Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Weny Lestari
Wahyu ATP
Anom Kumbara
Penerbit
Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
Penanggung Jawab
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat
di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ...............................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
DAFTAR TABEL...............................................................................
Prolog: Memahami Budaya Kesehatan dalam
Konteks Peningkatan Program Kesehatan Ibu dan Anak..........
iii
v
vii
xi
xiii
17
18
18
23
25
37
37
40
41
41
46
47
47
47
48
49
51
51
51
52
52
53
55
vii
viii
56
56
57
59
61
62
64
64
67
70
72
74
76
78
78
78
79
80
80
80
81
83
83
84
84
85
89
91
93
95
96
97
98
111
114
116
119
121
125
128
128
132
136
139
139
141
142
143
145
148
148
148
150
151
153
157
159
160
163
164
165
ix
166
168
169
173
176
182
182
182
183
184
184
187
191
197
201
205
206
165
180
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
17
Gambar 2.2
23
Gambar 2.3
39
Gambar 2.4
44
Gambar 2.5
45
Gambar 2.6
51
Gambar 2.7
Gambar 2.8
65
65
66
69
71
72
73
73
74
Gambar 3.1
78
Gambar 3.2
86
Gambar 3.3
88
Gambar 3.4
90
Gambar 3.5
92
Gambar 3.6
93
Gambar 3.7
94
Gambar 3.8
96
Gambar 2.9
xi
Gambar 3.9
97
98
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
117
118
119
Gambar 4.4
171
Gambar 4.5
172
Gambar 4.6
172
Gambar 4.7
175
xii
Daftar Tabel
Tabel 1.1
Tabel 1.2
12
14
Tabel 2.1
38
Tabel 2.2
41
Tabel 2.3
41
Tabel 3.1
83
Tabel 3.2
87
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 4.1
xiii
PROLOG
MEMAHAMI BUDAYA KESEHATAN DALAM KONTEKS PENINGKATAN
PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
Prof.Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, MA
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia (basic
human needs) yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Hal
ini terkait erat dengan kenyataan bahwa manusia yang sehat jasmani
dan rohani akan memungkinkannya untuk melakukan peran-peran
sosial sesuai dengan statusnya di masyarakat serta dapat melanjutkan
keturunannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan, setiap
masyarakat senantiasa akan mengembangkan sistem medis yang
berisi tentang seperangkat kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan
praktik-praktik sebagai satu kesatuan yang digunakan untuk
memobilisasi berbagai sumber daya dalam rangka memelihara
kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, baik fisik
maupun rohani. Dengan demikian, sistem medis pada hakekatnya
adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam
kesatuan sistem sosial budaya (Kleinman, 1980).
Dalam setiap sistem medis, akan dijumpai adanya dua sub
sistem terkait, yaitu sistem teori penyakit atau etiologi penyakit dan
sistem perawatan kesehatan. Sistem teori penyakit atau etiologi
penyakit (etiology of illness) adalah kepercayaan tentang sebab-sebab
terjadinya suatu penyakit dan gejala-gejala/simtomatis yang
menyertainya. Menurut George Foster (1978) dalam kehidupan
masyarakat non Barat dikenal adanya dua sistem etiologi penyakit,
yaitu naturalistik dan personalistik. Tetapi menurut kategori penulis,
di Indonesia secara empiris umumnya dikenal adanya tiga jenis
penyebab/etiologi penyakit, yaitu karena pengaruh faktor alam, faktor
orang/personal, dan karena faktor supranatural. Sedangkan mengacu
pada model konseptual Rivers dalam Wellin (1977) pandangan dunia
BAB 1
PENDAHULUAN
Pandangan tentang penyakit, kesehatan, dan perawatan
kesehatan adalah kenyataan yang ada pada masyarakat manusia.
Namun pemahaman atau persepsi mengenai penyakit dan cara
perawatannya berbeda dari kelompok sosial satu dengan kelompok
sosial lainnya. Hal ini terkait dengan budaya dalam suatu kelompok
masyarakat, apakah mereka tinggal di perdesaan ataupun di
perkotaan, di daerah pegunungan atau dataran, suku dan adat
kebiasaan yang berbeda-beda akan berbeda pula dalam
pemahamannya. Budaya merupakan sistem makna simbolik. Seperti
dalam bahasa, kebudayaan memiliki sistem semiotik yang
mengandung simbol-simbol yang berfungsi untuk mengkomunikasikan
makna dari pikiran orang ke pikiran orang-orang yang lain. Simbol dan
makna budaya menurut Geertz (1992) tidak berada dalam pikiran
individu-individu dalam masyarakat, namun berada di antara individuindividu yang dimaksud, bersama-sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial
sebagai kenyataan publik bukan pribadi (Kalangie, 1994). Demikian
halnya dalam pemahaman suatu masyarakat terkait dengan kejadian
kematian bayi dan balita (bawah lima tahun) yang terjadi dalam
kelompoknya, akan berbeda apa yang dipahami masyarakat dengan
apa yang secara medis atau kesehatan bisa dijelaskan sebabnya.
Namun tingginya angka kematian bayi dan Balita di Indonesia tidak
menutup kemungkinan adanya gap budaya di dalamnya.
Angka kematian Bayi dan Balita di Indonesia masih tinggi.
Penyebab utama kematian pada bayi dan balita menurut pandangan
medis terutama masalah neonatal adalah kelahiran prematur, asfiksia,
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), infeksi, penyakit infeksi (Diare,
Pneumonia, Malaria, Campak) dan masalah gizi (gizi kurang dan gizi
buruk) (Fitriyanti, dkk, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, kematian bayi terbanyak di Indonesia
disebabkan oleh diare (42%) dan pneumonia (24%), sedangkan
10
11
kali pada trimester 1) mencapai 93,4 persen, ANC K4 (ANC 1-1-2 yaitu
frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester satu, minimal 1 kali pada
trimester dua dan minimal dua kali pada trimester tiga) sebesar 90,6
persen, dan ANC 4x (Frekuensi ANC sebanyak minimal empat kali
selama kehamilan tanpa memperhatikan periode umur kandungan)
sebesar 93,8 persen. Provinsi Jawa Tengah sendiri cakupan ANC untuk
K1 ideal (ANC pertama kali pada trimester 1) mencapai 86,6persen,
ANC K4 (ANC 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester
satu, minimal 1 kali pada trimester dua dan minimal dua kali pada
trimester tiga) sebesar 79,7 persen, dan ANC 4x (Frekuensi ANC
sebanyak minimal empat kali selama kehamilan tanpa memperhatikan
periode umur kandungan) sebesar 92,0 persen (Badan Litbangkes,
2013).
Proporsi Tenaga yang memberi pelayanan ANC di Kabupaten
Klaten adalah dokter kebidanan dan kandungan sebesar 10,6 persen,
dan 89,5 persen adalah bidan (Badan Litbangkes, 2013). Data ini
menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan ibu hamil (ANC) di
Kabupaten Klaten sudah maksimal, dan pemeriksaan sudah
sepenuhnya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten.
Namun dari data yang ada masih menyisakan permasalahan
kesehatan yang cukup besar bagi Kabupaten Klaten dikarenakan
masih tingginya angka kejadian kematian bayi dan balita di Kabupaten
Klaten (Badan Litbangkes, 2013).
Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) perbandingan tahun 2007-2013, Kabupaten Klaten mengalami
penurunan yaitu berada di rangking 23 dari 35 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan berdasarkan pengembangan tahun
2013 juga mengalami penurunan, berada di rangking 21 dari 35
kabupaten/kota, dan berada di rangking 124 dari seluruh
kabupaten/kota di Indonesia, seperti data yang ada pada tabel 1.1
berikut:
12
IPKM Peru
2013 bahan
skor
Pering
kat
2007
13
2013
2014
14
bulan
Bawaan
2015 Bayi Ny.X
Laki-laki
IUFD
Bayi Ny. Y
IUFD
Sumber: Laporan Puskesmas Pembantu Desa Kalangan tahun 20122015
Berdasarkan kondisi obyektif tersebut di atas, maka Desa
Kalangan Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
dijadikan lokus penelitian etnografi kesehatan.
Penelitian etnografi kesehatan ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif adalah
dengan cara wawancara mendalam (indeepth interview), observasi
partisipatif, dan analisis dokumen. Observasi partisipatif adalah
pengamatan dengan cara hidup dan tinggal bersama masyarakat
selama 30 (tiga puluh) hari di lokasi. Analisis dokumen terkait
penelitian diambil dari wilayah penelitian berupa laporan profil desa,
profil kecamatan, dan profil kesehatan Kabupaten Klaten. Selain itu
juga menggunakan data literatur dalam bentuk buku cetak dan file
media yang bersumber dari internet.
Proses analisis data lapangan dilakukan secara triangulasi
melalui tiga tahapan, yaitu reduksi, pemaparan (display), dan
penarikan simpulan serta verifikasi (Miles dan Haberman, 1992). Tiga
tahapan proses analisis data dilakukan secara berkesinambungan,
dengan cara mencocokkan kebenaran dan keabsahan data dari
sumber informan satu dengan yang lain, meminta pendapat dari para
pakar, dan juga merujuk kepada teori, konsep, literatur dan hasil
penelitian lain yang relevan. Cara tersebut diambil untuk menjaga
validitas dan realibilitas data.
Batasan penelitian etnografi kesehatan ini adalah waktu
penelitian di lapangan yaitu hanya 30 (tiga puluh) hari, sehingga
penelitian ini belum bisa mengungkap keseluruhan unsur dan makna
perilaku budaya masyarakat setempat. Keterbatasan waktu juga
menyebabkan peneliti tidak bisa mengikuti siklus kehidupan, siklus
15
16
BAB 2
DESA KALANGAN DALAM KONTEKS BUDAYA
Desa Kalangan secara administratif termasuk wilayah
Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Pembahasan mengenai Desa Kalangan tidak bisa terlepas dari
pembahasan tentang Kecamatan Pedan dan Kabupaten Klaten itu
sendiri. Kabupaten Klaten terletak antara 1100 261 1411 1100 471 5111
Bujur Timur dan 70 321 1911 70 481 3311 Lintang Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Klaten adalah 655,56 km2. Secara administratif Kabupaten
Klaten terbagi ke dalam 26 kecamatan, 391 Desa dan 103 Kelurahan
dengan jumlah penduduk sekitar 1.345.871 jiwa (Dinas Kesehatan
Kabupaten Klaten, 2014).
Klaten merupakan daerah penyangga dua kota besar yakni
Surakarta (Solo) di wilayah timur dan Yogyakarta di wilayah barat.
Batas-batas wilayah Klaten yaitu: di bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), sebelah timur Kabupaten
Sukoharjo (Jawa Tengah), sebelah barat Kabupaten Sleman (DI
Yogyakarta), dan sebelah selatan Kabupaten Gunung Kidul (DI
Yogyakarta) (Provinsi Jawa Tengah, 2015).
17
18
19
20
21
2.
3.
4.
5.
22
24
25
26
27
wilayah yang bersih dari PKI. Kondisi itu berbeda dengan di Desa
Troketon yang berbatasan langsung dengan Desa Kalangan. Pada
masa itu warga desa sebelah banyak yang diciduk aparat dan tidak
pernah kembali lagi ke desanya. Ada isu semua dibantai. Seperti yang
diungkapkan Bapak S (80 tahun) berikut ini:
Kulo niki lulusan SR (Sekolah Rakyat), lulusan 65, SMP
Marhaen. Jamane gestok. Pirang taun mpun metu.
Gestok niku paten-patenan teng ngriki. PKI, jamane ngeri.
Kulo ewangi turu WC-WC. Wonten muntaber, nggone
ngising sak nggon-nggon. Teleke diteteli pitik, pitik
munggah neteli sego. Kancane paten-patenan. Turu nuk
kali-kali, jublengan, dioyak-oyak sedaya. Partai PNI ndas
banteng, nggih dioyak-oyak. Ngeri niku. Diguwaki teng
Troketon jam 3 bengi, dipateni sedaya.paten-patenan.
(Desa) Troketon niku sing medeni, podo dipateni kabeh.
Kampung daerah niki tasih aman. Kalangan niki masio
sing PKI isih aman. Bengi ndelik ngriki sedaya. ABRI-ABRI
podo njogo teng ngriki. Tentara nglumpuk teng mbah
lurah.
(Saya ini lulusan Sekolah Rakyat tahun 1965, saat sekolah
di SMP Marhaen terjadi Gestok (PKI), sehingga sekolah
(SMP) baru beberapa tahun sudah keluar. Jaman Gestok
(PKI) masa bunuh-bunuhan disini. Masa PKI dahulu
mengerikan. Saya tidurnya di WC. Banyak penyakit
muntaber saat itu, karena tempat BAB di sembarang
tempat. Kotorannya dimakan sama ayam, lalu ayamnya
naik (ke meja) mematok nasi. Lalu ada sesama kawan
saling bunuh. (saat itu kita) tidur di sungai-sungai, di
cekungan galian tanah untuk pembuangan, semua orang
dikejar-kejar. Partai PNI yang berlogo kepala banteng
juga dikejar-kejar. Pada saat itu mengerikan, (orangorang yang ditangkap) dibawa ke Desa Troketon jam 3
28
29
anak e tibakne debog sing dirangkul. Doh nggawe tendotendo. Mikir anak, gentenge doh bolong-bolong,
alhambdulillah anake mboten nopo-nopo, teng njero
kamar, celengane sapi roto, celuk-celuk bapak e, Pak!!
Bapake nembe sadar yen sing dirangkul debog. Kulo malah
cereweti bapake, sak niki nyesel, kulo seneni yen ono opoopo yo sing disaut nggih anake disik
(waktu gempa dulu, atap dari seng sampai jatuh semua.
Suami saya berlari keluar lalu berpegangan pada pohon
pisang. Gempa saat itu terjadi pagi hari jam 6, saat itu
hujan, sesaat setelah gempa juga hujan. Saya berangkat ke
pasar, di jalan kok bergoyang-goyang. Anak saya masih
tidur di dalam kamar. Bapaknya berpikir sudah merangkul
anak saya tapi ternyata yang dirangkul pohon pisang.
Semua membuat tenda-tenda diluar. Saya memikirkan
anak saya, genteng rumah sudah hancur semua,
alhamdulillah anak saya tidak kenapa-kenapa. Di dalam
kamar, celengan sapinya sampai jatuh. Anak saya
memanggil-manggil bapaknya.Pak!! suami saya baru sadar
setelah dipanggil anak saya kalau yang dipegang bukan
anaknya tapi pohon pisang. Saat itu saya marah sama
suami saya, namun sekarang menyesalinya. Saya teriaki
kalau ada apa-apa itu seharusnya anak yang dibawa
duluan)
Tirose tsunami, banyune sampun teng Klaten. Kulo dijak
mlayu mbok e mboten purun. Yen ngungsi nggih sekaliyan
anak kulo karo bapak e, mboten kulo dewean. Yen dipikir
saiki nggih kudu ngguyu. Riyin wong kok podo bodo-bodo.
TV ditokne kabeh teng njobo, terus ditinggal ngungsi. Lah
barange kan iso ilang kabeh. Riyin pikirane ora sehat
nggih. Mboten kepikir. Ora usah nggowo opo-opo pak, sing
penting nggowo duit. Lah sak niki podo soro kabeh riyin
30
nggowo duit nggo opo, ate blonjo nandi?? Lah niku sing
sampun ngungsi teng Purwodadi anak bojone dekne
dewean. Untung kulo mboten sido tumut, lak pisah kale
anak e 3 dino tambah kepikiran toh.
(katanya ada Tsunami, airnya sudah sampai di Kota Klaten.
Saya diajak lari sama ibu tidak mau. Kalau mau mengungsi
saya harus bersama-sama dengan anak dan suami saya.
Kalau dipikir sekarang jadi ingin tertawa. Kok dulu itu
bodoh semua. TV dikeluarkan semua, lalu ditinggal
mengungsi. Kalau barang-barangnya hilang semua
bagaimana. Tidak terpikir saat itu. Saya bilang ke
bapaknya, kalau mengungsi tidak usah membawa apa-apa
yang penting membawa uang. Kalau dipikir, saat itu semua
tertimpa musibah, meski membawa uang, mau belanja
kemana?ada yang suami dan anaknya mengungsi ke
Purwodadi, istrinya tertinggal sendirian. Untung saya tidak
jadi ikut mengungsi sendirian. Kalau terpisah dari anak
selama 3 hari malah menjadi kepikiran)
Wonten sing nggowo bronjong. Nggawe tendo-tendo.
Turune teng emper nganti suwi. Kelingan dek emben niku.
Mboten mikir sehat, kok yo percoyo ae wonten tsunami. Ya
Allah, sabene niku kelingan pengalaman riyin yo ngilangke
susah, alhamdulillah. Iso nggo perbandingan. Niki
nggununge namung Gunung Wijil, katah sing mlayu
mrono. Tapi nggeh mesakno, mangane piye. Wonten sing
omahe tingkat wonten tiyang sepuh jompo. Dijunjung
munggah wonten gempa didukaken, isu tsunami
diunggahne maleh. (tahun) 2006, anak tasih TK
(ada yang membawa kawat, membuat tenda-tenda.
Tidurnya di emperan samapai lama. Kalau teringat masa
itu, semua tidak berpikir sehat, kok ya percaya saja ada isu
tsunami. Kalau diingat-ingat bisa menghilangkan rasa
31
32
33
34
35
36
37
- sebelah Timur
: Desa Sentono dan Desa Ngolodono
- sebelah Selatan
: Desa Jatimulyo
- sebelah Barat
: Desa Troketon
Secara geografis terletak pada 110o 30 sampai dengan 110o
45 Bujur Timur dan 7o 30 sampai dengan 7o 45 Lintang Selatan,
memiliki luas wilayah 206,2 Ha, yang terbagi menjadi 17 Dukuh
dengan 14 Rukun Warga (RW) dan 46 Rukun Tetangga (RT). Seperti
tercantum pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Perdukuhan Desa Kalangan beserta RW dan RT
No.
Dukuh
RW
RT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Gebungan
Balong
Kampung Baru
Durenan
Ngentak
Batokan
Klampisan
Mancungan
Jagulan
Tawangsari
Kalangan
Trunan
Jembunan
Bunderan
Belan
Jiworagan
Nayan
01
02
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
11
11
12
13
14
01-04
01-02
01
01-04
01-02
01-02
01-03
01-04
01-03
01-05
01-03
02-03
04
01
01-04
01-02
01-02
38
PETA WILAYAH
DESA KALANGAN
RW 6
RW 14
RW 5
RW 7
RW 10
RW 9
RW 8
RW 11
RW 4
RW 12
RW 13
RW 1
RW 2
Pemukiman
RW 3
Sawah / Tegalan
39
40
Tahun 2014
Desa Kalangan
Kecamatan Pedan
Tahun 2015 (s.d. April
2015)
Desa Kalangan
1
1
3
Kecamatan Pedan
9
10
12
Sumber: Kantor Urusan Agama Kecamatan Pedan, tahun 2014-2015
Pada tahun 2014, di Desa Kalangan tercatat ada 7 orang
perempuan yang menikah di usia 16-19 tahun, dalam hal ini secara
Undang-Undang sudah bisa dinikahkan tanpa perlu pengajuan
dispensasi perkawinan. Walaupun secara kesehatan reproduksi usia
perkawinan perempuan dibawah usia 20 tahun masih tergolong usia
berisiko terlalu muda untuk hamil. Selain itu ada juga kelompok risiko
tinggi kehamilan yaitu di atas 35 tahun. Pernikahan di atas usia 30
tahun dan 36 tahun kemungkinan kehamilan berisiko tinggi cukup
besar dibandingkan dengan kehamilan di usia 20-30 tahun.
2.3 Sistem Religi
2.3.1 Pemeluk Agama di Desa Kalangan
Menurut data kependudukan Desa Kalangan, sebagian besar
masyarakat Desa Kalangan beragama Islam, sisanya beragama Kristen
dan Hindu. Dari 17 dukuh yang ada di Desa Kalangan memiliki 19
Masjid/Musholla, 1 Gereja dan 1 Pura.
Tabel 2.3 Jumlah Pemeluk Agama di Desa Kalangan
Agama
Jumlah
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
5.562
49
21
16
41
42
43
45
46
agama tertentu, dan sistem budaya tertentu. Bagi manusia Jawa, alam
semesta merupakan dunia keseluruhan yang mencakup dunia dan
alam. Alam semesta bersifat spiritual, sakral dan transeden. Alam
semesta merupakan lingkungan hidup manusia Jawa. Dimensi
manusia Jawa meliputi raga, jiwa, dan sukma. Alam semesta adalah
alam lahir (material), alam batin, dan alam gaib.
Agama dan kepercayaan apapun akan diterima oleh
masyarakat Desa Kalangan, sepanjang ajaran dan keyakinan tersebut
bisa melebur dengan makna keselarasan hidup sebagai manusia Jawa
yang ada dalam kejawen. Kejawen ada sejak jaman sebelum ada
agama yang diakui oleh negara saat ini.
2.4 Sistem Kekerabatan, Organisasi Sosial, dan Kemasyarakatan
2.4.1 Sistem Kekerabatan
Menurut Suseno dalam Wiranta (2013) masyarakat Jawa tidak
mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan
di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari
seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam
masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk
kerabat.
2.4.1.1 Pola Tempat Tinggal dan Kekerabatan
Perempuan yang tinggal di Desa Kalangan sebagian adalah
pendatang yang ikut dengan suami untuk tinggal di Desa Kalangan
setelah mereka menikah. Hal tersebut berdasarkan pola tempat
tinggal setelah menikah, yaitu perempuan setelah menikah akan
tinggal bersama dengan keluarga dari suami (virilokal). Sistem tempat
tinggal bisa tinggal di rumah sendiri yang berdekatan dengan keluarga
suami atau berada dalam kompleks rumah tinggal orangtua suami dan
saudara-saudara suami. Atau juga tinggal bersama dengan orangtua
suami. Sehingga dalam pola pengasuhan anak bisa dilakukan secara
bersama-sama. Baik itu orangtua, kakek-nenek (mbah kakung-mbah
putri), ataupun paman atau bibi (pakdhe-budhe, paklek-bulek).
47
48
Selain itu istri juga memiliki keputusan sendiri atas apa yang
harus dia lakukan, meskipun pengaruh dari keluarga besar dalam hal
ini adalah ibu mertua masih relatif kuat. Seperti yang terjadi pada
keluarga ibu P (24 tahun), ibu P yang masih muda menerima segala
masukan dari ibu mertua. Namun dia juga memutuskan bekerja di luar
rumah atas keputusan sendiri dan atas ijin suami, dengan alasan
keadaan ekonomi yang kurang memungkinkan. Namun dalam hal
menjalankan pantangan-pantangan saat kehamilan dan setelah
melahirkan, ibu P masih mendengarkan nasihat dari ibu mertua.
2.4.1.3 Pengasuhan Anak dan Nilai Anak
Dalam pengasuhan anak, tanggung jawab ada pada orangtua,
yaitu ibu. Namun apabila ibu bekerja, maka seorang anak akan diasuh
oleh keluarga luas. Seperti diungkapkan ibu P (24 tahun) berikut,
Pengasuhan kaliyan kulo kaliyan mbah e, bapak e, nggih sing selo
sinten (Pengasuhan anak sama saya, sama neneknya, bapaknya, siapa
saja yang sedang ada waktu). Dalam pemberian makan anak ibu P
bercerita sebagai berikut:
Angel maem e. Senenge soto. Daging paling nggih
disesepi mawon. Buwah, nopo-nopo purun, asal mboten
roti, emoh. Malah krowotan purun. Telo puhung. Paling
tumbas lele, terik. Jajan katut kancane. Kancane jajan
nggih melu. Permen nyuwun yen kancane tumbas. Mboten
saget dipenggah, pokoke karepe. Watuk dilarang, mboten
purun. Tirose mosok ora iso njajakke anake. Tapi nek lagi
kroso nggih mandeg piyambak. Anakku sampe tilem,
gampang yen tilem, mik susu sebotol mangke bubuk
maleh
(susah makan ini anak saya, sukanya makan soto. Daging
juga hanya dikunyah saja. Buah, apa-apa mau, asal bukan
roti dia tidak suka. Malahan umbi-umbian suka seperti
ketela, singkong. Paling juga beli lele, terik. Jajan biasanya
ikut sama temannya. Minta permen karena temannya juga
49
50
perkawinan yang sah, maka dalam tatanan Jawa, maka anak tersebut
tidak berhak atas harta dari orangtua.
2.4.2 Struktur Pemerintahan Desa Kalangan
Desa Kalangan merupakan salah satu desa yang berada di
wilayah Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah.
Dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang terpilih berdasarkan
pemilihan langsung oleh warga desa. Kepala Desa sekarang terpilih
berdasarkan pemilihan langsung tahun 2013, dengan masa jabatan
selama 5 tahun, dengan mengalahkan 6 dari total 7 kandidat
mencalonkan diri sebagai calon kepala desa.
Berdasarkan Peraturan Desa Kalangan Nomor 01 Tahun 2013
tentang Struktur Organisasi Tata Pemerintahan Desa Kalangan adalah
sebagai berikut:
51
52
53
54
55
56
atau sakit itu adalah rasa, ada di dalam hati, begitulah Bapak Pm (52
tahun) menjelaskan makna sehat dan sakit sambil meletakkan tangan
kanannya di dada.
2.5.2 Pilihan Rasional (Rational choice) terhadap Pelayanan
Kesehatan
Banyak pilihan pelayanan kesehatan di sekitar Desa Kalangan
dan Kecamatan Pedan. Baik itu praktek dokter swasta, dokter
spesialis, praktek bidan mandiri, klinik dan Rumah Sakit.
Keterjangkauan akses terhadap pelayanan kesehatan sangat mudah.
Selain Puskesmas Pembantu yang ada di Desa Kalangan, dengan bidan
desa sebagai pengampu kesehatan yang ada di desa, Desa Kalangan
dikelilingi oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
Di Kecamatan Pedan tercatat ada Rumah Sakit Mitra dan Rumah
Sakit IPHI yang ada di desa sekitar Desa Kalangan. Warga Desa
Kalangan tidak melulu bergantung pada pelayanan Bidan di
Puskesmas Pembantu. Mereka memilih selain berdasarkan jarak juga
berdasarkan rasional kecocokan dengan pemberi layanan kesehatan
yang ada. Seperti diungkapkan Ibu M (43 tahun) berikut ini:
...cocoke prikso teng pundi pilihane piyambak. Teng bu
bidan mboten piye-piye, kabeh apik niyate mbantu
masyarakat. Tapi nggih urusane piyambak-piyambak. Bu
bidan nggih sae teng masyarakat...(kulo) Sok Puskesmas,
teng mantri teng pundi mawon. Tapi kabeh apik. Pertama
kulo wedi kaliyan bidan, sanjange nate dawah. Tiyang
hamil kok diseneni. Demi ketenangan nggih pilih liyane.
Wong deso kan sok wedi. Nadane nggih ora penak. Sakit
niku butuh solusi ben ayem, mboten diseneni nadane.
Padahal nggih mboten, namung penerimaan kulo mboten.
Tiyang ngriki katah sing teng pedan, jambon, bidan liyane.
Pilihan lebih praktis, sing lengkap...Nggriyo ibuk kulo
ngajenge bidan. Nggo praktise mawon. Tapi kulo nggih
sanjang teng bidan ngriki prikso teng ngriko, tirose nggih
57
gak apa-apa tapi nadane kulo kroso. Pas sing nomer kalih
nggih teng Bidan Ceper, langsung dibersihin, lengkap
fasilitase. Kulo milih sing cocok. Nete pit ngriko kaliyan
bojo kulo. Pun sanjang bidan. Kan nggih pilihan sing penak
e. Ngriki nggih wonten sing cocok. Tiyang kan nggih cocokcocokan. Pilihan e dewe-dewe, tujuane nggih demi
kelancaran kelahiran, slamet. Kados teng Pedan dalane
saget lintang pundi-pundi. Bidan ngriki nggih teng
masyarakat baik. Kulo nggih sing disuwuni niku sehat.
Jarang mriksa-mriksake. Paling nggih masuk angin. Prikso
kesel. Lahiran niku perang syabil. Wong tuo niku yen
ngendiko tenanan. Nek lahir biasa metu jabang bayi
plong...
(...cocoknya periksa kemana itu pilihan kita sendiri. periksa
ke ibu Bidan tidak apa-apa, semua orang itu niatnya
membantu masyarakat. Ibu bidan juga baik kepada
masyarakat. Semua karena pilihannya sendiri-sendiri.
(saya) kadang periksa ke Puskesmas, ke Mantri, ke mana
saja. Semuanya bagus. Namun saya pribadi takut ke ibu
bidan karena waktu saya hamil pernah dimarahi. Demi
ketenangan, saya pilih periksa ke tempat lain. Saya orang
desa kan sering takut kalau diberitahu dengan nada suara
yang kurang mengenakkan. Padahal mungkin maksud ibu
bidan tidak begitu, ini hanya penerimaan saya saja. Orang
di dukuh ini banyak yang periksa ke Pedan, Jambon, atau
ke bidan lainnya. Lebih pada pilihan praktis dan
kelengkapan alat saja...rumah ibu saya dekat praktek
bidan, untuk praktisnya saya periksa di sana. Namun saya
lapor ke bidan disini. Waktu (keguguran) anak yang nomer
dua saya ke Bidan Ceper, penanganan cepat, lebih lengkap
fasilitasnya. Saya memilih yang cocok, ke tempat dengan
dibonceng sepeda oleh suami saya. Saya memilih berdasar
kecocokan, memilih yang enak. Disini juga ada yang cocok,
58
59
60
bidan Pustu pada saat ada pelatihan ibu hamil saat hamil
anak pertama dulu. Saya pikir Pustu hanya memberikan
pelayanan kepada orang sakit saja, bukan kepada ibu
hamil, saya tidak tahu. Waktu hamil anak pertama pernah
mendapat pengarahan kelas ibu hamil sebanyak 2x.
Tentang bagaimana saat hendak melahirkan, bagaimana
pecah ketuban, saya tidak komplit ikutnya waktu itu.
Sekarang ini tidak ada lagi kelas ibu hamil. Saat itu bidan
yang memberikan pengarahan. Ikut kelas ibu hamil hanya
saya sendirian tanpa suami, karena khusus ibu hamil. Saat
itu saya berangkat berboncengan dengan adik saya yang
juga hamil).
Pengetahuan mengenai kehamilan bisa didapatkan ibu hamil
melalui program kelas ibu hamil yang seharusnya diberikan secara
kontinyu dan berkesinambungan. Transfer pengetahuan juga bisa
dilakukan dalam sesi konsultasi ibu hamil dengan tenaga kesehatan.
intinya adalah komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan ibu
hamil.
2.5.4 Pengetahuan Kesehatan Tradisional
Pengetahuan terkait pengobatan tradisional secara mandiri
biasanya diturunkan dari orangtua ke anak. Seperti diungkapkan ibu P
(24 tahun) berikut:
...Anak lagi pilek, rada anget, ora doyan maem.
Diperiksano teng pak mantri adike (sepupu) kulo nyuwun
obat panase mawon, ndilalah tasih anget mawon. Tirose
disukani brambang, kaliyan minyak kayu putih, sak meniko
rodo kacek, brambang diparut dan minyak kayu putih,
dipanggang diblonyohe. Obat watuk disukani jeruk kaliyan
kecap. Disanjangi mbah e. Kulo nggih manut mawon. Radi
pas kebetulan wonten reaksine...
61
62
Kalangan atau luar kabupaten Klaten, bagi mereka hal tersebut sangat
mengherankan. Karena sudah tidak ada tata krama dalam berbahasa
pada masa dewasa ini. Menurut keterangan ibu F (27 tahun) berikut
ini:
kulo riyin wektu pertama kali pindah dateng Kalangan
mriki nggih kaget-kaget, benten sedaya kaliyan dateng
ndeso kulo piyambak. Bocah-bocah sami umbarumbaran. Lare alit menawi ngomong kaliyan tiyang nggih
mboten wonten unggah ungguhipun, kaliyan tiyang
sepuh nggih ngoko
(saya dulu waktu pertama kali pindah ke Kalangan juga
terkaget-kaget, berbeda dengan daerah tempat saya.
Anak-anak dibiarkan begitu saja. Anak apabila berbicara
dengan orang lain tidak ada kesopanan dalam berbahasa,
dengan orang yang lebih tua juga menggunakan bahasa
Ngoko)
Untuk memahami bahasa yang diungkapkan oleh masyarakat
Desa Kalangan adalah bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat yang
memiliki makna tersirat dibalik ucapan yang diucapkan.
Bahasa yang digunakan dalam acara-acara seperti pernikahan,
rapat desa, rapat kelompok kerja, perkumpulan kesenian adalah
bahasa Jawa krama inggil, yang harus memperhatikan kehalusan
dalam bertutur kata.
Dalam konteks bahasa sebagai alat komunikasi antara petugas
kesehatan di Desa Kalangan dengan penduduk setempat bisa menjadi
faktor penghambat yang penting dalam transfer pengetahuan
kesehatan. Bahasa bisa menjadi penghambat apabila ada perbedaan
pemahaman dalam penerimaan informasi dan dalam penerimaan
berdasarkan intonasi ucapan. Ada beberapa kasus dalam komunikasi
petugas kesehatan dengan masyarakat sebagai berikut: intonasi yang
keras dan tegas akan dipahami oleh sebagian masyarakat Jawa
63
64
Gambar 2.7 Motif Sekar Kurung Batik Bayat yang digunakan untuk
Upacara tujuh bulanan kehamilan (Mitoni)
Sumber : Dokumentasi Penelitian 2015
Gambar 2.8 Kain Tenun Lurik Pedan yang digunakan untuk upacara
Mitoni
Sumber : http://yuk-pintar.blogspot.com/2013/02/makalah-adat-dantradisi-tingkebanmitoni.html, diakses 29 Juni 2015
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
melahirkan, dilakukan di lantai tanah dan dialasi oleh tikar yang sudah
lusuh. Seperti diungkapkan oleh mbah H (101 tahun) mantan dukun
bayi di salah satu dukuh di Desa Kalangan sebagai berikut,riyin niku
nulung lahiran teng nggriyo, lair e teng jubin, digelari kaliyan kloso
amoh (dulu menolong kelahiran dilakukan di rumah, lahir di lantai
dan dialas dengan tikar lusuh). Pengalaman Bidan Desa saat pertama
kali bertugas di Desa Kalangan sekitar 17 tahun yang lalu, juga
menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut,dulu itu ngeri
menolong kelahiran disini, lahirnya dirumah, kondisi rumah warga
juga belum seperti sekarang ini, lahiran dilantai, sama dukun tidak
segera dirawat bayinya, yang didahulukan merawat ari-arinya, bayinya
digeletakkan begitu saja kedinginan.
Pada saat sekarang dukun Mbah H dan keturunannya Ibu S
sudah tidak menolong persalinan. Sudah bermitra dengan bidan dan
Puskesmas. Mereka hanya bertugas mendampingi ibu hamil di fasilitas
kesehatan. dan melakukan perawatan secara budaya kepada bayi
yang baru lahir.
77
BAB 3
KESEHATAN MASYARAKAT DESA KALANGAN
3.1 Penyakit Menular
3.1.1 Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) bervariasi
menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit
berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan dan efektivitas
pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk
mencegah penyebaran, faktor penjamu (usia, kebiasaan merokok,
kemampuan penjamu menularkan infeksi, status kekebalan, status
gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh
patogen lain, kondisi kesehatan umum dan karakteristik patogen,
seperti cara penularan, daya tular), faktor virulensi (gen penyandu
toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum)
(WHO,2007).
Berdasarkan data dari Puskesmas Kecamatan Pedan per Maret
2015, penderita penyakit ISPA yang berobat ke Puskesmas sebesar
436 orang dengan penderita merata dari usia kurang dari 1 tahun
hingga lebih dari 65 tahun.
Faktor lingkungan penyebab ISPA dikarenakan masyarakat
masih melakukan pembakaran untuk pengolahan sampah rumah
tangga.
78
3.1.2 Diare
Diare merupakan suatu kumpulan dari gejala infeksi pada
saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa organisme
seperti bakteri, virus dan parasit. Beberapa organisme tersebut
biasanya menginfeksi saluran pencernaan manusia melalui makanan
dan minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut (food
borne disease). Organisme penyebab diare biasanya berbentuk renik
dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan gejala klinisnya. Jenis yang pertama adalah diare cair akut
dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang besar
sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat.
Jenis kedua adalah diare akut berdarah yang sering disebut dengan
disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang
disebabkan akibat kerusakan usus. Balita yang menderita diare
berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak
pada penurunan status gizi. Jenis yang ketiga adalah diare persisten
dimana kejadian diare dapat berlangsung 14 hari. Diare jenis ini sering
terjadi pada anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam
kondisi infeksi (WHO, 2009).
Berdasarkan data dinas kesehatan Kabupaten Klaten yang
berasal dari data rekapitulasi Puskesmas Kecamatan Pedan tahun
2014, terdapat 834 orang dari berbagai kelompok usia menderita
diare. Penderita diare terbanyak adalah kelompok usia >15 tahun
sebanyak 426 orang dan usia 1-4 tahun sebanyak 244 orang (Dinas
Kesehatan Kabupaten Klaten, 2014). Sedangkan berdasarkan data
Puskesmas Kecamatan Pedan per Maret 2015, penderita diare yang
berobat di Puskesmas sebanyak 125 orang dari berbagai kelompok
usia. Penyakit diare di Desa Kalangan kemungkinan terjadi karena
faktor kebersihan yang kurang, kurangnya kesadaran mencuci tangan
menggunakan sabun, BAB sembarangan, dan sarana sanitasi air bersih
yang kurang di wilayah timur Desa Kalangan.
79
3.1.3 HIV/AIDS
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD)
Kabupaten Klaten, persebaran HIV/AIDS di Kabupaten Klaten
meningkat setiap tahunnya. Dari tahun 2007-2014 penderita HIV/AIDS
di Kabupaten Klaten mencapai 236 orang, dengan HIV sebesar 126,
AIDS sebesar 110, dan meninggal sebesar 31, Kecamatan Pedan
sendiri tercatat ada 12 orang (KPAD Kabupaten Klaten, 2014).
Tingginya kejadian HIV/AIDS di Kecamatan Pedan tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan tempat prostitusi yang ada di salah satu desa di
Kecamatan Pedan. Desa tempat prostitusi tersebut juga berbatasan
langsung dengan Desa Kalangan.
Berdasar keterangan Bapak E (25 tahun) bahwa banyak lakilaki dewasa dari Desa Kalangan yang sering berkunjung ke tempat
prostitusi tersebut. Bapak H (52 tahun) selaku ketua RW setempat
menyatakan bahwa wilayah prostitusi tersebut umumnya ramai
dikunjungi orang dari luar Pedan pada hari Pasaran Wage. Dengan
adanya prostitusi di wilayah tersebut dengan pengunjung dari
berbagai daerah, tidak bisa dipungkiri menjadi faktor risiko
penyebaran penyakit infeksi menular seksual dan HIV/AIDS.
3.2 Penyakit Tidak Menular
3.2.1 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)
dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner), dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai.
Penderita hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol
jumlahnya terus meningkat. Hipertensi merupakan silent killer dimana
gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
80
81
82
Jumlah
2
11
3
4
54
Gebungan
Balon dan Kampung Baru
Durenan
Ngentak
Batokan
Klampisan
Mancungan
Jagulan
Tawangsari
Kalangan
Trunan, Bunderan, dan
Jembunan
Belan
2
Jiworagan
1
Nayan
Total
20
Sumber : RPJM Desa Kalangan Tahun 2013
1
1
23
8
6
2
2
1
14
1
6
2
5
83
84
85
saudaranya dalam jangka waktu yang lama. Ada juga karena balita
takut ditimbang dan disuntik oleh bidan, maka balita menjadi rewel
dan menangis jika diajak ke tempat posyandu. Berikut adalah jumlah
Balita yang ditimbang per April 2015 di Desa Kalangan:
Tabel 3.2 Jumlah Balita diukur dan ditimbang, Tahun 2015
Bulan (2015)
S (Sasaran)
D (Ditimbang) N (Diukur dan
Ditimbang)
Januari
354
310
287
Februari
355
312
312
Maret
346
314
287
April
350
326
154
Sumber: Data Laporan Posyandu Desa Kalangan per April 2015
Ada pula orang tua yang tidak menginginkan anaknya
diimunisasi, tapi diperbolehkan untuk ditimbang saja, karena paham
keyakinan yang dimiliki orang tua. Seperti disampaikan oleh Bapak K
(28 tahun) berikut ini:
...Saya sudah bilang ke bu Bidan, anak saya tidak perlu
diimunisasi, cukup ditimbang saja, karena apa? karena
ASI sudah cukup untuk menjaga imunitas, di agama juga
sudah dijelaskan itu...
Terkait dengan penolakan imunisasi, maka Bidan Desa meminta
orangtua balita untuk menandatangani surat pernyataan penolakan
imunisasi.
Dalam kaitanya dengan tempat penimbangan balita, dari hasil
pengamatan pada beberapa Posyandu di Desa Kalangan masih
dijumpai beberapa hal yang kurang, yakni berkaitan dengan
kebersihan tempat penimbangan maupun kebersihan peralatan untuk
penimbangan.
Masih banyak dijumpai tempat Posyandu yang kurang layak,
bangunan sudah tua, dan kurang bersih, mainan untuk anak-anak di
sekitar tempat penimbangan banyak yang kotor. Alat timbangan dan
sarung timbangan yang dipakai juga kurang bersih. Kondisi timbangan
87
injak juga sudah pecah pada skala pengukurannya. Namun juga ada
posyandu yang sudah menjaga kebersihan tempat penimbangan
ataupun peralatan penimbangan.
Penimbangan bayi dan balita dilakukan oleh beberapa kader
posyandu. Di Posyandu Desa Kalangan banyak kader yang sudah
berusia diatas 50 tahun keatas, hanya beberapa saja yang muda.
Kejadian kekeliruan melihat skala ukur penimbangan sering terjadi,
dikarenakan faktor usia yang memungkinkan daya penglihatan kader
mulai berkurang. Selain itu pengaruh kebersihan dari timbangan
dacin, dapat menyebabkan angka menjadi tidak begitu jelas terlihat.
Yang seharusnya 12 kg bisa terlihat dan tercatat menjadi 10 kg
dikarenakan salah satu faktor tersebut.
88
89
keinginan bayi paling sedikit 8 kali sehari, saat pagi, siang, sore
maupun malam (Lyndon, 2014).
Warga Desa Kalangan sudah mengenal akan pentingnya ASI
eksklusif sebagai satu-satunya makanan buat bayi sekaligus untuk
daya imunitas agar bayi terhindar dari berbagai macam penyakit. Hal
ini karena banyaknya penyuluhan yang diberikan oleh Bidan ataupun
tenaga kesehatan setempat akan pentingnya ASI Ekslusif.
Berdasarkan observasi, banyak tempat pelayanan kesehatan
yang mencantumkan posterposter berisikan tentang pentingnya ASI
Ekslusif selama 6 bulan. Jalanjalan di kecamatan dan kota kabupaten
bisa ditemui baliho besar berisi ajakan untuk melaksanakan program
ASI Eksklusif.
90
hubungan batin antara ibu dan bayi akan terjalin secara kuat melalui
program IMD.
Dari hasil pengamatan Posyandu di Desa Kalangan, pentingnya
ASI Eksklusif juga sudah disampaikan kepada ibu. Ketika anak
mengalami panas setelah pemberian imunisasi dianjurkan
memberikan ASI saja, tidak perlu diberi obat penurun panas.
Produksi ASI secara alamiah karena terdapat hormon di dalam
tubuh ibu, yaitu hormon prolaktin yang sudah ada sejak ibu hamil. Hormon
prolaktin akan dihambat oleh hormon progesteron ketika ibu sedang hamil
sehingga tidak menyebabkan produksi ASI keluar ketika ibu sedang hamil.
Ibu setelah melahirkan dapat memberikan ASI pada bayi meskipun
adakalanya mengalami kesulitan karena ASI kurang lancar. Menurut Ibu S
(34 tahun), warga di Desa Kalangan meyakini bahwa dengan mengkonsumsi
jagung marning dapat memperlancar ASI.
3.3.4 Cuci Tangan Pakai Sabun
Cuci tangan pakai sabun (CTPS) adalah perilaku sehat yang terbukti secara
ilmiah dapat mencegah penyebaran penyakit menular seperti cacingan, diare, ISPA,
dan Flu burung (Buku Panduan Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia, 2012).
Perilaku cuci tangan pakai sabun masih belum menjadi
kebiasaan atau suatu yang rutin dilakukan oleh masyarakat di Desa
Kalangan. Terkadang masyarakat masih menggunakan air saja untuk
mencuci tangan. Cuci tangan pakai sabun hanya dilakukan apabila
tangan terlihat kotor setelah melakukan aktivitas seperti dari sawah,
membuat batu bata, ataupun sehabis buang air besar. Pengamatan
pada waktu kerja bakti dalam acara bersihbersih di lokasi makam
dukuh, ketika kegiatan selesai dan istirahat, warga dijamu untuk
makan di tempat pengurus kegiatan tersebut.
91
Gambar 3.5
Tempat Cuci
Tangan di
Ember Hitam
Sumber :
Dokumentasi
Penelitian
2015
92
Gambar 3.6 Sumur dan Kamar mandi warga berada di depan rumah
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Untuk bangunan rumah yang sudah modern umumnya kamar
mandi sudah berada di dalam rumah. Sebagian besar jamban warga di
Desa Kalangan sudah memakai jamban leher angsa. Namun masih ada
warga yang masih melakukan buang air besar (BAB) tidak di jamban
sehat. Di wilayah Dukuh Klampisan dan Ngentak belum semua warga
memiliki jamban sehat. Kondisi wilayah dengan banyak sawah, hutan
dan sungai memungkinkan warga untuk melakukan BAB
sembarangan. Meskipun di beberapa rumah sudah memiliki jamban,
namun saluran pembuangannya masih langsung ke sungai, belum
memiliki SPAL. Untuk itu desa melakukan program pembuatan jamban
sehat pada beberapa rumah yang belum memiliki jamban. Seperti
93
94
95
96
97
98
99
sampah berupa kaleng-kaleng, atau wadah yang tergenang air yang berasal dari
air hujan. Hal tersebut berpotensi menjadi tempat sarang nyamuk.
3.4
Gizi
Terkait masalah gizi, di Desa Kalangan ada 1 balita yang berada
dengan status T2 dan Bawah Garis Merah (BGM). Balita A, berjenis
kelamin perempuan, lahir pada tanggal 4 Januari 2014. Berikut Tabel
Perkembangan Balita A sejak usia 12 bulan hingga bulan April 2015,
saat Posyandu:
Tabel 3.3 Berat Badan dan Tinggi Badan Balita A, Tahun 2015
Bulan (2015)
BB (Kg)
TB (cm)
Januari
6
61
Februari
5,9
61
Maret
6
61
April
6,4
61
Sumber: Laporan Gizi Desa Kalangan, Puskesmas Pedan per April 2015
Menurut keterangan bidan desa, balita A memang memiliki
kelainan sejak lahir, sehingga perkembangannya menjadi lambat tidak
seperti Balita normal seusianya. Di samping itu, pola pengasuhan
Balita A juga terabaikan, karena faktor ekonomi keluarga.
Secara umum, pola makan dan asupan gizi warga Desa
Kalangan tercukupi dengan adanya penjual makanan olahan, baik itu
sayuran maupun lauk berprotein seperti tempe, ayam, telur, daging.
Banyak variasi makanan lokal yang mengandung gizi yang dengan
pengolahan yang baik akan menunjang gizi masyarakat. Karena
makanan di desa Kalangan bisa didapat dengan mudah dan murah.
Banyak pula acara adat tradisi masyarakat setempat yang
selalu membagikan makanan kepada seluruh warga desa seperti pada
acara hajatan pernikahan, khitanan atau kematian.
3.5
100
102
stakeholder
untuk
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
BAB 4
KEMATIAN BAYI DALAM BALUTAN MITOS, TRADISI, DAN PERUBAHAN
SOSIAL MASYARAKAT JAWA DI DESA KALANGAN
113
114
115
116
117
Gambar 4.2 Coretan arang dan kapur pada pintu sebagai simbol untuk tolak
bala pada rumah bayi
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
Selain pemberian simbol tolak bala pada proses penanaman
ari-ari bayi dan pintu rumah keluarga bayi, bayi sendiri juga diberi
pelindung berupa gelang merah di tangan kiri dan kanannya dan
dlingu bawang yang disematkan pada topi atau pakaian bayi, seperti
diungkapkan Ibu S (58 tahun) berikut ini:
...Gelangan niku selapan ditumbaske teng Pedan bakul
kembang. Abang-abang pun selapan, kagem tolak bala. Sok
saiki gelang emas. Dlingu bangle bawang lanang teng topi
kaliyan peniti ben mboten nopo-nopo, tolak bala, mboten
nangis
(gelang itu saat sudah selapan dibelikan di tukang bunga
di Pedan. Merah-merah menandakan bahwa bayi sudah
melewati 35 hari, buat menolak bala. Kadang sekarang
dipakaikan gelang emas. Dlingu, bangle, bawang lanang
ditaruh di topi dan peniti agar tidak terjadi apa-apa pada
bayi, untuk tolak bala, dan biar tidak menangis)
118
Gambar 4.3 Gelang merah dan dlingu bawang yang digunakan bayi
untuk tolak bala
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2015
4.1.2 Simbolisme Ibu dan Kesuburan
Bersih desa adalah salah satu alat membangun keselarasan
kehidupan antara manusia dengan alamnya. Bersih desa dahulu dilakukan
setiap kali panen padi. Mitos dan keselarasan tercermin pada cerita Bapak
P (90 tahun) terkait dengan kehidupan masyarakat petani di Desa
Kalangan pada masa dahulu. Mbah P sebutan yang biasa disematkan pada
lelaki tua berusia sekitar 90 tahunan. Tubuhnya masih tegap, dan dari
bibirnya masih sering terkepul asap rokok dalam setiap pembicaraannya.
119
Mbah P bercerita mengenai mitos Dewi Sri yang oleh beliau disebut
dengan Mbok Sri, sebagai berikut:
...Bersih dusun riyin jaman biyen jenenge bersih deso,
acarane biyen bersih dusun, tiap bibar panen. Istilahe
mboyong Mbok Sri. Mbok Sri sawah, panen, pari
dibundeli, saking sawah diemban jarik e anyar, tekan
omah diturokke, bantal sing apik. Terus dicentelke teng
tembok, sampe panen malih...
(acara bersih dusun pada masa lalu namanya bersih desa,
yang dilakukan setiap kali sehabis panen. Istilahnya
adalah memboyong Ibu Sri. Ibu Sri adalah simbol dari
sawah yang subur, panen melimpah. Padi diikat, dari
sawah digendong dengan menggunakan jarik yang baru
menuju ke rumah. Sampai di rumah ditidurkan dan diberi
bantal yang bagus. Kemudian digantung di tembok rumah
hingga musim panen berikutnya)
Hal tersebut memiliki makna bahwa upacara bersih desa pada masa
lalu dilakukan pada setiap kali panen padi dengan memberi penghormatan
kepada Dewi Sri yang memberikan kesuburan dan hasil padi yang
melimpah. Selain itu juga sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas
keberlimpahan panen padi saat itu, dan pengharapan atas keberhasilan
pada musim panen berikutnya. Dengan cara mempersonifikasi tokoh
Mbok Sri dalam wujud boneka yang terbuat dari ikatan padi, sebagai
tokoh ibu yang memberi kesuburan.
Tokoh Dewi yang dikaitkan dengan kesuburan padi di sawah
pada masyarakat petani di Jawa adalah Dewi Sri, dimana Sang Dewi
dianggap sebagai pemberi semangat dan daya hidup pada padi,
sehingga hasil panen menjadi melimpah (Daeng, 2012).
Pada adat Jawa, perempuan diberi kedudukan penting untuk dipersiapkan
dengan baik dan bertanggung jawab sebagai seorang ibu. Ibu merupakan
lambang kesuburan, yang akan mengantar anak-anak menjadi penerus generasi.
Penerus generasi yang baik bagi pribadi dan keluarga, bagi bangsa, bagi manusia
120
121
Makam-makam dan tempat yang dianggap keramat di dukuhdukuh dan sekitar Desa Kalangan, diungkapkan oleh Bapak K (52
tahun) berikut ini:
Mriki nggih Makam riwih sak riwih-riwihe riwih (sangat
keramat). Mriki wong nyalahi diwales, yen mboten nyalahi
mlebet nggih mboten nopo-nopo. Mboten bahaya.Yen
nyalahi koyo ngetok wit-witan, nanduri lemah, yen nyalahi
tetap diapesi. Kulo nate ngilike, demit podo nyingkir, setan
ora doyan, kabeh podo nyingkir, tiyang dukuh mriko,
dibongkok teng mriki mboten obah, nggarap teng mriki,
tiyange mboten obah, kados ditaleni. Tirose dewe e
dibebet ulo gede. Akhire suwe mati. Kulo elingke, ampun
ditampingi, dibubuti mawon. Kurang ombo tuku maneh.
Biyen dalan niki ombo, montor cukup riyin. Niki makam
sampun taon pinten mboten ngerti. Ki ageng bunderreso,
pangeran saking solo. Saking solo sedoyo. Sedoyo
pangeran kabeh. Sing paling ampuh kulo ngarani paling
dingge panyuwunan,umpamane arep njago lurah opo
nopo pegawai teng makam Belan. Sak wilayah kalangan
kaliyan desa-desa liyo nyuwun teng mriko, saking karang
wungu, ndalangan. Teng cungkupe ngriko. Lajeng nyuwun
nopo, mangke kepetuk niki, kepetuk niki, terus medal
gedok-gedok lawang,Wonten juru kuncine. Kados kepetuk
semut mboten ditampi, nopo tawon akeh. Kurang resik
pikirane, mboten ditampi. Ragu-ragu iya opo ora. Wijil
golek-golek duit njobo. Wijil kaliyan mriki beda wibawa,
niko trah saking pundi
(makam disini itu sangat menakutkan karena sangat
keramat diantara yang paling keramat. Orang yang
menyalahi masuk ke makam akan langsung dibalas, namun
kalau masuk tidak ada maksud salah apapun tidak akan
diapa-apakan dan tidak ada bahaya bagi diri orang itu.
Namun apabila bertindak menyalahi seperti memotong
122
123
124
125
126
127
128
di pabrik konveksi di Delanggu. Suami lulus SD, ibu P lulus SMP. Ibu Pk
yang merupakan ibu mertua dari ibu P, memiliki 9 orang anak yang
dilahirkan sendiri, sedang ibu P seorang piatu. Diceritakan ada riwayat
ibu kandung meninggal pada saat melahirkan anak ke-2 yaitu adik ibu
P, kedua ibu bayi tak tertolong, ibu P menyatakan hal tersebut untuk
adjust bahwa kejadian yang terjadi kepada anak ke-2 nya dikarenakan
sebab riwayat yang sama dengan ibu kandungnya. Berikut cerita ibu P
terkait kehamilan dan kelahiran anak ke-2 nya:
Kehamilan yang terakhir, perawatan kehamilan
bagaimana? Biasa mbak, periksa kalau ada keluhan nggih
periksa. Periksa ke Bidan Praktek Mandiri (BPM). Periksa
masuk usia kandungan besar. Tau hamil sekitar usia 3
bulan. Periksa ke BPM, lebih deket (dekat). Tapi alate
belum komplit. Ke dokter spesialis barang (juga). Nek
wong jowo danane kurang. USG sing celak-celak mawon.
Di USG nggih posisine melintang. Umur dereng wonten 8
(USG ke tempat yang dekat saja, posisi bayi masih
melintang saat USG sebelum 8 bulan). Sejak hamil muda
posisine sudah melintang, gak terasa. Ke BPM setiap ada
keluhan. Keluhane pegel-pegel ngoten niku nek wong
hamil. Saat itu dereng kerja teng pabrik. Namung teng
griyo. Ke pabrik nembe mawon, nggo ngilangi stres. Kan
spaneng wonten kejadian kelangan anak koyo ngunu.
Mikir gek biyen sempet stres. Posisi melintang kulo pikir
saged mapan balik kados anak sing pertama mbiyen.
Tirose doktere nggih saget mapan mangke. Bidan nggih
mboten tanglet kulo teng spesialis nopo mboten. Mung
tanglet USG? kulo jawab nggih mboten tanglet maleh dos
pundi hasile(keluhannya pegal-pegal kalau orang hamil
itu. Saat itu belum bekerja di pabrik, masih ada di rumah.
Kerja di pabrik baru saja, untuk menghilangkan stres
karena kepikiran baru kehilangan anak. Saya sempat stres
saat itu. Posisi melintang saya pikir bisa balik seperti anak
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
143
144
145
146
147
4.4 Tradisi
4.4.1 Tradisi selametan
Horner dalam Graburn (2001) menyatakan bahwa tradisi
adalah merupakan proses pewarisan dari generasi ke generasi yang
berupa adat atau proses pembelajaran yang melalui waktu yang lama.
tradition refers both to the process of handing down from
generation to generation, and some thing, custom, or
thought process that is passed on over time
Tradisi adalah bentuk-bentuk budaya yang dalam waktu yang
berubah ada keberlanjutan untuk diwariskan, diajarkan, terpelihara
dan tidak hilang. Sejalan dengan hal itu, Shanklin (1981) menyatakan
bahwa tradisi merupakan proses aktif dimana kepercayaan atau
keyakinan diwariskan dari generasi ke generasi, dan dibutuhan hanya
dua generasi saja yang menjalani dan mewarisi untuk bisa disebut
sebagai tradisi.
Tradisi berdasar adat Kejawen di Desa Kalangan sudah berlaku
pada beberapa generasi, meskipun dalam masa generasi satu ke
generasi berikutnya ada aktor-aktor yang memodifikasi tradisi sesuai
dengan perkembangan zaman pada masanya. Dalam setiap siklus
kehidupan dari kehamilan, kelahiran, remaja, nikah, hingga meninggal,
masyarakat Jawa di Desa Kalangan mengenal tradisi selametan.
4.4.2 Kehamilan : Neloni dan Mitoni
Upacara kehamilan ada dua ritual dilakukan pada masyarakat
Jawa di Desa Kalangan, yaitu upacara 3 bulanan dan 7 bulanan,
dikenal dengan istilah neloni dan mitoni atau tingkeban. Seringkali
pada masa sekarang neloni dan mitoni diringkas menjadi satu acara
saja. Ritual ini dilakukan pada saat kehamilan anak pertama memasuki
bulan ke-7. Dengan harapan bahwa jabang bayi yang sedang
dikandung mendapatkan keselamatan hingga saat kelahirannya tiba.
Ibu S ( 34 tahun) menjelaskan mengenai acara 7 bulanan yang
pernah dilakukan sebagai berikut:
148
149
150
151
152
154
155
156
159
160
161
162
163
164
165
166
etika dan martabat ketika membuka semua hal yang tidak seharusnya
dengan bahasa yang terang dan jelas. Bloko Suto pada masyarakat
Desa Kalangan bermakna keterusterangan tentang diri dan sekitar
menurut pandangan diri sendiri berdasar pengalaman dalam proses
kehidupannya. Sehingga satu sama lain terkesan seolah-olah tidak ada
benang merah yang menghubungkan.
Bloko Suto sebenarnya adalah keinginan terpendam dari
masyarakat Desa Kalangan yang secara psikologis ingin
mengungkapkan segala sesuatu secara jujur dan terbuka, namun hal
tersebut terbatasi oleh nilai-nilai lain yang bertentangan dengan
makna Bloko Suto itu sendiri.
Goffman (1984) dalam teori Dramaturgi menyatakan bahwa
kekhususan yang ditampilkan pada khalayak adalah sebagai poin
utama. Kesesuaian dari teori ini dapat diterapkan pada tipikal
masyarakat Jawa Desa Kalangan. Goffman membagi Regions sebagai
tempat dimana performance tersebut dilakukan, menjadi 3 bagian
yaitu (1) front region, (2) back region, (3) third region/the outside.
Front region merupakan tempat dimana penampilan diberikan,
yang di dalamnya sudah ada setting yang menunjang. Tipikal
masyarakat Desa Kalangan juga begitu, dimana sekalipun kondisi
kesehatan masyarakat kurang bagus (kasus kematian bayi tinggi),
padahal pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan cukup memadai,
namun perfoma dari luar haruslah tampak bagus. Penampilan individu
di front region dilihat sebagai upaya untuk memunculkan penampilan
bahwa aktivitas di region ini tertata dan mewujudkan standar-standar
tertentu. Standar bagi masyarakat Jawa adalah standar kesopanan,
keelokan, dan simbol-simbol yang dipercaya mendatangkan kebaikan
atau keburukan bagi individu maupun masyarakat, walaupun secara
realitas tidak demikian adanya.
Sejalan dengan hal itu, Goffman menunjukkan standar pada
front region terbagi menjadi 2 kelompok yaitu (1) Berkaitan dengan
cara penampil memperlakukan audience, dengan megikutsertakan
dalam percakapan atau melakukan isyarat tubuh yang bisa dimengerti
167
168
lebih muda kurang bisa berperan karena posisi mereka yang lebih
muda, akibat sistem stratifikasi kesenioran masih berlaku. Selain itu,
juga berlaku bahwa istri dari perangkat desa harus menjadi kader.
Tidak adanya pembagian peran yang jelas dalam Posyandu,
dan tidak adanya insentif atas kesediaan menjadi kader Posyandu
menjadi keogahan seseorang menjadi kader. Semua sama rata, tidak
ada pemimpin dalam kelompok kader, yang ada pemimpin definitif
dikarenakan sebagai istri perangkat, yang juga masuk menjadi anggota
Pokja (Kelompok Kerja), yang tidak mengetahui tugas dan fungsinya
membuat peran dari kader Posyandu kurang begitu penting. Bidan
yang seharusnya berperan sebagai sentral keberhasilan kader
Posyandu memiliki beban yang berat. Apalagi hubungan antara bidan,
kader, dan masyarakat pengguna layanan Posyandu memiliki rasa
prasangka antara satu dengan yang lain.
4.6.2 Pemimpin Lokal dan Kerjasama Lintas Sektor (faksi-faksi)
Faksi dalam hal ini diartikan sebagai kelompok kepentingan.
Satu orang bisa memiliki banyak faksi. Tidak ada penguasa sentral
yang paling disegani dan dipatuhi oleh masyarakat Desa Kalangan,
padahal secara budaya paternalistik khas Jawa, warga masyarakat
tunduk pada segala perintah dan titah pemimpin mereka
sebagaimana kepatuhan kawula kepada Rajanya.
Masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lama, adat
istiadat Jawa diampu oleh para golongan tua, sesepuh-sesepuh yang
berusia di atas 60 tahun. Mereka masih memegang teguh adat dan
kesenian lokal. Berbeda dengan generasi berikutnya yang kurang
mengindahkan dan memahami nilai-nilai Jawa, karena alasan
kepraktisan. Namun golongan muda ini tidak serta merta
meninggalkan seluruh tradisi dan mitos yang masih diyakini.
Lebih berat lagi, golongan tua juga berfaksi dari golongan
kesenian, golongan tani, golongan pengusaha kecil tahu tempe yang
bergabung dalam wadah koperasi. Faksi antar dukuh dan keturunan
leluhur yang ada di makam dukuh. Tiap dukuh merasa menjadi yang
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Riset etnografi kesehatan yang dilakukan di Desa Kalangan,
Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah terkait
dengan budaya yang melatarbelakangi kejadian kematian bayi dan
balita dapat ditarik benang merah kesimpulan potensi dan tantangan
pembangunan kesehatan di Desa Kalangan sebagai berikut:
5.1.1 Potensi
Secara geografis wilayah Desa Kalangan terletak di Kecamatan
Pedan, Kabupaten Klaten, memiliki tekstur tanah dataran yang luas
dan subur, sehingga mayoritas aktivitas ekonomi penduduknya masih
bergantung pada sektor pertanian. Selain sektor pertanian, sebagian
penduduk di Desa Kalangan bekerja di sektor industri. Hal ini
dimungkinkan karena di wilayah ini terdapat banyak industri yang
berkembang sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, antara
lain industri gula, rokok, sepatu, garmen/tekstil, dan sebagainya.
Mobilitas dan aksesibilitas penduduk Desa Kalangan ke dunia
luar untuk berbagai kepentingan, termasuk pelayanan kesehatan
dapat dilakukan dengan mudah dan cepat karena akses terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan banyak tersedia. Selain ada Puskesmas
Pembantu dan Praktek Mantri di Desa Kalangan, di sekitarnya juga ada
dokter praktek, Bidan Praktek Mandiri, dan Rumah Sakit Swasta.
Rumah sakit rujukan yang ada di Ibukota Kabupaten Klaten bisa
ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu sekitar 30 menit.
Pada unit pelayanan kesehatan paling bawah, Desa Kalangan memiliki
Kader Posyandu sebanyak 35 orang yang tersebar di 7 kelompok kerja
Posyandu, dapat menjadi sumber daya kesehatan yang potensial bagi
desa ini bila peran dan partisipasi mereka lebih diperdayakan. Dalam
konteks pemanfaatan pelayanan kesehatan biomedis, secara faktual
tampak bahwa tingkat kunjungan pemeriksaan ibu hamil pada tenaga
kesehatan rata-rata cukup tinggi. Hal ini menandakan bahwa
182
183
184
185
sacred, keep the faith, and keep harmony, akan sejalan dengan Visi
dan Misi Kabupaten Klaten yaitu terpenuhinya seluruh kebutuhan
dasar masyarakat yaitu wareg, waras, wasis, wutuh, dan wismo.
Semoga Visi dan Misi tersebut segera dapat terwujud. Aamin.
186
EPILOG
REFLEKSI PENELITIAN ETNOGRAFI KESEHATAN
Batasan
Batasan utama dari penelitian ini adalah batasan waktu. Satu
bulan di lapangan untuk penggalian mendalam mengenai nilai dan
budaya yang dianut warga masyarakat Kalangan terasa sangat kurang
memadai. Apalagi pada kelompok masyarakat yang penuh kehatihatian dalam bertindak, berucap dan berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Perubahan-perubahan kecil maupun besar yang terjadi
dalam kehidupan mereka acapkali menimbulkan friksi-friksi. Gosip,
rasa keingintahuan, dan prasangka yang kerap muncul di lapangan
membuat penelitian ini seolah berjalan sangat lambat untuk
menemukan benang merah permasalahan yang menjadi latar
belakang kultural atau penyebab tidak langsung kejadian kematian
bayi dan balita pada masyarakat etnis Jawa di Desa Kalangan.
Sekalipun peneliti berlatar belakang budaya Jawa, lebih
tepatnya budaya Jawa Timur, namum tetap merasa dan mengalami
kesulitan dalam memahami nilai budaya yang berlatarbelakang Jawa
Tengahan. Dalam komunikasi misalnya ada perbedaan nillai yang
mendasar antara Jawa Timuran dengan Jawa Tengahan. Jawa Timur
dengan budaya arek dan budaya pesisir lebih menekankan kepada
keterbukaan dan bersifat apa adanya. Sedangkan budaya Jawa Tengah
Mataraman pengaruh dari budaya Kraton Kasunanan Surakarta
mengutamakan kesopansantunan dan bahasa simbolik yang
diucapkan tidak secara terang-terangan. Keterusterangan dan
penyampaian maksud dengan bahasa yang bersifat langsung di
masyarakat Jawa Tengahan dianggap sebagai cara yang kurang sopan,
tidak pantas, dan bisa menyakiti hati orang. Adanya perbedaan
tersebut, dan keterbatasan waktu di lapangan menyebabkan upaya
memahami keterkaitan nilai budaya lokal dengan permasalahan KIA di
wilayah penelitian secara mendalam dan holistik sebagai ciri riset
etnografi tidak sepenuhnya terpenuhi.
187
188
189
190
DAFTAR PUSTAKA
191
192
193
194
Development
Goals,
diakses tanggal 27
195
196
INDEKS
A
Alam
kekuatan alam, fenomena
alam,
52
ASI
ASI eksklusif, ASI non
eksklusif, kolostrum, IMD,
menyusui, melancarkan ASI
7, 10, 94, 97, 99, 100, 101,
102, 161, 162, 163, 220
ASI eksklusif
IMD 7, 94, 100, 101, 161
B
BBLR
prematuritas murni,
dismatur 6, 9, 10, 15, 114,
115, 127, 128, 220
Bencana
gempa yogyakarta, gunung
kelud, gunung merapi 37,
180
Budaya6, 9, 52, 198, 204, 209,
212, 214, 217, 219
C
Cikal bakal
mulyorejo, bunderrekso,
trokejun, pabelan,
jiworagan, mancungan 41
CTPS
102, 103
E
Etnografi
etnografi kesehatan,
kualitatif, observasi
partisipatif, wawancara
mendalam, triangulasi 15,
16, 17, 201, 208, 209
G
Geertz
simbol, makna, budaya 9
Gizi
status gizi balita, BGM, T2,
stunting112, 114, 127, 213
I
Imunisasi
DPT, Penta, Polio, Hepatitis,
BCG, Campak
95
Indeks
13, 214, 220
infeksi menular seksual
sifilis, gonore, chlamydia
trachomatis, vaginosis
bakterial, trikomoniasis,
197
198
Kesehatan
KIA, bayi, balita 6, 7, 113,
185, 198, 204, 213
Kesenian
batik, lurik, laras madya,
gadonsari, karawitan,
ketoprak, campursari71, 74,
76, 77, 78, 79, 80
Klaten
melati, kelati6, 12, 13, 14,
15, 16, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
31, 32, 35, 36, 42, 45, 57,
70, 71, 79, 80, 88, 89, 91,
92, 93, 94, 101, 113, 114,
115, 121, 140, 143, 148,
149, 159, 183, 191, 194,
201, 204, 205, 208, 210,
212, 214, 216, 221, 222
M
MDGs
post MDGs, child and
maternal health14, 213, 221
Miles dan Haberman
analisis data, reduksi,
pemaparan, penarikan
simpulan
16
Mitos
kepercayaan, keyakinan,
sakit, kematian, keselarasan,
R
Riskesdas
Riskesdas 2007, Riskesdas
2010, Riskesdas 2013, IPKM
10, 11, 12, 127, 222
Rivers
wellin, sorcery,
countersorcery,
supranatural
2
S
Sejarah
majapahit, demak,
mataram, kolonial belanda,
jepang, PKI, kemerdekaan
21, 26, 29, 30, 37, 42, 192,
216
Sistem
sistem medis, tradisional,
sistem teori penyakit, sistem
perawatan kesehatan1, 2, 3,
46, 53, 54, 95, 119, 216
Sistem religi
agama, kepercayaan, islam,
kristen, NU, Muhamadyah,
LDII, MTA, kejawen
46
Sosial
Peran sosial, status sosial,
sistem sosial, pranata sosial,
perubahan sosial, aktor
199
200
T
Tradisi
selametan, neloni, mitoni,
ruwatan, bersih desa,
nyadran, ruwahan6, 7, 163,
164, 169, 175, 177, 179,
194, 196, 198, 202
GLOSSARIUM
A
ASI Eksklusif: Air Susu Ibu yang diberikan khusus kepada bayi dari usia
0-6 bulan, tanpa diberikan makanan tambahan selain ASI
ANC: Ante Natal Care
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome
B
Bloko Suto: keterbukaan, terus terang
Balak: membatalkan
BBLR: Bayi Berat Lahir Rendah
C
Cecolo: mengawali obrolan
D
Danyang: cikal bakal; leluhur; orang yang pertama kali tinggal di
daerah tertentu dan meninggal dan dimakamkan pertama kali di
daerah tersebut.
E
Elok: bagus
G
Gadonsari: kesenian musik tradisional Jawa
Gestok: sebutan warga Kalangan terkait masa PKI
201
H
HIV: Human Immunodeficiency Virus
IUFD: Intra Uteri Fetal Death; kematian janin di dalam kandungan
IMS: Infeksi Menular Seksual
IPKM: Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia
ISPA: Infeksi Saluran Pernapasan Atas
K
Kalang: lingkungan yang dibatasi
Kalangan: arena pertarungan, area yang luas
KJB: Kelainan Jantung Bawaan
Karawitan: kesenian musik tradisional Jawa
Ketoprak: seni peran tradisional Jawa
K1: pemeriksaan kehamilan pertama kali
K4: pemeriksaan kehamilan dengan frekuensi minimal 4 kali selama
masa kehamilan
Kiai Melati: nama seorang kiai yang pada kurang lebih 560 tahun yang
lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara dan
menetap di tempat tersebut, yang sekarang menjadi Klaten.
Kejawen: budaya yang dibentuk oleh Kerajaan Mataram yang
bersumber pada pengaruh dari dalam (internal) dan dari luar
(eksternal) yang berupa alam semesta, kebajikan dan ajaran pribadi
manusia tertentu, mistisisme atau kepercayaan dan kebatinan, agama
tertentu, dan sistem budaya tertentu.
202
L
Larasmadya: kesenian musik tradisional Jawa
Lurik: kain tenun khas Kecamatan Pedan, Klaten
M
Mataraman: budaya yang dibentuk oleh Kerajaan Mataram
Mujahadah: mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri
dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah
SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal.
MDGs: Millenium Development Goals
P
Pedan; Pepedan: merata; hari baik untuk menanam padi; yang
terakhir
R
Ruwatan: salah satu media masyarakat Jawa untuk membuang
ketidakberuntungan dalam menjalani kehidupan dari seseorang agar
terjadi keseimbangan.
Riskesdas: Riset Kesehatan Dasar
S
Selametan: tradisi Jawa yang dilaksanakan untuk keselamatan dalam
setiap siklus kehidupan manusia.
T
TORCH: Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus dan Herpes
203
204
205
TENTANG PENULIS
Weny Lestari, S.Sos., M.Si., mendapat
gelar sarjana S1 Antropologi dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga Surabaya tahun 2001, dan S2
Magister
Antropologi
dari
FISIP
Universitas Indonesia Depok tahun 2011.
Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda
dengan kepakaran di bidang Medical
Anthropology di Pusat Humaniora
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Badan Litbangkes Kemenkes
RI sejak tahun 2006 sampai sekarang.
Telah menerbitkan beberapa buku al:
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan
Anak, Etnik Toraja Sadan (2012), Pasung
dan Keterpasungan Sistim Medis (2014),
dan Konstruksi Sosial Masyarakat
Perdesaan dan Perkotaan di Balik
Fenomena Balita Pendek (Stunting) di
Kabupaten Jember (2015).
Email: weny716@gmail.com atau
weny_l@litbang.depkes.go.id
206
207