Yaben atau mereka menyebutnya dengan rumpun
Imeko (Inanwatan, Metemani, Kais dan Kokoda). Mereka adalah suku pelaut
dan rata-rata memiliki anak yang banyak. Di Kokoda punya anak 10 adalah
hal biasa. Perbedaan Kokoda dengan Yaben adalah di Kokoda banyak yang
beragama Islam dan mereka ada yang punya istri 2 dan 3 orang sedangkan di
Yaben yang di Wamargege karena mayoritas Kristen mereka hanya punya
satu istri.
Orang Kokoda terkenal sulit, khususnya ajakan untuk Imunisasi.
Menurut cerita Paman, istilah Paman di sini berbeda dengan konteks paman
dalam Bahasa Indonesia. Karena Warga Konda dan Wamargege punya
bahasa yang sering mereka singkat beberapa istilah juga disingkat seperti
Pak Mantri mereka singkat dengan sebutan Paman. Sehingga jika seseorang
dipanggil paman di kampung ini ada kemungkinan mereka itu seorang
mantri atau perawat di Puskesmas. Paman bercerita bahwa di Kokoda
pernah ada kejadian seorang dokter yang dikejar-kejar penduduk dengan
parang, pasalnya dokter tersebut memberikan imunisasi pada seorang bayi,
bayi itu malamnya panas dan menangis terus kemudian ayah bayi
bertanya,Kenapa anak ini menangis terus? Istrinya kemudian bercerita
bahwa tadi siang ada dokter yang menyuntik Si Anak. Spontan ayah tersebut
mengambil parang dan mendatangi puskesmas dan hendak membacok
dokter yang tadi siang menyuntik anaknya, kalau tidak dicegah Paman dan
rekan-rekan di situ mungkin dokter tersebut bisa terluka.
Dari pengalaman tersebut untuk mendekati Orang-Orang Kokoda
tidak bisa disamakan dengan daerah lain jika hendak Imunisasi harus seijin
ibu dan ayah dari Si Anak agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain hal tersebut di atas masih banyak hal-hal yang membuat susah
petugas kesehatan di sana seperti jika kapal hendak ke Ibukota Kabupaten
seperti Teminabuan pasti banyak orang yang sudah ada di kapal untuk
24
menumpang dan sering over kapasitas hal ini bisa membuat kapal tenggelam
di tengah laut. Meskipun belum pernah terjadi bagi Paman Meres hal itu
sangat mengkhawatirkan. Sering juga ada dokter atau petugas kesehatan
yang tidak disukai warga dan jika kapal petugas mendekati kapal pernah
kapal tersebut dihujani anak panah oleh beberapa warga sehingga kapal
tidak jadi berlabuh dan akhirnya kembali ke Teminabuan.
Selain itu sulitnya air membuat warga mau tak mau memanfaatkan air
danau atau rawa untuk keperluan harian mereka dan itu menjadi permasalahan
kesehatan tersendiri seperti air yang untuk mandi karena tidak ada sumber air
hujan di musim kering sering dimanfaatkan untuk minum juga, akhirnya setelah
4 tahun berkarya di sana merasa tidak sanggup dan minta pindah akhirnya oleh
Dinas Kesehatan ditempatkan di Puskesmas Konda dan bertugas di Puskesmas
Pembantu Konda untuk pertama kalinya.
Pada saat pertama kali menempati Pustu di Kampung Konda ini lantai
masih belum dikeramik dan bangunan masih seadanya. Dulu di sekitar Pustu
itu masih hutan dan dia yang membersihkan sehingga di samping kanan dan
kiri sudah tidak ada tanaman berkayu dan tinggal rumput pendek-pendek
yang sebulan sekali dibersihkan. Karena masih dekat dengan dusun (hutan
sagu) masih banyak binatang yang sering masuk dalam Pustu seperti lipan,
ular, dan binatang-binatang kecil yang bisa terbang seperti nyamuk, agas,
lalat babi, kumbang, dll.
Selain Paman ada satu lagi perawat dari Raja Ampat yang dulu pernah
ditempatkan di Kokoda juga selama 3 tahun dan akhirnya pindah ke Pustu
Konda ini. Hampir sama yang diceritakan Paman , Suster Raja Ampat juga
sering mengalami hal yang sama di Kokoda. Apalagi menghadapi orang yang
mabuk dan mengejarnya pakai parang sering dialami, sebab mereka kalau
mabuk kontrol dirinya sangat tidak baik dan perangai pemarah dan ingin
saling bunuh menjadi tinggi sehingga Suster Raja Ampat sudah bisa memastikan
jika ada orang mabuk pasti sebentar lagi ada orang dibawa ke Pustu karena luka
sobek karena pukulan, benturan, maupun luka goresan parang.
Ketika Suster Raja Ampat pindah ke Pustu Konda tahun 2009, Karena
sudah ada Suster Raja Ampat kemudian Paman kemudian ditempatkan ke
Puskesmas Induk di Distrik Bariat. Pada saat peneliti berada di Puskesmas
Pembantu Kampung Konda pada bulan Mei sampai awal Juni ada 2 perawat
dan 2 bidan yang ditugaskan di Pustu Kampung Konda.
25
Gambar 10. Ibu dan Anaknya Mau Periksa di Emperan Pustu Wamargege
Sumber: Dokumen Peneliti
26
Petugas yang di Pustu Wamargege ada 2 orang yang satu laki-laki dan
satu lagi perempuan. Suster Michibaru dan Paman Mabruaru adalah petugas
yang ditugaskan di Pustu Wamargege ini. Namun selama peneliti berada di
Kampung Wamargege, Pustu ini jarang sekali di buka oleh petugas dan
melakukan pelayanan. Baik pagi maupun sore ketika peneliti lewat depan
Pustu selalu dalam keadaan tertutup.
Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Suster Michibaru hal demikian
memang benar adanya seringkali Pustu hanya dibuka ketika stok obat masih
banyak. Banyaknya warga yang minta dilayani di Kampung ini membuat obat
cepat habis, jika dibuka terus setiap hari dalam 3 hari saja obat di Puskesmas
sudah habis sehingga Pustu jarang dibuka, mereka yang butuh pelayanan
akan mendatangi rumah Suster Linda atau Paman Cris dan baru mereka
mengambilkan obat di Pustu. Jika obat di Pustu Wamargege habis mereka
akan mengambil di Pustu Konda jika kedua Pustu stoknya habis mereka akan
mengajukan permintaan ke Puskesmas di Bariat yang jaraknya kurang lebih
25 Km jalan darat yang tidak bagus seperti jalan tanah yang bergelombang.
Namun sering sekali pengiriman obat ini sangat terlambat karena kondisi
jaraknya yang jauh.
Suster Michibaru juga bercerita bahwa selama Pustu didirikan belum
pernah digunakan warga untuk proses partus (persalinan). Meskipun budaya
hampir sama dengan Kampung Konda namun Suku Yaben memiliki sedikit
perbedaan dalam hal budaya melahirkan. Jika di Konda suami tidak boleh
bertemu istri selama 7 hari kalau di Wamargege tidak seperti itu. Mereka
boleh bertemu setelah istri melahirkan anaknya. Namun hal yang membuat
warga tidak mau melhirkan di Pustu karena ruangan di Pustu tidak memiliki
ruang privasi seperti di rumah. Menurut Suster Linda jika desain Pustu ada
ruangan privat yang khusus digunakan untuk melahirkan seperti ibu-ibu di
rumah mereka sendiri ada kemungkinan warga Kampung Wamargege mau
untuk melahirkan di Pustu.
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1 Suku Tehit di Kampung Konda
Kampung Konda memiliki wilayah yang luas, untuk wilayah pemukiman,
perkebunan sagu, kuburan, dan prasarana umum lainnya memiliki luas 966
Ha.Tanah yang dimanfaatkan untuk menanam tanaman persawahan ada 25
27
Ha yang terdiri dari sawah tadah hujan 10 Ha dan sawah pasang surut 15
Ha. Tanah kering yang dimanfaatkan untuk tegalan ada 10 Ha,
pemukiman sekitar 2 Ha dan yang dimanfaatkan untuk pekarangan
sekitar 2,5 Ha sehingga total luas tanah kering ada sekitar 14,5 Ha. Selain
tanah kering masih banyak tanah yang berupa rawa-rawa yang luasnya
mencakup 10 Ha. Di tepi pantai masih sering terjadi pasang surut yang
mencakup luas areal seluas 5 Ha dan lahan gambut 500 m2. Tanah
perkebunan rakyat ada 10 Ha dan perkebunan perorangan 5 Ha. Selain
itu disekitar pemukiman dan perkebunan sagu masih terdapat hutan,
hutan ini luasnya terbagi dalam hutan lindung seluas 10 Ha, hutan
produksi 15 ha, hutan adat 15 ha, hutan asli 30 ha, hutan sekunder 30 ha,
hutan magrove 10 ha, hutan suaka 10 ha, dan hutan rakyat seluas 1000
ha. (Data Profil Desa dan Kelurahan Kampung Konda 2011)
Dari data profil desa tersebut, tampak bahwa areal hutan baik
hutan rakyat, hutan magrove (bakau), hutan sekunder, hutan produksi,
dan hutan adat lebih luas dari areal pemukiman yang disebut kampung
oleh penduduk dan hutan-hutan di sekitar mereka disebut dusun dan
hutan. Meskipun istilah dusun lebih mengarah ke areal hutan sagu
namun untuk hutan kayu beberapa penduduk kadang juga menyebut
sebagai dusun. Hal ini menunjukkan meskipun di kampung rumah mereka
tampak berhimpitan namun sebenarnya masing-masing KK punya kapling
areal hutan sagu yang luas. Karena luasnya mereka sering berujar, sagu
itu tak akan habis dimakan anak cucu,
28
29
Suster Meres bercerita bahwa dulu kenal dengan suami ketika masih
sekolah SMA di Kokoda. Kakaknya ada yang menjadi guru di Kokoda
sehingga dia bisa bersekolah di Kokoda karena ada tempat yang bisa
ditempati yaitu rumah kakaknya. Selama sekolah SMA di Kokoda inilah dia
mengenal suaminya itu yang dulu adalah teman sekolah.
Selesai lulus SMA Suster meneruskan sekolah di Sorong untuk mengambil
D3 keperawatan. Setelah selesai sekolah suster melamar pekerjaan di Dinas
Kesehatan dan diterima sebagai tenaga honorer di Puskesmas Konda.
Ketika pacar datang untuk meminang, maka sekalian ditentukan besar
Mas Kawin yang harus dibayar. Keluarga besar Marga Meres menentukan
harga Mas Kawin yang harus dibayar pihak laki-laki. Harga ini dihitung mulai
air susu ibu yang sudah dikeluarkan sampai biaya sekolah yang dikeluarkan oleh
Si Ibu juga kakaknya yang menampung dia selama sekolah SMA di Kokoda juga
pamannya yang menanggung dia waktu kuliah di Sorong ditentukan harganya
dan jatuhlah nominal yang ditetapkan oleh Marga Meres.
Nominal yang ditetapkan ini jika anak perempuan sudah lulus sekolah
sampai D3, maka Mas kawinnya tentunya ratusan juta antara 100-150 juta
jika dinominalkan, namun jumlah ini akan diwujudkan dalam beberapa
30
bentuk antara lain yang biasanya dibawa saat pembayaran Mas Kawin adalah
kain timur yang jumlahnya ratusan helai, piring keramik, dan sejumlah uang.
Pembayaran Mas Kawin ini biasanya dilaksanakan di Kantor Kampung atau
Kantor Distrik.
Pada pinangan Suster Meres ini, keluarga calon mempelai laki-laki
menyanggupi nilai nominal yang dikehendaki pihak Marga Meres, calon
suami Suster Meres ini dari Inanwatan sehingga marganya jauh dan bukan
Marga Suku Tehit, calon suaminya dari Suku Imeko. Hal ini dianggap ideal
karena ada pantangan pada Suku Tehit yaitu dilarang menikahi mereka yang
masih satu Marga, sehingga jika bukan dari Marga Meres pernikahan itu
dianggap ideal oleh Suku. Namun harga yang ditetapkan Marga Meres oleh
calon suami tidak dibayar saat itu mereka akan membayar jika nanti Suster
sudah punya anak dari calon suaminya tersebut. Sehingga calon suami ini
baru memberikan uang muka untuk pernikahan tersebut dan pihak keluarga
Meres juga menyepakati apa yang diinginkan pihak laki-laki. Sehingga calon
suami ini sudah boleh tinggal di rumah Suster Meres dan mereka bisa
melakukan hubungan suami istri tapi belum dinikahkan secara sah oleh gereja
karena secara adat mereka, suami belum lunas membayar Mas Kawin.
Jika nanti Suster Meres sudah punya anak, maka suaminya akan
membayar Mas Kawin penuh dan mereka akan dinikahkan secara sah di
gereja. Rencana mereka atau permintaan Mama Mantu (Mertua), jika
sudah lunas dibayar Mas Kawinnya Suster Meres akan diminta tinggal di
Inanwatan, secara adat Suster Meres tidak bisa menolak keinginan itu karena
begitulah adatnya, setelah Mas Kawin dibayar penuh, istri sepenuhnya menjadi
milik suami.
Pekerjaan sebagai suster di Pustu juga menjadi pertimbangan apakah
dari pihak Dinas mengijinkan? Ini juga menjadi pertanyaan. Sebab nantinya
suaminya juga harus menguruskan kepindahan tempat bekerja andaikan
Suster Meres harus tinggal di Inanwatan.
Hal hal seperti itulah yang kadang membuat kesulitan pada pencatatan
jumlah penduduk di Kampung sebab permasalahan administrasi negara dan
adat berbeda tata caranya. Kadang bayi yang lahir seharusnya punya nama
Marga Suami namun karena suami belum lunas membayar Mas Kawin maka
anak belum boleh diberi nama marga. Itulah kebanyakan yang terjadi pada
pernikahan muda di Kampung Konda.
31
32
Gambar 12. Rumah Warga Kampung Konda yang beratap daun sagu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
33
Selain rumah yang dibangun dari kayu dan atapnya dari daun sagu,
ada rumah yang atapnya terbuat dari seng. Menurut data Profil Kampung
Konda rumah yang beratap seng ada 70 rumah kemudian yang beratap
daun sagu ada sekitar 78 rumah. Untuk bangunan fasilitas pemerintahan
seperti gedung SD, SMP dan Pustu atapnya menggunakan genteng.
34
Karena air sulit hanya mengandalkan air hujan, kamar mandi ini hanya
dipakai sore hari. Kecuali anak-anak yang mau sekolah mereka mandi pagi
hari atau minggu pagi ketika keluarga akan pergi ke gereja.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa bagi Suku Tehit waktu
untuk membangun rumah adalah ketika anak laki-laki sudah punya istri dan
istri tersebut sudah hamil maka sudah waktunya bagi ayah untuk membautkan
sebuah rumah kecil tempat bersalin bagi calon keluarga baru tersebut.
2.2.3 Listrik dan Penerangan
Listrik belum lama masuk di Kampung Konda dan Wamargege ini, baru
sekitar bulan Februari 2015. Dahulu sebelum listrik PLN belum masuk warga
masih menggunakan genset yang berbahan baku solar dan bensin. Ketika
PLN sudah masuk, genset ini ditinggalkan, Untuk meterannya mereka
menggunakan pulsa. Menurut pengakuan warga, dulu ketika masih
menggunakan genset mereka tidur jam 8 malam dan setelah ada listrik PLN
mereka sekarang tidur rata-rata pukul 11 malam.
35
Gambar 16. Bangunan di Ujung Kampung Tempat Genset Besar Program PNPM
Sumber: Dokumentasi Peneliti
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Pada masa lalu hal-hal demikian lebih mengerikan, pada masa warga
masih suka perang suku, orang luar tidak boleh mengetahui hal hal rahasia
apalagi masalah pribadi sehingga biasanya orang luar yang sudah tahu
rahasia suku ditengah jalan akan dihadang dan dibunuh. Namun itu dulu
ketika masih suka perang suku, sekarang di saat sudah mulai terbuka, jarang
ada orang luar yang dibunuh, namun warga masih sulit untuk menceritakan
hal-hal pribadi mereka.
2.2.8 Tanjung Bakoi dan Tanjung Seneboi
Pagi hari beberapa petugas Pustu dan Puskesmas bagian
Kesling dan Gizi sudah sibuk mempersiapkan Posyandu di
Sebuah4 Konda. Hari ini memang jatahnya penimbangan,
namun hari ini juga Paman Esau memberi tahu bahwa
kegiatan kunjungan ke Bakoi jadi sehingga kami yang ada di
Konda akan disusul rombongan dari Dinas Kesehatan dan
Puskesmas untuk sama-sama menuju Bakoi. Menurut Paman
Esau rombongan kepala Puskesmas berangkat dari pelabuhan
Teminabuan pukul 8.00 WIT.
Kutipan di atas adalah catatan harian peneliti ketika merencanakan
akan mengunjungi Tanjung Bakoi yang masih menjadi bagian dari wilayah
Kampung Wamargege. Kunjungan ini penting karena banyak warga
Kampung Wamargege khususnya yang memiliki balita tidak ikut serta dalam
kegiatan Posyandu sebab mereka tinggal lama di Kamp-Kamp nelayan di
Tanjung Bakoi dan Tanjung Seneboi. Tanjung Bakoi dan Seneboi ini
berdekatan dan hampir sama bentuk kamp-kamp yang ditempati para
nelayan.
Sebuah tempat berbentuk rumah yang biasanya digunakan untuk kegiatan gereja,
ibadah unsur (keluarga) tiap Minggu sore. Penggunaan sebuah milik gereja ini
karena di Poskesdes yang seharusnya digunakan untuk Posyandu belum lengkap
fasilitas meja dan kursinya atau bisa dibilang tidak perlengkapan meja dan kursinya.
45
Namun kami masih ragu sebab jam 8.00 WIT baru dimulai
penimbangan di Posyandu Konda dan pada saat itu cuaca masih hujan
gerimis sehingga kami memperkirakan rombongan Kepala Puskesmas akan
menunggu hujan reda dahulu. Namun entah percaya atau tidak jika ada
kegiatan besar di Kampung Konda sepertinya ada pawang hujannya di
kampung ini sebab ketika kami selesai Posyandu dan hendak berangkat ke
Bakoi cuaca menjadi cerah. Peserta penimbangan di Posyandu Konda
pesertanya lebih sedikit dibanding dengan Wamargege. Kami berangkat ke
Bakoi kira-kira pukul 10.30 dan sampai di Bakoi kira-kira pukul 11.15 WIT.
Perjalanan kurang lebih selama 45 menit. Bakoi ini ternyata merupakan
kamp-kamp nelayan yang terdapat di tepi Sungai Bakoi sebagian besar
memang merupakan warga Kampung Wamargege. Kami disambut Tetua
Kamp di tepi Sungai Bakoi . Kepala Puskesmas Konda menjelaskan maksud
kedatangan kami kemudian dilanjutkan Ibu Marthina Atanay memberikan
penjelasan. Ibu-ibu yang hendak melakukan penimbangan dan pemeriksaan
dipersilahkan menghubungi petugas.
46
Menurut cerita Tetua Kamp Nelayan Bakoi yang sudah lama menetap di
sini, para nelayan di Bakoi sejak tahun 1976 sudah membuat kamp di sini, di
kamp ini ada seorang penampung udang. Hanya udang yang ada
penampungnya di Bakoi sedangkan ikan, kepiting, kerang (bia) mereka
konsumsi atau dijual ke Teminabuan. Udang dari Bakoi ini dikirim ke Sorong
dan dipasarkan di Surabaya. Selain ada penampungan udang juga terdapat
warung yang menjual berbagai kebutuhan nelayan termasuk obat-obatan
dan kebutuhan rumah tangga seperti beras. Menurut pemilik warung, obat
yang banyak dikonsumsi warga kamp Bakoi adalah obat cacing dan obat
sakit kepala.
Warga di Kamp Bakoi ini tidak punya pembuangan khusus untuk
buang air besar. Kalau buang air besar mereka tinggal saja di dalam hutan
atau kalau hari sudah malam mereka buang air besar di bawah kolongkolong rumah. Sampah rumah tangga juga begitu mereka buang saja di
bawah kolong rumah, tidak ada tempat sampah atau pelokalisiran tempat
sampah. Udang-udang yang disetor ke penampung tanpa kepala, penampung
tinggal terima bersih tanpa kepala sedang sisa-sisa potongan kepala udang
mereka buang saja di bawah kolong rumah sehingga jika air surut maka akan
terlihat di bawah kolong rumah mereka becek dan bau sangat amis.
47
48
warga Wamargege, Minggu adalah hari Tuhan dan mereka akan pulang dari
Kamp Nelayan di Bakoi maupun Sineboi untuk mengikuti ibadah di Hari
Minggu. Gereja menjadi pengingat warga Wamargege untuk kembali ke
daratan setelah seminggu di lautan, begitu pula bagi warga Konda yang
berprofesi sebagai nelayan. Hanya sebagian kecil saja yang berprofesi
sebagai petani ataupun penokok sagu.
Di Kampung Konda dan Wamargege dibagi menjadi 7 Wijk yaitu Wijk
1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4. Masing-masing Wijk punya majelis 2 orang: 1 lakilaki dan 1 perempuan, kemudian ada ibadah unsur yaitu PW: Persekutuan
Wanita, PKB, Persekutuan Kelompok Bapak, PKM: Persekutuan Kelompok
Muda. Setiap Minggu pagi jam 9.00 WIT ada ibadah bersama, sore jam 16.00
ada Ibadah Unsur, kemudian Rabu sore ada Rabu Gembira untuk anak-anak
dan remaja. Selain materi agama juga materi pendidikan juga disematkan di
antaranya.
Kegiatan gereja adalah kegiatan utama dan rutin bagi Warga Konda
dan Wamargege, mereka mempunyai program-program kegiatan yang
sudah disusun dan terjadwal. Sebagai contoh Hari Kamis, Jumat, Sabtu akan
ada kegiatan GKI satu distrik yang terdiri dari 5 kampung: Manelek, Bariat,
Nakna, Konda, dan Wamargege. Yang menjadi tuan rumah adalah Kampung
Konda dan Wamargege. Untuk kegiatan ini warga kampung yang hampir
semuanya atau 99 % beragama Kristen sudah mempersiapkan kegiatan ini
jauh-jauh hari sebelumnya dengan bekerja bakti membersihkan rumput-
49
rumput si sekitar gereja dan halaman rumah mereka. Sebab jika rumputrumput ini tidak ditebangi atau dibersihkan banyak bersarang Agas
(binatang kecil berwarna hitam yang terbang dan menggigit kulit manusia
sehingga menimbulkan gatal yang sangat) hal ini bisa mengganggu tamu
yang hadir kalau banyak Agas.
Ibu-ibu yang seharusnya memangkur sagu di hutan sejak Hari Selasa
juga tidak pergi ke hutan untuk mempersiapkan kegiatan ini. Mereka
membuat semacam dapur sementara di belakang gereja untuk memasak dan
Hari Rabu ini ada jadwal mereka yang laki-laki akan berburu di hutan dan
mencari ikan di laut untuk keperluan makan tamu nantinya. Selasa kemarin
tampak beberapa bapak-bapak menyiapkan perapian di dapur sementara
dan ibu-ibu banyak yang masih membersihkan dan membakar rumput di
halaman gereja dan di halaman rumah serta tepi jalan utama. Sabtu nanti
penutupan acara gereja. Baru pada Hari Senin masyarakat sudah beraktivitas
seperti biasa untuk ke hutan atau melaut. Untuk penjadwalan tugas di
masing-masing bidang dan seksi diatur per wijk.
Bagi warga Konda dan Wamargege kegiatan gereja adalah kegiatan
pemersatu bagi mereka. Dalam kegiatan gereja mereka bisa bekerja
bersama dan tidak tersekat oleh perbedaan bahasa dan kebiasaan yang
mereka miliki. Ada pembagian tugas sesuai kemampuan mereka dalam
mengorganisir sebuah kegiatan besar yang melibatkan satu distrikdan
karena mereka sudah terbiasa bekerjasama maka kegiatan tersebut dapat
berjalan dengan lancar.
Pendidikan Anak
Pendeta Ester sangat peduli akan pendidikan keluarga. Anak itu yang
mendidik paling besar waktunya adalah Orang Tua, guru di sekolah hanya
pagi sampai siang tapi setelahnya adalah orang tua. Kebanyakan anak di sini
diajari mencari uang sejak dini, SD sampai SMP sekolah tapi setelah kembali
ke rumah diajak mencari uang dengan menjaring maka mereka akan
menganggap menjaring lebih menghasilkan daripada meneruskan sekolah
sehingga ilmu dari guru SD dan SMP hilang dan tergantikan oleh ilmu
menjaring udang untuk mendapat uang. Hal ini membuat anak malas
sekolah lagi. Gereja dan sekolah hanya membantu tapi waktu dan keputusan
ada di tangan orang tua
50
Gambar 26. Siswi SMP Satu Atap Konda mengenakan pakaian adat mereka
Sumber: Dokumentasi Peneliti
51
Ibu Guru tidak bisa menyalahkan anak ataupun orang tua, sebab anakanak SMP ini oleh orang tua mereka sudah dianggap dewasa dan tidak
diawasi oleh orang tuanya. Orang tuanya yang nelayan anaknya ditinggal di
rumah dan begitu pula orang tuanya yang menokok sagu anaknya juga
ditinggal di rumah tanpa pengawasan. Sehingga mereka tanpa kontrol jika
sudah pulang sekolah. Namun jika mereka diajak ke laut atau ke hutan
mereka tidak bisa sekolah. Sulit menghadapi kondisi seperti ini karena
ladang mencari penghasilan yang jauh dari kampung.
52
53
dengan pakaian rapi dan mengenakan sepatu namun tidak sedikit pula yang
mengenakan sandal dan beberapa tanpa alas kaki. Mereka lebih senang
duduk di deretan bangku belakang dan baru mendekati pukul 9.00 WIT kursi
depan mulai terisi penuh. Banyak diantara mereka yang membawa Alkitab
dan Buku Lagu Pujian. Selama Ibadah banyak diisi dengan lagu-lagu pujian.
Lagu pembukaan jemaat berdiri menyambut kedatangan Ibu Pendeta
yang diiringi beberapa majelis yang memakai pakaian hitam putih untuk
menaiki mimbar. Setelah Injil dibacakan pendeta berkhotbah tentang bacaan
yang berhubungan dengan Injil. Tema Injil hari ini adalah bagaimana ajaran
Santo Paulus untuk jemaat di Roma diterapkan dalam hidup sehari-hari.
Manusia pada dasarnya lemah di hadapan Allah jika tanpa Allah mereka
tidak kuat, hal ini bukan berarti mereka yang badannya kekar lebih kuat
daripada yang badannya kurus. Untuk iman mereka yang kuat adalah yang
imannya bergantung penuh pada Yesus bagaimana hubungan kedekatan
dengan Yesus itulah yang kuat bisa jadi yang badannya kurus imannya lebih
kuat daripada mereka yang berbadan kekar. Hendaknya mereka yang kuat
membantu mereka yang lemah.
Pada penerapan kehidupan sehari-hari hubungan saling membantu ini
juga harus dilaksanakan, semisal ada bapak-bapak dapat ikan banyak
sepulang melaut tetapi melihat tetangganya belum bisa melaut dan tidak
punya ikan sebaiknya diberi dan jika tetangga itu menanyakan ikan tetapi
yang punya ikan berdiam saja seolah tidak peduli dengan mereka yang
sedang kesusahan itu berarti mereka tidak menerapkan Firman Tuhan.
Mereka yang kuat harus membantu yang lemah dan mereka yang kecukupan
harus membantu yang berkekurangan.
Tugas pendeta dan majelis tidak hanya di gereja namun jika ada
pemberkatan orang meninggal, peletakan batu pertama rumah, dan
pendampingan jemaat mereka harus siap sewaktu-waktu. Contonya pada
tanggal 24 Mei 2015 saat itu Hari Minggu dan semua kegiatan gereja berjalan
namun hari itu juga ada ibadah untuk orang meninggal, yang meninggal adalah
anak warga Kampung Wamargege yang meninggal di Kamp Nelayan Bakoi
namun siang itu pula ada peletakan batu pertama pembangunan rumah
sehingga pendeta dan majelis harus turun tangan dan sangat sibuk untuk
kegiatan hari itu, sehingga hari itu kegiatan ibadah pagi tetap berjalan pagi
jam 9.00 WIT setelah itu jam 12.30 dilanjutkan ibadah pemberkatan orang
54
55
dan istri menjadi tenaga produksi untuk membantu. Kampung Konda sudah
lama berdiri sejak jaman Belanda namun untuk Wamargege baru berdiri
sejak tahun 1999 hasil Program Pemekaran Kecamatan dan Desa.
Norma Yang Berlaku
Ketika sudah akrab dan mengenal warga Konda dan Wamargege,
beberapa pendatang mengakui bahwa Warga Konda dan Wamargege adalah
orang-orang yang baik. Seperti yang diceritakan 2 orang guru SM3T yang
sudah membantu mengajar di SMP N Satu Atap Konda selama satu tahun
terakhir ini. Ketika mereka ingin berpamitan di gereja kepada masyarakat
karena masa mereka bertugas selama 1 tahun sudah selesai maka mereka
memberikan testimoni dengan menangis dan berlinang air mata. Mereka
sudah merasa menjadi bagian dari warga Kampung Konda dan berat hati
untuk meninggalkan kampung, jika mereka ditugaskan lagi di kampung ini
mereka siap. Orang tua mereka di Makasar dan Malang selalu khawatir
tentang keselamatan dua orang gadis yang ada di perantauan ini, namun
melalui telepon mereka selalu menenangkan keluarga mereka bahwa di
Kampung Konda ini aman, para papa dan mama selalu menjaga mereka dan
memperhatikan mereka.
Dari testimoni 2 guru SM3T itu membuktikan bahwa warga Kampung
Konda dan Wamargege adalah warga yang baik. Suka memberi apa yang
mereka miliki jika ada kelebihan seperti ikan, sagu, buah-buahan, ataupun
makanan lainnya. Ada hubungan saling membantu diantara mereka terhadap
yang kesusahan.
Walaupun mereka baik namun tetap ada norma yang disepakati diantara
mereka, dilarang mencuri yang bukan miliknya. Hal ini khususnya berlaku untuk
tanaman, barangsiapa tidak menanam dilarang menebang atau memetik buah
yang ada di pohon itu sebab hal itu sama dengan mencuri.
Jika ada pohon ketela misalnya di belakang Pustu dan ada warga yang
ingin memetik daun ketela untuk dibuat sayur maka mereka yang ingin
memetik harus minta ijin kepada yang menanam, jika diijinkan mereka boleh
memetik namun jika tidak diijinkan mereka juga tidak berani memetik.
56
Gambar 29. Air dalam botol yang sudah didoakan yang digantung dibawah pohon.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Salah satu contoh adalah biasanya karena sering ada yang mencuri
jambu air di pekarangan salah seorang warga maka Si Pemilik pohon minta
tolong ke seorang pembaca mantra agar air dalam botol ini mempunyai
khasiat, ketika ada pohon jambu air yang digantungi botol air mineral
biasanya air itu sudah diisi mantra dan barang siapa berani mencuri dan
memakan jambu air tersebut dia akan mengalami sakit perut. Namun jika
ingin memetik jambu tapi sudah minta ijin ke pemiliknya, mereka tidak akan
mengalami sakit perut.
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Keluarga Inti
Di Kampung Konda dan Wamargege terdapat beberapa Marga.
Meskipun banyak marga namun keluarga inti tetap terdiri dari ayah, ibu, dan
anak. Seorang suami menyebut istrinya dengan istilah maitua atau nama lain
istri sedangkan istri menyebut suaminya dengan sebutan paitua. Ibu Mertua
mereka sebut dengan istilah Mama Mantu dan Bapak Mertua mereka sebut
Papa Mantu. Menantu biasa mereka sebut dengan Anak Mantu. Seorang
kepala keluarga atau istri sering disebut namanya dengan nama dari anak
pertama mereka, misal Bapak Moses Michibaru punya anak pertama yang
diberi nama Fatur Michibaru maka Bapak Moses ini akan dipanggil di
masyarakat dengan nama Papa Fatur dan istrinya akan dipanggil Mama Fatur.
57
Masing-masing rumah belum tentu terdiri dari satu KK, satu bangunan
rumah di kampung bisa ditinggali antara 3-4 KK karena tidak semua KK
mampu membangun rumah. Harga bahan bangunan sangat mahal di
kampung ini karena sulitnya akses jalan masuk baik darat maupun laut. Bagi
keluarga yang mampu sebenarnya ada aturan khususnya bagi Suku Tehit jika
ada anaknya yang hamil maka orang tua wajib membuatkan rumah kecil di
bagian belakang rumah sebagai tempat melahirkan. Ketika partus, hanya
keluarga yang berjenis kelamin wanita saja yang boleh memasuki rumah
kecil ini sedangkan kaum lelaki sama sekali tidak boleh masuk. Baru setelah 7
hari setelah tungku dikeluarkan sang ayah bayi baru boleh masuk dan tinggal
di rumah kecil tersebut. Pola ini pula sebenarnya yang diatur oleh adat
bagaimana mereka mewajibkan bagi anak mereka yang sudah punya anak
untuk berpisah dari rumah induk dan membangun keluarga baru di rumah
kecil tersebut yang pada saatnya jika sudah punya uang yang cukup bisa
mereka kembangkan menjadi rumah yang lebih besar.
Bagi Suku Yaben aturan saat melahirkan agak berbeda, mereka yang
melahirkan oleh kader posyandu akan dipanggilkan Bidan, meskipun saat
melahirkan hanya ditemani kaum perempuan namun setelah anaknya lahir
dan dimandikan air hangat suaminya langsung boleh menengok tanpa
menunggu sampai 7 hari. Sang Ibu juga jika 3 hari sudah bisa bangun dan
duduk-duduk boleh berjalan-jalan di dalam rumah namun belum boleh
keluar rumah sampai kondisinya betul-betul sudah baik.
2.4.2 Kekerabatan
Pernikahan menjadi suatu bentuk awal dari kekerabatan. Di Kampung
Konda dan Wamargege yang mayoritas penduduknya adalah Kristen Protestan,
pernikahan menjadi sesuatu yang sakral karena berdasarkan hukum agama
mereka yang sudah menikah tidak boleh bercerai kecuali satu diantara suami
atau istri meninggal dunia baru bisa menikah lagi. Selain memerlukan biaya
besar pernikahan juga menjadi beban moral dan tanggung jawab yang besar
sebab harus mengundang semua keluarga yang masih satu marga. Semua
anggota marga walaupun ada di luar pulau akan datang jika ada saudaranya
yang melangsungkan pernikahan.
Bagi warga Kampung Konda dan Wamargege, wanita itu seperti harta
jika mereka bilang sebab wanita di sini tidak pernah kena salah dan kaum
58
laki-lakilah yang selalu jatuh salah dan harus membayar denda. Untuk Mas
Kawin saja, biasanya sebelum pernikahan pihak marga kaum perempuan
akan menentukan berapa jumlah biaya Mas Kawin yang harus dibayarkan
pihak laki-laki jika mereka ingin meminang pihak perempuan. Mas Kawin ini
akan diwujudkan dalam bentuk kain timur7 dan barang pecah belah seperti
piring yang masih ada gambar naganya. Semakin tinggi pendidikan kaum
perempuan mereka akan menentukan harga Mas Kawin yang tinggi pula.
Mas kawin ini tidak murni menjadi tanggungan KK laki-laki saja namun juga
menjadi tanggungan marga. Marga keluarga laki-laki yang lain ikut
menyumbang jumlah nilai Mas Kawin yang ditetapkan keluarga perempuan.
Namun tidak saat itu juga Mas Kawin harus lunas terbayar untuk pernikahan
ada kesepakatan kapan nanti akan dibayarkan penuh, jika sudah dibayarkan
penuh mas kawinnya maka Si Istri punya kewajiban untuk mengikuti suaminya.
Perkawinan dalam satu marga dilarang di kampung ini, misal mereka
yang punya Marga Meres dilarang menikah dengan sesama Marga Meres
sebab menurut salah seorang tokoh kampung bagaimanapun mereka yang
masih satu marga adalah keluarga sehingga tidak boleh menikahi keluarga
sendiri. Sehingga pernikahan di kampung ini adalah dari berbeda marga
misalnya Marga Meres dengan Marga Michibaru. Salah satu contoh adalah
Kepala Kampung Konda adalah memiliki Marga Simat dan dia menikahi
istrinya dari Kampung Wamargege yang punya marga lain selain Simat.
Anak-anak mereka mengikuti nama ayah yaitu ikut Marga Simat
2.4.3 Mas Kawin dan Pernikahan Adat
Bagi orang luar Konda dan Wamargege yang belum lama tinggal di
kampung ini pasti akan heran mengapa banyak anak yang tanpa status
pernikahan yang jelas atau mereka sudah punya anak tapi belum menikah
secara sah? Hal ini pula yang menjadi pemikiran awal peneliti yang terbiasa
memahami pola pernikahan di Jawa, sedangkan di sini sangat berbeda
dengan adat di Jawa.
7
Kain timur ini mempunyai peran penting dalam pernikahan bagi orang Sorong
Selatan pada umumnya. Pada waktu lampau kain timur ini berperan sebagai alat
bayar atau tukar, jadi mempunyai fungsi uang. Disamping sebagai fungsi uang, kain
timur mengandung kekuatan sakti. Kekuatan sakti itu dapat berpindah ke dalam diri
pemilik, juga ke dalam diri semua kerabat,ternak, dan ladang-ladang pemilik
(Elmberg, 1955:32).
59
Tentang Mas Kawin, jika anak perempuan hendak menikah akan ada
perundingan antara keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Tahap pertama
akan ditentukan syarat pinangan misal saat meminang keluarga perempuan
akan menentukan berapa harta yang harus dibayarkan keluarga laki-laki saat
meminang misal uang 10 juta dan kain timur 10 lembar nanti untuk harga
Mas Kawin akan ditentukan lagi oleh keluarga perempuan berapa jumlah
yang harus dibayarkan untuk Mas Kawin, hal ini sangat tergantung dengan
status sosial calon mempelai perempuan jika mereka sekolahnya sudah
sampai Sarjana tentu saja pihak perempuan akan memasang harga yang
tinggi misal 200 juta rupiah. Hal ini tentu saja bukan harga yang murah oleh
sebab itu Marga akan menyokong biaya tersebut dan ada juga biaya Mas
Kawin tersebut akan disokong kampung jika yang menikah benar-benar anak
yang baik dan bakti pada kampungnya besar. Namun ada juga pihak laki-laki
yang setelah meminang akan membayar Mas Kawin itu secara bertahap.
Sehingga sebelum lunas pembayaran Mas Kawin walaupun sudah dipinang
Mas Kawin harus dilunasi dulu oleh pihak laki-laki baru jika sudah lunas akan
dinikahkan resmi secara gereja dan dicatat dalam akta perkawinan.
Ada kasus lain keluarga laki-laki menuntut sang perempuan hamil dulu
setelah dipinang baru setelah hamil pihak laki-laki menyanggupi akan melunasi
Mas Kawin yang disyaratkan. Setelah Mas Kawin lunas dibayar, perempuan
sepenuhnya menjadi milik keluarga laki-laki anak-anak yang mereka lahirkan
akan mengikuti marga suami.
Dengan kasus kasus seperti itu banyak anak muda yang hamil duluan
baru membayar denda kemudian dinikahkan sekaligus membayar Mas
Kawin bagi keluarga yang laki-lakinya punya keluarga dan marga yang kaya.
Namun ada juga kasus setelah hamil orang tua gadis tidak suka dengan lakilaki yang menghamili anak gadisnya sehingga mereka tidak menuntut
pernikahan tapi laki-laki yang menghamili itu harus membayar denda.
Banyaknya gadis hamil sebelum nikah dan gadis yang sudah punya
anak tapi belum menikah karena beratnya faktor adat atau mahalnya Mas
Kawin yang harus mereka tanggung sementara mereka belum meliki harta
sebanyak itu. Fungsi Marga menjadi penting untuk menutup mahalnya Mas
Kawin di kampung ini.
Mas Kawin terasa berat lagi sebab keluarga besar perempuan yang
menentukan misal bibinya dulu pernah membiayai anak gadis tersebut
60
sampai lulus SMA maka biaya tersebut akan dimasukkan dalam nominal Mas
Kawin tersebut. Ketika pihak perempuan menerima Mas Kawin maka uang
tersebut akhirnya juga akan didistribusikan kepada pihak-pihak yang pernah
berjasa membantu membesarkan anak gadis tersebut.
2.4.4. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
Pagi-pagi sudah ada orang berteriak-teriak seperti ada orang
berkelahi, begitu saya keluar tanya Mama Naomi ternyata ada orang bawa
parang mengejar kepala kampung hal itu dilakukan karena dia marah sebab
sudah memesan Rasidin dan membayar Rp.100.000,- tetapi beras jatahnya
malah dijual dan dia tidak mendapat bagian. Orang ini kemudian teriakteriak Kalau berani lawan saya! sambil mengacungkan parangnya.
Menurut Mama Naomi hal itu sudah sering terjadi karena kepala kampung
tidak tegas dalam membagi jatah. Mama Naomi juga pernah mengalami hal
itu dulu dia dan suaminya mendatangi kantor kampung sambil membawa
parang dan beras yang ada di meja kantor kampung dia belah jadi dua
menggunakan parang. Hal itu dia lakukan agar kepala kampung tidak
melakukan hal itu lagi.
Menurut warga kampung untuk masalah bantuan sangat sensitif di
kampung ini, jika tidak ingin ada pertengkaran antar warga seharusnya jika
satu dapat semua KK dapat maka hal tersebut tidak akan menimbulkan
konflik. Namun Bapak Sekretaris kampung juga merasakan susahnya warga
untuk diajak memikirkan pembangunan untuk kepentingan bersama,
misalnya saja jika kampung menjadwalkan ada kerja bakti atau gotong
royong banyak warga lari bekerja mencari ikan atau udang, namun jika kerja
itu dibayar semua datang untuk minta bagian.
Marga yang pertama mendiami kampung atau tanah ini adalah
mereka yang punya hak atas tanah. Semua kegiatan yang menyangkut
pembangunan di tanah ini harus seijin Marga yang punya hak atas tanah.
Karena Marga Kofarit yang pertama mendiami tanah di sini, semua
pembangunan rumah, gedung , dan bangunan harus minta ijin Marga Kofarit ini.
Ada 2 kekuatan politis dominan di Kampung ini, yang pertama adalah
kepengurusan Kampung yang sah, untuk pemilihan pengurus kampung
ditentukan pilihan warga secara politis dan hasilnya bagi mereka yang
terpilih warga harus menghormatinya sebagai pimpinan mereka, sehingga
61
pengurus Kampung akan dihormati warga karena mereka sudah sepakat dan
ini punya kekuatan hukum adat. Permasalahan Raskin seperti di atas kemarin
diselesaikan secara musyawarah di tingkat distrik dan itu bisa diselesaikan
dengan damai.
Kedua adalah gereja dan pengurusnya, sejarah panjang gereja
mendamaikan konflik antar suku mempunyai akar yang kuat dalam masyarakat
sehingga kepentingan gereja mampu menjembatani perbedaan kedua suku
yaitu Tehit dan Yaben di Kampung Konda dan Wamargege.
Ada kekuatan lain diantara kedua kekuatan yang tampak dominan itu
adalah kekuatan para patron. Ada hubungan ekonomi para nelayan sebagai
klien dan para juragan sebagai patron, di bidang ekonomi karena para klien
ini punya ketergantungan yang tinggi pada patron maka kadang hubungan
ini menjadi kepatuhan yang sulit dihindari.
2.5. Pengetahuan Tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit
Bagi Suku Tehit mereka mengatakan diri mereka sakit dan perlu berobat
ke Pustu kalau ada bagian tubuhnya yang mengeluarkan darah seperti tangan
tergores parang atau pisau (mereka sering menyebutnya tangan putus), kepala
terbentur dinding sehingga sobek, atau beberapa kejadian yang menyebabkan
kulit terkelupas dan mengeluarkan darah baru mereka menganggap itu sakit
dan perlu dibawa ke Pustu untuk diberi obat luka dan diperban. Namun jika
sakit batuk, pilek, agak demam atau penyakit lain yang tidak mengeluarkan
darah mereka dulu mengobati sendiri penyakit itu dengan minum ramuan
daun jebres. Setelah minum ramuan daun itu badan akan membaik.
Untuk beberapa kasus ibu melahirkan baik Suku Yaben maupun Tehit
mereka tidak mau melahirkan di Puskesmas maupun di Rumah Sakit, ada
aturan tak tertulis bagi Suku Tehit khususnya bagi mereka yang anaknya
sudah hamil wajib membuat rumah kecil di belakang rumah utama sebagai
tempat melahirkan, andaikan pembangunan rumah kecil tidak dimungkinkan
mereka harus menyiapkan ruangan khusus yang diperuntukkan bagi calon
ibu ini untuk melahirkan di kamar itu. Hanya kaum perempuan saja yang
boleh masuk kamar itu. Mereka tidak akan mau melahirkan di Puskesmas
atau Rumah Sakit walau kondisi seperti apapun mereka memilih melahirkan
di belakang rumah induk. Jika dipaksa melahirkan di Pustu atau Puskesmas
62
mereka memilih mati saja itu ungkapan beberapa Kader Posyandu. Sehingga
dalam kasus ibu melahirkan ini Bidan Pustu atau Puskesmaslah yang
mengalah mereka bersama Kader Posyandu akan menolong persalinan di
rumah kecil belakang rumah. Perawatan pasca melahirkan juga dilakukan di
rumah kecil belakang rumah ini selama satu Minggu si Ibu tidak boleh keluar
rumah. Menurut cerita salah seorang Kader Posyandu, dulu sebelum ada
Pustu masuk atau Bidan masuk ke Kampung ini, para Dukun bayilah yang
berperan membantu persalinan di rumah-rumah kecil. Peralatan untuk
memotong tali pusat menggunakan silet baru dan ada daun-daun yang
digunakan untuk membantu meringankan rasa sakitlah. Begitu Bidan masuk
para Dukun bayi ini menjadi kader posyandu yang bermitra dengan bidan
untuk membantu peningkatan kesehatan balita di kampung ini.
Selama tidak merasa menderita warga Kampung Konda dan
Wamargege mengatakan diri mereka baik-baik saja dan tidak sakit. Maksud
menderita di sini adalah jika mereka sudah sakit dan tidak bisa apa-apa dan
tak berdaya baru mereka menyatakan diri sakit. Seperti yang dicontohkan
oleh Bapak Sekretaris Kampung Konda, dia pernah menolong ibu yang mau
melahirkan sudah ditolong dukun bayi tapi tetap tidak bisa dan dia
membawanya pakai perahu dan masa itu belum ada Jonson sehingga dia
mendayung sampai di rumah sakit.
2.5.2. Pengetahuan Tentang Obat Tradisional
Dulunya tanah di Kampung Konda ini adalah rawa-rawa di tepi pantai,
dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal rawa-rawa tersebut
ditimbun dengan pasir agar air tidak menggenang. Untuk ukuran sekarang
harga satu truk pasir di Kampung Konda adalah Rp.600.000,-. Dengan tekstur
tanah yang berpasir tidak semua tanaman bisa tumbuh subur di sini. Selain
tanah berpasir ada tanah liat yang ada di wilayah kampung sehingga bagi
warga yang halamannya bertanah liat bisa menanam sedikit tanaman seperti
pisang, ketela pohon, dan pinang. Tanaman lain yang juga ditanam warga
adalah daun sirih yang bunganya dimanfaatkan warga untuk campuran
memakan sirih, pinang, dan sedikit kapur yang terbuat dari tumbukan kerang.
63
Gambar 30. Pinang segar, pinang kering, bunga sirih, dan kapur
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ada tanaman lain yang ditanam warga yakni: Jambu Air, Jambu Biji,
Kelapa, Jambu Wapobri (Di Jawa namanya Jambu Dersono), Pohon Sirabo
(Nangka), dan Durian. Pohon-pohon ini ditanam orang-orang tua dahulu dan
masih tumbuh baik sampai hari ini. Ada tanaman lain yang jarang ditanam oleh
penduduk lain dan hanya beberapa rumah saja yang menanam pohon ini nama
buahnya adalah Buah Tinta. Buah Tinta ini karena warnanya ungu tentu saja
mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi dan juga sebagai anti oksidan.
64
65
Gambar 32. Daun Rau untuk penghangat bayi dan ibu sehabis melahirkan.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
66
juga tidak mempunyai stok obat suntik rabies sehingga rawan juga jika ada
anjing yang menggigit dan punya penyakit rabies bisa tertular ke manusia.
Babi hutan masih banyak yang berkeliaran di perkebunan sagu
(dusun). Babi hutan menggelisahkan warga karena dia sering makan sagu
yang belum selesai dipangkur (tokok), namun babi hutan juga memiliki
daging yang enak sehingga warga sering memakannya untuk jamuan atau
acara pesta. Babi ini sering diburu kalau muncul, terutama siang hari. Apabila
siang hari babi hutan muncul anjing-anjing peliharaan mereka akan
mengejar babi itu, ada yang mengejar sampai 4 atau 6 anjing yang digunakan
untuk memburu babi hutan tersebut, jika babi itu sudah terdesak dan saling
serang dengan anjing maka tinggal ada 2 pilihan bagi mereka yang memburu
babi tersebut akan membawanya hidup-hidup atau mati. Jika ingin hidup
para pemburu akan memasang tali pada leher babi tersebut dan jika sudah
terjerat, tali akan diikatkan pada sebuah pohon dan ditarik sampai kaki
depan babi terangkat. Baru kemudian kaki depan diikat kanan dan kiri
demikian pula kaki belakang. Sampai rumah jika yang memburu 2 orang babi
hutan itu akan dibelah untuk dibagi dua.
Berburu babi hutan juga bisa menggunakan tombak. Di dalam dusun
jika anjing-anjing yang dibawa pemburu sudah menemukan babi hutan
mereka akan mengejar dan menggiring babi hutan itu untuk didekatkan
kepada pemburu. Jika sudah terdesak dan jarak dekat maka pemburu akan
menombak sampai babi itu mati. Setelah mati jika akan dibawa pulang maka
babi akan diikatkan pada sebuah kayu dan dibawa pulang. Anjing-anjing yang
dibawa pemburu walaupun mereka sangat garang namun sangat patuh pada
pemiliknya. Walaupun mereka sedang menggigit babi hutan namun jika
pemiliknya sudah menghalau mereka akan menurut dan pergi.
Dahulu ketika para Marga Tehit membangun kampung pertama kali
mereka makan sagu dan sayur mayur yang mereka tanam. Selain sagu dan
sayur mayur, untuk lauk mereka dulunya mencari ikan dengan memancing
dan menggunakan perahu untuk mendayung mencari bia (kerang). Selain itu
untuk mencukupi kebutuhan protein mereka juga berburu binatang di hutan
seperti kangguru dan babi hutan. Babi hutan ini selain sebagai sumber
protein dan lemak juga diburu karena sebagai hama tanaman sagu.
Waktu itu pemenuhan kebutuhan makan hanya untuk pemenuhan
kebutuhan makan keluarga besar saja. Untuk Suku Tehit Masyarakat sering
67
makan binatang seperti buaya, anjing, babi hutan, ayam, burung, kangguru.
Namun ada beberapa binatang yang tidak dimakan orang Konda karena
tidak biasa seperti Ular dan Kambing.
Berburu babi hutan ini ada 2 cara, yang pertama jika ingin babi hutan
itu mati dan langsung dikonsumsi dan kedua jika babi hutan itu ingin
ditangkap hidup-hidup dengan tujuan akan dikonsumsi dalam waktu yang
agak lama. Cara yang pertama, jika ingin babi hutan itu mati maka mereka
berburu dengan membawa tombak dan anjing. Anjing ini bertugas
menggiring babi sampai ke sudut dan begitu sudah tersudut maka tugas
penombak untuk membunuh babi tersebut dengan tombaknya. Setelah
ditombak maka babi akan mati. Setelah mati babi tersebut kemudian dibagi
sesuai jumlah pemburu, jika yang berburu adalah 2 orang maka babi
tersebut dibagi menjadi 2 bagian.
Kedua adalah jika babi itu ingin ditangkap hidup-hidup. Maka para
pemburu menggunakan tali laso untuk menangkapnya. Strategi yang
digunakan sama yaitu membawa anjing untuk menggiring babi hutan ini,
anjing ini harus berjumlah lebih dari 3 untuk berburu babi hutan supaya
dapat menyerang dan menggiring babi hutan. Setelah babi tersudut,
pemburu harus lihai dalam melemparkan tali lasonya agar tepat mengenai
leher babi. Setelah leher babi terjerat kemudian tali laso dikaitkan ke batang
68
pohon yang lebih tinggi kemudian ditarik agar badan babi khususnya
lehernya terangkat dari tanah. Setelah terangkat kemudian tali diikat. Kaki
depan babi kemudian diikat dan kaki belakang juga diikat sehingga babi
kakinya dapat diikatkan pada sebuah batang kayu. Kemudian digotong
pulang dengan cara dipikul.
2.6. Bahasa
2.6.1. Bahasa Tehit dan Bahasa Yaben
Bagi penduduk asli atau warga kampung yang sudah lama tinggal di
Kampung Konda dan Wamargege akan sedikit paham bahwa memang ada
perbedaan bahasa antar suku besar. Seperti Suku Yaben dan Suku Tehit di
kampung ini berbeda bahasanya misalnya saja payung papua bagi Suku Tehit
sebutannya koba-koba namun bagi Suku Yaben sebutannya aci. Banyak
perbedaan nama dan sebutan bagi kedua suku besar yang tinggal
berdampingan ini. Dalam keseharian Suku Yaben sedikit memahami dan
mengerti apa yang diucapkan Suku Tehit namun mereka tidak bisa
membalasnya begitu juga sebaliknya.
Untuk generasi muda dan anak-anak di kedua kampung ini sudah agak
sulit menggunakan bahasa asli mereka. Generasi-generasi tua yang usianya
40 tahun ke atas masih lancar menggunakan bahasa asli mereka namun untuk
generasi di bawahnya sudah sulit meskipun bisa memahami hanya sedikitsedikit saja kosakata yang mereka kuasai karena keseharian mereka sudah
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
Untuk Bahasa Tehit di masing-masing daerah suka ada perbedaan
seperti Tehit Afsia, Tehit Gemna, dan Tehit Nakna sudah ada sedikit perbedaan
bahasa meskipun masih mirip apalagi Suku Tehit yang tinggal di wilayah sorong
juga ada sedikit perbedaan bahasa meskipun masih satu suku besar.
Menurut beberapa keterangan warga, Suku Yaben masih lebih dekat
dengan rumpun Suku Imeko (Inanwatan, Metemani, dan Kokoda) bahasa
mereka lebih dekat karena asal nenek moyang Suku Yaben berada dekat
dengan rumpun suku tersebut meskipun bahasa mereka berbeda.
2.6.2. Bahasa Umum
Bahasa sehari-sehari yang digunakan warga adalah Bahasa Indonesia
namun untuk bahasa sehari-hari masyarakat sering menyingkat istilah-istilah
yang sudah seperti kesepakatan bersama seperti misalnya saya disingkat sa,
69
punya disingkat pu dan sudah sering disingkat su. Misalnya mereka akan
berbicara Saya punya ayam hilang belum pulang. Mereka akan bilang Sa
pu ayam hilang belum pulang dengan nada di akhir kalimat meninggi.
Berikut contoh obrolan dengan seorang Kader Posyandu yang
mempunyai Marga Kofarit:
A: Bagaimana jika ada bayi kurang gizi, apa tindakan kader
posyandu?
D: Ya lapor ke pemerintah, kalau bayi di bawah garis merah
lapor ke dinas kesehatan langsung turunkan bahan makanan
untuk bayi yang kurang gizi. Su pernah bikin itu su pernah
lapor ke kepala dinas. Kepala Dinas Masih Kondolorik sudah
meninggal sekarang ini belum.
Namun selain bahasa percakapan hal hal tersebut tidak keluar, untuk
pembicaraan di forum-forum resmi dan rapat kampung bahasa yang
digunakan adalah Bahasa Indonesia resmi.
Untuk hal hal yang tidak mereka ketahui jika ditanya mereka akan Itu
sudah. Maksudnya ya memang sudah begitu adanya.
Singkatan singkatan lain yang sering diucapkan adalah menyingkat
kitorang yang artinya kita disingkat menjadi kitong atau tong dan dorang
yang artinya kamu atau kalian disingkat dong.
D: Kalau ada orang dinas bisa, kalau tidak ada orang dinas
atau kesehatan dong tantang dong lawan. Kader kau punya
apa punya obatkah? itu orang lawan. Yang bisa menasehati
adalah mereka yang rambut luruskah tapi kalau tong yang
menasehati dong tantang. Kalau Suster meres yang
menasehati mereka baru nurut pernah ada di sini 8 orang
meninggal dunia. Anak-anak saja karena satu rumah terlalu
banyak orang.
2.7. Kesenian
Di Kampung Konda ada kelompok musik, penyanyi, dan menari yang
namanya Kindisfey. Nama ini mempunyai sejarah karena yang menciptakan
adalah mantan kepala kampung yang sudah tua. Kindi itu artinya pasir dan
sfey itu artinya pelabuhan jadi Kindisfey itu artinya pasir pelabuhan.
70
Kelompok ini jarang berlatih dan hanya saatsaat tertentu jika akan mengisi
suatu acara saja mereka akan latihan. Anggota kelompok ini masih satu
keluarga ada bagian pemusik yang memegang ukulele dan gitar 2 orang,
penyanyi 2 orang dan penari 2 orang. Penyanyi menyesuaikan bisa banyak.
Lagu-lagu yang diciptakan pimpinan kelompok sudah ada sekitar 20 lagu
yang merupakan lagu papua dengan bahasa Tehit.
2.7.1. Goyang Pantat
Goyang pantat biasanya dilakukan saat acara tahun baru mereka akan
goyang sampai pagi, namun tidak itu aja untuk acara-acara yang tidak
dijadwalkan tetap juga bisa dilaksanakan seperti acara penyambutan Bupati
atau pejabat lainnya. Acara Goyang Pantat juga sering dilaksanakan pada
acara syukuran seperti pernikahan atau ulang tahun.
Sebagai contoh pada tanggal 25 Mei 2015 malam hari ada salah
seorang warga yang mengadakan acara syukuran anaknya yang ulang tahun
dengan Goyang Pantat. Mereka yang punya hajat akan membuat tenda biru
di halaman rumah dan menyediakan lampu penerangan yang terang di
bawah tenda. Selain itu akan ada sound sistem yang keras yang menyajikan
lagu-lagu yang berirama cepat
71
72
Gambar 35. Sagu yang dicuci pak air rawa yang keruh warnanya ikut menjadi keruh.
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Untuk memulai menokok sagu harus memilih pohon Sagu yang akan
ditebang secara tepat. Menurut beberapa penduduk pohon sagu yang baik
adalah pohon yang besar namun belum mengeluarkan bunga, sebab jika
sudah mengeluarkan bunga, sagu yang dihasilkan akan kurang kenyal jika
dibuat papeda dan jika diangkat cepat putus. Pohon sagu yang baik adalah
yang belum mengeluarkan bunga dan batangnya besar. Batang besar
menunjukkan isi sagunya banyak. Setelah menemukan pohon yang tepat
langkah kedua adalah menemukan tempat untuk memeras sagu, warga
biasanya mencari sumber air yang biasanya berupa genangan air hujan.
Setelah lokasi memeras sagu ditemukan yang sebaiknya tidak jauh dari lokasi
pohon maka penebangan bisa dilakukan. Sebelum ditebang semua batang
dipangkas dan dibersihkan baru kemudian batang paling bawah ditebang
sehingga pohon sagu roboh. Setelah roboh kemudian kulit batang dibuka,
baru kemudian sagu ditokok dengan menggunakan kayu yang ujungnya
dilapisi besi. Untuk ukuran Bapak MK satu batang sagu ini dia tokok selama
3-4 hari baru habis, setelah ditokok baru kemudian dibawa ke tempat
memeras sagu. Tempat memeras sagu ini terdiri dari 4 bagian penting;
pertama adalah sumber air bersih, kedua adalah batang sagu yang disusun
dua tingkat yang atas untuk memeras yang bawah untuk tampungan hasil
perasan sagu. Ketiga, saringan untuk memeras sagu yang biasanya terbuat
dari kain. Keempat, adalah tempat penyimpanan sagu yang biasanya berupa
karung beras. Jika menginap mereka juga membuat perapian di sekitar
tempat memeras.
73
Gambar 36. Papeda dan Ikan Bulanak yang dimasak kuah kuning
Sumber : Dokumentasi Peneliti
74
75
76
77
78
79
BAB III
KONTEKS KESEHATAN MASYARAKAT
3.4. Status Kesehatan Masyarakat Sorong Selatan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) berangkat dari
penentuan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur
pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga dimensi pembangunan
manusia yang mendasar yaitu Usia Harapan Hidup (UHH), pendidikan dan
tingkat ekonomi. IPKM merupakan kumpulan indikator untuk menilai
derajat kesehatan di tiap-tiap daerah kabupaten/kota dan dibuat
peringkat sesuai dengan hasil penilaian.
Hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Tahun 2013
secara nasional menunjukkan menyatakan bahwa Kabupaten Sorong Selatan
berada pada peringkat 450 dari 492 kabupaten yang disurvei. Kabupaten
Sorong Selatan menempati peringkat ke-10 dari 11 kabupaten di Propinsi
Papua Barat. Penilaian yang dilakukan dalam penentuan IPKM meliputi
kesehatan balita, kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan, perilaku
masyarakat, penyakit tidak menular, penyakit menular, dan kesehatan
lingkungan.
Indeks penilaian IPKM8
Indeks penilaian IPKM kabupaten Sorong Selatan yang digunakan
sebagai acuan adalah kesehatan balita 0,4568, kesehatan reproduksi 0,2470;
pelayanan kesehatan 0,2106; perilaku 0,3221; Penyakit Tidak Menular
0,7891; Penyakit Menular 0,7678; dan kesehatan lingkungan 0,2672.
Komponen dalam penilaian kesehatan balita meliputi prevalensi
balita kurus 28,18%, balita gizi buruk dan kurang 47,63%, balita stunting
60,70%, cakupan penimbangan balita 64,34%; cakupan imunisasi lengkap
sebesar 38,63%, prevalensi diare pada balita 6,69%, dan prevalensi ISPA
pada balita 39,78%.
80
Dinkes Sorong Selatan. 2014. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan.
Dinkes Sorong Selatan: Sorong Selatan
10
ibid
81
Tabel 3.1
Jumlah Kasus 10 Besar Penyakit Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2013
NO
1
2
JENIS PENYAKIT
ISPA
Penyakit Pada Sistem Otot Dan Jaringan
Pengikat
3
Gastritis
4
Malaria Klinis
5
Kecelakaan dan ruda paksa
6
Diare (termasuk tersangka Kolera)
7
Penyakit Kecacingan
8
Penyakit kulit karena jamur
9
Karies gigi
10
Penyakit kulit infeksi
Jumlah
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Sorong Selatan 2014
JUMLAH
10388
35.55
5176
17.71
3865
2798
2300
2011
750
703
641
589
29,221
13.23
9.58
7.87
6.88
2.57
2.41
2.19
2.02
100
82
ibid
83
84
85
86
Jumlah balita
Balita
ditimbang
Januari
43
26
Februari
39
39
Maret
43
26
April
50
38
Mei
48
25
Sumber : Data Bulanan Puskesmas Konda
D/S (%)
60,5
100
60,5
76
52,1
Hasil tabel menunjukkan cakupan penimbangan untuk bulan JanuariMei 2015 di atas 50%. Ada satu bulan yaitu Februari mencapai 100% yang
artinya semua balita di Kampung Konda ditimbang. Dari table di atas dapat
dikatakan jumlah balita yang datang pada saat penimbangan terlihat stabil,
meskipun rentang jumlahnya juga cukup besar. Hal ini dapat dikatakan
bahwa kesadaran masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita
cukup tinggi. Hal ini tidak bisa lepas dari dukungan mama-mama kader yang
aktif dan mau melayani setiap kali ada penimbangan posyandu.
Untuk Kampung Konda warga yang menginap di Seneboi memang sedikit
dan paling lama mereka menginap seminggu, meskipun nelayan juga banyak
tapi rata-rata mereka sore hari pulang sehingga aktivitas untuk kegiatan gereja
dan kampung tetap bisa berjalan dengan lancar meskipun seringkali jika tidak
jatuh pada Hari Minggu juga agak sulit untuk mengumpulkan warga.
Salah seorang Mama Kader menyarankan agar untuk kegiatan
posyandu selalu dilakukan pada Hari Minggu sebab di hari ini semua warga
ada di Kampung. Jika kegiatan penimbangan dan Posyandu bisa dilakukan
pada hari minggu ada kemungkinan semua anak akan menimbangkan badan
dan mengukur tinggi badan, sehingga perkembangan anak selalu terkontrol.
87
88
89
Gambar 45. Anak selesai bermain kemudian membeli kue dan es di kios
Sumber : dokumen peneliti
90
sebagai akar masalah gizi yang ada di Kampung Konda dan Wamargege,
sebagaimana penuturan kepala kampung Wamargege,
ya bukan terlalu banyak tapi tidak jarakini kecil-kecil perut
besarmama bapak tahu mencari sajauang ada.tapi tidak
perhatikan atur rumah tanggamakannya bagaimanadiasuh
bagaimanasegala tidak mautidak tau kebersihan yang
bagaimanasetiap hari itu dong bagaimanakemarin itu anak-anak
kecil banyak yang meninggalorang tua enak bikin malas rawatkasih
mandimasalah makan
\
(a)
(b)
91
(a)
(b)
92
oleh tukang sayur dari Distrik Moswaren yang beretnis Jawa. Beberapa
warga Konda juga menanam kangkung rawa dan geji tetapi konsumsi jenis
sayur yang lain mengandalkan mas sayur yang datang setiap pagi sebanyak
empat orang secara bergiliran dengan mengendarai motor.Menurut
penuturan salah satu mas sayur yang biasa datang ke kampung Konda dan
Wamargege, sayur yang dikonsumsi masyarakat adalah sayur kangkung, bayam,
geji, kacang panjang dan sawi. Masing-masing ikat seharga lima ribu rupiah
Buah banyak dijumpai di Kampung Konda dan Wamargege, diantaranya
pisang, jambu air, rambutan, durian, langsat dan buah tinta. Bahkan penuturan
satu warga, pada saat musim durian atau rambutan, banyak masyarakat
kampung lain yang datang dan membeli buah. Biasanya musim durian terjadi
pada akhir tahun sampai awal tahun sekitar bulan Maret. Kata Mama D, akan
sangat menyesal jika tidak sempat makan durian yang ada di Konda. Bagi warga
yang tidak memiliki pohon, biasanya membeli dengan harga Rp 10.000,perplastik. Tidak ada patokan berapa berat atau berapa biji perplastik.
93
dia mengeluh batuk beringus tidak berhenti selama lebih dari seminggu.
Kemudian istrinya berkata, merokok tara habis sambung, su terbakar
jantung ko
Tidak ada larangan dari anggota keluarga lain apabila salah satu
keluarganya merokok, entah itu bapak, mama atau anak. Semua bebas saja.
Mama A memberikan pernyataan sebagaimana berikut
bebas saja dong (mereka) merokoksa pu paitua (suami saya)
juga merokoktapi sa pu anak (anak saya) su (sudah) SMA dong
(dia) tidak merokoksekarang di Sorongiyomama disini
banyak lagi yang merokokooo..tidak..tidaksa tra (saya tidak)
pernah merokokpaitua saja(suami saya saja)
94
Air tadah hujan ditampung oleh masyarakat dalam tandon plastik atau
berbahan semen yang disediakan oleh pemerintah. Beberapa rumah juga
menggunakan bak-bak terbuka untuk menampung air.
Pada musim penghujan Masyarakat Konda dan Wamargege
memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.
Mereka membuat bak penampungan yang terbuat dari semen atau tandon air
dari plastik yang disalurkan dari atap rumah melalui seng agar tertampung di
bak yang sudah mereka buat. Air hujan yang sudah diendapkan ini mereka
gunakan untuk memasak dan minum serta mandi dan mencuci.
Untuk kebutuhan air minum ada juga pedagang air galon yang
berkeliling menjual air galon menggunakan mobil double gardan. Bagi yang
mampu mereka bisa membeli air ini yang harga per galonnya Rp.10.000,-.
Beberapa waktu yang lalu pedagang air galon ini tidak masuk ke Kampung
Konda dan Wamargege karena mobilnya terbalik di tanjakan yang berkubang
saat hendak masuk ke Kampung Konda.
Jika musim kemarau dan tidak turun hujan masyarakat memanfaatkan air
sumur yang ada di dekat rumah mereka ataupun air sumur yang ada di atas
dusun. Meskipun agak berwarna kuning namun jika musim kemarau air inilah
yang menjadi sumber air bersih bagi warga. Di daerah atas juga ada sumur yang
dijaga warga dengan menutupnya dengan jaring agar daun-daun tidak masuk
karena sumber inilah yang menjadi tumpuan masyarakat di saat kemarau.
95
96
Gambar 52. (a) Remaja laki-laki dan perempuan saat pulang sekolah (b) Muda-mudi
sedang berbaur dalam acara goyang pantat
Sumber : dokumentasi peneliti
97
Pergaulan Muda-mudi
Pergaulan muda-mudi sejauh yang dilihat oleh peneliti cukup terbuka
dan permisif. Hal ini terbukti dengan adanya kasus kehamilan di luar nikah
yang terjadi baik di Kampung Konda dan Wamargege. ditunjang dengan
sikap permisif masyarakat saat ada kehamilan di luar nikah, yaitu keluarga
perempuan meminta uang denda sebagai ganti rugi atas kehamilan putrinya.
Pola kehidupan keluarga adalah ada saat dimana bapak dan mama
melaut atau berkebun selama beberapa hari, sementara anak-anak yang
sudah cukup besar (remaja) tetap tinggal di rumah. Hal ini memungkinkan
terjadinya perilaku seks di luar nikah.
Kesenian yang berkembang adalah goyang pantat dimana setiap
warga berpasang-pasangan dan bergoyang untuk setiap lagu. Setiap warga
baik laki-laki maupun perempuan berbaur sepanjang malam. Acara dapat
berlangsung sepanjang malam sampai pagi dan keluarga tidak memiliki
control sosial. Kebiasaan lain yang berkembang adalah kumpul-kumpul
muda-mudi pada saat bulan terang (purnama) di dermaga.
3.3.4.2. Hamil
Selama kehamilan tidak ada ritual adat yang dilakukan. Kehamilan
merupakan hal yang biasa tanpa perlakuan khusus. Perempuan Wamargege
masih menemani suaminya melaut dan terkadang harus melahirkan di
tanjung. Penuturan beberapa warga menyatakan bahwa tidak ada pantang
makanan yang harus dipatuhi oleh perempuan Konda dan Wamargege.
Semua jenis makanan boleh dikonsumsi. Ada satu ibu hamil yang bercerita
kalau dia dilarang oleh mamanya untuk mengkonsumsi makanan yang
masam-masam.
Pemeriksaan kehamilan dilakukan setiap bulan bersamaan dengan
kegiatan penimbangan bayi dan balita. Pada bulan Mei 2015 ada tiga ibu
hamil yang datang memeriksakan diri. Ada satu lagi ibu hamil yang masih
berusia 14 tahun dan berstatus pelajar SMP, tidak datang karena sedang
bersekolah. Pemeriksaan bulan Mei juga dilakukan imunisasi TT oleh Paman
Jurim (Pak Mantri Juru Imunisasi) dari Puskesmas Konda.
98
99
100
101
Jumlah Kunjungan
114
179
132
146
102
103
menggunakan obat suntik dari Puskesmas dan memilik Kartu JKN, maka tidak
dikenakan biaya. Jika menggunakan obat suntik KB milik suster, maka
mengganti biaya obat sebesar Rp 25.000,- beberapa warga terkadang
membeli sendiri obat suntik KB dari Teminabuan dan hanya mengganti
ongkos suntik Rp 1.000,- jika tidak memiliki kartu JKN dan gratis bagi yang
memiliki kartu. Beberapa warga juga terkadang membeli sendiri obat suntik
KB di Teminabuan seharga Rp 20.000,- dan jarum suntik Rp 5.000,Ada beberapa mama Konda dan Wamargege yang menggunakan
spiral tetapi kemudian lupa mencabut kembali setelah berpuluh tahun. Saat
ini di Konda ada tiga mama yang merasa kesakitan akibat spiral yang masih
tertanam dalam tubuh, sedangkan di Wamargege ada satu yang meninggal
dunia dan satu lagi mama yang berhasil dicabut spiralnya meski sudah mulai
berkarat.
(a)
(b)
104
105
106
Air bersih hampir tidak ada di Bakoi, kecuali kalau kita naik semakin
jauh ke dalam dusun (hutan). Masyarakat memanfaatkan perigi atau sumursumur kecil yang ada di belakang rumah dan berwarna kecoklatan seperti
teh untuk mandi dan mencuci, sedangkan untuk memasak dan air minum
menggunakan air jerigen atau gallon yang dipasok oleh juragan udang dari
Teminabuan. Tinggi sumur yang sejajar dengan permukaan tanah dan tanpa
diberi penghalang/pelindung di sekelilingnya, sangat memungkinkan untuk
tercemar oleh bangkai binatang seperti tikus.
107
108
109
110
BAB IV
GIZI BURUK DI KAMPUNG KONDA
DAN WAMARGEGE
4.1. Profil Gizi Kabupaten Sorong Selatan
Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam penentuan status gizi
yaitu Berat Badan/Umur (BB/U), Tinggi Badan/Umur (TB/U) dan Berat
Badan/Tinggi Badan (BB/TB). BB/U menunjukkan kondisi gizi saat dilakukan
pengukuran dan dinyatakan dalam lima kategori yaitu gizi buruk, gizi kurang,
normal, gizi lebih dan obese. TB/U menunjukkan masalah gizi yang sifatnya
kronis dan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku tidak sehat, pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan. Kategori
yang digunakan adalah sangat pendek, pendek (stunting) dan normal. BB/TB
mengidentifikasi masalah gizi yang berlangsung singkat dengan kategori
sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan sangat gemuk (Kemenkes, 2014)
Hasil penilaian IPKM 2013 dinyatakan bahwa prevalensi balita gizi
kurang dan buruk di Sorong Selatan sebesar 47,63%. Prevalensi balita
pendek dan sangat pendek sebesar 60,70%. Prevalensi balita kurus dan
sangat kurus sebesar 28,18%.
Menurut WHO (2010) masalah kesehatan dianggap serius apabila
prevalensi kekurangan gizi balita sebesar 20-29% dan prevalensi dianggap
sangat tinggi jika lebih dari 30%. Di samping itu WHO (2010) juga
menyatakan bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap berat jika
prevalensi stunting berkisar antara 30-39% dan dianggap serius jika lebih
dari 40% (Kemenkes, 2014), sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten
Sorong Selatan mengalami masalah kesehatan yang sangat serius terkait
dengan kasus gizi buruk dan stunting menurut penilaian WHO.
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan tahun 2014
menyatakan Balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM) tahun
2013 sebesar 7,65%, Gizi Baik 90,7% dan Gizi buruk 1,65%. Wawancara
dengan ahli gizi yang ada di Puskesmas Konda menyatakan bahwa acuan
data bulanan Puskesmas Konda menggunakan indikator BB/TB karena lebih
menggambarkan status gizi yang berlangsung secara kronis. Menurut
111
112
113
114
12
12
Soekirman.2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Dirjen
Pendidikan Tinggi
115
116
117
Sandy S, Irmanto M. 2014. Analisis Model Faktor Risiko Infeksi Cacing Gelang
(Ascaris Lumbricoides) pada Murid SD di Distrik Arso Kabupaten Keerom Papua.
Jurnal Buski Juni 2014 V(1) : 35-42. Balitbang Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Tanah Bumbu
118
119
dan persediaan air hujan dalam drum habis mereka akan membeli air galon
di Teminabuan menggunakan perahu. Hal ini dilakukan bersamaan dengan
menjual hasil ikan ke Teminabuan. Namun dalam kondisi yang tidak
memungkinkan untuk membeli mau tidak mau mereka akan mengambil air
rawa yang ada di hutan atau belakang rumah. Air rawa ini belum tentu
bersih sebab kadang jika air laut pasang, air laut ini juga menggenangi air
rawa-rawa tersebut sedangkan air laut ini bisa membawa baik kotoran anjing
dan kotoran manusia serta sisa-sisa kepala udang yang mereka buang
sembarangan di bawah kolong rumah mereka.Hal inilah yang bisa
menyebabkan sakit.
Pembagian kelambu yang dilakukan Puskesmas juga kurang
menjangkau semua kalangan masyarakat sebab hanya 1 KK mendapatkan 1
kelambu untuk pembagian yang dilakukan kemarin dan hal ini sangat kurang
dirasakan khususnya bagi KK yang memiliki anak banyak yang berjumlah
lebih dari 5. Sebab sebagian keluarga yang lain tetap tidak bisa tidur dalam
kelambu dan hal ini membuat mereka rentan digigit nyamuk khususnya
malaria yang bersarang di kubangan rawa di hutan.
Anak-anak kecil yang dibawa ke Tanjung Bakoi juga rentan tergadap
kencangnya angin laut dan bisa mengakibatkan mereka sakit karena daya
tahan tubuh yang masih lemah. Perilaku lain yang rentan menyebabkan anak
jatuh sakit adalah membiarkan mereka mandi di laut ketika air pasang. Tidak
hanya anak-anak balita yang lain bahkan anak kepala kampung masih sering
dimandikan di sungai ketika air sungai pasang. Apalagi anak-anak warga yang
lain, hal ini kadang kurang disadari warga bahwa air sungai tersebut kotor
dan banyak mengandung kuman penyakit.
Istri yang diajak ke Tanjung Bakoi belum tentu tinggal di kamp saja,
ada juga istri yang diajak suami untuk membantu melepas udang dari jaring
di laut.Kadang anak mereka yang masih kecil ditinggal di kamp dan dititipkan
pada tetangga. Pengawasan yang tidak ketat dari orang tua ini kadang
mengundang malapetaka sebab pernah ada seorang anak yang meninggal
karena ditinggal orang tuanya ke laut mencari udang, anak tersebut jatuh
tenggelam ke sungai dan baru besok paginya ketemu sudah mengambang
dan meninggal.
120
121
memiliki masalah Kurang Energi Kronis (KEK). Hal ini ditunjukkan dengan
pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) kurang dari 23,5 cm. Data buku
register pelayanan ibu hamil di Pustu Konda menunjukkan hanya sedikit ibu
memiliki LiLA di atas 23,5 cm. Pernyataan bidan yang bertugas di Pustu
Konda juga mempertegas hal tersebut.
Dorang (mereka) jarang ada LiLA lebih dari dua tiga koma lima.kecilkecilitu mama yang punya balita gizi buruk cuma duapuluhan
koma.keciiltara tau itumakankah apa.dorang (mereka) masih
muda juga tohhmasih 2o tahun su mau anak kelima
Kesehatan menjadi kebutuhan sekaligus kewajiban yang harus dijaga
secara berkesinambungan. Prosesnya sejalan dengan proses kehidupan
manusia itu sendiri, sebagaimana status gizi balita yang juga tidak bisa
terlepas dengan bagaimana status gizi dan kesehatan orangtua, khususnya
ibu. Proses menjaga kesehatan kemudian digambarkan dalam diagram
continuum of care sebagai daur hidup (cycle of life) yang harus terusmenerus diupayakan.
122
123
124
125
umur 6 tahun, anak ke-3 umur 4 tahun. Anak ke-4 umur 3 tahun dan yang
dalam perut ke- 5. Ibu ini berumur 20 tahun.Menurut cerita Si Ibu, anaknya
sudah diimunisasi semua.Namun ketika ditanya oleh Suster Puskesmas tidak
pernah memeriksakan diri ke Puskesmas, dan mengakui bahwa selama
punya anak 5 tidak pernah memeriksakan diri ke bidan atau petugas di
Puskesmas dan tidak ikut KB. Tidak ikut KB karena dapat larang dari suami
dorang . Begitu ibu itu menjawab.
Ibu ini tidak pernah periksa kehamilan selama hamil ke Bidan. Anak
pertama sampai terakhir tidak pernah periksa. Pada saat melahirkan yang
menolong waktu melahirkan adalah Mama saja. Anaknya yang ke-4
mengalami gizi buruk umur 3 tahun, berat hanya 8 kg, sakit panas-panas
dan tumit dan lutut bengkak sehingga sekarang tidak bisa berjalan.
Anak ke-4 ini biasa makan bubur, papeda, ikan merah namun tidak
makan udang. Suaminya bekerja sebagai nelayan udang, setelah jual udang
uang yang dihasilkan untuk beli jaring dan keperluan kapal. Anak batukbatuk dan dulu bisa jalan tapi setelah kena penyakit serampak itu tumit dan
lutut bengkak sehingga tidak bisa jalan.
Ada pamali dari Mama agar tidak makan yang asam-asam
Dorang tanam sayur di belakang rumah. Sudah lama kena batuk
beringus sudah sejak sakit serampak itu sudah.
Ibu ini punya pantangan makan makanan yang rasanya asam, dia tidak
makanan makanan itu karena itu larangan dari ibunya.Ibu ini juga menanam
sayur di belakang rumahnya yaitu sayur kangkung dan sayur geji.
Pengamatan secara fisik menunjukkan bahwa balita tersebut
mengalami kwashiorkor.Rentang sepuluh hari setelah penemuan kasus, si
balita meninggal dunia.Penuturan dari ibu balita bahwa si anak sebulan
sebelumnya mengalami serampak (campak) dan menjadikan si balita
lumpuh.Balita tersebut meninggal dalam jongson saat perjalanan menuju
Teminabuan untuk mendapatkan pengobatan.
126
Gambar 65. Penderita gizi buruk dan meninggal dunia akibat campak
Sumber : dokumen peneliti
127
15
ibid
Amelia, Karyadi L, Muljati S, Lamid A. Dampak Kekurangan Gizi terhadap
Kecerdasan Anak SD Pasca Pemulihan Gizi Buruk. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan
Jilid 18 Tahun 1995. Badan Litbangkes Depkes RI
16
128
17
129
130
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Suku Tehit dan Suku Yaben pada awal kedatangan mereka ke
Kampung Konda dan Kampung Wamargege adalah sama-sama pendatang,
Suku Tehit datang dari Klamono dan Suku Yaben datang dari Kokas. Mereka
kemudian hidup berdampingan di kampung dengan memanfaatkan hasil dari
alam di sekitar mereka tinggal. Suku Tehit lebih banyak menguasai cara-cara
memanfaatkan hasil hutan dan pengolahan kebun sagu. Untuk kebutuhan
protein mereka berburu di hutan, memancing, dan menangkap ikan dan
udang dengan perahu. Suku Yaben lebih banyak menguasai cara-cara
menangkap hasil laut, sehingga beberapa perkembangan pemukiman Suku
Tehit lebih mendekati arah ke Perkebunan Sagu sementara perkembangan
pemukiman Suku Yaben lebih memanjang mendekati garis pantai.
Kampung Konda merupakan wilayah yang strategis sebab dalam
perjalanan sejarahnya pernah menjadi pusat ibukota pada Masa Penguasaan
Sultan Tidore dan menjadi rebutan pada Masa Kolonial Belanda dengan
Pemerintahan Indonesia. Di wilayah sekitar Kampung Konda dan
Wamargege sudah terkenal sebagai penghasil udang, ikan, sagu, dan
binatang hasil buruan hutan. Untuk komoditas udang, ada pengepul
tersendiri yang tinggal di Kamp Nelayan Bakoi dan Seneboi yang merupakan
orang luar seperti Jawa dan Bugis. Terkenalnya hasil komoditas udang dari
Bakoi dan Seneboi ini menjadikan udang menjadi komoditas utama warga
kampung yang paling besar adalah Suku Yaben meskipun beberapa Suku
Tehit juga menggeluti profesi sebagai pencari udang namun tidak sebesar
warga dari Kampung Wamargege yang mayoritas adalah Suku Yaben.
Pada Tahun 1855, ketika Belanda masih berkuasa datanglah para
penyebar agama Kristen Protestan di Manokmari yang beraliran Calvinis,
Pendeta Tekeheru merupakan bagian dari penginjil itu yang masuk ke
Kampung Konda, Pendeta Tekeheru ini berasal dari Ambon dan dukungan
Belanda waktu itu menjadikan penyebaran agama Kristen Protestan
menancap kuat di wilayah Papua Barat. Pendeta Tekeheru juga mempunyai
131
132
Tanjung Seneboi, mereka yang mempunyai kapal dengan mesin yang cepat
bisa berangkat pagi dan pulang sore hari, namun yang mempunyai kapal
bermesin kecil dan lambat mereka biasanya menginap satu Minggu di Kamp
Kamp yang sudah mereka buat baru nanti pada hari Sabtu mereka pulang
untuk mengikuti ibadah. Pada masa awal Kamp Kamp ini hanya untuk
tempat singgah saja namun pada perkembangannya akhirnya Kamp-Kamp
ini seperti menjadi rumah kedua bagi para nelayan karena mereka
memfungsikannya sebagai rumah dan bahkan mengajak anak dan istrinya
tinggal di Kamp Nelayan tersebut.
Pola masyarakat yang seperti ini karena tuntutan mata pencaharian
yang lokasinya jauh membuat mereka yang tinggal di Kampung hanya orang
orang tertentu juga yakni mereka yang masih sekolah, orang tua yang sudah
tidak mampu beraktivitas fisik dengan baik, dan para pengurus kampung dan
gereja. Para pengurus kampung dan gereja pun juga kesulitan jika
mempunyai agenda kegiatan yang bukan hari Minggu sebab siang hari bidak
ada kepala keluarga yang berada di kampung semuanya bekerja di sekitar
kamp nelayan maupun di sekitar dusun areal menokok sagu. Kegiatan Gereja
dan Kampung saja yang bisa meminta masyarakat untuk tidak pergi ke kamp
atau ke dusun. Seperti contoh ketika ada kegiatan gereja satu distrik selama
seminggu, maka selama 7 hari itu mereka yang mempunyai jadwal bertugas
sebagai panitia tidak pergi ke dusun atau ke kamp.
Perginya orang tua ke kamp dan dusun mengharuskan anak-anak
mereka yang sekolah tinggal di rumah. Sepulang sekolah anak-anak SMP dan
SD ini tidak mendapatkan perhatian dan pengawasan dari orangtua mereka.
Masuknya televisi, handphone, juga membawa dampak pada perkembangan
perilaku seksual remaja. Tidak adanya perhatian dan pengawasan dari orang
tua selama mereka mencari nafkah membuat rentan anak-anak sekolah
khususnya mereka yang sudah SMP. Ada cerita, seorang pelajar SMP karena
orang tuanya tidak dirumah akhirnya melakukan hubungan seksual dengan
tetangga kampung yang sudah berkeluarga, perempuan yang baru kelas 3
SMP ini akhirnya hamil. Denda adat tetap diberlakukan, akhirnya laki-laki
yang menghamili ini dituntut denda sebesar 30 juta karena telah menghamili
gadis kelas 3 SMP.
Kasus lain adalah seorang gadis kelas 2 SMP karena ditinggal orang
tuanya ke laut melakukan hubungan seksual dengan pacarnya yang sama-
133
sama duduk di bangku kelas 2 SMP. Ketika orang tua mengetahui berita itu,
orang tua gadis naik pitam dan sempat mengejar anak laki-laki itu yang lari
ke hutan dan akan dilempar tombak oleh orang tua si gadis, sepasang
kekasih ini sempat lari berdua masuk hutan untuk menghindari amukan
orang tua mereka khususnya orang tua Si Gadis. Meskipun denda adat tetap
diberlakukan namun peristiwa ini sangat merugikan Si Gadis karena mau
tidak mau dia terpaksa putus sekolah. Kepala Kampung sempat memberi
pengarahan yang keras kepada para orang tua ketika menyampaikan
pengumuman di gereja agar orang tua menjaga anak-anak khususnya anak
gadisnya yang masih SMP karena di titik akil balik.
Jauhnya lokasi dan lama tinggal di kamp maupun dusun tidak hanya
membawa akibat kurangnya anak-anak ini dari perhatian dan pengawasan
namun ketersediaan makanan sehat sulit mereka dapat karena anak-anak ini
terbiasa jajan di warung-warung dan membeli makanan dan minuman yang
banyak pengawet, hal ini menimbulkan efek pada kurang sehat saluran
pencernaan mereka. Ketika orang tua tidak ada banyak anak ini yang
memasak mie instan sendiri yang akibatnya karena kurang hati-hari air
mendidih yang hendak dia makan tersenggol dan tumpah mengenai paha
dan dadanya yang mengakibatkan luka bakar sampai kulit terkelupas.
Anak dan istri juga banyak yang diajak suaminya ke Kamp Nelayan
Bakoi yang kondisi lingkungannya kurang baik bagi anak-anak khususnya.
Pernah ada anak yang ditinggal orang tuanya di Kamp Nelayan Bakoi dan
karena tidak ada yang mengawasi anak tersebut jatuh ke Sungai Bakoi dan
tidak ada yang tahu, paginya anak itu sudah ditemukan tewas mengambang
di bawah kolong rumah. Ketika jenasah anak dibawa ke Kampung
Wamargege banyak tokoh-tokoh kampung memarahi kedua orang tua Si
Anak yang terlalu ceroboh membiarkan anak kecil sendiri hanya dititipkan ke
tetangga.
Sumber air minum yang hanya mengandalkan tadah hujan dan belum
adanya WC baik cemplung maupun jumbleng membuat warga di kamp
nelayan membuang kotoran sembarangan baik di hutan maupun di tepi
sungai. Selain memanfaatkan tadah hujan, di musim kemarau di mana di
kamp itu sulit air mereka memanfaatkan air rawa di belakang kamp dan di
tengah hutan. Di saat air pasang, dan turun hujan rawa-rawa sumber air
penduduk ini sering terendam air, bukan tidak mungkin kotoran anjing yang
134
ada di situ dan kotoran manusia tercampur bersama air rawa. Jika air ini
dimanfaatkan untuk minum tentu berakibat bagi kesehatan orang yang
meminumnya khususnya anak-anak.
Dampak dari perilaku kurang sehat, kondisi lingkungan dimana
pembuangan sampah rumah tangga dan sampah hasil potongan kepala
udang dibuang saja di bawah kolong rumah menimbulkan bau yang sangat
amis dan tentu mengundang kuman penyakit. Selain di kamp itu tidak ada
tukang sayur dan mereka tidak menanam secara khusus untuk komoditas,
sehingga sayur seperti kangkung hanya ditanam beberapa batang untuk
mencukupi kebutuhan pribadi mereka dan itupun tidak semua menanam
sayur sehingga udang, ikan dan papeda yang menjadi andalan menu harian
mereka.
Karena jauhnya jarak Kamp ke Puskesmas Pembantu mereka juga jarang
periksa, sehingga banyak ibu yang tidak mendapat suntikan imunisasi. Bahkan
ada beberapa suami yang istrinya dilarang ikut KB, akibatnya jarak anak mereka
yang satu dengan satunya selisih hanya satu tahun padahal anak mereka banyak
antara 5-6 rata-rata per KK. Lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup
bersih anak-anak seperti cuci pakai tangan pakai sabun jarang dilakukan
sehingga kasus kecacingan tinggi di Kamp Nelayan ini.
Hal itulah yang menjadi penyebab adanya penyakit penyerta di
samping banyak anak balita yang kurang sayur. Adanya kasus bayi gizi buruk
di Kamp ini salah satunya karena faktor di atas, tinggal lama di Kamp, kurang
sayur, dan si anak punya penyakit penyerta seperti cacingan, serampak
(campak) dan anak banyak jarak 1 dengan yang satu terlalu dekat hanya 1
tahun karena tidak ikut KB dan tidak pernah periksa ke Fasilitas Kesehatan.
Hasil penimbangan bulan Mei 2015 kemudian dianalisis untuk
mendapatkan gambaran prevalensi data kasus gizi dengan indikator BB/U,
TB/U dan BB/TB.Penimbangan bulan Mei digunakan sebagai data karena
pada bulan Mei, penimbangan balita di Kampung Konda dan Wamargege
dibantu oleh petugas Puskesmas Konda sehingga hasilnya jauh lebih akurat
jika dibandingkan pengukuran oleh mama kader, sebagaimana penuturan
ahli gizi di Puskesmas Konda yang mengatakan bahwa pengukuran yang
dilakukan mama kader terkadang kurang tepat dan itu juga yang disaksikan
oleh peneliti. Indikator BB/U mengklasifikasikan status gizi dalam lima
kategori yaitu gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, gizi lebih dan obese. Hasil
135
136
Informan
M
PKPK
SPK
BPK
MPM
Faktor Penyebab
Masih bayi dibawa ke Bakoi, Tidak mengatur jarak
anak, Makan udang dan kepiting (libido naik),
Cacingan, Tidak ada pikiran sayang Maitua, Mama
papa Cuma tahu cari dan kasih uang tidak pernah
memperhatikan kebersihan dan perawatan anak,
Orang tua enak bikin tapi malas rawat, Mengganti
papeda dengan beras.
Rumah terlalu banyak orang, satu rumah ditempati 3-4
KK, Buang air besar sembarangan, Diare, Tidak mau
mendengar nasehat petugas kesehatan, mengajak anak
kecil dan Mama ke Bakoi,
Penimbangan kader kurang akurat
Penyakit Infeksi Campak dan TB Paru
Pernikahan yang terlalu muda
Tidak pernah imunisasi, Suami lebih mementingkan
membeli perlengkapan melaut daripada makanan
untuk balita, Pamali makan yang asam-asam untuk ibu
hamil, Penyakit Serampak (Campak), Batuk Beringus,
Panas, Tidak bisa jalan
137
138
139
140
141
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. Indeks Pembangunan KesehatanMasyarakat. Jakarta Badan
Litbang Kesehatan; 2014.
Adriani, M, Wirjatmadi, B. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group; 2012.
BPS Sorong Selatan. Profil Kabupaten Sorong Selatan 2014. Sorong Selatan :
Badan Pusat Statistik Sorong Selatan; 2014.
Dinkes Kabupaten Sorong Selatan. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong
Selatan 2014. Sorong Selatan: Dinas Kesehatan Kab. Sorong Selatan;
2014.
J. Miedema, 1997: 212. Text s from the oral Tradition In The Eastern Birds
Head Peninsula of Irian Jaya. Inventory,Transcripts and Reproductions
of (origin) Stories in Dutch and Indonesian c.1955-1995.
Nino Oktoronino, dkk. Muatan Lokal Ensiklopedi Sejarah dan Budaya Jilid 8.
Jakarta: PT. Lentera Abadi; 2003
Mansoben, Johszua Robert. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta:
LIPI-RUL; 1995
Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI; 2014
Kemenkes RI. Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan Indonesia).
Jakarta :Kementerian Kesehatan RI; 2014
Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi; 2000
Ajzen I.The Theory of Planned Behavior. Massachusett: University of
Massachusett; 1991
Nurti, Y. Meiyenti, S. Makanan dan Gizi dalam Konteks Sosial Budaya. Jurnal
Antropologi VI (1) 2004
Khomsin, A. Anwar, A. Sukandar, D. Riyadi, H. Mudjajanto, ES. Studi Tentang
Pengetahuan Gizi Ibu dan Kebiasaan Makan pada Rumah Tangga di
Daerah Dataran Tinggi dan Pantai. Jurnal Gizi Pangan. 2006 1 (1) : 23-28
Sandy S, Irmanto M. 2014. Analisis Model Faktor Risiko Infeksi Cacing Gelang
(Ascaris Lumbricoides) pada Murid SD di Distrik Arso Kabupaten
Keerom Papua. Jurnal Buski Juni 2014 V(1):35-42. Balitbang
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Tanah Bumbu
142
143
INDEKS
B
batang, 68, 69, 72, 73, 74, 79, 84,
132, 135
D
Distrik, 2, 3, 5, 6, 19, 20, 23, 25, 31,
44, 49, 50, 53, 62, 83, 93, 102,
118, 133, 142, 150
G
Gizi, 1, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 44, 45,
70, 77, 80, 83, 89, 91, 100, 109,
110, 111, 112, 113, 114, 115,
116, 118, 122, 125, 126, 127,
128, 135, 136, 137, 138, 139,
140, 142, 143
K
Konda, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 56, 57, 58, 59, 62, 63,
65, 66, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 76,
77, 79, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
99, 100, 101, 102, 103, 104, 105,
109, 110, 111, 112, 113, 114,
116, 118, 119, 121, 122, 123,
144
T
Tehit, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
21, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72,
73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90,
91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, 127, 128, 129,
130, 131, 132, 133,
134, 135, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 142, 143
145
GLOSARIUM
Aci (yaben)
Amukke (tehit)
Amukke (tehit)
Babaco (yaben)
Bano (yaben)
Basureo tau (yaben)
Batuk forsa
Bo (yaben)
Cibinasoboro (yaben)
Dado pua (yaben)
Dorang/ dong
Endaho (tehit)
Ernet (tehit)
Ikan sembilang
Jonson /lomboat
KaZuster
Kaberaro (yaben)
Kaci (yaben)
Kadik (tehit)
Kapalo/te (yaben)
Katingting
Kitong/ tong
Maitua
Mama mantu
Mbaburtosoboro (yaben)
Mbose (yaben)
Mesuja (yaben)
Nat (tehit)
Ne toronipasino (yaben)
Nemapa (yaben)
146
Nemaru (yaben)
Nemureto (yaben)
Nen (tehit)
Neno (yaben)
Ombit (tehit)
Opasyo (yaben)
Paitua
Paman
Papedalaut
Pasa (tehit)
Pu
Sa
Saeto (yaben)
Saonne (tehit)
Saye (yaben)
Seh (tehit)
Sie (tehit)
Siput/bia
Sorame (yaben)
Su
Subu (yaben)
Taliwe (tehit)
Teraka
Ucube (yaben)
Wa (yaben)
Wageri (yaben)
Wamo (yaben)
Wamta (yaben)
Wanggo (yaben)
Wawo (yaben)
Yebeno (yaben)
Kindi (Tehit)
: anak perempuan
: suami
: Kamu
: kakak
: Laut
: ombak
: suami
: singkatan dari pak mantri, sebutan untuk
petugas kesehatan laki-laki
: ubur-ubur
: nasi
: punya
: saya
: udang
: selamat pagi
: ada
: Air
: tidak ada (yaben)
: kerang
: laki-laki
: sudah
: laut
: selamat siang
: kepiting
: pisau
: perempuan
: adik orang tua
: mama
: istri
: kakak orang tua (paman)
: bapak
: dia
: pasir
147
Dusun
Para-para
Gege (Yaben)
Wamar (Yaben)
148
149
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Apa yang kami tulis dalam buku ini merupakan serapan kami selama
di lapangan dengan keterbatasan pemahaman tentang budaya masyarakat.
Tulisan ini lebih merupakan proses belajar kami untuk memahami budaya
kesehatan warga Suku Tehit dan Yaben. Dalam proses belajar ini pasti ada
kesalahan yang kami buat, oleh karena itu kritik dan saran akan menjadikan
lebih baiknya buku ini ke depannya.
150
Akhir kata, kini tiba saatnya kita kan berpisah, berat hati ini melepas
dirimu, air mata tumpah melepas dirimu. Gunung dan tanjung terpele,
wajahmu terpele. Terbayang senyum manismu hancur hati ini, sapu tangan
biru kini basah sudah, berpisah lewat pandangan bertemu dalam doa,
berpisah lewat pandangan bertemu dalam doa.
151