Vous êtes sur la page 1sur 2

ASET BSI DITARGETKAN JADI DUA KALI LIPAT

POTENSI BANK SYARIAH MASIH BESAR


Baru hari pertama beroperasi, Bank Syariah Indonesia (BSI) menargetkan
kenaikan aset menjadi dua kali lipat. Bimulai Rabu (25/08/04), dengan nilai aset
sekitar Rp 454 miliar, manajemen BSI berharap pada tutup tahun bisa meningkatkan
nilai aset hingga Rp 700 miliar. Meski bayi, BSI sangat sehat, kata Presiden
Direktur Bank Syariah Indonesia, Budi Wisaksena, di Jakarta, Rabu (25/08/04).
Budi menyebutkan, BSI sangat sehat ketika memulai operasi secara syariah. Laba
tahun berjalan hingga Juli sekitar Rp 7.1 miliar. Sebetulnya laba kami lebih besar .
Hanya saja kami harus write off (hapus buku) kredit warisan masa lalu yang
bermasalah, tuturnya.
Dari segi modal, BSI juga cukup sehat. Rasio kecukupan modal (CAR) 16,61 %
dan kredit bermasalah (Non performing Loan) 2.54 %. Sementara rasio kredit dan
dana pihak ketiga (LDR) sekitar 94.4%.
Saat ini, selain konsentrasi untuk penetrasi pasar BSI juga harus mengonversi
seluruh transaksi berjalan kedalam akad syariah. Untuk yang siap dikonversi,
langsung kami akad ulang, kata Budi.
Sedangkan untuk pembiayaan lain yang belum bisa dialihkan bertahap hingga 360
hari kedepan.kendala untuk langsung mengonversi, antara lain karena aspek
legalitas.Tapi, Budi menegaskan 90% transaksi yang ada siap dikonversi.
Selain itu, untuk mencapai kenaikan aset, BSI akan meluaskan jaringan dengan
membuka empat cabang di luar cabang yang sudah berdiri. BSI berencana membuka
cabang di Rawamangun dan Panglima Polim (Jakarta), Bandung dan Kediri atau
Semarang. Sementara yang ada saat ini di Surabaya dan Jakarta.
Potensi bank syariah di Indonesia masih amat besar. Budi Wicakseno yang pernah
berkarier di Citibank mengatakan pemilik modal Bank Syariah Indonesia melihat
bisnis perbankan syariah masih menguntungkan. Bank Syariah Indonesia merupakan
salah satu anak perusahaan dari kelompok Para milik Chairul Tanjung.
Menurut Budi, sudah sejak tiga tahun silam Para Group memutuskan memasuki
industri perbankan syariah. Namun, keinginan itu baru terlaksana Agustus 2004.

Kelompok Para sebetulnya sudah memiliki bank konvensional yakni Bank Mega.
Namun, pemilik modal tak ingin membuka unit usaha syariah. Memang pemilik
kami ingin membuka bank tersendiri yang beroperasi murni syariah, kata Budi.
Menurut Budi, pemilik modal beranggapan jika membuka unit usaha syariah beban
biayanya lebih besar. Setiap membuka kantor cabang butuh tambahan modal Rp 2
miliar. Lebih ideal jika membuka bank syariah utuh. Lebih efisien, cepat, dan
menguntungkan, tutur Budi. Sedangkan bila membuka unit usaha syariah banyak
yang harus dipikirkan termasuk strategi, chemistry, dan lainnya.
Pada saat yang sama ada sebuah bank yakni Bank Tugu yang kondisinya hampir
bangkrut. Pemilik modal melirik bank milik kelompok Bob Hasan itu.
Pemilik modal memilih membeli bank disehatkan dan kemudian disyariahkan,
tutur Budi. Selama dua tahun, pengelola bank baru menyehatkan kinerja Bank Tugu
sebelum konversi jadi Bank Syariah Indonesia.
Portofolio bank Tugu adalah bank ritel, terutama kredit konsumtif di bidang
otomotif. Manajemen BSI, menurut Budi, sadar bahwa tidak bisa mengandalkan
sektor itu saja tapi juga perlu ekspansi ke sektor lainnya.
sementara waktu masih mempertahankan sektor yang sudah kita kuasai, kata
Budi. Hal itu, menurut dia, sebagai kompetensi dan keterampilan BSI.
BSI juga masuk ke sektor UKM. BSI juga peduli pada transportasi dan distribusi
bahan bakar. Kami juga masuk pada sektor telekomunikasi yang sifatnya aman,
tuturnya.
Sumber: Republika, 26 Agustus 2004

Vous aimerez peut-être aussi