Vous êtes sur la page 1sur 221

Kematian Bayi & Balita:

Balutan Mitos Tradisi & Perubahan Sosial


Etnik Jawa di Kabupaten Klaten

Weny Lestari
Wahyu ATP
Anom Kumbara

Penerbit

Unesa University Press

Weny Lestari, dkk

Kematian Bayi & Balita :

Balutan Mitos, Tradisi & Perubahan Sosial


Etnik Jawa di Kabupaten Klaten

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xiii, 207 hal., Illus, 15.5 x 23


ISBN : 978-979-028-952-9
copyright 2016, Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan


Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)


Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis

: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes


Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK

Sekretariat

: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE

iii

Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna

iv

KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat
di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2015


Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

vi

DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ...............................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
DAFTAR TABEL...............................................................................
Prolog: Memahami Budaya Kesehatan dalam
Konteks Peningkatan Program Kesehatan Ibu dan Anak..........

iii
v
vii
xi
xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................

BAB 2 DESA KALANGAN DALAM KONTEKS BUDAYA...................


2.1 Sejarah ...........................................................................
2.1.1 Sejarah Klaten ......................................................
2.1.2 Sejarah Pedan ......................................................
2.1.3 Sejarah Desa Kalangan .........................................
2.2 Geografi dan Kependudukan .........................................
2.2.1 Profil Desa Kalangan ............................................
2.2.2 Kependudukan .....................................................
2.3 Sistem Religi ...................................................................
2.3.1 Pemeluk Agama di Desa Kalangan .......................
2.3.2 Kejawen ................................................................
2.4 Sistem Kekerabatan , Organisasi Sosial
dan Kemasyarakatan ..................................................................
2.4.1 Sistem Kekerabatan...........................................................
2.4.1.1 Pola Tempat Tinggal dan Kekerabatan ......
2.4.1.2 Pengambil Keputusan dalam Keluarga ......
2.4.1.3 Pengasuhan Anak dan Nilai Anak ..............
2.4.2 Struktur Pemerintahan Desa Kalangan...........................
2.4.3 Kelompok-Kelompok Kemasyarakatan ..........................
2.4.3.1 Koperasi Pengusaha Tahu
dan Tempe Indonesia (KOPTTI) ............................
2.4.3.2 Kelompok Tani ...........................................
2.4.3.3 Kelompok Pemuda.....................................
2.4.3.4 PKK Desa ....................................................
2.4.3.5 Kelompok Keturunan Makam Leluhur ......

17
18
18
23
25
37
37
40
41
41
46

47
47
47
48
49
51
51
51
52
52
53
55

vii

2.5 Pengetahuan dalam Falsafah Jawa


dan Pengetahuan tentang Kesehatan................................
2.5.1Ngelmudalam Pandangan Jawa ....................................
2.5.2 Pilihan Rasional (Rational choice)
terhadap Pelayanan Kesehatan .......................................
2.5.3 Pengetahuan tentang Kesehatan.....................................
2.5.4 Pengetahuan Kesehatan Tradisional ...............................
2.6 Bahasa ............................................................................
2.7 Kesenian.........................................................................
2.7.1 Seni Batik dan Tenun Lurik ................................................
2.7.2 Laras Madya........................................................................
2.7.3 Gadonsari ...........................................................................
2.7.4 Kesenian Lain di Desa Kalangan
dan kabupaten Klaten .......................................................
2.8 Mata Pencaharian ..........................................................
2.9 Teknologi dan Peralatan ................................................
BAB 3 KESEHATAN MASYARAKAT DESA KALANGAN ..................
3.1Penyakit Menular............................................................
3.1.1 Infeksi Saluran Pernapasan Atas.......................................
3.1.2 Diare.....................................................................................
3.1.3 HIV/AIDS..............................................................................
3.2Penyakit Tidak Menular ..................................................
3.2.1 Hipertensi ............................................................................
3.2.2 Diabetes Melitus.................................................................
3.2.3 Kelainan Jantung ................................................................
3.2.4 Gangguan Mental dan Kecacatan lain .............................
3.3Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ....................................
3.3.1 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ..................................
3.3.2 Penimbangan Bayi dan Balita ...........................................
3.3.3 ASI Eksklusif.........................................................................
3.3.4 Cuci Tangan Pakai Sabun...................................................
3.3.5 Jamban Sehat .....................................................................
3.3.6 Aktivitas Fisik.......................................................................
3.3.7 Konsumsi Buah dan Sayur.................................................
3.3.8 Tidak Merokok dalam Rumah ..........................................
3.3.9 Penggunaan Sumber Air Bersih........................................

viii

56
56
57
59
61
62
64
64
67
70
72
74
76
78
78
78
79
80
80
80
81
83
83
84
84
85
89
91
93
95
96
97
98

3.3.10 Memberantas Jentik Nyamuk........................................


99
3.4 Gizi .................................................................................. 100
3.5 Kesehatan Ibu dan Anak................................................. 97
3.5.1 Masa Pra Kehamilan.......................................................... 100
3.5.2 Masa Kehamilan ................................................................ 105
3.5.3 Melahirkan dan Nifas ........................................................ 108
BAB 4 KEMATIAN BAYI DAN BALITA DALAM BALUTAN MITOS,
TRADISI,DAN PERUBAHAN SOSIAL ....................................
4.1 Mitos di Desa Kalangan ..................................................
4.1.1 Tanah Wingit dan Tolak Bala ............................................
4.1.2 Simbolisme Ibu dan Kesuburan .......................................
4.1.3 Tentang Keramat dan Kematian Bayi/Balita ..................
4.1.4 Keramat Gunung Wijil .......................................................
4.2 Kasus Kematian Bayi dan Balita .....................................
4.2.1 Kasus Janin Ibu P ................................................................
4.2.2 Kasus Bayi Ibu S ..................................................................
4.2.3 Kasus balita Ibu M..............................................................
4.3 Gangguan Mistis saat Kehamilan dan/atau
setelah Melahirkan..................................................................
4.3.1 Gangguan Kehamilan ........................................................
4.3.2 Gangguan setelah Kelahiran.............................................
4.3.3 Kasus Keguguran................................................................
4.3.4 Kasus Bayi Hilang dalam Kandungan...............................
4.3.5 Kasus ASI Non Eksklusif ....................................................
4.4 Tradisi .............................................................................
4.4.1 Tradisi selametan ...........................................................
4.4.2. Kehamilan: Neloni dan Mitoni ........................................
4.4.3 Kelahiran .............................................................................
4.4.4 Khitanan..............................................................................
4.4.5 Pernikahan..........................................................................
4.4.6 Kematian.............................................................................
4.4.7 Tradisi Selametan di lingkup Masyarakat ..................
4.4.8 Tradisi Nyadran dan ruwahan ..........................................
4.4.9 Tradisi Ruwatan .................................................................
4.5 Pride and Prejudice.........................................................
4.5.1 Pride (Kebanggaan Diri) ....................................................

111
114
116
119
121
125
128
128
132
136
139
139
141
142
143
145
148
148
148
150
151
153
157
159
160
163
164
165

ix

4.5.2 Prejudice (Prasangka) ........................................................


4.6 Bloko Suto : Dramaturgi Komunal, Kuasa,
dan Perubahan Sosial ...................................................
4.6.1 Kader Posyandu..................................................................
4.6.2 Pemimpin lokal dan kerjasama lintas sektor (faksi-faksi) ......
4.6.3 Perubahan Sosial ................................................................
4.6.4 Perubahan pada Tradisi.....................................................
4.7 Implikasi Positif dan Tantangan Budaya
pada Masalah Kesehatan Ibu dan Anak .......................

166
168
169
173
176

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...................................


5.1 Kesimpulan ....................................................................
5.1.1 Potensi .................................................................................
5.1.2 Tantangan ...........................................................................
5.2 Rekomendasi .................................................................
5.2.1PeluangIntervensi Berbasis Budaya Lokal ............
Epilog : Refleksi Penelitian Etnografi Kesehatan.........................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
INDEKS ..........................................................................................
GLOSSARIUM ................................................................................
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................
TENTANG PENULIS ........................................................................

182
182
182
183
184
184
187
191
197
201
205
206

165

180

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1

Peta Kabupaten Klaten ..........................................

17

Gambar 2.2

Peta Kecamatan Pedan ..........................................

23

Gambar 2.3

Peta Desa Kalangan ................................................

39

Gambar 2.4

Pura atau Candi Untoroyono di Dukuh Nayan ......

44

Gambar 2.5

Gereja di Desa Kalangan ........................................

45

Gambar 2.6

Struktur Organisasi Pemerintah Desa Kalangan ....

51

Gambar 2.7

Motif Sekar Kurung Batik Bayat yang digunakan


untuk Upacara tujuh bulanan kehamilan (Mitoni) ......

Gambar 2.8

65

Kain Tenun Lurik Pedan yang digunakan untuk


upacara Mitoni ........................................................................

65

Proses Pembuatan Kain Tenun Lurik Pedan ..........

66

Gambar 2.10 Alat dalam Kesenian Laras Madya .........................

69

Gambar 2.11 Peralatan Kesenian Gadon Sari ..............................

71

Gambar 2.12 Kesenian Karawitan................................................

72

Gambar 2.13 Kesenian Ketoprak di Gedung Sunan Pandanaran Klaten....

73

Gambar 2.14 Kesenian Campur Sari ............................................

73

Gambar 2.15 Petani dan Pencetak Batu Bata ..............................

74

Gambar 3.1

Pembakaran Sampah yang menimbulkan Asap ....

78

Gambar 3.2

Partisipasi masyarakat di Posyandu Desa Kalangan ...

86

Gambar 3.3

Tempat Posyandu Balita yang Kurang Kondusif ....

88

Gambar 3.4

Baliho ASI Ekslusif di Klaten ...................................

90

Gambar 3.5

Tempat Cuci Tangan di Ember Hitam ....................

92

Gambar 3.6

Sumur dan Kamar mandi warga berada di depan rumah ...

93

Gambar 3.7

Warga Desa Kalangan yang BAB Sembarangan .....

94

Gambar 3.8

Sayur Pecel .............................................................

96

Gambar 2.9

xi

Gambar 3.9

Perokok di acara hajatan .......................................

97

Gambar 3.10 Menara air PAMSIMAS ..........................................

98

Gambar 4.1

Ari-ari bayi yang ditanam di samping rumah ........

Gambar 4.2

Coretan arang dan kapur pada pintu sebagai symbol


untuk tolak bala pada rumah bayi .........................

Gambar 4.3

117
118

Gelang merah dan dlingu bawang yang digunakan bayi


untuk tolak bala .....................................................

119

Gambar 4.4

Kompleks Makam Bunderrekso ............................

171

Gambar 4.5

Kompleks Makam Trokejun ...................................

172

Gambar 4.6

Kompleks Makam Mancungan ..............................

172

Gambar 4.7

Pabrik yang berada di sekitar desa ........................

175

xii

Daftar Tabel
Tabel 1.1

Perbandingan IPKM 2007 dan 2013 Kabupaten Klaten


Provinsi Jawa Tengah .............................................

Tabel 1.2

12

Data Kematian Bayi di Desa Kalangan Kecamatan Pedan


tahun 2012 sampai dengan Mei 2015 ...................

14

Tabel 2.1

Perdukuhan Desa Kalangan beserta RW dan RT ...

38

Tabel 2.2

Data Usia Perkawinan Mempelai Perempuan


Penduduk Desa Kalangan, Kecamatan Pedan,
Tahun 2014 s.d. April 2015 ....................................

41

Tabel 2.3

Jumlah Pemeluk Agama di Desa Kalangan ............

41

Tabel 3.1

Bentuk Kecacatan per Dukuh Desa Kalangan Tahun 2013..

83

Tabel 3.2

Jumlah Balita diukur dan ditimbang, Tahun 2015 .

87

Tabel 3.3

Berat Badan dan Tinggi Badan Balita A, tahun 2015............ 100

Tabel 3.4

Jumlah Kematian Bayi di Kabupaten Klaten


Tahun 2013 dan 2014 ............................................ 101

Tabel 4.1

Data Kematian Bayi di Desa Kalangan


Kecamatan Pedan tahun 2012
sampai dengan Mei 2015 ....................................... 113

xiii

PROLOG
MEMAHAMI BUDAYA KESEHATAN DALAM KONTEKS PENINGKATAN
PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
Prof.Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, MA
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia (basic
human needs) yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Hal
ini terkait erat dengan kenyataan bahwa manusia yang sehat jasmani
dan rohani akan memungkinkannya untuk melakukan peran-peran
sosial sesuai dengan statusnya di masyarakat serta dapat melanjutkan
keturunannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan, setiap
masyarakat senantiasa akan mengembangkan sistem medis yang
berisi tentang seperangkat kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan
praktik-praktik sebagai satu kesatuan yang digunakan untuk
memobilisasi berbagai sumber daya dalam rangka memelihara
kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, baik fisik
maupun rohani. Dengan demikian, sistem medis pada hakekatnya
adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam
kesatuan sistem sosial budaya (Kleinman, 1980).
Dalam setiap sistem medis, akan dijumpai adanya dua sub
sistem terkait, yaitu sistem teori penyakit atau etiologi penyakit dan
sistem perawatan kesehatan. Sistem teori penyakit atau etiologi
penyakit (etiology of illness) adalah kepercayaan tentang sebab-sebab
terjadinya suatu penyakit dan gejala-gejala/simtomatis yang
menyertainya. Menurut George Foster (1978) dalam kehidupan
masyarakat non Barat dikenal adanya dua sistem etiologi penyakit,
yaitu naturalistik dan personalistik. Tetapi menurut kategori penulis,
di Indonesia secara empiris umumnya dikenal adanya tiga jenis
penyebab/etiologi penyakit, yaitu karena pengaruh faktor alam, faktor
orang/personal, dan karena faktor supranatural. Sedangkan mengacu
pada model konseptual Rivers dalam Wellin (1977) pandangan dunia

tentang penyakit dan cara menanggulanginya, yaitu penyakit


disebabakan faktor mejik (manusia) memanipulasi berbagai kekuatan.
Praktik atau perilaku penanggulangannya melalui sorcery atau
countersorcery. Faktor religius, penyakit dipandang disebabkan oleh
kekuatan supernatural. Praktik atau perilaku penanggulangannya
dilakukan dengan ritual pengorbanan atau pertobatan. Faktor
naturalistik, penyakit dipandang disebabkan oleh proses alam atau
akibat yang berhubungan dengan fenomena alam. Praktik
penanggulangannya dilakukan secara alamiah untuk penyakit yang
spesifik, seperti luka, masuk angin, patah tulang, dan lain-lain.
Dalam sistem etiologi penyakit (illness) secara naturalistik,
sakit atau gangguan kesehatan dipandang disebabkan oleh faktor
alam atau hal-hal yang bersifat alamiah, seperti angin, hujan, panas
matahari, perubahan cuaca, makanan, emosi berlebihan, dan
sebagainya. Dalam sistem naturalistik ini, unsur pribadi sebagai agen
yang aktif tidak menjalankan peranannya. Keadaan sehat akan terjadi
manakala unsur-unsur dasar dalam tubuh manusia humor, yin dan
yang, serta dosha dalam Ayurveda berada dalam keadaan seimbang
menurut usia dan kondisi tubuh individu. Sebaliknya, apabila
keseimbangan ini terganggu dari luar maupun dari dalam oleh
kekuatan-kekuatan alam tersebut, maka terjadilah penyakit/sakit.
Sistem etiologi penyakit (illness) secara personalistik,
menjelaskan bahwa sakit atau gangguan kesehatan yang diderita
individu dipandang disebabkkan oleh agen-agen aktif atau intervensi
orang yang dengan beberapa cara sengaja menjatuhkan kekuatan
mereka atas diri para korbannya. Kekuatan tersebut bisa berupa
manusia super sebagai agen atau bukan manusia berupa benda-benda
gaib, yang dimanupulasi dan dijadikan perantara untuk menyakiti atau
membuat individu menjadi sakit. Cara untuk menanggulangi penyakit
yang bersifat personalistik adalah dengan mengembalikan (counter
personalistic) agen-agen tersebut kepada para personal yang sengaja
mengirimnya.

Berbeda dengan kedua sistem tersebut, sistem etiologi


penyakit secara supranatural memandang bahwa penyakit (illness)
disebabkan oleh kekuatan adikodrati non personal atau kekuatan
supranatural yang menimpa individu-individu, akibat mereka telah
melakukkan kesalahan tertentu, melanggar pantangan, atau
melalaikan kewajiban sosio-religius. Kekuatan supranatural tersebut
dapat berupa mahkluk-mahkluk gaib penghuni kawasan hutan,
penghuni perempatan jalan, dan para roh leluhur penghuni makam
keramat.
Sistem perawatan kesehatan (health care system) terdiri atas
sistem diagnosis atau penentuan penyebab penyakit dan tindakan
terapi atau teknik pengobatan yang digunakan. Menurut Kleinman
(1980) sistem perawatan kesehatan dapat dipandang sebagai sistem
kebudayaan karena merupakan suatu kesatuan hierarkis yang tidak
dapat dipisahkan, yang menyangkut tentang proses dan mekanisme
pengambilan keputusan keluarga dalam pemilihan sektor-sektor
pelayanan kesehatan yang tersedia (health seeking behaviour) untuk
menanggulangi berbagai penyakit yang dihadapi.
Tindakan penyembuhan secara hierarkis berkaitan erat dengan
ide tentang sebab sakit dan bentuk penggolongan penyakit, serta
pemilihan tindakan pengobatan yang dianggap tepat untuk penyakit
tersebut. Kesatuan hierarkis ini ditujukan terhadap masalah
penanggulangan gangguan kesehatan secara tepat guna. Dengan
demikian, dalam setiap sistem perawatan kesehatan, kepercayaan
tentang etiologi penyakit merupakan hal yang sangat penting, karena
azas diagnosis dalam rangka penyembuhan suatu penyakit dalam
semua sistem kesehatan selalu didasarkan pada kepercayaan tentang
sebab-sebab terjadinya penyakit tersebut (Wellin,1977; Foster dan
Anderson,1978).
Secara universal dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat
memiliki sistem kesehatan sendiri-sendiri. Sehingga dapat dimaklumi
apabila Indonesia yang terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa

dengan beraneka ragam budaya etnis, memiliki berbagai sistem


kesehatan. Masing-masing kelompok suku bangsa tersebut telah
mengembangkan sistem kesehatan mereka yang mungkin satu sama
lain memiliki banyak perbedaan maupun persamaan. Namun, pada
umumnya karakteristik sistem medis tradisional dapat dibedakan
dengan sistem medis modern yang berasal dari Barat. Perbedaan
utama dari kedua sistem tersebut dalam konteks teoritis maupun
praktis adalah pada penggolongan dan konsepsi tentang sehatsakit/penyakit (illness dan disease) dari perspektif etik dan emik.
Secara etik, sakit dipandang sebagai gangguan biologis atau fisiologis
yang dialami oleh individu akibat masuknya kuman atau unsur lain ke
dalam tubuh manusia sehingga fungsi-fungsi normal organ tubuh
individu menjadi terganggu. Penetapan kondisi sakit seseorang
bersifat obyektif mengacu pada standar medik ilmiah (nomenclature
of disease). Sebaliknya sakit secara emik (illness) ditetentukan secara
subyektif berdasarkan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang
melakukan fungsi atau peran-peran sosialnya di masyarakat. Artinya
secara empiris tidak jarang dijumpai pengalaman kasus yang
menunjukan bahwa disease tanpa illness dan sebaliknya illness tanpa
disease. Perbedaan konsepsi yang demikian kemudian sering menjadi
kendala utama bagi praktisi dalam menangani sakit seseorang, karena
mereka dibawa ke petugas kesehatan dengan kondisi yang sudah
parah.
Selain faktor tersebut, faktor lingkungan sosial budaya dan
perilaku menjadi determinan penting terhadap derajat kesehatan
masyarakat. Menurut Bloom dalam Koentjaraningrat dan Loedin
(1985), ada empat faktor yang menentukan derajat kesehatan
individu, yaitu faktor keturunan, faktor pelayanan kesehatan, faktor
lingkungan fisik dan ekonomi, sosial budaya, dan faktor perilaku. Dari
ke empat faktor tersebut, faktor lingkungan dan perilaku memiliki
pengaruh yang paling besar. Mengacu pada model Bio-ecology
perilaku kesehatan Frederick L. Dunn (dalam Landy, 1977), terdapat
empat kategori perilaku yang berpotensi menguntungkan atau

merugikan kesehatan individu maupun masyarakat, sebagaimana


yang masih umum dijumpai di banyak suku bangsa di Indonesia.
Pertama, yaitu perilaku sadar yang menguntungkan kesehatan. Kedua
perilaku sadar yang merugikan kesehatan. Ketiga perilaku tidak
disadari menguntungkan kesehatan, dan keempat adalah perilaku
yang tidak disadari atau ketidaktahuan merugikan kesehatan.
Lingkup sosial budaya dalam konteks sehat-sakit, selain
menyangkut tentang nilai, kepercayaan, norma-norma umum dan
peran atau perilaku sosial, juga menyangkut tentang mitos-mitos atau
cerita-cerita tentang tokoh dewa, tokoh orang, roh-roh atau tempat
keramat yang dipercaya dan diwariskan oleh nenek moyang, yang
ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat dekat bagi kehidupan
manusia serta lingkungannya. Mitos atau cerita tersebut kemudian
dijadikan teladan atau pedoman dalam kehidupan kolektifnya. Dalam
konteks upaya memahami fenomena Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
pada komunitas Jawa, di wilayah Desa Kalangan, Kecamatan Pedan,
Kabupaten Klaten, keberadaan dan hubungan mitos-mitos atau ceritacerita tersebut dengan kejadian kematian bayi dan Balita di wilayah ini
tidak bisa diabaikan, bahkan bisa jadi merupakan faktor determinan
yang penting.
Berdasarkan asumsi teoritis dan konseptual tersebut, buku
yang mengambil tema Kematian Bayi dan Balita dalam Balutan Mitos,
Tradisi, dan Perubahan Sosial ini merupakan rekonstruksi hasil
penelitian Etnografi Budaya Kesehatan di Desa Kalangan, Kecamatan
Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Sesuai dengan tujuan
penelitian, isi fokus bahasan buku ini lebih mengarah pada dimensi
sosio-budaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Buku ini terdiri atas lima
bab dengan karakteristik pembahasan yang berbeda, namun tetap
terkait menjadi kesatuan yang holistik.
Bab pertama memuat tentang: 1) latar belakang dan
rasionalitas pemilihan tema buku ini dikaitkan dengan masalah
Kesehatan Ibu Anak (KIA) di Indonesia yang menyangkut aspek

tingginya angka-angka kematian bayi, Balita, masalah Bayi Berat Lahir


Rendah (BBLR), anemia ibu hamil, kematian ibu melahirkan dan
permasalahan kesehatan lainnya; 2) tujuan penelitian, metode
pendekatan dan analisis penelitian, 3) alasan menetapkan Desa
Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten sebagai lokus dan
setting penelitian.
Bab ke dua membahas tentang gambaran umum Desa
Kalangan sebagai setting penelitian, yang menyangkut aspek-aspek
lokasi, geo-topografi, administratif, demografis dan sejarah singkat
Kabupaten Klaten, Kecamatan Pedan, dan Desa Kalangan. Demografis
pembahasan mengenai Desa Kalangan lebih difokuskan pada tujuh
unsur kebudayaan dikaitkan dengan perilaku kesehatan masyarakat
Desa Kalangan. Tujuh unsur kebudayaan ini yaitu sistem religi dan
kepercayaan, sistem organisasi sosial, sisten kekerabatan, sistem
pengetahuan tentang kesehatan, sistem bahasa, sistem kesenian,
sistem mata pencaharian dan sistem teknologi.
Bab ke tiga membahas tentang gambaran kesehatan
masyarakat Desa Kalangan, secara umum maupun khusus.
Pembahasan khusus menyangkut kesehatan ibu anak (KIA) dari masa
prakehamilan, masa kehamilan, melahirkan dan nifas. Pembahasan
umum meliputi perilaku kesehatan preventif dan kuratif pada
penyakit tidak menular dan tidak menular, aksesibilitas pelayanan
kesehatan formal dan tradisional, dan perilaku pencarian pengobatan
(health seeking behavior) penduduk Desa Kalangan.
Bab ke empat sebagai bagian inti isi buku ini membahas
tentang fenomena kematian bayi dan Balita dalam balutan Mitos,
Tradisi, dan Perubahan sosial di Desa Kalangan. Dalam bab ini
pembahasan pertama tentang mitos dalam konteks kesehatan
kehamilan, kematian, keberuntungan dan musibah. Berikutnya
dibahas tentang gangguan
kehamilan dan pascapersalinan,
keguguran, bayi hilang, ASI eksklusif, dilanjutkan dengan pembahasan
tentang tradisi slametan dalam siklus hidup manusia dan alam. Bagian

berikutnya tema besar yaitu dramaturgi komunal, kuasa dan


perubahan sosial, dilanjutkan dengan pembahasan tentang potensi
dan kendala dalam konteks Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Bab ke lima merupakan bagian akhir isi buku berupa
kesimpulan dan rekomendasi. Pada bagian ini digambarkan tentang
potensi dan kendala sosial budaya yang ditemukan di Desa Kalangan
dalam hubungannya dengan kesehatan ibu anak (KIA). Dilanjutkan
dengan refleksi dan batasan penelitian, serta tantangan dan harapan
penulis akan kebermanfaatan buku ini bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Sebagai akhir kata dari prolog buku ini, penulis mengucapkan
selamat membaca dan menyimak isi buku ini. Semoga tulisan ini
dapat menambah wawasan dan pemahaman khalayak umum dan
praktisi medis menganai keterkaitan dan pengaruh penting dimensi
sosial budaya terhadap masalah kesehatan dalam masyarakat.

BAB 1
PENDAHULUAN
Pandangan tentang penyakit, kesehatan, dan perawatan
kesehatan adalah kenyataan yang ada pada masyarakat manusia.
Namun pemahaman atau persepsi mengenai penyakit dan cara
perawatannya berbeda dari kelompok sosial satu dengan kelompok
sosial lainnya. Hal ini terkait dengan budaya dalam suatu kelompok
masyarakat, apakah mereka tinggal di perdesaan ataupun di
perkotaan, di daerah pegunungan atau dataran, suku dan adat
kebiasaan yang berbeda-beda akan berbeda pula dalam
pemahamannya. Budaya merupakan sistem makna simbolik. Seperti
dalam bahasa, kebudayaan memiliki sistem semiotik yang
mengandung simbol-simbol yang berfungsi untuk mengkomunikasikan
makna dari pikiran orang ke pikiran orang-orang yang lain. Simbol dan
makna budaya menurut Geertz (1992) tidak berada dalam pikiran
individu-individu dalam masyarakat, namun berada di antara individuindividu yang dimaksud, bersama-sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial
sebagai kenyataan publik bukan pribadi (Kalangie, 1994). Demikian
halnya dalam pemahaman suatu masyarakat terkait dengan kejadian
kematian bayi dan balita (bawah lima tahun) yang terjadi dalam
kelompoknya, akan berbeda apa yang dipahami masyarakat dengan
apa yang secara medis atau kesehatan bisa dijelaskan sebabnya.
Namun tingginya angka kematian bayi dan Balita di Indonesia tidak
menutup kemungkinan adanya gap budaya di dalamnya.
Angka kematian Bayi dan Balita di Indonesia masih tinggi.
Penyebab utama kematian pada bayi dan balita menurut pandangan
medis terutama masalah neonatal adalah kelahiran prematur, asfiksia,
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), infeksi, penyakit infeksi (Diare,
Pneumonia, Malaria, Campak) dan masalah gizi (gizi kurang dan gizi
buruk) (Fitriyanti, dkk, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, kematian bayi terbanyak di Indonesia
disebabkan oleh diare (42%) dan pneumonia (24%), sedangkan

penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2%), pneumonia


(15,5%) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) (6,8 %) (Badan
Litbangkes, 2007).
Faktor kesehatan bayi dan balita tidak terlepas dari masalah
gizi, cakupan imunisasi lengkap dan pemantauan pada saat kehamilan.
Berdasarkan pebandingan data Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013,
prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) di Indonesia
memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007)
menurun menjadi 17,9 persen (2010) kemudian meningkat lagi
menjadi 19,6 persen (2013). Prevalensi bayi dengan Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia berkurang dari 11,1 persen (2010)
menjadi 10,2 persen (2013) (Badan Litbangkes, 2013).
Cakupan imunisasi lengkap di Indonesia menunjukkan
perbaikan dari 41,6 persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan
tetapi masih dijumpai 32,1 persen diimunisasi tapi tidak lengkap, serta
8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas,
sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak
tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Program pelayanan
kesehatan anak di Indonesia yang juga membaik adalah kunjungan
neonatus (KN) lengkap meningkat dari 31,8 persen (2007) menjadi
39,3 persen (2013). Cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk anak
balita meningkat dari 71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen (2013).
Menyusui hanya ASI saja dalam 24 jam terakhir pada bayi umur 6
bulan meningkat dari 15,3 persen (2010) menjadi 30,2 persen (2013),
demikian juga inisiasi menyusu dini <1 jam meningkat dari 29,3 persen
(2010) menjadi 34,5 persen (2013) (Badan Litbangkes, 2013).
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua
ibu hamil untuk mengetahui pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.
Data Riskesdas 2013 menyajikan 95,4 persen ibu hamil di Indonesia
sudah melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali (K1).
Sedangkan untuk pemeriksaan kehamilan dengan frekuensi minimal 4

10

kali selama masa kehamilan mencapai 83,5 persen (Badan Litbangkes,


2013).
Cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester
pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi Ante Natal Care (ANC) 1,12 atau K4 (minimal 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada
trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester 3) sebesar 70,4
persen. Tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan ANC
adalah bidan (88%) dan tempat pelayanan ANC paling banyak
diberikan di praktek bidan (52,5%). Konsumsi zat besi selama hamil
ditemukan sebesar 89,1 persen.
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap
masalah kegawatdaruratan persalinan, sehingga sangat diharapkan
persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas 2013,
persalinan di fasilitas kesehatan adalah 70,4 persen dan masih
terdapat 29,6 persen di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter umum dan
bidan) mencapai 87,1 persen, namun masih bervariasi antar provinsi.
Pelayanan kesehatan masa nifas dimulai dari 6 jam sampai 42
hari setelah melahirkan. Terdapat 81,9 persen ibu bersalin yang
mendapat pelayanan nifas pertama pada periode 6 jam sampai 3 hari
setelah melahirkan (KF1), periode 7 sampai 28 hari setelah melahirkan
(KF2) sebesar 51,8 persen dan periode 29 sampai 42 hari setelah
melahirkan (KF3) 43,4 persen. Akan tetapi angka nasional untuk KF
lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang
mendapat pelayanan KB pasca bersalin mencapai 59,6 persen (Badan
Llitbangkes, 2013).
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa proporsi
pemeriksaan kehamilan dengan periode kehamilan 1 Januari 2010
sampai tahun 2013 dan cakupan ANC di Kabupaten Klaten sudah
mencapai 100 persen, sementara di Provinsi Jawa Tengah masih
mencapai 99 persen, ada 1 persen yang tidak melakukan ANC.
Kabupaten Klaten dengan cakupan ANC untuk K1 ideal (ANC pertama

11

kali pada trimester 1) mencapai 93,4 persen, ANC K4 (ANC 1-1-2 yaitu
frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester satu, minimal 1 kali pada
trimester dua dan minimal dua kali pada trimester tiga) sebesar 90,6
persen, dan ANC 4x (Frekuensi ANC sebanyak minimal empat kali
selama kehamilan tanpa memperhatikan periode umur kandungan)
sebesar 93,8 persen. Provinsi Jawa Tengah sendiri cakupan ANC untuk
K1 ideal (ANC pertama kali pada trimester 1) mencapai 86,6persen,
ANC K4 (ANC 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester
satu, minimal 1 kali pada trimester dua dan minimal dua kali pada
trimester tiga) sebesar 79,7 persen, dan ANC 4x (Frekuensi ANC
sebanyak minimal empat kali selama kehamilan tanpa memperhatikan
periode umur kandungan) sebesar 92,0 persen (Badan Litbangkes,
2013).
Proporsi Tenaga yang memberi pelayanan ANC di Kabupaten
Klaten adalah dokter kebidanan dan kandungan sebesar 10,6 persen,
dan 89,5 persen adalah bidan (Badan Litbangkes, 2013). Data ini
menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan ibu hamil (ANC) di
Kabupaten Klaten sudah maksimal, dan pemeriksaan sudah
sepenuhnya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten.
Namun dari data yang ada masih menyisakan permasalahan
kesehatan yang cukup besar bagi Kabupaten Klaten dikarenakan
masih tingginya angka kejadian kematian bayi dan balita di Kabupaten
Klaten (Badan Litbangkes, 2013).
Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) perbandingan tahun 2007-2013, Kabupaten Klaten mengalami
penurunan yaitu berada di rangking 23 dari 35 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan berdasarkan pengembangan tahun
2013 juga mengalami penurunan, berada di rangking 21 dari 35
kabupaten/kota, dan berada di rangking 124 dari seluruh
kabupaten/kota di Indonesia, seperti data yang ada pada tabel 1.1
berikut:

12

Tabel 1.1 Perbandingan IPKM 2007 dan 2013 Kabupaten Klaten


Provinsi Jawa Tengah
IPKM
2007

IPKM Peru
2013 bahan
skor

Pering
kat
2007

Pering Perubahan Peringkat


kat
peringkat
pengem
2013
bangan
2013

0.5764 0.7516 Naik


118
48
Naik
124
Sumber : IPKM 2013, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes RI
Buku ini ditulis berdasarkan hasil Riset Etnografi Kesehatan
yang dilakukan pada tahun 2015. Tujuan penelitian adalah untuk: (1)
Mengetahui dan mendeskripsi dimensi sosial-budaya terkait dengan
masalah kematian bayi dan balita pada etnik Jawa di Desa Kalangan,
Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, dan (2)
Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk
penyelesaian masalah kematian bayi dan kematian balita di Desa
Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi penelitian difokuskan di Desa Kalangan, Kecamatan
Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Klaten
diambil sebagai lokus penelitian budaya kesehatan adalah dengan
justifikasi bahwa Kabupaten Klaten merupakan daerah lokus utama
pembangunan kesehatan nasional dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Fokus utama pembangunan kesehatan Kabupaten
Klaten adalah peningkatan kesehatan ibu dan anak. Fokus tersebut
sesuai dengan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk
menurunkan angka kematian bayi (tujuan MDGs yang ke 4 dan 5 dari
8 tujuan yaitu child and maternal health). Target MDGs 2015 yaitu
mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5
tahun, dan meningkatkan kesehatan ibu, dengan target untuk 2015
mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan
(UN, 2010).
Tahun 2015 ini, program MDGs sudah masuk ke era post MDGs,
dengan lebih fokus pada upaya menyelamatkan anak-anak yang

13

mengarah pada kesetaraan, partisipasi, perlindungan, akuntabilitas,


dan kebersinambungan pada peraturan yang jelas dan tanggung
jawab semua pihak, termasuk di dalamnya adalah dari sektor swasta
(Save the Children, 2012).
equity, participation, protection, accountability and
sustainability, as well as clear roles and responsibilities
for all actors, including the private sector.
Sementara itu, jumlah kematian bayi dan balita di Kabupaten
Klaten masih tinggi. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Klaten,
pada tahun 2014 ada 191 kasus kematian bayi, dan pada tahun 2013
ada 170 kasus kematian bayi. Kecamatan Pedan merupakan daerah
dengan kasus kematian bayi tertinggi di Kabupaten Klaten, dengan 22
kasus pada tahun 2014.
Dari 22 kasus tersebut, Desa Kalangan merupakan desa dengan
kasus kematian bayi dan balita tertinggi di Kecamatan Pedan, dengan
3 kasus sepanjang tahun 2014. Berdasarkan informasi Bidan desa,
pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei, di Desa
Kalangan telah terjadi dua (2) kematian bayi. Gambaran jumlah
kematian bayi dan balita di Desa Kalangan dari tahun 2012-2015
adalah sebagai berikut:
Tabel 1.2
Tahun
2012

2013
2014

14

Data Kematian Bayi di Desa Kalangan Kecamatan Pedan


tahun 2012 sampai dengan Mei 2015
Jenis Kelamin
Identitas
Usia
Penyebab/Diagnosa
Anak
By. Ny. B 1 Laki-laki
IUFD
By. Ny. B 2 Laki-laki
2 hari
BBLR
By.Ny.P
Perempuan 4 hari
Prematur
By.Ny.S
Perempuan 3 hari
Aspexia
By.Ny.W
Perempuan 5 hari
Prematur, ibu HT
By. Ny. Sw
Laki-laki
1 hari
Kelainan Jantung
By.Ny.P
Perempuan IUFD
Anak S
Laki-laki
18
Kelainan Jantung

bulan
Bawaan
2015 Bayi Ny.X
Laki-laki
IUFD
Bayi Ny. Y
IUFD
Sumber: Laporan Puskesmas Pembantu Desa Kalangan tahun 20122015
Berdasarkan kondisi obyektif tersebut di atas, maka Desa
Kalangan Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
dijadikan lokus penelitian etnografi kesehatan.
Penelitian etnografi kesehatan ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif adalah
dengan cara wawancara mendalam (indeepth interview), observasi
partisipatif, dan analisis dokumen. Observasi partisipatif adalah
pengamatan dengan cara hidup dan tinggal bersama masyarakat
selama 30 (tiga puluh) hari di lokasi. Analisis dokumen terkait
penelitian diambil dari wilayah penelitian berupa laporan profil desa,
profil kecamatan, dan profil kesehatan Kabupaten Klaten. Selain itu
juga menggunakan data literatur dalam bentuk buku cetak dan file
media yang bersumber dari internet.
Proses analisis data lapangan dilakukan secara triangulasi
melalui tiga tahapan, yaitu reduksi, pemaparan (display), dan
penarikan simpulan serta verifikasi (Miles dan Haberman, 1992). Tiga
tahapan proses analisis data dilakukan secara berkesinambungan,
dengan cara mencocokkan kebenaran dan keabsahan data dari
sumber informan satu dengan yang lain, meminta pendapat dari para
pakar, dan juga merujuk kepada teori, konsep, literatur dan hasil
penelitian lain yang relevan. Cara tersebut diambil untuk menjaga
validitas dan realibilitas data.
Batasan penelitian etnografi kesehatan ini adalah waktu
penelitian di lapangan yaitu hanya 30 (tiga puluh) hari, sehingga
penelitian ini belum bisa mengungkap keseluruhan unsur dan makna
perilaku budaya masyarakat setempat. Keterbatasan waktu juga
menyebabkan peneliti tidak bisa mengikuti siklus kehidupan, siklus

15

musim dan kejadian-kejadian tertentu yang terkait dengan fokus


penelitian.
Sistematika penulisan dari buku ini dibagi menjadi 7 bagian.
Pertama diawali dengan prolog yang berisi tentang pengantar dari ahli
antropologi kesehatan terkait tema permasalahan tentang kematian
bayi-balita dalam konteks budaya setempat. Bab 1 berupa
pendahuluan yang memuat tentang latar belakang dari penulisan
buku ini. Menjelaskan mengapa faktor budaya penting untuk dikaji
dalam kaitannya dengan tingkat kesehatan masyarakat. Bab 2 berisi
tentang gambaran umum wilayah dan kondisi budaya masyarakat
yang dibahas dalam unsur-unsur kebudayaan. Bab 3 berisi tentang
gambaran kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan. Bab 4
memuat tentang pembahasan dan analisis keterkaitan aspek sosialbudaya dengan permasalahan kesehatan dalam hal ini adalah
kematian bayi dan balita di dalam suatu komunitas, dan bab 5
memuat kesimpulan dan rekomendasi yang berupa masukan yang
dapat digunakan untuk intervensi kesehatan berbasis budaya lokal.
Bagian terakhir isi buku ini adalah epilog yang memuat tentang
refleksi hasil penelitian dan penulisan etnografi kesehatan, dan
ucapan terima kasih yang ditujukan kepada berbagai pihak yang turut
berperan dalam membantu proses penelitian dan penulisan buku ini.

16

BAB 2
DESA KALANGAN DALAM KONTEKS BUDAYA
Desa Kalangan secara administratif termasuk wilayah
Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Pembahasan mengenai Desa Kalangan tidak bisa terlepas dari
pembahasan tentang Kecamatan Pedan dan Kabupaten Klaten itu
sendiri. Kabupaten Klaten terletak antara 1100 261 1411 1100 471 5111
Bujur Timur dan 70 321 1911 70 481 3311 Lintang Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Klaten adalah 655,56 km2. Secara administratif Kabupaten
Klaten terbagi ke dalam 26 kecamatan, 391 Desa dan 103 Kelurahan
dengan jumlah penduduk sekitar 1.345.871 jiwa (Dinas Kesehatan
Kabupaten Klaten, 2014).
Klaten merupakan daerah penyangga dua kota besar yakni
Surakarta (Solo) di wilayah timur dan Yogyakarta di wilayah barat.
Batas-batas wilayah Klaten yaitu: di bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), sebelah timur Kabupaten
Sukoharjo (Jawa Tengah), sebelah barat Kabupaten Sleman (DI
Yogyakarta), dan sebelah selatan Kabupaten Gunung Kidul (DI
Yogyakarta) (Provinsi Jawa Tengah, 2015).

Gambar 2.1 Peta


Kabupaten Klaten
Sumber: KPDE Kabupaten
Klaten 2014

17

Nama Ibukota Kabupaten Klaten adalah Klaten. Letak Ibukota


kabupaten ini berada di jalur utama Solo-Yogyakarta (Provinsi Jawa
Tengah, 2015).
Secara administratif wilayah Kota Klaten terbagi atas tiga
kecamatan yaitu Klaten Utara, Klaten Tengah, dan Klaten Selatan. Kota
Klaten dulunya merupakan Kota Administratif, tetapi sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif, dan
Klaten kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Klaten.
Topografi Kabupaten Klaten terletak di antara Gunung Merapi
dan Pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75 hingga 160
meter di atas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah Lereng
Gunung Merapi di bagian utara, wilayah datar di bagian tengah, dan
berbukit di bagian selatan.
Jika ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Klaten terdiri dari
dataran dan pegunungan yang berada pada ketinggian bervariasi,
yaitu 9,72 persen terletak di ketinggian 0-100 meter dari permukaan
air laut. 77,52 persen terletak di ketinggian 100--500 meter dari
permukaan air laut dan 12,76 persen terletak di ketinggian 500-1.000
meter dari permukaan air laut.
Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan
musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun. Temperatur
udara rata-rata 28-30 derajat Celsius dengan kecepatan angin ratarata relatif rendah. Curah hujan rata-rata sekittar 179 milimeter setiap
bulannya, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari
(350 mm) dan curah hujan terendah pada bulan Juli (8 mm).
2.1 Sejarah
2.1.1 Sejarah Klaten
Tidak banyak sumber yang menjelaskan mengenai sejarah
Klaten. Namun dari situs-situs sejarah dan monumen yang ada di

18

Klaten dan sekitarnya menunjukkan bahwa Kabupaten Klaten


merupakan daerah yang penting dalam perkembangan sejarah Klaten
maupun keberadaan Raja-Raja di Jawa dan kekuasaan Kolonial di
Jawa.
Klaten berada ditengah-tengah pengaruh besar dua kerajaan
Jawa yang terpecah dua (2) pada masa kolonial Belanda, yakni Solo
dan Yogyakarta. Menurut perjanjian Giyanti, wilayah Klaten pada
masa itu masuk dalam wilayah Kraton Surakarta. Pada masa kolonial
Belanda, Klaten merupakan daerah yang strategis dijadikan tempat
untuk memata-matai gerak gerik perpolitikan kedua kerajaan Solo dan
Yogyakarta. Klaten juga strategis dalam perkebunan baik itu padi, tebu
dan tembakau. Tercatat pada masa kolonial Belanda ada 9 pabrik gula
di Klaten yaitu Jungkare, Gondang Winangun, Gondang Wedi, Ceper,
Kapitu, Kemuda, Delanggu, Junggrangan dan Sepuluh.
Ada dua versi yang menyebut tentang asal mula nama Klaten.
Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata "kelati"
atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi
Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena
kesuburannya.
Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kata Melati. Kata
Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati
dan untuk memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata
Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orang tua sebagaimana
dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian
Ortakala Setda Kabupaten Dati II Klaten Tahun 1992/1993.
Melati adalah nama seorang kiai yang pada kurang lebih 560
tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan
belantara. Kiai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kiai Melati,
menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang
tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang
sekarang.

19

Dukuh tempat tinggal Kiai Melati oleh masyarakat setempat


lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian dari
nama Kiai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang
menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah
Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kiai Melati dimakamkan.
Kiai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan sakti.
Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan
perampok. Setelah meninggal dunia, Kiai Melati dikuburkan di dekat
tempat tinggalnya. Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih
menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat
menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan
peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah
Kabupaten Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan
daerah otonom tahun 1950.
Daerah Kabupaten Klaten semula adalah bekas daerah
swapraja Surakarta. Kasunanan Surakarta terdiri dari beberapa daerah
yang merupakan suatu kabupaten. Setiap kabupaten terdiri atas
beberapa distrik. Susunan penguasa kabupaten terdiri dari Bupati,
Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri
Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik, dan
Langsir.
Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang),
Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik
Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang). Pada zaman penjajahan
Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan susunan penguasa di
Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura, semua provinsi
dibagi atas kabupaten-kabupaten, dan kabupaten terbagi atas distrikdistrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang Wedono.
Pada tahun 1847 bentuk kabupaten diubah menjadi
Kabupaten Polisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Polisi
adalah di samping Kabupaten itu menjalankan fungsi pemerintahan,

20

ditugaskan pula agar dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan


ditentukan batas-batas kekuasaan wilayahnya.
Pada saat ini, Kabupaten Klaten di periode tahun 2010-2015
dipimpin oleh Bupati Sunarna dan Wakil Bupati Sri Hartini yang
memiliki visi untuk mewujudkan Klaten yang "Toto Titi Tentrem Kerto
Raharjo". Sedangkan misi Kabupaten Klaten adalah mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (wareg, wasis, wisma, dan
wutuh).
Makna dari visi dan misi Kabupaten Klaten adalah sebagai
berikut:
1. TOTO TITI: terwujudnya tatanan kehidupan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan sosial yang harmonis,
kehidupan perekonomian yang dinamis, kehidupan politik yang
demokratis dan kondusif serta menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan kepemerintahan yang menerap-kan 10 prinsip Tata
Pemerintahan yang Baik dan bersih (Good Governance dan Clean
Goverment)
meliputi:
Partisipasi,
Penegakan
Hukum,
Transparansi, Kesetaraan, Daya tanggap, Wawasan kedepan,
Akuntabilitas,
Pengawasan,
Efisiensi
dan
Efektivitas,
Profesionalisme.
2. TENTREM: Klaten yang tentrem merupakan terwujudnya tatanan
kehidupan yang aman dan damai sebagai prasyarat bagi
berlangsungnya pembangunan yang merupakan proses dalam
rangka mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan sejahtera.
3. KERTORAHARJO: Klaten yang kerto raharjo merupakan
terwujudnya tatanan kehidupan yang sejahtera, tercukupinya
kebutuhan material dan spiritual dalam naungan rahmat dan
ridho Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk mewujudkan visi tersebut dijabarkan dalam misi sebagai
berikut:
1. WAREG dalam arti terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi
bagi rakyat secara menyeluruh.

21

2.

3.

4.

5.

WARAS dalam arti terpenuhinya tingkat kesehatan masyarakat


yang lebih bermutu dan meningkatnya angka harapan hidup
masyarakat Klaten.
WASIS dalam arti terwujudnya pendidikan yang lebih bermutu
dan terjangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat sehingga
secara signifikan akan mendorong terwujudnya kualitas sumber
daya manusia yang cerdas, terampil dan berwatak.
WUTUH dalam arti terpenuhinya kebutuhan sandang dengan
segala manifestasinya bagi masyarakat sehingga semakin mampu
mewujudkan tingkat peradaban yang lebih baik.
WISMA dalam arti terpenuhinya papan/perumahan yang lebih
layak dan semakin bermutu serta dapat terjangkau keseluruhan
lapisan masyarakat, baik diwilayah perkotaan dan pedesaan serta
didukung oleh terwujudnya lingkungan yang sehat, tertata dan
BERSINAR (Bersih, Sehat, Indah, Nyaman dan Rapi).

Selain itu, misi Kabupaten Klaten yakni juga mengupayakan


rasa aman lahir dan batin serta tercukupinya kebutuhan materiil dan
spiritual, serta meningkatkan keimanan, ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, meningkatkan partisipasi masyarakat dan
penghargaan serta aktualisasi diri dalam pembangunan,
menumbuhkan kehidupan perekonomian yang dinamis dengan
menumbuhkan kehidupan perekonomian rakyat yang berbasis
sumber daya lokal, menjaga kelestarian hidup, serta mengurangi
kemiskinan.
Penerapan keutamaan gender dalam berbagai fungsi
pemerintahan, mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak
pelaku pembangunan, mewujudkan tata pemerintahan yang baik yang
didukung sumber daya yang memadai, dan mendorong otonomi desa
dan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan (Provinsi Jawa
Tengah, 2015).

22

2.1.2 Sejarah Pedan


Pedan adalah salah satu dari 26 kecamatan yang ada di
Kabupaten Klaten. Terletak di sisi Timur dari kota Klaten, Kecamatan
Pedan berbatasan langsung dengan Kecamatan Ceper dan Trucuk
(Barat), Kecamatan Karangdowo (Timur), Kecamatan Cawas (Selatan),
dan Kecamatan Juwiring dan Delanggu (Utara). Dari ibukota
Kabupaten Klaten, Kecamatan Pedan dapat ditempuh selama 30-45
menit berkendara.

Gambar 2.2 Peta Kecamatan Pedan


Sumber: Dokumen Penelitian 2015
Terkait sejarah, masih sedikit orang yang mengetahui tentang
sejarah Pedan. Pada tingkat kecamatan tidak didapati cerita mengenai
asal muasal nama Pedan itu sendiri. Seperti masyarakat yang
kehilangan akar sejarahnya, bisa diasumsikan bahwa sejarah itu
terlalu pahit dan tidak akan diceritakan ke generasi-generasi
berikutnya. Menurut keterangan dari salah satu warga yang semasa
23

muda hidup di Klaten, Bapak H (70 tahun) mengenal Pedan sebagai


wilayah yang makmur, dengan penuturan sebagai berikut:
Pedan itu jaya sebelum tahun 1965, saya masih ingat dulu
banyak orang kaya di sana. Dulu merupakan kecamatan
yang hebat. Ada pemuda drumband dari Pedan dengan
pakaian yang keren. Waktu saya muda dulu kalau melihat
pakaian orang Pedan kelihatan keren. Bahannya bagusbagus. Terkenal dengan produksi kain dan tenun lurik.
Namun perekonomian meredup setelah 1965. Masa PKI
membuat semuanya hancur. Selain itu ditutupnya pabrik
gula juga membuat banyak perkebunan tebu tidak berjalan
dengan baik.
Sebuah nama tidak akan muncul begitu saja tanpa ada
sejarahnya, demikian halnya dengan nama Pedan sebagai nama
suatu wilayah di salah satu Kabupaten Klaten. Penelusuran dari
berbagai sumber terkait nama Pedan didapatkan bahwa kata Pedan
terkait dengan peperangan yang terjadi pada masa Majapahit.
Pedan berasal dari kata Pepedan, yang merupakan sebutan
dari nama perang terakhir yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit
diakhir keruntuhannya. Perang Pepedan adalah perang antara
kerajaan Majapahit dengan kerajaan Demak pada masa akhir kerajaan
Majapahit sekitar abad 16. Pada saat akhir kerajaan Majapahit
diindikasikan banyak pelarian Majapahit yang masih beragama Hindu
bersembunyi di sekitar wilayah Gunung Kidul dan Boyolali. Letak
wilayah Pedan sendiri merupakan dataran rendah, tanah datar yang
berada di antara kedua wilayah tersebut. Bisa diasumsikan bahwa
peperangan tersebut terjadi di wilayah yang sekarang ini adalah
Kecamatan Pedan.
Dalam penanggalan kalender Hindu Bali, kata Pepedan
merupakan bagian dari penanggalan hari baik untuk membajak,
memetik, memotong alang-alang atau baik untuk membuka lahan
pertanian baru, tidak baik untuk membuat peralatan dari besi

24

(Kalenderbali.org, 2015). Hal ini berkaitan dengan daerah persawahan


atau perkebunan dan tanah yang luas.
2.1.3 Sejarah Desa Kalangan
Salah satu Desa dengan wilayah yang luas dan jumlah
penduduk yang besar adalah Desa Kalangan. Sejarah Desa Kalangan
sendiri tidak bisa lepas dari sejarah Klaten secara umum. Dari data
desa hanya didapatkan sejarah sekilas mengenai pejabat kepala desa
yang pernah memimpin Desa Kalangan.
Desa Kalangan adalah sebuah wilayah di bawah kepemimpinan
Kasunanan Surakarta. Raja Surakarta, mengangkat seorang pemimpin
desa bernama Karso Pawiro dan seorang carik bernama Danu, untuk
menjalankan pemerintahan di suatu wilayah yang di sebut Desa
Kalangan. Karso Pawiro tinggal dan menetap di Dukuh Gebungan RW
01 yang rumah kediamannya juga dipakai sebagai kantor desa, karena
Bapak Karso Pawiro dulu adalah seorang abdi dalem di Kraton
Surakarta. Oleh karena Kasunanan Surakarta percaya kepada Bapak
Karso Pawiro sebagai abdi dalem yang setia, maka dia di angkat
sebagai kepala desa pertama di Desa Kalangan. Selain Baapak Karso,
beberapa nama kepala desa yang pernah menjabat dari awal hingga
tahun 2015 adalah sebagai: (1) Karso Pawiro, (2) Harjo Darsono, (3)
Suwandi Sastro Hardoyo, (4) Sulardi Cipto Harjono, dan (5) Fakhrudin
Ali Ahmad (RPJM Desa Kalangan, 2013).
Berdasar penelusuran informasi melalui cerita-cerita dari
warga setempat terkait dengan pembangunan dan peran kepala desa
di Desa Kalangan,sebagaimana diceritakan oleh Bapak S (80 tahun)
berikut ini:
Lurah niku riyin pak Karso durung model koyo sak niki,
bangunan mboten wonten. Kantore nggih teng omah
piyambak. Sing damel bangunan niki lurah mancungan
arjo darsono. Mpun bangun SD. Riyin SR teng omah-omah
sekolahe. Bare pak Arjo mboten wonten bangunan-

25

bangunan maleh. Mbah Karso tahun 60 an, 66 jek dadi


lurah. Awak dewe lulus SD isih dados lurah. Lurahe mboten
saget nulis. Tiyang gebungan jiworagan...Ketingal
bangunan niku pak arjo darsono. Tinggale kebunan
mboten didum anak turune, emoh tenan. Lurah paling
mlarat nggih pak Arjo Darsono niku. Jan mikir rakyate
tenan
(lurah disini dulu jaman Pak Karso belum ada bangunan
seperti sekarang ini, kantornya berada di rumahnya
sendiri. Yang membuat bangunan kantor desa dan sekolah
dasar ketika jaman lurah Arjo yang asalnya dari
Mancungan. Jaman dulu sekolah SR sekolahnya di rumahrumah. Sesudah pak Arjo belum ada yang membangun
lagi. Jaman mbah Karso itu tahun 1960-an, tahun 1966
masih jadi lurah. Saya lulus SR masih jadi lurah. Dulu
lurahnya tidak bisa menulis. Mbah Karso orang Gebungan
Jiworagan...baru ada bangunan-bangunan itu saat pak
Arjo. Peninggalan kebun tidak dibagi ke anak
keturunannya, tidak mau sama sekali.Pak Arjo lurah paling
miskin, memikirkan warganya)
Sejarah Desa Kalangan merupakan bagian dari sejarah Pedan
dan Klaten secara keseluruhan. Sejarah panjang desa masih terekam
pada situs-situs makam desa dan banyaknya petilasan kuno di sekitar
wilayah Klaten.
Tercatat dalam sejarah bahwa Kalangan, Pedan, dan Klaten
memiliki lintasan sejarah yang cukup panjang. Tanah Klaten sudah ada
pada masa Majapahit akhir, Kesultanan Demak, Kerajaan Pajang,
Mataram Islam, Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Pada masa kolonial Belanda dan masa penjajahan
Jepang, daerah Pedan dan Kalangan merupakan tempat yang
strategis, dikarenakan merupakan dataran yang sangat luas. Pada
masa itu Jepang pernah berencana membuat sebuah lapangan

26

terbang di wilayah ini dengan mengerahkan penduduk untuk


melakukan kerja paksa. Namun rencana tersebut belum terwujud,
seperti diungkapkan oleh Bapak R (55 tahun) yang mengetahui
mengenai sejarah Pedan dan Kalangan berikut ini:
(Masa penjajahan) Jaman Jepang, (rencana) membuat
lapangan terbang. Kalangan itu luas, hutan. Mau dibangun
lapangan terbang. Tapi Jepang (menjajah hanya) 3,5 tahun
di Pedan lapangan terbang tidak jadi. Tapi ada kerja paksa
waktu itu. Namun sebelumnya disitu (juga) pernah terjadi
perang antara negara Kasunanan (Surakarta) dengan
penjajah Belanda.Banyak orang meninggal disitu
Di Kalangan, (sekitar) Gunung wijil, pada waktu sinuhun ke
3 perang dengan cina. Jaman jepang ada kerja paksa.
(Jaman) Jepang rakyat di pateni (dibunuh), kerja rodi untuk
lapangan terbang dari Troketon sampai Kalangan kerja rodi
Jepang untuk lapangan terbang. (selain itu) Perang
kerajaan, banyak yang mati,(sekitar tahun) 1617. Jaman
belanda juga (terjadi) perang (di Kalangan).
Setelah Indonesia merdeka, Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta bergabung dalam wilayah Republik Indonesia,
termasuk Klaten yang wilayahnya berada di bawah Kasunanan
Surakarta.
Masa setelah 1965, masih diingat oleh beberapa warga yang
berusia lanjut, bahwa di Desa Kalangan masih dianggap wilayah yang
aman dari pembantaian besar Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
afiliasinya. Baik itu warga dari PKI sendiri, PNI ataupun golongan
Marhaen masih bisa selamat dari pembantaian massal yang dilakukan
pada masa itu. Warga masyarakat Desa Kalangan saling melindungi
keluarga, saudara, dan tetangganya dari ancaman diciduk oleh aparat
dengan cara menyembunyikan atau melakukan persuasif bahwa di
daerah Kalangan tidak ada simpatisan PKI dengan cara memberikan
segala keperluan makan aparat. Sehingga Desa Kalangan dianggap

27

wilayah yang bersih dari PKI. Kondisi itu berbeda dengan di Desa
Troketon yang berbatasan langsung dengan Desa Kalangan. Pada
masa itu warga desa sebelah banyak yang diciduk aparat dan tidak
pernah kembali lagi ke desanya. Ada isu semua dibantai. Seperti yang
diungkapkan Bapak S (80 tahun) berikut ini:
Kulo niki lulusan SR (Sekolah Rakyat), lulusan 65, SMP
Marhaen. Jamane gestok. Pirang taun mpun metu.
Gestok niku paten-patenan teng ngriki. PKI, jamane ngeri.
Kulo ewangi turu WC-WC. Wonten muntaber, nggone
ngising sak nggon-nggon. Teleke diteteli pitik, pitik
munggah neteli sego. Kancane paten-patenan. Turu nuk
kali-kali, jublengan, dioyak-oyak sedaya. Partai PNI ndas
banteng, nggih dioyak-oyak. Ngeri niku. Diguwaki teng
Troketon jam 3 bengi, dipateni sedaya.paten-patenan.
(Desa) Troketon niku sing medeni, podo dipateni kabeh.
Kampung daerah niki tasih aman. Kalangan niki masio
sing PKI isih aman. Bengi ndelik ngriki sedaya. ABRI-ABRI
podo njogo teng ngriki. Tentara nglumpuk teng mbah
lurah.
(Saya ini lulusan Sekolah Rakyat tahun 1965, saat sekolah
di SMP Marhaen terjadi Gestok (PKI), sehingga sekolah
(SMP) baru beberapa tahun sudah keluar. Jaman Gestok
(PKI) masa bunuh-bunuhan disini. Masa PKI dahulu
mengerikan. Saya tidurnya di WC. Banyak penyakit
muntaber saat itu, karena tempat BAB di sembarang
tempat. Kotorannya dimakan sama ayam, lalu ayamnya
naik (ke meja) mematok nasi. Lalu ada sesama kawan
saling bunuh. (saat itu kita) tidur di sungai-sungai, di
cekungan galian tanah untuk pembuangan, semua orang
dikejar-kejar. Partai PNI yang berlogo kepala banteng
juga dikejar-kejar. Pada saat itu mengerikan, (orangorang yang ditangkap) dibawa ke Desa Troketon jam 3

28

malam, lalu semuanya dibunuh. Desa Troketon saat itu


memang mengerikan, semua orang dibunuh. Sedangkan
kampung daerah sini masih aman. Meskipun ada yang
dari PKI masih aman. Saat malam hari semua pada
bersembunyi di Desa Kalangan. ABRI semua berjaga
disini. Tentara semua berkumpul di rumah kakek Lurah).
Bapak P (90 tahun) juga mengatakan bahwa pada masa PKI, di
Desa Kalangan adalah tempat yang aman, berbeda dengan Desa
sebelah. Diungkapkan oleh Bapak P berikut ini:
PKI ndisik wonten, pun podo mati tuwek tokohe. PKI
Kalangan paling aman. Wong e PKI ora okeh, PNI ora okeh,
wong e kalem-kalem. Paling aman. Sing okeh deso
troketon wokeh sing mati. Kalangan mboten wonten.
Paling gede troketon. Sing mati utowo dipateni teng mriki
mboten wonten. Wong e ganas-ganas, mriki kalem apik.
PNI, PKI teng mriki mboten wonten sing dipateni
(zaman PKI dulu ada di Kalangan, sekarang orangnya sudah
meninggal karena usia tua. PKI di Kalangan paling aman.
Orang PKI tidak banyak, PNI tidak banyak, dan orangnya
kalem-kalem. Paling banyak yang meninggal di Desa
Troketon, orangnya ganas-ganas. Sedangkan di Kalangan
tidak ada yang menjadi korban)
Peristiwa lain, yakni Gempa Yogyakarta yang terjadi pada
tahun 2006 juga menjadi trauma dan masih membekas dalam setiap
benak warga Desa Kalangan. Gempa telah menyebabkan banyak
bangunan rumah penduduk yang hancur dan roboh. Seperti
diungkapkan oleh ibu M (42 tahun) berikut ini:
(pas) gempa gembreng e roto kabeh. Pak e mlayu gocelan
wit gedhang, gempa jam 6 isuk jawah, bar gempa nggih
tasih jawah. Kok goyang-goyang kulo nembe budal teng
pasar. Anak tasih turu teng kamar. Pak e Dipikir ngrangkul

29

anak e tibakne debog sing dirangkul. Doh nggawe tendotendo. Mikir anak, gentenge doh bolong-bolong,
alhambdulillah anake mboten nopo-nopo, teng njero
kamar, celengane sapi roto, celuk-celuk bapak e, Pak!!
Bapake nembe sadar yen sing dirangkul debog. Kulo malah
cereweti bapake, sak niki nyesel, kulo seneni yen ono opoopo yo sing disaut nggih anake disik
(waktu gempa dulu, atap dari seng sampai jatuh semua.
Suami saya berlari keluar lalu berpegangan pada pohon
pisang. Gempa saat itu terjadi pagi hari jam 6, saat itu
hujan, sesaat setelah gempa juga hujan. Saya berangkat ke
pasar, di jalan kok bergoyang-goyang. Anak saya masih
tidur di dalam kamar. Bapaknya berpikir sudah merangkul
anak saya tapi ternyata yang dirangkul pohon pisang.
Semua membuat tenda-tenda diluar. Saya memikirkan
anak saya, genteng rumah sudah hancur semua,
alhamdulillah anak saya tidak kenapa-kenapa. Di dalam
kamar, celengan sapinya sampai jatuh. Anak saya
memanggil-manggil bapaknya.Pak!! suami saya baru sadar
setelah dipanggil anak saya kalau yang dipegang bukan
anaknya tapi pohon pisang. Saat itu saya marah sama
suami saya, namun sekarang menyesalinya. Saya teriaki
kalau ada apa-apa itu seharusnya anak yang dibawa
duluan)
Tirose tsunami, banyune sampun teng Klaten. Kulo dijak
mlayu mbok e mboten purun. Yen ngungsi nggih sekaliyan
anak kulo karo bapak e, mboten kulo dewean. Yen dipikir
saiki nggih kudu ngguyu. Riyin wong kok podo bodo-bodo.
TV ditokne kabeh teng njobo, terus ditinggal ngungsi. Lah
barange kan iso ilang kabeh. Riyin pikirane ora sehat
nggih. Mboten kepikir. Ora usah nggowo opo-opo pak, sing
penting nggowo duit. Lah sak niki podo soro kabeh riyin

30

nggowo duit nggo opo, ate blonjo nandi?? Lah niku sing
sampun ngungsi teng Purwodadi anak bojone dekne
dewean. Untung kulo mboten sido tumut, lak pisah kale
anak e 3 dino tambah kepikiran toh.
(katanya ada Tsunami, airnya sudah sampai di Kota Klaten.
Saya diajak lari sama ibu tidak mau. Kalau mau mengungsi
saya harus bersama-sama dengan anak dan suami saya.
Kalau dipikir sekarang jadi ingin tertawa. Kok dulu itu
bodoh semua. TV dikeluarkan semua, lalu ditinggal
mengungsi. Kalau barang-barangnya hilang semua
bagaimana. Tidak terpikir saat itu. Saya bilang ke
bapaknya, kalau mengungsi tidak usah membawa apa-apa
yang penting membawa uang. Kalau dipikir, saat itu semua
tertimpa musibah, meski membawa uang, mau belanja
kemana?ada yang suami dan anaknya mengungsi ke
Purwodadi, istrinya tertinggal sendirian. Untung saya tidak
jadi ikut mengungsi sendirian. Kalau terpisah dari anak
selama 3 hari malah menjadi kepikiran)
Wonten sing nggowo bronjong. Nggawe tendo-tendo.
Turune teng emper nganti suwi. Kelingan dek emben niku.
Mboten mikir sehat, kok yo percoyo ae wonten tsunami. Ya
Allah, sabene niku kelingan pengalaman riyin yo ngilangke
susah, alhamdulillah. Iso nggo perbandingan. Niki
nggununge namung Gunung Wijil, katah sing mlayu
mrono. Tapi nggeh mesakno, mangane piye. Wonten sing
omahe tingkat wonten tiyang sepuh jompo. Dijunjung
munggah wonten gempa didukaken, isu tsunami
diunggahne maleh. (tahun) 2006, anak tasih TK
(ada yang membawa kawat, membuat tenda-tenda.
Tidurnya di emperan samapai lama. Kalau teringat masa
itu, semua tidak berpikir sehat, kok ya percaya saja ada isu
tsunami. Kalau diingat-ingat bisa menghilangkan rasa

31

susah, alhamdulillah, bisa buat perbandingan. Disini


gunung yang dekat hanya Gunung Wijil, banyak orang yang
berlari kesana. Tapi juga kasihan, bagaimana makannya.
Ada yang rumahnya bertingkat, ada orang jompo, saat isu
tsunami diangkat ke atas, tapi terus gempa lagi diusung ke
bawah lagi, lalu di naikkan lagi. Saat itu tahun 2006, anak
saya masih TK)
Gempa Yogyakarta tahun 2006 telah membuat porak poranda
hampir seluruh Desa Kalangan. Banyak bantuan masuk desa
diperuntukkan membangun rumah-rumah yang hancur. Namun
bantuan tersebut oleh beberapa masyarakat dianggap tidak merata.
Beberapa warga menjelaskan bahwa ada yang rumahnya hancur total
tidak mendapatkan bantuan, sedangkan yang hancur sebagian malah
mendapat bantuan pembangunan. Hal ini menimbulkan friksi-friksi di
antara warga masyarakat.
Selain gempa, Klaten juga merasakan dampak dari letusan
gunung berapi. Meskipun berada di lereng Gunung Merapi, namun
pada saat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 dan 2012 yang lalu,
wilayah Kalangan dan Klaten secara umum aman dari dampak letusan
Gunung Merapi. Wilayah Kalangan justru terdampak oleh letusan
Gunung Kelud yang terjadi pada tahun 2014. Debu abu vulkanis
menutup tebal seluruh lahan persawahan. Hal ini diungkapkan oleh
Bapak K (55 tahun) berikut ini:
Kelud mledos awune saking mriki. Merapi boten noponopo awune mboten. Kelud awune nganti 30 cm, tanduran
putih sedoyo. Sak tengki kulo nyemprot
(pada saat Gunung Kelud meletus, abu vulkanisnya sampai
disini. Kalau gunung Merapi kemarin tidak. Kelud abunya
sampai 30 cm, semua tanaman tertutup abu putih. Saya
menyirami abu sampai 1 tangki air)

32

Berbagai bencana dan perubahan kekuasaan dalam lintas


sejarah Desa Kalangan, membuat desa ini menjadi unik. Nama
Kalangan sendiri dari penggalian informasi dan data dari berbagai
pihak menunjukkan beragam versi. Yang pertama, disebut dengan
Kalangan karena merupakan tanah yang luas, menurut keterangan
dulu wilayah Kalangan tidak hanya sebatas wilayah desa secara
administratif seperti saat ini, namun wilayahnya meliputi desa-desa
disekitarnya. Seperti yang diungkapkan Bapak F (38 tahun) berikut ini:
Sejarah Desa Kalangan masih sedikit kami
menuliskannya, belum ada info saat itu dan kami
menuliskan dalam RPJM Desa juga masih terburu-buru,
sehingga seadanya kami cantumkan. Sejauh yang saya
ketahui adalah Kalangan itu artinya tanah yang luas. Dulu
wilayah Kalangan bukan secara administratif hanya
sebatas desa Kalangan saja, namun juga meliputi
sekitarnya. Seperti kalau panjenengan (anda) melewati
desa sebelah (disitu) ada dukuh bernama Kalangan juga,
di seberang wilayah Desa Kalangan, dulu merupakan
bagian dari Kalangan
Istilah kalang dalam sejarah zaman kuno Indonesia sering
diidentikkan dengan istilah wong kalang yaitu kelompok orang yang
tinggal di daerah terpencil wilayah Pulau Jawa di dekat hutan yang
hidup dari menebang kayu. Istilah kalang atau tuha kalang bermakna
sebagai tukang kayu dalam sistem pemerintahan desa di masa
Kerajaan Mataram Kuno. Makna lain dari kata kalang atau kalangan
adalah lingkaran, merupakan suatu tempat yang digunakan untuk
mengadu atau menyabung binatang seperti ayam, kambing, babi
hutan, dll, atau juga sebagai tempat adu ketangkasan antar warga
desa, atau sebagai tempat untuk upacara tertentu (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2008). Kalang dalam bahasa Sansekerta berarti
dikepung atau dikelilingi (Purwadi dan Purnomo, 2008).

33

Sejalan dengan penelusuran pustaka terkait makna dari Kalang


atau Kalangan, maka dari sumber informasi dari sesepuh desa yaitu
Bapak P (90 tahun) menyebutkan bahwa Kalangan itu merupakan
tempat peperangan dan ada peristiwa pengepungan. Seperti
diungkapkan bapak P berikut ini:
Kalangan (cikal bakale saking) Kyai Mulyorejo sing disik
dewe. Ning sing okeh kuwi playon soko daerah Yogya.
Mancungan sing pertama nggih playon saking Yogya sing
akeh. Tibak e biyen yo wes ono perang. Mulo semar e ning
Nggedong sebelahe mesjid Mancungan asli Yogya. Isih
waris ono sing nyekar mrunu. Mulo dijenengke Nggedong.
Semar e teng kono mergo keplesit, biyen ono perang, karo
Londo. Kalangan kuwi sejarahe mbiyen Mbah Mulyorejo di
oyak, dikalang-kalang (Londo) mulo dijenengke Kalangan
(Kalangan itu asal mulanya dari Kyai Mulyorejo, yang
pertama kali. Banyak pelarian dari daerah Yogya. Di Dukuh
Mancungan juga banyak pelarian dari Yogya. Pada jaman
dahulu sudah ada perang. Maka semar yang ada di
Nggedong sebelah Masjid Mancungan itu asli dari Yogya.
Yang masih ada waris disitu sering berziarah ke situ. Maka
dinamakan Nggedong. Semar ada disitu terpencil karena
dahulu ada perang dengan Belanda. Kalangan itu
sejarahnya Mbah Mulyorejo dikejar-kejar, dikepung
musuh, sehingga dinamakan Kalangan)
Lebih rinci Bapak P menceritakan mengenai beberapa asal mula
sejarah nama dukuh-dukuh di Desa Kalangan ini, menurut versi Bapak
P (90 tahun) sebagai berikut:
Yen Mancungan disik kuwi jarene jenenge plencungan.
Plencungan kuwi pring dilincipi, diplintirke lempung
disabetke. Urung mudeng toh, kowe disik yen tunggu
manuk neng sawah, sangune plencungan niku. Tunggu
manuk karo ngglintiri lempung. Pun menclok manuke

34

diplencung. Plencungan cukup pring karo lempung.


Plencungan niku Mancungan critane jare ngunu
(Kalau Dukuh Mancungan dahulu katanya dari nama
plencungan. Plencungan itu adalah alat untuk mengusir
burung di sawah yang terbuat dari bambu yang
diruncingkan, lalu ujungnya diberi bulatan dari tanah liat
lalu dipelantingkan)
Dukuh Jagulan diceritakan menurut versi Bapak P sebagai berikut
Nek Jagulan ditembungke danyange tukang Jagul. Jagul
kuwi sapi gerobak ngarepe ono kayune niku jenenge Jagul.
Danyange sing biyen dadi tukang jagul. Wong biyen sektisekti. Jagul niku kayu. Pasangan kiwa tengen kanggo sapi
(Kalau Dukuh Jagulan dikatakan dulu danyang nya tukang
Jagul. Jagul itu kayu yang menggabungkan dua ekor sapi
untuk menarik gerobak. Orang dulu katanya sakti)
Versi sedikit berbeda mengenai sejarah dukuh-dukuh di Desa
Kalangan diceritakan oleh Bapak K (55 tahun) berdasarkan makammakam lama yang ada di perdukuhan di Desa Kalangan, sebagai
berikut:
Makam ageng niku mung nami, ki ageng pabelan, ki
ageng trokejun, niki ki ageng bunderrekso. Enten danyang
utamane. Dulu ada orang pinter kemungkinan bentuk
makam bentuk kijing. Niku sebelah ler. Wonten kijing kale.
Bunderrekso niki. Kalangan wonten kathah banget sak
kelurahan, satu dukuh wonten makam kale (2). Niki
Pabelan, Bunderan, niku ki ndudo, tawangsari-plosorejo,
kalangan, kalangan maleh, mancungan kale, ki ageng
mancungan, paling gede dewe, makam tengah. Makam
batokan, nayan-klampisan. Ngentak makame teng
jiworagan 1-2, gebungan nggih piyambak. Makam

35

kalangan. Kathah banget. Kalangan niku kulo ngarani


desane boten bunder, tapi mloncrot.
Mriki, jiworagan, mancungan saking solo. Menawi
troketon mboten ngertos dereng iso njelaske. kulo tirose
tiyang-tiyang sepuh sing tunggale kerabate podo, jenenge
podo, pangeran sogo kusumo, rogo kusumo, jiworogo
(jiworagan), raden Pabelan, mancungan sing paling tuwo
pangeran minto kusumo. Desa kalangan niku kathah
banget namine, sami kaliyan solo. Jambon, krangkeng,
gandikan. Pabelan, gandikan, ngemplak, pencil teng solo
nggih wonten. Gampangane tiyang solo mapan dateng
mriki. Sami kaliyan sunan-sunan, teng pundi-pundi wonten
petilasane
(Makam Ageng itu hanya nama, Ki Ageng Pabelan, Ki
Ageng Trokejun, kalau ini Ki Ageng Bunderrejo. Ada
danyang utamanya. Dulu ada orang pintar yang
membangun makam berbentuk kijing. Sebelah utara ada
kijing dua. Desa Kalangan banyak sekali makam, setiap
dukuh ada 2 makam.Pabelan, Bunderan, Ndudo,
Tawangsari-Plosorejo, Kalangan, Kalangan lagi, Mancungan
ada 2, Ki Ageng Mancungan, paling besar sendiri, makam
Batokan, Nayan-Klampisan, Ngentak makamnya di
Jiworagan 1-2, Gebungan ada sendiri, banyak sekali.
Kalangan itu bukan desa yang bundar, tapi meluas.
Jiworagan dan Mancungan dari Solo, kalau Troketon saya
tidak tahu, tidak bisa menjelaskan. Menurut orang-orang
tua masih kerabat yang sama karena namanya sama. Para
pangeran, namanya Sogo Kusumo, Rogo Kusumo, Jiwo
Rogo (Jiworagan), Raden Pabelan, Mancungan yang paling
tua namanya Pangeran Minto Kusumo. Desa Kalangan itu
namanya banyak, sama seperti di Solo, ada Jambon,
Krangkeng, Gandikan, Pabelan, Ngemplak, Pencil. Orang

36

dari Solo tinggal disini, sama seperti sunan-sunan yang ada


petilasannya dimana-mana)
Hal ini juga senada dengan cerita Bapak S (70 tahun), bahwa
terkait asal nama Desa Kalangan beliau tidak mengetahui, hanya
mengetahui berdasar cerita para pendahulunya bahwa nama-nama
dukuh di Desa Kalangan berasal dari leluhur utama yang dimakamkan
di dukuh-dukuh tersebut. Diungkapkan oleh Bapak S berikut ini:
Kulo kelairan niki dangu namung bibit kawite nggen
judul Kalangan kulo mboten ngertos. Gebungan,
mBalong, Jiworagan, Durenan, Ngentak. Cikal bakal
nggen kuburan. Jagulan niku turene Kyai Jagul, riyin.
Jiworagan niku mbah Jiworagan cikal bakale riyin
(Saya ini kelahiran sudah lama, namun asal mula judul
Desa Kalangan disebut Kalangan itu saya tidak
mengetahuinya. Kalau nama-nama dukuh seperti
Gebungan, Balong, Jiworagan, Durenan dan Ngentak itu
berasal dari cikal bakal makam. Seperti Dukuh Jagulan itu
tempat Kyai Jagul, dan Dukuh Jiworagan itu cikal
bakalnya dahulu dari Eyang Jiworagan) .
Banyaknya versi mengenai sejarah dan asal mula nama Desa
Kalangan maupun nama dukuh-dukuh yang ada di Desa Kalangan,
menandakan bahwa sejarah lisan yang diturunkan dari generasi ke
generasi membuat variasi kesejarahan dari Klaten semakin kaya.
Sejarah lisan hanya diingat oleh sebagian orang apabila tidak dituliskan
akan bisa hilang dengan berlalunya waktu.
2.2 Geografi dan Kependudukan
2.2.1 Profil Desa Kalangan
Desa Kalangan merupakan salah satu desa di Kecamatan
Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah yang terletak di dekat
Pura Mangkunegaran dengan batas desa sebagai berikut:
- sebelah Utara
: Desa Kaligawe

37

- sebelah Timur
: Desa Sentono dan Desa Ngolodono
- sebelah Selatan
: Desa Jatimulyo
- sebelah Barat
: Desa Troketon
Secara geografis terletak pada 110o 30 sampai dengan 110o
45 Bujur Timur dan 7o 30 sampai dengan 7o 45 Lintang Selatan,
memiliki luas wilayah 206,2 Ha, yang terbagi menjadi 17 Dukuh
dengan 14 Rukun Warga (RW) dan 46 Rukun Tetangga (RT). Seperti
tercantum pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Perdukuhan Desa Kalangan beserta RW dan RT
No.

Dukuh

RW

RT

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Gebungan
Balong
Kampung Baru
Durenan
Ngentak
Batokan
Klampisan
Mancungan
Jagulan
Tawangsari
Kalangan
Trunan
Jembunan
Bunderan
Belan
Jiworagan
Nayan

01
02
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
11
11
12
13
14

01-04
01-02
01
01-04
01-02
01-02
01-03
01-04
01-03
01-05
01-03
02-03
04
01
01-04
01-02
01-02

Sumber : RPJM Desa Kalangan, Kecamatan Pedan Tahun 2013-2018


(Desa Kalangan, 2013)

38

PETA WILAYAH
DESA KALANGAN

RW 6
RW 14

RW 5
RW 7

RW 10
RW 9

RW 8

RW 11

RW 4

RW 12

RW 13
RW 1
RW 2

Pemukiman
RW 3

Sawah / Tegalan

Gambar 2.3 Peta Desa Kalangan


Sumber: RPJM Desa Kalangan, Kecamatan Pedan Tahun 2013-2018
(Desa Kalangan, 2013)

39

Desa Kalangan berjarak 15 km dari ibukota Kabupaten Klaten,


dengan kendaraan bermotor bisa ditempuh dalam waktu 30 menit
perjalanan. Sedangkan dari ibukota Kecamatan Pedan bisa ditempuh
dalam waktu 10 menit berkendara, dengan jarak sekitar 5 km. Bisa
ditempuh melalui Desa Troketon ataupun Desa Sobayan. Akses
kendaraan umum menuju Desa Kalangan tidak ada. Kendaraan umum
hanya melalui Pedan dan berhenti di terminal terdekat yaitu Ceper
dan Wedi, dan itu juga jarang ditemui sewaktu-waktu. Transportasi
yang bisa digunakan adalah kendaraan sewa atau taksi dan kendaraan
milik pribadi (mobil atau motor).
2.2.2 Kependudukan
Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Kalangan sejumlah 1.760
KK. Jika disesuaikan dengan Jenis Kelamin, jumlah penduduk lakilaki
sebanyak 2.832 orang, sedangkan perempuan sebanyak 2.923 orang.
Total penduduk sebesar 5.755 jiwa. Tingkat pendidikan masyarakat
Desa Kalangan sebagian besar adalah tamat SLTA (1.521 orang).
Sisanya adalah tamat SLTP (1.343 orang), tamat SD (1.049 orang),
tamat S1 (25 orang), tamat S2 (3 orang), dan lain-lain (tidak tamat
sekolah) (Desa Kalangan, 2013).
Rata-rata usia pernikahan di kecamatan Pedan adalah cukup
umur, sesuai dengan batas minimal usia pernikahan dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 pasal 7, pernikahan yang diizinkan jika usia lakilaki minimal 19 tahun, sedangkan untuk perempuan minimal berusia
16 tahun (Republik Indonesia, 1974). Jika usia salah satu pasangan
dibawah, bisa dikatakan pernikahan dini. Pernikahan usia dini bisa
dilakukan dengan cara melakukan pengajuan dispensasi pernikahan
kepada Pengadilan Agama Kabupaten setempat.

40

Tabel 2.2 Data Usia Perkawinan Mempelai Perempuan Penduduk Desa


Kalangan, Kecamatan Pedan, Tahun 2014 s.d. April 2015
Usia Mempelai Perempuan (Tahun)
<16
16-19
31-35
>36
7
1
3
1
34
35
37

Tahun 2014
Desa Kalangan
Kecamatan Pedan
Tahun 2015 (s.d. April
2015)
Desa Kalangan
1
1
3
Kecamatan Pedan
9
10
12
Sumber: Kantor Urusan Agama Kecamatan Pedan, tahun 2014-2015
Pada tahun 2014, di Desa Kalangan tercatat ada 7 orang
perempuan yang menikah di usia 16-19 tahun, dalam hal ini secara
Undang-Undang sudah bisa dinikahkan tanpa perlu pengajuan
dispensasi perkawinan. Walaupun secara kesehatan reproduksi usia
perkawinan perempuan dibawah usia 20 tahun masih tergolong usia
berisiko terlalu muda untuk hamil. Selain itu ada juga kelompok risiko
tinggi kehamilan yaitu di atas 35 tahun. Pernikahan di atas usia 30
tahun dan 36 tahun kemungkinan kehamilan berisiko tinggi cukup
besar dibandingkan dengan kehamilan di usia 20-30 tahun.
2.3 Sistem Religi
2.3.1 Pemeluk Agama di Desa Kalangan
Menurut data kependudukan Desa Kalangan, sebagian besar
masyarakat Desa Kalangan beragama Islam, sisanya beragama Kristen
dan Hindu. Dari 17 dukuh yang ada di Desa Kalangan memiliki 19
Masjid/Musholla, 1 Gereja dan 1 Pura.
Tabel 2.3 Jumlah Pemeluk Agama di Desa Kalangan
Agama

Jumlah

Islam
Kristen
Katolik
Hindu

5.562
49
21
16

Sumber: Data RPJM Desa Kalangan tahun 2013

41

Pengaruh agama Islam berasal dari Muhamadyah, Nadlatul


Ulama, Majelis Tafsir Al Quran (MTA) dan Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII).
Ada beberapa dari aliran-aliran agama tersebut oleh
masyarakat sekitar dianggap sebagai pemecah belah di antara warga
dan kerukunan hidup bermasyarakat. Seperti diungkapkan Bapak K
(55 tahun) berikut ini:
...(saiki) golongane benten-benten. Niki mboten mengenai
agomo nggih, Sak niki wonten golongan X mboten
nggunakan nopo-nopo. Pun bubar. Ndungo rombongane
piyambak. Sak koncone dewe liyane mboten entuk. Tiyang
liyo mboten angsal, kajeng berangkat jenasah diangkat
dipikul didungani modin ngriki mboten angsal. Kulo
ngarani termasuk memecah belah niku. Kanggene tiyang
Jawi Solo, jawine kejawen asli, nggunake selametan niku
penting banget. Kanggo keselametan...
(...(sekarang) golongan (agama) berbeda-beda. Ini kita
tidak berbicara agama loh, sekarang ada aliran X yang
melarang menggunakan apapun. (setelah ada apapun
seperti kelahiran atau kematian) langsung bubar. Doa juga
hanya golongannya sendiri, temannya sendiri, orang lain
tidak boleh. Orang meninggal saat mau dibawa ke makam
diangkat dan didoakan oleh modin kampung tidak boleh.
Saya menganggap itu memecah belah masyarakat. Untuk
orang Jawa Solo itu Jawa nya adalah Kejawen asli,
menggunakan selametan itu sangat penting, untuk
keselamatan...)
Demikian juga yang dikatakan oleh Bapak S (70 tahun) bahwa
kerukunan dalam Islam sudah mulai luntur karena banyak aliran-aliran
yang saling menjelekkan satu sama lain, seperti penuturannya berikut
ini:

42

...Aliran agama (sakniki) niku pun katah. Kulo nek enten


Mubaligh kutbah ngelek-elekake kulo tinggal muleh.
Agomo pun diakoni negoro sing rukun mboten dielekelekake, niku mubaligh elek. Podo agamane ora selametan
dielek-elek. Niku kan adate ngriki... Seje agama niku sing
rukun. Wong urip niku sing didoleki rukun, ampun fanatik
teng agama.wong ndeso uripe gotong royong, urip pating
penteleng niku ate ngopo. Kerukunan niku sae. Ampun
petuk terus ngidu ate ngapo...
(aliran-aliran agama sekarang itu banyak. Saya kalau ada
mubaligh berkhotbah menjelek-jelekkan yang lain saya
tinggal pulang. Agama-agama yang sudah diakui oleh
negara itu yang rukun jangan dijelek-jelekkan, itu mubaligh
yang tidak baik. Sama agamanya beda aliran tidak
mengadakan selamatan dijelek-jelekkan. Selametan itu
adat disini...Meskipun berbeda seharusnya rukun. Orang
hidup itu yang dicari kerukunan, jangan terlalu fanatik
terhadap agama. Orang desa itu hidupnya gotong royong,
kalau hidup saling bermusuhan itu mau apa? Kerukunan
itu bagus, jangan ketika bertemu terus buang ludah, mau
apa hidup seperti itu...)
Di Desa Kalangan ada pengajaran-pengajaran Taman Pendidikan
Al-Quran yang dilaksanakan di Masjid-Masjid Dukuh. Di situ ada
kegiatan TPA untuk anak-anak, remaja dan pengajian ibu-ibu. Di
samping ada aliran yang dianggap memecah belah oleh warga, ada
juga aliran yang menyatu dengan budaya masyarakat setempat.
Kegiatan-kegiatan budaya yang membawa kebaikan dan
kegotongroyongan masyarakat tidak serta merta dihapus atau
dianggap tidak sesuai.
Agama Hindu di Dukuh Nayan memiliki Pura Besar yang diberi
nama Candi Untronoyo. Pembangunan Candi Untronoyo dilakukan 12
tahun yang lalu oleh pemuka agama Hindu almarhum Bapak T.

43

Gambar 2.4 Pura atau Candi Untoroyono di Dukuh Nayan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Upacara sembahyang di Candi Untoroyono biasa diadakan
seminggu 2 kali, yaitu pada malam Selasa dan malam Jumat, seperti
diungkapkan Bapak Sy (50 tahun) berikut ini, Acarane sembayangan
dinten malem Jemuwah kaliyan malem Seloso. Wonten sing tilem
mriki menawi sembayangan. Kompleks candi terbuka untuk siapa
saja tidak terbatas pada pemeluk agama Hindu saja. Namun upacara
sembahyang dilakukan dengan tata cara agama Hindu. Terbuka untuk
kepercayaan lain untuk tujuan bermeditasi atau yang dalam bahasa
Jawa disebut nglakoni untuk mencari penghidupan, derajat dan
kesehatan. Terkait dengan kesehatan, menurut pengurus candi di sisi
kanan candi ada sumur mata air yang biasa diminum untuk orangorang yang mencari kesembuhan atas penyakitnya.
Agama Kristen Protestan berkembang di Dukuh Jembunan,
dengan adanya gereja Kemah Injil Indonesia. Gereja tersebut dipimpin
oleh seorang pendeta yaitu Bapak St (50 tahun) berasal dari
Semarang.
44

Gambar. 2.5 Gereja di Desa Kalangan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Berdasarkan keterangan dari pendeta, jamaah gereja berasal
dari berbagai dukuh dan desa, tidak terbatas pada Dukuh Jembunan
dan Desa Kalangan. Kebaktian diadakan setiap hari Minggu. Terkait
dengan kesehatan ibu dan anak, peran serta gereja terhadap
jamaahnya adalah pada saat kedua pasang pengantin akan melakukan
pernikahan, ada pendidikan pra nikah yang wajib diikuti oleh kedua
calon mempelai selama beberapa periode. Isi pendidikan pra nikah
tersebut adalah terkait penguatan iman, penerimaan kedua belah
pihak atas kelebihan dan kekurangan masing-masing, termasuk
didalamnya terkait penyakit yang harus diungkapkan. Pelajaran
mengenai kehidupan berumah tangga dan pendidikan terkait anak
yang nanti akan dihasilkan dalam perkawinan tersebut. Hal tersebut
terkait dengan ajaran Kristen bahwa apa yang sudah disatukan oleh
Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Sehingga harus bisa
menerima satu sama lain.
Untuk kasus calon pengantin yang sudah melakukan hubungan
diluar pernikahan, gereja memiliki kebijakan bahwa kedua pasangan
tersebut tidak bisa dinikahkan dengan pemberkatan gereja.
Pernikahan dapat dilakukan secara sipil sebagai warga negara, dan

45

juga melalui proses pertobatan terlebih dahulu dari kedua belah


pihak.
Gereja ada permohonan doa yang dituliskan dalam kotak,
yang akan dibaca dan didoakan bersama oleh jemaat gereja untuk
bisa dicapai hajat permohonan dari orang yang bersangkutan.
Permohonan doa bisa tentang permohonan kesehatan, pemenuhan
hajat dan lain sebagainya terkait kebaikan hidup si pemohon.
Berbagai macam agama dan kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Desa Kalangan, masing-masing memiliki tokoh yang
memimpin penganut-penganutnya. Tujuan kebaikan untuk masingmasing umat agama ada pada masing-masing agama tersebut,
sepanjang tidak bertolak belakang dengan budaya masyarakat Desa
Kalangan itu sendiri. Friksi dan ketidak percayaan akan muncul apabila
agama yang diajarkan tidak selaras dengan kehidupan berbudaya
masyarakat setempat.
2.3.2 Kejawen
Selain secara resmi penduduk Desa Kalangan menganut
agama-agama yang diakui oleh negara dan tercatat pada Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dalam catatan kependudukan, juga ada istilah
kejawen dalam memahami spiritualitas manusia Jawa.
Apa dan bagaimana kejawen itu? Bisa dikatakan bahwa
masyarakat desa Kalangan secara budaya merupakan bagian dari
budaya Kasunanan Surakarta, mengingat Kalangan merupakan bagian
dari wilayah Kasunanan Surakarta. Pengaruh Kasunanan Surakarta
tidak lepas dari apa yang disebut dengan budaya Mataraman.
Budaya Mataraman menurut Saryono (2008) berpangkal pada
budaya yang dibentuk oleh Kerajaan Mataram (asal mula dari
Kasunanan Surakarta sebelum terpecah). Pembentukan budaya
Mataraman bersumber pada pengaruh dari dalam (internal) dan dari
luar (eksternal) yang berupa alam semesta, kebajikan dan ajaran
pribadi manusia tertentu, mistisisme atau kepercayaan dan kebatinan,

46

agama tertentu, dan sistem budaya tertentu. Bagi manusia Jawa, alam
semesta merupakan dunia keseluruhan yang mencakup dunia dan
alam. Alam semesta bersifat spiritual, sakral dan transeden. Alam
semesta merupakan lingkungan hidup manusia Jawa. Dimensi
manusia Jawa meliputi raga, jiwa, dan sukma. Alam semesta adalah
alam lahir (material), alam batin, dan alam gaib.
Agama dan kepercayaan apapun akan diterima oleh
masyarakat Desa Kalangan, sepanjang ajaran dan keyakinan tersebut
bisa melebur dengan makna keselarasan hidup sebagai manusia Jawa
yang ada dalam kejawen. Kejawen ada sejak jaman sebelum ada
agama yang diakui oleh negara saat ini.
2.4 Sistem Kekerabatan, Organisasi Sosial, dan Kemasyarakatan
2.4.1 Sistem Kekerabatan
Menurut Suseno dalam Wiranta (2013) masyarakat Jawa tidak
mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan
di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari
seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam
masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk
kerabat.
2.4.1.1 Pola Tempat Tinggal dan Kekerabatan
Perempuan yang tinggal di Desa Kalangan sebagian adalah
pendatang yang ikut dengan suami untuk tinggal di Desa Kalangan
setelah mereka menikah. Hal tersebut berdasarkan pola tempat
tinggal setelah menikah, yaitu perempuan setelah menikah akan
tinggal bersama dengan keluarga dari suami (virilokal). Sistem tempat
tinggal bisa tinggal di rumah sendiri yang berdekatan dengan keluarga
suami atau berada dalam kompleks rumah tinggal orangtua suami dan
saudara-saudara suami. Atau juga tinggal bersama dengan orangtua
suami. Sehingga dalam pola pengasuhan anak bisa dilakukan secara
bersama-sama. Baik itu orangtua, kakek-nenek (mbah kakung-mbah
putri), ataupun paman atau bibi (pakdhe-budhe, paklek-bulek).

47

Pola tempat tinggal atau adat menetap sesudah menikah


menurut Koentjaraningrat (1992) dapat memengaruhi pergaulan
kekerabatan dalam suatu masyarakat, sebagaimna yang terjadi di
Desa Kalangan. Anak keturunan dari pasangan akan bergaul dengan
kelompok kerabat dari ayahnya, dan mendapat supporting system
(sistem pendukung) dari keluarga luas pihak ayah. Termasuk dalam
hal pengambilan keputusan bersama dalam keluarga dan pola
pengasuhan anak.
2.4.1.2 Pengambil Keputusan dalam Keluarga
Keputusan dalam keluarga seringkali masih dilakukan
perundingan di dalam keluarga besar. Tidak terlihat tokoh sentral
dalam pengambil keputusan penuh dalam suatu keluarga. Sistem
rembuk bersama masih cukup kental dalam pengambilan keputusan.
Walaupun seolah sentral utama dalam pengambil keputusan dalam
hal ini adalah laki-laki dewasa dalam keluarga tersebut yaitu bapak,
namun peran perempuan dalam penyumbang perubahan keputusan
tidak bisa diindahkan. Seperti diungkapkan ibu S (37 tahun) berikut:
Mutusaken niku nggih kaliyan bapak e. Kulo mboten nate
piyambakan. Lah niki mawon bapake teng pundi-pundi
nggih kaliyan kulo. Nek kesah nggih kaliyan kulo, mboten
purun piyambakan. Pun dangu dados pegawai, miwit
genduk alit niku. Pun 15 taunan. Mbahe niku wau
nggriyane piyambak, ibuk kulo. Kulo sekawan sedulure,
teng jakarta 1
(kalau masalah memutuskan ya sama bapak, saya tidak
pernah sendirian. Bapak juga kalau kemana-mana juga
sama saya. Kalau pergi juga sama saya tidak mau pergi
sendiri. sudah lama bapak jadi pegawai, sejak anak
perempuan pertama saya masih kecil. Sekitar 15 tahunan.
Sedang neneknya yang tadi punya rumah sendiri, itu ibu
saya, saya 4 bersaudara, 3 disini, 1 ada di Jakarta)

48

Selain itu istri juga memiliki keputusan sendiri atas apa yang
harus dia lakukan, meskipun pengaruh dari keluarga besar dalam hal
ini adalah ibu mertua masih relatif kuat. Seperti yang terjadi pada
keluarga ibu P (24 tahun), ibu P yang masih muda menerima segala
masukan dari ibu mertua. Namun dia juga memutuskan bekerja di luar
rumah atas keputusan sendiri dan atas ijin suami, dengan alasan
keadaan ekonomi yang kurang memungkinkan. Namun dalam hal
menjalankan pantangan-pantangan saat kehamilan dan setelah
melahirkan, ibu P masih mendengarkan nasihat dari ibu mertua.
2.4.1.3 Pengasuhan Anak dan Nilai Anak
Dalam pengasuhan anak, tanggung jawab ada pada orangtua,
yaitu ibu. Namun apabila ibu bekerja, maka seorang anak akan diasuh
oleh keluarga luas. Seperti diungkapkan ibu P (24 tahun) berikut,
Pengasuhan kaliyan kulo kaliyan mbah e, bapak e, nggih sing selo
sinten (Pengasuhan anak sama saya, sama neneknya, bapaknya, siapa
saja yang sedang ada waktu). Dalam pemberian makan anak ibu P
bercerita sebagai berikut:
Angel maem e. Senenge soto. Daging paling nggih
disesepi mawon. Buwah, nopo-nopo purun, asal mboten
roti, emoh. Malah krowotan purun. Telo puhung. Paling
tumbas lele, terik. Jajan katut kancane. Kancane jajan
nggih melu. Permen nyuwun yen kancane tumbas. Mboten
saget dipenggah, pokoke karepe. Watuk dilarang, mboten
purun. Tirose mosok ora iso njajakke anake. Tapi nek lagi
kroso nggih mandeg piyambak. Anakku sampe tilem,
gampang yen tilem, mik susu sebotol mangke bubuk
maleh
(susah makan ini anak saya, sukanya makan soto. Daging
juga hanya dikunyah saja. Buah, apa-apa mau, asal bukan
roti dia tidak suka. Malahan umbi-umbian suka seperti
ketela, singkong. Paling juga beli lele, terik. Jajan biasanya
ikut sama temannya. Minta permen karena temannya juga

49

beli permen. Tidak bisa dilarang, maunya sendiri. batuk


dilarang tidak mau. Katanya masak membelikan anaknya
saja tidak bisa. Anak saya kalau tidur mdah. Habis minum
susu juga tidur lagi)
Dalam pandangan masyarakat Jawa, anak laki-laki dan
perempuan kedudukannya sama. Demikian juga dalam hal pewarisan.
Selama anak yang dihasilkan adalah anak sah di dalam pernikahan
maka anak tersebut mendapat hak yang sama dalam pewarisan.
Namun yang diinginkan adalah memiliki anak lengkap laki-laki dan
perempuan. Seperti diungkapkan Ibu S (34 tahun) berikut ini:
Anak kakung putri sami mawon. Sing gede kelas 1 SMA,
namung nggih mudeng gaweyan kok. Mnawi no 2 niki
resikan, resik-resik saget. Mbakyunipun males. Nyapu niku
mboten purun. Sing no 2 dibombong sregep. nggih nakal
tapi sregep. Kulo teng griyo mawon, momong biasane
katut bapake. Sing umek nggih bapak e, ket cilik nggih
katut bapake sedaya
(anak laki-laki dan perempuan itu sama saja. Anak saya
yang besar perempuan kelas 1 SMA, namun sama saja
tidak tahu pekerjaan. Kalau anak perempuan yang nomer
2 masih bisa bersih-bersih. Mbak nya yang malas.
Menyapu tidak mau. Yang nomer 2 kalau dipuji masih
rajin. Nakal tapi rajin. Saya di rumah saja, yang mengasuh
anak kedua biasanya bapaknya, karena dekat dengan
bapaknya. Yang repot bapaknya karena dari kecil semua
dekat dengan bapaknya).
Anak laki-laki dan perempuan dalam struktur masyarakat Jawa
kedudukannya adalah sama. Dalam pemilihan jenis kelamin anak,
masyarakat Desa Kalangan memandang sama saja antara laki-laki dan
perempuan. Dan dalam sistem pewarisan masyarakat Jawa, selama
anak itu sah dihasilkan dalam ikatan perkawinan akan mendapatkan
bagian yang sama. Sedangkan apabila anak dihasilkan diluar ikatan

50

perkawinan yang sah, maka dalam tatanan Jawa, maka anak tersebut
tidak berhak atas harta dari orangtua.
2.4.2 Struktur Pemerintahan Desa Kalangan
Desa Kalangan merupakan salah satu desa yang berada di
wilayah Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah.
Dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang terpilih berdasarkan
pemilihan langsung oleh warga desa. Kepala Desa sekarang terpilih
berdasarkan pemilihan langsung tahun 2013, dengan masa jabatan
selama 5 tahun, dengan mengalahkan 6 dari total 7 kandidat
mencalonkan diri sebagai calon kepala desa.
Berdasarkan Peraturan Desa Kalangan Nomor 01 Tahun 2013
tentang Struktur Organisasi Tata Pemerintahan Desa Kalangan adalah
sebagai berikut:

Gambar 2.6 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Kalangan


Sumber: RPJM Desa Kalangan Tahun 2013
2.4.3 Kelompok-Kelompok Kemasyarakatan
2.4.3.1 Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (KOPTTI)
KOPTTI berdiri sejak tahun 80-an, yang mewadahi pengusaha
kecil menengah yang bergelut di bidang pembuatan tempe dan tahu.
Pengusaha rumahan ini sebagian besar terkonsentrasi di Dukuh
Durenan dan Ngentak, namun beberapa dukuh di desa Kalangan ada

51

beberapa rumah tangga yang melakukan usaha pembuatan tempe


dengan skala kecil. Produk usahanya adalah tempe bungkus, tempe
papan dan kripik tempe.
2.4.3.2 Kelompok Tani
Kelompok tani ini terdiri dari petani pemilik lahan, petani
penggarap, dan buruh tani yang tidak memiliki lahan. Dibagi menjadi
beberapa kelompok per dukuh. Pembagian ini juga berdasarkan
kelompok pengairan lahan. Kelompok tani di salah satu dukuh di Desa
Kalangan bernama Kelompok Tani Darma Tirta. Satu kelompok tani
menggarap dan mengairi beberapa petak sawah. Seperti dijelaskan
Bapak K (55 tahun) sebagai berikut ini:
Kelompok tani, darma tirta, katah kelompok e, per petak
sawah. Berapa hektar kelompok mriki, mriki wonten 3
kelompok...Darma tirta kelompok pengairan. Wonten
sumur e. Wonten mesin. Katah tiap sawah wonten. Satu
minggu sekali ngurusi air. Biasane nyedot teng njero
banyune.
(Kelompok tani namanya Darma Tirta, banyak
kelompoknya, tiap per petak sawah. Beberapa hektar per
kelompok. Disini ada 3 kelompok. Darma tirta itu
kelompok tani yang terkait pengairan. Ada sumur dan
mesin pompa, airnya menyedot dari tanah)
2.4.3.3 Kelompok Pemuda
Kelompok pemuda di Desa Kalangan berada di bawah forum
organisasi Karang Taruna Desa Kalangan. Masing-masing Dukuh
memiliki organisasi Karang Taruna, seperti dijelaskan oleh Bapak M
salah satu tokoh Karang Taruna Desa Kalangan. Bapak M sebelumnya
pernah menjabat sebagai sekretaris dan bendahara di Karang Taruna
tingkat dukuh. Peran serta pemuda yang ada dalam wadah Karang
Taruna dalam sosial kemasyarakatan di desa ataupun di tingkat dukuh
dijelaskan oleh Bapak M (36 tahun) berikut ini:

52

Karang Taruna Tingkat Desa Kalangan baru dibentuk pada


bulan Januari 2015 lalu. Untuk sementara waktu hanya ada
agenda rapat rutin untuk pembuatan program kegiatan.
Belum ada pelaksanakan program untuk bulanbulan ini.
Sedangkan Karang Taruna tingkat dukuh sudah terbentuk
lama. Setiap dukuh di Desa Kalangan mempunyai Karang
Taruna sendirisendiri, kecuali satu dukuh yang belum
punya yakni Dukuh Jagulan. Dan untuk kedepannya mau
diadakan pembentukan Karang Taruna untuk Dukuh
Jagulan. Perbedaan Kegiatan Karang Taruna Tingkat Desa
dan Karang Taruna Tingkat Dukuh adalah jenis event yang
dibuat, kalau untuk yang desa biasanya acara dalam skala
besar dan memakan biaya lumayan besar, akan tetapi
untuk Karang Taruna Desa sudah mendapat supplay dari
pemerintah Desa Kalangan yakni anggaran dana desa
sejumlah
Rp2.000.000,00
per
tahunnya.
Bila
membutuhkan dana lebih besar lagi bisa mendapat dari
sponsor. Kalau untuk tingkat dukuh biasanya hanya ruang
lingkup kecil, jadi program yang dilaksanakan juga tidak
terlalu memakan biaya banyak. Contohnya bila tingkat
desa, mengadakan turnamen futsal, event tahun baru, dan
lainnya. Kalau di dukuh hanya meng handle acara seperti
hajatan (pernikahan, kematian dan kelahiran bayi). Dalam
perayaan pernikahan besar biasanya ada pungutan biaya
untuk sewa fasilitas dari Karang Taruna, misalnya sewa
piring, gelas atau meja,akan tetapi kalau untuk kematian
atau kelahiran bayi dan pernikahan kecilkecilan tidak di
pungut biaya.
Bila ada pernikahan, biasanya satu minggu sebelumnya
mengumpulkan rekanrekan pemuda Karang Taruna untuk
menjadi sinoman, untuk membantu jalannya pernikahan.
Mulai dari mengantarkan ulem, persiapan fasilitas seperti
kursi, meja, piring, gelas, dan lainnya. Kemudian pada

53

waktu hari H, para sinoman membantu jalannya prosesi


hajatan, biasanya melayani makanan atau minuman
kepada tamu yang diundang. Setelah acara selesai baru
ulehuleh, yakni meringkas dan mengemasi barang- barang
pinjaman fasilitas dari karang taruna tersebut. Dalam
pengorganisasian, para pemuda mudah untuk diatur.
Dari segi organisasi, pemuda karang taruna tingkat dukuh
berusia remaja, mulai dari setingkat umur anak SMA.
Untuk Karang Taruna Tingkat dukuh jumlah anggotanya
mencapai 80-an, sedangkan untuk tingkat desa jumlahnya
mencapai 170-an. Dalam organisasi Karang Taruna ini
terdapat aturanaturan khusus sebagai contoh harus rapi,
menggunakan seragam, dan lain sebagainya sesuai aturan
yang diberikan masingmasing Karang Taruna. Namun,
sangat disayangkan akibat pergaulan remaja yang tidak
sehat banyak pemuda Karang Taruna terlibat perilaku
merokok. Terlepas biasanya di tempat hajatan juga selalu
menyediakan rokok namun tidak minum-minuman keras.
Selain itu juga perilaku seks bebas dikalangan remaja
hamper tidak ada. Batas bertamu saja ada batas batas
tertentu yang diterapkan kepada laki-laki yang bertamu ke
rumah perempuan di malam hari yakni bertamu sampai
pukul 21.00 saja. Apabila tamu lebih dari jam tersebut, dari
pihak pemuda karang taruna langsung mendatangi dan
menegurnya untuk segera pulang.
Terkait dengan masalah kesehatan di tingkat dukuh, peran
Karang Taruna kurang begitu besar. Seperti diungkapkan Bapak M (36
tahun) berikut ini:
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Karang Taruna Dukuh
dalam bidang kesehatan masih belum terlalu luas. Hanya
sebatas pelaksanaan pembersihan desa atau pun senam
dan olahraga saja. Bila dikaitkan dengan program

54

pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan semisal


pendidikan kesehatan reproduksi remaja atau kesehatan
ibu dan anak sementara masih belum berjalan. Namun, di
Karang Taruna Desa, sudah ada wacana untuk pembuatan
program yang dikoordinasikan dengan bidan desa yakni
perencanaan program Posyandu Remaja. Selain itu juga
Karang Taruna Desa Kalangan juga berencana mau
membuat program jangka panjang yakni seperti badan
usaha Koperasi, akan tetapi untuk sementara waktu masih
terhambat masalah biaya.
2.4.3.4 PKK Desa
PKK di Desa Kalangan ada di tiap dukuh. Anggotanya adalah
para ibu-ibu dengan diketuai oleh ibu perangkat desa. PKK tingkat
desa diketuai oleh ibu dari Kepala Desa. PKK desa kurang berkembang
karena belum ada yang mau bergerak di tingkat dukuh maupun di
tingkat desa.
2.4.3.5 Kelompok Keturunan Makam Leluhur
Seluruh warga asli Desa Kalangan dan sekitarnya terikat
dengan makam leluhur yang ada pada dukuh-dukuh setempat. Para
pendahulu dan nenek moyang warga desa Kalangan disemayamkan di
makam-makam dukuh. Anak keturunannya membentuk paguyuban.
Kegiatannya meliputi bersih makam dan syukuran kirim doa pada
setiap bulan Ruwah (Jawa) yang disebut dengan Ruwahan dan
nyadran. Makam leluhur di setiap dukuh sebagai pengikat warga,
merupakan modal budaya yang bisa digunakan sebagai media
akulturasi pengetahuan baru, termasuk didalamnya adalah
pengetahuan tentang kesehatan.

55

2.5 Pengetahuan dalam Falsafah Jawa dan Pengetahuan tentang


Kesehatan
2.5.1 Ngelmu dalam Pandangan Jawa
Transfer pengetahuan ilmu dalam masyarakat Jawa di Desa
Kalangan berada dalam ranah obrolan antar kelompok masyarakat.
Penerimaan ilmu yang didapatkan bisa beraneka ragam. Seperti
diungkapkan Bapak S (70 tahun) sebagai berikut,Ngelmu niku
sajroning roso, angel ketemune yen sampun ketemu angel
nggondeline. (mendapatkan ilmu menurut pemahaman Jawa adalah
tergantung pada rasa, ilmu susah didapatkan, kalau sudah didapatkan
juga susah untuk dimanfaatkan dengan benar).
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh informan lain
yaitu Bapak Pm (52 tahun) terkait falsafah ilmu orang Jawa bahwa
setiap manusia itu pada saat lahir sudah memiliki ilmu secara kodrati
dari Tuhan. Manusia itu hanya dituntut untuk mempelajari apa yang
sudah kodrati diberikan pada manusia. Bukan mencari ilmu, ilmu itu
sudah ada dalam diri manusia dan alam sekitarnya. Seperti tubuh
manusia itu juga ilmu. Berikut penuturan Bapak Pm (52 tahun):
Sejatine ilmu niku menopo? sanes ingkang dipelajari
teng sekolah niku. Ilmu niku sanes didoleki, bukan
mencari ilmu. Ilmu niku sampun kodrati milai lair sampun
wonten ilmune. Mung corone kepiye niku sing kulo lan
tiyang-tiyang umum mboten ngertos
(ilmu sebenarnya itu apa? bukan yang dipelajari di
sekolah itu. Ilmu itu bukannya dicari, jadi bukan mencari
ilmu. Ilmu itu sudah kodrat ada sejak manusia dilahirkan
sudah ada ilmunya. Namun caranya menggunakan
bagaimana itu yang saya dan orang-orang umumnya
tidak memahami).
Termasuk didalamnya adalah pengetahuan tentang sehat dan
sakit. Apa itu sehat atau sakit?apa sejatinya sehat atau sakit? Sehat

56

atau sakit itu adalah rasa, ada di dalam hati, begitulah Bapak Pm (52
tahun) menjelaskan makna sehat dan sakit sambil meletakkan tangan
kanannya di dada.
2.5.2 Pilihan Rasional (Rational choice) terhadap Pelayanan
Kesehatan
Banyak pilihan pelayanan kesehatan di sekitar Desa Kalangan
dan Kecamatan Pedan. Baik itu praktek dokter swasta, dokter
spesialis, praktek bidan mandiri, klinik dan Rumah Sakit.
Keterjangkauan akses terhadap pelayanan kesehatan sangat mudah.
Selain Puskesmas Pembantu yang ada di Desa Kalangan, dengan bidan
desa sebagai pengampu kesehatan yang ada di desa, Desa Kalangan
dikelilingi oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
Di Kecamatan Pedan tercatat ada Rumah Sakit Mitra dan Rumah
Sakit IPHI yang ada di desa sekitar Desa Kalangan. Warga Desa
Kalangan tidak melulu bergantung pada pelayanan Bidan di
Puskesmas Pembantu. Mereka memilih selain berdasarkan jarak juga
berdasarkan rasional kecocokan dengan pemberi layanan kesehatan
yang ada. Seperti diungkapkan Ibu M (43 tahun) berikut ini:
...cocoke prikso teng pundi pilihane piyambak. Teng bu
bidan mboten piye-piye, kabeh apik niyate mbantu
masyarakat. Tapi nggih urusane piyambak-piyambak. Bu
bidan nggih sae teng masyarakat...(kulo) Sok Puskesmas,
teng mantri teng pundi mawon. Tapi kabeh apik. Pertama
kulo wedi kaliyan bidan, sanjange nate dawah. Tiyang
hamil kok diseneni. Demi ketenangan nggih pilih liyane.
Wong deso kan sok wedi. Nadane nggih ora penak. Sakit
niku butuh solusi ben ayem, mboten diseneni nadane.
Padahal nggih mboten, namung penerimaan kulo mboten.
Tiyang ngriki katah sing teng pedan, jambon, bidan liyane.
Pilihan lebih praktis, sing lengkap...Nggriyo ibuk kulo
ngajenge bidan. Nggo praktise mawon. Tapi kulo nggih
sanjang teng bidan ngriki prikso teng ngriko, tirose nggih

57

gak apa-apa tapi nadane kulo kroso. Pas sing nomer kalih
nggih teng Bidan Ceper, langsung dibersihin, lengkap
fasilitase. Kulo milih sing cocok. Nete pit ngriko kaliyan
bojo kulo. Pun sanjang bidan. Kan nggih pilihan sing penak
e. Ngriki nggih wonten sing cocok. Tiyang kan nggih cocokcocokan. Pilihan e dewe-dewe, tujuane nggih demi
kelancaran kelahiran, slamet. Kados teng Pedan dalane
saget lintang pundi-pundi. Bidan ngriki nggih teng
masyarakat baik. Kulo nggih sing disuwuni niku sehat.
Jarang mriksa-mriksake. Paling nggih masuk angin. Prikso
kesel. Lahiran niku perang syabil. Wong tuo niku yen
ngendiko tenanan. Nek lahir biasa metu jabang bayi
plong...
(...cocoknya periksa kemana itu pilihan kita sendiri. periksa
ke ibu Bidan tidak apa-apa, semua orang itu niatnya
membantu masyarakat. Ibu bidan juga baik kepada
masyarakat. Semua karena pilihannya sendiri-sendiri.
(saya) kadang periksa ke Puskesmas, ke Mantri, ke mana
saja. Semuanya bagus. Namun saya pribadi takut ke ibu
bidan karena waktu saya hamil pernah dimarahi. Demi
ketenangan, saya pilih periksa ke tempat lain. Saya orang
desa kan sering takut kalau diberitahu dengan nada suara
yang kurang mengenakkan. Padahal mungkin maksud ibu
bidan tidak begitu, ini hanya penerimaan saya saja. Orang
di dukuh ini banyak yang periksa ke Pedan, Jambon, atau
ke bidan lainnya. Lebih pada pilihan praktis dan
kelengkapan alat saja...rumah ibu saya dekat praktek
bidan, untuk praktisnya saya periksa di sana. Namun saya
lapor ke bidan disini. Waktu (keguguran) anak yang nomer
dua saya ke Bidan Ceper, penanganan cepat, lebih lengkap
fasilitasnya. Saya memilih yang cocok, ke tempat dengan
dibonceng sepeda oleh suami saya. Saya memilih berdasar
kecocokan, memilih yang enak. Disini juga ada yang cocok,

58

masyarakat memilih karena kecocokan saja. Pilihannya


sendiri-sendiri. seperti jalan menuju ke Pedan, banyak
jalan menuju ke sana, bisa lewat mana saja sesuka kita.
Tujuannya hanya demi kelancaran kelahiran dan selamat.
Bidan disini juga baik ke masyarakat. Saya sendiri yang
dimohon itu adalah sehat. Melahirkan itu seperti perang
syabil, orangtua ngomong itu memang benar, kalau sudah
melahirkan rasanya plong...)
Banyak pilihan juga untuk berperilaku sehat maupun tidak sehat
berdasarkan rasionalisasi dari pengalaman sendiri. Orang Jawa di Desa
Kalangan tidak akan mengulangi secara sengaja hal yang tidak
mengenakkan dirinya untuk yang kedua kalinya.
2.5.3 Pengetahuan tentang Kesehatan
Dengan tingkat kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan
yang tinggi dan banyak ketersediaan pilihan fasilitas pelayanan
kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan ibu dan anak, seharusnya
tingkat pengetahuan warga terhadap pelayanan kesehatan juga tinggi.
Namun secara empiris di wilayah penelitian faktanya tidaklah
demikian adanya, seperti gambaran kasus ibu-ibu yang mengalami
peristiwa kematian bayi dan balita terkait penanganan kesehatan
pada saat kehamilan dan kelahiran. Ibu S (34 tahun) menceritakan
sebagai berikut terkait pijat pada kehamilan dan larangan
mengkonsumsi jamu dari dokter.
Pijet nate tapi mbak e tole niku, pas sakit nggih pijet teng
bu bidan. Mboten teng dukun. Riyin teng mbah dukun,
namung sak niki kan mboten angsal. Perut nggih mboten
diolet-olet
(saya pernah melakukan pijat kehamilan pada saat
kehamilan anak ke-2. Saat merasakan sakit saya pijatnya ke
bidan, bukan ke dukun. Dulu pernah pijat ke dukun, namun

59

sekarang kan sudah tidak boleh. Perut juga tidak dipijat


dengan kasar)
...jamu mboten angsal, tirose Sp.OG. Jamu gendong niku
mboten angsal. Namung kulo nggih mboten nate njamu.
Menawi maem nggih sembarang. Sak niki nggih podho ora
mudeng, nggih brah breh ngaten niko...
(minum jamu tidak boleh menurut dokter Sp.OG. Jamu
gendong juga tidak boleh. Namun saya juga tidak pernah
mengkonsumsi jamu. Kalau makan juga sembarang.
Sekarang jamannya tidak tahu terkait pantanganpantangan makanan, sekenanya saja).
Agak berbeda dengan pengalaman Ibu S yang mendapatkan
pengetahuan dari dokter Spesialis Kandungan, Ibu P (24 tahun) pernah
mendapatkan pengetahuan terkait kehamilan pada kelas ibu hamil
dari bidan Puskesmas Pembantu Desa Kalangan. Namun pemahaman
ibu P mengenai Puskesmas Pembantu yang ada di desanya masih
minim. Hal ini berkaitan dengan jarak rumah tinggal ibu P berada di
dukuh yang berbeda dan dengan jarak yang agak jauh dari dukuh
tempat Pustu berada, seperti dijelaskan oleh ibu P berikut:
Teng Pustu mboten, pripun nggih, mboten nopo-nopo.
Sempat ngekei informasi wonten pelatihan ibu hamil. Tak
pikir Pustu khusus nglayani tiyang sakit mawon, kulo
mboten mudeng. Ibu hamil nggih saget.. hamil pertama
niku nggih ikut sekolah pengarahan kelas ibu hamil 2x.
Namung pengarahan mau melahirkan bagaimana, pecah
ketuban bagaimana. Saya gak komplit ikute. Sak niki
mboten wonten malih. Bidan ingkang pengarahan.
Piyambakan, kaliyan adek kulo sarengan hamil
boncengan
(saya tidak ke Pustu, gimana ya? tidak kenapa-kenapa.
Sempat mendapat informasi mengenai kehamilan dari

60

bidan Pustu pada saat ada pelatihan ibu hamil saat hamil
anak pertama dulu. Saya pikir Pustu hanya memberikan
pelayanan kepada orang sakit saja, bukan kepada ibu
hamil, saya tidak tahu. Waktu hamil anak pertama pernah
mendapat pengarahan kelas ibu hamil sebanyak 2x.
Tentang bagaimana saat hendak melahirkan, bagaimana
pecah ketuban, saya tidak komplit ikutnya waktu itu.
Sekarang ini tidak ada lagi kelas ibu hamil. Saat itu bidan
yang memberikan pengarahan. Ikut kelas ibu hamil hanya
saya sendirian tanpa suami, karena khusus ibu hamil. Saat
itu saya berangkat berboncengan dengan adik saya yang
juga hamil).
Pengetahuan mengenai kehamilan bisa didapatkan ibu hamil
melalui program kelas ibu hamil yang seharusnya diberikan secara
kontinyu dan berkesinambungan. Transfer pengetahuan juga bisa
dilakukan dalam sesi konsultasi ibu hamil dengan tenaga kesehatan.
intinya adalah komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan ibu
hamil.
2.5.4 Pengetahuan Kesehatan Tradisional
Pengetahuan terkait pengobatan tradisional secara mandiri
biasanya diturunkan dari orangtua ke anak. Seperti diungkapkan ibu P
(24 tahun) berikut:
...Anak lagi pilek, rada anget, ora doyan maem.
Diperiksano teng pak mantri adike (sepupu) kulo nyuwun
obat panase mawon, ndilalah tasih anget mawon. Tirose
disukani brambang, kaliyan minyak kayu putih, sak meniko
rodo kacek, brambang diparut dan minyak kayu putih,
dipanggang diblonyohe. Obat watuk disukani jeruk kaliyan
kecap. Disanjangi mbah e. Kulo nggih manut mawon. Radi
pas kebetulan wonten reaksine...

61

(anak saya sekarang sedikit panas dan pilek, tidak mau


makan. Sepupunya periksa ke mantri diberi obat, saya
minta obat panasnya saja. Ternyata masih panas. Kata ibu
diberi bawang merah dengan minyak kayu putih saja.
Bawang merah diparut diberi minyak kayu putih lalu
dipanggang dan dibalurkan ke tubuh. Agak mending anak
saya. Lalu batuknya diberi jeruk sama kecap. Itu dibilangi
neneknya. Saya hanya menurut saja. Agak cocok kebetulan
ada reaksinya)
Pandangan mengenai sehat menurut Ibu P adalah bisa
beraktivitas, sedangkan sakit itu susah untuk beraktivitas. Seperti
diungkapkan berikut,Sehat niku aktivitas saget, sakit susah aktivitas,
nggih pripun mboten mudeng kulo.
Pengetahuan mengenai pengobatan tradisional untuk
mengobati penyakit ringan yang diderita oleh anak, ibu biasanya
mendapatkan pengetahuan dari ibu kandung atau ibu mertua. Apa
yang disampaikan oleh orangtua biasanya dituruti oleh anak tanpa
menanyakan lebih lanjut apa fungsi dan kegunaan dari pengobatan
tradisional tersebut.
2.6 Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari
adalah Bahasa Jawa Krama Madya dan Krama Inggil. Dalam tingkatan
bahasa Jawa ada 3 tingkatan bahasa, yaitu (1) Ngoko, (2) Krama
Madya, dan (3) Krama Inggil. Antara anak kepada orangtua digunakan
bahasa Krama Madya. Untuk keluarga yang dianggap modern
seringkali bercampur dengan Bahasa Indonesia.
Bahasa Ngoko biasa digunakan kepada teman sebaya. Pada
beberapa dukuh di Desa Kalangan, tingkatan bahasa antara yang
muda dengan yang lebih tua sudah tidak ada tatanan baku dalam
berbahasa. Anak-anak kecil sering terdengar menggunakan bahasa
Ngoko ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Menurut
pandangan penduduk Desa Kalangan yang berasal dari luar Desa

62

Kalangan atau luar kabupaten Klaten, bagi mereka hal tersebut sangat
mengherankan. Karena sudah tidak ada tata krama dalam berbahasa
pada masa dewasa ini. Menurut keterangan ibu F (27 tahun) berikut
ini:
kulo riyin wektu pertama kali pindah dateng Kalangan
mriki nggih kaget-kaget, benten sedaya kaliyan dateng
ndeso kulo piyambak. Bocah-bocah sami umbarumbaran. Lare alit menawi ngomong kaliyan tiyang nggih
mboten wonten unggah ungguhipun, kaliyan tiyang
sepuh nggih ngoko
(saya dulu waktu pertama kali pindah ke Kalangan juga
terkaget-kaget, berbeda dengan daerah tempat saya.
Anak-anak dibiarkan begitu saja. Anak apabila berbicara
dengan orang lain tidak ada kesopanan dalam berbahasa,
dengan orang yang lebih tua juga menggunakan bahasa
Ngoko)
Untuk memahami bahasa yang diungkapkan oleh masyarakat
Desa Kalangan adalah bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat yang
memiliki makna tersirat dibalik ucapan yang diucapkan.
Bahasa yang digunakan dalam acara-acara seperti pernikahan,
rapat desa, rapat kelompok kerja, perkumpulan kesenian adalah
bahasa Jawa krama inggil, yang harus memperhatikan kehalusan
dalam bertutur kata.
Dalam konteks bahasa sebagai alat komunikasi antara petugas
kesehatan di Desa Kalangan dengan penduduk setempat bisa menjadi
faktor penghambat yang penting dalam transfer pengetahuan
kesehatan. Bahasa bisa menjadi penghambat apabila ada perbedaan
pemahaman dalam penerimaan informasi dan dalam penerimaan
berdasarkan intonasi ucapan. Ada beberapa kasus dalam komunikasi
petugas kesehatan dengan masyarakat sebagai berikut: intonasi yang
keras dan tegas akan dipahami oleh sebagian masyarakat Jawa

63

sebagai suatu kemarahan, selain itu Intonasi menggurui juga dipahami


sebagai suatu kesombongan dan merendahkan yang lain. Dalam
berbahasa, juga harus memperhatikan usia, pendidikan, kedudukan
seseorang di dalam masyarakat tersebut. Semua orang ingin dianggap
penting, untuk itu empati dalam berkomunikasi sangat penting.
2.7 Kesenian
Ada banyak macam kesenian dan kerajinan tradisional di
Kabupaten Klaten. Ada kerajinan kain batik dan lurik yang biasa
digunakan dalam upacara tujuh bulan kehamilan (mitoni) dan
kesenian musik, suara dan pertunjukan tradisional.
2.7.1 Seni Batik dan Tenun Lurik
Meskipun di Desa Kalangan tidak ada kegiatan membatik dan
menenun kain Lurik yang menjadi ciri khas Kecamatan Pedan, namun
dalam setiap kegiatan dan upacara budaya kedua kain ini sering
digunakan oleh masyarakatnya. Batik umum digunakan sebagai
seragam kader Posyandu, seragam karang taruna dan lain-lain. Juga
dalam prosesi pernikahan kain yang dipakai adalah kain batik dengan
motif tertentu. Kain batik dan kain tenun Lurik dipakai juga dalam
upacara tujuh bulanan kehamilan (mitoni atau tingkeban). Ada tujuh
kain yang harus dipakai bergantian oleh si ibu, 6 kain motif batik dan
yang terakhir (ke-7) adalah kain tenun lurik.

64

Gambar 2.7 Motif Sekar Kurung Batik Bayat yang digunakan untuk
Upacara tujuh bulanan kehamilan (Mitoni)
Sumber : Dokumentasi Penelitian 2015

Gambar 2.8 Kain Tenun Lurik Pedan yang digunakan untuk upacara
Mitoni
Sumber : http://yuk-pintar.blogspot.com/2013/02/makalah-adat-dantradisi-tingkebanmitoni.html, diakses 29 Juni 2015
65

Gambar 2.9 Proses Pembuatan Kain Tenun Lurik Pedan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Pada Upacara mitoni didalamnya ada acara pantes-pantes.
Calon ibu dipakaikan kain 7 macam. Kain yang pertama sampai yang
ke enam adalah kain batik, yang melambangkan kemewahan dan
kebesaran. Ibu-ibu yang hadir pada acara tersebut ditanya apakah si
calon ibu pantas menggunakan kain-kain tersebut memberikan
jawaban dereng pantes (belum pantas). Setelah dipakaikan busana
ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu
yang hadir menjawab pantes (pantas). Kain lurik yang dipakai
memiliki makna bahwa ibu yang sedang mengandung sebaiknya tidak
memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan
bersahaja (Wiroprodjo, 2013).

66

2.7.2 Laras Madya


Di Desa Kalangan dan sekitarnya ada berbagai macam
kesenian. Kesenian yang masih ada di Desa Kalangan adalah kesenian
Laras Madya dan Gadonsari.
Kesenian Laras Madya adalah kesenian yang ada di Dukuh
Ngentak Desa Kalangan. Nama kelompok seni Laras madya adalah Tri
Mudho Laras, beranggotakan 50 orang, mereka mengadakan latihan
kesenian setiap 35 hari sekali pada malam Rabu Wage. Tembang
utama dalam Laras Madya merupakan wejangan-wejangan dalam
siklus kehidupan manusia dari lahir hingga mati, yaitu Dandhanggula,
Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Mijil,
Sinom, Megatruh, Durma, dan Pucung.
Mengenai apa itu Kesenian Laras Madya dijelaskan oleh
sesepuh kesenian tersebut yaitu Bapak R (65 tahun) dan Bapak A (66
tahun) berikut ini:
Larasmadya cakepanipun sampun kapendet saking
Wulangreh..niku pun nyebutke Wulangreh. Piwulang sing
tumuju piwulang reh kautaman. Wonten buku wulangreh
meniko wonten pinten-pinten pupuh niko pinten genjing
meniko. wonten 12 namung ingkang radi popiler ingkang
dikembangke kagem kabudayan ngeteniki sewelas
tembang. Naming wonten perkembangan-perkembangan
sak mangke iku naminipun kesenian laras madya niku
sampun dikreasi-kreasi amrago sampun perkembangan,
sak meniko mboten naming laras madya tapi nggih santi
swara, santi swara meniko nggih panyuwunan,
cakepanipun santi swara meniko sok lis, karangan
karangan para winasis. Meniko disebut santi swara
ingkang kesenian larasmadya pancen spesial. Santi
cakepanipun soko Wulangreh nopo Wedhatama. Menopo
Wulangreh sesuhunan saking Pakubuwono IV, Wedhotomo
saking Mangkunegaran IV. Santi swara niku pun

67

campuran. Mugi saget Wulangreh, saking saget


Wedhatama, mugi saget saking anggitanipun para winasis
sanesipun
(Pakem Laras Madya diambilkan dari Serat Wulangreh
yang berarti buku yang diajarkan untuk ajaran keutamaan.
Pada Serat Wulangreh, terbagi menjadi 12 tembang, akan
tetapi yang sudah populer dan dikembangkan hanya 11
tembang. Laras Madya termasuk kesenian tradisional
kompilasi Jawa Islami. Banyak juga yang sudah dikreasi
kreasi para seniman yang menghasilkan kesenian selain
Laras Madya yakni Santi Swara. Santi Swara berarti
permintaan. Baik Laras Madya ataupun santi swara
diambilkan dari pakem Wulangreh atau Wedhatama.
Wulangreh berasal dari Pakubuwono IV Surakarta
sedangkan Wedhatama dari Mangkunegoro IV Kertasura,
serta ditambah dengan sentuhan para seniman. Sedangkan
Santi Swara sudah merupakan campuran baik dari
Wulangreh, Wedhatama maupun dari pengarang lainnya)
Alat musik yang dipakai dalam kesenian Laras Madya adalah alat
musik Terbang, Kendang, Sitar (dengan laras Slendro dan Pelog),
Banggen (besar dan kecil), Jemblung dan Organ, seperti pada gambar
berikut:

68

Gambar.2.10 Alat dalam Kesenian Laras Madya


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Kesenian tradisional Larasmadya ini biasanya dipakai untuk
acara-acara pernikahan, yakni tepatnya pada malam widodaren yang
disertai dengan kidungan. Kidungan dalam malam Widodaren
sebelum resepsi pernikahan digelar dimaknai sebagai salah satu
simbol tolak balak. Seperti diterangkan oleh Bapak R (65 tahun)
berikut ini:
Babakan Kidungan inggih meniko satunggaling tilaran
leluhur, mujudaken satunggaling panyuwunan kang ugi
kagem tolak balak kangge otomatis kagem tiyang gadah
kerso mantu. Pandonga tolak balak, duwe perlu kalis
ingsan rikolo utawi pengertian inkang kulo tampi wonten
acara kidungan meniko, tanggap midodaren niku pun

69

otomatis ugi nyenyuwun ing ngarsanipun Gusti Allah


mugimugi anggenipun badhe miwo putro temanten
kekalih amprih kalih sambikolo soho putro temanten ing
kalih mangke anggenipun tumapak kirapan, niku karben
entuk sanutaren widodari. Ingkang ngidung diambilaken
saking anyar koro sinanggit memanis. Nganti nerangke
kedadeane tumuruning sekar mayang, niku diterangne.
Rinagih para midodari rikolo semanten, pramilo karo
mujudaken pitutur piwulang sing apik, mrilo kangge
leluhur-leluhur kito rumiyin meniko dianggep pitutur sing
apik milo dilestantunke
(Kidungan adalah salah satu warisan leluhur, wujud dari
pernyataan untuk menolak bala yang selalu diadakan oleh
orang yang mempunyai hajat pernikahan. Doa untuk tolak
bala yang saya pahami pada kidungan di malam midodaren
adalah permohonan kepada Tuhan semoga kedua
mempelai yang akan melangsungkan pernikahan tidak
mendapat halangan apapun, dan mendapatkan pamor
bidadari. Terkait dengan turunnya bunga Mayang para
bidadari juga diterangkan dalam hal Kidungan pengantin.
Serta merupakan wujud dari ajaran baik dari para leluhur
yang harus kita lestarikan)
2.7.3 Gadonsari
Kesenian Gadonsari adalah kesenian gamelan namun dengan
beberapa alat saja tidak selengkap gamelan yang ada di karawitan,
Alat yang dipakai meliputi Demung, Organ, Gender, Kendang, Kendang
Bem, Ketipung, Peking, Saron, Slenthem, Gandang, dan Rebab.
Kekhasan dari kesenian Gadonsari adalah menggunakan alat rebab
dan organ. Seperti gamelan juga gadonsari menggunakan nada 2 laras
yaitu Laras Pelog dan laras Slendro. Biasanya ketika ada permintaan
dari yang punya hajat, latihan baru diadakan. Latihan biasanya
diadakan di rumah bapak S pada setiap malam Sabtu Kliwon. Apabila

70

tidak ada undangan tampil biasanya latihan dilakukan selama 35 hari


sekali. Kesenian Gadonsari ini sudah berdiri sejak tahun 197-0an
dengan beranggotakan 17 orang. Perkumpulannya dinamai Sekar
Larasati. Kesenian Gadonsari ini sudah sering tampil kemana-mana,
seperti Solo, Semarang, bahkan Purbalingga. Sebagai wiraswara,
Bapak S menyanyikan tembang-tembang Jawa bersama dengan
sinden.

Gambar 2.11 Peralatan Kesenian Gadonsari


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

71

2.7.4 Kesenian Lain di Desa Kalangan dan Kabupaten Klaten


Karawitan lengkap biasanya disajikan untuk mengiringi
pertunjukan ketoprak atau wayang.

Gambar 2.12 Kesenian Karawitan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Kesenian lain yang berkembang di Desa Kalangan dan
Kabupaten Klaten pada umumnya adalah Kesenian Ketoprak yang
diadakan setiap 35 hari sekali setiap malam Jumat Legi yang diadakan
di Gedung Sunan Pandanaran Klaten. Juga kesenian Campursari yang
biasa menyanyikan langgam Jawa atau dangdut dan sering diundang
pada acara hajatan perkawinan di desa-desa.

72

Gambar 2.13 Kesenian Ketoprak di Gedung Sunan Pandanaran Klaten


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

Gambar 2.14 Kesenian Campur Sari


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Kesenian tradisional baik itu seni musik, pertunjukan, ataupun
seni suara seperti Laras Madya, Gadonsari, Karawitan, Wayang,
Ketoprak atau Campursari masih sering ditampilkan dan disukai oleh
kalangan masyarakat. Fungsinya bisa digunakan sebagai sarana
penyampaian program kesehatan dan media promosi kesehatan
dengan menggunakan seni yang disukai masyarakat.
Makna budaya dari kesenian musik tradisional seperti
Karawitan, Laras Madya dan Gadonsari dalam masyarakat Jawa
memiliki makna keselarasan antara bunyi-bunyian satu dengan yang
lain, juga dengan seni suaranya itu sendiri. Hal tersebut

73

menggambarkan bahwa dalam satu kegiatan apabila ada pemimpin


yang jelas dan harmonis dengan bawahan dan sekitarnya akan
menimbulkan keselarasan.
2.8 Mata Pencaharian
Mata pencaharian warga Desa Kalangan yang paling banyak
adalah Buruh Tani yakni mencapai 2038 orang, sedangkan lainnya PNS
(63 orang), ABRI/POLRI (7 orang), Pensiunan (35 orang), Petani (578
orang), Swasta (485 orang), Pedagang (345 orang), dan Tukang (72
orang). Sebagian besar penduduk di Desa Kalangan bermata
pencaharian sebagai petani, baik itu petani pemilik lahan maupun
sebagai petani penggarap. Tanaman yang ditanam antara lain adalah
padi, jagung, tebu dan tembakau.
...Namung nggarap sabin. Sanes sabin piyambak.
Kagungan piyambak nggih katah, sebagian wonten dijual
tahunan. Setahun berapa panenan kados sewa. Katah sing
merantau. Gada sawah. Wonten sing dijual langsung...
(...saya hanya menggarap sawah (orang lain) bukan sawah
sendiri. yang mempunyai sawah sendiri juga banyak.
Sebagian ada yang dijual tahunan, setahun berapa
panenan, seperti sewa. Disini (yang punya sawah) banyak
yang merantau. Banyak yang dijual langsung (juga)...)

Gambar 2.15 Petani dan pencetak batu bata


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

74

Selain petani, masyarakat Desa Kalangan juga memiliki ternak


di rumahnya seperti sapi, kambing, kerbau, ayam, burung dara,
mentog (angsa kecil) dan juga ada yang memiliki peternakan babi.
Selain itu mereka juga memelihara anjing sebagai hewan penjaga di
rumahnya, dan juga kucing dan burung sebagai hewan peliharaan
untuk kesenangan.
Ada juga industri konveksi (pembuatan keset dari kain bekas),
produksi kripik tempe, bengkel, pengusaha besi cor, pedagang
kelontong/pemilik warung, penjual makanan keliling.
Rata-rata untuk tambahan penghasilan keluarga didapatkan dari
pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan di rumah dengan
membuat keset, sedangkan para lelaki ada yang membuat batu bata.
Seperti diungkapkan Ibu M (42 tahun) berikut ini:
Teng ngriki nggih ndamel keset sedoyo. Wonten sing
mendeti. Kain sekilo petang ewu. Kesete sekodi rongpuluh
ewu...Ngriki usaha nyitak boto. Sampun diorder dipendetpendet. Wonten kebone teng ngajeng niku. Didamel omahomahan, atase wonten fiber, jadi udan mboten kudanan.
Riyin niku usaha soto sak niki ngeduk lemah nggo boto....
(Disini semua membuat keset, sudah ada yang mengambil
sesudahnya. Modalnya kain 1 kg Rp4.000,00, sesudah
menjadi keset satu kodi (20 biji) dihargai Rp20.000,00, ada
juga disini usaha mencetak batu bata. Juga sudah ada yang
mengorder dan diambil langsung. Sudah dibuatkan rumahrumahan dengan ditutup fiber bagian atasnya agar kalau
hujan tidak terkena air. Dahulu pernah usaha soto tapi
sekarang menggali tanah untuk membuat batu bata...)
Selain itu di kalangan ibu-ibu ada arisan bersama, ada istilah
arisan gula. Intinya adalah menabung untuk suatu saat diambil
hasilnya. Ada juga yang mengusahakan uang dari peminjaman
terhadap rentenir yang mematok bunga tinggi atas pinjaman uang

75

yang dihasilkan. Menurut keterangan ibu-ibu peminjam uang tersebut


banyak dilakukan oleh warga sekitar yang memiliki banyak uang.
Untuk uang Rp100.000,00 yang dipinjam nanti kembalinya bisa
mencapai Rp120.000,00, yang bisa dibayar mingguan atau bulanan
tergantung dari besar kecilnya pinjaman.
2.9 Teknologi dan Peralatan
Teknologi dan peralatan yang ada di desa Kalangan seperti
halnya desa sekitar sudah cukup maju. Mobil, motor dan sepeda
menjadi kendaraan sehari-hari warga Desa Kalangan. Kepemilikan
sepeda motor merupakan lambang pergaulan dari remaja desa
setempat, adalah merupakan prestige atau kebanggaan apabila
orangtua bisa membelikan anak mereka kendaraan bermotor
terutama roda dua.
Transportasi umum dari dan menuju desa atau kecamatan dari
ibukota kabupaten sangat sulit didapatkan. Sehingga kepemilikan
motor memang akan memudahkan mobilitas warga menuju tempattempat yang mereka ingin tuju. Termasuk juga pada akses pelayanan
kesehatan.
Akses terhadap jaringan komunikasi juga mudah, jaringan
sinyal telekomunikasi di desa Kalangan sangat mudah diakses, baik itu
jaringan telepon seluler maupun internet. Di salah satu dukuh juga
tersedia warung internet yang menjadi usaha salah satu warga.
Teknologi dan peralatan pertolongan persalinan juga sudah
cukup maju dan bisa diakses dengan mudah. Apabila perlu dilakukan
pemeriksaan kehamilan dengan menggunakan USG dengan dokter
kandungan, bisa dilakukan di RS terdekat yang ada di Kecamatan.
Pada jaman dahulu, teknologi dan peralatan pertolongan
persalinan di Desa Kalangan masih sangat sederhana. Saat masih
belum ada akses terhadap tenaga kesehatan dalam pertolongan
persalinan, masih menggunakan jasa dukun bayi. Pertolongan juga
dilakukan dengan sederhana di rumah ibu hamil yang akan

76

melahirkan, dilakukan di lantai tanah dan dialasi oleh tikar yang sudah
lusuh. Seperti diungkapkan oleh mbah H (101 tahun) mantan dukun
bayi di salah satu dukuh di Desa Kalangan sebagai berikut,riyin niku
nulung lahiran teng nggriyo, lair e teng jubin, digelari kaliyan kloso
amoh (dulu menolong kelahiran dilakukan di rumah, lahir di lantai
dan dialas dengan tikar lusuh). Pengalaman Bidan Desa saat pertama
kali bertugas di Desa Kalangan sekitar 17 tahun yang lalu, juga
menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut,dulu itu ngeri
menolong kelahiran disini, lahirnya dirumah, kondisi rumah warga
juga belum seperti sekarang ini, lahiran dilantai, sama dukun tidak
segera dirawat bayinya, yang didahulukan merawat ari-arinya, bayinya
digeletakkan begitu saja kedinginan.
Pada saat sekarang dukun Mbah H dan keturunannya Ibu S
sudah tidak menolong persalinan. Sudah bermitra dengan bidan dan
Puskesmas. Mereka hanya bertugas mendampingi ibu hamil di fasilitas
kesehatan. dan melakukan perawatan secara budaya kepada bayi
yang baru lahir.

77

BAB 3
KESEHATAN MASYARAKAT DESA KALANGAN
3.1 Penyakit Menular
3.1.1 Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) bervariasi
menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit
berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan dan efektivitas
pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk
mencegah penyebaran, faktor penjamu (usia, kebiasaan merokok,
kemampuan penjamu menularkan infeksi, status kekebalan, status
gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh
patogen lain, kondisi kesehatan umum dan karakteristik patogen,
seperti cara penularan, daya tular), faktor virulensi (gen penyandu
toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum)
(WHO,2007).
Berdasarkan data dari Puskesmas Kecamatan Pedan per Maret
2015, penderita penyakit ISPA yang berobat ke Puskesmas sebesar
436 orang dengan penderita merata dari usia kurang dari 1 tahun
hingga lebih dari 65 tahun.
Faktor lingkungan penyebab ISPA dikarenakan masyarakat
masih melakukan pembakaran untuk pengolahan sampah rumah
tangga.

Gambar 3.1 Pembakaran Sampah yang Menimbulkan Asap


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

78

3.1.2 Diare
Diare merupakan suatu kumpulan dari gejala infeksi pada
saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa organisme
seperti bakteri, virus dan parasit. Beberapa organisme tersebut
biasanya menginfeksi saluran pencernaan manusia melalui makanan
dan minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut (food
borne disease). Organisme penyebab diare biasanya berbentuk renik
dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan gejala klinisnya. Jenis yang pertama adalah diare cair akut
dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang besar
sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat.
Jenis kedua adalah diare akut berdarah yang sering disebut dengan
disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang
disebabkan akibat kerusakan usus. Balita yang menderita diare
berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak
pada penurunan status gizi. Jenis yang ketiga adalah diare persisten
dimana kejadian diare dapat berlangsung 14 hari. Diare jenis ini sering
terjadi pada anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam
kondisi infeksi (WHO, 2009).
Berdasarkan data dinas kesehatan Kabupaten Klaten yang
berasal dari data rekapitulasi Puskesmas Kecamatan Pedan tahun
2014, terdapat 834 orang dari berbagai kelompok usia menderita
diare. Penderita diare terbanyak adalah kelompok usia >15 tahun
sebanyak 426 orang dan usia 1-4 tahun sebanyak 244 orang (Dinas
Kesehatan Kabupaten Klaten, 2014). Sedangkan berdasarkan data
Puskesmas Kecamatan Pedan per Maret 2015, penderita diare yang
berobat di Puskesmas sebanyak 125 orang dari berbagai kelompok
usia. Penyakit diare di Desa Kalangan kemungkinan terjadi karena
faktor kebersihan yang kurang, kurangnya kesadaran mencuci tangan
menggunakan sabun, BAB sembarangan, dan sarana sanitasi air bersih
yang kurang di wilayah timur Desa Kalangan.

79

3.1.3 HIV/AIDS
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD)
Kabupaten Klaten, persebaran HIV/AIDS di Kabupaten Klaten
meningkat setiap tahunnya. Dari tahun 2007-2014 penderita HIV/AIDS
di Kabupaten Klaten mencapai 236 orang, dengan HIV sebesar 126,
AIDS sebesar 110, dan meninggal sebesar 31, Kecamatan Pedan
sendiri tercatat ada 12 orang (KPAD Kabupaten Klaten, 2014).
Tingginya kejadian HIV/AIDS di Kecamatan Pedan tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan tempat prostitusi yang ada di salah satu desa di
Kecamatan Pedan. Desa tempat prostitusi tersebut juga berbatasan
langsung dengan Desa Kalangan.
Berdasar keterangan Bapak E (25 tahun) bahwa banyak lakilaki dewasa dari Desa Kalangan yang sering berkunjung ke tempat
prostitusi tersebut. Bapak H (52 tahun) selaku ketua RW setempat
menyatakan bahwa wilayah prostitusi tersebut umumnya ramai
dikunjungi orang dari luar Pedan pada hari Pasaran Wage. Dengan
adanya prostitusi di wilayah tersebut dengan pengunjung dari
berbagai daerah, tidak bisa dipungkiri menjadi faktor risiko
penyebaran penyakit infeksi menular seksual dan HIV/AIDS.
3.2 Penyakit Tidak Menular
3.2.1 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)
dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner), dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai.
Penderita hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol
jumlahnya terus meningkat. Hipertensi merupakan silent killer dimana
gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
80

dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya itu adalah sakit


kepala/rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar-debar, mudah
Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan
(Kementerian Kesehatan RI,2014).
Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Pedan per Maret
2015, terdapat 348 orang yang menderita hipertensi esensial primer
yang berobat ke Puskesmas. Penderita terbanyak mayoritas berusia
4564 tahun ke atas (Puskesmas Kecamatan Pedan, 2015). Pola
makan yang tidak sehat menjadi faktor risiko pemicu penyakit
hipertensi. berdasarkan pengamatan di Puskesmas Pembantu Desa
Kalangan banyak pasien yang berobat dengan keluhan gejala
hipertensi dengan usia lanjut.
3.2.2 Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) atau disebut diabetes saja merupakan
penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak
memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
mengatur kadar keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi
peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemi)
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Pedan per November
2014, penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin yang
berobat ke Puskesmas sebesar 143 orang, dengan penderita DM
terbanyak adalah kelompok usia antara 45-64 tahun.
Berdasarkan data rekapitulasi dinas kesehatan Kabupaten
Klaten tahun 2014, penderita DM tergantung insulin yang berobat ke
fasilitas kesehatan baik itu Puskesmas mapun rumah sakit di Klaten
sebanyak 412 orang, sedangkan untuk penderita DM tidak tergantung
insulin sebanyak 11.758 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten,
2014).
Pola konsumsi masyarakat makanan dan olahan masakan
manis di Desa Kalangan menjadi faktor risiko penyakit DM. Kebiasaan

81

pola konsumsi makanan yang tidak sehat seperti minuman manis,


jajanan manis, dan konsumsi karbohidrat yang berlebih menjadikan
masyarakat rentan terhadap risiko penyakit DM.
3.2.3 Kelainan Jantung
Kelainan Jantung Bawaan (KJB) adalah kelainan struktur dan
fungsi jantung yang terjadi pada bayi sejak dalam kandungan. Janin
dalam kandungan memiliki kompensasi yang baik terhadap kelainan
ini, sehingga tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali KJB tidak
terdiagnosa sebelum bayi dilahirkan. Kelainan ini terjadi pada saat
janin berkembang dalam kandungan. KJB yang paling banyak
ditemukan adalah kelainan pada septum bilik jantung (Ventricular
Septal Defect/VSD) dan diikuti oleh kelainan pada septum serambi
jantung (Atrial Septal Defect /ASD). Masyarakat umumnya mengenal
kedua kelainan jantung ini dengan sebutan jantung bocor (Kompas,
2012).
Prevalensi KJB di Indonesia sekitar 8-10 dari 1.000 kelahiran
hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi dalam kondisi
kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada
bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian (Kompas, 2012).
Penyebab KJB sebagian besar tidak diketahui. Faktor
keturunan, ibu merokok, minum obat di luar resep dokter, infeksi
waktu hamil dikatakan memegang peranan penyebab KJB. Para ahli
menduga timbulnya KJB pada bayi baru lahir disebabkan oleh
gabungan beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi virus TORCH
(toksoplasma, rubela, cytomegalovirus/CMV dan herpes simplex) pada
saat kehamilan, penyakit gula pada saat kehamilan, kebiasaan
merokok, konsumsi obat tertentu seperti asam retinoat untuk
pengobatan jerawat, alkohol, dan faktor genetik atau keturunan
(Kompas, 2012).
Berdasarkan data Puskesmas Pedan tahun 2014, kejadian
kematian bayi dan balita yang diakibatkan oleh kelainan jantung
bawaan ada 4 anak, 2 diantaranya ada di Desa Kalangan.

82

Untuk penyakit jantung secara umum di Kabupaten Klaten,


berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten Klaten tahun 2014, 3
penyakit jantung yang ditangani oleh Puskesmas dan rumah sakit
adalah Angina Pectoris (nyeri dada karena jantung) sebanyak 835
kasus, Infark Miocard Acute (serangan jantung) sebanyak 693 kasus,
dan decompensatio cordis (jantung membengkak) sebanyak 2.576
kasus, dengan rentang usia penderita dari usia 15-44 tahun, 45-65
tahun hingga >65 tahun (Dinas Kesehatan kabupaten Klaten, 2014).
3.2.4 Gangguan Mental dan Kecacatan lain
Masalah gangguan mental di Desa Kalangan cukup merata ada
di setiap dukuh. Berdasarkan data RPJM Desa Kalangan tahun 2013
terkait kecacatan baik itu kecacatan tubuh, netra maupun mental,
seperti pada tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.1 Bentuk Kecacatan per Dukuh Desa Kalangan Tahun 2013
Dukuh

Jumlah Bedasar Jenis


Kecacatan
Tubuh
Netra Mental
3
1
4
2
4
1
1
2
1
7
5
2
1
5
1
1
1
1
4

Jumlah

2
11

3
4
54

Gebungan
Balon dan Kampung Baru
Durenan
Ngentak
Batokan
Klampisan
Mancungan
Jagulan
Tawangsari
Kalangan
Trunan, Bunderan, dan
Jembunan
Belan
2
Jiworagan
1
Nayan
Total
20
Sumber : RPJM Desa Kalangan Tahun 2013

1
1
23

8
6
2
2
1
14
1
6
2
5

83

Berdasarkan data rekapitulasi dinas kesehatan Kabupaten


Klaten tahun 2014, penderita Psikosis yang berobat ke Puskesmas dan
Rumah Sakit di Kabupaten Klaten sebanyak 858 kasus, dengan
penderita terbanyak berada direntang usia 15-44 tahun sebesar 522
kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten, 2014).
3.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Ada 10 indikator dalam menilai perilaku hidup bersih dan sehat
pada masyarakat, yaitu (1) persalinan oleh tenaga kesehatan, (2)
penimbangan balita, (3) ASI eksklusif, (4) cuci tangan pakai sabun, (5)
jamban sehat, (6) aktivitas fisik, (7) konsumsi buah dan sayur, (8) tidak
merokok dalam rumah (9) penggunaan air bersih, dan (10)
memberantas jentik nyamuk.
3.3.1 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Pedan dan
Puskesmas Pembantu Desa Kalangan, seluruh ibu hamil di Desa
Kalangan melakukan persalinan pada tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan. Namun oleh sebab kebijakan pemerintah pertolongan
persalinan dengan dibantu empat tangan (yaitu oleh bidan dan
pendamping bidan), maka bidan di Puskesmas Pembantu Desa
Kalangan tidak lagi melakukan pertolongan persalinan. Dikarenakan di
Puskesmas Pembantu Desa Kalangan Bidan Desa hanya seorang diri
melakukan pelayanan kesehatan dan Posyandu. Bidan Desa hanya
akan merujuk kepada Puskesmas Induk untuk persalinan normal tanpa
indikasi risiko, dan akan merujuk kepada tingkat pelayanan kesehatan
tertinggi yaitu Rumah Sakit Umum Pemerintah Dokter Soeradji
Tirtonegoro (RSST) Klaten yang lebih dikenal oleh masyarakat umum
dengan sebutan RS Tegalyoso apabila ada indikasi persalinan risiko
tinggi. Rumah Sakit rujukan yang lainnya adalah Rumah Sakit Umum
PKU Muhammadiyah Delanggu dan RSIA Aisyiyah Klaten.

84

3.3.2 Penimbangan Bayi dan Balita


Program penimbangan bayi dan balita di Desa Kalangan
dilakukan di Posyandu pada setiap bulannya. Ada 7 Posyandu yang
melingkupi 17 Dukuh yang ada di Desa Kalangan. Satu Posyandu
biasanya mencakup beberapa dukuh, seperti (1) Posyandu Dukuh
Gebungan (mencakup Dukuh Gebungan, Balong, Kampung Baru), (2)
Posyandu Dukuh Durenan (mencakup Dukuh Durenan, Ngentak, dan
Jiworagan), (3) Posyandu Dukuh Tawangsari (mencakup Dukuh
Tawangsari dan Jagulan), (4) Posyandu Dukuh Trunan (mencakup
Dukuh Trunan, Belan dan Jimbunan), (5) Posyandu Mancungan
(mencakup Dukuh Mancungan dan Bunderan), (6) Posyandu
Klampisan (mencakup Dukuh Klampisan, Nayan, dan Batokan) (7)
Posyandu Dukuh Kalangan. Kegiatan Posyandu di mulai pukul 09.30
WIB sampai selesai, meliputi kegiatan penimbangan bayi dan balita,
imunisasi (DPT, Penta, Polio dan Hepatitis), dan pemberian makanan
tambahan (PMT). Sedangkan untuk pemberian imunisasi Campak dan
BCG dilakukan di Puskesmas Pembantu di Desa Kalangan setiap
tanggal 25 setiap bulannya.
Posyandu di Desa Kalangan sudah menyesuaikan dengan
Sistem 5 meja meskipun masih ada beberapa hal yang belum
lengkap. Sistem 5 meja tersebut tidak berarti bahwa Posyandu harus
memiliki 5 buah meja untuk pelaksanaannya, tetapi kegiatan
posyandu harus mencakup 5 pokok kegiatan yaitu (1) Meja I:
Pendaftaran balita, ibu hamil, ibu menyusui, (2) Meja II: Penimbangan
balita, (3) Meja III: Pencatatan hasil penimbangan, (4) Meja IV:
Penyuluhan dan pelayanan gizi, (5) Meja V: Pelayanan Kesehatan, KB,
Imunisasi dan Pojok oralit (Dodik, 2012).
Pendataan dan pencatatan balita selalu dilakukan dalam
formulir pencatatan balita, bila anak sudah memiliki KMS, berarti
bulan lalu anak sudah ditimbang, dan apabila anak belum punya KMS
biasanya bulan ini baru ikut atau ada kemungkinan bahwa KMSnya
hilang. Banyak KMS yang hilang atau sobek. Seperti pada waktu

85

posyandu di salah satu dukuh Desa Kalangan, ketika ditanya kenapa


ini KMSnya ibu X pun menjawab, bukunipun disobek-sobek kagem
dolanan (bukunya dibuat mainan anak saya). Peristiwa seperti ini
sebenarnya juga sudah diberikan penyuluhan oleh Bidan Desa, namun
masyarakat sendiri masih kurang perhatian akan pentingnya buku
KMS.

Gambar 3.2 Partisipasi masyarakat di Posyandu Desa Kalangan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Partisipasi dan antusiasme warga Desa Kalangan dalam
mengikuti Posyandu balita cukup tinggi. Peralatan Posyandu cukup
lengkap, mulai dari timbangan injak, timbangan dacin 25 kg, serta
celana timbang atau sarung timbang. Tidak lupa pembagian makanan
tambahan.
Di sisi lain, masih ada posyandu pada salah satu dukuh yang
partisipasi masyarakatnya masih kurang. Dari 40 balita yang terdata,
yang hadir hanya setengahnya saja. Hal ini dikaitkan dengan pola
pengasuhan anak, banyak masyarakat Desa Kalangan yang menitipkan
anak pada kakek atau neneknya, bahkan juga tetangganya. Aspek
perpindahan tempat juga menjadi salah satu kendala bagi kader
dalam melakukan pencatatan penimbangan. Karena pada waktu
penimbangan, peserta biasanya pergi ke rumah mertua atau
86

saudaranya dalam jangka waktu yang lama. Ada juga karena balita
takut ditimbang dan disuntik oleh bidan, maka balita menjadi rewel
dan menangis jika diajak ke tempat posyandu. Berikut adalah jumlah
Balita yang ditimbang per April 2015 di Desa Kalangan:
Tabel 3.2 Jumlah Balita diukur dan ditimbang, Tahun 2015
Bulan (2015)
S (Sasaran)
D (Ditimbang) N (Diukur dan
Ditimbang)
Januari
354
310
287
Februari
355
312
312
Maret
346
314
287
April
350
326
154
Sumber: Data Laporan Posyandu Desa Kalangan per April 2015
Ada pula orang tua yang tidak menginginkan anaknya
diimunisasi, tapi diperbolehkan untuk ditimbang saja, karena paham
keyakinan yang dimiliki orang tua. Seperti disampaikan oleh Bapak K
(28 tahun) berikut ini:
...Saya sudah bilang ke bu Bidan, anak saya tidak perlu
diimunisasi, cukup ditimbang saja, karena apa? karena
ASI sudah cukup untuk menjaga imunitas, di agama juga
sudah dijelaskan itu...
Terkait dengan penolakan imunisasi, maka Bidan Desa meminta
orangtua balita untuk menandatangani surat pernyataan penolakan
imunisasi.
Dalam kaitanya dengan tempat penimbangan balita, dari hasil
pengamatan pada beberapa Posyandu di Desa Kalangan masih
dijumpai beberapa hal yang kurang, yakni berkaitan dengan
kebersihan tempat penimbangan maupun kebersihan peralatan untuk
penimbangan.
Masih banyak dijumpai tempat Posyandu yang kurang layak,
bangunan sudah tua, dan kurang bersih, mainan untuk anak-anak di
sekitar tempat penimbangan banyak yang kotor. Alat timbangan dan
sarung timbangan yang dipakai juga kurang bersih. Kondisi timbangan

87

injak juga sudah pecah pada skala pengukurannya. Namun juga ada
posyandu yang sudah menjaga kebersihan tempat penimbangan
ataupun peralatan penimbangan.
Penimbangan bayi dan balita dilakukan oleh beberapa kader
posyandu. Di Posyandu Desa Kalangan banyak kader yang sudah
berusia diatas 50 tahun keatas, hanya beberapa saja yang muda.
Kejadian kekeliruan melihat skala ukur penimbangan sering terjadi,
dikarenakan faktor usia yang memungkinkan daya penglihatan kader
mulai berkurang. Selain itu pengaruh kebersihan dari timbangan
dacin, dapat menyebabkan angka menjadi tidak begitu jelas terlihat.
Yang seharusnya 12 kg bisa terlihat dan tercatat menjadi 10 kg
dikarenakan salah satu faktor tersebut.

Gambar 3.3 Tempat Posyandu Balita yang Kurang Kondusif


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Di Posyandu Desa Kalangan, kegiatan di Meja 2 tidak ada
pencatatan pada secarik kertas yang terselip di KMS, akan tetapi

88

langsung menuju Meja 3 untuk memberitahukan secara lisan kepada


petugas pencatat KMS. Kemudian Bidan Desa memberikan
penyuluhan untuk orang tua balita setelah memeriksa KMS anak
dengan mempertimbangkan umur dan hasil penimbangan pada bulan
ini. Penyuluhan untuk ibu menyusui mengenai pentingnya ASI, garam
iodium dan vitamin A juga diberikan. Setelah selesai, ibu balita
mengambil PMT dengan menyumbang dana sebesar Rp1.000,00.
Beberapa macam PMT yang biasa dibagikan saat Posyandu
diantaranya adalah bubur kacang ijo, agar-agar, nasi kuning, bubur
sumsum, susu kedelai, telor rebus, makanan ringan dan roti. PMT bisa
dibuat sendiri oleh kader atau dibeli di toko.
Makanan tambahan yang dibeli di toko cenderung tidak
menyesuaikan kebutuhan sesuai dengan umur balita, karena terdapat
bahan-bahan kimia yang tidak cocok untuk dikonsumsi balita. Alasan
Posyandu yang membeli PMT dari toko adalah karena kepraktisan dan
harga yang terjangkau. Karena tidak semua kader memiliki waktu
untuk memasak oleh sebab kesibukan masing-masing. Selain itu, dana
untuk kegiatan Posyandu hanya didapat dari PNPM sebesar
Rp100.000,00 per Posyandu dan dari iuran PMT Rp1.000,00. Tidak ada
insentif untuk kader Posyandu.
3.3.3 ASI Eksklusif
Bayi yang baru lahir harus diberi ASI sesegera mungkin (dalam
waktu 30 menit) atau dalam 3 jam setelah proses kelahiran, kecuali
ada masalah tertentu yang menyebabkan pemberian ASI harus
ditunda atau tidak dapat dilakukan. Pengetahuan dan praktik medis ini
perlu diberikan kepada ibu yang baru pertama kali melahirkan, melalui
bimbingan petugas kesehatan. Selain diberikan bimbingan dalam
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ibu juga perlu dibimbing dalam
memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, karena makanan terbaik
untuk bayi sejak lahir sampai 6 bulan adalah ASI. Menyusui bayi hanya
dengan ASI eksklusif tanpa diberi makanan tambahan atau cairan lain
kecuali vitamin, mineral, dan obat. ASI bisa dan baik diberikan sesuai

89

keinginan bayi paling sedikit 8 kali sehari, saat pagi, siang, sore
maupun malam (Lyndon, 2014).
Warga Desa Kalangan sudah mengenal akan pentingnya ASI
eksklusif sebagai satu-satunya makanan buat bayi sekaligus untuk
daya imunitas agar bayi terhindar dari berbagai macam penyakit. Hal
ini karena banyaknya penyuluhan yang diberikan oleh Bidan ataupun
tenaga kesehatan setempat akan pentingnya ASI Ekslusif.
Berdasarkan observasi, banyak tempat pelayanan kesehatan
yang mencantumkan posterposter berisikan tentang pentingnya ASI
Ekslusif selama 6 bulan. Jalanjalan di kecamatan dan kota kabupaten
bisa ditemui baliho besar berisi ajakan untuk melaksanakan program
ASI Eksklusif.

Gambar 3.4 Baliho ASI Ekslusif di Klaten


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Poster atau baliho seperti tersebut sebagai sarana promosi
kesehatan kepada masyarakat akan pentingnya pemberian ASI
eksklusif kepada bayi. Seperti yang dipaparkan oleh Bidan Desa
Kalangan, bahwa sejak dulu bidan sudah menerapkan akan
pentingnya ASI Eksklusif pada ibu bersalin yang dimulai dengan cara
Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Bayi dilatih untuk mendapatkan ASI,

90

hubungan batin antara ibu dan bayi akan terjalin secara kuat melalui
program IMD.
Dari hasil pengamatan Posyandu di Desa Kalangan, pentingnya
ASI Eksklusif juga sudah disampaikan kepada ibu. Ketika anak
mengalami panas setelah pemberian imunisasi dianjurkan
memberikan ASI saja, tidak perlu diberi obat penurun panas.
Produksi ASI secara alamiah karena terdapat hormon di dalam
tubuh ibu, yaitu hormon prolaktin yang sudah ada sejak ibu hamil. Hormon
prolaktin akan dihambat oleh hormon progesteron ketika ibu sedang hamil
sehingga tidak menyebabkan produksi ASI keluar ketika ibu sedang hamil.
Ibu setelah melahirkan dapat memberikan ASI pada bayi meskipun
adakalanya mengalami kesulitan karena ASI kurang lancar. Menurut Ibu S
(34 tahun), warga di Desa Kalangan meyakini bahwa dengan mengkonsumsi
jagung marning dapat memperlancar ASI.
3.3.4 Cuci Tangan Pakai Sabun
Cuci tangan pakai sabun (CTPS) adalah perilaku sehat yang terbukti secara
ilmiah dapat mencegah penyebaran penyakit menular seperti cacingan, diare, ISPA,
dan Flu burung (Buku Panduan Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia, 2012).
Perilaku cuci tangan pakai sabun masih belum menjadi
kebiasaan atau suatu yang rutin dilakukan oleh masyarakat di Desa
Kalangan. Terkadang masyarakat masih menggunakan air saja untuk
mencuci tangan. Cuci tangan pakai sabun hanya dilakukan apabila
tangan terlihat kotor setelah melakukan aktivitas seperti dari sawah,
membuat batu bata, ataupun sehabis buang air besar. Pengamatan
pada waktu kerja bakti dalam acara bersihbersih di lokasi makam
dukuh, ketika kegiatan selesai dan istirahat, warga dijamu untuk
makan di tempat pengurus kegiatan tersebut.

91

Gambar 3.5
Tempat Cuci
Tangan di
Ember Hitam
Sumber :
Dokumentasi
Penelitian
2015

Warga mencuci tangannya sebelum makan, namun tidak


menggunakan sabun, airnya pun bukan dari air mengalir, hanya air
yang ditampung didalam ember. Warga bergantian mencuci tangan
dengan di ember yang sama, kemudian mereka makan bersama.
Pengamatan juga dilakukan pada saat ada kegiatan latihan seni
Larasmadya. Para pemain selain memegang alat musik, juga makan
makanan kecil yang disuguhkan. Tanpa mencuci tangan pakai sabun,
setelah berlatih mereka langsung melahap hidangan makanan utama.
Teknik cuci tangan pakai sabun yang benar dilakukan selama
10-20 detik dengan menggunakan air mengalir. Teknik CTPS ada enam
langkah yaitu, telapak tangan dibersihkan dengan sabun, punggung
tangan, sela-sela jari hingga kuku, kunci kedua tangan diantara selasela jari, lalu putar dengan gerakan tangan kiri ke kanan dan
sebaliknya, dan putar untuk membersihkan jari tangan. Setelah itu,
tutup keran dengan siku atau dengan tisu. Untuk membuka gagang
pintu kamar mandi pun sebaiknya demikian. CTPS adalah salah satu
tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari
dengan menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi
bersih dan bebas dari kuman pembawa penyakit (Kemenkes RI, 2014).

92

3.3.5 Jamban Sehat


Sebagian besar warga Desa Kalangan sudah memiliki fasilitas
kamar mandi dan jamban sendiri. Hasil pengamatan di sekitar dukuh,
beberapa kamar mandi dan jamban warga terletak di depan rumah
atau di seberang rumah induk. Model kamar mandi diluar adalah
model bangunan rumah lama.

Gambar 3.6 Sumur dan Kamar mandi warga berada di depan rumah
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Untuk bangunan rumah yang sudah modern umumnya kamar
mandi sudah berada di dalam rumah. Sebagian besar jamban warga di
Desa Kalangan sudah memakai jamban leher angsa. Namun masih ada
warga yang masih melakukan buang air besar (BAB) tidak di jamban
sehat. Di wilayah Dukuh Klampisan dan Ngentak belum semua warga
memiliki jamban sehat. Kondisi wilayah dengan banyak sawah, hutan
dan sungai memungkinkan warga untuk melakukan BAB
sembarangan. Meskipun di beberapa rumah sudah memiliki jamban,
namun saluran pembuangannya masih langsung ke sungai, belum
memiliki SPAL. Untuk itu desa melakukan program pembuatan jamban
sehat pada beberapa rumah yang belum memiliki jamban. Seperti

93

diungkapkan Bapak M (36 tahun) selaku Wakil Ketua Karang Taruna


Desa Kalangan berikut ini:
Desa Kalangan mendapat dana sebesar 25 juta dari BPD
untuk program tersebut, seiring juga untuk pengeboran
sumur, pembuatan tower, serta juga mendapat support
dari BKM untuk pengadaan MCK. Karena memang di
wilayah Dukuh Klampisan air masih keruh dan asin, selain
itu juga tingkat kesadaran warga dalam buang air besar
masih sembarangan, tak terlepas juga di Dukuh Ngentak
dan Belan. Dari survei dinas kesehatan, tiga dukuh
tersebut masih tergolong mampu, prioritas pembelian
bukan pada MCK akan tetapi lebih mementingkan
barangbarang elektronik seperti TV, kulkas, bahkan
sepeda motor juga lebih dari satu. MCK yang diberikan
masih belum 100%, dari 16 MCK yang didata, baru 10
MCK yang diberikan, untuk 6 lainnya masih menyusul,
kemungkinan tahun ini baru akan diberikan kepada
masyarakat setempat.
Berdasarkan pengamatan masih sering dijumpai warga yang
BAB di sawah atau ladang. Bahkan lahan milik desa yang ada didepan
Pustu Desa juga digunakan salah seorang warga untuk BAB sembari
menggembala kambing.
Gambar 3.7
Warga Desa
Kalangan yang
BAB
sembarangan
Sumber:
Dokumentasi
Penelitian 2015

94

3.3.6 Aktivitas Fisik


Masyarakat Desa Kalangan melakukan aktivitas fisik dengan
cara berbeda-beda. Ada yang melakukannya dengan berjalan-jalan di
sekitar area persawahan, biasanya orangtua bersama anak-anaknya
yang masih Balita. Anak-anak sekolah pergi ke sekolah memakai pit
(sepeda angin) secara berkelompok.
Mulai terbit fajar biasanya warga yang berprofesi sebagai
petani dan buruh tani bekerja di sawah, aktivitasnya seperti
mencangkul, membersihkan tanaman pengganggu, mengairi lahan,
maupun menyemprot hama. Aktivitas tersebut dilakukan hingga siang
hari, kemudian jika masih banyak yang belum terselesaikan mereka
kembali setelah makan siang hingga matahari akan terbenam.
Para perempuan umumnya melakukan aktivitasnya di rumah.
Selain sebagai ibu rumah tangga yang berkegiatan memasak dan
mengasuh anak-anak, perempuan juga melakukan kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi perempuan di rumah adalah berjualan di warung,
membuat kerajinan keset dari kain, atau membuat keripik tempe.
Sepeda angin atau berjalan kaki sebagai sarana untuk mobilisasi di
sekitar dukuh, meskipun beberapa sudah menggunakan sepeda
motor.
Selain sebagai buruh tani, ada juga dari masyarakat Desa
Kalangan baik itu laki-laki maupun perempuan beraktivitas sebagai
sebagai pembuat batu bata dan pengrajin tempe dan kripik tempe.
Pembuatan batu bata dilakukan mulai dari pagi sampai sore hari. Ada
juga yang melakukannya pada sore atau malam hari setelah paginya
bekerja di pabrik.
Anak-anak biasa melakukan aktivitas sekolah, mengaji TPA dan
bermain sepeda atau layang-layang. Kegiatan olahraga yang diadakan
oleh SD Desa Kalangan biasanya terlihat mengajak anak-anak didik
berjalan mengelilingi desa. Remaja biasa melakukan aktivitas
berkumpul-kumpul dengan sebaya pada malam hari, dan apabila ada
hajatan maka para remaja tergabung dalam sinoman yang membantu
dalam hajatan. Aktivitas lain yang sering tampak adalah kegiatan kerja

95

bakti dukuh yang dilakukan bersama-sama oleh warga untuk


membangun jalan, memperbaiki tempat ibadah atau sekedar
membersihkan jalan atau wilayah pemakaman dukuh.
3.3.7 Konsumsi Buah dan Sayur
Makanan sehari-hari masyarakat di Desa Kalangan dicukupi
dengan banyaknya penjual makanan jadi. Lauk pauk, sayuran dan
jajanan lokal dijajakan berkeliling atau dijual di warung-warung.
Sayuran olahan jadi seperti pecel bisa dibeli pada penjual pecel yang
ada di setiap dukuh. Pecel adalah olahan sayur dan bumbu kacang.
Sayuran pecel antara lain kenikir, kangkung, bayam, daun singkong,
dan daun ketela, kecambah, kacang panjang, dan bunga turi.
Tambahan lauk lainnya bisa berupa gorengan tempe, rempeyek atau
kerupuk dan mie kuning.

Gambar 3.8 Sayur Pecel


Sumber : Dokumentasi Penelitian 2015
Konsumsi sayur masyarakat Desa Kalangan tercukupi oleh
penjual pecel di tiap dukuh. Untuk konsumsi buah masih kurang. Buah
yang sering dikonsumsi hanya pisang dan pepaya yang tumbuh di
lahan tanah mereka atau bisa dibeli di pasar dengan harga terjangkau.

96

3.3.8 Tidak Merokok dalam Rumah


Sebagian besar penduduk laki-laki di Desa Kalangan adalah
perokok aktif. Setiap ada pertemuan warga, rokok tidak pernah absen
keberadaannya, baik itu dilakukan di dalam maupun di luar ruangan.
Remaja perokok bukan menjadi hal yang ditabukan. Anak
sekolah merokok secara sembunyisembunyi bersama temantemannya di luar rumah dan sekolah. Perilaku merokok dilingkup
keluarga yang melibatkan bapak dan anak dijelaskan oleh Bapak P (45
tahun) bahwa dulu Bapak P merupakan seorang perokok berat,
sampai pada akhirnya beliau berhenti merokok karena sakit batuk
yang tidak kunjung sembuh. Setelah beberapa tahun tidak merokok
akhirnya batuk Bapak P sembuh. Akan tetapi di kemudian hari, bapak
P ingin mencoba merokok lagi, namun batuknya kembali kambuh.
Sehingga Bapak P sadar dan berniat tidak merokok selamanya. Bapak
P bercerita kalau anak laki-lakinya juga merokok, beliau sudah
mengingatkan, akan tetapi anaknya menjawab, Bapak mbiyen lho
ngrokok nyapo aku kok ora oleh ngerokok? (Bapak dulu merokok,
kenapa saya tidak boleh merokok?). Namun setelah menikah, anak
Bapak P berhenti merokok karena dimarahi oleh istrinya.
Warga merokok dimana saja. Ketika ada kegiatan acara
hajatan, banyak orang yang merokok di sekitar orang lain yang tidak
merokok (perokok pasif).

Gambar 3.9 Perokok di Acara Hajatan


Sumber : Dokumentasi Penelitian 2015
Perilaku merokok di kalangan remaja Desa Kalangan cukup
marak. Berdasarkan observasi, remaja Desa Kalangan mulai dari SMP

97

dan SMA sudah merokok. Banyak ditemukan remaja usia SMP


merokok sehabis pulang sekolah dengan masih menggunakan
seragam sekolah. Mereka bergerombol di samping sekolah, menunggu
keadaan mulai sepi, kemudian mereka membagi-bagikan rokok untuk
dihisap bersama. Ketika ada orang dewasa melewati jalan tempat
mereka berkumpul, maka anak-anak tersebut dengan segera
menyembunyikan rokoknya.
Warga senang berkumpul (cangkruk) pada malam hari di
perempatan jalan mengobrol dan merokok. Selain itu banyak juga
orang dewasa yang merokok di dalam rumah, sehabis makan, atau
pada waktu melakukan pekerjaan. Faktor lingkungan adalah salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja di
sekitarnya. Di kantor desa, tempat pelayanan kesehatan, di rumahrumah masih banyak ditemui warga yang merokok. Merokok di sekitar
perokok maupun yang bukan perokok, bahkan di sekitar anak-anak
dan ibu hamil.
3.3.9 Penggunaan Sumber Air Bersih
Sumber air bersih warga masyarakat Desa Kalangan
didapatkan dari air tanah. Air tanah diambil dari sumur. Air sumur
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air seperti mencuci,
memasak, mandi, minum, dan mengairi sawah. Selain itu, kebutuhan
air minum juga bisa dibeli di warung-warung sekitar yang menjual air
mineral dalam kemasan galon.
Masih ada dukuh di Desa Kalangan yang kualitas sumber air
bersih kurang bagus. Di Dukuh Klampisan air sumurnya keruh. Pada
tahun 2014, ada program PAMSIMAS dari pemerintah pusat.
PAMSIMAS adalah Pengadaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat.
Dana
pembangunan
PAMSIMAS
sebesar
Rp343.750.000,00 untuk pengeboran sumur dalam, pompa,
membangun menara air, dan pengadaan instalasi listrik. Sehingga
sejak tahun 2014, warga Dukuh Klampisan bisa mengakses sumber air
bersih.

98

Gambar 3.10 Menara Air PAMSIMAS


Sumber : Dokumentasi Penelitian 2015
3.3.10 Memberantas Jentik Nyamuk
Kamar mandi di rumah-rumah warga Desa Kalangan
mempunyai bak mandi. Sebagian warga sudah sadar mengenai
kebersihan bak mandi, karena jentik-jentik nyamuk akan hidup bila
tidak dibersihkan. Menguras bak mandi secara berkala sudah
dilakukan oleh warga. Ada beberapa yang menggunakan cairan
antiseptik yang dilarutkan ke dalam air pada bak mandi.
Keluarga yang masih memiliki anak bayi atau balita biasanya
menggunakan kelambu untuk menghindari gigitan nyamuk atau
serangga lain. Warga masing-masing dukuh juga mengadakan kerja
bakti setiap hari minggu untuk membersihkan pekarangan atau
halaman disekitar tempat tinggal.
Selain itu juga terdapat program dari PKK yang bekerjasama
dengan Dinas Kesehatan melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). Berdasarkan data Puskesmas Pedan, pada tahun 2014 di
Desa Kalangan ada 50 rumah tangga yang sudah mampu melakukan PSN.
Ada beberapa rumah tangga yang masih belum menerapkan kebersihan
baik di dalam maupun di luar rumah. Beberapa rumah tangga masih terlihat

99

sampah berupa kaleng-kaleng, atau wadah yang tergenang air yang berasal dari
air hujan. Hal tersebut berpotensi menjadi tempat sarang nyamuk.
3.4

Gizi
Terkait masalah gizi, di Desa Kalangan ada 1 balita yang berada
dengan status T2 dan Bawah Garis Merah (BGM). Balita A, berjenis
kelamin perempuan, lahir pada tanggal 4 Januari 2014. Berikut Tabel
Perkembangan Balita A sejak usia 12 bulan hingga bulan April 2015,
saat Posyandu:
Tabel 3.3 Berat Badan dan Tinggi Badan Balita A, Tahun 2015
Bulan (2015)
BB (Kg)
TB (cm)
Januari
6
61
Februari
5,9
61
Maret
6
61
April
6,4
61
Sumber: Laporan Gizi Desa Kalangan, Puskesmas Pedan per April 2015
Menurut keterangan bidan desa, balita A memang memiliki
kelainan sejak lahir, sehingga perkembangannya menjadi lambat tidak
seperti Balita normal seusianya. Di samping itu, pola pengasuhan
Balita A juga terabaikan, karena faktor ekonomi keluarga.
Secara umum, pola makan dan asupan gizi warga Desa
Kalangan tercukupi dengan adanya penjual makanan olahan, baik itu
sayuran maupun lauk berprotein seperti tempe, ayam, telur, daging.
Banyak variasi makanan lokal yang mengandung gizi yang dengan
pengolahan yang baik akan menunjang gizi masyarakat. Karena
makanan di desa Kalangan bisa didapat dengan mudah dan murah.
Banyak pula acara adat tradisi masyarakat setempat yang
selalu membagikan makanan kepada seluruh warga desa seperti pada
acara hajatan pernikahan, khitanan atau kematian.
3.5

Kesehatan Ibu dan Anak


Kehamilan, persalinan, dan menyusui merupakan proses
alamiah bagi kehidupan seorang ibu dalam usia produktif. Bila terjadi
gangguan dalam proses ini, baik itu gangguan fisiologis maupun

100

psikologis, dapat menimbulkan efek yang buruk. Efek tidak hanya


terhadap kesehatan ibu sendiri, tetapi juga bisa membahayakan bayi
dalam kandungan, bahkan tidak jarang juga menyebabkan kematian
ibu. Kejadian kematian ibu dan anak yang terbanyak adalah pasca
persalinan, dan hari-hari pertama kehidupan bayi.
Angka kematian bayi dan balita di Kabupaten Klaten masih
cukup tinggi. Kejadian kematian bayi dan balita
mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2013 hingga tahun 2014.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten tahun 2014
peningkatan jumlah kematian bayi dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut
ini:
Tabel 3.4 Jumlah Kematian Bayi di Kabupaten Klaten Tahun 2013 dan 2014
Tahun
Jumlah Kematian Bayi
2013
172
2014
191
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten 2014
Seperti yang tertera pada tabel 3.4, kematian bayi secara
keseluruhan di wilayah Kabupaten Klaten tahun 2014 meningkat dari
tahun 2013, yang semula dari 172 menjadi 191.
Sebab peningkatan kematian bayi tersebut diungkapkan sesuai
dengan pemaparan dari Kepala Sub Bidang Kesehatan Keluarga Dinas
Kesehatan Kabupaten Klaten sebagai berikut:
Kalau untuk kematian bayi kebanyakan adalah karena
BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah). Pengkajian penyebab
BBLR sendiri dari Dinas masih belum secara mendalam.
Akan tetapi, dari evaluasi secara kasar memang ibunya
ada riwayat seperti TB atau hipertensi dan pada akhirnya
mengalami determinasi. BBLR juga karena belum cukup
umur...
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia
101

kandungan. BBLR dapat digolongkan menjadi dua yakni BBLR dengan


prematuritas murni dan BBLR dismatur. BBLR prematuritas murni
merupakan BBLR yang memiliki masa kehamilan kurang dari 37
minggu (neonatus kurang bulan/prematur). Sedangkan BBLR dismatur
yaitu BBLR yang lahir dengan berat badan kurang dari yang seharusnya
untuk masa kehamilan (Lyndon, 2014).
Penyebab dan dampak BBLR sangat kompleks. Nutrisi yang
buruk dimulai dari pertumbuhan janin dalam rahim akan
memengaruhi seluruh siklus kehidupan. Hal ini memperkuat risiko
terhadap kesehatan individu dan meningkatkan kemungkinan
kerusakan untuk generasi masa depan. Gizi buruk, yang terlihat
dengan rendahnya tinggi badan ibu (stunting), dan berat badan di
bawah normal sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama hamil
merupakan salah satu dari prediktor terkuat persalinan dengan BBLR.
Secara ilmiah intervensi nutrisi seperti suplemen makanan pada
remaja, wanita usia subur dan selama hamil terbukti efektif dalam
mencegah BBLR (ACC/SCN,2000).
Selain permasalahan BBLR, faktor yang memengaruhi
terjadinya kematian ibu dan anak menurut keterangan dari sub bidang
kesehatan keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten adalah
pelayanan kesehatan, sumberdaya manusia, sarana prasarana dan
kerjasama lintas sektoral yang masih perlu lebih ditingkatkan.
Pelayanan kesehatan secara kuantitas memang
sudah bagus dalam pencapaian program, akan tetapi
secara kualitas masih perlu dikaji secara mendalam.
Kendala lainnya adalah dari sumber daya manusianya
masih yang perlu peningkatan pada knowledge dan
skill. Kemudian dari sarana prasarana dari PKD
(Poliklinik Kesehatan Desa) yang perlu ditingkatkan,
serta kerja sama lintas sektoral yang masih sulit,
karena dalam penanganan kasus kesehatan ibu dan
anak tidak mampu diselesaikan sendiri dari pihak
Dinas Kesehatan dan harus memerlukan bantuan dari

102

pihak lintas sektoral dan


menyelesaikannya.

stakeholder

untuk

Peningkatan jumlah kasus kematian bayi dan balita terjadi


secara keseluruhan di 34 Kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten tahun 2014 menyebutkan
bahwa kecamatan yang paling banyak kejadian kematian bayi dan
balita adalah Kecamatan Pedan. Jumlah kasus kematian bayi sebanyak
9 kasus, yang terdiri dari kematian pada usia 0-6 hari, kematian pada
usia 7-28 hari, kematian disebabkan karena BBLR, Asfiksia dan
Kelainan Kongenital. Salah satu desa dengan jumlah kematian bayi
dan balita yang cukup tinggi di Kecamatan Pedan adalah Desa
Kalangan (3 kasus kematian dalam 1 tahun).
Desa Kalangan merupakan daerah perdesaan yang di terletak
di ujung Timur Kecamatan Pedan. di tengah-tengah desa, terdapat
hamparan sawah yang sangat luas milik warga desa ataupun milik
desa. Berdasarkan Data Puskesmas Pedan tahun 2014, banyaknya
kematian bayi dikarenakan Pre-eklamsia Berat (PEB), Intra Uterineri
Fetal Death (IUFD) atau kematian janin dalam kandungan, dan
Kelainan Jantung Bawaan (KJB).
Kejadian kematian bayi tidak berdiri sendiri, kesehatan ibu bisa
dirunut dari masa atau fase sebelum kehamilan sampai dengan bayi
lahir, yaitu fase pra hamil, hamil dan melahirkan serta nifas.
3.5.1 Masa Pra Kehamilan
Masa pra kehamilan sering dikaitkan dengan masa remaja,
dimana menurut World Health Organization (WHO), remaja
(adolescence) adalah berusia 10-19 tahun, sementara di terminologi
lain menyebutkan bahwa PBB menyebutkan anak muda (youth) untuk
mereka yang berusia 15-24 tahun yang kemudian disatukan dalam
sebuah terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia
antara 10-24 tahun. Masa remaja adalah fase utama pembangunan
manusia. Perubahan biologis dan psikososial yang cepat yang terjadi
selama dekade kedua memengaruhi setiap aspek kehidupan remaja.

103

Perubahan ini membuat remaja masa yang unik dalam kehidupan


dirinya sendiri, serta waktu yang penting untuk meletakkan dasardasar kesehatan yang baik di masa dewasa (WHO, 2014).
Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan,
munculnya berbagai kesempatan, dan seringkali menghadapi risikorisiko kesehatan reproduksi. Remaja sering kurang informasi dasar
mengenai kesehatan reproduksi, hubungan seksual, dan akses
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang terjangkau serta
terjamin kerahasiaannya. Jaminan kerahasiaan, kemampuan
membayar, dan persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang
ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi
remaja pada akses pelayanan kesehatan. Di samping itu, terdapat pula
hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan
informasi kepada kelompok remaja. Banyak pula di antara remaja
yang kurang atau tidak memiliki hubungan yang stabil dengan orang
tua maupun dengan orang dewasa lain (Kilbourne, 2000).
Periode remaja merupakan Window Opportunity, periode
yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang
baik agar tidak mengalami masalah kesehatan di kemudian hari, dan
menjadi manusia dewasa yang sehat dan produktif. Beberapa masalah
yang sering dialami oleh remaja antara lain anemia, kegemukan,
mental-kejiwaan (gangguan belajar), perilaku berisiko (merokok,
hubungan seks pra nikah, penyalahgunaan narkoba, hingga terjangkit
HIV/AIDS). Oleh sebab itu, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
sangat penting untuk dimiliki. Kesehatan reproduksi remaja adalah
suatu keadaan di mana remaja dapat menikmati kehidupan
seksualnya serta mampu menjalani fungsi dan proses reproduksinya
secara sehat dan aman.
Pengetahuan kesehatan yang penting untuk diketahui oleh remaja
antara lain adalah tentang tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi
remaja, penyakit menular seksual, HIV/AIDS, penyalahgunaan NAPZA,
komunikasi dan konseling pendidikan ketrampilan hidup sehat.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja akan membentuk suatu

104

perilaku yang dipengaruhi oleh pendidikan, sosial, ekonomi, sosial budaya,


pengalaman, dan lingkungan.
Penyebab utama kematian pada remaja perempuan usia 15-19
tahun adalah komplikasi kehamilan, persalinan, dan komplikasi
keguguran. Remaja usia 15-24 tahun memiliki angka tinggi untuk
penderita penyakit menular seksual (Arsita, 2012).
Keadaan remaja yang ada di Desa Kalangan, mulai dari
pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi sudah mereka dapatkan
rata-rata di bangku sekolah. Pergaulan atau interaksi remaja yang berlaku
di masyarakat ada batasan-batasan tertentu. Terdapat nilai-nilai yang
sudah diterapkan dalam budaya masyarakat Desa Kalangan. Berdasarkan
keterangan dari salah satu anggota Karang Taruna Desa Kalangan, yakni
bapak M (31 tahun), beliau menyampaikan pandangannya mengenai
remaja yang ada di Desa Kalangan sebagai berikut:
...kalau masalah perilaku remaja, disini baik-baik
saja, ya cuman kalau pacaran wajar ya, paling cuma
boncengan gitu, terus udah pulang, kalau misalnya
masalah seks bebas di daerah sini hampir nggak ada,
sing malah sering ya mung ngrokok niku (yang sering
hanya merokok). Di sini itu kalau ada tamu lakilaki
misal datang ke rumah perempuan itu sudah ada
batasnya, jam sembilan niku wes sampun kudu
wangsul (itu sudah harus segera pulang) tamunya,
kalau misal melebihi, pihak Karang Taruna langsung
mendatangi, kemudian menegur...
Dari situasi ini Bapak M menyatakan kalau anak perempuan
juga sudah banyak yang dipantau oleh keluarganya, sengaja memang
tidak diperbolehkan keluar pada waktu malam hari, apalagi terlebih
dengan teman lakilaki. Selain itu juga, di Desa Kalangan terdapat juga
pembinaan untuk para remaja melalui Taman Pendidikan Alquran
(TPA), mulai dari remaja sampai dewasa. Biasanya dilakukan 3 kali

105

dalam seminggu di masjid Desa Kalangan. Banyak dari usia remaja


yang ikut mengikuti kegiatan TPA tersebut.
Bapak A (40 tahun) adalah salah satu pengurus dan pendiri TPA
di Desa Kalangan. Bapak A mempunyai komitmen apabila mengajar
harus menghasilkan pengajar-pengajar baru agar ilmunya bisa
tersampaikan dari generasi ke generasi. Bapak A juga memberikan
pernyataan mengenai remaja dalam mengikuti TPA sebagai berikut:
Kalau di situ (Desa Kalangan) ada Madrasah Diniyah
terus maju jadi ikatan TPA terus SMP terus SMA, itu ada
wadahnya ikatan Alumni Madrasah Diniyah Al Kautsar.
(karena) ketika TPA nanti diikat kencang, tapi ketika
remaja kan sok buyar. Jadi itu ada ikatan. Beberapa kali
(ada) pertemuan, kadang-kadang yang SMP-SMA suruh
ngajar adik-adiknya lagi, jadi mata rantai terus
Remaja Desa Kalangan dibentuk melalui media ikatan alumni
TPA, agar setelah selesai mengikuti TPA tetap bisa mengajarkan
kembali kepada adik kelasnya. Sistem inilah yang terus digalakkan
agar generasi muda khususnya remaja Desa Kalangan tetap
mempelajari ajaran-ajaran yang dapat dijadikan sebagai pembatas
perilaku negatif remaja. Materi kesehatan tidak secara langsung
diajarkan dalam TPA, namun adab-adab bersuci dalam Islam terkait
kebersihan dan kesehatan ada diajarkan, seperti di ungkapkan Bapak
A (40 tahun) berikut ini:
(TPA) diajarkan Thoharoh, Toharoh itu bersuci,
hukumnya ketika anak belum baligh 5 kewajiban
dibekali dengan edukasi, itu termasuk bersuci,
kewajiban sholat, wudhu, tayamum, sama istinja.
Buang air besar dan buang air kecil tidak boleh
membuang air besar dan air yang kecil di air yang
tenang, tidak boleh menghadap ke arah Kabah, terus
tidak boleh membuang air besar sembarangan.
membersihkan tinja itu ada aturannya, pakai air itu

106

kalau ada, kalau tidak ada ya pakai batu. kalau sekarang


di kota tidak ada batu ya pakai kapas. Diajarkan tentang
tayamum kalau nggak ada air ya pakai debu...
Pengajaran TPA yang diberikan kepada remaja di Desa
Kalangan merupakan salah satu media untuk pembentukan diri pada
remaja sekaligus untuk menekan tingkat kenakalan remaja.
Pembinaan dilakukan kepada remaja yang pernah terlibat minuman
keras. Bapak A pernah menjabat sebagai salah satu ketua Karang
Taruna dukuh. ditegaskan kepada anggota Karang Taruna bahwa
setiap ada kegiatan di dukuh kalau ada miras, maka Bapak A tidak
akan pernah mau datang pada acara tersebut. Seperti diungkapkan
Bapak A berikut ini:
setiap tiga bulan ada pertemuan belajar, terus saya
pernah ultimatum (bahwa) saya sebagai ketua, ketika
saya tidak bisa membina anak buah itu artinya tanggung
jawab moral. Ketika disitu ada kegiatan seperti itu
(miras), saya gak hadir..kalau perlu saya keluar,
silahkan, akhirnya manut (menurut)
Sejak dulu di Desa Kalangan sudah banyak remaja yang
melakukan kegiatan minum miras. Warga desa juga sudah banyak
yang mengetahuinya. Mereka melakukan kegiatan minum-minuman
keras pada tengah malam, biasanya dimulai pukul 23.00 WIB sampai
larut malam. Pernah ada razia dari aparat yang membuat jera remaja
yang melakukan minum-minuman keras. Namun kegiatan razia aparat
harus diteruskan agar kegiatan miras di lingkungan desa bisa reda.
Pergaulan remaja di Desa Kalangan memiliki faktor risiko
pengaruh dari desa sekitar. Desa Kalangan berbatasan langsung
dengan desa yang di dalamnya terdapat tempat prostitusi. Jarak lokasi
prostitusi dengan desa tidak terlalu jauh, akses jalan menuju ke
sekolah (SMP, SMA) atau pasar yang ada di ibukota kecamatan berada
di jalur yang sama tempat prostitusi tersebut. Hal ini berisiko
membahayakan remaja di sekitarnya.

107

Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan


Kabupaten Klaten menyatakan bahwa perilaku seks bebas dari remaja
di Kabupaten Klaten sudah sangat berisiko terhadap penularan
penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV-AIDS. Faktor utama
adalah perkembangan pergaulan, gaya hidup remaja dan faktor
ekonomi keluarga. Hal tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan
akan kesehatan reproduksi dari remaja itu sendiri. Di Desa Kalangan
dan Kabupaten Klaten secara umum baru masih akan dibentuk
program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang digunakan sebagai
salah satu wadah untuk penanggulangan masalah-masalah kesehatan,
termasuk didalamnya adalah masalah kesehatan ibu dan anak. agar
tidak terjadi keterlambatan yang menyebabkan kematian ibu dan bayi,
maka mengedukasi remaja pra hamil lebih akan memberikan hasil
yang baik untuk penurunan angka kematian ibu dan anak.
3.5.2 Masa Kehamilan
Kehamilan dimulai dari proses pembuahan sel telur wanita
oleh spermatozoa laki-laki. Kehamilan dibagi menjadi tiga periode
yaitu kehamilan triwulan pertama (antara 0 sampai 12 minggu),
kehamilan triwulan kedua (antara >12 sampai 28 minggu), kehamilan
triwulan terakhir (antara >28 sampai 40 minggu) (Arsita, 2012).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), jika tidak
melaksanakan asuhan Ante Natal Care (ANC) sesuai aturan,
dikhawatirkan akan terjadi komplikasi-komplikasi seperti perdarahan,
preeklamsia/eklamsia, hidraamnion, dan ketuban pecah dini.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah
kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada
perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu. Jika perdarahan terjadi di
tempat yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, maka umumnya
kematian maternal akan terjadi karena tidak ada pertolongan untuk
melakukan tindakan yang diperlukan (Rohjati, 2004).
Preeklamsia/eklamsia adalah kondisi kehamilan yang
disebabkan keracunan kehamilan, dengan tanda-tanda oedema
(pembengkakan), terutama pada tungkai dan muka, tekanan darah

108

tinggi, dan dari pemeriksaan laboratorium urine terdapat protein.


Kematian ibu karena eklamsia tinggi (Manuaba, 1999).
Kelainan letak (lintang), merupakan kelainan letak janin di
dalam rahim pada kehamilan tua (trimester ke tiga). Kepala janin ada
di samping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Janin letak lintang tidak
dapat lahir melalui persalinan normal (melalui jalan lahir biasa) karena
sumbu tubuh janin melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi
membutuhkan pertolongan operasi Caesar (Rochjati, 2004).
Hidramnion adalah kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih
dari dua liter. Keadaan ini mulai tampak pada trimester ke tiga, dapat
terjadi secara perlahanlahan atau sangat cepat.
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina
setelah kehamilan berusia 22 minggu. Ketuban dinyatakan pecah dini jika
terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban
dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu
maupun kehamilan aterm (Syaifudin, 2002).
Di Desa Kalangan kehamilan selalu identik dengan adanya
syukuran atau slametan yang dilakukan pada ibu hamil yakni pada bulan
ke tujuh kehamilan. Berdasarkan keterangan warga Desa Kalangan, istilah
itu disebut dengan Mitoni, hal ini biasanya dilakukan berdasarkan adat
Jawa dengan tujuan agar bayi yang dikandungnya selamat hingga
dilahirkan. Mitoni hanya dilakukan pada anak pertama saja, untuk anak
kedua tidak melakukan mitoni, hanya syukuran dengan kondangan saja.
Mitoni dilakukan dengan dipandu mbah dukun, mandi dengan air tujuh
sumur, kemudian ada sajian makanan untuk para tamu, dan panjatan doa.
Balutan tujuh kain jarik yang dipakaikan bergantian pada ibu hamil.
Ditambah dengan adanya dua buah kelapa yang diberi lukisan wayang
Kamajaya dan Kamaratih, untuk meramalkan anak yang dilahirkan nanti
laki-laki atau perempuan.
Pada masa sekarang, pemeriksaan kehamilan secara rutin
dilakukan di tempat bidan atau di pelayanan kesehatan lainnya sudah
menjadi pilihan setiap ibu hamil di Desa Kalangan. Dukun biasanya
hanya melakukan pijat ibu hamil dan bayi. Ibu Mw (30 tahun) adalah

109

ibu rumah tangga yang sebelumnya merupakan karyawan pabrik di


daerah Pedan, saat ini sedang hamil anak ke dua dengan usia
kehamilan enam bulan. Ketika hamil anak pertama, ibu Mw, pernah
memijatkan kandungannya ke dukun saat berumur 2 bulan dengan
keluhan anyang-anyangen (rasa ingin buang air kecil terus). Ibu Mw
memanggil dukun untuk mengobati keluhan tersebut, namun
keesokan harinya ibu Mw merasakan sakit pada perutnya. Seperti
dinyatakan ibu Mw berikut ini:
sing (hamil anak) pertama niko pun tak pijetke teng
mbah dukun. Sanjange dibenakne, malah loro bianget.
mijete bengi ngoten, isuke loro bianget. terus disuntik
bu bidan nopo ngoten mari. Setunggal pije, pas
pisanan anyang-anyangen niku, sanjange arep
dibenakne (kehamilan satu-dua bulan) malah loro
bianget saiki wes kapokwedi..
(yang pertama itu, yang sudah saya pijatkan di dukun.
katanya mau di benarkan, malah sakit sekali. Mijatnya
malam, paginya sakit sekali. lalu disuntik ibu bidan apa
itu (obat) kemudian sembuh. (hanya) satu kali pijat,
pada waktu pertama kali terasa ingin buang air kecil
terus itutapi malah sakit sekali. sekarang (saya) sudah
kapok, takut)
Setelah kejadian itu ibu Mw tidak mau lagi untuk ke dukun.
Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh bu Mw untuk kehamilan
pertama tidak serutin pada waktu kehamilan yang ke dua. Ibu Mw
pernah mengalami lemas sewaktu hamil anak pertama, setelah
diperiksakan ke bidan ternyata anemia. Ibu Mw diberikan obat
penambah darah dan vitamin. Namun kadang obatnya tidak diminum,
karena bau obat yang menurutnya tidak enak, kalau agak sakit baru
diminum lagi, setelah kelihatan enak di badan tidak diminum lagi. Dan
ketika belum genap sembilan bulan, air ketuban ibu Mw pecah dini,
sehingga pada proses persalinan diberi pil pacu.

110

Permasalahan kehamilan juga dialami oleh ibu P (24 tahun)


saat hamil anak ke dua. Ibu P tidak menyadari kalau dirinya sedang
hamil. Baru beberapa bulan kemudian diperiksakan ke Bidan praktek
mandiri dinyatakan positif hamil 3 bulan. Kehamilan pada bulan ke 6
telah diinformasikan oleh bidan bahwa posisi bayi melintang. Dan
disarankan USG ke dokter Sp.OG. Ibu P menanyakan kehamilannya,
dijawab bahwa, Mboten nopo-nopo, sopo ngerti mangke saget balik
posisine. (tidak apa-apa, siapa tau nanti bisa kembali posisinya).
Pentingnya ANC Terpadu untuk ibu hamil adalah untuk
menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan selama kehamilan.
Seperti apa yang disampaikan oleh Bidan Koordinator Puskesmas
Pedan bahwa selama ini Puskesmas sudah mengadakan program ANC
terpadu di wilayah Kecamatan Pedan. Program ini sudah berjalan
namun masalah-masalah kehamilan tetap saja banyak di lapangan.
Pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan juga berperan penting
terhadap penyaluran informasi-informasi mengenai kehamilan
sebagai pengetahuan untuk ibu hamil, dan ibu hamil aktif melakukan
kunjungan K1K4.
3.5.3 Melahirkan dan Nifas
Persalinan pada ibu di Desa Kalangan sudah banyak yang
dilakukan di pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, PKD, Bidan
Praktek Mandiri, dan rumah sakit. Pada saat ini (2015), Bidan di
Puskesmas Pembantu Desa Kalangan sudah tidak melakukan
pertolongan persalinan lagi dikarenakan kebijakan pemerintah dalam
hal pertolongan persalinan. Pertolongan persalinan wajib dilakukan
oleh empat tangan, artinya dilakukan oleh bidan dan pendamping
bidan. Tenaga kesehatan di Puskesmas Pembantu Desa Kalangan
hanya ada satu (1) orang bidan, dan tidak ada pendamping bidan atau
perawat. Apabila ada persalinan akan langsung dirujuk ke Puskesmas
Induk di Kecamatan Pedan.
Menurut warga Desa Kalangan, terkait dengan persalinan, ibu
hamil lebih memilih ke bidan praktek mandiri atau rumah sakit yang
peralatannya lebih lengkap. Ibu Mw (30 tahun) pernah melakukan

111

persalinan di BPM wilayah Kecamatan Karangdowo. Pada waktu


persalinan, Ibu Mw mengalami kendala air ketuban sudah pecah,
sehingga harus menggunakan perangsang kelahiran. Seperti
diungkapkan ibu Mw berikut ini:
(pakai) pil pacu, air ketubane pun pecah. nggih maju
tigang minggu, 8 (bulan) jalan, belum masuk (bulan)
sembilan. Kecapekan sanjange, jam kalih sampe jam lima
an. bar magrhib niku sampun kuwat, sanjange lek magrib
mboten angsal(lahiran), elek ngoten, ibu kulo, suruh
ngempet, mari niku suntik langsung kuwat. Lahir abis isya.
jane nggih ra iso diempet tapi taksih saget diempet
(dikasih pil pacu, air ketuban sudah pecah. Saat kelahiran maju 3
minggu, masih usia delapan bulan, belum masuk bula ke
sembilan. Katanya kecapekan. (Proses dari) jam dua sampai jam
lima, habis magrib itu sudah mau melahirkan (namun) katanya
tidak boleh melahirkan kalau maghrib, tidak bagus, (saya)
disuruh menahan dulu sama ibu saya. saya tahan, sehabis itu
disuntik langsung melahirkan, lahirnya sehabis isya(sekitar jam
7), sebenarnya ya tidak bisa menahan, tetapi masih bisa
ditahan).
Pada jaman dahulu, proses persalinan masih dibantu oleh dukun.
Persalinan dilakukan di rumah warga bukan di tempat pelayanan kesehatan.
Namun saat ini dukun berperan hanya sebagai mitra bidan yang
mendampingi ibu saat bersalin dan tidak boleh menolong persalinan. Dukun
saat ini hanya melakukan pijat bayi dan yang mengawal prosesi adat budaya
Jawa menyambut kedatangan bayi dalam sebuah keluarga.

112

BAB 4
KEMATIAN BAYI DALAM BALUTAN MITOS, TRADISI, DAN PERUBAHAN
SOSIAL MASYARAKAT JAWA DI DESA KALANGAN

Kematian bayi dan balita disebabkan oleh banyak faktor.


Penyebab utama kematian pada bayi dan balita menurut pandangan
medis (Subdit Gizi KIA Kemenkes RI) terutama masalah neonatal
adalah kelahiran prematur, asfiksia, BBLR, infeksi, penyakit infeksi
(Diare, Pneumonia, Malaria, Campak) dan masalah gizi (gizi kurang
dan gizi buruk) (Yunita, dkk, 2014). Berdasarkan data Riskesdas 2007,
kematian bayi terbanyak disebabkan oleh diare (42%) dan pneumonia
(24%), sedangkan penyebab kematian balita disebabkan diare (25,2%),
pneumonia (15,5%) dan DBD (6,8 %) (Badan Litbangkes, 2007).
Desa Kalangan sendiri berdasarkan data dari Puskesmas
Pembantu Desa Kalangan Kecamatan Pedan, dari tahun 2012 sampai
dengan bulan Mei 2015 tercatat ada 9 kasus, seperti pada tabel 4.1
berikut:
Tabel 4.1 Data Kematian Bayi di Desa Kalangan Kecamatan Pedan
tahun 2012 sampai dengan Mei 2015
Tahun Identitas
Jenis
Usia
Penyebab/Diagnosa
Kelamin
Anak
2012 By. Ny. B 1
Laki-laki
IUFD
By. Ny. B 2
Laki-laki
2 hari
BBLR
By.Ny.P
Perempuan 4 hari
Prematur
2013 By.Ny.S
Perempuan 3 hari
Aspexia
By.Ny.W
Perempuan 5 hari
Prematur, ibu HT
2014 By. Ny. Sw
Laki-laki
1 hari
Kelainan Jantung
By.Ny.P
Perempuan IUFD
Anak S
Laki-laki
18
Kelainan Jantung
bulan
Bawaan
2015 Bayi Ny.X
Laki-laki
IUFD

113

Sumber : Laporan Puskesmas Pembantu Desa Kalangan tahun 20122015


Penyebab medis kematian diketahui oleh tenaga kesehatan
dan sistem pelayanan kesehatan, namun masyarakat secara budaya
dalam hal penerimaan sebab kematian akan mencari dan
menghubungkan suatu hal dengan yang lain dalam koridor budayanya
untuk mencapai keselarasan dan penerimaan yang paripurna atas
datangnya kematian. Sakit dan/atau kematian dalam pandangan
masyarakat Jawa di Desa Kalangan adalah suatu kemalangan, yang
konsepnya harus diseimbangkan dengan selametan untuk mencapai
keadaan selaras yaitu keselamatan (sehat).
4.1 Mitos di Desa Kalangan
Masyarakat Jawa di Desa Kalangan masih menganut nilai
keselarasan-keseimbangan dalam kehidupan sehari-harinya. Nilai akan
karma baik dan karma buruk sangat dipercaya dalam meng adjust
kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu,
keluarga, maupun warga masyarakat. Selain itu, warga masyarakat
setempat masih meyakini adanya kekuatan-kekuatan yang bersifat
adikodrati yang menguasai dan bisa menimbulkan kejadian-kejadian
buruk bagi manusia. Keyakinan tersebut kemudian dijadikan acuan
berperilaku oleh warga masyarakat dan diwariskan secara
berkelanjutan, melalui cerita-cerita dalam bentuk mitos, baik yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat keberuntungan seperti
rezeki, kesehatan, maupun yang berhubungan dengan hal-hal
ketidakberuntungan, seperti sakit, kecelakaan, dan lain sebagainya.
Menurut J.Van Baal dalam H.J. Daeng (2012:81) mitos adalah
keyakinan, kepercayaan yang dianut warga masyarakat dalam
kerangka sistem religi yang di masa lalu atau masa kini dianggap
sebagai kebenaran keagamaan. Pengetahuan tentang mitos adalah
merupakan cara untuk mengungkapkan kehadiran kekuatan diluar diri
yang lebih Maha. Fungsi dari mitos adalah memberikan pedoman
kepada kelompok manusia untuk bertindak bijaksana karena

114

kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib di luar diri manusia


yang menguasai alam dan memengaruhi kehidupan baik maupun
buruk atau memengaruhi kondisi sehat atau sakit bagi manusia.
Secara budaya kesehatan setempat, fenomena kesehatan manusia
dan mitos tampak berkesinambungan satu dengan yang lainnya,
sebagaimana tampak pada pandangan masyarakat Desa Kalangan
mengenai sehat dan sakit. Sakit oleh masyarakat secara emik dianggap
sebagai kondisi ketidakseimbangan dalam kehidupannya. Sedangkan
konsep sehat adalah kondisi yang memungkinkan manusia untuk
mencapai keseimbangan hidup secara matrial dan spiritual, baik dalam
kehidupan jagad raya (makrokosmos) maupun diri pribadi (mikrokosmos).
Mitos yang diyakini masyarakat dari sejak dahulu yang
dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat, baik secara sadar
maupun tidak telah menjadi suatu ideologi. Golongan masyarakat
yang lebih muda di Desa Kalangan seringkali mengabaikan pantanganpantangan atau larangan yang diungkapkan oleh golongan yang lebih
tua, namun apabila sudah berada dalam keadaan kemalangan atau
sakit yang tidak bisa diobati oleh medis modern, maka menggunakan
cara alternatif melalui jalan orang pintar sesuai dengan petunjuk
dari para orang tua. Keadaan sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh
medis modern, umumnya diasosiasikan dengan adanya gangguan dari
makhluk halus penunggu rumah atau roh dari masa lalu terkait
dengan jaman kerajaan terdahulu yang pernah mendiami wilayah
Desa Kalangan. Seperti yang diceritakan oleh Bapak R (55 tahun)
terkait mitos kesehatan bayi berikut ini:
...bayi nangis(terus), dokter ora iso (nambani), isone kudu ndoleki
wong tuwo sing iso nambani, ditambani opo, keno sawan
jarene...
(...bayi menangis (terus), kalau dokter tidak bisa mengobati,
bisanya harus mencari orangtua atau orang yang dianggap bisa
untuk mengobati secara spiritual untuk kasus anak terkena
sawan atau gangguan dari makhluk halus...).

115

4.1.1 Tanah Wingit dan Tolak Bala


Masyarakat Jawa secara budaya berupaya hidup selaras
dengan alam. Pandangan mengenai alam tidak hanya alam lingkungan
yang didiami oleh makhluk hidup yang tampak, namun juga oleh
makhluk penghuni dunia lain. Masyarakat Jawa hidup berdampingan
dengan penghuni-penghuni yang lain. Penghuni alam lain tersebut
umumnya oleh masyarakat setempat disebut dengan jin (jim), setan,
roh leluhur (danyang), dan semua hal yang berada di luar diri
manusia. Semua hal diluar diri manusia yang tidak bisa diprediksi
dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya. Terutama bagi orangorang yang dianggap lemah seperti bayi dan ibu hamil. Sehingga
simbol-simbol dari tolak bala selalu ada dalam setiap kehidupan orang
Jawa di Desa Kalangan.
Untuk bayi, ada beberapa simbol tolak bala yang umum
dipasang di tempat tertentu agar terhin dari hal-hal magis yang tidak
diinginkan. Seperti diungkapkan Ibu S (58 tahun) berikut ini:
...Ari-ari kakung tengen, estri kiwo pendeme. Wong tuwo
dikeki warna areng coro Jowo sak meter werno ireng putih.
Jaman suwargi simbah-simbah nggih ngaten nggo nolak bolo.
Diclereti sampe ilangipun. Nganti sak selapan pun dibuwak
kadang. Saking enjet kaliyan areng. Daun-daun digantungi
pinggir lawang...Godong werno pitu dipasang lawang, pojokpojok kiri kanan, mburi, nisor turon, kaliyan baturan macem 7.
Godong alang, campling,luh,Dadapserep 2,udorawo, totok.
Artine nggo nolak bala, kagem keselametan, wong jowo.
godong alang-alang, kagem ngalang-alangi sing ora ketok.
Dadapserep kanggo nyirep ben ora tangis...
(ari-ari untuk bayi laki-laki ditanam pada sisi kanan,
sedang untuk bayi perempuan ditanam pada sisi kiri.
Menurut orangtua (pintu) diberi coretan warna arang dan
kapur (hitam dan putih) sepanjang 1 meter, untuk
menolak bala. Lalu diberi daun-daun macam tujuh yang

116

dipasang pada tujuh tempat diantaranya adalah pada


pintu masuk rumah, pojok depan kiri dan kanan rumah,
di belakang rumah kiri dan kanan, di bawah ranjang
(bayi), dan di pelataran. Daunnya antara lain daun alangalang, campling, luh, dadap serep 2, udarowo, totok.
Fungsi dedaunan tersebut adalah untuk menolak bala,
dan memperoleh keselamatan menurut konsepsi orang
Jawa. Daun alang-alang bermakna untuk menghalanghalangi yang tidak tampak (roh halus), dadap serep untuk
menyirep bayi agar tidak menangis.)

Gambar 4.1 Ari-ari bayi yang ditanam di samping rumah


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

117

Gambar 4.2 Coretan arang dan kapur pada pintu sebagai simbol untuk tolak
bala pada rumah bayi
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Selain pemberian simbol tolak bala pada proses penanaman
ari-ari bayi dan pintu rumah keluarga bayi, bayi sendiri juga diberi
pelindung berupa gelang merah di tangan kiri dan kanannya dan
dlingu bawang yang disematkan pada topi atau pakaian bayi, seperti
diungkapkan Ibu S (58 tahun) berikut ini:
...Gelangan niku selapan ditumbaske teng Pedan bakul
kembang. Abang-abang pun selapan, kagem tolak bala. Sok
saiki gelang emas. Dlingu bangle bawang lanang teng topi
kaliyan peniti ben mboten nopo-nopo, tolak bala, mboten
nangis
(gelang itu saat sudah selapan dibelikan di tukang bunga
di Pedan. Merah-merah menandakan bahwa bayi sudah
melewati 35 hari, buat menolak bala. Kadang sekarang
dipakaikan gelang emas. Dlingu, bangle, bawang lanang
ditaruh di topi dan peniti agar tidak terjadi apa-apa pada
bayi, untuk tolak bala, dan biar tidak menangis)

118

Gambar 4.3 Gelang merah dan dlingu bawang yang digunakan bayi
untuk tolak bala
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
4.1.2 Simbolisme Ibu dan Kesuburan
Bersih desa adalah salah satu alat membangun keselarasan
kehidupan antara manusia dengan alamnya. Bersih desa dahulu dilakukan
setiap kali panen padi. Mitos dan keselarasan tercermin pada cerita Bapak
P (90 tahun) terkait dengan kehidupan masyarakat petani di Desa
Kalangan pada masa dahulu. Mbah P sebutan yang biasa disematkan pada
lelaki tua berusia sekitar 90 tahunan. Tubuhnya masih tegap, dan dari
bibirnya masih sering terkepul asap rokok dalam setiap pembicaraannya.

119

Mbah P bercerita mengenai mitos Dewi Sri yang oleh beliau disebut
dengan Mbok Sri, sebagai berikut:
...Bersih dusun riyin jaman biyen jenenge bersih deso,
acarane biyen bersih dusun, tiap bibar panen. Istilahe
mboyong Mbok Sri. Mbok Sri sawah, panen, pari
dibundeli, saking sawah diemban jarik e anyar, tekan
omah diturokke, bantal sing apik. Terus dicentelke teng
tembok, sampe panen malih...
(acara bersih dusun pada masa lalu namanya bersih desa,
yang dilakukan setiap kali sehabis panen. Istilahnya
adalah memboyong Ibu Sri. Ibu Sri adalah simbol dari
sawah yang subur, panen melimpah. Padi diikat, dari
sawah digendong dengan menggunakan jarik yang baru
menuju ke rumah. Sampai di rumah ditidurkan dan diberi
bantal yang bagus. Kemudian digantung di tembok rumah
hingga musim panen berikutnya)
Hal tersebut memiliki makna bahwa upacara bersih desa pada masa
lalu dilakukan pada setiap kali panen padi dengan memberi penghormatan
kepada Dewi Sri yang memberikan kesuburan dan hasil padi yang
melimpah. Selain itu juga sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas
keberlimpahan panen padi saat itu, dan pengharapan atas keberhasilan
pada musim panen berikutnya. Dengan cara mempersonifikasi tokoh
Mbok Sri dalam wujud boneka yang terbuat dari ikatan padi, sebagai
tokoh ibu yang memberi kesuburan.
Tokoh Dewi yang dikaitkan dengan kesuburan padi di sawah
pada masyarakat petani di Jawa adalah Dewi Sri, dimana Sang Dewi
dianggap sebagai pemberi semangat dan daya hidup pada padi,
sehingga hasil panen menjadi melimpah (Daeng, 2012).
Pada adat Jawa, perempuan diberi kedudukan penting untuk dipersiapkan
dengan baik dan bertanggung jawab sebagai seorang ibu. Ibu merupakan
lambang kesuburan, yang akan mengantar anak-anak menjadi penerus generasi.
Penerus generasi yang baik bagi pribadi dan keluarga, bagi bangsa, bagi manusia

120

dan bagi semesta alam (mamayuhayu salira, mamayuhayu bangsa,


mamayuhayu manungsa, mamayuhayu buwana) (Daeng, 2012).
Pada masa sekarang acara seperti ini sudah banyak ditinggalkan. Dilakukan
hanya pada saat tertentu tidak oleh seluruh penduduk desa namun dilakukan
oleh masing-masing dukuh. Namun pada tingkat provinsi acara tersebut masih
banyak dilakukan dan diyakini dapat mendatangkan keberkahan atas panen yang
melimpah. Apabila terjadi gagal panen di suatu daerah, maka pemimpin tertinggi
provinsi dalam hal ini adalah gubernur, juga menyarankan masyarakat untuk
melakukan acara sedekah bumi atau bersih desa (Widiyanto, 2013).
4.1.3 Tentang Keramat dan Kematian Bayi/Balita
Desa Kalangan yang terdiri dari 17 dukuh, hampir di setiap
dukuh memiliki tempat pemakaman umum yang dianggap sebagai
tempat keramat. Pada setiap makam tampak bangunan kijing atau
nisan-nisan kecil yang menandakan bahwa makam tersebut adalah
makam dari anak-anak. Kematian bayi dan/atau balita di Desa
Kalangan dalam perkembangan sejarahnya merupakan kejadian yang
biasa terjadi. Dan proses penerimaan keluarga terutama ibu akan
kematian bayinya bisa dibilang cepat. Sebab-sebab kejadian tidak
akan ditelusur lebih lanjut oleh keluarga dan akan pasrah kepada
petugas kesehatan apapun hasilnya.
Terkait dengan area pemakaman yang dianggap keramat yang
ada di beberapa dukuh di Desa Kalangan, merupakan pemakaman dari
leluhur Desa yang merupakan keturunan dari Keraton Solo dan
Yogyakarta. Ada beberapa versi yang diceritakan oleh warga
setempat. Para leluhur yang sudah meninggal yang dulunya
merupakan keturunan Kraton dianggap memiliki karomah, yang bisa
membawa kebaikan dalam kehidupan anak keturunannya sampai
sekarang. Anak-anak yang meninggal dianggap akan aman bersama
para leluhur tersebut. Pada akhirnya nanti akan menjadi penolong
kehidupan orangtuanya di kemudian hari.

121

Makam-makam dan tempat yang dianggap keramat di dukuhdukuh dan sekitar Desa Kalangan, diungkapkan oleh Bapak K (52
tahun) berikut ini:
Mriki nggih Makam riwih sak riwih-riwihe riwih (sangat
keramat). Mriki wong nyalahi diwales, yen mboten nyalahi
mlebet nggih mboten nopo-nopo. Mboten bahaya.Yen
nyalahi koyo ngetok wit-witan, nanduri lemah, yen nyalahi
tetap diapesi. Kulo nate ngilike, demit podo nyingkir, setan
ora doyan, kabeh podo nyingkir, tiyang dukuh mriko,
dibongkok teng mriki mboten obah, nggarap teng mriki,
tiyange mboten obah, kados ditaleni. Tirose dewe e
dibebet ulo gede. Akhire suwe mati. Kulo elingke, ampun
ditampingi, dibubuti mawon. Kurang ombo tuku maneh.
Biyen dalan niki ombo, montor cukup riyin. Niki makam
sampun taon pinten mboten ngerti. Ki ageng bunderreso,
pangeran saking solo. Saking solo sedoyo. Sedoyo
pangeran kabeh. Sing paling ampuh kulo ngarani paling
dingge panyuwunan,umpamane arep njago lurah opo
nopo pegawai teng makam Belan. Sak wilayah kalangan
kaliyan desa-desa liyo nyuwun teng mriko, saking karang
wungu, ndalangan. Teng cungkupe ngriko. Lajeng nyuwun
nopo, mangke kepetuk niki, kepetuk niki, terus medal
gedok-gedok lawang,Wonten juru kuncine. Kados kepetuk
semut mboten ditampi, nopo tawon akeh. Kurang resik
pikirane, mboten ditampi. Ragu-ragu iya opo ora. Wijil
golek-golek duit njobo. Wijil kaliyan mriki beda wibawa,
niko trah saking pundi
(makam disini itu sangat menakutkan karena sangat
keramat diantara yang paling keramat. Orang yang
menyalahi masuk ke makam akan langsung dibalas, namun
kalau masuk tidak ada maksud salah apapun tidak akan
diapa-apakan dan tidak ada bahaya bagi diri orang itu.
Namun apabila bertindak menyalahi seperti memotong

122

pohon atau menanami tanah disekitar makam akan


mendapat kesialan. Saya pernah mengingatkan seseorang
dari dukuh lain yang sedang menggarap tanah di samping
makam. Namun dia malah menjawab kalau bagi dia setan
dan jin tidak akan mengganggu dia dan akan menyingkir
semua. Kenyataannya dia jatuh tidak bisa bergerak, tidak
kelihatan apa-apa, namun pengakuannya dia sedang dililit
ular yang sangat besar. Tidak lama setelah kejadian
tersebut orang itu meninggal. Sudah saya ingatkan tanah
samping makam jangan dicangkul, dibubut saja, kalau
kurang lebar beli saja tanah yang lain. Dulu jalan di sekitar
makam itu lebar, mobil bisa lewat sini, sekarang tinggal
setapak. Saya tidak tahu makam ini ada sejak tahun
berapa. Ini makam Ki Ageng Bunderreso, seorang pangeran
dari Solo. Saya menganggap makam yang paling ampuh
untuk segala macam permintaan adalah makam yang ada
di Belan. Seumpama akan mencalonkan diri sebagai kepala
desa atau ingin menjadi pegawai. Seluruh Kalangan bahkan
dari desa dan kecamatan lain seperti Karangwungu,
Ndalangan juga pergi ke cungkup makam Belan. Lalu akan
bertemu dengan sesuatu disana. Ada juri kuncinya disana.
Kalau yang dimaksudkan tidak diterima biasanya akan
keluar semut atau tawon yang banyak sekali. Tidak
diterima kalau pikirannya kurang bersih. Ragu-ragu iya
atau tidak. Kalau gunung Wijil untuk mencari uang dari
luar, antara Wijil dan Bunderrekso beda wibawa, saya
tidak tahu kalau yang di gunung Wijil trah dari mana)
Kehamilan dan kelahiran adalah siklus penting dalam
kehidupan seorang perempuan. Seorang mantan dukun bayi penolong
persalinan pada masa lalu di Desa Kalangan tidak akan melakukan
profesinya sebagai dukun bayi tanpa ada restu dari leluhurnya yang
disebut dengan danyang. Ilmu tersebut diturunkan langsung setelah

123

melakukan beberapa ritual di tempat yang dianggap keramat. Seperti


diungkapkan Ibu H (95 tahun) berikut ini:
...riyin arep dadi tiyang nulungi tiyang hamil nyuwun
pangestu riyin teng yai jimbunan, danyange jimbunan.
Menawi mbah e mboten angsal nggih kulo mboten nulungi
tiyang nglairke. Saking mbah e disukani gaman kagem
nulung...
(dahulu sebelum berniat menjadi dukun untuk menolong
orang melahirkan, saya memohon ijin kepada kyai
Jimbunan Danyang Jimbunan. Kalau danyang di makam
bilang tidak boleh ya saya tidak melakukan profesi itu. Saya
mendapat senjata untuk pegangan menolong orang
melahirkan)
Syarat untuk menjadi orang yang bisa menerima ilmu yang
diturunkan dari leluhur adalah dia sudah menikah, memiliki anak, dan
sudah menikahkan anaknya. Dianggap sudah paripurna dalam kehidupan
seseorang untuk bisa menerima ilmu. Baik itu ilmu sebagai dukun bayi,
maupun ilmu sebagai seorang dalang ruwatan. Seperti diungkapkan Ibu
Sy (52 tahun) dan Bapak S (60 tahun) berikut ini:
...Kulo 2 tahun ngganteni simbok. Yen dereng mantu
dereng angsal, pun mantu kaliyan gadah putu baru purun
nerusaken teng ngriki...
(...saya baru 2 tahun ini menggantikan ibu saya (sebagai
dukun bayi). Kalau belum memiliki mantu belum boleh,
begitu sudah mantu dan mempunyai cucu baru saya mau
meneruskan (profesi ibu) di sini...)
...wayangan ruwatan niku lek mboten dalang tuo mboten
wani, niku dalang nom-nom niku mboten wani...wong
biyen kandane kui ora elok,wong nek moco ringin
sungsang niku mboten sembarangan, nek ajeng ngruwat,
niku kudu nglakoni poso, sepasar, nggih, mengko bar moco

124

ringin sungsang niku gelem mangan gelem nggombe, niku


dalange...
(Dalang wayang untuk ruwatan itu kalau bukan dalang tua
yang sudah mumpuni belum berani. Menurut orang dulu
hal tersebut tidak patut. Membaca ringin sungsang itu
bukan orang sembarangan. Kalau mau meruwat harus
melakukan puasa selama 5 hari penuh. Setelah membaca
ringin sungsang barulah dalang mau makan dan minum)
Selain pemakaman, perempatan jalan, rumah dan tempat
ibadah oleh beberapa orang dianggap sebagai tempat keramat. Orang
yang sedang memiliki hajat akan meletakkan sesaji di perempatan
jalan untuk makanan para penunggu perempatan agar tidak
mengganggu proses hajatan yang sedang berlangsung. Perempatan
jalan dianggap sebagai tempat wingit yang biasa terjadi kecelakaan.
4.1.4 Keramat Gunung Wijil
Gunung Wijil adalah gunung yang berada di sisi timur dari Desa
Kalangan. Terletak di desa lain namun menurut penduduk Kalangan masih
merupakan bagian dari wilayah Kalangan yang sangat luas. Oleh
masyarakat Klaten dianggap sebagai keramat, karena terdapat makam
kuno di tempat itu. Dipercaya juga sebagai petilasan dari Ratu Majapahit
Kencana Wungu. Ada juga yang mengatakan sebagai makam putri dari
Solo. Seperti diceritakan bapak K (53 tahun) berikut ini:
Gunung Wijil niko tasih Kalangan. Perbatasan Kaligawe,
bablas wetan pun Gunung Wijil. Rame niku poso, ruwah,
tiyang pundi-pundi mlebu mriku. Wonten nopone. Riyin
nom-noman kulo pernah ngriko. Kulo nyoba nopo benerbener nggen mriko nggen keramat yang paling tergawat.
Akhirnya saya nyoba malem jumat kliwon. Bar udan kan
bletok-bletok, kulo munggah teng makam 1, nduwur
gunung niku wonten makam e. Niku makam e putri saking
turunan solo. Ngajeng raden wiguno. Kulo ulet-uleti endut

125

makame kulo diuncalke. Untung pas kali. Kulo kurang


trimo nopo salah kulo, ndereng tutuk nganti separuh wes
diuncal maleh.kulo kroso yen ono salah. Muleh. Mlaku
medal kelurahan.mudun kulo ditutke kewan koyo duwe
suwiwi ombo banget. Ngabyaki Nutupi mbulan tanggal 15
mboten ketingal, bulan kan padang banget.ketutup
suwiwine niku, ayang-ayange gede bianget. Unine
koak..koak..sing ngerti bapak kulo niku.ditangleti kowe
lapo, soko ndi. Kulo jawab saking gunung wijil. Duwe salah
opo.Bapak kulo sitik-sitik nggih duwe ngertos.njupuko
ember karo lap mbalik o rono. Wegah kesel mlaku pak.
Nganggo pit kono. Yo wes mlaku maneh aku ora opo-opo.
Jam 12an wengi bali. Kowe duwe salahan njaluko ngapuro.
Sing tak regeti mau lap ono. Kulo lap i mlebet saget. Lemah
sing kulo idak goyang kabeh. Medeni niku. Nggon sejarah,
sejarahe tiyang kuno gunung wijil niku.sanjange tiyang
sepuh umure 100 th lebih, critane gunung merapi dipedot
mergo sundul langit. Diketok pedotane dadi gunung wijil
niku. Artine ngapunten mboten ngertos.mung crito-crito.
Nggone jin-jin teng ngriko, wonten guone. Sekilas moto
wujude mung watu. Sak marine diwacakke kaliyan juru
kuncine nggih mbukak. Eling-eling kulo diuncalko riyin,
mungsuh alusan niki alusane ngerti aku, aku sing ora
ngerti alusane
(Gunung Wijil itu sebenarnya masih masuk wilayah
Kalangan. Perbatasan Kaligawe langsung ke timur.
Ramainya waktu bulan puasa dan ruwah, orang dari manamana pada kesana. Ada apanya disana?waktu muda saya
pernah kesana, mencoba apakah benar disana itu tempat
keramat yang paling tergawat. Saya mencoba kesana pada
malam jumat Kliwon. Sesudah hujan tanah masih
berlumpur saya menuju ke makam 1, diatas gunung itu ada
makamnya. Makam putri keturunan dari Solo, didepannya

126

makam Raden Wiguno. Kaki saya kotor kena lumpur, saya


bersihkan di makam itu, lalu saya terlempar ke bawah,
untung pas di sungai jatuhnya. Masih tidak terima karena
salah saya apa, saya naik lagi ke atas. Belum sampai
separuh jalan saya terlempar lagi. Akhirnya saya merasa
kalau saya salah. Saya pulang, jalan kaki melewati balai
desa. Turunnya saya diikuti oleh hewan bersayap yang
sangat besar. Bayangan sayapnya sampai menutupi cahaya
malam
terang
bulan
tanggal
15.
Bunyinya
koak..koak..bapak saya yang mengetahui. Saya ditanya dari
mana, habis apa. Saya jawab dari gunung Wijil. Saya
ditanya bapak punya salah apa. Bapak saya masih
tergolong orang ngerti, saya disuruh mengambil ember
dan lap dan disuruh kembali kesana saat itu juga. Saya
masih menjawab malas kembali kesana karena capek jalan
kaki. Saya disuruh bapak naik sepeda. Akhirnya tidak apaapa saya jalan kaki lagi kesana, jam 12 malam, kata bapak
saya harus minta maaf atas apa yang telah perbuat disana.
Saya lap apa yang sudah saya kotori tadi, dan saya dapat
masuk ke dalam lagi. Tanah yang saya injak tiba-tiba
goyang semua. Menakutkan. Gunung Wijil itu tempat
bersejarah, sejarahnya orang-orang kuno. Kata orang tua
yang sudah berusia 100 tahun lebih, gunung Wijil itu
ceritanya gunung merapi yang pucuknya dipotong karena
mencapai langit. Potongannya itu menjadi gunung Wijil.
Maknanya saya tidak tahu itu, mohon maaf. Tempatnya
jin-jin disana. Ada guanya. Sekilas mata wujudnya hanya
batu. Setelah dibacakan oleh juru kuncinya bisa terbuka
sendiri. teringat saya terlempar dulu, lawan makhluk halus
itu mereka tahu kita tapi kita tidak tahu mereka)
Wijil dalam bahasa Sansekerta memiliki arti keluar atau lahir
(Purwadi dan Purnomo, 2008). Menurut Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Klaten, di Gunung Wijil terdapat Astono

127

Hargomulyo yang merupakan komplek makam kerabat Karaton


Surakarta. Dalam kompleks makam terdapat Makam Syeh Joko yang
merupakan cikal bakal adanya makam, Makam Ki Ageng Lokojoyo dan
makam R. Ayu Yudorono yang merupakan keturunan Sedah Merah.
Dari sisi spiritual, Gunung Wijil diyakini dihuni mahluk-mahluk
gaib pemberi pesugihan, karena itu banyak orang yang datang ke
tempat ini untuk berburu harta gaib dari para mahluk tersebut. Dalam
laku mendapatkan pesugihan syaratnya ada tumbal nyawa yang harus
diberikan kepada makhluk gaib disana. Cara meninggal tidak secara
langsung, namun melalui media barang atau makanan yang diberikan
kepada orang yang akan dijadikan tumbal (Liberty, 2014).
4.2 Kasus kematian Bayi dan Balita
Pada tahun 2014, di Desa Kalangan terjadi 3 kasus kematian
bayi dan balita. Sub bab ini bertujuan menarasikan pandangan ibu dan
keluarga Jawa dalam menerima dan menjalani kehidupan setelah
kejadian kematian, dalam hal ini adalah kematian bayi dan balita. Juga
menggali terkait kejadian kehamilan sebelumnya, dan mitos yang
masih diyakini atau yang sudah ditinggalkan oleh keluarga.
4.2.1 Kasus Janin Ibu P
Ibu P (24 tahun) tinggal di salah satu dukuh di Desa Kalangan,
pada tahun 2014 kehilangan anak ke-2 pada saat melahirkan. Anak ke2 ibu P berjenis kelamin perempuan dilahirkan dalam keadaan sudah
meninggal (IUFD/Intra Uterine Fetal Death) di fasilitas kesehatan
tingkat rujukan.
Rumah kediaman keluarga ibu P merupakan rumah dari
keluarga luas dari bapak K (suami ibu P). Rumah tersebut yang dihuni
oleh 4 kepala keluarga yang saling bersaudara, berisi ibu mertua, 3
orang keluarga ibu P, saudara laki-laki dan perempuan Bapak K,
beserta cucu-cucu mertua ibu P (ibu Pk). Bapak K memiliki pengolahan
batu bata didepan rumahnya.
Rumah ditinggali oleh 4 KK dengan 4 balita. tinggal bersama ibu
mertua. Suami pembuat batu bata,ibu P saat ini sudah 2 bulan bekerja

128

di pabrik konveksi di Delanggu. Suami lulus SD, ibu P lulus SMP. Ibu Pk
yang merupakan ibu mertua dari ibu P, memiliki 9 orang anak yang
dilahirkan sendiri, sedang ibu P seorang piatu. Diceritakan ada riwayat
ibu kandung meninggal pada saat melahirkan anak ke-2 yaitu adik ibu
P, kedua ibu bayi tak tertolong, ibu P menyatakan hal tersebut untuk
adjust bahwa kejadian yang terjadi kepada anak ke-2 nya dikarenakan
sebab riwayat yang sama dengan ibu kandungnya. Berikut cerita ibu P
terkait kehamilan dan kelahiran anak ke-2 nya:
Kehamilan yang terakhir, perawatan kehamilan
bagaimana? Biasa mbak, periksa kalau ada keluhan nggih
periksa. Periksa ke Bidan Praktek Mandiri (BPM). Periksa
masuk usia kandungan besar. Tau hamil sekitar usia 3
bulan. Periksa ke BPM, lebih deket (dekat). Tapi alate
belum komplit. Ke dokter spesialis barang (juga). Nek
wong jowo danane kurang. USG sing celak-celak mawon.
Di USG nggih posisine melintang. Umur dereng wonten 8
(USG ke tempat yang dekat saja, posisi bayi masih
melintang saat USG sebelum 8 bulan). Sejak hamil muda
posisine sudah melintang, gak terasa. Ke BPM setiap ada
keluhan. Keluhane pegel-pegel ngoten niku nek wong
hamil. Saat itu dereng kerja teng pabrik. Namung teng
griyo. Ke pabrik nembe mawon, nggo ngilangi stres. Kan
spaneng wonten kejadian kelangan anak koyo ngunu.
Mikir gek biyen sempet stres. Posisi melintang kulo pikir
saged mapan balik kados anak sing pertama mbiyen.
Tirose doktere nggih saget mapan mangke. Bidan nggih
mboten tanglet kulo teng spesialis nopo mboten. Mung
tanglet USG? kulo jawab nggih mboten tanglet maleh dos
pundi hasile(keluhannya pegal-pegal kalau orang hamil
itu. Saat itu belum bekerja di pabrik, masih ada di rumah.
Kerja di pabrik baru saja, untuk menghilangkan stres
karena kepikiran baru kehilangan anak. Saya sempat stres
saat itu. Posisi melintang saya pikir bisa balik seperti anak

129

pertama dahulu. Kata dokter juga nantinya bisa posisi


bagus. Bidan juga tidak menanyakan lebih lanjut kalau
saya ke SpOG atau tidak. Hanya ditanya apa saya sudah
USG?saya jawab sudah. Tidak ditanyakan bagaimana hasil
USG saya)
Cerita mengenai kelahiran bayinya yang meninggal di dalam
kandungan, Ibu P bercerita sebagai berikut:
Saat lairanwaktu itu mpun telat, dicek nganggo alat
bayek niku dideteksi detak jantunge susah. Ditangleti
dirujuk nopo? Tapi dirujuk dimana?di delanggu nopo
tegalyoso. Kulo terserah mawon wong kulo nitih sepeda
motor. Akhire dirujuk teng delanggu. Teng ngriku sampun
bukaan 1. Trus kulo riwa riwi, mpun wonten koyok lendir.
Dilempar ke rawat inap. Cuma ditanya mau nginap sini
atau pulang. Saya pulang nggih mboten wonten danane.
Riyin dereng daftar BPJS. Wangsul trus balik teng BPM
malih, ditangleti, lah nopo kok balik ngriki maneh, kan wes
tak rujuk. Wau teng ngriko ditari mantuk nopo teng ngriki.
Kulo pilih mantuk. Nopo dipindah teng liyane?teng
tegalyoso. Mobil pribadi saking mriki mboten wonten. Teng
ngriku dangu bapak ne tasih riwa riwi pados mobil.
Dijagakke mobile mboten wonten...Ngrasakne kados bayi
kajeng lair, namung kulo mboten nggagas mnawi pun
mboten wonten detak jantunge. Teng ngriko diprikso dicek
doktere tirose pun mboten wonten detak jantunge.
Sampun 9 bulan, tapi kayake lebih
(waktu kelahiran, saat itu sudah telat, dicek dengan alat
pendeteksi detak jantung bayi kesulitan untuk dideteksi,
ditanya bidan apa mau dirujuk?dirujuk kemana?RS
Delanggu atau RSST Tegalyoso?saya menjawab terserah
saja karena saya naik sepeda motor. Akhirnya dirujuk ke RS
Delanggu. Sampai disana sudah bukaan 1. Lalu saya kesana

130

kemari, sudah keluar lendir, kemudian dilempar ke rawat


inap. Cuma ditanya mau menginap disini atau pulang? Saya
pulang karena pertimbangan tidak ada dananya. Saat itu
belum ikut BPJS. Pulang lalu kembali ke BPM, ditanya
bidannya, loh kenapa kok kembali lagi?kan sudah
dirujuk?saya jawab kalau tadi disana ditawari pulang atau
menginap disana, ya saya pilih pulang. Bidan lalu merujuk
ke RS lain yaitu RS Tegalyoso. Namun agak lama ke sana,
karena suami saya masih harus mencari mobil. Mobilnya
yang diharapkan tidak ada...saya sudah merasakan seperti
bayi mau lahir, dan saya tidak berpikir sedikitpun kalau
bayi saya sudah tidak berdetak. Sesampai di RS diperiksa
katanya sudah tidak ada detak jantungnya. Usia kandungan
sudah 9 bulan atau lebih)
Setelah kejadian kematian bayinya, kemudian bayinya dibawa pulang
untuk segera dimakamkan
Dimakamaken teng belan, dimakamaken posisine pun
sore, daerah sini aja kathah sing mboten tahu. Orang tua
nggih mboten dikabari. Lagek 6 hari nembe mriki...Tapi
kayak e ndak nglakuin adat, geblak, pendak, nyewu. Paling
ya doa tok. Kematian yang ngurus pihak keluarga aja.
Adik-adik kan ada dirumah. Mungkin nggih kulo pasrah
pada Allah, dereng rejeki kulo. Mau dituntut nggih niku
kesalahane sinten, kulo nopo bidanne kan mboten ngertos.
kulo nggih salah telat priksane niku, penanganae nggih
koyok nopo niku, kulo nggih jarang ketemu bidan (di BPM)
(anak saya dimakamkan dipemakaman dukuh Belan. Saat
itu posisi sudah sore hari, tetangga banyak yang tidak tahu.
Orang tua saya juga tidak dikabari, baru 6 hari kemudian
datang...tapi tidak dilakukan selametan sesuai adat, dari
hari kematian, tahun 1, tahun 2 atau 1000 hari tidak
dilakukan. Kalau ingat saya doa saja.kematian anak saya

131

yang ngurus hanya pihak keluarga saja. Adik-adik ada di


rumah semua. Mungkin saya harus pasrah pada Allah,
karena belum rejeki saya. Kalau mau dituntut itu juga
kesalahan siapa saya atau BPM saya tidak tahu. Saya juga
salah telat periksanya, penanganannya juga bagaimana
disana, saya juga jarang ketemu bidan di BPM nya)
4.2.2 Kasus Bayi Ibu S
Keluarga Ibu S (34 tahun) memiliki rumah yang cukup mewah di salah
satu dukuh di Desa Kalangan. Rumah batu dengan lantai keramik
dengan bangunan yang masih tampak baru. Pada sisi jalan lain di
dukuh yang sama yang hanya sekitar 500 meter dari rumah, Ibu S
memiliki toko kelontong dan berjualan bensin. Keluarga ini memiliki
dua orang anak perempuan, masing-masing duduk di kelas 2 SMA dan
kelas 4 SD. Anak ke-3 keluarga ini yang berjenis kelamin laki-laki,
meninggal dunia sehari setelah dilahirkan dengan diagnosis dari
dokter adalah kelainan jantung bawaan. Ibu S berusia 34 tahun saat
ini, dan saat melahirkan anak yang ke-3 berusia 33 tahun. Usia ibu S
berbeda 7 tahun lebih muda dari suaminya. Suami ibu S adalah salah
satu perangkat di desa, juga memiliki usaha kolam pancing lele di
depan toko, dan memiliki beberapa ekor kambing. Pemeriksaan
kehamilan dilakukan rutin di Puskesmas Pembantu Desa Kalangan dan
periksa kondisi janin dengan USG dilakukan di dokter kandungan yang
ada di RS Mitra. Proses kelahiran dirujuk dari RS Mitra ke RS Delanggu,
dikarena usia kandungan masih kurang bulan (kurang dari 8 bulan).
Setelah lahir, bayi dirujuk ke RSST Tegalyoso Klaten dengan
pertimbangan memiliki alat lebih lengkap untuk penanganan kasus
bayi ibu S. Sementara dalam riwayat keluarga diakui tidak ada
masalah kelainan jantung sebelumnya. Menurut penjelasan ibu S
waktu selama hamil tidak ada keluhan apapun hanya berasa kencang
di perut, kemudian diperiksakan dan dipijat oleh bidan, tidak pernah
dipijat dengan dukun bayi. Berikut penuturan ibu S terkait riwayat
kehamilan anak ke-3 nya:

132

Riwayat nggih pripun kulo hamil priksa tiap bulan nggih


mboten enten masalah nopo-nopo. Waktu lahir nggih
sanjange sustere nggih sehat. 1 malem enjinge sanjange
pernapasane kurang. Badhe dikirim teng RS tegalyoso,
teng ngriku nggih namung setunggal dinten, sanjange pak
e jantung. Periksa nggih teng bidan. Namung 5 bulan kulo
kontrol teng dokter kandungan RS Mitra nganti lahiran
nggih teng mriku. Wong sontene kulo nggih prikso teng
dokter kandungan niku tirose mboten nopo-nopo, dalune
kulo medalke banyu kawah jam 1 an, terus wedalan niku.
Dereng wonten 8 bulan, 8 jalan. Periksa terakhir sanjange
nggih normal, di USG normal. 6 bulan niku bayek e dereng
mapan tasih malang, namung tasih saget mangke mapan
menawi cukup bulan. Kados nopo niku. Pas lahir kulo
pirsani nggih sae, nggih 2,8 sampun ageng. Niku putro ke3. Sing kalih perempuan sedanten, sak jane pas angsal
putro. Pertama sampun SMA. Nggen padaran kados
nyekrak utawi kram niku, kaku. Nembe satu tahun, tanggal
15 pas posyandu sampun 1 tahun. Sak niki kulo 34 th.
Bapak e kaceke 7 tahun usiane. Sekitar 41. Nomer kale
kelas sekawan SD. Sedanten asli mriki. Keluarga yang
tinggal disini 1 keluarga. Tetangga nggih sederek
sedanten. Bapak ibuk teng ngriki sedanten. Usia nikah riyin
tasih alit. Pinten nggih. 16 tahun nopo 17 tahun. Kulo lulus
SMP. Lahire normal sedanten, mboten nate dikapakkapakke. Saking tegalyoso sanjange bapake kelainan
jantung. Namung teng ngriki sanjange pernapasane
kirang, lahire teng PKU. Subuhan teng bidan kadose teng
RS wae. Teng delanggu. Lahir mboten nangis, kados mulet
niku
(riwayat kehamilan saya itu bagaimana ya, saya periksakan
setiap bulan juga tidak ada masalah apa-apa. Pada saat
melahirkan juga menurut susternya sehat-sehat saja.

133

Selama satu malam, besok paginya baru dibilang


pernapasannya bermasalah. Hendak dirujuk ke RSST
Tegalyoso Klaten. Hanya satu hari, kata suami saya anak
saya jantung. Periksa dari awal juga ke Bidan. Dan setelah
5 bulan saya kontrolnya ke dokter kandungan sampai
dengan melahirkan di RS Mitra. Pada hari saya akan
melahirkan, sorenya juga periksa ke dokter kandungan
katanya tidak apa-apa, namun malam harinya air ketuban
saya keluar jam 1 malam, lalu lahiran. Saat itu usia
kandungan belum ada 8 bulan, masih 8 jalan. Saat periksa
terakhir katanya normal, di USG juga normal. Saat
kandungan 6 bulan diperiksa bayinya belum mapan masih
melintang, namun katanya masih bisa mapan kalau sudah
cukup bulan saat mau lahir. Hal tersebut terjadi kenapa
ya? Saat melahirkan, saya lihat anak saya bagus itu,
bobotnya juga besar 2,8 kg. Itu anak laki-laki saya, anak ke3. Yang 2 perempuan semua, pertama sudah SMA, yang
ke-2 kelas 4 SD. Sebetulnya pas ini dapat anak laki-laki.
Saat hamil pernah merasakan perut itu kaku seperti kram.
Kejadian itu sudah 1 tahun berlalu, sekarang saya usia 34
tahun, suami beda 7 tahun, kira-kira 41 tahun. Saya dan
suami asli sini semua, satu keluarga disini semua, tetangga
juga masih saudara. Bapak-ibu saya juga ada disini semua.
Saya menikah masih muda dulu, sekitar 16 atau 17 tahun,
setelah lulus SMP. Ketiga anak saya lahir normal semua,
tidak ada yang diapa-apakan. Kata suami saya, diagnosa
dari RS Tegalyoso katanya anak saya kelainan jantung,
namun disini (RS Delanggu) katanya pernapasannya
kurang. Saat subuh saya ke bidan, dianjurkan dirujuk ke RS
saja, lalu kami bawa ke RS Delanggu. Saat lahir tidak
menangis, hanya menggeliat saja)
Berdasarkan pengakuan Ibu S tersebut diatas, menandakan
bahwa pemeriksaan kehamilan sudah dilakukan rutin setiap bulannya

134

baik dilakukan di bidan maupun di dokter kandungan di rumah sakit


terdekat. Namun tidak menunjukkan gejala apapun yang merunut
pada kejadian pecah ketuban dini. Pada catatan bidan sudah
dikemukakan berdasarkan faktor usia Ibu S termasuk dalam faktor
risiko tinggi kehamilan diatas usia 30 tahun. Namun pemantauan
setiap bulannya tidak menunjukkan gejala apapun. Pemeriksaan yang
dilakukan ibu S ke dokter kandungan sesaat sebelum kejadian yang
menyebabkan bayi lahir prematur juga tidak menunjukkan gejala
apapun dan dianggap normal. Dari pengakuan terkait waktu ada jeda
antara jam 1 dini hari hingga subuh, keluarga baru membawa dari ke
bidan kemudian dilanjutkan untuk penanganan segera rujukan ke
pelayanan kesehatan yang lengkap.
Tole niku periksane rutin, teng Sp.OG tiap bulan. Mboten
wonten keturunan jantung. Pas lahir nggih normal.
Wonten inkubator bapake niliki nggih sanjange nangis,
nggih melek. Pas lair kulo kelingan sustere kulo tangleti,
sanjange nggih normal, tirose ken nyusuni. Kulo tasih
lemes. Nggih nangis nggih melek, umur 8 kirang sekedik.
Resik bagus niko tolene. Dimakamkan teng dukuh nayan.
Perbatasan karangdowo pedan. Dalu jam sedoso...Priksa
rutin teng bidan, usg teng SpOG, lahiran teng PKU, tole di
rujuk teng tegalyasa. Kulone mantuk kan lairan normal
mboten dinapak-napake
(waktu hamil anak laki-laki saya itu saya periksa rutin, ke
Sp.OG setiap bulan. Tidak ada keturunan jantung dalam
keluarga. Waktu lahir juga normal. Didalam inkubator kata
bapaknya ya menangis dan matanya terbuka. Waktu
melahirkan saya ingat bertanya kepada susternya, katanya
ya normal, saya disuruh menyusui. Saya masih lemah,
umur 8 bulan kurang sedikit, wajahnya bersih.
Dimakamkan di pemakaman Nayan perbatasan
Karangdowo-Pedan, jam 10 malam...periksa rutin ke
bidan, USG ke Sp.OG, lahir di RS PKU, anak dirujuk ke RSST

135

tegalyoso, saya pulang karena melahirkan normal dan


tidak diapa-apakan)
Sampun mboten malih. Riyin niku mboten terduga wong
sing gede mpun SMA, anake isin riyin. Pun gede kok
digawekne adek. Tapi terus seneng, rasukane adike
mboten purun diparingaken sinten-sinten, disimpeni
sedoyo kaliyan mbak e. Sak niki kulo KB
(saya sudah tidak mau menambah lagi. Saat kemarin itu
tidak terduga, karena anak yang besar sudah SMA,
anaknya awalnya malu. Sudah besar kok dibuatkan adik.
Tapi terus senang, baju adiknya tidak mau diberikan
kepada siapapun, disimpan semua sama mbak nya.
sekarang saya KB)
4.2.3 Kasus balita Ibu M
Ibu M (42 tahun) pengalaman hamil 3 kali, anak pertama lakilaki berusia 13 tahun duduk di kelas 2 SMP. Anak ke-2 mengalami
keguguran di usia kandungan 3 bulan. Dan anak ke ke-3 meninggal di
usia 1,5 tahun karena kelainan jantung bawaan. Ibu M dan bapak S
tinggal di salah satu dukuh di Desa Kalangan, mendiami rumah
warisan dari orangtua suami. Ibu M berasal dari desa tetangga, tinggal
di Desa Kalangan karena menikah dengan suaminya. ibu M bekerja di
rumah dengan membuka warung jajanan anak-anak dan sesekali
bekerja sampingan dengan membuat keset. Sedangkan suaminya
bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di desa tetangga.
Biyen 27, 17 maret nikah, 24 mei boten mens. Anak
pertama 26 desember lair. Langsung. Pingine riyin urip
wong 2 disik. Ning njedul tole. KB, 6 tahun lagek isi. Nek
dicegah nggih sok keblandang. Suwi ora KB jarak e suwi
kale sing no 2. Miskram, terus KB malih nganti 2 tahun.
Sing sanjange jaler no 2. Anak no 3 jaler, fotone wonten,
nek kangen kulo tingali. Niki umur pinten. Cilik awake
dereng saget duduk. Prematur, pendengarane radi, syarafe
nggih kekurangan. Namung ada kekurangan dan

136

kelebihan. Niku minyake telon tasih wonten. Sisiran,


nganggo sepatu, nganggo topi, pit-pitan karo mas e. Isuk
pit karo bapake. Mugo-mugo disayangi Gusti Allah, sing
sayange luwih-luwih. Kulo jane BB ne 24 ons, pun perkiraan
kulo nggih 9 bulan. Barengan kulo sesar sedoyo. Riyin anak
1 rodo suwi, di vakum...
(dulu saya menikah usia 27 tahun. 17 maret menikah, 24
mei sudah tidak mens. Anak pertama 26 desember lahir.
Keinginannya hidup berdua dulu, namun keburu hamil dan
melahirkan. Lalu ikut KB, 6 tahun baru hamil lagi, namun
anak ke 2 keguguran. Lalu KB lagi hingga 2 tahun. Anak ke
2 katanya laki-laki. lalu anak ke 3 juga laki-laki, fotonya
masih ada, kalau kangen saya lihat. Badannya kecil belum
bisa duduk. Lahir prematur, pendengarannya agak kurang,
syarafnya juga kurang. Namun ada kekurangan juga ada
kelebihan. Biasanya naik sepeda sama kakaknya atau sama
bapaknya kalau pagi. Semoga disayang sama Gusti Allah
yang sayangnya melebihi saya. Lahirnya hanya 24 ons,
sesar, perkiraan saya sudah 9 bulan. Yang lahir bareng dia
juga sesar semua. Waktu anak pertama dulu agak lama,
lalu divakum)
tole no 3 ninggal, bocor jantung. Allah lebih sayang. 2
tahun kurang. ninggal teng tegalyoso. awak e balung kulit.
riyin prematur. mriksakane rutin.namung nopo-nopo sak
dermo wonten sing ngatur. keadaan anak kulo nggih
ngoten. pnemonia berat badan tidak naik. diuap tiap hari.
meski mboten mbayar namun nggih perjalanan niku tebih.
alhamdulillah anak kulo disayang Allah. sak niki dipikir
penak positif e mawon. hidup dijalani mugo-mugo
selamet
(anak laki-laki saya yang nomer 3 meninggal dunia karena
bocor jantung. Allah lebih sayang dia, usianya 2 tahun

137

kurang. Meninggal di RS Tegalyoso. Badannya tinggal


tulang dan kulit. Dulu lahirnya prematur. Saya
memeriksakannya rutin. Namun apa-apa saya menerima
karena ada yang mengatur, keadaan anak saya ya begitu
itu. Pneumonia, berat badan tidak naik, diuap tiap hari.
Meskipun tidak membayar, namun perjalanannya itu jauh.
Alhamdulillah anak saya lebih disayang Allah. Sekarang
dipikir positifnya saja. Kehidupan dijalani semoga selamat)
Anak ke 3 niku sesar. Model jampersal dibelek. Dolek
cepete koyoke...Allah lebih sayang anak kulo, penderitaane
ora suwi. Ora rewel, ora nyono, pinter larene. Mik e nggih
rahep. Maem kulo tumbaske bubur sumsum nggih purun.
Kulo buburke dewe nggih lahab. Ditumbaske lapis sing
mbak e ndamel gulone asli langsung leb, tapi nek gulo gak
enak nggih mboten purun. Ndog gemak nggih haa..haak..
terus. Pinter IQ ne. Ngoten niku memang wonten
kelebihane. Kulo nggih alhamdulillah, mboten nate mimpi
ketemu wajahe tole. Nggih kangen. Setaun sebulan lagi,
kulo doakan mawon. Ning yo anakku tetep inget. Mung
sak dermo, yen ibuke ono kekhilapan pas momong kowe
ono kurang-kurang nggih mugo disepuro le. Kekuasaane
sing kuoso. Yen kelingan wektu nopo mawon tak kirim doa.
Kangen wajahe nggih fotone tak delok. mas e mboten
angsal fotone dibingkai. Niku mas e sing luwih sayang.
Bantal kasure saiki mas e sing nganggo. Mboten purun
diumbah, diganti sprei. Kasur mambu tole. Dipe mboten
purun. Kulo pe mboten angsal nggih kulo nyolong-nyolong
nge pe ne. Mboten angsal. Senenge glundung-glundung
teng kasur niku
(anak ke 3 lahir sesar, jaman jampersal dahulu sepertinya
ingin memilih cepat semua dibedah...Allah lebih sayang
anak saya, penderitaannya tidak terlalu lama. Tidak rewel

138

anaknya juga pintar. Minumnya lancar, makan juga lahap.


Dibelikan kue lapis kalau gula asli dia langsung mau, kalau
gula buatan tidak mau. Telur juga lahap. IQ nya pintar,
begitu itu memang ada kelebihannya. Alhamdulillah tidak
pernah mimpi wajahnya. Sebentar lagi sudah setahun, tiap
saat saya doakan. Namanya jug anak ya tetap ingat.
Menerima keadaan, kalau ibu ada kesalahan selama
merawat semoga dimaafkan ya nak. Sudah kuasanya Allah.
Setiap kali teringat saya kirim doa. Kalau kangen wajahnya
ya saya lihat fotonya. Kakaknya yang melarang foto
adiknya dibingkai. Dia lebih sayang sama adiknya. Bantal
dan kasurnya sekarang kakaknya yang pakai. Tidak mau
dicuci atau diganti spreinya, karena bau aroma adiknya.
Dijemur juga tidak boleh, saya kalau mau menjemur
sembunyi-sembunyi. Dia senangnya tiduran di kasur itu)
4.3 Gangguan mistis saat Kehamilan dan/atau setelah melahirkan
4.3.1 Gangguan Kehamilan
Gangguan kehamilan yang diakibatkan oleh kekuatan yang
dianggap mistis diluar diri manusia juga dialami oleh Ibu M. Berikut
pengalaman ibu M (42 tahun) saat hamil anak pertama:
Jaman meteng tole keno sawan omah. Percoyo ora
percoyo, namung kulo ngalami. Di USG kulo mboten kiat
hamile tole. Ngunjuk jamu sawanan. Mung kunir. Keadaan
kulo mpun sae, sakderenge kados mayit niku. Niki omah
suwung mboten dinggeni. Njerone ora piye-piye. Dibeto
teng Sp.OG podo mudeng yen hamil. Di USG apik. Krasane
megap-megap bar magrib. Ditunggu bu bidan I, tirose
ngidam. Wong mbah dukun sanjang, jabang bayi menawi
gelem genggem wong tuwo nggih gondelono, yen mboten
kuat iklasno nduk. Kulo meneng wae. Dibeto teng Sp.OG
tirose bener. Ikhtiyare niku alhamdulillah njedul nganti
gede niku. Dokter Sp.OG tirose sehat. Dukun nggih tirose

139

keno sawan. Dukun bayi dipijet alon-alon. Diparingi


kelebihan. Tirose wonten nadzaran. Mbah dukun saking
Batur. Bayi 4 sasi ate nguntapke wong tuwo. Kulo lagi
njedul sampun ngertos mbah e. Pun kekuasaane Allah.
Omahe suwung, gadane wong tuwo mboten nate
dinggoni. Dingajeni.dibagekke. diruwat 40 hari diyasinke.
Yo manut mawon.sing penting ora menyekutukan. Riyin
sepi sak niki pun sae.
(pada saat hamil anak laki-laki saya terkena sawan
rumah. Percaya tidak percaya namun saya mengalami
sendiri. saat di USG dulu saya merasa tidak kuat saat hamil.
Meminum jamu untuk sawan yang terbuat dari kunir,
keadaan saya langsung membaik. Sebelumnya saya seperti
mayat. Ini rumah kosong lama tidak ditempati, dalamnya
tidak kenapa-kenapa. Dibawa ke Sp.OG katanya hamil, dan
kondisi kandungan baik. Namun saya merasa sesak setiap
kali setelah Maghrib. Ke Bidan I katanya saya sedang
ngidam. Mbah dukun sudah bilang, kalau si bayi masih
mau bertahan dengan orangtua ya kuatkan, kalau sudah
tidak ya ikhlaskan. Saya diam saja. Itu usaha saya, akhirnya
ya anaknya sampai besar seperti sekarang. Dokter Sp.OG
katanya sehat. Kata dukun katanya kena sawan. Saya
dipijat pelan-pelan. Katanya saya punya nadzaran. Saat
saya baru datang ke mbah dukun sudah tahu dia dan
berkata calon bayi 4 bulan mau menyusahkan orangtua.
Sudah kuasanya Tuhan. Rumah ini dulu kosong. Milik
orangtua dulu, tidak pernah ditempati. Lalu setelah itu
dilakukan pengajian, ruwatan rumah selama 40 hari
dibacakan Yasin. Saya ikut saja, yang penting tidak
menyekutukan. Dulu disini sepi sekali)

140

4.3.2 Gangguan setelah Kelahiran


Hal yang hampir serupa dialami oleh Ibu P setelah melahirkan
anak ke-2 nya yang meninggal saat dilahirkan. Beberapa hari setelah
melahirkan, ibu P merasakan pusing dan tidak bisa makan selama
hampir satu bulan penuh karena muntah terus, sehingga badannya
menjadi kurus. Kejadian tersebut diyakini oleh keluarga Ibu P karena
sebab gangguan dari makhluk halus, seperti diungkapkan ibu P (24
tahun) berikut ini:
...Bar niku tasih kerep ngrasakke, trus nggih wonten
permasalan keluarga kebawa kepikiran, beberapa hari,
Kerep pusing-pusing tiba-tiba, kados vertigo. Namung
tirose doktere sanes vertigo. Terus tiap maem balik lagi,
balik lagi. Tapi itu Belum sempat KB. Sudah beberapa hari
gitu kesana sini, ke pustu,ke RS bolak balik. Disukani obatobat. Namung mboten variasi. Taksih pancen ngaten, terus
tirose mbok e dibetho teng pak de A mawon. Koyok wong
tuwo ngaten. Disanjangi wong jowo keno kencokan wong.
Kene tak garape disukani obat eceran dumek teng warung.
Niku rodo kesinggungan kados makhluk-makhluk, tirose
saking kraton-kraton niku, kulo nggih percoyo mboten
percoyo. Kulo ngrasakno abot teng sebelah niki,
diperiksakne teng dokter tapi tirose sanes vertigo. Cuma
banyak pikiran wae tirose. Niku kencokan soko kraton,
wujude koyok ondel undhi nopo ngaten niku. Disukani obat
kaliyan dinapakaken, dilakokaken, daerah Kalangan niki
tiyange daerah Bunderan. Trus beberapa hari rodo
mendingan. Mungkin karena pikiran nggih rodo enak...
(setelah melahirkan saya masih sering merasakan sakit
pusing-pusing seperti vertigo, mungkin juga karena ada
masalah keluarga, jadi terbawa pikiran. Namun kata dokter
bukan vertigo. Setiap kali saya makan lalu muntah terus.
Saya belum sempat KB saat itu. Saya bawa berobat ke

141

Pustu, ke RS berkali-kali tidak ada perbaikan, obatnya juga


tidak bervariasi. Namun tidak ada hasilnya, lalu ibu mertua
menyarankan untuk berobat ke orang tua atau orang
pintar. Menurut orang Jawa, kasus saya itu katanya akibat
ketempelan makhluk dari luar. Katanya dari kerajaankerajaan, saya ya percaya tidak percaya. Lalu diberi obat
yang sudah disyarati, obatnya Cuma dumex yang dibeli
eceran dari warung. Kepala saya hanya merasa berat
sebelah, diperiksakan ke dokter bukan vertigo katanya,
hanya karena banyak pikiran. Lalu katanya ketempelan
mahkluk dari kraton, semacam ondel indih atau apa, diberi
obat sama diberi perlakuan apa saya tidak tahu. Orang
tersebut orang Kalangan dari dukuh Bunderan. Lalu
beberapa hari kemudian saya merasa lebih baik, mungkin
karena pikiran saya juga sudah mulai tenang...)
Gangguan saat hamil tidak ada. Baru tahu setelah
melahirkan itu. Sanjange wong tuwo nggih manut mawon.
Hampir 1 bulan saya ndak aktivitas nopo-nopo, mboten
saget nopo2, badan kulo nganti cowong, riyin gemuk kulo
(Gangguan saat hamil tidak ada, baru tahu setelah
melahirkan itu. Saya ikut apa kata orangtua. Saat itu
hampir satu bulan saya tidak bisa beraktivitas apa-apa,
tidak bisa apa-apa, badan saya sampai kurus, padahal
sebelumnya gemuk)
4.3.3 Kasus Keguguran
Beberapa kejadian gangguan kehamilan diceritakan oleh
beberapa warga yang belum diketahui sebabnya, dan kejadiannya
beruntun pada suatu dukuh yang sama. Seperti diceritakan oleh Ibu M
(42 tahun) yang juga pernah mengalami keguguran pada saat itu
berikut ini:
Hamil no 2 pun biasa. Ngidam 3 bulan. Flek-flek bedrest.
Perdarahan, Allah berkehendak lain, mboten purun
diemong. Niku adike tole kulo perdarahan
142

(Hamil anak no 2 biasa (tidak ada halangan), ngidam


(selama) 3 bulan. (lalu mengalami) flek-flek perdarahan
disuruh bedrest. Namun Tuhan berkehendak lain, anaknya
tidak mau diemong, perdarahan terus (keguguran))
Mbak L etan mergi nggih ngaten Wong hamil 3 bulan
hamil anggur, niku tanggi sebelah. Griyo mboten dinggeni.
Anak pertama manten anyar, hamil anggur. 3 bulan awake
malah sudo, mudun 6 kilo, dikirim teng RSI. Mben mbak I
niku nggih ngaten, ngesakke anak pertama.
(Mbak L tetangga yang tinggal di sebelah timur jalan juga
begitu, hamil 3 bulan hamil anggur. Dia tetangga sebelah,
rumahnya tidak ditempati. Anak pertama pengantin baru
mengalami hamil anggur. (hamil) 3 bulan berat badannya
menjadi turun 6 kg, lalu dikirim ke RSI (Klaten). Dulu juga
Mbak I, kasihan anak pertama (keguguran))
4.3.4 Kasus Bayi Hilang dalam Kandungan
Ada kejadian juga bayi dalam kandungan yang menghilang
secara tiba-tiba setelah acara tujuh bulanan. Seperti diungkapkan Ibu
M (42 tahun) berikut ini:
...Mbak N anak pertama ngoten (gugur) niku anak ke 2
bar di pitoni ditinggal bengi bubuk langsung kotong plong.
Percaya gak percaya, namung nyatane ngunu. Tiyange
juragan. Tangisan kabeh wong diharapkan ilang. Ilang
kandungane sampun 7 ulan. Wong Jowo niku tirose
ditungkak. Makane wong Jowo menawi hamil niku dikon
gawa gaman. dikongkon nggowo opo. Dukun jahat nggo
sing suwi ora duwe keturunan dialihkan. Njupuk nggone
sopo. Kados menawi mbak e hamil, terus wonten tiyang
sing mboten gadah keturunan dipingini langsung dipendet
pas hamil niku, dialihkan. Didemok mawon. Gamane
kujang. Nyatane nggih wonten. Ilange anak kulo sing alit
tasih setahun. Dereng wonten setahon berarti. Diharapkan

143

suwi, pertama boten diparengke. Kedua nembe dipitoni


ilang. Wong tuo kudune nggowo nopo damel gaman.
Pokoke dituruti nopo jare wong tuwo. Ben slamet anake...
(...Mbak N anak pertama juga keguguran, lalu anak ke 2
setelah dilakukan upacara 7 bulanan, setelah itu malam
harinya tidur langsung kosong perutnya. Antara percaya
dan tidak percaya namun kenyataannya begitu. Orangnya
merupakan orang berada. Semua jadi menangis, karena
merupakan anak yang diharapkan. Hilang dalam
kandungan yang sudah 7 bulan. Kata orang Jawa hal
tersebut namanya ditungkak. Makanya orang Jawa kalau
hamil itu disuruh membawa gaman, membawa apa
begitu untuk menghindari hal seperti itu. Biasanya
dilakukan oleh dukun jahat yang dialihkan kepada orang
yang lama tidak mendapatkan keturunan. Mengambil
kandungannya siapa begitu. Seperti misalnya kalau mbak
nya hamil, lalu ada orang yang tidak mendapat keturunan
lalu melihat dan menginginkan, langsung diambil pada saat
hamil itu, dialihkan, dengan cara dipegang saja. Senjatanya
kujang. Kenyataannya hal tersebut ada. Kejadian hilangnya
itu belum sampai setahun ini, saat itu anak saya yang kecil
masih berumur setahun. Itu anak yang diharapkan lama
oleh orangtuanya, yang pertama keguguran, yang kedua
baru saja tujuh bulanan hilang. Orangtua itu seharusnya
membawa apa begitu untuk senjata. Pokoknya harus
dituruti apa kata orang-orang tua, agar anaknya selamat...)
Kejadian mistik yang tidak bisa dijelaskan secara medis dan
rasionalitas manusia, akan dikembalikan kepada mitos-mitos yang
diyakini oleh masyarakat. Untuk menjawab dan merasionalisasi hal
yang dianggap buruk oleh masyarakat pendukungnya. Mengembalikan
kepada keselarasan atau harmoni dalam kehidupan.

144

Kehamilan sebagai suatu hal yang bahaya sehingga untuk


melindungi anak dalam kandungan, dan memberikan karma yang baik
pada anak dalam kandungan, orangtua calon bayi harus melakukan
laku tirakat dengan penuh kehati-hatian. Seperti diungkapkan Ibu K
(49 tahun) berikut ini:
...Hamil itu saya tirakat terus, seperti puasa, puasa tidak
ngomong jelek, tidak membatin jelek pada orang lain.
Tidak berlaku buruk. Takut semua kembali kepada anak
saya. Saya 9 bulan tirakat terus, menahan diri, suami juga
lek-lekan (tidak tidur hingga tengah malam) terus, dan
sampai sekarang keterusan ...
4.3.5 Kasus ASI Non Eksklusif
Kesadaran akan pentingnya ASI eksklusif bagi para ibu di Desa
Kalangan sudah cukup baik, seperti diungkapkan oleh ibu S (34 tahun)
berikut ini:
ASI 2 anak nganti 9 bulan. Dicampur namun sampun
ageng. Pun disanjangi bidan. Melancarkan ASI biasa ne
nganggo jagung kados marning. Biasane niku nggo
ngelancaraken ASI. Jagung marning gurih dimaemi
mawon. Kale jagung digodhog kaliyan digoreng alit-alit.
Teng ngriki kathah sing remen. Dibunteli alit-alit. Marning
sing atos niku. Kebanyakan kulo kulakan 5 kotak niku pun
telas. Jajane nggih marning niku
(ke 2 anak saya minum ASI sampai umur 9 bulan. Baru
dicampur setelah besar. Sudah dibilangi oleh bidan.
Melancarkan ASI biasanya menggunakan jagung seperti
marning. Biasanya itu buat melancarkan ASI. Jagung
marning gurih dimakan begitu saja. Sama jagung rebus dan
jagung yang digoreng kecil-kecil. Disini banyak yang suka.
Dibungkus kecil-kecil. Marning yang keras itu. Kebanyakan
saya kulak 5 kotak habis, jajannya ya marning itu)

145

Namun ada kasus-kasus tertentu yang membuat ibu tidak


memberikan ASI nya meskipun bisa mengeluarkan ASI. Ada kasus
karena bayi masih berada di Rumah sakit dan rumah sakit memberikan
susu formula kepada bayi. Selain itu ada kasus yang terkait dengan
gangguan dari makhluk halus, sehingga ibu tidak diperbolehkan
memberikan ASI kepada bayinya. Seperti yang diungkapkan ibu P (24
tahun) terkait pemberian ASI pada anak pertamanya berikut ini:
Malah bayek niku nyusoni malah banyak pantangan,
maeme ojo maem kupat ngko mbubuti kloso, maem pedespedes lombok ndak boleh, artine nopo mboten ngertos.
disusuin sedoyo, wonten botol, diinep matanya
bermasalah, kena banyu ketuban, di botol langsung susu
formula, lanjute kulo susuni. Padahal kan mboten angsal
nggih, kok dokter beda disukani botol. Waktu dibawa ke
posyandu ga boleh. Di RS 3 hari nginep. Setelah itu disusuin
sendiri. kesana kalau saya mendingan saya susuin ke RS.
Nganti hamil lagi niku tasih nyusu niku sing pertama.
Disanjangi ojo nyusuni terus mesakno bayine teng njero,
mundak kalah, mesakne mangan bayi reget. Akhire di beto
malih teng orang pintar, namung teng nggriyo mbeto
mimik teh nopo roti, mriko dinapakne mboten ngertos kulo
mboten tumut. Namung sampun mboten mimik kulo
maleh. Kulo sukani tensoplas nggih dikrikiti, kulo sukani
obat nggih ngamuk-ngamuk
(malah waktu menyusui anak pertama itu yang banyak
pantangan, seperti jangan makan ketupat nanti bayinya
bisa mencabuti tikar, makan pedas-pedas lombok jug tidak
boleh, artinya apa saya tidak tahu. Saat itu disusukan
semua air susunya. Sempat saat lahir anak saya menginap
di RS selama 3 hari. Karena matanya mengalami masalah
akibat terkena air ketuban. Di RS diberi susu formula
botolan. Setelah itu saya susukan sendiri. Padahal kan

146

tidak boleh ya seharusnya?kok dokter memberikan susu


formula. Waktu Posyandu diberi tahu tidak boleh diberi
apa-apa selain ASI. Setelah itu saya beri ASI, kalau badan
saya sudah membaik, saya ke RS menyusukan bayi saya.
Sampai hamil lagi anak ke 2, anak saya masih minum ASI.
Diberi tahu orang-orang kalau saya sudah harus menyapih
anak pertama saya, karena kasihan bayi yang dalam
kandungan, nanti kalah, kasihan istilahnya makan bayi
kotor. Akhirnya anak pertama saya dibawa ke orang pintar
supaya mau disapih. Dari rumah dibawakan air teh dan
roti, entah disana diapakan tidak tahu karena saya tidak
ikut. Namun setelahnya sudah tidak minum saya lagi.
Sebelumnya saya sapih sendiri tidak berhasil, dari mulai
saya plester puting saya, tapi digigit sama anak saya. Lalu
saya beri obat, malah marah-marah)
Pengalaman Ibu M (42 tahun) tidak memberikan ASI nya
kepada anak pertamanya karena dianggap ada gangguan dari makhluk
halus. Selama menyusui merasa sakit luar biasa. Oleh orang pintar
dilarang untuk menyusui. Sedang anak ke 3 tidak menyusui karena
tidak keluar ASI nya. seperti diungkapkan Ibu M berikut ini:
Ada kendala lain mung mboten dimimiki kulo.wong jowo
digatuk-gatukaken niki omah suwung. Diubeng kale tole
(ada kendala lain kenapa tidak saya beri ASI anak pertama
saya. Orang Jawa dipas-paskan karena rumah yang saya
tempati pernah kosong. Puting saya diputar-putar sama
anak saya)

147

4.4 Tradisi
4.4.1 Tradisi selametan
Horner dalam Graburn (2001) menyatakan bahwa tradisi
adalah merupakan proses pewarisan dari generasi ke generasi yang
berupa adat atau proses pembelajaran yang melalui waktu yang lama.
tradition refers both to the process of handing down from
generation to generation, and some thing, custom, or
thought process that is passed on over time
Tradisi adalah bentuk-bentuk budaya yang dalam waktu yang
berubah ada keberlanjutan untuk diwariskan, diajarkan, terpelihara
dan tidak hilang. Sejalan dengan hal itu, Shanklin (1981) menyatakan
bahwa tradisi merupakan proses aktif dimana kepercayaan atau
keyakinan diwariskan dari generasi ke generasi, dan dibutuhan hanya
dua generasi saja yang menjalani dan mewarisi untuk bisa disebut
sebagai tradisi.
Tradisi berdasar adat Kejawen di Desa Kalangan sudah berlaku
pada beberapa generasi, meskipun dalam masa generasi satu ke
generasi berikutnya ada aktor-aktor yang memodifikasi tradisi sesuai
dengan perkembangan zaman pada masanya. Dalam setiap siklus
kehidupan dari kehamilan, kelahiran, remaja, nikah, hingga meninggal,
masyarakat Jawa di Desa Kalangan mengenal tradisi selametan.
4.4.2 Kehamilan : Neloni dan Mitoni
Upacara kehamilan ada dua ritual dilakukan pada masyarakat
Jawa di Desa Kalangan, yaitu upacara 3 bulanan dan 7 bulanan,
dikenal dengan istilah neloni dan mitoni atau tingkeban. Seringkali
pada masa sekarang neloni dan mitoni diringkas menjadi satu acara
saja. Ritual ini dilakukan pada saat kehamilan anak pertama memasuki
bulan ke-7. Dengan harapan bahwa jabang bayi yang sedang
dikandung mendapatkan keselamatan hingga saat kelahirannya tiba.
Ibu S ( 34 tahun) menjelaskan mengenai acara 7 bulanan yang
pernah dilakukan sebagai berikut:

148

Upacara 7 bulan niku namung hamil pertama, acarane


biasa namung kenduri. Tambah nem-neman sak niki sing
simpel-simpel niku...7 bulanan wonten mandi sumur.
Sakniki sumur dewe. Riyin sumur 7 sumber (sumur)
ditonton teng ngajeng niku. Namung sak niki mboten
wonten. Mbah dukun sing nglaku. Biasane kagem
mantenan. Upacara ne mbah dukun saking karangdowo.
Kalangan riyin enten tanggine bu bidan namung sampun
mboten wonten. Mantenan nggih wonten mbah dukun,
perane nggih ngerik paes. Kulo nggih mboten ngertos
ngapunten nopo niku artine, mboten mudeng. Mung melumelu sanjange tiyang sepuh.
Ibu P juga melakukan tradisi mitoni (tujuh bulanan) yang
dilakukan pada saat hamil anak pertama. Kegunaan dari upacara 7
bulanan diketahui oleh ibu P adalah untuk keselamatan bayi yang ada
dalam kandungannya. Seperti diungkapkan ibu P (24 tahun) berikut
ini:
Hamil pertama ada acara mitoni, diharuskan di rumah
suami. Acara kondangan kale mandi-mandi kembang.
Wonten tumpeng 7, dikondangi mbah dukun niku, mbah H.
Kanggo keselametan bayi
(hamil pertama ada acara mitoni, diharuskan di rumah
suami. Acara yang dilakukan mengundang tetangga dan
mandi air bunga. Ada tumpeng macam 7, yang melakukan
adalah mbak dukun. Gunanya untuk keselamatan bayi)
Disamping selametan pada masa kehamilan juga ada pantanganpantangan yang harus dihindari. Diungkapkan oleh Ibu P (24 tahun)
berikut ini:
Pantangan makan ada jantung pisang mboten angsal
tirose marai kisut kulite, sukun nggih mboten angsal tirose
angel tukule untune. Es ojo akeh-akeh mundak gede teng

149

njero. Ternyata niki nggih ngaten kakean mimik es laire 3,6


nganti gulung kuming sing nglairake. Sehari semalam
nglairake, bapake tak jambaki. Lair teng PKU Dlanggu.
Rejekine Allah...Larangan pantangan perilaku, ada tapi lali,
kayake ya banyak, ora oleh adoh-adoh mundak sawan.
Kadang kaki e aboh-aboh niku. Kulo mboten mudeng, cuek,
wong ngomong nggih dirungokno mawon
(Pantangan makan saat hamil ada, seperti dilarang makan
jantung pisang, nanti anaknya kulitnya bisa keriput. Tidak
boleh makan sukun, karena nanti gigi anak sulit tumbuh. Es
juga tidak boleh terlalu banyak, dikhawatirkan nanti bayinya
besar ketika masih di dalam kandungan. Ternyata juga benar,
saya sering minum es, bayi saya lahir beratnya 3,6 kg, sampai
kesakitan pada saat melahirkan. Sehari semalam melahirkan
bayi saya, bapak nya saya tarik rambutnya. Lahir di RS
Delanggu, rejeki dari Allah... untuk pantangan perilaku ada,
namun saya lupa, sepertinya banyak sekali pantangannya.
Seperti saat hamil tidak boleh keluar jauh, takut kena sawan.
Kaki bisa bengkak-bengkak, namun saya tidak paham, cuek,
orang bicara ya didengarkan saja).
4.4.3 Kelahiran
Kelahiran bayi ke dunia ini bagi orang Jawa adalah hal yang
penting, sehingga harus diadakan selametan untuk keselamatan bayi
hingga tumbuh menjadi anak yang sehat dan sejahtera. Ada beberapa
proses selametan untuk bayi yaitu saat bayi baru lahir, sepasar (5
hari), selapanan (35 hari), wetonan. Seperti diungkapkan Bapak K (52
tahun) berikut:
Kanggene tiyang Jawi Solo, jawine kejawen asli, nggunake
selametan niku penting banget. Kanggo keselametan. Milo
bayek ceprot nggih diselameti. Ora ketang kangkung
ditemplekke mubeng duwur sego, kangkung diubengi coro
gampangane yen tembung niku umpamane diwenehi ben

150

sehat terus mboten wonten gangguan. Selametan bocah.


Terus sepasaran. Dilek-leki dayohe pirang-pirang deso
teko. Trus selapanan...kangkung, lembayung, kacang
mbleyor (kacang panjang), bumbu krambil, corone niku
digudang
dicampuri
bumbu
krambil
pun
dados...nyejarahe tiyang sepuh sego adem-ademan.
Namun syarat.Bayine digundul, dicukur. Kadang didusi
kembang tiap weton (hari lahir) sampe umur 2 tahun
kinten-kinten
(buat orang Jawa Solo itu Jawa nya kejawen asli.
Menggunakan selamatan itu sangat penting, untuk
keselamatan. Sehingga bayi baru lahir juga ada selametan.
Walaupun hanya sayur kangkung diputar diatas nasi.
Makna sayur kangkung diputar di atas nasi merupakan
simbolis doa dan harapan agar bayi yang baru lahir
tersebut diberi kesehatan dan tidak mendapat gangguan
apapun. Lalu ada sepasaran (5 hari), selapan (35 hari), ada
acara melekan (tidak tidur semalaman) dari undangan
yang datang dari beberapa desa. Sayurannya kangkung,
lembayung, kacang panjang diberi bumbu kelapa namanya
gudang atau urap...maknanya menurut orang tua dahulu
adalah nasi untuk mendinginkan. Hanya untuk syarat, lalu
bayi dicukur atau digundul. Terkadang ada yang
dimandikan dengan bunga, setiap weton (hari lahir)
sampai berusia kira-kira 2 tahun).
4.4.4 Khitanan atau Sunat
Acara Khitanan atau sunat bagi anak laki-laki merupakan salah
satu siklus kehidupan yang harus dilalui oleh anak laki-laki Jawa, yang
harus diadakan selametan. Seperti diungkapkan Bapak K (52 tahun)
berikut ini:
Kulo pun putu, putune 4, putrane 3, jaler sedaya. Sunat
teng pak bong cawas. Katah teng Cawas, sanjange cepet

151

mari. Anak 2 teng Cawas, setunggale ikut masal teng RS


Mitra Pedan. Bong niku carane pake gunting, boten
disigar, dijapit, trus disemprot nggo roso anyep. Dijapit.
Yen dokter modele mboten ngaten. Bong niku pak bong
namine pak bong, dokter saking Jogja. Sing dokter biasa
nganggo dijahit. Bong mboten dijahit. Modele teng RS
Mitra dijahit ngaten. Warase teng bong niku langsung.
Sore sunat enjinge pit-pitan utawi bal-balan pun saget.
Menawi dokter 3-4 dino mboten waras-waras.Rambak
kulit gawe lombok jangan pedes ben ndang garing.
Dipedesi ben cepet garing. selametane nek tiyang Jowo
komplit banget. Kondangan kangge lek-lekan. Campursari
nopo wayangan. Ajange sunat, wingi pun di lek-lek i, tiyang
sepuh melekan paring berkah. Putro 3 nganggo lek-lekan
(saya ini cucu sudah 4, anak 3 laki-laki semua. Dulu
mengkhitankan anak saya di Pak Bong yang ada di Cawas.
Banyak yang khitan disana, katanya cepat sembuhnya. 2
anak saya khitan di Cawas, sedang yang 1 ikut khitan
massal di RS Mitra Pedan. Bong itu caranya pakai gunting
tidak dipotong, dijapit, lalu disemprot dengan cairan
dingin. Kalau dokter modelnya tidak begitu. Bong itu nama
orang, Pak Bong, dokter dari Jogja. Kalau dokter biasa
dijahit, sedang Bong modelnya tidak dijahit. Di RS Mitra
modelnya dijahit. Kalau sunat di Bong sembuhnya langsung
pada saat itu juga. Sore sunat, paginya sudah bisa naik
sepeda atau main bola. Kalau sunat dokter sampai 3-4 hari
belum sembuh juga. Dan supaya cepat kering diberi makan
rambak kulit dimasak sayur sambal yang pedas. Pedas itu
supaya cepat kering luka sunatnya. Selametan kalau orang
Jawa komplit semua. Acara kondangan semalam suntuk,
ada campursari dan wayangan. Menjelang sunat sehari
sebelumnya sudah tidak tidur semalam suntuk, orang tua
tidak tidur semalam suntuk untuk memberi berkah pada
yang akan dikhitan. Saya punya anak 3, waktu

152

mengkhitankan dulu, menggunakan acara tidak tidur


semalam suntuk).
4.4.5 Pernikahan
Tradisi Lamaran dan pernikahan, ada syarat lengkap dan syarat
ringkas menurut adat Jawa Kuno. Seperti diungkapkan Bapak P (80
tahun) yang merupakan sesepuh desa berikut ini:
Pihak lanang nglamar rangkaiane podo karo masrahke
kembang setaman, lah kui, mener sak jimpit (beras) ning
ujube mung sak jimpit mbok sak karung sak jimpit, pisang
rojo setangkup, klopo sak janjang digandeng-gandeng
ditumpuk disuwir kulite terus digandeng tengah cagake
pring paling ora yo 30 klopo. Kluweh sak jodoh, pitik
panggang, pitik urip, terus panjang ilang isine jadah, wajik,
karo panganan opo, nek gak gawe panganan yo diiseni
roti
(pihak laki-laki kalau melamar rangkaiannya sama seperti
pada saat memberikan bunga setaman, seperti beras satu
jimpit, pisang raja satu tangkup, kelapa satu renteng,
sekitar 30 biji, kluwih satu pasang, ayam panggang, ayam
hidup, panjang ilang berisi jadah, wajik, dan makanan
lain, bisa diisi roti)
Udare tangsul, bakune mung mejemuk, beras tok e kroso,
utawa senik (tumbu), pitik urip. Ingkung gandengane
tumpeng. Panjang ilang janur digawe piring. Nggo adah
opak
(Udare tangsul untuk melepas ikatan, bakunya hanya
mejemuk, beras dan ayam hidup. Kalau ayam ingkung
pasangannya dengan tumpeng. Panjang ilang adalah janur
yang dibuat untuk piring tempat opak)
Rangkaiane okeh, aku nek pasrah: kulo ken aturaken
sekar sepelik, ganten sak kenyek, pisang sak uler,
153

panggang tumpeng sak pirantosipun, kinaryo mejemuk, iki


mau bakune. Sing no 2 mejemuk menir sak jimpit klopo sak
janjang. Nek nganggo wedhus jangane jangan mendho.
Nek nganggo pitik 2 keno, 1 keno. Pun niku bakune. Ngko
panjang ilang terus janur kuning rineko poromudho isine
jadah gurih karo panganan. Terus sandangan terserah
nganggo opo ora, sak pengadek. Sing penting maneh sik
isih duwe mbah opo wong tuwo, pihak lanang kudu
menehi pemesing wong tuwo lanang sarung, ibuke
disukani jarik. Bakune ngaten nek kampung. Liyo-liyo
tambahan. Wedus saiki mboten model, ganti pitik. Niku
bakune lamaran. Krambil 4 oleh, ning kluweh kudu sak
jodoh, karo krambil 2
(rangkaiannya banyak, saya kalau diserahi untuk
memasrahkan lamaran begini saya haturkan hantaran
lamaran berisi bunga, ganten, pisang, panggang, tumpeng
dan pirantinya, kinaryo mejemuk, sebagai baku.
Mejemuknya berupa beras dan kelapa. Kalau
menggunakan kambing sayurnya sayur mendho. Kalau
menggunakan ayam bisa 1 ekor bisa 2 ekor. Piring yang
terbuatdari janur kuning berisi jadah gurih dan makanan
lain. Pakaian lengkap bisa digunakan bisa tidak. Yang
terpenting lagi kalau masih mempunyai kakek nenek, pihak
laki-laki harus memberikan seserahan kepada kedua
orangtua tersebut. Kakek diberi sarung, nenek diberi jarik.
Bakunya seperti itu, lain-lain itu hanya tambahan saja.
Kambing sekarang sudah tidak model lagi, sekarang
menggunakan ayam. Itu baku dari lamaran. Kelapa 4 atau
2, kalau keluwih itu harus satu pasang)
Udaring tali werno-werno sebabe ono sing ora nganggo
ditaleni. Repote ning kunu kuwi. Iso digawe iso ora. Yen ora
ditaleni ora usah nggawe. Tergantung ditaleni nopo

154

mboten. Ditaleni nek pas nembung, tali disaksikan uwong.


Saksine tonggo-tonggo. seksi yo didumi duwit. 2 belah
pihak mengeluarkan duit, dibagi rata pada saksi. Pas
nglamar nganggo udaring tali
(melepaskan ikatan juga bermacam-macam sebabnya. Ada
yang menggunakan ada yang tidak. Repot kalau tidak
menggunakan pengikat. Diikat kalau pas mengucap
disaksikan oleh tetangga. Saksi diberi uang yang
dikeluarkan oleh kedua belah pihal, lalu dibagi rata pada
semua saksi, sehingga pada saat lamaran itu baru
menggunakan pelepasan ikatan)
Rangkaian siraman keno mboten keno, ragate ora umum.
Ora undang-undang diringkes coro adat kuno, ijab terus
kapyuk kembar mayang rampung. Ora duwe ora usah
ngoyo-ngoyo. Bakune mung ijab karo kapyuk kembar
mayang. Kembar mayang kek ke tengah lawang terus kon
nendang cah 2. Niku bakune. Kembar mayang critane nek
durung dikapyuk kembar mayang suk nek tekane janji
ndadak nggawekke. Dadi umpamane duwe bojo dereng
dikapyuk, yen sesok dipundhut ndadak nggawekke.
Midodareni gawe keno ora ra popo, mung rangkaian.
Kuncine wong jejodohan mung KUA karo kembar mayang.
Nek durung sah jenenge anak mentah, sok mben nganti
duwe bojo, bapake ora keno nngunggahke, tur ora duwe
hak. Lek wongtuo mati mboten duwe hak njaluk.sing duwe
hak sing mari sah, duwe anak. Mung diwenehi tali asih.
Mulo duwe anak wedok, lanang sing ati-ati, sing penting
sanaib, pekoro ewuh (resepsi) sembarang. Sanaib (ijab)
kudu didisekke, ciri khas e wong duwe bojo. Yen diwenehi
kemurahan sing duwe urip anak resmi duwe hak...Lek
selametan monggo, keno ora keno sembarang. Bakune
wong omah-omah niku penting e. Ewuh asline mung

155

renggan (rangkaian), sing penting sanaib kapyuk kembar


mayang wes sah. jejodohan niku nggo urip sak lawase,
nggo dijak gotong royong sak lawase. Ora usah ngoyongoyo, sing penting wong urip niku sing rukun.
(kalau siraman bisa pakai bisa tidak, itu hanya rangkaian,
dan biayanya mahal. Kalau tidak ada undangan bisa
diringkas menggunakan cara adat kuno yaitu ijab dan
melempar kembar mayang, sudah selesai begitu saja.
Kalau tidak ada biaya tidak usah memaksakan. Bakunya
hanya ijab dan kembar mayang. Kembar mayang ditaruh
ditengah pintu lalu suruh menendang 2 orang anak. Kalau
belum dibuatkan kembar mayang waktu ijab, nanti kalau
meninggal masih harus membuatkan kembar mayang.
Midodareni juga hanya rangkaian, bisa pakai bisa tidak.
Kuncinya orang berjodohan itu hanyalah KUA dan kembar
mayang, sudah sah. Kalau belum sah nanti kalau
mempunyai anak namanya anak mentah. Nanti kalau
anaknya mau menikah, bapaknya tidak bisa menikahkan,
dan tidak punya hak waris. Kalau orangtua meninggal tidak
punya hak meminta harta waris. Yang mempunyai hak
adalah anak dari perkawinan yang sah, anak mentah hanya
bisa diberi tali asih. Makanya kalau memiliki anak
perempuan dan laki-laki itu harus berhati-hati. Yang
penting itu ijab dan kembar mayang,Kalau mau selametan
atau resepsi itu terserah, itu hanya rangkaian. Jodoh itu
buat hidup selamanya, bisa buat gotong royong
selamanya. Tidak usah memaksakan diri, yang penting
hidup rukun)
Pada masa sekarang, acara perkawinan dilakukan selama 3 hari.
hari pertama "tonjok" yaitu ater-ater (hantaran sajian kepada
tetangga), hari kedua terima tamu,dikhususkan buat tamu yang tidak
bisa hadir pada hari H undangan, malam hari acara kidungan kembar

156

mayang. hari ke 3 yaitu kondangan, hari perayaan pernikahan dengan


mengundang warga setempat, kerabat dan para tamu. hari ke 4
mengantar pasangan pengantin ke tempat besan. selesailah rangkaian
upacara pernikahan.
4.4.6 Kematian
Kematian bagi warga di Desa Kalangan adalah peristiwa yang
penting dalam kehidupan akhir dari seseorang di dunia. Sehingga
jasad yang sudah ditinggalkan oleh ruhnya bisa dirawat dengan
sebaiknya sebagai penghormatan terakhir. Dan arwahnya akan tenang
apabila diadakan selametan dalam setiap periode waktu tertentu.
Bapak K (52 tahun mengungkapkan sebagai berikut,Riyin dilek-leki 3
dino nganti 7 dino, 40 dino, 100 dino, pendak 1,2, nyewu. Dilek-lek i
dibelehke kambing. (dulu kalau ada kematian ditungguin semalaman
dari 3 hari sampai 7 hari, kemudian 40 hari, 100 hari, tahun 1, tahun
ke 2, 1000 hari, dipotongkan kambing).
Bapak S (60 tahun) juga menceritakan mengenai tata cara
kematian menurut tradisi Jawa berikut ini:
...umpanane mbok kulo mati nggih, dadi nek dhudhukdhudhuk nek sarean niku coro carane bedah bumi, bedah
bumi niku nggih nganggo ingkung nganggo sego, nganggo
komplit, bedah bumi, lha mengke sing mangan nggih sing
dhudhuk-dhudhuk niku. Bedah bumi niku carane ngesur
lemah, nggih nyarekaken sing sedo niku wau.mau nek
sarean mung cilik gawe sak ndeso lak ra cukup, wes
didhudhuk enehnek kulo taksih kulo 7 dinani, 40 puluhi,
satusi, pendak pisan, pendak pindo sewu, lek pun sewu pun
ntek...
(seandainya nanti saya meninggal, saat menggali makam
itu ada tradisi namanya bedah bumi. Bedah bumi adalah
selametan pada saat menggali tanah makam, dengan ada
ayam ingkung dan nasi komplit. Nanti untuk dimakan oleh
penggali kuburnya. Bedah bumi itu artinya menggali tanah
157

tempat dimana jenasah akan dimakamkan. Kalau


pemakamannya tidak luas dan tidak cukup untuk orang
satu desa, maka ya digali lagi yang sudah ada isi
sebelumnya. Saya masih melakukan tradisi 7 hari, 40 hari,
100 hari, tahun 1, tahun ke 2, 1000 hari, setelah 1000 hari
sudah selesai)
Saat ada kematian di wilayah ini, peristiwa ini pada waktu subuh
akan diumumkan di masjid-masjid yang ada di setiap dukuh.
Pengumuman disampaikan dengan bahasa Jawa mengenai siapa yang
meninggal, usia, sebab kematian, kapan meninggal, kapan akan
dimakamkan, dan siapa saja keluarga yang berduka. Pemakaman
biasanya dilakukan jam 1 siang setelah sholat Dhuhur, jam berapapun
kematian itu terjadi. Pada pagi harinya diadakan bacaan ayat Al Quran
bagi orang yang meninggal dan sekaligus penerimaan para tamu yang
melayat yang berasal dari berbagai dukuh di sekitarnya.
Untuk kasus kematian anak, prosesi pemakaman biasanya
dilakukan dengan secepatnya, sesaat setelah kematian, baik di rumah
maupun di RS meskipun hari sudah sore atau malam hari. Seperti
diungkapkan Ibu P (24 tahun) berikut ini:
Dimakamaken teng belan, dimakamaken posisine pun
sore, daerah sini aja kathah sing mboten tahu. Orang tua
nggih mboten dikabari. Lagek 6 hari nembe mriki. Tp kyk e
ndak nglakuin adat, geblak, pendak, nyewu. Paling ya doa
tok. Kematian yg ngurus pihak keluarga aja. Adik-adik kan
ada dirumah
(anak saya dimakamkan di makam dukuh, pada sore hari
dan tidak banyak yang mengetahuinya. Orangtua saya juga
tidak saya beritahu, baru setelah hari ke-6 mereka kesini.
Tidak melakukan adat kenduri saat hari kematian, tahun 1,
tahun ke 2, dan 1000 hari. Saya hanya mendoakan anak
saja. Saat itu yang mengurus kematian pihak keluarga saja,
karena adik-adik suami ada di rumah)
158

Ibu S yang juga kehilangan bayinya mengungkapkan sebagai


berikut, (Anak saya) dimakamkan di pemakaman dukuh di perbatasan
Karangdowo-Pedan, jam 10 malam. Ibu M juga menyatakan bahwa
tetangga beliau yang kehilangan anak saat dalam kandungan
memakamkan anaknya pada sore hari menjelang maghrib, sesaat setelah
kematiannya dengan prosesi mengitari makam terlebih dahulu.
4.4.7 Tradisi Selametan di Lingkup Masyarakat
Selametan dalam tradisi budaya Jawa pada masyarakat Desa
Kalangan dilakukan dalam setiap siklus kehidupan manusia, dari
kehamilan, kelahiran, remaja, perkawinan dan kematian. Bahkan
dalam setiap keinginan hajat atau setelah mendapat kesusahan juga
diadakan selametan yang bernama angsum dhahar. Seperti
diungkapkan Ibu K (49 tahun) berikut ini:
Angsum dhahar itu selametan keluarga saat sudah
melewati suatu bahaya atau kesusahan. Biasa ada
kondangan atau hantaran. dengan sajian mie, sambal
goreng, ayam, rempeyek. Dulu dibuat dalam
tumpengan/gunungan di tampah kemudian diambil di
baskom dan diantarkan ke tetangga. istilah angsum dhahar
ditujukan untuk para sesepuh yang sudah mendahului
Bapak R (60 tahun) menyebutkan bahwa kegiatan angsum
dhahar adalah kegiatan untuk keselamatan individu, diungkapkan
sebagai berikut:
Angsum dhahar itu kasih makanan ke kuburan.
Pengertian apabila (individu) punya kesalahan punya hajat
angsum dahar (kenduren). Dikendureni danyang urip
(untuk) pibadi (adalah) angsum dhahar itu
Ketika budaya Jawa bertemu dengan budaya Islam maka
kegiatan selametan bisa menjadi acara yang dinamakan mujahadah.
Dalam Islam, istilah mujahadah berasal dari kata jahada-yujahidumujahadah-jihad yang berarti mencurahkan segala kemampuan.

159

Dalam konteks ahlaq mujahadah adalah mencurahkan segala


kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat
pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat
internal maupun eksternal. Hambatan yang bersifat internal datang
dari jiwa yang mendorong untuk berbuat keburukan, hawa nafsu yang
tidak terkendali, dan kecintaan terhadap duniawi. Sedangkan
hambatan eksternal datang dari syaitan, orang-orang kafir, munafik,
dan para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran (Muttaqien, 2006).
Ketika melebur dengan budaya Jawa, maka acara tersebut diadakan
setiap hari weton seseorang. Menurut hitungan Jawa, weton adalah
hari kelahiran dan hari pasaran yang akan berulang setiap 35 hari
sekali. Berisi pengajian dan ceramah agama dari seorang ustad.
Tujuan dari acara mujahadah adalah banyak manusia yang
mengalami kegoncangan dalam hidupnya, stress, frustasi, kecewa. Di
dalam mujahadah terdapat bacaan-bacaan dan ritual-ritual sebagai
misal adalah doa, tahlil dan wirid yang di dalamnya memuat ayat-ayat
yang dapat memberikan suasana hati yang tenteram, sehingga dengan
hati yang tenteram membuat perilaku dan tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari akan menjadi lebih baik (Muttaqien, 2006).
Selaras dengan tujuan selametan dalam tradisi Jawa, yaitu untuk
mendapatkan keselamatan, keselarasan dan kebaikan dalam
kehidupan seseorang.
4.4.8 Tradisi Nyadran dan Ruwahan
Dalam tingkat komunitas bersama masyarakat Jawa, konsep
selametan untuk tujuan keselamatan bersama warga masyarakat juga
ada. Masyarakat Desa Kalangan biasanya melakukan tradisi bersih
desa, meskipun sudah tidak ada lagi di tingkat desa, namun masingmasing dukuh masih melakukan selametan semacam bersih desa.
Tradisi tersebut dinamakan tradisi Nyadran dan Ruwahan, semua
dilakukan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa berdasarkan
peredaran bulan mengelilingi bumi.

160

Tradisi nyadran dan ruwahan yang masih dilakukan oleh


sebagian besar masyarakat Desa Kalangan, dilakukan pada masingmasing dukuh di bangsal makam leluhur dukuh. Seperti diceritakan
oleh Bapak K (53 tahun) berikut ini:
Bersih desa wonten, tanggal 25 Jawi Ruwah. Tiap ruwah
(ada) nyadranan, ruwahan. Wonten makam ageng belan,
makam ageng tawangsari. Ngledok kidule wonten makam
niku makam ageng belan. Niku Pabelan. Lor e pustu sing
nyekel tiyang troketon meski wilayahe kalangan. Ngagem
lek-lekan. Kathah makam e teng ngriki. Sisi mriki wonten
bangsal kangge kondangan-kondangan. Mriko benten
malih teng makam Jagulan. Sing soko muhamadyah
tanggal nom, NU tanggal tuwo. Tanggal jawi werni kale
tanggal 1 anyar tanggal 1 lawas, niku NU muhamadyah.
Bersih desa rame, wonten wayangan, lek-lekan, mbelehne
kambing. Gayeng niku. Tekan hari 29. Teng Pedan kathah
mbeleh kambing, minim 8 sing dibeleh, kulo nggih ajeng
setori kambing teng mriko. Acarane teng bangsal-bangsal
makam. Wonten wayangan. 2 dukuh 1 RW, kalangantawangsari. Mriki 3 RW. Yen nyadranan 15 rame. Nyadran
tanggal 15, ruwahan tanggal 25, nganti 29, tontonan
banyak. Komplit. Satu malem tanggal 25 dalu. Rame
banget
(bersih desa ada disini, dilaksanakan setiap tanggal 25
bulan Ruwah. Setiap bulan Ruwah ada Nyadranan dan
Ruwahan. Dilaksanakan di bangsal makam-makam Ki
Ageng yang ada di Dukuh, seperti bangsal ki Ageng
Pabelan, bangsal Ki Ageng Trokejun. Pada setiap makam
yang ada di dukuh selalu ada bangsal yang digunakan
untuk acara undangan-undangan seperti itu. Pada
penanggalan jawa ada dua macam yaitu tanggal 1 baru dan
tanggal 1 lama. Kalau Muhamadyah biasa menggunakan
tanggal muda/baru, sedangkan NU biasa menggunakan

161

tanggal tua/lama. Acaranya ramai, ada wayangan,


semalam suntuk, dan memotong kambing. Mantab itu,
sampai tanggal 29 Ruwah. Di Pedan banyak yang
menyembelih kambing, minimal 8 ekor yang disembelih.
Saya juga akan setor kambing untuk acara tersebut. Kalau
nyadranan itu tanggal 15 ruwah, sedangkan ruwahan
tanggal 25 ruwah, sampai tanggal 29 Ruwah. Banyak
tontonan)
Bapak P yang merupakan sesepuh dukuh juga menjelaskan
tentang tradisi yang masih ada, yang tidak jauh berbeda dengan
penjelasan Bapak K. Berikut penuturan bapak P (90 tahun):
Ruwahan slametan biasa tanggal 24 jowo. Kondangan
teng bangsal sarean nglumpuk, tawangsari, kalangan.
Podo yasinan. Istilahe ngirim leluhur, pepunden sing nyare
teng mriku. Mboten slametan nggih mboten nopo-nopo
sak niki. Ning daerah mriku tasih 90% selametan. Umume
selametan. Selametan niku mung njaluk selamet. Kebak
niku bangsal wedangan, panganan enak. Podo nggowo
ambengan komplit gedang, apem, awan kondangan teng
bangsal. Jaman biyen selametan niku mboten ditinggalke,
sak ngertos kulo, wiwit riyin ngantos sak niki. Kondangan
klumpuk sak grup wong 20, dereng wonten bangsale. Sak
niki podo urunan gawe bangsal kondangan teng mriku.
Malah aktif mbiyen selametane tinimbang saiki. Selametan
istilahe mbiyen mung golek selamet kanggo awake dewe
(selametan Ruwahan biasa dilaksanakan setiap tangggal 24
Ruwah Jawa. Diadakan di bangsal-bangsal makam,
membaca Yasin. Istilahnya mengirimkan doa kepada
leluhur yang telah dimakamkan disana. Jaman sekarang
tidak melakukan selametan ya tidak apa-apa. Namun di
daerah sini 90% umumnya masih melakukan selametan.
Bangsal penuh dengan minuman dan makanan enak.

162

Semua membawa hantaran komplit berisi pisang dan


apem. Sepanjang sepengetahuan saya dari dulu sampai
sekarang selametan itu tidak bisa ditinggalkan. Dulu saat
kondangan satu grup berkumpul 20 orang jaman makam
belum ada bangsalnya, lalu urunan membuat bangsal.
Lebih aktif dahulu selametan nya. selametan itu kan
istilahnya untuk mencari keselamatan untuk diri kita).
4.4.9 Tradisi Ruwatan
Acara ruwatan adalah sebagai salah satu media masyarakat Jawa
untuk membuang ketidakberuntungan dari seseorang dalam
menjalani kehidupan agar terjadi keseimbangan. Ada 2 macam versi
ruwatan yaitu versi lengkap dengan wayang dan versi ringkas yang
hanya dengan membacakan buku ringin sungsang, seperti
diceritakan oleh bapak S (60 tahun) berikut ini:
ruwat niku enek ruwo enek ngirit, nek sing ngirit niku
mung moco buku ringin sungsang, ning sing ruwo ndadak
jejerke wayang
(ruwat itu ada yang lengkap ada yang ringkas. Kalau
ringkas hanya dibacakan buku ringin sungsang, kalau
yang lengkap harus menjajarkan wayang)
Bapak S juga menjelaskan bahwa perempuan yang sedang hamil
tidak boleh hadir dalam acara ruwatan, karena akan membawa
keburukan dalam kehamilannya. Dipercayai bahwa bayi yang ada
dalam kandungan bisa hilang apabila perempuan hamil nekad
menghadiri acara ruwatan.
Ruwatan menurut Rahanto (2012) merupakan upaya
pembebasan diri dari hal yang tidak mengenakkan, rasa sial, dan
dirundung bencana. Orang yang dianggap atau merasa dirinya tidak
enak, sial, dirundung bencana, dalam budaya Jawa disebut Sukerta.
Sasaran dan obyek ruwatan, menurut Rahanto (2012) dalam artikel

163

yang berjudul Pengaruh Ruwatan Murwokolo pada Kesehatan


menyatakan sebagai berikut:
Ruwatan bila ditinjau dari objek sasarannya dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni ruwatan untuk manusia
dan ruwatan untuk lingkungan. Ruwatan untuk manusia
disebut juga Ruwatan Sukerto, dan Ruwatan untuk
lingkungan disebut Ruwatan Sasana. Ruwatan Sukerto
dikelompokkan tiga katagori yaitu: Sukerto Atmojo,
Sukerto Pakarti, dan Sukerta Wigati. Yang disebut Sukerto
Atmojo adalah perasaan tidak enak atau was-was karena
jumlah anaknya, antara lain: anak tunggal disebut sukerto
unting-unting, anak dua perempuan semua disebut
kembang sepasang/laki semua uger-uger lawang/lakiperempuan kedana kedini, dll. Adapun Yang disebut
Sukerto Pakarti adalah perilaku kurang baik, antara lain:
Orang beternak rajakaya (kebo, sapi, kambing, dsb.)
kandangnya satu rumah/tidur menjadi satu rumah disebut
Kandang Tunggal. Orang yang terlalu mencintai duniawi,
tidak suka sedekah, tidak suka menolong disebut Jalma
Ukil. Selain itu masih banyak lagi contoh lainnya.
Sedangkan Sukerta Wigati adalah perasaan waswas karena
hal yang khusus, antara lain: anak lahir kurang
umur/prematur, disebut Jempina. Anak lahir dalam
perjalanan, disebut Margana. Untuk lingkungan disebut
Ruwat Sasana atau sering juga disebut Ruwat Bumi, Bersih
Desa, Bersih Kota, dan sebagainya
4.5 Pride and Prejudice
Mitos dan tradisi budaya Jawa yang ada di Desa Kalangan
dianut oleh penganut budaya yaitu masyarakatnya itu sendiri. Namun
dalam kehidupan individu dan bermasyarakat di Desa Kalangan, ada
pola perilaku individu-individu yang khas sebagai penanda dari
identitas kelompok bersangkutan.

164

4.5.1 Pride (Kebanggaan Diri)


Rasa kebanggaan diri masyarakat Jawa Tengah pada umumnya
terletak pada keturunan dari bangsawan-bangsawan Keraton baik itu
Keraton Solo ataupun Keraton Yogyakarta. Pada masyarakat Desa
Kalangan, identitas masing-masing kelompok muncul berdasarkan asal
usul tanah leluhurnya. Namun Identitas Desa Kalangan sebagai milik
bersama mereka tidak muncul ke permukaan. Yang muncul hanya
identitas per dukuh. Setiap warga merasa bangga terhadap asal-usul
dukuhnya masing-masing, bangga pada leluhur dari dukuhnya. Hal ini
tampak dari kuatnya ikatan emosi warga dukuh terhadap pemakaman
di tiap dukuh yang merupakan cikal bakal dari dukuh tersebut. Para
leluhur dukuh menjadi modal dan pusat orientasi penting untuk
mengikat kebersamaan dalam kelompok mereka.
4.5.2 Prejudice (Prasangka)
Ketegangan hubungan dan prasangka antar kelompok atau
antar dukuh satu dengan dukuh yang lain di Desa Kalangan tampak
cukup kuat dan rumit, karena masing-masing kelompok atau dukuh
memiliki prasangkanya sendiri-sendiri dan ingin menunjukkan
identitasnya. Namun demikian, dalam interaksi dengan yang lain,
mereka
cenderung menunjukkan sikap sopan-santun dengan
menggunakan bahasa dan pengucapan secara halus sehinnga
prasangka dan faksinitas antar kelompok atau dukuh secara kasat
mata sulit teramati. Prasangka dan faksinitas yang terjadi di Desa
Kalangan bersifat kompleks dan disebabkan oleh banyak faktor. Selain
karena faktor perbedaan kelas dan perekonomian, juga karena
masing-masing individu dan/atau kelompok saling membanggakan
identitas diri dan lingkungan di mana mereka tinggal, dalam hal ini
adalah dukuh. Gambaran tentang kuatnya prasangka dan faksinitas ini
tampak seperti diungkapkan Ibu M (42 tahun) berikut ini:
...Teng ngriki mboten wonten tiyang padu-padu. Tapi
nggih ngomongke. Ibu-ibu podo jagong. Tapi teng
ngomah terus nggih dos pundi. Sakniki biasa jagong.

165

Ngomongke nggih ngomongke nyoto. Tapi bumbu niku


nggih ono...
(Disini tidak ada orang bersengketa. Tetapi ada yang
saling membicarakan, karena ibu-ibu biasa kumpul,
daripada di rumah terus bagaimana, karena biasa
berkumpul. Yang dibicarakan juga hal-hal yang nyata
terjadi. Namun bumbu-bumbu juga ada...)
Namun dalam pergaulan sehari-hari masyarakat di Desa Kalangan
penuh dengan prasangka antara satu dengan yang lain. Antara dukuh satu
dengan dukuh yang lain. Antara profesi satu dengan profesi yang lain.
Masing-masing bercuriga, berprasangka, dan resisten terhadap yang lain
sebagai akibat perubahan dalam kehidupan yang agraris dan komunal
yang mementingkan keseimbangan dan keselarasan ke arah kehidupan
modern yang individualistik.
4.6 Bloko Suto : Dramaturgi Komunal, Kuasa, dan Perubahan Sosial
Bloko Suto adalah kata yang sering didengar oleh penulis
dalam setiap kali berbicara dengan siapapun di Kecamatan Pedan
Klaten, dan Desa Kalangan pada khususnya. Arti dari kata harafiah
bloko Suto adalah berbicara terbuka atau blak-blakan apa adanya
tanpa harus menutupi apapun.
Pada kenyataannya, masyarakat Jawa di Desa Kalangan secara
budaya tidak bisa menyatakan segala sesuatu secara terus terang
terutama kepada orang luar, orang yang dihormati, orang yang
dianggap berkuasa, orang yang dianggap lebih tua. Namun realitasnya
justru bahasa yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu maksud
sering disampaikan dengan perumpamaan yang memiliki makna
berkebalikan.
Dalam kaidah dramaturgi menurut Goffman (1984), front
region (bagian depan) yang terkait dengan manajemen impresi untuk
membuat orang yang diajak bicara terkesan baik semua, jangan
sampai back region terungkap dan terlihat oleh audiens (penonton)
yang tidak berkepentingan. Adalah hal yang sangat tidak sopan secara

166

etika dan martabat ketika membuka semua hal yang tidak seharusnya
dengan bahasa yang terang dan jelas. Bloko Suto pada masyarakat
Desa Kalangan bermakna keterusterangan tentang diri dan sekitar
menurut pandangan diri sendiri berdasar pengalaman dalam proses
kehidupannya. Sehingga satu sama lain terkesan seolah-olah tidak ada
benang merah yang menghubungkan.
Bloko Suto sebenarnya adalah keinginan terpendam dari
masyarakat Desa Kalangan yang secara psikologis ingin
mengungkapkan segala sesuatu secara jujur dan terbuka, namun hal
tersebut terbatasi oleh nilai-nilai lain yang bertentangan dengan
makna Bloko Suto itu sendiri.
Goffman (1984) dalam teori Dramaturgi menyatakan bahwa
kekhususan yang ditampilkan pada khalayak adalah sebagai poin
utama. Kesesuaian dari teori ini dapat diterapkan pada tipikal
masyarakat Jawa Desa Kalangan. Goffman membagi Regions sebagai
tempat dimana performance tersebut dilakukan, menjadi 3 bagian
yaitu (1) front region, (2) back region, (3) third region/the outside.
Front region merupakan tempat dimana penampilan diberikan,
yang di dalamnya sudah ada setting yang menunjang. Tipikal
masyarakat Desa Kalangan juga begitu, dimana sekalipun kondisi
kesehatan masyarakat kurang bagus (kasus kematian bayi tinggi),
padahal pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan cukup memadai,
namun perfoma dari luar haruslah tampak bagus. Penampilan individu
di front region dilihat sebagai upaya untuk memunculkan penampilan
bahwa aktivitas di region ini tertata dan mewujudkan standar-standar
tertentu. Standar bagi masyarakat Jawa adalah standar kesopanan,
keelokan, dan simbol-simbol yang dipercaya mendatangkan kebaikan
atau keburukan bagi individu maupun masyarakat, walaupun secara
realitas tidak demikian adanya.
Sejalan dengan hal itu, Goffman menunjukkan standar pada
front region terbagi menjadi 2 kelompok yaitu (1) Berkaitan dengan
cara penampil memperlakukan audience, dengan megikutsertakan
dalam percakapan atau melakukan isyarat tubuh yang bisa dimengerti

167

oleh audience (masalah kesopanan/politeness), dimana personal front


berupa tata krama/manner, (2) Berkaitan dengan cara penampil dan
bersikap yang dianggap pantas (decorum) pada saat bisa dilihat dan
didengarkan oleh audience, walaupun tidak mesti mengikutsertakan
audience dalam percakapan tersebut. Masalah kepantasan atau
dalam bahasa Jawa disebut elok dan ndak elok sangat nyata
disimbolkan dalam bahasa dan perilaku dalam berhubungan dengan
orang sekitar, termasuk dalam hubungan dengan orang yang dianggap
lebih tinggi, setara ataupun lebih rendah kedudukannya. Namun
dalam berbahasa dengan orang lain, masyarakat Jawa Desa Kalangan
menggunakan standar kepantasan bahasa.
Masalah kepantasan (decorum) menurut Goffman (1984),
dibagi menjadi 2 hal menurut kebutuhannya, yaitu (1) Moral (berlaku
bagi mereka sendiri), contohnya adalah peraturan untuk menghormati
tempat keramat, (2) Instrumental (tidak berlaku bagi mereka sendiri),
contohnya adalah kewajiban dalam pekerjaan.
Dalam hal kepantasan ini masyarakat Jawa Desa Kalangan
mengikuti mitos dan tradisi Jawa (Kejawen Solo) yang masih
berlaku dan dijalani oleh masyarakat Jawa di desa tersebut. Mitos
dan tradisi adalah kepantasan moral masyarakat Jawa, sedangkan
dalam kepantasan instrumental, masyarakat Jawa Desa Kalangan
masih sulit muncul dalam penampilan yang menonjol. Dibawah ini
adalah peran-peran dari masyarakat Jawa Desa Kalangan yang
terlibat dalam kemajuan atau kemunduran dalam peningkatan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA):
4.6.1 Kader Posyandu
Desa Kalangan memiliki 35 orang Kader Posyandu dengan
masing-masing Posyandu (7 Posyandu) terdiri dari 5 orang. Namun
setiap bulan penimbangan tidak pernah lengkap dikarenakan oleh
kesibukan masing-masing personil. Kader Posyandu di Desa Kalangan
sebagian sudah berusia lanjut, ada kelemahan dalam membaca
timbangan bayi dan balita dikarenakan oleh faktor usia. Yang berusia

168

lebih muda kurang bisa berperan karena posisi mereka yang lebih
muda, akibat sistem stratifikasi kesenioran masih berlaku. Selain itu,
juga berlaku bahwa istri dari perangkat desa harus menjadi kader.
Tidak adanya pembagian peran yang jelas dalam Posyandu,
dan tidak adanya insentif atas kesediaan menjadi kader Posyandu
menjadi keogahan seseorang menjadi kader. Semua sama rata, tidak
ada pemimpin dalam kelompok kader, yang ada pemimpin definitif
dikarenakan sebagai istri perangkat, yang juga masuk menjadi anggota
Pokja (Kelompok Kerja), yang tidak mengetahui tugas dan fungsinya
membuat peran dari kader Posyandu kurang begitu penting. Bidan
yang seharusnya berperan sebagai sentral keberhasilan kader
Posyandu memiliki beban yang berat. Apalagi hubungan antara bidan,
kader, dan masyarakat pengguna layanan Posyandu memiliki rasa
prasangka antara satu dengan yang lain.
4.6.2 Pemimpin Lokal dan Kerjasama Lintas Sektor (faksi-faksi)
Faksi dalam hal ini diartikan sebagai kelompok kepentingan.
Satu orang bisa memiliki banyak faksi. Tidak ada penguasa sentral
yang paling disegani dan dipatuhi oleh masyarakat Desa Kalangan,
padahal secara budaya paternalistik khas Jawa, warga masyarakat
tunduk pada segala perintah dan titah pemimpin mereka
sebagaimana kepatuhan kawula kepada Rajanya.
Masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lama, adat
istiadat Jawa diampu oleh para golongan tua, sesepuh-sesepuh yang
berusia di atas 60 tahun. Mereka masih memegang teguh adat dan
kesenian lokal. Berbeda dengan generasi berikutnya yang kurang
mengindahkan dan memahami nilai-nilai Jawa, karena alasan
kepraktisan. Namun golongan muda ini tidak serta merta
meninggalkan seluruh tradisi dan mitos yang masih diyakini.
Lebih berat lagi, golongan tua juga berfaksi dari golongan
kesenian, golongan tani, golongan pengusaha kecil tahu tempe yang
bergabung dalam wadah koperasi. Faksi antar dukuh dan keturunan
leluhur yang ada di makam dukuh. Tiap dukuh merasa menjadi yang

169

paling pantas untuk menonjol, dukuh lain digosipkan atas segala


sesuatu yang dianggap tidak pantas.
Lalu dimana peran perempuan dalam hal ini adalah ibu? Dari
sisi pemerintahan, Kecamatan Pedan sendiri dipimpin oleh seorang
perempuan yang akrab dipanggil Bunda oleh jajaran dibawahnya.
Gaya kepemimpinan beliau seperti seorang ibu dalam mengatur
rumah tangga (pemerintahannya). Bidan Desa, yang juga seorang
perempuan dan seorang ibu berperan penting dalam kesehatan
masyarakat Desa Kalangan. Namun hal kepantasan dan ketidakpantasan,
rasa bangga dan prasangka antara satu dengan yang lain menimbulkan
kebuntuan komunikasi kesehatan yang pada gilirannya menjadi
penghambat pembangunan kesehatan di wilayah ini.
Pemimpin lokal dalam hal ini adalah kepala desa, baru
menjabat sekitar 2 tahun yang terpilih atas pemilihan secara langsung
di desa Kalangan dari total 7 calon yang mencalonkan diri pada saat
pemilihan. Dari sosoknya yang masih muda dan dari golongan
pengusaha yang tidak hitungan dalam hal pengeluaran untuk
kepentingan warga, masih juga ada gap antara pemimpin dengan
warga yang terdiri dari berbagai kalangan baik dari segi usia,
kelompok, pengalaman, perbedaan profesi. Fokus utama
pembangunan dari kepemimpinan kepala desa yang sekarang adalah
pembangunan infrastruktur desa seperti jalan desa, gapura desa,
pengairan sawah, pengadaan air bersih di beberapa dukuh yang
kondisi air tanahnya kurang memenuhi standart kesehatan, proyek
jamban sehat dan rumah layak huni bagi warga yang rumahnya
kurang layak. Dan rencana akan dibangun sarana olah raga yang akan
dibangun di lahan bekas sekolah. Secara visi kepala desa sekarang
sudah sangat baik, meskipun banyak pro dan kontra pada
kepemimpinannya, akibat banyaknya faksi-faksi di tiap dukuh.
Pemimpin lokal yang lain seperti tokoh agama, tokoh budaya,
tokoh pembela hak asasi manusia (HAM), bernasib sama dengan
tokoh-tokoh lain, akibat prasangka mereka tidak bisa menonjol

170

menjadi tokoh sentral yang bisa mengikat seluruh masyarakat Desa


Kalangan.
Danyang Dukuh adalah leluhur dari cikal bakal dukuh.
Semacam pendiri atau pemimpin awal dari Dukuh yang membuka dan
menguasai kampung perdukuhan tersebut. Leluhur dukuh tersebut
memiliki peran penting dalam mengikat warga dalam satu dukuh
untuk bersatu. Mereka dimakamkan di makam-makam perdukuhan
dan biasanya makamnya dianggap sebagai keramat oleh warga dukuh
setempat, dan dijadikan tempat untuk memohon keberuntungan,
kesehatan, dan berbagai laku lain yang bersifat nonrasional.

Gambar 4.4 Kompleks Makam Bunderrekso


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

171

Gambar 4.5 Kompleks Makam Trokejun


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

Gambar 4.6 Kompleks Makam Mancungan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015

172

4.6.3 Perubahan Sosial


Masyarakat Desa Kalangan secara sejarah sudah merupakan
masyarakat petani dari jaman dahulu kala. Dari jaman kerajaan
Majapahit, Mataram Kuno, jaman kolonial Belanda dan masa
sekarang, mereka adalah masyarakat petani. Pertanian padi adalah
kehidupan mereka. Namun pada jaman Belanda mereka mengubah
budaya menanam padi dengan menanam tebu dan tembakau.
Walaupun tidak dilakukan pada semua lahan pertanian. Pada masa
sekarang masih banyak yang bertanaman padi. Tercatat pada masa
kolonial Belanda ada 9 pabrik gula di Klaten yaitu Jungkare, Gondang
Winangun, Gondang Wedi, Ceper, Kapitu, Kemuda, Delanggu,
Junggrangan dan Sepuluh. Masa sekarang, meskipun pekerjaan dari
masyarakat sudah berubah beragam, namun mentalitas sebagai
masyarakat petani masih melekat erat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Desa Kalangan.
Perubahan drastis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
akan sangat mengganggu stabilitas kemasyarakatan. Sama rasa sama
rata, masyarakat yang hidup secara komunal pada masa lalu tidak
berlaku lagi di kehidupan masa kini.
George Foster pada awal 1960-an dalam Ginzberg (2014),
berteori tentang image atau gambaran yang mengindikasikan
bahwa orang yang memiliki dan menggunakan harta kekayaan yang
lebih besar, prestige, cinta, kecantikan, pengaruh kekuasaan, dan
vitalitas lebih dari rata-rata kebanyakan orang, menyebabkan orang
lain yang tidak memperolehnya merasa menderita atas kondisi
tersebut. Karena itu, untuk menjaga kemungkinan terjadi disintegrasi
warga komunitas diperlukan mekanisme penyeimbang dalam bentuk
konpensasi kultural.
George Foster in the early sixties, while studying in
Tzintzuntzan; a Mexican rural village in western Mexico.
Foster had shown that the image an indication that a
person who holds and employs greater means of

173

subsistence, prestige, love, beauty, power, influence and


vitality (however calculated) than the habitual average
person, causes someone else to suffer from a scarcity of
these meansfunctioned as a useful buffer against a
possible disintegration of the rural community
Penampakan rumah yang lebih bagus dengan bangunan tembok
dan keramik penuh di seluruh rumah, renovasi penuh dari rumah joglo
bentuk lama akan menimbulkan gosip di sekitar bahwa orang tersebut
memiliki akses kepada kekuasaan dan bisa memainkan peran dalam
pengolahan uang yang didapatkan dari luar yang bersifat tidak wajar.
Hal tersebut sangat santer mengemuka dalam peristiwa gempa
tahun 2006. Setelah terjadi gempa, sebagian besar rumah dari warga
Desa Kalangan ambruk. Mereka berkemah di halaman rumah masingmasing. Sesaat setelah gempa ada bantuan datang untuk
pembangunan kembali rumah-rumah yang telah hancur. Namun
bantuan tersebut menimbulkan disintegrasi, karena sebagian warga
merasa tidak mendapatkan bantuan tersebut. Sebagian menuduh
kalau penerima bantuan adalah orang-orang yang dekat dengan
penguasa saja, sehingga gosip yang beredar adalah rumah-rumah
yang berdiri bagus dan lebih bagus dari bentuk awal sebelum gempa
adalah hasil dari korupsi bantuan gempa untuk warga. Kebenaran
yang ada tidak dapat ditelusur lebih jauh, karena arena gosip yang
bermain lebih santer dari pada realitasnya.
Gosip akibat prasangka terkait keberhasilan seseorang atau
keberhasilan dukuh lain dalam hal perekonomian akan digosipkan bahwa
orang yang memiliki kelebihan ekonomi terkait dengan laku pesugihan.
Dikaitkan dengan mitos yang ada dan berkembang di sekitar.
Masyarakat petani adalah masyarakat statis yang
perubahannya pelan. Semuanya berdasarkan perhitungan musim
tanam, ketidak pastian akan menimbulkan ketidak selarasan dalam
kehidupan mereka. Sejarah panjang masyarakat Desa Kalangan,
dimana Kalangan sebagai arena peperangan dari masa ke masa yang
menimbulkan ketidakpastian kehidupan membuat masyarakatnya

174

hidup dengan rasa prasangka yang tinggi kepada orang sekitarnya.


Namun dalam perkembangan masa, Desa Kalangan sekarang sudah
merupakan desa yang dekat perkotaan. Daerah peri-feri perkotaan
dengan perkembangan kota dan industri yang cukup cepat di
sekitarnya.
Kini Desa Kalangan bukan hanya sebuah desa pertanian seperti
masa dahulu. Wilayah Kalangan yang luas dan memiliki jumlah
penduduk yang besar sebenarnya merupakan aset penting dari suatu
wilayah apabila dikembangkan dengan baik. Namun, karena
perkembangan ekonomi dari wilayah sekitar Desa Kalangan tidak
diimbangi dengan peningkatan pendidikan masyarakatnya maka yang
terjadi adalah masyarakatnya sebagai penyuplai tenaga buruh yang
besar pada industri-industri pabrik yang ada di sekitarnya. Baik itu
industri besar maupun industri menengah.
Industri yang berkembang di wilayah sekitar desa Kalangan
adalah industri tekstil yang sudah merupakan industri pabrik besar
dan juga industri menengah dan industri rumah tangga seperti
industri konveksi, tempe dan produk olahan dari tempe.

Gambar 4.7 Pabrik yang berada di sekitar Desa Kalangan


Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Walaupun perlu diteliti lebih lanjut akan dampak perindustrian
terhadap kesehatan warga sekitar, penulis bisa menyajikan bahwa

175

industri berdampak pada lingkungan sekitar. Termasuk berdampak


pula pada peran sosial dari seorang ibu. Beberapa dari ibu yang
bekerja sebagai buruh di suatu industri di sekitar Desa Kalangan,
menyebabkan peran pemeliharaan anak beralih atau berpindah pada
keluarga luas bagi yang masih memiliki keluarga luas seperti nenekkakek, bibi-paman. Sedangkan bagi yang tinggal hanya di keluarga inti,
maka pengasuhan akan diserahkan kepada tetangga dekatnya.
Daerah peri-feri penunjang perkotaan, tidak lepas dari dampak
perkembangan dan perubahan daerah sekitarnya. Tidak jauh dari
Desa Kalangan ada sebuah desa yang merupakan tempat lokalisasi
Pekerja Seks Komersial (PSK). Menurut data dari PPK UNS tahun 2006
di tempat tersebut ada sekitar 50 PSK. Data dari KPAD Kabupaten
Klaten tahun 2014 menunjukkan bahwa HIV/AIDS mencapai 236 orang
dan 31 orang diantaranya sudah meninggal dunia. Tidak menutup
kemungkinan penyebaran penyakit Infeksi Menular Seksual lebih
tinggi dibandingkan angka kejadian HIV/AIDS di Kabupaten Klaten.
Selain itu ada mitos di wilayah Terminal Wedi atau di Pasar Sapi, yaitu
agar dagangannya laris penjual harus berhubungan seks dengan PSK di
sana (Solopos, 2006). Praktek semacam ini juga mengidentifikasikan
bahwa fenomena mitos di Desa Kalangan masih tetap hidup subur.
4.6.4 Perubahan pada Tradisi
Tradisi selametan mengalami perubahan, termasuk dalam
tradisi selametan kelahiran bayi, seperti yang diceritakan Ibu S (34
tahun) berikut ini:
...Lahiran ada 5 harian (sepasaran), dan 35 harian
(selapanan) tasih wonten berlaku. Ndalu isine nggih
snack mawon. Mung biasa mawon. Selapanan sampun
jarang. Selapanan namung kendurenan tok. Sing potong
rambut sing mampu kados pindah akikahan. Mnawi
mboten mampu nggih mboten...
(saat kelahiran ada acara 5 harian dan 35 harian, masih
berlaku sekarang. Namun makanannya hanya kue-kue saja,

176

biasa saja. Acara 35 harian juga sudah jarang, hanya


kenduri saja. Yang acara potong rambut bagi yang mampu
saja seperti akikahan. Kalau tidak mampu ya tidak
melakukan)
Perubahan kondisi sosial kemasyarakatan juga dirasakan oleh
ibu M. Saat pertama ibu M pindah di salah satu dukuh di Desa
Kalangan karena mengikuti suaminya sekitar 13 tahun yang lalu,
dibandingkan dengan keadaan sekarang menurut ibu M sangat jauh
berbeda. Berikut penuturan ibu M (42 tahun):
Riyin sepi bianget, ngajeng niku pring sedoyo, kulo ben dinten
nggih nangis mawon. Wedi. Namun sakniki biasa. Riyin gotong
royong e sae, gae memean nggih direwangi. Sak niki noponopo biaya. Namun nggih kabeh podo butuh toh. Ada
kepedulian namung mboten semua sakniki. Nggih dimaklumi.
Mboten usah dipikir
(dulu disini sepi sekali, depan rumah pohon bambu semua,
saya tiap hari menangis terus saat awal pindah ke sini,
karena takut. Namun sekarang sudah biasa. Dulu gotong
royong masyarakatnya bagus, saya membuat jemuran
masih dibantu tetangga. Sekarang apapun menggunakan
biaya. Tetapi ya semua membutuhkan biaya. Ada
kepedulian namun sekarang tidak semua begitu. Ya saya
maklum, tidak usah dipikir)
Bapak K dari dukuh yang berbeda juga mengungkapkan hal
yang sama, bahwa masyarakat sekarang sudah berbeda. Tradisi sudah
tidak semua menjalankannya dalam setiap siklus kehidupan yang
dijalani. Seperti diungkapkan Bpaka K (52 tahun) berikut ini:
Sak niki nggih sunat mawon. Sunat nggih sunat mawon
sak niki, kiro-kiro sejak taun 99 pun arang lek-lekan. Riyin
bade rabi lek-lekane setunggal wulan. Kegiatan membantu
enteng-entengake. Yen sak niki ngatah-ngatahi beban.

177

Sakniki pun diringkes. 2 hari pun rampung. Benjing mantu


midodadreni, sesuk mantu. Pun. Sak ulan niku jenise tiyang
tirakatan, melek, nyuwun barokah. Sak niki baru-baru
wonten tiyang mboten selametan, liyane pun tiru. Kathah
sampun kados ngaten. Kematian pun bar dikubur nggih
dikubur tok rampung. Riyin dilek-leki 3 dino nganti 7 dino,
40 dino, 100 dino, pendak 1,2, nyewu. Dilek-lek i dibelehke
kambing. Sak niki sebagian mboten. Golongane bentenbenten. Niki mboten mengenai agomo nggih, Sak niki
wonten aliran tertentu mboten nggunakan nopo-nopo. Pun
bubar. Ndungo rombongane piyambak. Sak koncone dewe
liyane mboten entuk. Tiyang liyo mboten angsal,kajeng
berangkat jenasah diangkat dipikul didungani modin
ngriki mboten angsal. Kulo ngarani termasuk memecah
belah niku
(sekarang kalau khitan ya khitan saja. Kira-kira sejak tahun
1999 sudah tidak ada acara tidak tidur semalam suntuk.
Jaman dulu kalau mau menikah juga ada acara tidak tidur
semalam suntuk sampai satu bulan penuh. Kegiatannya
membantu meringankan yang mempunyai hajat. Kalau
jaman sekarang malah dianggap menambah-nambahi
beban yang mempunyai hajat. Sekarang sudah diringkas, 2
hari sudah selesai. Besok akad nikah, hari ini malam
midodareni, sudah selesai begitu saja. Yang satu bulan
penuh itu jenisnya orang tirakat, tidak tidur, meminta
berkah keselamatan. Kalau jaman sekarang ada orang yang
tidak selametan satu saja, lainnya sudah ikut-ikutan. Sudah
banyak yang seperti itu. Orang meninggal ya sudah
meninggal dikubur begitu saja. Kalau dahulu ditunggui
tidak tidur hingga 3 hari sampai 7 hari, lalu ada selematan
40 hari, 100 hari, tahun 1, tahun 2, dan 1000 hari. Tidak
tidur semalem suntuk dan dipotongkan kambing. Sekarang
sebagian tidak melakukan. Ada juga golongan aliran agama

178

tertentu yang tidak menggunakan apa-apa, sudah bubar


begitu saja. Doa juga golongannya sendiri, tetangga lainnya
yang berbeda aliran tidak boleh mendoakan. Hanya
terbatas pada golongannya sendiri, orang lain tidak boleh
ikut melakukan pemakaman. Modin kampung mau
mendoakan saja juga tidak dibolehkan. Menurut saya yang
seperti itu memecah belah)
Bapak P (90 tahun) juga mengungkapkan perubahan, bahwa
masa lalu dan sekarang sudah berbeda. P menimbulkan adanya
bermacam-macam penyakit seperti diceritakan bapak P berikut ini:
Saiki okeh wong canggih pinter, ora mudeng, sulit, karepe
dewe. Aku saiki wedi songo akeh wong canggih pola pikire.
Ngikut nggon agomo kuwi...Lek wayangan jenenge bersih
dusun nek bibar panen, jenenge mboyong mbok sri. Sak
niki ora laku, canggih-canggih, ora kuno, ora ono gunane
jare, selametan yo ora ono gunane, mulo yen loro saiki yo
neko-neko
(sekarang banyak orang canggih dan pintar, tidak paham
(tradisi), sulit dan semaunya sendiri. saya sekarang takut
bicara tradisi karena banyak yang sudah canggih pola
pikirnya. Seperti mengikuti agama...kalau dulu wayangan
bersih desa setelah panen namanya mboyong mbok sri,
sekarang tidak laku, sudah cangih, tidak kuno, tidak ada
gunanya kata orang, selametan juga dibilang tidak ada
gunanya, makanya sekarang orang sakit juga macammacam penyakitnya)
Tradisi pantangan pada saat hamil juga sudah mulai ditinggalkan
oleh orang yang menganggap sudah lebih modern. Seperti
diungkapkan ibu S (34 tahun) berikut ini:
Hamil nggih biasa mawon. Sak niki pun benten jaman
riyin-riyin. Tiyang sepuh nyanjangi nggih mboten nggagas

179

blas. Sak niki pun mboten mirengaken. Maem pun mboten


tengah lawang, nek ngangsu ojo akeh-akeh banyune sitiksitik. Namung nggih mboten nggagas menawi lare sak
niki
(hamil sekarang itu biasa saja. Sekarang sudah beda
dengan jaman dulu-dulu. Orangtua memberitahu juga
sudah tidak diindahkan, sudah tidak didengarkan. Makan
jangan di tengah pintu, kalau menimba air jangan terlalu
banyak airnya. Namun kalau anak sekarang ya tidak
mengindahkan sama sekali)
4.7 Implikasi Positif dan Tantangan Budaya pada Masalah Kesehatan
Ibu dan Anak
Kematian bayi dan balita yang masih banyak terjadi di Desa
Kalangan tidak bisa terlepas dari faktor-faktor budaya masyarakatnya.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, budaya Jawa itu adalah budaya
yang rumit dan mendalam.
Dukun bayi di Desa Kalangan dewasa ini sudah tidak lagi
melakukan pertolongan persalinan, hanya melakukan pijat dan
perawatan bayi selama 35 hari (selapan) dan memimpin ritual upacara
keselamatan bagi sang bayi dan keluarganya. Namun eksistensinya
dalam budaya masih dipakai.
Masalah kesulitan menentukan ambulans desa atau dukuh
juga bagian dari budaya masyarakat petani di Desa Kalangan. Tidak
ada satu wargapun yang memiliki kendaraan roda 4 yang mau dengan
sukarela dan bertanggung jawab dalam MoU dengan Puskesmas.
Tidak ada yang berinisiatif untuk menonjol dari yang lainnya dengan
menunjukkan diri memiliki kendaraan yang bisa dipakai sewaktuwaktu untuk keadaan darurat. Atas kondisi demikian, Pemimpin Desa
berobsesi apabila kelak ada anggaran Desa turun, maka akan dibelikan
ambulans sebagai aset desa untuk pelayanan kesehatan warga yang
memerlukan, sehingga tidak lagi tergantung pada kendaraan milik
pribadi. Kendaraan roda 4 dianggap sebagai kebanggaan pribadi tidak

180

untuk digunakan oleh orang banyak, tidak untuk dipamerkan secara


menonjol sebagai ambulans desa. Bila ada yang punya inisiatif untuk
melakukan itu, maka akan menimbulkan gosip terkait hal tersebut. Hal
serupa juga terjadi pada pelayanan Posyandu. Masalah disintegrasi
antara bidan desa dan kader Posyandu, kader dengan kader di tiap
dukuh dan tidak adanya insentif untuk penyelenggaran Posyandu juga
menjadi kendala yang penting. Selain itu, bantuan untuk PMT dari
PNPM yang hanya sebesar Rp100.000,00 per bulan dan keberadaan
Kader banyak yang sudah tua juga menjadi masalah tersendiri dalam
pelayanan Posyandu di wilayah ini.

181

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Riset etnografi kesehatan yang dilakukan di Desa Kalangan,
Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah terkait
dengan budaya yang melatarbelakangi kejadian kematian bayi dan
balita dapat ditarik benang merah kesimpulan potensi dan tantangan
pembangunan kesehatan di Desa Kalangan sebagai berikut:
5.1.1 Potensi
Secara geografis wilayah Desa Kalangan terletak di Kecamatan
Pedan, Kabupaten Klaten, memiliki tekstur tanah dataran yang luas
dan subur, sehingga mayoritas aktivitas ekonomi penduduknya masih
bergantung pada sektor pertanian. Selain sektor pertanian, sebagian
penduduk di Desa Kalangan bekerja di sektor industri. Hal ini
dimungkinkan karena di wilayah ini terdapat banyak industri yang
berkembang sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, antara
lain industri gula, rokok, sepatu, garmen/tekstil, dan sebagainya.
Mobilitas dan aksesibilitas penduduk Desa Kalangan ke dunia
luar untuk berbagai kepentingan, termasuk pelayanan kesehatan
dapat dilakukan dengan mudah dan cepat karena akses terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan banyak tersedia. Selain ada Puskesmas
Pembantu dan Praktek Mantri di Desa Kalangan, di sekitarnya juga ada
dokter praktek, Bidan Praktek Mandiri, dan Rumah Sakit Swasta.
Rumah sakit rujukan yang ada di Ibukota Kabupaten Klaten bisa
ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu sekitar 30 menit.
Pada unit pelayanan kesehatan paling bawah, Desa Kalangan memiliki
Kader Posyandu sebanyak 35 orang yang tersebar di 7 kelompok kerja
Posyandu, dapat menjadi sumber daya kesehatan yang potensial bagi
desa ini bila peran dan partisipasi mereka lebih diperdayakan. Dalam
konteks pemanfaatan pelayanan kesehatan biomedis, secara faktual
tampak bahwa tingkat kunjungan pemeriksaan ibu hamil pada tenaga
kesehatan rata-rata cukup tinggi. Hal ini menandakan bahwa

182

kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kehamilannya


ke tenaga kesehatan sebelum kelahiran (ANC) cukup tinggi.
Tradisi selametan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di
Desa Kalangan secara kolektif (gotong royong) pada setiap siklus
kehidupan, mulai dari kehamilan, kelahiran, khitanan, pernikahan,
sampai dengan kematian untuk memperoleh keselamatan dan
kesehatan merupakan hal penting dalam kehidupan seorang manusia
Jawa. Selametan pada tingkat dukuh juga merupakan ekspresi
simbolik masyarakat Jawa untuk memperoleh keselamatan,
kesejahteraan, dan keseimbangan hidup secara sosial, material, dan
spiritual, dapat menjadi potensi bagi pembangunan kesehatan di
wilayah Desa Kalangan.
5.1.2 Tantangan
Faksi-faksi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang
tumbuh dan berkembang di Desa Kalangan cenderung berorientasi
pada kepentingan kelompoknya masing-masing. Ketika ada program
pembangunan kesehatan di tingkat desa, para perangkat desa dan
tenaga kesehatan cenderung bekerja sendiri dan kurang mendapat
dukungan dari para tokoh faksi-faksi yang ada. Walaupun ada banyak
kelompok sosial kemasyarakatan dan keagamaan di wilayah ini,
namun tidak ada figur sentral yang mampu menjembatani dan
menyatukan perbedaan orientasi masing-masing faksi untuk
mendukung program pembangunan Desa Kalangan. Keberadaan faksifaksi ini cenderung menjadi tantangan yang penting dalam
membangun komitmen dan kebersamaan, untuk kepentingan yang
lebih luas.
Penerimaan masyarakat secara pasrah terhadap kejadian
kematian pada bayi, balita, dan ibu hamil saat persalinan yang
dihubung-hubungkan dengan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini
masyarakat Desa Kalangan, menjadi penghambat program KIA, karena
kejadian yang dialami tersebut dimaknai sebagai suatu suratan nasib
atau kehendak Yang Kuasa, tetapi bukan karena permasalahan medis

183

fisilogis-biologis. Di pihak lain, kurang adanya pendataan data yang


komprehensif dan berkesinambungan untuk masalah sosial dan
kesehatan masyarakat di Desa Kalangan membuat berbagai masalah
kematian bayi dan balita terus terjadi, belum dapat diketahui sebab
pasti akar masalahnya.
Banyaknya pilihan pengobatan yang ada di sekitar Desa
Kalangan memengaruhi perilaku masyarakat dalam pemilihan
pelayanan kesehatan yang tersedia. Pemiihan sektor pelayanan yang
tersedia tergantung pada kondisi kesehatan, kepercayaan, dan
keadaan ekonomi mereka. Mereka memanfaatkan
pelayanan
kesehatan yang tersedia dengan bebas apakah memilih berobat ke
dokter, bidan, dan mantri atau memilih pelayanan kesehatan
nonmedis seperti dukun, tempat keramat, danyang dukuh dsbnya,
atau memilih cara kombinasi, yakni pelayanan medis dan nonmedis
untuk mengatasi hal-hal yang tidak bisa disembuhkan oleh tenaga
medis modern. Kondisi yang demikian, di samping bisa menjadi
potensi positif juga bisa menjadi kendala apabila warga masyarakat
terlalu menggantungkan diri hanya pada pelayanan kesehatan
nonmedis.
5.2 Rekomendasi
5.2.1 Peluang Intervensi Berbasis Budaya Lokal
Menggali dan memahami jati diri dan potensi adat budaya
lokal yang mendukung upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) di tengah arus besar pengaruh budaya global bagi kehidupan
masyarakat Desa Kalangan, Kecamatan Pedan dan Klaten pada
umumnya, bisa menjadi poin penting. Karena menjadi diri sendiri
dalam era globalisasi akan dapat menjadi modal dasar yang kuat bagi
warga masyarakat Desa Kalangan dalam membangun kesadaran dan
komitmen demi untuk mencapai tujuan bersama.
Mengangkat tradisi Jawa yang masih eksis dan diyakini
bersama untuk peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melalui
penanaman tradisi selametan yang diisi dengan muatan

184

pengetahuan tentang kesehatan pada fase remaja, usia kehamilan,


kelahiran, dan perawatan bayi menjadi pilihan yang strategis.
Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan tentang budaya
kesehatan, komunikasi lintas budaya sangat penting dilakukan,
karena melalui itu para tenaga kesehatan bisa beradaptasi dengan
lingkungan dan mampu berkomunikasi dengan baik sehingga pesanpesan kesehatan yang disampaikan mudah diterima oleh warga
masyarakat. Di samping itu dengan peningkatan kompetensi aspek
budaya para tenaga kesehatan, diharapkan mereka akan mampu
meminimalisir rasa praduga antar individu dan antar faksi yang ada,
dan mampu
membangun komitmen bersama mendukung
keberhasilan program kesehatan yang dicanangkan.
Rencana pembangunan sarana gedung serba guna atau
gedung olah raga yang telah direncanakan oleh desa dalam RPJM
2013 bisa dijadikan sebagai arena itu sendiri, sebagai eksistensi dari
Desa Kalangan yang nantinya bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan
eksistensi antar dukuh. Dalam konteks kesehatan, selain bisa
digunakan sebagai arena pertandingan olah raga antar dukuh, antar
generasi, dan antar kelas, kemungkinan gedung tersebut juga bisa
digunakan untuk kegiatan arena eksistensi para kader Posyandu yang
bisa ditingkatkan menjadi kader kesehatan yang terpadu. Kalangan
adalah suatu arena bukanlah hal yang negatif, namun bisa diambil
sebagai hal positif untuk mengembangkan diri dan eksistensi masingmasing dukuh demi kemajuan Desa Kalangan secara bersama-sama.
Dengan menciptakan perlombaan dalam berbagai bentuk kegiatan,
persaingan untuk mengangkat rasa kebanggaan masing-masing tanpa
memperuncing rasa praduga menjadi hal yang positif. Desa Kalangan
akan terberkahi oleh seluruh leluhur yang ada di makam-makam
keramat perdukuhan, bila hal positif semacam itu dapat diwujudkan.
Bila hal positif ini bisa diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yakni
tingkat kecamatan dan kabupaten, dan berhasil, maka sebutan Klaten
sebagai negeri sejumlah keramat, bukan sekadar kiasan biasa,
melainkan sesuatu yang penuh makna. Dengan membuat motto keep

185

sacred, keep the faith, and keep harmony, akan sejalan dengan Visi
dan Misi Kabupaten Klaten yaitu terpenuhinya seluruh kebutuhan
dasar masyarakat yaitu wareg, waras, wasis, wutuh, dan wismo.
Semoga Visi dan Misi tersebut segera dapat terwujud. Aamin.

186

EPILOG
REFLEKSI PENELITIAN ETNOGRAFI KESEHATAN
Batasan
Batasan utama dari penelitian ini adalah batasan waktu. Satu
bulan di lapangan untuk penggalian mendalam mengenai nilai dan
budaya yang dianut warga masyarakat Kalangan terasa sangat kurang
memadai. Apalagi pada kelompok masyarakat yang penuh kehatihatian dalam bertindak, berucap dan berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Perubahan-perubahan kecil maupun besar yang terjadi
dalam kehidupan mereka acapkali menimbulkan friksi-friksi. Gosip,
rasa keingintahuan, dan prasangka yang kerap muncul di lapangan
membuat penelitian ini seolah berjalan sangat lambat untuk
menemukan benang merah permasalahan yang menjadi latar
belakang kultural atau penyebab tidak langsung kejadian kematian
bayi dan balita pada masyarakat etnis Jawa di Desa Kalangan.
Sekalipun peneliti berlatar belakang budaya Jawa, lebih
tepatnya budaya Jawa Timur, namum tetap merasa dan mengalami
kesulitan dalam memahami nilai budaya yang berlatarbelakang Jawa
Tengahan. Dalam komunikasi misalnya ada perbedaan nillai yang
mendasar antara Jawa Timuran dengan Jawa Tengahan. Jawa Timur
dengan budaya arek dan budaya pesisir lebih menekankan kepada
keterbukaan dan bersifat apa adanya. Sedangkan budaya Jawa Tengah
Mataraman pengaruh dari budaya Kraton Kasunanan Surakarta
mengutamakan kesopansantunan dan bahasa simbolik yang
diucapkan tidak secara terang-terangan. Keterusterangan dan
penyampaian maksud dengan bahasa yang bersifat langsung di
masyarakat Jawa Tengahan dianggap sebagai cara yang kurang sopan,
tidak pantas, dan bisa menyakiti hati orang. Adanya perbedaan
tersebut, dan keterbatasan waktu di lapangan menyebabkan upaya
memahami keterkaitan nilai budaya lokal dengan permasalahan KIA di
wilayah penelitian secara mendalam dan holistik sebagai ciri riset
etnografi tidak sepenuhnya terpenuhi.

187

Batasan secara Teoritis Antropologi Kesehatan


Scheper-Hughes (1992) menyatakan bahwa kerja lapangan dan
menuliskan etnografi membutuhkan waktu yang sangat lama. Karena
penelitian etnografi, di samping tergantung pada kemampuan peneliti
untuk membangun ikatan hubungan yang erat dengan warga
masyarakat, juga perjalanan ke lokasi membutuhkan waktu dan biaya
yang tidak sedikit. Riset etnografi kesehatan ini dilakukan hanya
selama satu bulan di lokasi sehingga hasil penelitian ini tidak serta
merta dapat mengungkap secara mendalam dan holistik seluruh
dimensi budaya yang terkait dengan permasalahan kesehatan
khususnya kematian bayi dan balita yang ada di komunitas Desa
Kalangan.
Penulis hanya bisa menyajikan gambaran permasalahan
kesehatan secara umum dan gambaran budaya masyarakat di Desa
Kalangan. Upaya analisis hasil penelitian dilakukan dengan cara
membanding-bandingkan perilaku budaya kesehatan setempat
dengan perilaku budaya masyarakat desa lain yang memiliki ciri
budaya yang hampir sama. Selain itu, untuk memperoleh pemahaman
hasil penelitian yang bermakna teoritis, data-data lapangan dianalisis
dengan merujuk teori dari tulisan-tulisan ahli antropologi, sosiologi,
dan epidemiologi seperti G.M. Foster, M. Winklemann, David Landy,
E.Goffman, dsb. Berdiskusi dengan supervisor Prof.Dr. A.A. Ngr Anom
Kumbara, MA dan tokoh setempat, yakni Drs. Danu, Msi., yang
mengerti banyak tentang tentang mitos, kekuasaan, dan fenomena
mistik di wilayah Klaten, dan juga teman sejawat telah membantu
penulis untuk meyakini bahwa apa yang ditulis dalam buku ini adalah
gambaran sebagian realitas empirik yang ada di Desa Kalangan.
Menuliskan etnografi itu bukan perkara yang mudah, karena
apa yang kita dengar dan lihat secara kasat mata di lapangan belum
tentu menggambarkan sesuatu makna atau nilai yang sesungguhnya.
Memahami suatu makna nilai budaya (culture core) dalam suatu
masyarakat memerlukan metode, tahapan, dan langkah yang cermat
serta spesifik karena nilai budaya itu kerap terbungkus dan

188

tersembunyi dalam wujud simbol-simbol dan mitos-mitos yang ada


dalam masyarakat bersangkutan. Upaya membuka dan memahami
suatu nilai budaya atau inti suatu kebudayaan dapat diandaikan
seperti saat kita ingin menemukan inti/isi dari sebuah bawang agar
tidak rusak, maka kita harus mengupas kulitnya lapis demi lapis
sampai ke titik intinya. Kesulitan memahami suatu nilai budaya suatu
masyarakat akan bertambah lagi ketika masyarakat yang kita pelajari
telah mengalami transformasi budaya yang kompleks akibat
modernisasi dan globalisasi, karena makna dan pemaknaan dari suatu
perilaku budaya tersebut bersifat cair dan batas-batasnya semakin
kabur.
Tantangan dari sudut pandang Budaya dan Kesehatan
Kata Bloko Suto yang terucap dalam setiap pembicaraan
dengan setiap informan, menjadi tantangan tersendiri dalam
penelitian ini. Bloko Suto yang berarti keterbukaan apa adanya,
namun pada kenyataannya masih banyak lapisan-lapisan tersembunyi
dibalik perbedaan kata apa yang terucap (tersurat) dengan apa yang
tersirat (makna sebenarnya dibalik ungkapan-ungkapan). Dalam
budaya berbahasa masyarakat Jawa ada hal yang disebut dengan
tanggap ing sasmita, weruh sakderengipun winarah, menuntut
peneliti untuk dapat memahami segala makna bahasa yang diucapkan
oleh informan dan segala bentuk ekspresi yang disampaikan pada saat
mengucapkan kata-kata.
Bukan hanya peneliti yang harus memahami budaya
masyarakat yang menganut suatu sistem nilai budaya tertentu. Ada
baiknya tenaga kesehatan atau pemberi layanan kesehatan dan lintas
sektor juga harus berupaya untuk memahami budaya dari masyarakat
setempat dalam menjalankan tugas-tugasnya. Agar bisa berhasil
dalam menjalankan tugas tersebut maka memiliki kompetensi bidang
budaya dan berkomunikasi secara lintas budaya menjadi keniscayaan.
Berbagai gangguan kesehatan, seperti tingginya angka penderita
penyakit seksual dan HIV/AIDS, tingginya angka abortus, baik yang

189

disengaja maupun tidak disengaja, serta tingginya kejadian kematian


bayi dan balita di Desa Kalangan patut dicurigai, di samping karena
faktor perilaku budaya masyarakat, juga karena kurangnya
kompetensi petugas kesehatan di bidang budaya dan komunikasi
lintas budaya, sehingga informasi yang disampaikan tidak dipahami
secara benar oleh masyarakat.
Harapan Penulis
Dari buku ini kami sebagai penulis berharap bahwa tulisan ini
dapat memberi wacana terkait budaya yang melatarbelakangi
kejadian kematian bayi dan balita pada masyarakat Jawa, khususnya
di daerah Klaten. Dalam konteks ini diharapkan bisa memberi
gambaran intervensi yang tepat dengan berbasis modal budaya
masyarakat itu sendiri dalam peningkatan derajat kesehatan terutama
kesehatan ibu dan anak. Terlebih lagi dalam upaya penurunan angka
kejadian kematian bayi dan balita di Kabupaten Klaten Jawa Tengah,
khususnya Desa Kalangan Kecamatan Pedan.

190

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, N. N. Mestri dan Ni Luh Kadek Alit Arsani (2013) Infeksi


Menular Seksual dan Kehamilan, artikel dalam Seminar Nasional
FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013, Universitas Pendidikan
Ganesha,
Singaraja
,
ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa, diakses 30 Juni
2015.
Arsita,Eka P (2012).Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Millenium
Development Goals (MDGs).Yogyakarta : Nuha Medika.
Austen, Jane (2003) Pride and Prejudice, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
ACC/SCN (2000) Low Birthweight: Report of a Meeting in Dhaka,
Bangladesh on 14-17 June 1999.
Briawan Dodik, (2012) Optimalisasi Posyandu dan Posbindu dalam
Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat, Kuliah pembekalan KKP Ilmu
Gizi, Bogor, 5 Mei 2012.
Badan Litbangkes (2007) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2007, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Badan litbangkes (2010) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2010, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Badan Litbangkes (2013) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2013, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Badan Litbangkes (2014) Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa
Tengah tahun 2013, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Badan Litbangkes (2014) Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia
tahun 2013, Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.

191

Daeng, H.J (2012) Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan


Antropologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Desa Kalangan (2013) RPJMN Desa Kalangan, Kecamatan Pedan Tahun
2013-2018, Kabupaten Klaten.
Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten (2014). Profil Kesehatan Tahun
2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten.
Fitriyanti, Y, dkk. (2014) Hubungan Faktor Sosial Budaya Terhadap
Kesehatan Balita Di Kabupaten Banjarnegara, Laporan Riset
Pembinaan Kesehatan, Badan penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Foster, G.M. and B.G. Anderson, (1978) Medical Anthropology. New
York: John Wiley and Sons, Inc.
Graburn, Nelson H. H. (2001) What is Tradition?, Journal of Museum
Anthropology
24(2/3):6-11,
American
Anthropological
Association.,https://web.law.columbia.edu/sites/default/files/m
icrosites/gender-sexuality/What%20is%20tradition.pdf, akses 15
Juni 2015.
Ginzberg, E (2014), The Image of the Limited Good: A Lesson on the
Striving for Communal and Human Solidarity, GSTF Journal of
Law and Social Sciences (JLSS) Vol.4 No.1, December 2014,
http://dl6.globalstf.org/index.php/jlss/article/viewFile/1099/11
14, diakses tanggal 18 Mei 2015.
Goffman, E (1984) The Presentation of Self in Everyday Life,
Doubleday Anchor Books.
Kementerian Kesehatan RI (2014) Waspada Diabetes Eat well Live
Well, Jakarta Selatan: Infodatin Pusat Data dan Informasi.
Kementerian Kesehatan RI (2014) Hipertensi, Jakarta Selatan:
Infodatin Pusat Data dan Informasi.

192

Kementerian Kesehatan RI (2014) Perilaku Mencuci Tangan Pakai


Sabun di Indonesia, Jakarta Selatan: Infodatin Pusat Data dan
Informasi.
Kilbourne, M (2000) Kesehatan Reproduksi Remaja, Outlook Volume
16, Washington:PATH.
Kleinman, A (1980) Patients and Healers in the Context of Culture: An
Exploration of the Borderland between Anthropology, Medicine,
and Psychiatry, Berkeley: University of California Press.
Koentjaraningrat (1992) Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Cetakan
ke-8, Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat dan A.A. Loedin (1985) Ilmu-Ilmu Sosial Dalam
Pembangunan Kesehatan, (Ed). Jakarta: PT Gramedia Jakarta.
Kompas (2012) 5 Penyakit Jantung Bawaan dan Pencegahannya,
http://health.kompas.com/read/2012/12/24/17204326/5.Penya
kit.Jantung.Bawaan.dan.Pencegahannya, diakses tanggal 07 Mei
2015.
Liberty (2014) Gunung Wijil, Surga bagi Pemburu Pesugihan, Published
on
Tuesday,
26
August
2014 http://www.liberty.co.id/spiritual/25-tradisi-leluhur/85gunung-wijil-surga-baru-bagi-pemburu-pesugihan,
diakses
tanggal 25 Juni 2015.
Manuaba (1999) Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta :
EGC
Miles, M.B., dan A.M. Haberman (1992) Analisa Data Kualitatif,
Jakarta: UI Press.
Muttaqien, J (2006) Kajian Teoritis Tentang Mujahadah dan
Pengendalian
Emosi,
Bab
II,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdls1-2006-jokomuttaq-805-BAB2_119-3.pdf, diakses tanggal 15
Juni 2015.

193

Poesponegoro, Mawarti Djoened dan Nugroho Notosusanto, (2008),


Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno, Edisi pemutakhiran
cetakan 2, Jakarta: PT Balai Pustaka.
Provinsi
Jawa
Tengah
(2015).
Kabupaten
Klaten,
http://www.jatengprov.go.id/id/profil/kabupaten-klaten,
diakses tanggal 03 Maret 2015.
Purwadi dan Purnomo, E.P (2008) Kamus Sansekerta Indonesia,
Yogyakarta: Budayawan.com.
Rachmat Rochjati (2004) Pembangunan Kesehatan di Indonesia,
cetakan pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rahanto, S (2012) Pengaruh Ruwatan Murwokolo Terhadap
Kesehatan, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 15 No. 3
Juli 2012: 282288, Surabaya: Pusat Humaniora Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Republik Indonesia (1974) Undang-Undang tentang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, Jakarta.
Save the Children (2012) After The Millennium Development Goals:
Setting Out The Options And Must Haves For A New
Development Framework In 2015, United Kingdom.
Saputra, Lyndon (2014) Pengantar Asuhan Neonatus Bayi, dan
Balita,Tangerang Selatan: Binarupa Aksara.
Saryono, Djoko (2008) Budaya Mataraman: Mencari Definisi dan
Karakteristik, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan
(editor), Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur Sebuah
Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif, Jember: Pemprov Jatim dan
Kompyawisda Jatim.
Scheper-Hughes, N (1992) Death Without Weeping: The Violence of
Everyday Life in Brazil, California: University of california Press.

194

Shanklin, Eugenia (1981) Two Meanings and Uses of Tradition, Journal


of Anthropological Research, Vol. 37, No. 1 (Spring, 1981), pp.
71-89, Published by: University of New Mexico, Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3629516, diakses tanggal 15 Juni
2015.
Soekidjo Notoatmodjo (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Soekidjo Notoatmodjo (2003) PrinsipPrinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat Cetakan kedua. Jakarta : Rineka Cipta
Solopos (2006) Puluhan lokasi potensial jadi tempat penyebaran
HIV/AIDS
Tanggal: Thursday,
21
December
2006,
http://www.solopos.co.id/index2.asp?kodehalaman=h32#,http:
//www.aidsina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=39puluha
n+lokasi+potensial+jadi+tempat+penyebaran+hivaids+http,
diakses tanggal 25 Maret 2015
Syaifudin (2002) Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
United
Nations,
(2010)
Millenium
http://www.un.org/millenniumgoals/,
Desember 2010.

Development
Goals,
diakses tanggal 27

Wellin, E. (1977) The Theoretical Orientations in Medical


Anthropology: Continuity and Change over the Past HalfCentury, in D.Landy,ed., Culture, Disease, and Healing, Study in
Medical Anthropology: 47-58, New York: Macmillan.
WHO

(2007) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Kesehatan, Pedoman Interim WHO.Trust
Indonesia Partner in Development.

195

WHO (2009) Post-marketing surveillance of rotavirus vaccine safety.


available from www.who.int/vaccines-documents. Accessed on
28 February 2011
WHO (2009) Recommendation on global use of rotavirus vaccine.
Weekly Epidemiological record, no.23, June 2009.
WHO (2014) Health for the Worlds Adolescence A second chance in
the second decade.WHO Press. Switzerland.
Widiyanto, D (2013) Gubernur Ajak Petani Sedekah Bumi, Koran
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2013
http://krjogja.com/read/170492/gubernur-ajak-petani-sedekahbumi.kr, diakses tanggal 04 Juni 2015.
Wiranta (2013) Identifikasi Konsep Budaya Jawa, Jurnal Cakra Wisata,
Vol. 13 Jilid 1 Tahun 2013 Hal. 39-45, Surakarta: Pusat Studi
Pengembangan Pariwisata (PUSPARI) LPPM UNS.
Wiroprojo, Ismail (2013) "Tingkeban" dalam Perspektif Budaya
Bangsa Secara
Islami,
http://yukpintar.blogspot.com/2013/02/makalah-adat-dan-tradisitingkebanmitoni.html, diakses 29 Juni 2015.

196

INDEKS
A
Alam
kekuatan alam, fenomena
alam,
52
ASI
ASI eksklusif, ASI non
eksklusif, kolostrum, IMD,
menyusui, melancarkan ASI
7, 10, 94, 97, 99, 100, 101,
102, 161, 162, 163, 220
ASI eksklusif
IMD 7, 94, 100, 101, 161
B
BBLR
prematuritas murni,
dismatur 6, 9, 10, 15, 114,
115, 127, 128, 220
Bencana
gempa yogyakarta, gunung
kelud, gunung merapi 37,
180
Budaya6, 9, 52, 198, 204, 209,
212, 214, 217, 219
C
Cikal bakal

mulyorejo, bunderrekso,
trokejun, pabelan,
jiworagan, mancungan 41
CTPS
102, 103
E
Etnografi
etnografi kesehatan,
kualitatif, observasi
partisipatif, wawancara
mendalam, triangulasi 15,
16, 17, 201, 208, 209
G
Geertz
simbol, makna, budaya 9
Gizi
status gizi balita, BGM, T2,
stunting112, 114, 127, 213
I
Imunisasi
DPT, Penta, Polio, Hepatitis,
BCG, Campak
95
Indeks
13, 214, 220
infeksi menular seksual
sifilis, gonore, chlamydia
trachomatis, vaginosis
bakterial, trikomoniasis,

197

kondiloma, dan kandidiasis


89
J
Jawa
kejawen, kraton solo,
surakarta, yogyakarta,
klaten, jawa tengah,
majapahit, mataram, demak
6, 12, 13, 14, 15, 19, 20, 21,
23, 26, 38, 42, 48, 50, 52,
53, 56, 57, 62, 63, 66, 69,
70, 71, 75, 78, 79, 81, 123,
126, 128, 130, 132, 135,
143, 157, 160, 163, 164,
166, 167, 168, 169, 173,
174, 175, 176, 177, 179,
180, 181, 183, 184, 185,
186, 187, 198,201, 202,
204, 207, 209, 210, 213,
216, 217, 219, 220, 221, 222
K
Kalangan 38, 40, 80, 83, 109,
137, 177, 178, 188
Kehamilan
sel telur, spermatozoa,
triwulan pertama, triwulan
kedua, triwulan terakhir,
ANC113, 116, 121, 124, 139,
144, 155, 160, 164, 213

198

Kesehatan
KIA, bayi, balita 6, 7, 113,
185, 198, 204, 213
Kesenian
batik, lurik, laras madya,
gadonsari, karawitan,
ketoprak, campursari71, 74,
76, 77, 78, 79, 80
Klaten
melati, kelati6, 12, 13, 14,
15, 16, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
31, 32, 35, 36, 42, 45, 57,
70, 71, 79, 80, 88, 89, 91,
92, 93, 94, 101, 113, 114,
115, 121, 140, 143, 148,
149, 159, 183, 191, 194,
201, 204, 205, 208, 210,
212, 214, 216, 221, 222
M
MDGs
post MDGs, child and
maternal health14, 213, 221
Miles dan Haberman
analisis data, reduksi,
pemaparan, penarikan
simpulan
16
Mitos
kepercayaan, keyakinan,
sakit, kematian, keselarasan,

keseimbangan, van baal5, 6,


7, 128, 130, 134, 181, 185
P
Pedan
pedan, pepedan 6, 13, 14,
15, 19, 26, 27, 28, 30, 31,
42, 43, 44, 45, 46, 57, 64,
65, 71, 73, 87, 88, 89, 90,
91, 92, 94, 112, 115, 123,
125, 127, 128, 133, 151,
167, 168, 175, 177, 178,
183, 187, 201, 204, 211,
212, 214, 221, 222
Penyakit
illness, disease1, 2, 3, 4, 7, 9,
33, 51, 69, 87, 89, 90, 91,
92, 100, 102, 104, 117, 118,
121, 127, 194, 197, 210
Perspektif
etik, emik
4
Perubahan sosial
modernisasi, moral petani,
perdesaan, perkotaan,
perifer
7
PHBS
94
Pilihan Rasional
Rational choice
64
Posyandu62, 71, 94, 95, 96, 97,
98, 99, 100, 101, 112, 162,
185, 186, 199, 202, 205, 213

R
Riskesdas
Riskesdas 2007, Riskesdas
2010, Riskesdas 2013, IPKM
10, 11, 12, 127, 222
Rivers
wellin, sorcery,
countersorcery,
supranatural
2
S
Sejarah
majapahit, demak,
mataram, kolonial belanda,
jepang, PKI, kemerdekaan
21, 26, 29, 30, 37, 42, 192,
216
Sistem
sistem medis, tradisional,
sistem teori penyakit, sistem
perawatan kesehatan1, 2, 3,
46, 53, 54, 95, 119, 216
Sistem religi
agama, kepercayaan, islam,
kristen, NU, Muhamadyah,
LDII, MTA, kejawen
46
Sosial
Peran sosial, status sosial,
sistem sosial, pranata sosial,
perubahan sosial, aktor

199

sosial,6, 53, 183, 190, 212,


214, 215, 226, 227
Sumber air
sumber air bersih, air tanah,
PAMSIMAS
110

200

T
Tradisi
selametan, neloni, mitoni,
ruwatan, bersih desa,
nyadran, ruwahan6, 7, 163,
164, 169, 175, 177, 179,
194, 196, 198, 202

GLOSSARIUM
A
ASI Eksklusif: Air Susu Ibu yang diberikan khusus kepada bayi dari usia
0-6 bulan, tanpa diberikan makanan tambahan selain ASI
ANC: Ante Natal Care
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome
B
Bloko Suto: keterbukaan, terus terang
Balak: membatalkan
BBLR: Bayi Berat Lahir Rendah
C
Cecolo: mengawali obrolan
D
Danyang: cikal bakal; leluhur; orang yang pertama kali tinggal di
daerah tertentu dan meninggal dan dimakamkan pertama kali di
daerah tersebut.
E
Elok: bagus
G
Gadonsari: kesenian musik tradisional Jawa
Gestok: sebutan warga Kalangan terkait masa PKI
201

H
HIV: Human Immunodeficiency Virus
IUFD: Intra Uteri Fetal Death; kematian janin di dalam kandungan
IMS: Infeksi Menular Seksual
IPKM: Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia
ISPA: Infeksi Saluran Pernapasan Atas
K
Kalang: lingkungan yang dibatasi
Kalangan: arena pertarungan, area yang luas
KJB: Kelainan Jantung Bawaan
Karawitan: kesenian musik tradisional Jawa
Ketoprak: seni peran tradisional Jawa
K1: pemeriksaan kehamilan pertama kali
K4: pemeriksaan kehamilan dengan frekuensi minimal 4 kali selama
masa kehamilan
Kiai Melati: nama seorang kiai yang pada kurang lebih 560 tahun yang
lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara dan
menetap di tempat tersebut, yang sekarang menjadi Klaten.
Kejawen: budaya yang dibentuk oleh Kerajaan Mataram yang
bersumber pada pengaruh dari dalam (internal) dan dari luar
(eksternal) yang berupa alam semesta, kebajikan dan ajaran pribadi
manusia tertentu, mistisisme atau kepercayaan dan kebatinan, agama
tertentu, dan sistem budaya tertentu.

202

L
Larasmadya: kesenian musik tradisional Jawa
Lurik: kain tenun khas Kecamatan Pedan, Klaten
M
Mataraman: budaya yang dibentuk oleh Kerajaan Mataram
Mujahadah: mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri
dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah
SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal.
MDGs: Millenium Development Goals
P
Pedan; Pepedan: merata; hari baik untuk menanam padi; yang
terakhir
R
Ruwatan: salah satu media masyarakat Jawa untuk membuang
ketidakberuntungan dalam menjalani kehidupan dari seseorang agar
terjadi keseimbangan.
Riskesdas: Riset Kesehatan Dasar
S
Selametan: tradisi Jawa yang dilaksanakan untuk keselamatan dalam
setiap siklus kehidupan manusia.
T
TORCH: Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus dan Herpes

203

Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo: Visi Kabupaten Klaten


U
Untoroyono: candi Hindu yang dibuat di Dukuh Nayan
W
wareg, wasis, wisma, dan wutuh: misi kabupaten Klaten

204

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada:


1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Seluruh masyarakat di Desa Kalangan, Kecamatan Pedan,
Kabupaten Klaten,
3. Kepala Desa Kalangan,
4. Bidan Desa di Puskesmas Pembantu Desa Kalangan,
5. Kepala Puskesmas Pedan, Bidan Koordinator dan Bidan
Pelaksana dan seluruh jajaran Puskesmas Pedan,
6. Ibu Camat Kecamatan Pedan,
7. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pedan,
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten Bidang Kesehatan
Masyarakat, Sub Bidang Kesehatan Keluarga, dan Bidang
Pemberantasan Penyakit,
9. Bappeda Kabupaten Klaten,
10. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat, Kepala Bidang Humaniora dan
Kepala Sub Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya
11. Dan seluruh pihak terkait yang turut membantu dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan buku ini yang namanya
tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

205

TENTANG PENULIS
Weny Lestari, S.Sos., M.Si., mendapat
gelar sarjana S1 Antropologi dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2001, dan S2
Magister
Antropologi
dari
FISIP
Universitas Indonesia Depok tahun 2011.
Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda
dengan kepakaran di bidang Medical
Anthropology di Pusat Humaniora
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Badan Litbangkes Kemenkes
RI sejak tahun 2006 sampai sekarang.
Telah menerbitkan beberapa buku al:
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan
Anak, Etnik Toraja Sadan (2012), Pasung
dan Keterpasungan Sistim Medis (2014),
dan Konstruksi Sosial Masyarakat
Perdesaan dan Perkotaan di Balik
Fenomena Balita Pendek (Stunting) di
Kabupaten Jember (2015).
Email: weny716@gmail.com atau
weny_l@litbang.depkes.go.id

Wahyu Aji Tri Pamungkas, SKM.,


memperoleh gelar studi sarjana S1
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2013. Penulis
tergabung dalam berbagai penelitian
bidang kesehatan di tingkat regional sejak
tahun 2010 hingga saat ini.
Email : atp.wahyu@outlook.com

206

Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara,


M.A., menamatkan sarjana S1 bidang
Antropologi tahun 1982. Tahun 1983
diangkat sebagai pengajar di Universitas
Udayana
Bali.
Tamat
magister
Antropologi di Universitas Indonesia
tahun 1990, dan program Doktor di
bidang Antropologi tahun 2008 di
Universitas Gajah Mada. Penulis pernah
sebagai fallowship bidang community
medicine di East West Center University
of Hawaii November 1995-Februari 1996.
Pernah menjabat sebagai ketua jurusan
Antropologi Unud, Sekretaris dan Ketua
Bidang Pengdian Kepada Masyarakat
Unud, 2010-2014 dan sebagai Ketua
Program Doktor Bidang Agama dan
Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia
Denpasar. Telah menerbit beberapa buku
al: Pergulatan Elit Lokal Representasi
Kuasa dan Identitas 2011. Dinamika
Migrasi Di Kota Denpasar, 2013. Profil
Kemiskinan di Bali 2014. Pemetaan
Konflik Sosial di Kota Denpasar,2014. Dll.
Email: anom_kumbara@yahoo.com

207

Vous aimerez peut-être aussi