Vous êtes sur la page 1sur 42

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Hubungan Faktor Umur dengan Kejadian Asthma Bronchiale pada Pasien
Pengunjung di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Penyusunan skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep).
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangannya baik dari segi teknik penulisan maupun isi
materinya. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta
kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada :
1. Bapak dr. Hamzah, MM selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tri Mandiri
Sakti Bengkulu.
2. Bapak dr. Soelaksono Talkuto, DTM&H selaku Ketua Jurusan Keperawatan
sekaligus Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada
penulis.
3. Bapak Drs. Buyung Keraman, M. Kes selaku Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.
4. Bapak/Ibu dosen Jurusan Keperawatan dan Staf Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Tri Mandiri Sakti Bengkulu yang telah banyak memberikan kesempatan dan
pengetahuan kepada penulis.

5. Bapak/Ibu seluruh staf ruangan tempat penelitian di RSUD Dr. M. Yunus


Bengkulu yang telah ikut berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaan
penelitian penulis.
6. Dewan Penguji yang telah memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
7. Ayahanda dan ibunda yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun
material dan terima kasih atas doa restunya.
8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013.
Akhir kata penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan dalam penulisan ini. Oleh karena itu sumbangan gagasan kritik dan
saran yang dapat menambah kelengkapan penulisan ini sangat kami hargai.
Dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-mudahan tulisan ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Bengkulu,

April 2013

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................


KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................

1.2. Perumusan Masalah......................................................................

1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................

1.4. Manfaat Penelitian........................................................................

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Asthma Bronchiale......................................................................

2.2. Asthma Akut dan Status Asthmatikus.........................................

22

2.3. Umur dan Aspek Imunologis......................................................

24

2.4. Hubungan Umur dengan Kejadian Asthma.................................

35

2.5. Faktor-faktor Yang Mengaktifkan Asthma..................................

40

2.6. Diagnosis Banding......................................................................

41

2.7. Kerangka Konsep........................................................................

43

2.8. Definisi Operasional....................................................................

43

2.9. Hipotesis......................................................................................

44

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional seperti yang ditetapkan dalam

GBHN, maka tujuan umum pembangunan kesehatan untuk mengusahakan


kesempatan yang lebih luas lagi bagi setiap penduduk untuk memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya dengan mengusahakan kesehatan yang lebih luas
dan lebih merata serta dengan adanya peran aktif masyarakat.
Dalam program WHO untuk mewujudkan kesehatan secara optimal bagi
individu, keluarga dan masyarakat di perlukan beberapa bentuk pelayanan
keperawatan khususnya pelayanan keperawatan asthma bronchiale, karena asthma
bronchiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan menyempitnya jalan
napas reversible maka gambaran klinik dari asthma bronchiale memperlihatkan
variabilitas yang besar, baik diantara penderita asthma bronchiale secara individu
sepanjang waktu. (Depkes RI, 2002)
Asthma bronchiale merupakan penyakit saluran napas kronis yang penting
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di
seluruh dunia. Kemajuan ilmu dan teknologi dibelahan dunia ini tidak sepenuhnya
diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asthma bronchiale, hal itu tampak dari data
berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat
inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asthma bronchiale. Kesepakatan
bagaimana menangani asthma bronchiale dengan benar yang dilakukan oleh National

Institute of Health National Hearth Long and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama
dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk para
dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asthma bronchiale.
Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat diajukan dipakai di seluruh dunia
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan di negara masing-masing. Dihadapkan
dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asthma bronchiale dengan
tepat dan benar baik yang bekerja dilayanan kesehatan dengan facility minimal di
daerah perifer maupun di rumah sakit dengan facility lengkap di pusat-pusat kota.
Penatalaksanaan asthma bronchiale ini bertujuan mendapatkan asthma
bronchiale yang terkontrol, yaitu keadaan optimal menyerupai orang sehat sehingga
penderita dapat melakukan aktivitas seperti orang normal dan ingin meningkatkan
quality hidup penderita. Asthma bronchiale adalah penyakit yang menyebabkan
perubahan, berupa obstruksi saluran nafas yang terjadi pada bronkus ukuran sedang
dan bronkiolus dengan diameter 1 mm, penyempitan jalan nafas disebabkan oleh
bronkosspasme, edema mukosa, dan hipersekresi mucus yang kental (Sylvia, 1995).
Dari hasil survey awal, penulis dapatkan data kejadian Asthma bronchiale
yang berobat di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2004 sebanyak 253 kasus dan
tahun 2005 sebanyak 554 kasus, dan ditemukan juga bahwa jumlah kasus asthma
bronchiale dewasa lebih banyak. Jadi terjadi peningkatan jumlah kasus asthma
bronchiale dua kali lipat dari tahun 2005 dibandingkan tahun 2004 dan dengan kasus
lebih banyak pada usia dewasa. Asthma bronchiale masa kanak-kanak adalah suatu
masalah kesehatan masyarakat yang berbahaya lebih dari setengah semua kasus
asthma bronchiale terdapat sebelum usia 10 tahun. Kini lebih dari 30% anak-anak

mengalami penyakit mengi selama tahun pertama kehidupan dan 10%-20% akan
menderita asthma yang didiagnosis pada akhir masa kanak-kanak. (John Ress, John
Price 1997). Dari data WHO Report 2001 menunjukkan 5 penyakit paru utama adalah
merupakan penyebab dari 17,4% kematian di dunia salah satunya adalah asthma
bronchiale 0,3 %.
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan suatu
penelitian secara lebih mendalam tentang hubungan faktor umur dengan kejadian
asthma bronchiale pada pasien pengunjung RSUD dr. M. Yunus Bengkulu selama
tahun 2004 dan tahun 2005.

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan

masalahnya yaitu apakah ada hubungan faktor umur dengan kejadian asthma
bronchiale pada pasien pengunjung RSUD dr. M. Yunus Bengkulu selama tahun
2004 dan tahun 2005.

1.3.
1.3.1.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran kejadian asthma bronchiale pasien pengunjung

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu menurut umur pada tahun 2004 dan tahun 2005.

1.3.2.
1.

Tujuan Khusus
Untuk mengetahui gambaran kejadian asthma bronchiale pasien pengunjung

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu menurut umur pada tahun 2004 dan tahun 2005.
2.

Untuk mengetahui hubungan faktor umur dengan berat ringannya asthma


bronchiale pada pasien pengunjung RSUD dr. M. Yunus Bengkulu selama tahun
2004 dan tahun 2005.

1.4.

Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Pendidikan


Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan meningkatkan
pengetahuan mahasiswa-mahasiswi STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu.
1.4.2. Manfaat Bagi Rumah sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi rumah sakit dan dapat
diambil suatu kebijakan untuk saat yang akan datang.
1.4.3. Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
masyarakat dan keluarga yang menderita asthma bronchiale.
1.4.4. Manfaat Bagi Penulis
Hasil penelitian ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis
yang telah dapat menerapkan ilmu yang di dapat selama pendidikan di STIKES Tri
Mandiri Sakti Bengkulu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asthma Bronchiale


2.1.1.

Pengertian Asthma Bronchiale


Asthma bronchiale adalah penyakit yang ditandai dengan respons bronkoreseptor

yang berlebihan terhadap banyak stimulasi yang menyebabkan limitasi (kesulitan) paroksimal
aliran napas dan mengi Asthma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD),
adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas riversibel yang ditandai dengan
bronchospasme, inflamasi dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai stimulan
(Suriadi, 2001).
Asthma bronchiale adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan gejala adanya penyempitan jalan nafas secara
menyeluruh yang beratnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan. (Soeparman, 1994).
Asthma bronchiale adalah keadaan klinik yang ditandai oleh massa penyempitan
bronkus reversibel, dipisahkan oleh massa dimana ventilasi mendekati normal. (Sylvia A,
1995).
Asthma bronchiale adalah penyempitan bronkus yang bersifat reversibel yang terjadi
oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen (Tabrani, 1996).

2.1.2.

Patofisiologi Asthma Bronchiale


Menurut Tabrani (1996), yang sering terserang adalah bronkus dengan ukuran 3-5

mm, akan tetapi distribusinya meliputi daerah yang luas. Walaupun asthma pada prinsipnya

adalah suatu kelainan pada bagian jalan pernafasan, akan tetapi dapat pula menyebabkan
terjadinya gangguan pada bagian fungsional paru. Gangguan ini disebabkan oleh karena :
1. Peningkatan resistensi udara respirasi dimana akan mengganggu rasio ventilasi perfusi
2. Terdapatnya air tapering (perangkap udara) menyebabkan seolah-olah volume inspirasi
lebih besar dari ekspirasi
3. Terdapatnya mucus dengan viskositas yang tinggi di dalam lumen bronkus dimana dapat
menimbulkan gangguan ventilasi, dapat menyebabkan terjadinya obstruksi total
4. Selain bronkospasme dapat pula terjadi edema pada saluran pernafasan yang mana dapat
mengganggu pertukaran gas di dalam sistem pernafasan
5. Pada setiap serangan yang pertama produksi mucus selalu bertambah
6. Infeksi yang menghasilkan eksudat dapat mengganggu bagian jalan pernafasan maupun
fungsional dari jaringan
7. Pada tingkat permulaan dari suatu asthma yang berat PaCO2 dan pH darah selalu konstan
Menurut Suriadi (2001) patofisiologi Asthma Bronchiale adalah :
1.

Adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon


terhadap bahan iritasi dan stimulus lain

2.

Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi


spasme dan zat antibody tubuh muncul (immunoglobulin E atau IgE) dengan adanya
alergi. IgE dimunculkan pada reseptor sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamin
dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma

3.

Respon asthma terjadi dalam tiga tahap ; pertama tahap immediate yang
ditandai dengan bronkokontriksi (1-2 jam), tahap delayed dimana bronkokontriksi dapat
berulang 4-6 jam dan terus menerus 2-5 jam lebih lama; tahap late yang ditandai dengan
peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan

4.

Asthma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan,


dan udara dingin

5.

Selama serangan asthma, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan


sekresi mokus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian
meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distress pernafasan

6.

Pasien yang mengalami asthma mudah mengalami inhalasi dan sukar


dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas. Ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli
dan perubahan pertukaran gas. Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat
ventilasi dan saturasi O2, sehingga terjadi penurunan PO2 (hypoxia). Selama serangan
asthma, CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan
menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan
mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi
tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO 2 dalam darah
(hypocapnea)

2.1.3.

Gejala Klinis
Gejala klinis asthma pada umumnya dikenali berdasarkan gejala-gejalanya, dengan

gejala yang sering terlihat adalah:


1.

Batuk-batuk kerap kali menjadi tanda awal asthma kadang kala batuk
menimbulkan lendir yang mungkin berwarna putih atau, bila ada infeksi warnan kuning
atau hijau.

2.

Dada tertekan, orang menderita asthma biasanya mengatakan


dadanya terasa tertekan. Pasien akan mengatakan sepertinya ada beban yang berat di atas
dadanya.

3.

Mengi, bunyi mengik dari nafas yang keluar

4.

Nafas pendek, sensasi yang tidak tuntas setiap kali bernafas, tidak
lega sebelum nafas berikutnya. merasakan gejala seperti ini tidak berarti menderita

asthma, sebenarnya nafas pendek ini lazim terjadi bila orang terasa tertekan atau penderita
akan terasa seperti tercekik mati (Roy, 1997).
2.1.4.

Etiologi
Penyebab asthma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama ialah

reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus). Hiperaktivitas bronkus itu
belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian system
adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus parasimpatik. Keadaan
demikian menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan
sehingga terjadi spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas
atau iritabilitas tersebut.
1. Faktor Pencetus Utama Asthma
a.

Faktor ekstrinsik : reaksi antigen-antibodi, karena


inhalasi allergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang).

b.

Faktor instrinsik : infeksi, para influenza virus,


pneumonia, mycoplasthmal, kemudian dari fisik cuaca dingin, tambahan temperatur,
intan kimia, populasi udara (CO, asap rokok, parfum).

c.

Parasit debu
Penyebab utama dari reaksi alergi, makhluk mikroskopik ini berasal dari tempat-tempat
berharga seperti karpet/ sprei dirumah yang panasnya terputus. Makhluk ini hidup
dengan memakan kulit mati yang jatuh dan terkelupas dari tubuh kita.

d.

Kotoran hewan campuran antara rambut, bulu, sisi


dan ceceran urine.

e.

Serbuk-serbuk rumput, pepohonan, semak belukar

f.

Polusi udara
Pembuangan asap mobil, kabut campur asap dari industri, asap dari pembakaran
batubara dan asap rokok. Asap tembakau, khususnya dianggap sebagai problem utama

pengidap asthma dan orang tua dari anak yang mengidap asthma harus menjauhkan
anaknya dari tempat-tempat orang merokok.

g.

Kondisi cuaca yang berubah


Pencetus asthma yang serius terjadi dalam pernafasan pada udara kering dan debu
selama gerak tubuh pada cuaca panas atau menghirup hawa dingin (di musim dingin).

h.

Berat tubuh
Reaksi seorang pengidap asthma pada gerak tubuh yang berat bisa terjadi secara tibatiba/selambat-lambatnya lima/sepuluh menit setelahnya.

i.

Alergi makanan
Produk-produk makanan kadangkala sebagai pemicu asthma, misalnya penggunaan
bahan pengawet (MSG), bumbu yang berlebihan.

j.

Hormon-hormon
Sebagai wanita terpengaruh oleh perubahan-perubahan pada hormon.

k.

Infeksi (Virus dan bakteri)

l.

Obat-obatan
Misalnya tablet-tablet anti peradangan non-steroid

m.

Jamur

2. Faktor Resiko Terjadinya Asthma


Resiko berkembang asthma merupakan infeksi antara faktor penjamu (host faktor) dan
faktor lingkungan.
a.

Faktor Penjamu
1)

Predisposisi genetik

2)

Hiperaktivitas bronkus

3)

Alergi / atopik

4)

Ras / etnik

b.

Faktor Lingkungan
1)

Alergi di dalam ruangan


a)

Alergi binatang

b)

Alergi insekta

c)

Jamur (fungi, molds, yeast)

2)

Alergi di luar ruangan


a)

Tepung sari bunga

b)

Jamur (fungi, molds, yeast)

3)

Bahan di lingkungan kerja


Asap rokok :
a)

Perokok aktif

b)

Perokok pasif

4)

Polusi udara
a)

Polusi udara di luar ruangan

b)

Polusi udara di dalam ruangan

5)

Infeksi pernafasan
a)

Infeksi parasit

b)

Status sosial ekonomi

c)

Status keluarga

d)

Diet dan obat

e)

Obesitas

Faktor ekstrinsik dan instrinsik yang menjadi penyebab asthma bronchiale yaitu :

1. Faktor ektrinsik: reaksi antigen-antibodi, karena inhalasi allergen (debu, serbuk-serbuk,


bulu-bulu binatang)
2. Faktor intrinsik: infeksi para influensa virus, Pneumonia, mycoplasthmal, kemudian dari
fisik, cuaca dingin, perubahan temperatur, iritan: kimia polusi udara (asap rokok, parfum).
Emosional: Takut, cemas dan tegang. Aktivitas yang berebihan juga dapat menjadi faktor
pencetus.(Suriadi, 2001).

2.1.5.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari asthma bronchiale adanya gejala :

1.

Mengi (Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop bunyi


mengi dari napas yang keluar

2.

Batuk produktif sering pada malam hari


Pasien terbangun merasa tercekik karena pada malam hari cuaca dingin yang
menyebabkan serangan asthma kambuh kadang kala batuk menimbulkan lendir yang
mungkin berwarna putih dan ada infeksi warnanya kuning atau hijau.

3.

Sesak nafas atau dada seperti ditekan


Orang yang menderita asthma biasanya menyatakan dadanya terasa tertekan gejalanya
bersifat proxsymal yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari. Ketiga
gejala tersebut bervariasi baik dalam beratnya gejala yaitu ringan, sedang dan berat
maupun kurang berlangsung gejala yaitu dari beberapa jam sampai beberapa hari bahkan
sampai beberapa minggu sampai beberapa bulan. (Arif Mansjoer, 1999).

2.1.6.

Komplikasi

1.

Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas

2.

Chronik persistent bronchitis

3.

Bronchiolitis

4.

Pneumonia

5.

Emphysema

2.1.7.

Penatalaksanaan

1.

Penatalaksanaan Terapeutik

a.

Menyembuhkan

dan

mengendalikan

gejala asthma
1)

Asthma Persisten

Obat Pelega :

a)

Bronkodilator aksi singkat, yaitu inhalasi antagonis

bila perlu
b)

Intensitas pengobatan tergantung berat eksaserbasi

2)

Asthma Persisten Ringan

Obat Pengontrol :
Inhalasi kortikosteroid 200-500 g/kromolin /nedokramil

a)
atau teofilin lepas tambal

Bila perlu ditingkatkan sampai 800 g atau ditambahkan

b)

bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asthma malam. Dapat diberikan

antagonis

durasi efek lama inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat

Obat Pelega nafas : Inhalasi antagonis

durasi efek aksi singkat bila diperlukan dan

tidak melebihi 3-4 kali sehari


3)

Asthma Persisten Sedang

Obat Pengontrol :
a)

Inhalasi kortikosteroid 800-2000 g

b)

Bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol

asthma malam, berupa antagonis

durasi efek lama inhalasi atau oral atau teofilin

lepas lambat

Obat Pelega nafas : Inhalasi antagonis

durasi efek singkat bila perlu dan tidak melebihi

3-4 kali sehari


4)

Asthma Persisten Berat

Obat Pengontrol :
a)

Inhalasi kortikosteroid 800-2000 g atau lebih

b)

Bronkodilator aksi lama berupa agonis beta 2 aksi lama


inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat

c)

Kortikosteroid oral jangka panjang

b.

Mencegah kekambuhan

c.

Mengupayakan fungsi paru senormal


mungkin serta mempertahankannya

d.

Mengupayakan aktivitas harian pada


tingkat normal termasuk melakukan exercise

e.

Menghindari efek samping obat asthma

f.

Mencegah obstruksi jalan nafas yang


ireversibel

2.
a.

Penatalaksanaan Perawatan
Pengkajian

1)

Biodata

nama,

umur,

jenis

kelamin,

pendidikan, pekerjaan, alamat, suku, ras.


2)

Riwayat kesehatan

a) Riwayat kesehatan dahulu


Riwayat atau alergi dan serangan asthma yang lalu, alergi dan masalah pernapasan.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Adanya keluhan utama : pasien mengeluh sesak nafas, hidung tersumbat dan badan terasa
panas.
Keluhan yang menyertai : penderita mengeluh pusing, mual, susah istirahat dan sukar
bicara.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Anggota keluarga pernah atau sedang menderita penyakit asthma, alergi dan masalah
pernapasan.
b.

Diagnosa Keperawatan

1)

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


bronkospasme.

2)

Tidak bersihan jalan nafas berhubungan dengan


edema mukosa.

3)

Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan


meningkatnya secret.

4)

Fatigue berhubungan dengan hypoxia dan


meningkatnya usaha nafas

5)

Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi


dan distress pernafasan

6)

Risiko kurangnya volume cairan berhubungan


dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake cairan

7)

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan


kondisi kronik

8)

Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan


proses penyakit dan pengobatan

c.

Rencana Keperawatan

1)

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan bronkospasme.

a) Data Subyektif
- Penderita mengeluh sesak nafas, badan lemas, dada terasa tertekan.
b) Data Obyektif
- Penderita tampak sesak, dengan respirasi 30 kali permenit, saat bernafas menggunakan otot
bantu, suara napas wheezing.
- Penderita tampak lemas
- Kesadaran menurun
c) Tujuan
Pertukaran gas efektif
d) Kriteria
- Penderita tidak sesak
- Tidak menggunakan otot bantu pernafasan
- Tanda-tanda vital normal
- Kesadaran kompos mentis
- Respirasi 12-20 x/menit
- Saturasi oksigen 95-100%.
e) Intervensi

(1) Penderita tidak menunjukkan gangguan keseimbangan yang ditandai dengan saturasi
oksigen lebih kurang 95%.
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya prises
penyakit.
(2) Dorong mengeluarkan sputum : penghisapan bila diindikasikan.
Rasional : kental tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran
gas pada jalan nafas.
(3) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan bunyi tambahan.
Rasional : bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus / tertahannya sekret.
(4) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
Rasional : gelisah atau ansietas adalah manifestasi umum hipoksia.
(5) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman Atasi
aktivitas anak atau dorong untuk tidur/istirahat selama fase akut.
Rasional : selama distress pernafasan/berat/akut/refraktori penderita secara total tak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksia dan dispnea. Istirahat diselingi aktivitas
perawatan masih penting dari program pengobatan.
2. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan
menurunnya intake cairan.
(a) Data Subyektif
Anak mengatakan ia tidak mau makan. Kurang tertarik pada makanan, lemas.
(b) Data Obyektif
Terjadi penurunan berat badan, kehilangan masa otot, kelemahan, mual muntah, produksi
sputum, dispnea.
(c) Tujuan
Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi.

(d) Kriteria
Peningkatan berat badan, masa otot normal, kelemahan berkurang, mual muntah berkurang.
(e) Intervensi
1.

Kaji kebiasaan diet, masukan makanan


saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
Rasional : rasa tak enak, bau penampilan adalah utama terhadap nafsu makan dan dapat
membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan bernafas.

2.

Dorong periode istirahat semalam 1


jam sebelum dan sesudah makan. Berikan porsi kecil tapi sering.
Rasional : membuat menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.

3.

Hindari makanan penghasil gas dan


minuman karbohidrat
Rasional : dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan diafragma, dan dapat meningkatkan dispnea.

4.

Hindari makanan yang sangat panas


atau sangat dingin
Rasional : suhu ekstrim dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.

5.

Timbang berat badan sesuai indikasi


Rasional : berguna untuk menentukan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi
keadekuatan rencana nutrisi. Catatan : penurunan berat badan dapat berlanjut, meskipun
masukan adekuat sesuai teratasinya edema.

2.1.8.
1.

Klasifikasi Asthma Bronchiale


Asthma Ekstrinsik (Alergik)

Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh allergen yang
diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang
mempunyai penyakit atopik termasuk ekzema, dermatitis dan asthma sendiri. Asthma alergik
disebabkan karena kepekaan individu terhadap alergen biasanya protein, dalam bentuk serbuk
sari yang dihirup, bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang lebih jarang terhadap
makanan seperti susu dan coklat.
2.

Asthma Instrinsik (Idiopatik)


Sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor yang non
spesifik seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi dapat memicu serangan asthma. Asthma
instrinsik ini lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun.

3.

Asthma Campuran
Bentuk asthma yang paling banyak menyerang pasien adalah asthma campuran, yang
mana terdiri dari komponen-komponen asthma ekstrinsik dan instrinsik.
2.1.9.

Pemeriksaan Diagostik

1.

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

2.

Foto Rontgent

3.

Pemeriksaan fungsi paru; menurunnya tidal volume,


kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum

4.

Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test; RAST)

5.

Pulse oximetry

6.

Analisa gas darah

Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asthma adalah sebagai berikut :


1. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible
Pemeriksaan ini tidak saja penting untuk menegakan diagnosis, tetapi juga penting
untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Peningkatan FVC sebanyak >20 %

menunjukkan diagnosa asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator >20% tidak
berarti asthma.
2. Test provokasi bronkial untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus
Ada beberapa cara untuk melakukan tes provokasi bronkial seperti test provokasi
histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan
inhalasi denga aqua destilata.
3. Pemeriksaan test kulit
Tujuan test kulit untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
Test ini hanya menyokong anamnese, karena alergen yang menunjukkan test kulit positif
tidak selalu merupakan penyebab asthma; sebaliknya test kulit yang negatif tidak selalu
berarti tidak ada faktor kerentanan kulit.
4. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum
Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya
penyakit atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih berarti dan dilakukan terutama bila test kulit
tidak dapat dikerjakan atau jika hasilnya kurang dapat dipercaya.
5. Pemeriksaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru atau komplikasi
asthma.
6. Analisis gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan
asthma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksia, hiperkapnea dan asidosis
respiratorik.
7. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah

Pada penderita asthma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Selain
dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis yang diperlukan
penderita asthma. Jumlah eosinofil total dalam darah dapat membantu untuk membedakan
asthma dari bronkitis kronik.
8. Pemeriksaan sputum
Disamping untuk melihat adanya eosinofil, pemeriksaan sputum penting untuk menilai
adanya miselium Aspergilus Fumigatus.

2.2. Asthma Akut dan Status Asthmatikus


Penderita bisa mendapat serangan asthma sedemikian beratnya sehingga harus segera
mencari pertolongan dokter. Tindakan yang harus dilakukan secepatnya adalah memberikan
oksigen 2-4 liter/menit. Dengan tindakan ini saja penderita akan lebih tenang, pertama karena
merasa mendapat pertolongan segera dan kedua oleh karena oksigen akan mengoreksi
hipoksemia yang dapat terjadi pada pemberian obat-obatan bronkodilator. Diharapkan bila
penderita sudah lebih tenang. Pemeriksaan selanjutnya akan lebih mudah dilakukan.
Disamping menanyakan faktor pencetus serangan seperti allergen, obat-obatan, infeksi
dan sebagainya perlu pula diketahui obat-obatan yang digunakan. Hal ini perlu untuk
menentukan jenis dan dosis obat yang akan diberikan. Jika penderita baru saja minum
teofilin, apalagi dengan pemakaian yang teratur, pemberian aminofilin dosis penuh (5-6
mg/kg BB) secara intravena akan berbahaya. Demikian pula kepada penderita yang telah
mendapat obat adrenergik beta yang berulang-ulang tanpa respons yang memuaskan,
hendaknya segera diberikan kortikosteroid.
Penderita yang datang dalam keadaan sangat berat seperti kesadaran menurun, nafas
pendek dan tanda-tanda gagal nafas harus segera dirawat, sebaiknya diruang perawatan
intensif. Keterlambatan mengenal dan mengobati penderita asthma yang berat akan

mengakibatkan tidak saja perawatan menjadi lebih lama, terkadang penderita tidak tertolong
lagi. Akhir-akhir ini banyak ahli yang tidak memakai adrenalin pada pengobatan asthma akut,
dan bahkan ada yang menganggap mempunyai banyak efek samping dan bila tersedia obatobat yang lebih spesifik serta kerjanya lebih baik, maka pilihan jatuh pada yang terakhir
(Soeparman, 1993).
Status asthmatikus adalah keadaan asthma yang refrakter (tidak mempan) dengan
pengobatan obat-obatan antagonis dan teofilin. Penderita ini disebut juga dengan
epinephrine fastness yang disebabkan oleh karena reseptor beta 2 yang berperan pada
bronkodilatasi sudah refrakter. Untuk mengembalikan fungsinya diperlukan kortikosteroid.
Tindakan selanjutnya selain memberikan oksigen ialah pemasangan infus. Urutannya sebagai
berikut :
1.

Oksigen 2-4 liter/menit

2.

Cairan infus 2-3 liter/hari, penderita boleh minum

3.

Aminofilin 5-6 mg/kg/BB/Iv sebagai dosis awal dan dilanjutkan


dengan dosis pemeliharaan 0,5 0,9 mg/kg BB/jam

4.

Kortikosteroid : Hidrokortison 4 mg/kg BB/Iv atau dexametason 10-20


mg. Setelah nampak perbaikan, kortikosteroid intravena dapat diganti dengan bentuk oral.

5.

Obat adrenergik beta, diutamakan dalam bentuk nebulizer yang


diberikan tiap 4-6 jam

6.

Antibiotik diberikan bila ada tanda-tanda infeksi

2.3. Umur dan Aspek Imunologis


2.3.1.

Pengertian umur

Umur adalah lama waktu hidup (sejak dilahirkan sampai meninggal dunia).
(Poerwadarminta, 1984).
Untuk beberapa penyakit tertentu pada bayi (anak balita), dan orang tua lebih
mudah terserang. Dengan kata lain orang pada usia tua lebih rentan, kurang kebal
terhadap penyakit-penyakit menular tertentu. Hal ini mungkin disebabkan karena kedua
kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah.
Menurut Lewer (1996) faktor-faktor perlindungan terhadap infeksi tiap tahap
perkembangan yang berbeda yaitu :
1. Bayi 0-1 Tahun
Bayi memiliki sistem kekebalan yang primitif dengan beberapa kekebalan pasif
yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan. Pada saat bayi kontak dengan antigen
yang berbeda ia akan memperoleh antibodinya sendiri. Imunisasi diberikan untuk
memberi kekebalan terhadap penyakit-penyakit yang dapat membahayakan bayi bila
berhubungan secara alamiah ( misal : difteri dan batuk rejan).
Orang tua dianjurkan agar bayi mereka tidak kontak dengan banyak kerumunan
orang, atau mereka yang menderita penyakit- penyakit infeksi. Dalam keluarga kontak
dengan saudara-saudara mungkin tidak dapat dihindarkan.
2. Usia bermain (todler) 1-3 tahun
Anak usia bermain telah menghasilkan antibodinya sendiri untuk melindunginya dari
beberapa infeksi. Program imunisasi harus memberikan perlindungan terhadap penyakitpenyakit parah.
3. Anak pra-sekolah dan sekolah usia 3-11 tahun
Meningkatnya kemampuan sosial pada tahun - tahun pra-sekolah dan sekolah pada
kelompok usia ini berada dalam resiko besar terkena infeksi yang di dapat. Program

imunisasi dapat dilengkapi sampai remaja pada saat imunisasi lebih lanjut. Anak-anak yang
cenderung batuk dan flu tapi biasanya teratasi tanpa pengobatan /penanganan.
4. Remaja 11-18 tahun
Imunisasi pada remaja termasuk BCG, terhadap tuberculosis (bila Mantoux negatif)
dan vaksin rubella buat anak-anak putri bila tidak diimunisasi lebih awal. Perubahan
keseimbangan hormonal merupakan faktor predisposisi jerawat dan infeksi minor pada
remaja. Juga perubahan-perubahan dalam makanan dan perubahan status imun.
Pada saat mulai hubungan seksual, remaja dapat muda terkena PHS (Penyakit
Hubungan Seksual). Topik ini adalah satu hal yang harus didiskusikan hati-hati di sekolah
dan di rumah.
2.3.2.

Aspek Imunologi
Pengaruh yang tidak menguntungkan dari proses imun menjadi dasar dari banyak

penyakit pada manusia dan dapat mengganggu setiap sistem organ yang penting. Selain itu
perubahan karakteristik pada reaktan imun yang memberikan kunci diagnostik yang penting
menyertai banyak keadaan sebagai akibat atau peristiwa yang parallel. Respon anti bodi
normal dan respon yang diperantarai sel menyangkut serangkaian langkah yang masingmasing dimodulasi oleh kelompok-kelompok sel tertentu. (Sylvia A Price, 1995)
Imunitas pelindung dan penyakit alergi bersama-sama memiliki respon jaringan
terhadap zat-zat yang dikenal sebagai asing. Mekanisme imun memberikan pertahanan yang
esensial melawan invasi organisme yang menimbulkan cedera dan timbulnya tumor ganas,
fungsi yang sudah menjamin mereka bertahan selama evolusi vertebra. Namun proses-proses
yang selama ini dapat ditimbulkan oleh agen-agen ekstrinsik yang relatif tidak
membahayakan dan kadang-kadang dapat memusatkan reaksi pada komponen-komponen
jaringan hospes. (Sylvia A Price, 1995)

Menurut Elizabeth (2001) orang dewasa dapat menderita asthma tanpa riwayat asthma
pada masa kanak-kanak. Tercetusnya asthma pada orang dewasa mungkin berkaitan dengan
semakin parahnya alergi yang sudah ada. Infeksi saluran napas yang berulang-ulang juga
dapat mencetuskan asthma pada orang dewasa. Demikian juga pajanan debu dan iritan di
lingkungan kerja.
Asthma tampaknya melibatkan suatu hipersensitivitas reaksi peradangan. Pada respon
alergi di saluran napas, antibody Ig E akibat degradasi tersebut, histamin dilepaskan.
Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon histaminnya
berlebihan, maka dapat timbul spasme asthmatik. Karena histamin juga merangsang
pembentukan mucus dan meningkatkan permeabilitas kapiler maka juga akan terjadi kongesti
dan pembengkakan ruang intestinum paru.
Individu yang mengalami asthma mungkin memiliki Imuno Globulin E yang sensitive
berlebihan terhadap suatu

allergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami

degranulasi. Dimanapun letak hipersensitivitas respons peradangan tersebut, hasil akhirnya


adalah bronkospasme, pembentukan mucus, dan obstruksi aliran udara.
1.

Sistem imun
Sistem kekebalan ialah cara pengenalan badan asing (non-self ) yang biasanya

merupakan mikroba yang masuk kedalam tubuh dan badan sendiri (self), sehingga tubuh
berusaha mengadakan proteksi terhadap badan asing tersebut, serta adanya respon skunder
yang lebih berpengalaman dalam membedakan badan asing (antigen) tersebut secara spesifik
dengan adanya rangsangan ulang dari antigen yang sama ( Sujudi, 1993).
Menurut Soeparman (1990) keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan
yang terdiri atas imun non-spesifik (= natural = innate ) dan spesifik ( = adaptif = aquired ).
a. Sistem imun non-spesifik
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan badan terdepan dalam menghadapi
serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum

dapat memberikan responnya. Sistem tersebut disebut non-spesifik terdiri atas : pertahanan
fisis dan mekanis, pertahanan biokimia, pertahanan humoral dan pertahanan selular.
1)

Pertahanan Fisis Mekanis


Kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan bersin dapat mencegah berbagai

kuman patogen masuk kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan
selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
2)

Pertahanan Biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit,

telinga, spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh.
Asam hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu
dapat melindungi badan terhadap kuman.
3)

Pertahanan Humoral

a)

Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit
dengan jalan opsonisasi, kejadian tersebut adalah fungsi sistem imun non-spesifik, tetapi
dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik.

b)

Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon
mumpunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi

sel-sel sekitar sel yang telah

terserang infeksi menjadi resisten terhadap virus tersebut.


c)

C. Reactive Protein (CRP)


CRP dibentuk badan pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat
mengaktifkan komplemen.

4)

Pertahanan Selular
Fagosit atau makrofag dan sel NK berperan dalam sistem imun non-spesifik selular.

a)

Fagosit
Sel utama yang berperan pada pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear

(monosit dan makrofag) serta sel polimorfonnuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel
tersebut berasal dari hemopoletik. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan
dapat mencegah timbulnya penyakit.

b)

Natural Killer Cell (Sell NK)


Sel NK adalah sel limfoid tanpa ciri-ciri

limfoid, sistem imun spesifik yang

ditemukan dalam sirkulasi. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel
neoplasma. Dalam hal ini interferon mempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan
dan meningkatkan sitolitik sel NK.
b. Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem
imun spesifik, akan mensensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem tersebut akan
dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Sistem imun spesifik, dapat bekerja sendiri untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja
sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit, respon imun yang terjadi sering disertai
dengan reaksi inflamasi. Sistem imun spesifik dibagi menjadi 2 :
1) Sistem Imun Spesifik Humoral
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B
tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan
berploriferasi dan berdeferensisai menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah
mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin.

2) Sistem Imun Spesifik Selular


Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Sel
tersebut juga berasal dari sel yang sama seperti sel B, tetapi proliferasinya dan deferensianya
terjadi di dalam kelenjar timus. Sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai fungsi
yang berlainan. Fungsi sel T umumnya adalah :

a) Membantu sel B dalam memproduksi antibodi.


b) Mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus.
c) Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis.
d) Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun.
Sel T terdiri atas beberapa subset sebagai berikut :
a) Sel Th (T helper).
Sel Th menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi,
kebanyakan antigen (T dependent antigen) harus dikenal terlebih dahulu, baik oleh sel T
maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terkena infeksi virus
dan jaringan cangkok alogenik. Sel Th juga melepas limfokin yang mengaktifkan makrofag
dan sel-sel lain.
b) Sel Ts (T superior)
Sel Ts menekan aktifitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts spesifik
untuk antigen tertentu dan sel Ts non spesifik.
c) Sel Tdh ( delayed hypersensitivity)
Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya
ketempat terjadinya reaksi lambat. Dalam fungsinya, sebenarnya menyerupai sel Th.
d) Sel Tc (cytotocic)
Sel Tc mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang
mengandung virus.

2.

Imunitas
Rusepno (1998) membedakan imunitas atau kekebalan berdasarkan awalnya imunitas

dalam dua hal, yaitu pasif dan aktif.


a. Imunitas pasif
Imunitas pasif ialah tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya
menerima saja, sedangkan aktif ialah bila tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya
imunitas. Baik pasif maupun aktif dapat berlangsung alami, biasanya bawaan dan di dapat.
1) Imunitas pasif bawaan (pasive congeital immunity)
Terdapat pada bayi baru lahir (neonatus) sampai bayi berumur 5 bulan. Neonatus
mendapatnya dari ibunya sewaktu dalam kandungan, yaitu berupa zat anti (antibodies) yang
melalui jalan darah menembus plasenta.
2) Pasif didapat ( passive aquired immunity )
Zat anti didapatkan oleh anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3
minggu karena zat anti seperti ini akan di keluarkan lagi dari tubuh anak. Bahan zat anti
demikian dapat berupa globulin gama murni yang didapat dari darah orang yang pernah
mendapat penyakit, misalnya campak.
Berdasarkan lokalisasi dalam tubuh, imunitas dapat di bagi dalam : imunitas humoral
(humoral immunity) dan imunitas selular (cellular immunity).
9. Imunitas humoral
Imunitas ini terkandung dalam imonoglobulin (Ig) atau suatu golonga protein yang
mempunyai daya zat anti. Disini terdapat sintesa dan masuknya antibodi ke dalam aliran
darah dan cairan badan lainya ( antibodi humoral ). Antibodi ini akan mengaktifkan dan
menetralisir

antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman untuk di

fagositosis (Sujudi, 1993).

Menurut soeparman (1990) antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein
yang dibentuk sel plasma (ploriferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antigen mengikat
antigen yang menimbulkan secara spesifik :
1) IgG
IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, IgG ditemukan juga dalam
berbagai cairan lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus
plasenta dan masuk ke fetus dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.
2) IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan, sekresi
saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu lebih tinggi
sebagai sekretor IgA (s IgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekret dapat menetralisir
toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin atau virus dengan alat sasaran.
3) IgM
IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan
merupakan aglutinatur kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang dapat
mengikat komplemen dengan baik.
4) IgD
IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktifitas antibodi terhadap antigen
berbagai makanan. IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai resptor
antigen.
5) IgE
IgE dibentuk oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan saluran cerna.
Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, dan diduga berperan pada
imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagen.
b. Imunitas Selular

Dicapai melalui pembentukan limfosit yang sangat khusus dalam jumlah besar yang
secara peka terhadap agen asing. Limfosit yang disensitisasi ini mempunyai kemampuan
khusus menyerang agen asing dan menghancurkannya (Guyton, 1990).
b. Imunitas Aktif
Menurut Rusepno (1998) imunitas aktif dibagi menjadi dua bagian:
1) Didapat secara alami (naturally aaquired). Contohnya ialah difteria di negeri yang sedang
berkembang tanpa imunisasi yang teratur dan menyeluruh. Anak anak secara alami
sampai umur belasan tahun mendapat infeksi berbentuk

silent abortive yang

menyebabkan sebagian anak menderita sakit ringan, kemudian sembuh dengan sendirinya
dan imun.
2) Sengaja dibuat (artificially induced). Cara pemberian imunitas terdiri dari tiger macam
antigen, yaitu: a) live attemuated bacteria or virus, b) killed bacteria or virus; kedua
bahan yang disebut diatas biasanya dinamakan vaksin karena masih mengandung tubuh
kuman, c) toksoid.

a) Live attenuated bacteria or virus


Yang dipakai ialah kuman yang masih hidup namun telah dijinakkan (attenuated),
sehingga tidak dapat menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan
imunitas. Misalnya BCG, polio sabin dan campak.
b) Killed bactera or virus
Misalnya kolera, tifus abdominalis, paratipus ( kotipa), pertusis, polio salk.
c) Toksoid
Yang dipakai ialah toksin yang telah diolah sedemikian rupa, misalnya dengan formal
dan kemudian diabsorpsi dengan aluminium sehingga biasanya dinamakan formal toxoid
alum precipitated. Arti absorbsi dengan aluminium ialah agar dapat merupakan depot di

jaringan tubuh sehingga pengeluaran dari depot berlangsung sedikit demi sedikit dalam
jangka waktu lama, oleh karena itu lebih efektif dan dapat menghasilkan kuantitas zat anti
yang lebih besar.

2.4. Hubungan Umur Dengan Kejadian Asthma


Lebih dari setengah anak-anak yang mengalami mengi akan bebas dari gejala pada
saat mereka berumur 21 Tahun, tetapi diantara mereka yang sering menderita mengi dan
menyusahkan hanya 20% yang akan bebas gejala pada umur 21, meskipun 20% jauh lebih
baik keadaannya. Pada 15 % pasien, Asthma menjadi lebih menyusahkan pada masa-masa
dewasa muda dari pada masa kanak-kanak. Sekalipun terdapat kesembuhan yang berlangsung
beberapa tahun, gejala dapat datang

kembali. Setelah berbulan-bulan bebas dari gejala

asthma, epitel masih dapat mengalami radang dan reaktivitas saluran napas dapat tetap tinggi
dan tidak normal. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan mendasar untuk mengalami
asthma masih tetap ada dan sepertiga dari anak-anak mengalami kesembuhan dan dalam satu
tahun akan mengalami gejala-gejala lagi bertahun-tahun kemudian (Jhon Ress, dkk, 1997).
Asthma kurang mungkin mengalami kekambuhan pada pasien dengan riwayat
keluarga yang kuat untuk atopi atau riwayat pribadi adanya keadaan atopik lain, fungsi
pernafasan yang rendah, permulaan serangan setelah umur 29 tahun, dan serangan yang
sering terjadi.
Asthma pada orang dewasa tidak banyak menunjukkan variasi spontan dari pada
anak-anak. Mengi lebih sering berlanjut dan tidak jelas adanya kita dengan faktor-faktor
pencetus yang nyata selain infeksi. Kemungkinan terjadinya kekambuhan juga lebih kecil
dibanding anak-anak. Kemungkinan seseorang menderita asthma pada umur 50 tahun,
meningkat 10 kali kalau terdapat sanak keluarga tingkat 1 yang menderita.

Terdapat faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya Asthma bronchiale


yaitu parasit debu/alergi, kotoran hewan serbuk-serbuk rumput, polusi udara, kondisi cuaca,
berat tubuh, alergi makanan, hormon- hormon, infeksi virus dan bakteri, obat-obatan dan
jamur.
Beberapa penderita asthma bronchiole yang berat mengalami mengi yang bertambah
sesak dan rasa lelah dalam setiap pengerahan tenaga. Sering terlihat suatu bentuk asthma
diinduksi oleh kerja, dimana asthma timbul beberapa menit setelah melakukan aktivitas
singkat dan sering sembuh setelah istirahat. (Silvia A. Price, 1995)
Sedangkan resiko berkembang asthma merupakan infeksi antara faktor penjamu dan
faktor lingkungan. Faktor penjamu yaitu predisposisi genetik, hiperaktivitas bronkus, alergi,
dan ras/etnik. Sedangkan faktor lingkungan yaitu alergi di dalam ruangan, alergi di luar
ruangan, bahan lingkungan kerja, polusi udara, dan infeksi pernafasan (Wijaja, 2002).
Rangsangan psikologi dapat mencetuskan serangan asthma. Karena rangsangan
parasimpatis menyebabkan konstruksi otot polos bronkiolus, maka apapun yang
meningkatkan aktivitas parasimpatis dapat mencetuskan asthma. Sistem parasimpatis dapat
diaktifkan oleh emosi rasa cemas dan kadang-kadang rasa takut. Dengan demikian, individu
yang rentan mengalami asthma mungkin mendapat serangan akibat gangguan emosinya.
(Elizabeth, 2001).
1. Perubahan struktur dan fungsi paru pada manula
Umur tua menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem pernafasan yang
mengakibatkan penurunan fungsi paru, antara lain penambahan diameter anteroposterior
dada, kelainan musculoskeletal seperti kiposkoliosis menjadi lebih berat, juga
osteoporosis iga dan vertebra, klasifikasi kartilago kosta, penurunan kekuatan otot-otot
pernafasan, peningkatan kekakuan dinding dada, yang semuanya menyebabkan

penurunan fungsi paru dan mempermudah terjadinya penyakit kardiopulmonar serta


penurunan kemampuan paru menghadapi stress dan aktivitas.
Kelainan kecil saja pada paru penderita manula akan mengakibatkan penurunan
banyak dari oksigen arteri; dengan demikian penderita manula menjadi lebih peka
terhadap timbulnya gagal pernafasan daripada anak muda. Saluran pernafasan menjadi
lebih lemas dan mudah kolaps, tekanan pleura menjadi kurang negatif dengan
menghilangnya recoil forces, sehingga saluran nafas kecil menjadi lebih mudah kolaps.
Bronkioli, duktus alveolaris dan alveoli melebar, sebab peleburan ruang-ruang yang
berdekatan, menyebabkan jumlah alveoli menurun dan permukaan alveoli-kapiler
berkurang. Pada keadaan normal, pertukaran gas tergantung pada ventilasi dan perfusi.
Karena efek gravitasi, puncak paru menerima arah relatif lebih sedikit, sedang lapangan
paru tengah dan bawah di perfusi lebih banyak. Pada penderita manula, ventilasi tidak
seimbang waktu bernafas dengan volume tidal, tetapi waktu bernafas dalam, ventilasi
menjadi lebih seimbang. Hal ini disebabkan penutupan saluran nafas kecil selama
pernafasan tidak, mengakibatkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan tekanan O 2
dan saturasi O2 di kapiler paru menurun. Reaksi kenaikan frekuensi pernafasan dan curah
jantung terhadap penurunan PO2 jauh menurun pada manula, menyebabkan penghantaran
O2 ke jaringan jauh lebih kecil.
2. Gambaran Klinis
Sebagian pasien mungkin hanya mengeluh kondisinya agak menurun yang mungkin
disalahtafsirkan sebagai akibat usia tua atau depresi. Pada 25% pasien tidak ada demam
dan bahkan pada 20% tidak ada gejala sama sekali. Gejala-gejala seperti penurunan berat
badan, keringat dingin malam, demam, hemoptisis dan nyeri dada lebih sering dijumpai
pada dewasa muda daripada manula. Alergi lebih sering ditemukan pada penderita
manula yaitu sekitar 20%.

Foto dada PA biasanya menunjukkan gambaran fibrotik, infiltrate dan kavitas pada
puncak paru-paru. Trakea mungkin tertarik ke daerah lesi dan hilus mungkin tertarik ke
atas. mungkin juga ada penebalan pleura. Beberapa penyakit lain dapat memberikan
gambaran yang menyerupai tuberkulosis pada gambaran foto dada, antara lain jamur dan
tumor paru. Sebab itu selalu harus dibuat diagnosis banding dan kalau tidak ditemukan
basil tahan asam pada sputum, dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan lain. Foto
dada lateral dapat membantu membedakan dengan tumor karena tumor sering terletak
pada segmen anterior puncak paru-paru. Kira-kira sepertiga penderita manula dengan
tuberkulosis paru memberikan gambaran radiologist yang tidak seperti biasanya dan
menunjukkan gambaran nodul pada paru-paru, pneumonia pada lobus bawah.
Tuberkulosis sebaiknya selalu masuk dalam diagnosis banding pada setiap kelainan
paru. Sputum yang dibatukkan kuat selama 3 kali pagi-pagi berturut-turut diambil untuk
pemeriksaan basil tahan asam. Hasil yang positif tergantung pada cara pengambilan
sputum dan jumlah bakteri. Pada kelainan yang luas dan jumlah bakteri. Pada kelainan
yang luas dan kavitas, biasanya jumlah bakteri banyak, hasil sangat mungkin positif. Pada
sputum yang mengandung positif. Pada sputum yang mengandung sedikit bakteri,
hapusan langsung mungkin memberikan hasil yang negatif, tapi biakan mungkin positif.
biakan perlu untuk menegakkan diagnosis dan untuk tes resistensi. Selama menunggu
hasil biakan, penderita dapat diobati. Kalau penderita tidak dapat mengeluarkan sputum,
dapat dirangsang dengan pemberian NaCl melalui nebulizer atau melalui IPPB. Kalau ada
kecurigaan terhadap keganasan, dilakukan pemeriksaan terhadap sitologi sputum 3 kali
berturut-turut. Mungkin kedua penyakit tersebut didapatkan bersamaan pada satu
penderita. Kalau ada indikasi dapat dilakukan bronkoskopi dengan brushing atau biopsi.
Mungkin perlu dilakukan biakan terhadap jamur.

2.5. Faktor-Faktor Yang Mengaktifkan Asthma


Menurut Tabrani (1996) faktor-faktor yang mengaktifkan asthma antara lain :
1. Infeksi saluran pernafasan
2. Alergen
a. Inhalasi
b. Pencernaan
3. Olahraga

4. Udara buruk
5. Emosional
a. Tersinggung
b. Marah
c. Takut
d. Tertawa
e. Menangis

6. Konflik rumah tangga


7. Udara yang berubah sewaktu-waktu
8. Berbagai obat
a. Aspirin
b. Antibiotik

2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada asthma bronchiale menurut Soeparman (1990) terdiri dari :
2.6.1. Bronkitis Kronik

Bronkitis Kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberculosis,
bronchitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum
biasanya didapatkan pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan
batuk pagi hari, lama-lama disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.
Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.
2.6.2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema paru, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus, berbeda dengan asthma, pada emfisema tidak pernah
ada masa remisi, penderita selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan dada kembung, peranjakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun dan
suara sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
2.6.3. Gagal Jantung Kiri Akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asthma kardial, dan bila timbul
pada malam hari disebut paroxymal nocturnal dyspnoe. Penderita tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila penderita duduk. Pada
anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung.
Disamping ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.
2.6.4. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung,
tromboflebitis. Disamping gejala sesak nafas, penderita batuk-batuk, yang dapat disertai
darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan
adanya ortopnea, takikardia, gagal jantung kanan, pleural friction, galop, sianosis, dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perunahan aksis jantung ke kanan.

2.6.5. Lain-lain penyakit yang jarang, seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus,
poliarteritis nodosa.

2.7. Kerangka Konsep


Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, dapat diambil kesimpulan suatu
rumusan, kerangka konsep sebagai berikut.
VARIABEL INDEPENDEN

VARIABEL DEPENDEN

Umur

KejadianAsthma Bronchiale

2.8. Defenisi Operasional


Variabel Independent
N
o
1

Variabel
umur

Defenisi
Operasional
Umur
dalam
penelitian
ini
adalah batasan
usia
penderita
asthma
bronchiale

Cara Ukur
Observasi
pendokumentasian

Alat
Ukur
Chec
k list

Hasil Ukur
Pasien yang mengalami
asthma bronchiale :yaitu :
1. bayi : 0-1 tahun
2. Anak-anak :
> 1-10 tahun
3. Remaja :
>10-20 tahun
4. Dewasa :
>20-40 tahun
5. Dewasa akhir : <40-64
6. Lansia :
65 tahun keatas

Skala
Ukur
Ordinal

Variabel Dependent
N
o
1

Variabel
Kejadian
Asthma
Bronchiale

Defenisi Operasional
Asthma
bronchiale
adalah suatu penyakit
obstruksi pada jalan
nafas yang ditandai
dengan bronkospasme
dan peningkatan reaksi
jalan nafas

Cara
Ukur
Observasi
pendokumentasian

Alat
Ukur
Check
list

Hasil Ukur
0 : Berat
(dirawat)
1 : Ringan (rawat
jalan)

Skala
Ukur
Nomi
-nal

2.9. Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian asthma bronchiale
pengunjung RSUD. dr. M. Yunus Bengkulu selama tahun 2004 dan tahun 2005
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian asthma bronchiale
pengunjung RSUD. dr. M. Yunus Bengkulu selama tahun 2004 dan tahun 2005

Vous aimerez peut-être aussi