Vous êtes sur la page 1sur 93

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan
dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita
ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya
setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat
lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus
yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga
merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik.
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya
agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Kongres Kedokteran Perinatologi Eropa Ke-2, 1970, mendefinisikan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan
lahir 2500 gr dan mengalami masa gestasi yang diperpendek maupun
pertumbuhan intra uterus kurang dari yang diharapkan.
Berat Badan Lahir Rendah tergolong bayi yang mempunyai resiko tinggi
untuk kesakitan dan kematian karena BBLR mempunyai masalah terjadi
gangguan pertumbuhan dan pematangan

(maturitas) organ yang dapat

menimbulkan kematian.
Angka kejadian (insidens) BBLR di negara berkembang seperti di Inggris
dikatakan sekitar 7 % dari seluruh kelahiran. Terdapat variasi yang bermakna
dalam insidens diseluruh negeri dan pada distrik yang berbeda, angka lebih tinggi
di kota industri besar (Rosa M. Sacharin, 1996). Sedangkan di Indonesia masih

merupakan masalah yang perlu diperhatikan, karena di Indonesia angka


kejadiannya masih tinggi. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari tahun ke tahun
tidak banyak berubah sekitar

22 % - 26,4 %.

Berkenaan dengan itu upaya pemerintah menurunkan IMR tersebut maka


pencegahan dan pengelolaan BBLR sangat penting. Dengan penanganan yang
lebih baik dan pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan BBLR,
diharapkan angka kematian dan kesakitan dapat ditekan.
Peran serta perawat dalam pencegahan BBLR dengan meningkatkan
kesejahteraan ibu dan janin yang dikandung, maka perlu dilakukan deteksi dini
melalui pemantauan Ante Natal Care dan pengelolaan BBLR dengan penanganan
dan pengetahuan yang memadai dengan menggunakan pendekatan asuhan
keperawatan.
Bayi Prematur adalah bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan yang
normal (37 minggu) dan juga dimana bayi mengalami kelainan penampilan fisik.
Prematuritas dan berat lahir rendah biasanya terjadi secara bersamaan, terutama
diantara bayi dengan badan 1500 gr atau kurang saat lahir, sehingga keduanya
berkaitan dengan terjadinya peningkatan mordibitas dan mortalitas neonatus dan
sering di anggap sebagai periode kehamilan pendek.
Masalah Kesehatan pada bayi prematur, membutuhkan asuhan
keperawatan, dimana pada bayi prematur sebaiknya dirawat di rumah sakit karena
masih

membutuhkan

cairan-cairan

dan

pengobatan

/serta

pemeriksaan

Laboratorium yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan terapi pada


bayi dan anak yang meliputi peran perawat sebagai advokad, fasilitator,
pelaksanaan dan pemberi asuhan keperawatan kepada klien. Tujuan pemberian
pelayanan kesehatan pada bayi prematur dengan asuhan keperawatan secara
komprehensif adalah untuk menyelesaikan masalah keperawatan.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana askep dari bayi Prematuritas ?
1.1.1. Bagaimana askep dari bayi BBLR ?
1.1.2. Bagaimana askep dari bayi RDS ?
1.1.3. Bagaimana askep dari bayi Asphyxia ?
1.1.4. Bagaimana askep dari bayi Hiperbilirubin ?
1.3. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran dari penyakit prematuritis, BBLR, RDS, Asphyxia<
dan Hiperbilirubin pada bayi.
1.4. Tujuan Khusus
1.4.1.Untuk mengetahui tentang bayi prematuritas
1.4.2.Untuk mengetahui tentang bayi BBLR
1.4.3.Untuk mengetahui tentang Bayi RDS
1.4.4.Untuk mengetahui tentang bayi Asphyxia
1.4.5.Untuk mengetahui tentang bayi Hiperbilirubin

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Neonatal

Berat badan bayi baru lahir tergantung dari faktor nutrisi, genetik dan
faktor intrauterine selama kehamilan. Pengelompokan berat badan bayi baru lahir
membantu dalam mengidentifikasi resiko terhadap neonatus karena berat badan
yang kecil kemungkinan memiliki masa gestasi yang kecil. Bayi matur memiliki
berat badan kira kira 3,4 kg pada perempuan dan 3,5 kg pada laki laki. Batas
berat badan terendah bagi bayi matur adalah 2,5 kg.
2.1.1. Bagian Tengkorak (Neuro Cranium)
Tengkorak merupakan bagian terpenting dalam persalianan, yang
terdiri dari:
1. Tulang dahi (os. Frontale) 2 buah
2. Tulang ubun-ubun (os. Parietale) 2 buah
3. Tulang pelipis (os. Temporal) 2 buah
4. Tulang belakang kepala (os. Occipital)
2.1.2. Bagian Muka (Splachno Cranium
Susunan tulang muka dan dasar kepala sangat rapat sehingga tidak
dapat
melakukan atau terjadi moulage. Kedudukan tulang muka ditentukan
dengan
meraba hidung, dagu, mulut, dan rongga mata
1. Tulang hidung (os. Nassal)
2. Tulang pipi (os. Zigomatikum)
3. Tulang rahang atas (os. Maxillare)
4. Tulang rahang bawah (os. Mandibulare)
2.1.3. Hubungan Antara Tulang Tengkorak
Hubungan tulang tengkorak janin belum rapat sehingga kemungkinan
mendekat
Saat persalinan tanpa membahayakan jaringan otak, disebut moulage.
Celah-celah diantara tulang tengkorak yang ditutup dengan jaringan ikat
disebut sutura.
1. Sutura sagitalis (selah panah) antara tulang parietal.
2. Sutura koronaria (sela mahkota) antara tulang frontalis dan
tulangparietalis.
3. Sutura lamboidea antara tulang occipitalis dan tulang parietalis.
4. Sutura frontalis : antara ke-2 frontalis.
Disamping itu terdapat pertemuan antara sutura-sutura yang
membentuk ubun-ubun (fontanella).
a. Ubun-ubun besar (fontanella mayor)

Bentuk

segi

empat

laying

merupakan

pertemuan

antarasutura sagitalis, dan sutura koronaria, dan sutura


frontalis.
Sudut lancipnya terletak di sutura sagitalis.
Sebagai petunjuk letak puncak kepala.
b. Ubun-ubun kecil (fontanella minor)
Dibentuk oleh sutura sagitalis dan sutura lamboidea.
Sebagai petunjuk letak belakang kepala. Sutura dan ubunubun tertutup pada bayi sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
2.1.4. Ukuran Tulang Kepala Bayi Aterm
1. Diameter suboksipito-bregmatika
Antara foramen magnum ke ubun-ubun basar.
Jaraknya 9,5 cm
Akan melalui jalan lahir pada letak belakang kepala, dengan
lingkaran sirkumferensia
suboksipito-bregmatikadengan ukuran 32 cm.
2. Diameter suboksipito-frontalis
Antara foramen magnum ke pangkal hidung
Jaraknya 11 cm
Ukuran yang melalui jalan lahir sirkumferensia suboksipitofrontalis dengan kedudukan fleksi sedang, belakang kepala.
3. Diameter fronto-oksipitalis
Antara titik pangkal hidung ke jarak terjauh pada belakang
kepala
Jaraknya 12 cm
Lingkaran fronto-oksipitalis dengan sirkumferensia 34 cm
melalui jalan lahir pada letak puncak kepala.
4. Diameter mento-oksipitalis
Antara dagu ke titik terjauh belakang kepala.
Jaraknya 13,5 cm
Dengan sirkumferensia 35 cm melalui jalan lahir pada letak
dahi.
5. Diameter submento-bregmatika
Antara os hyoid ke ubun-ubun besar.
Jaraknya 9 cm.Dengan sirkumferensia 32 cm melalui jalan
lahir pada letak muka.

6. Ukuran Melintang
Diameter biparietalis, antara kedua parietalis dengan ukuran
9,5 cm.
Diameter bitemporalis, antara kedua tulang temporalis dengan
ukuran 8,5 cm
Dalam struktur anatomi tubuh, tulang memegang peranan
untuk menegakkan bentuk tubuh serta untuk melindungi bagianbagian tubuh yang rawan. Berikut adalah fakta-fakta seputar tulang.
Bayi ketika lahir memiliki tulang sekitar 300 buah sementara
orang dewasa sebanyak 206 tulang. Ketika bayi tumbuh menjadi
dewasa beberapa tulang akan menyambung menjadi satu. Dan
beberapa tulang yang lunak dan fleksible secara perlahan akan
digantikan oleh tulang yang kuat ketika bayi tumbuh besar.
Tulang biasanya akan berhenti tumbuh saat manusia
memasuki usia 20 tahun. Dan seiring pertumbuhan usia tulang

akan kehilangan kepadatannya dan menjadi lebih tipis dan lebih


mudah patah. Tapi kita dapat menjaga kesehatan tulang dengan cara
memberi asupan kalsium serta vitamin D, juga olahraga khususnya
kaki Sebuah tulang kecil di belakang gendang telinga adalah tulang
terkecil di tubuh manusia. Tulang itu disebut stirrup dan panjangnya
hanya 2,5 33 mm. sementara tulang terpanjang dan terkuat adalah
tulang femur yang terletak antara pinggul hingga lutut.
Klavikula atau lebih dikenal dengan tulang selangka adalah
tulang yang paling mudah patah. Tulang selangka dapat patah karena
benturan pada bahu atau jatuh pada tangan. Patah pada tangan juga
umum terjadi karena kita sering menggunakannya saat menahan jatuh.
Ada sebuah tulang bernama hyoid yang terletak di bawah
lidah. Tulang itu adalah satu- satunya tulang yang tidak terhubung
dengan tulang lain.
2.1.5. System pernapasan

Kuncup paru paru (Lung buds) janin mula mula terbentuk


pada minggu ke 4 kehamilan. Perkembangan kuncup ( budding ) dan
pembentukan cabang ( Branching ) membentuk batang uatam lobulus
bronkopulmonal. Pembentukan cabang terus berlangsung sampai awal
masa kanak kanak, meskipun percabangan tersebut kurang
proliferatif. Dari bulan ke-6, lobulus berkembang menjadi duktus
alveolus. Dan duktus berkembang menjadi sakus alveolus, yang
menjadi alveoli sebenarnya pada bulan ke 2 kehidupan postnatal.
Karena sakus alveolus berkembang, epitel yang membatasi sakus
tersebut menipis. Kapiler kapiler paru menekan dinding sakus karena
paru

paru

dipersiapkan

untuk

pertukaran

oksigen

dan

karbondioksida, menjelang akhir bulan ke 6 kehamilan. Selama


minggu terakhir kehamilan, paru paru mengeluarkan surfaktan yang
mencegah sakus alveolus kolaps selama ekspirasi, menyebabkan
atelektasis diantara gangguan gangguan lain. Saat lahir, paru paru
berisi cairan. Cairan ini dengan cepat dihalau dan di absorbsi karena
paru paru terisi udara. Struktur tulang toraks ( Thoracic cage ) bayi
yang baru lahir agak bundar. Secara bertahap
diameter transversal bertambah sampai menjadi bentuk elips
seperti dada orang dewasa, kira kira umur 6 tahun. Struktur tulang
toraks bayi juga agak lunak, yang memungkinkan kerangka dada
tertarik selama pernapasan yang memerlukan usaha besar ( Labored
breathing ). Bayi mempunyai sedikit jaringan dan kartilago pada
trakea dan bronkus yang memungkinkan struktur ini lebih mudah
kolaps. Jalan napas berkembang lebih cepat daripada kolumna
vertebra. Pada bayi bifurkasi trakea adalah setinggi vertebra torakal ke
4. Bayi hanya bernapas melalui hidung, dan rongga hidung yang
dilewati lebih sempit. Pernapasan kurang ritmik dibandingkan anak.
Pada bayi dan anak usia dibawah 6 atau 7 tahun, jenis pernapasan
adalah pernapasan diagfragma atau pernapasan abdomen.volume

oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak anak lebih besar
daripada yang di ekspirasikan oleh orang dewasa.pada usia 12 tahun
anak mempunyai 9x jumlah alveoli dibandingkan ketika lahir
2.1.6. System kardiovaskuler
Pada tahap awal perkembangannya, jantung merupakan tuba
lurus. Antara minggu ke 2 dan ke 10 kehamilan jantung mengalami
serangkaian perubahan menjadi organ yang mempunyai 4 ruangan.
Jantung mulai berdenyut pada minggu ke 3 kehamilan. Selama
kehidupan janin, jantung mendistribusikan oksigen dan nutrient yang
disuplai melalui plasenta. Paru paru janin di pintas oleh pirau yang ada
selama kehidupan janin. Pada saat lahir pirau ini mulai menutup karena
tahanan pembuluh darah pulmonal turun. Tahanan pembuluh darah kira
kira sama dengan orang dewasa pada umur 6 minggu. Tahanan
pembuluh darah pulmonal relatif lebih tinggi pada bulan pertama
kehidupan bayi, dan kelainan jantung seperti defek sputum ventrikel
( VSD ) mungkin tidak dapat di deteksi.
Jantung adalah besar dalam hubungan nya dengan ukuran tubuh
pada bayi. Jantung terletak agak horizontal dan menempati sebagian
besar cavum thoraks. Perkembangan paru paru menyebabkan jantung
terdesak ke posisi yang lebih rendah dan pada umur 7 tahun jantung
dianggap seperti posisi jantung orang dewasa yang lebih oblik dan lebih
rendah. Ukuran jantung meningkat pada remaja karena pertumbuhan
yang cepat. Pada saat lahir dinding ventrikel mempunyai ketebalan yang
sama, tetapi dengan kebutuhan sirkulasi ventrikel kiri akan lebih tebal.
Dinding ventrikel yang tipis menghasilkan tekanan sistolik yang rendah
pada bayi baru lahir. Tekanan sistolik meningkat setelah lahir hingga
sampai mendekati tekanan sistolik orang dewasa pada saat pubertas.
Pembuluh darah memanjang dan menebal dalam berespons terhadap
tekanan yang meningkat.
2.1.7. System integumen

Kulit, yang mualai berkembang selama minggu ke 11


kehamilan, terdiri dari 3 lapisan ( Epidermis, Dermis dan jaringan
subkutan ). Kulit mempunyai 4 fungsi utama : perlindungan terhadap
cedera, termoregulasi, impermeabilitas, dan sensor terhadap sentuhan,
nyeri, panas, dan dingin. Ph kulit yang normal adalah asam, berguna
untuk melindungi kulit dari invasi bakteri. Pada bayi Ph kulit bayi
lebih tinggi, kulit lebih tipis, dan sekresi keringat dan sebum sedikit.
Akibatnya, bayi lebih rentan terhadap infeksi kulit daripada anak yang
lebih besar dan orang dewasa. Selanjutnya, karena pelekatan yang
longgar antara dermis dan epidermis, kulit bayi dan anak anak
cenderung mudah melepuh.
2.1.8. Sistem Pendengaran
Tiga bagian telinga berkembang pada masa embrio dalam
waktu yang bersamaan dengan perkembangan organ organ vital
lainnya, oleh karena itu deformitas pada telinga dapat memberikan
petunjuk

terhadap

penyimpangan

organ

lain

dalam

tubuh.

Perkembangan telinga luar dimulai kira kira pada minggu ke lima


kehamilan dan perkembangan telinga tengah sekitar minggu ke 6.
telinga terutama sekali rentan terhadap penyimpangan pada minggu ke
9 kehamilan. Neonatus mampu membedakan suara saat lahir dan lebih
mudah berespon terhadap suara dengan nada yang tinggi. Adanya
mucus pada tuba eustachius dapat membatasi pendengaran ketika bayi
pertama kali dilahirkan tetapi segera jelas setelah lahir. Verniks
kaseosa pada saluran telinga luar dapat menyulitakan visualisasi
membrane timpani. Bayi yang lebih muda berespon terhadap
kebisingan yang keras dengan reflex terkejut, berkedip, atau
menghentikan gerakan. Bayi, yang berumur 6 bulan atau lebih
mencoba mencari sumber suara.
2.1.9.

Sistem Penglihatan

Mata mulai terbentuk pada 22 hari kehamilan, dan pada 8


minggu kehamilan dianggap dalam bentuk yang lazim. Struktur dan
bentuk mata terus berkembang sampai anak mencapai usia sekolah.
Pada saat lahir Mielinisasi serat serat saraf sudah lengkap dan respon
pupil dapat diperoleh. Bayi baru lahir, bagaimanapun juga mempunyai
penglihatan yang terbatas. Neonatus mampu mengenali bentuk ibunya
dan mengenali cahaya dan gerakan, ditandai dengan refleks berkedip.
Nistagmus yang tajam umum terjadi. Kemampuan untuk mengikuti
objek tidak berkembang sampai umur 4 minggu, ketika bayimampu
mengikuti cahaya dan objek kegaris tengah. Pada umur 8 minggu bayi
mampu mengikuti cahaya melewati garis tengah, walaupun strabismus
menjadi jelas.
Strabismus konvergen intermiten umum terjadi sampai umur 6
bulan, kemudian menghilang. Otot otot dianggap berfungsi dengan
sempurna pada umur 1 tahun. Maculadan fovea sentralis secara
structural mengalami diferensiasi pada umur 4 bulan. Maturasi makula
dicapai saat umur 6 tahun. Perbedaan warna ada antara umur 3 dan 5
bulan. Bayi normalnya berpenglihatan jauh. Seperti anak kecil, bayi
melihat dengan baik pada rentang yang sempit. Ketajaman penglihatan
jauh. Seperti anak kecil, bayi melihat dengan baik pada rentang yang
sempit. Ketajaman penglihatan pada bayi mempunyai rentang dari
20/300 sampai 20/50. iris biasanya dianggap berwarna permanent saat
umur 6 bulan, tetapi pada beberapa anak tidak sampai 1 tahun.
Lakrimasi mulai ada saat berumur 6 12 minggu
2.2. Konsep Teori Bayi Prematur
2.2.1. Pengertian
Menurut WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum
usia kehamilan minggu ke -37 (dihitung dari minggu pertama haid
terakhir).

The american academy of pediatric, mengambil batasan 38


minggu untuk menyebut prematur.
Bayi prematur atau bayi pre-term adalah bayi yang berumur
kehamilan 37 minggu tanpa memperhatikan berat bedan. Sebagian besar
bayi lahir dengan berat badan kuang dari 2500 gram adalah bayi prematur
(Asrining Surasmi, dkk. 2003).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bayi prematur
ditetapkan berdasarkan umur kehamilan.

2.2.2. Etiologi
Menurut Bobak (2005), beberapa faktornya adalah sebagai berikut :
A. Faktor Maternal
Toksenia, hipertensi, malnutrisi atau penyakit kronik, misalnya
diabetes mellitus kelahiran prematur ini berkaitan dengan adanya
kondisi dimana uterus tidak mampu untuk menahan fetus, misalnya
pada pemisahan prematur, pelepasan plasenta dan infark dari plasenta.
B. Faktor Fetal
Kelainan Kromosomal (misalnya trisomi antosomal), fetus
multi ganda, cidera radiasi.
Faktor yang berhubungan dengan kelahiran prematur :
1. Kehamilan
a) Malformasi Uterus
b) Kehamilan ganda
c) TI. Servik Inkompeten
d) KPD
e) Pre eklamsia
f) Riwayat kelahiran prematur
g) Kelainan Rh
2. Penyakit
a) Diabetes Maternal
b) Hipertensi Kronik
c) UTI
d) Penyakit akut lain
3. Sosial Ekonomi
a) Tidak melakukan perawatan prenatal

b) Status social ekonomi rendah


c) Mal nutrisi
d) Kehamilan remaja
Faktor Resiko Persalinan Prematur :
1. Resiko Demografik
a) Ras
b) Usia (40 tahun)
c) Status sosial ekonomi rendah
d) Belum menikah
e) Tingkat pendidikan rendah
2. Resiko Medis
a) Persalinan dan kelahiran prematur sebelumnya
b) Abortus trimester kedua (lebih dari 2x abortus spontan atau
elektif)
c) Anomali uterus
d) Penyakit penyakit medis (diabetes, hipertensi)
e) Resiko kehamilan saat ini : Kehamilan multi janin, Hidramnion,
kenaikan BB kecil.
f) Masalah masalah plasenta (plasentaprevia, solusioplasenta),
pembedahan abdomen, infeksi (misalnya : pielonefritis, UTI),
inkompetensia serviks, KPD, anomali janin.
3. Resiko Perilaku dan Lingkungan
a) Nutrisi buruk
b) Merokok (lebih dari 10 rokok sehari)
c) Penyalah gunaan alkohol dan zat lainnya (misalnya : kokain)
d) Jarang atau tidak mendapat perawatan prenatal
4. Faktor Resiko Potensial
a) Stres
b) Iritabilitas uterus
c) Peristiwa yang mencetuskan kontraksi uterus
d) Perubahan serviks sebelum awitan persalinan
e) Ekspansi volume plasma yang tidak adekuat
f) Defisiensi progesteron
g) Infeksi

2.2.3.

Patofisiologi
Neonatus dengan imaturitas pertumbuhan dan perkembangan tidak

dapat menghasilkan kalori melalui peningkatan metabolisme. Hal ini


disebabkan karena respon menggigil bayi tidak ada atau kurang, sehingga
tidak dapat menambah aktivitas. Sumber utama kalori bila ada stress
dingin atau suhu lingkungan rendah adalah thermogenesis nonshiver.
Sebagai respons terhadap rangsangan dingin, tubuh bayi akan
mengeluarkan norepinefrin yang menstimulus metabolisme lemak dari
cadangan lemak cokelat untuk menghasilkan kalori yang kemudian
dibawa oleh darah ke jaringan. Stress dingin dapat menyebabkan
hipoksia,

metabolisme

asidosis

dan

hipoglikemia.

Peningkatan

metabolisme sebagai respons terhadap stress dingin akan meningkatkan


kebutuhan kalori dan oksigen. Bila oksigen yang tersedia tidak dapat
memenuhi kebutuhan, tekanan oksigen berkurang (hipoksia) dan keadaan
ini akan menjadi lebih buruk karena volume paru menurun akibat
berkurangnya oksigen darah dan kelaina paru (paru yang imatur).
Keadaan ini dapat sedikit terolong oleh hemoglobin fetal (HbF) yang
dapat mengikat oksigen lebih banyak sehingga bayi dapat bertahan lebih
lama pada kondisi tekanan oksigen yang kurang.
Stress akan direspons oleh bayi dengan melepas norepinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi paru. Akibatnya, menurunkan keefektifan
ventilasi paru sehingga kadar oksigen darah berkurang. Keadaan ini
menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob
yang menyebabkan peningkatan asam laktat, kondisi ini bersamaan
dengan metabolisme lemak cokelat yang menghasilkan asam sehingga
meningkatkan konstribusi terjadinya asidosis.
Kegiatan metabolisme anaerob menghilangkan glikogen lebih
banyak dari pada metabolisme aerob sehingga mempercepat terjadinya
hipoglikemia. Kondisi ini terjadi terutama bila cadangan glikogen saat
lahir sedikit, sesudah kelahiran pemasukan kalori rendah atau tidak
adekuat.

Bayi prematur umurnya relatif kurang mampu untuk bertahan


hidup karena struktur anatomi atau fisiologi yang imatur dan fungsi
biokimianya belum bekerja seperti bayi yang lebih tua. Kekurangan
tersebut berpengaruh terhadap kesanggupan bayi untuk mengatur dan
mempertahankan suhu badannya dalam batas normal. Bayi prematur dan
imatur tidak dapat mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal,
karena pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur, kurangnya
cadangan glikogen dan lemak cokelat sebagai sumber kalori. Tidak ada
atau kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relatif lebih
luas akan menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak.
Respons menggigil pada bayi kurang atau tidak ada, sehingga bayi tidak
dapat meningkatkan panas tubuh melalui aktivitas. Selain itu kontrol
refleks kapiler kulit juga masih kurang (Asrining Surasmi, dkk. 2003).

2.2.4.

Pathway (Surasmi, Asrining. 2003)

2.2.5. Manifestasi Klinis


Menurut Surasmi (2003), manifestasi klinis bayi prematur adalah sebagai
berikut :
1. Berat lahir sama dengan atau kurang dari 2.500 gram.
2. Panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm.
3. Lingkaran dada kurang dari 30 cm.
4. Lingkaran kepala kurang dari 33 cm.
5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
6. Kepala relatif lebih besar dari badannya, kulit tipis, transparan,
lanugonya banyak, lemak subkutan kurang, sering tampak peristaltik
usus.
7. Tangisnya lemah dan jarang, pernafasan tidak teratur dan sering timbul
apnea.
8. Reflek tonik leher lemah dan refleks morro positif.
9. Alat kelamin pada bayi laki laki pigmentasi dan rugae pada skrotum
kurang, testis belum turun kedalam skrotum. Untuk bayi perempuan
klitoris menonjol, labia minora belum tertutup labia mayora.
10. Tonus otot lemah, sehingga bayi kurang aktif dan pergerakannnya
lemah.
11. Verniks kaseosa tidak ada atau sedikit.
12. Fungsi saraf yang belum atau kurang matang mengakibatkan reflek
hisap, menelan dan batuk masih lemah atau tidak efektif.
13. Tulang rawan dan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya
sehingga seolah olah tidak teraba tulang rawan dan daun telinga.
14. Pergerakannya kurang dan masih lemah, pernapasan belum teratur.
15. Otot otot masih hipotonik.
16. Pernafasan sekitar 45 50 kali per menit.
17. Frekuensi nadi 100 140 kali per menit.
18. Pernafasan tidak teratur dapat terjadi apnea (gagal napas).
19. Kepala tidak mampu tegak.
2.2.6. Komplikasi
1. Sindrom Gawat Napas (RDS)
Tanda Klinisnya : Mendengkur, nafas cuping hidung, retraksi, sianosis,
peningkatan usaha nafas, hiperkarbia, asiobsis respiratorik, hipotensi
dan syok.
2. Displasin bronco pulmaner (BPD) dan Retinopati prematuritas (ROP)
Akibat terapi oksigen, seperti perporasi dan inflamasi nasal, trakea,
dan faring.
3. Duktus Arteriosus Paten (PDA)

4.
2.2.7.
1.
2.
3.
4.

Necrotizing Enterocolitas (NEC) (Bobak, 2005).


Pemeriksaan Diagnostik
Jumlah darah lengkap : Hb/Ht
Kalsium serum
Elektrolit (Na , K , U) : Gol darah (ABO)
Gas Darah Arteri (GDA) : Po2, Pco2 (Doengoes, 2001).

2.3. Konsep Dasar Askep BBLR


2.3.1. Pengkajian
A. Sirkulasi
1. Nadi apikal mungkin cepat atau tidak teratur dalam batas normal
(120 160 dpm)
2. Murmur jantung yang dapat menandakan duktus arteriosus paten
(PDA).
B. Makanan atau Cairan
1. Berat badan kurang dari 2500 gram.
C. Neurosensori
1. Tubuh panjang, kurus, lemas dengan perut agak gendut.
2. Ukuran kepala besar dalam hubungan dengan tubuh : sutura
mungkin mudah di gerakan, fontanel mungkin besar atau terbuka
lebar.
3. Umumnya terjadi edema pada kelopak mata, mata mungkin
merapat.
4. Reflek tergantung pada usia gestasi.
D. Pernafasan
1. Apgar score mungkin rendah.
2. Pernafasan dangkal, tidak teratur,

pernafasan

diafragmatik

intermiten (40 60 x/mnt) mengorok, pernafasan cuping hidung,


retraksi suprasternal subternal, sianosis ada.
3. Adanya bunyi ampelas pada auskultasi, menandakan sindrom
distres pernafasan (RDS).
E. Keamanan
1. Suhu berfluktuasi dengan mudah.
2. Menangis mungkin lemah.
3. Wajah mungkin memar, mungkin kaput suksedaneum.
4. Kulit transparan.
5. Lanugo terdistribusi secara luas diseluruh tubuh.
6. Ekstremitas tampak edema.
7. Garis telapak kaki terlihat.
8. Kuku pendek.
F. Seksualitas

1. Persalinan atau kelahiran tergesa gesa.


2. Genetalia : Labia minora lebih besar dari labia mayora dengan
kritoris menonjol testis pria tidak turun, rugae mungkin banyak atau
tidak ada pada skrotum.
G. Data Penunjang
1. Pengobatan :
a) Cettrazidine 2 x 75 mg.
b) Aminophylin 2 x 0,15 /IV.
c) Mikasin 2 x 10 mg.
d) Aminosteril 15 cc.
e) Perhatian Khusus : O2 dan Observasi TTV.
2. Laboratorium
a) Ht : 46 vol %
b) Hb : 15,7 gr/dl
c) Leukosit : 11 900 ul
d) Clorida darah : 112 mEq
e) Natrium darah : 140
f) Kalium : 4,1
g) GDS : 63
2.3.2. Diagnosa Keperawatan
A. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
B. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan imaturitas pusat
pernafasan perkembangan otot, penurunan energi atau kelelahan.
C. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
imaturitas produksi enzim.
D. Resiko terjadi penurunan

hipotermia

berhubungan

dengan

perkembangan SSP imatur, ketidakmampuan merasakan dingin dan


berkeringat.
E. Resiko infeksi berhubungan dengan respon imun imatur, prosedur
invasive.
2.3.3. Intervensi Keperawatan
A. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
Intervensi :
1. Ukur berat badan bayi dan perhatikan jenis kelamin.
2. Observasi pernafasan : cuping hidung, dispnea dan ronki.
3. Observasi dengan pemantauan O2 catat setiap jam ubah sisi alat
setiap 3 4 jam.

B. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan imaturitas pusat


pernafasan, keterbatasan perkembangan otot, penurunan energi atau
kelelahan.
Intervensi :
1. Observasi frekuensi pernapasan dan pola nafas (pernafasan, tonus
otot dan warna kulit).
2. Atur atau posisikan bayi telentang dengan gulungan popok di
bawah bahu.
3. Pertahankan suhu tubuh.
4. Berikan rangsang taktil yang segera.
5. Kolaborasi : Berikan O2 liter, Berikan obat aminofilin 2 x
0,15 cc.
C. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
imaturitas produksi enzim.
Intervensi :
1. Observasi maturitas refleks menelan dan menghisap.
2. Auskultasi bising usus sehari 1 kali.
3. Beri minum susu pasi LLM 10 x 10 cc/mnt setiap 3 jam.
4. Timbang berat badan setiap hari.
5. Berikan terapi mikasin 2 x 25 mg.
D. Resiko terjadi penurunan hipotermia berhubungan dengan
perkembangan SSP imatur, ketidakmampuan merasakan dingin dan
berkeringat
Intervensi :
1. Gunakan lampu pemanas selama prosedur.
2. Kurangi pemajanan pada aliran udara.
3. Ganti pakaian bila basah.
4. Observasi sistem pengaturan suhu inkubater setiap 15 menit
(33,4oC).
5. Observasi adanya sesak, sianosis, kulit belang dan menangis buruk.
6. Observasi keluaran dan berat jenis urin.
7. Kolaborasi : Berikan O2, Therapy Blue Light.
E. Resiko infeksi berhubungan dengan respon imun imatur, prosedur
invasive.
Intervensi :
1. Pertahankan cuci tangan yang benar.
2. Pertahankan kesterilan alat.
3. Observasi hasil pemeriksaan laboratorium.
4. Obervasi TTV S, N, P tiap 8 jam.
5. Observasi tanda tanda infeksi.

6. Kolaborasi : Berikan aminofilin 2 x 0,15 cc encerkan melalui IV


2.3.4.

tiap 7 jam, Berikan garamicyn (salep) 3 x sehari.


Implementasi
Implementasi adalah proses mewujudkan dan menerapkan strategi

yang telah dibuat ke dalam bentuk tindakan yang melalui berbagai


serangkaian prosedur, program serta anggaran.
2.3.5. Evaluasi
1. Jalan nafas tetap paten.
2. Bayi tidak menunjukan tanda tanda TIK.
3. Bayi menunjukan bukti homeostatis.
2.4. Konsep Teori BBLR
2.4.1. Pengertian
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (WHO, 1961). Berat badan
lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada
waktu lahir (Huda dan Hardhi, NANDA NIC NOC, 2013).
Menurut Ribek dkk (2011), berat badan lahir rendah yaitu bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa
memperhatikan usia gestasi (dihitung satu jam setelah melahirkan).
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan
kurang dari 2500 gram pada waktu lahir (Amru Sofian, 2012). Dikutip
dalam buku Nanda (2013).
2.4.2. Klasifikasi
BBLR dibedakan dalam dua golongan, yaitu :
1. Prematuritas murni
Masa gestasi kurang dari 37 minggu dan berat badan lahir
sesuai untuk masa kehamilan.
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu, artinya bayi mengalami
pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi kecil untuk masa
kehamilan.
2.4.3. Etiologi
A. Faktor Ibu
1. Umur ( 20 tahun).
2. Paritas.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Ras.
Infertilitas.
Riwayat kehamilan tak baik.
Rahim abnormal.
Jarak kelahiran terlalu dekat.
BBLR pada anak sebelumnya.
Malnutrisi sebelum hamil (pertambahan berat badan kurang selama

hamil).
10. Penyakit akut dankronik.
11. Kebiasaan tidak baik (pengobatan selama hamil, merokok,
alkohol, radiasi).
12. Keadaan penyebab insufisiensi plasenta (penyakit jantung, ginjal,
paru, hipertensi, DM, preeklamsi).
13. Keadaan sosial ekonomi (status gizi dan pengawasan ANC yang
kurang baik).
B. Faktor Placenta
1. Penyakit vaskuler.
2. Kehamilan ganda.
3. Malformasi.
4. Tumor.
C. Faktor Janin
1. Kelainan kromosom.
2. Malformasi.
3. Infeksi bawaan yang didapat dalam kandungan (misal : TORCH).
4. Kehamilan ganda.
2.4.4. Patofisiologi
Tingginya morbiditas dan mortalitas bayi berat lahir rendah masih
menjadi masalah utama. Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya
kehamilan maupun pada waktu sedang hamil, lebih sering menghasilkan
bayi BBLR. Kurang gizi yang kronis pada masa anak anak dengan atau
tanpa sakit yang berulang akan menyebabkan bentuk tubuh yang
Stunting atau Kuntet pada masa dewasa, kondisi ini sering melahirkan
bayi BBLR.
Faktor factor lain selama kehamilan, misalnya sakit berat,
komplikasi kehamilan, kurang gizi, keadaan stress pada hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin melalui efek buruk yang menimpa
ibunya, atau mempengaruhi pertumbuhan plasenta dan transpor zat zat
gizi ke janin sehingga menyebabkan bayi BBLR.

Bayi BBLR akan memiliki alat tubuh yang belum berfungsi


dengan baik. Oleh sebab itu ia akan mengalami kesulitan untuk hidup di
luar uterus ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang
sempurna pertumbuhan alat alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin
mudahnya terjadi komplikasi dan makin tinggi angka kematiannya.
Berkaitan dengan kurang sempurnanya alat alat dalam tubuhnya,
baik anatomik maupun fisiologik maka mudah timbul masalah, misalnya :
1. Suhu tubuh yang tidak stabil karena kesulitan mempertahankan suhu
tubuh yang disebabkan oleh penguapan yang bertambah akibat dari
kurangnya jaringan lemak di bawah kulit, permukaan tubuh yang
relatif lebih luas dibandingkan BB, otot yang tidak aktif, produksi
panas yang berkurang.
2. Gangguan pernafasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada
BBLR, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru
yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih lemah.
3. Gangguan alat pencernaan dan problem nutrisi, distensi abdomen
akibat dari motilitas usus kurang, volume lambung kurang, sehingga
waktu pengosongan lambung bertambah.
4. Ginjal yang immatur baik secara anatomis mapun fisiologis, produksi
urine berkurang.
5. Gangguan immunologik : daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang
karena rendahnya kadar IgG gamma globulin. Bayi prematur relatif
belum sanggup membentuk antibodi dan daya fagositas serta reaksi
terhadap peradangan masih belum baik.
6. Perdarahan intraventrikuler, hal ini disebabkan oleh karena bayi
prematur sering menderita apnea, hipoksia dan sindrom pernapasan,
akibatnya bayi menjadi hipoksia, hipertensi dan hiperkapnea, di mana
keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak bertambah dan keadaan
ini disebabkan oleh karena tidak adanya otoregulasi serebral pada bayi
prematur sehingga mudah terjadi perdarahan dari pembuluh kapiler

yang rapuh.

2.4.5.

Pathway

2.4.6. Manifestasi Klinis


A. Sebelum bayi lahir
1. Pada anamnesa sering dijumpai adanya riwayat abortus, partus
prematurus dan lahir mati.
2. Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan.
3. Pergerakan janin yang pertama (Queckening) terjadi lebih lambat,
gerakan janin lebih lambat walaupun kehamilannya sudah agak
lanjut.
4. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut
seharusnya

5. Sering dijumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisa pula


dengan hidramnion, hiperemesis gravidarum dan pada hamil lanjut
dengan toksemia gravidarum atau perdarahan ante partum.
B. Setelah bayi lahir
1. Berat lahir < 2500 gram.
2. Panjang badan < 45 cm.
3. Lingkaran dada < 30 cm.
4. Lingkaran kepala < 33 cm.
5. Umur kehamilan < 37 minggu.
6. Kepala relatif lebih besar dari badannya.
7. Kulit tipis, transparan, lanugonya banyak.
8. Lemak subkutan kurang, sering tampak peristaltik usus.
9. Tangisnya lemah dan jarang.
10.
Pernapasan tidak teratur dan sering terjadi apnea.
11.
Otot otot masih hipotonik, paha selalu dalam keadaan
12.

abduksi
Sendi lutut dan pergelangan kaki dalam keadaan flexi atau

lurus dan kepala mengarah ke satu sisi.


13.
Refleks tonik leher lemah dan refleks moro positif.
14.
Gerakan otot jarang akan tetapi lebih baik dari bayi cukup
bulan.
15.
Daya isap lemah terutama dalam hari hari pertama.
16.
Kulit mengkilat, licin, pitting edema.
17.
Frekuensi nadi berkisar 100 140 per menit.
2.4.7. Komplikasi
1. Kerusakan bernafas : fungsi organ belum sempurna.
2. Pneumonia, aspirasi : refleks menelan dan batuk belum sempurna
3. Perdarahan intraventrikuler : perdarahan spontan di ventrikel otak
lateral disebabkan anoksia menyebabkan hipoksia otak yang dapat
menimbulkan terjadinya kegagalan peredaran darah sistemik.
2.4.8.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan janin intyrauterin serta


menemukan gangguan perttumbuhan, misalnya pemeriksaan USG.
2. Memeriksa kadar gula darah dengan destrostix atau di laboratorium.
3. Pemerioksaan hematokrit.
4. Bayi membutuhkan lebih banyak kalori dibandingkan dengan bayi
SMK
5. Melakukan tracheal washing pada bayi yang diduga akan menderita

2.4.9.

aspirasi mekonium.
Penatalaksanaan
Dengan memperhatikan gambaran klinis diatas dan berbagai

kemungkinan yang dapat terjadi pada bayi BBLR, maka perawatan dan
pengawasan bayi BBLR ditujukan pada pengaturan panas badan,
pemberian makanan bayi, dan menghindari infeksi.
1. Pengaturan Suhu Tubuh Bayi BBLR
Bayi BBLR mudah dan cepat sekali menderita Hypotermia bila
berada di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh
permukaan tubuh bayi yang relatif lebih luas bila dibandingkan dengan
berat badan, kurangnya jaringan lemak dibawah kulit dan kekurangan
lemak coklat (brown fat).
Untuk mencegah hipotermi, perlu diusahakan lingkungan yang
cukup hangat untuk bayi dan dalam keadaan istirahat komsumsi
oksigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap normal. Bila
bayi dirawat dalam inkubator, maka suhunya untuk bayi dengan berat
badan kurang dari 2000 gr adalah 35C dan untuk bayi dengan BB
2000 gr 2500 gr adalah 34C, agar ia dapat mempertahankan suhu
tubuh sekitar 37C. Kelembaban inkubator berkisar antara 50 60
persen. Kelembapan yang lebih tinggi di perlukan pada bayi dengan
sindroma gangguan pernapasan. Suhu inkubator dapat di turunkan 1C
per minggu untuk bayi dengan berat badan 2000 gr dan secara
berangsur angsur ia dapat diletakkan di dalam tempat tidur bayi
dengan suhu lingkungan 27C 29C.
Bila inkubator tidak ada, pemanasan dapat dilakukan dengan
membungkus bayi dan meletakkan botol botol hangat di sekitarnya
atau dengan memasang lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi
atau dengan menggunakan metode kangguru.
Cara lain untuk mempertahankan suhu tubuh bayi sekiter 36C
37C adalah dengan memakai alat perspexheat shield yang
diselimuti pada bayi di dalam inkubator. Alat ini berguna untuk

mengurangi kehilangan panas karena radiasi. Akhir akhir ini telah


mulai digunakan inkubator yang dilengkapi dengan alat temperatur
sensor (thermistor probe). Alat ini ditempelkan di kulit bayi. Suhu
inkubator di kontrol oleh alat servomechanism. Dengan cara ini suhu
kulit bayi dapat dipertahankan pada derajat yang telah ditetapkan
sebelumnya. Alat ini sangat bermanfaat untuk bayi dengan berat lahir
yang sangat rendah.
Bayi dalam inkubator hanya dipakaikan popok. Hal ini penting
untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum,perubahan
tingkah laku, warna kulit, pernapasan, kejang dan sebagainya sehingga
penyakit yang diderita dapat dikenal sedini mungkin dan tindakan serta
pengobatan dapat dilaksanakan secepat cepatnya.

2. Pencegahan Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam
tubuh, khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah mendapat
infeksi. Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial.
Kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh kadar imunoglobulin
serum pada bayi BBLR masih rendah, aktifitas baktersidal neotrofil,
efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan fungsi imun belum
berpengalaman.
Infeksi lokal bayi cepat menjalar menjadi infeksi umum. Tetapi
diagnosis dini dapat ditegakkan jika cukup waspada terhadap
perubahan (kelainan) tingkah laku bayi sering merupakan tanda infeksi
umum. Perubahan tersebut antara lain : malas menetek, gelisah, letargi,
suhu tubuh meningkat, frekwensi pernafasan meningkat, muntah,
diare, berat badan mendadak turun.
Fungsi perawatan disini adalah memberi perlindungan terhadap
bayi BBLR dari infeksi. Oleh karena itu, bayi BBLR tidak boleh
kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan
masker dan abjun khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali
pusat, perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptik dan antiseptik
alat alat yang digunakan, isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio
perawat pasien yang idea, mengatur kunjungan, menghindari
perawatan yang terlalu lama, mencegah timbulnya asfiksia dan
pemberian antibiotik yang tepat.
3. Pengaturan Intake
Pengaturan intake adalah menetukan pilihan susu, cara
pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi
BBLR. ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan pertama jika bayi
mampu mengisap. ASI juga dapat dikeluarkan dan diberikan pada bayi
jika bayi tidak cukup mengisap. Jika ASI tidak ada atau tidak
mencukupi khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan susu formula
yang komposisinya mirip mirip ASI atau susu formula khusus bayi
BBLR.

Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan


pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan
masuknya udara dalam usus. Pada bayi dalam inkubator dengan kontak
yang minimal, tempat tidur atau kasur inkubator harus diangkat dan
bayi dibalik pada sisi kanannya. Sedangkan pada bayi lebih besar
dapat diberi makan dalam posisi dipangku. Pada bayi BBLR yang
lebih kecil, kurang giat mengisap dan sianosis ketika minum melalui
botol atau menetek pada ibunya, makanan diberikan melalui NGT.
Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan
berat badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam
dilakukan pada bayi dengan Berat Badan lebih rendah.
4. Pernapasan
Jalan napas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing,
trachea, bronchiolus, bronchiolus respiratorius, dan duktus alveeolaris
ke alveoli. Terhambatnya jalan nafas akan menimbulkan asfiksia,
hipoksia dan akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat
beradaptasi dengan asfiksia yang terjadi selama proses kelahiran
sehingga dapat lahir dengan asfiska perinatal. Bayi BBLR juga
berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfakatan,
sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang
sebelumnya di peroleh dari plasenta. Dalam kondisi seperti ini
diperlukan pembersihan jalan nafas segera setelah lahir (aspirasi
lendir), dibaringkan pada posisi miring, merangsang pernapasan
dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila tindakan ini gagal ,
dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan
pemberian natrium bikarbonat dan pemberian oksigen dan selama
pemberian intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini
dapat mencegah sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil
kematian bayi BBLR.
2.5. Konsep Dasar Askep BBLR
2.5.1. Pengkajian

A. Aktivitas atau Istirahat


Bayi sadar mungkin 2 3 jam bebrapa hari pertama tidur sehari
rata rata 20 jam.
B. Pernafasan
1. Takipnea sementara dapat dilihat, khususnya setelah kelahiran
cesaria atau persentasi bokong.
2. Pola nafas diafragmatik dan abdominal dengan gerakan sinkron dari
dada dan abdomen, perhatikan adanya sekret yang mengganggu
pernafasan, mengorok, pernafasan cuping hidung.
C. Makanan atau Cairan
Berat badan rata rata 2500 4000 gr : kurang dari 2500 gr
menunjukkan kecil untuk usia gestasi, pemberian nutrisi harus
diperhatikan. Bayi dengan dehidrasi harus diberi infus. Beri minum
dengan tetes ASI atau sonde karena refleks menelan BBLR belum
sempurna, kebutuhan cairan untuk bayi baru lahir 120 150ml/kg BB
per hari.
D. Berat badan
Kurang dari 2500 gr.
E. Suhu
BBLR mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu suhu
tubuhnya harus dipertahankan.
F. Integumen
Pada BBLR mempunyai adanya tanda tanda kulit tampak
mengkilat dan kering.
2.5.2.
A.
B.
C.
2.5.3.

Diagnose Keperawatan
Ketidakefektifan pola nafas.
Hipertemia.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Intervensi

Diagnosa
Keperawatan/
Masalah
Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

Pola Nafas tidak


efektif
berhubungan
dengan :
- Hiperventilasi
- Penurunan
energi/kelelahan
- Perusakan/pelemah
an muskuloskeletal
- Kelelahan otot
pernafasan
- Hipoventilasi
sindrom
- Nyeri
- Kecemasan
- Disfungsi
Neuromuskuler
- Obesitas
- Injuri tulang
belakang
DS:
- Dyspnea
- Nafas pendek
DO:
- Penurunan tekanan
inspirasi/ekspirasi
- Penurunan
pertukaran udara
per menit
- Menggunakan otot
pernafasan
tambahan
- Orthopnea
- Pernafasan pursedlip
- Tahap ekspirasi
berlangsung
sangat lama
- Penurunan
kapasitas vital
- Respirasi: < 11 24
x /mnt

NOC:
Respiratory status :
Ventilation
Respiratory status
Airway patency
Vital sign Status

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama ..pasien
menunjukkan keefektifan
pola nafas, dibuktikan
dengan kriteria hasil:
Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak
ada
sianosis
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dg
mudah, tidakada pursed
lips)
Menunjukkan
jalan
nafas yang paten (klien
tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi
pernafasan
dalam
rentang normal, tidak
ada
suara
nafas
abnormal)
Tanda
Tanda
vital
dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi,
pernafasan)

NIC:
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
Berikan bronkodilator :
-..
.
Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Bersihkan mulut, hidung dan secret
trakea
Pertahankan jalan nafas yang paten
Observasi
adanya
tanda
tanda
hipoventilasi
Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Monitor vital sign
Informasikan pada pasien dan keluarga
tentang
tehnik
relaksasi
untuk
memperbaiki pola nafas.
Ajarkan bagaimana batuk efektif
Monitor pola nafas

Diagnosa
Keperawatan/
Masalah
Kolaborasi
Hipertermia
Berhubungan
dengan :
- penyakit/
trauma
- peningkatan
metabolisme
- aktivitas
yang
berlebih
- dehidrasi
DO/DS:
kenaikan suhu
tubuh diatas
rentang normal
serangan atau
konvulsi
(kejang)
kulit
kemerahan
pertambahan
RR
takikardi
Kulit teraba
panas/ hangat

Diagnosa
Keperawatan/
Masalah
Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil
NOC:
Thermoregulasi
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama..pasien
menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas
normal dengan kreiteria
hasil:
Suhu 36 37C
Nadi dan RR dalam
rentang normal
Tidak ada perubahan
warna kulit dan tidak
ada pusing, merasa
nyaman

Intervensi

NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor
penurunan
tingkat
kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik:
Kelola
Antibiotik:
..
Selimuti pasien
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

Ketidakseimbanga
n nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
Berhubungan
dengan :
Ketidakmampuan
untuk memasukkan
atau mencerna
nutrisi oleh karena
faktor biologis,
psikologis atau
ekonomi.
DS:
-Nyeri abdomen
-Muntah
-Kejang perut
-Rasa penuh tibatiba setelah
makan
DO:
-Diare
-Rontok rambut
yang berlebih
-Kurang nafsu
makan
-Bising usus
berlebih
-Konjungtiva pucat
-Denyut nadi lemah

NOC:

aNutritional status:

Adequacy of nutrient
b Nutritional Status :
food and Fluid Intake
cWeight Control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan

selama.nutrisi kurang
teratasi dengan indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum

Hematokrit

Hemoglobin
Total iron binding
capacity

Jumlah limfosit

2.5.4.

Kaji adanya alergi makanan


Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
Yakinkan
diet
yang
dimakan
mengandung
tinggi
serat
untuk
mencegah konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat
catatan makanan harian.
Monitor adanya penurunan BB dan gula
darah
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan
dan tindakan
tidak selama jam makan
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
Monitor mual dan muntah
Monitor
pucat,
kemerahan,
dan
kekeringan jaringan konjungtiva
Monitor intake nuntrisi
Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat
adanya
edema,
hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas oval

Implementasi
Implementasi adalah proses mewujudkan dan menerapkan strategi

yang telah dibuat ke dalam bentuk tindakan yang melalui berbagai


serangkaian prosedur, program serta anggaran.
2.5.5. Evaluasi

Evaluasi adalah kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan


yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil proses keperawatan.
2.6. Konsep Teori RDS
2.6.1. Pengertian
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline
Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan
masa kehamilan kurang.
Sindroma Gawat Pernafasan (dulu disebut Penyakit Membran
Hialin) adalah suatu keadaan dimana kantung udara (alveoli) pada paruparu bayi tidak dapat tetap terbuka karena tingginya tegangan permukaan
akibat kekurangan surfaktan.
RDS adalah gangguan pernafasan yang terjadi pada bayi
premature dengan tanda-tanda takipnue (>60x/mnt), retraksi dada,
sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan xray thorak yang spesifik.
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur
pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam
paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disease (Suryadi dan
Yuliani, 2001).
2.6.2. Etiologi
Defesiensi atau kerusakan surfaktan. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress
Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya
didapatkan pada paru yang matur.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke22,
makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang

dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera
setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. Bayi yang sangat prematur
mungkin tidak mampu untuk memulai proses pernafasan karena tanpa
surfaktan paru paru menjadi sangat kaku. Bayi yang lebih besar bisa
memulai proses pernafasan, tetapi karena paru paru cenderung
mengalami kolaps, maka terjadilah sindroma gawat pernafasan. Kelainan
ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50 70%).

2.6.3. Klasifikasi
1. Gangguan nafas berat
Dikatakan gangguan nafas berat adalah frekuensi nafas lebih
dari 60x permenit dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada
atau merintih saat ekspirasi.
2. Gangguan nafas sedang
Dikatakan gangguan nafas sedang apabila frekuensi nafas 60x
90x permenit dengan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi
tetapi tanpa sianosis sentral.
3. Gangguan nafas ringan
Dikatakan gangguan nafas ringan adalah frekuensi nafas 60x
90x permenit tanpa tarikan dinding dada tanpa merintih saat ekspirasi
2.6.4.

atau sianosis sentral.


Patofisiologi
Sampai saat ini Penyakit Membran Hialin dianggap terjadi kaena

defisiensi pembentukan zat surfaktan pada paru bayi yang belum matang.
Surfaktan adalah zat yang berperan dalam pengembangan paru dan
merupakan suatu kompleks yang terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin
(lesitin), fosfatidil gliserol, apoprotein, kolesterol. Senyawa utama zat
tersebut adalah lesitin yang mulai dibentuk pada umur kehamilan 22 24
minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi normal setelah minggu ke
35. Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveolus untuk mengurangi
tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus
dengan jalan mencegah kolapsnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi.
Namun karena adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan
mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca lahir. Alveolus akan
kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang
disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi
CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :

Oksigenasi jaringan menurun > metabolisme anerobik dengan

penimbunan asam laktat asam organic > asidosis metabolik.


Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris > transudasi
kedalam alveoli > terbentuk fibrin > fibrin dan jaringan epitel yang
nekrotik > lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi

darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun
dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan.yang menyebabkan terjadinya atelektasis. Sel tipe II ini sangat
sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal,
dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti
hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan dalam bentuk
lingkaran setan, sebagai berikut :
Atelektasis hipoksemia asidosis transudasi penurunan aliran
darah paru hambatan pembentukan zat surfaktan atelekstasis. Hal
ini berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian.
Selain imaturitas pada paru, bayi prematur juga mengalami imatur
pada sistem pencernaannya, dimana sistem pencernaan bayi prematur
belum berfungsi secara optimal sepenuhnya. Hal tersebut mengakibatkan
motalitas usus menurun sehingga terjadi pe kemampuan pencernaan dan
absorbsi makanan berkurang.

2.6.5.

Pathway

2.6.6.

Manifestasi Klinis
Bayi penderita penyakit membran hialin biasanya bayi kurang

bulan yang lahir dengan berat badan antara 1200 2000 gram dengan
masa gestasi antara 30 36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan
berat badan lebih 2500 gram dan masa gestasi lebih 38 minggu.
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama
setelah lahir terutama pada umur 6 8 jam. Gejala karakteristik mulai
timbul pada usia 24 72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin
memburuk atau mengalami perbaikan. Bila keadaan membaik, gejala
akan menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh
atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti :
1. Dispnea.
2. Merintih saat ekspirasi (grunting).
3. Takipnea (frekwensi pernafasan > 60 / menit).
4. Pernafasan cuping hidung.
5. Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal)
pada saat inspirasi.
6. Sianosis.
Gejala gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi
lahir dengan gradasi yang berbeda beda. Namun yang ada ialah dispnea,
sehingga dapat kita katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas
bila kita menemukan adanya dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi
paru. Pada ventilasi paru yang normal tidak dibutuhkan frekuensi
ventilasi ekstra atau bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga kalau
telah ada dispnea maka akan terjadi takipnea., pernafasan cuping hidung,
retraksi dinding thoraks dan sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat
adanya dispnea pada neonatus pada dasarnya kita berhadapan dengan
sindrom gangguan nafas pada neonatus.
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gajala lain misalnya
brakikardia, hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di dorsal

tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot menurun dan terdapatnya gejala
sentral. Semua gejala tambahan ini sering ditemukan pada penyakit
membran hialin yang berat atau yang sudah mengalami komplikasi.
Gejala gejala dan tanda tanda penyakit ini dapat mencapai
puncaknya dalam waktu 3 hari, kemudian akan mulai terjadi perbaikan
yang berangsur angsur. Kematian jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali
pada bayi yang perjalanan penyakitnya fatal.
2.6.7. Komplikasi
A. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
1. kebocoran alveoli : apabila dicurigai terjadi kebocoran udara
(pneumothorak,

pneumomediastinum,

pneumopericardium,

emfisema intersisiel), pada bayi dengan RDS yang tiba tiba


memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi
atau adanya asidosis yang menetap.
2. Angkutan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi
dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum
vena, kateter, dan alat alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia

periventrikular :

perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20 40% bayi prematur


dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
B. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan
kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi
jangka panjang yang sering terjadi :
1 Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) : merupakan penyakit paru
kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa
gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10


70% bayi

yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya

hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.


2.6.8. Pemeriksaan Diagnostik
A. Gambaran Rontgen
Berdasarkan gambaran rontgen, paru paru dapat memberikan
gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi
gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air
bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena
superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen
normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6 12 hari.
Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat, yaitu :
1. Stage I : Gambaran reticulogranular.
2. Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung.
3. Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.
4. Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma
dan thymus.
B. Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan
gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda tanda infeksi. Kultur
darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat
ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia
progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium
diantaranya ialah pemeriksaan darah :
1. Kadar asam laktat dalam darah meninggi.
2. Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal
dengan berat badan sama.
3. kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya doksigenasi di
dalam paru dan karena adanya pirau arteri vena.
4. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran
CO2 sebagai akibat atelektasis paru.
5. PH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik tubuh.
Juga diperkirakan pemeriksaan :

1. Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander


bila bayi jatuh dalam syok.
2. Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk
trombosit, kultur darah, cairan amnion dan urin, CRP.
3. Elektrolit.
4. Golongan darah.
5. Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi).
C. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan
menentukan arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa
hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan
struktural jantung.
D. Tes Kocok (Shake Test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat
lambung diambil melalui nasogastrik tube pada neonatus sebanyak 0,5
ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur di dalam tabung 4
ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15
menit.
Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi
HMD.
1. +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko
terjadi HMD.
2. +2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung.
3. +3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa
gelembung pada dua deret.
4. +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh
permukaan neonatus matur.
E. Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi
kemungkinan terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi
lesitin

dari

cairan

amnion

dengan

melakukan

amniosentesis

(pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin spingomielin.


F. Tes Apung Paru
Tes apung paru paru (docimacia pulmonum hydrostatica),
dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah
hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus segar.

Keluarkan alat alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada
dalam satu kesatuan, pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat.
Apungkan seluruh alat alat tersebut pada bak yang berisi air. Bila
terapung, lepaskan organ paru paru, baik yang kiri maupun yang
kanan. Apungkan kedua organ paru paru tadi, bila terapung lanjutkan
dengan pemisahan masing masing lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri
2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam,
mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu
tiap-tiap lobus 5 potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang
terpisah dan perifer. Apungkan ke 25 potongan kecil kecil tersebut.
Bila terapung, letakan potongan tersebut pada 2 karton, dan lakukan
penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke
dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paru paru
mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya
sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi
2.6.9.

tetap pernah dilahirkan hidup.


Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi, dkk (2003),

tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :


1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
7. Pantau selalu tanda vital.
8. Jaga patensi jalan nafas.
9. Berikan Oksigen (2 3 liter/menit dengan kateter nasal).
Penatalaksanaan secara umum :
1. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling
sering dan bila bayi tidak

dalam keadaan dehidrasi berikan infus

dektrosa 5%.
2. Jika bayi mengalami apneu.
a)
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan.
b)
Lakukan penilaian lanjut.

3. Bila terjadi kejang potong kejang.


4. Segera periksa kadar gula darah.
5. Pemberian nutrisi adekuat.
2.7. Konsep Askep RDS
2.7.1. Pengkajian
A. Riwayat Maternal
1. Menderita penyakit seperti diabetes mellitus.
2. Kondisi seperti perdarahan plasenta.
3. Tipe dan lamanya persalinan.
4. Stress fetal atau intrapartus.
B. Status Infant Saat Lahir
1. Prematur, umur kehamilan.
2. Apgar score, apakah terjadi aspiksia.
3. Bayi prematur yang lahir melalui operasi Caesar.
C. Cardiovascular
1. Bradikardi (dibawah 100x per menit) dengan hipoksemia berat.
2. Murmur sistolik.
3. Denyut jantung dalam batas normal.
D. Integumen
1.
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral.
2.
Pitting edema pada tangan dan kaki.
3.
Mottling.
E. Neurologis
1.
Immobilitas, kelemahan, flaciditas.
2.
Penurunan suhu tubuh.
F. Pulmonary
1.
Takipnea (pernafasan lebih dari 60x per menit, mungkin 80
2.
3.
4.
5.

100x).
Nafas grunting.
Nasal flaring.
Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal.
Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkum oral) berhubungan

dengan persentase desaturasi hemoglobin.


6.
Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea.
G. Pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS, gejala
tersebut dapat terjadi pada saat kelahiran atau antara waktu 2 jam.
Perkembangan penyakit terjadi dengan cepat yang dimulai dengan :
1. Takipnea.
2. Pernapaan mendengkur.
3. Retraksi sukostal atau interkostal.
4. Sianosis dan pucat.
5. Meningkatnya gejala lapar udara.
6. Gerakan tubuh berirama.

7. Sentakan dagu.
8. Awalnya suara napas normal kemudian pernapasan dalam.
2.7.2. Diagnosa Keperawatan
A. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defisiensi surfaktan.
B. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke
jaringan menurun.
C. Gangguan pemenuhan
2.7.3.
NO
1.

nutrisi

kurang

adri

kebutuhan

tubuh

berhubungan dengan imaturitas sistem pencernaan.


Intervensi

DIAGNOSA
KEPERAWATAN

TUJUAN DAN
INTERVENSI
KRITERIA HASIL
Tujuan :
1. 1. Posisikan
untuk
1.
Pola napas tidak
Setelah
dilakukan
pertukaran
udara
yang
efektif berhubung
asuhan keperawatan
optimal:
an dengan
diharapkan bayi mampu: -Tempatkan
pada
defisiensi
1. menunjukan pola napas posisitelungkup
bila
surfaktan
yang adekuat.
mungkin
2. Menunjukan frekuensi - Tempatkan pada posisi
dan pola napas dalm
terlentang pada posisi
2.
batas yang sesuai usia
mengendus dengan leher
dan BB dengan kriteria
sedikit
ekstensi
dan
hasil:
hidung
menghadap
3.
- BBL frek napas 30keatas.
60x/menit
2. 2. Hindari heperektensi
4.
-Frek napas saat tidur
leher
35x/menit
3. 3.
Observasi adanya
penyimpangan dari fungsi
pernapasan
misal
mengorok,
sianosis,
pernapasan
cuping
5.
hidung,apnea.
4. 4.Lakukan penghisapan 6.
5.
Penghisapan
endotracheal
sebelum
7.
pemberian surfaktan
8.
9.
5.Petahankan suhu
lingkungan yang netral

RASIONAL
1.Karena posisi ini
menghasilkan
perbaikan oksigenasi,
mengatur pola tidur
atau istirahat dan
mencegah adanya
penyempitan jalan
napas.
2.Karena akan
mengurangi diameter
trachea
3.Untuk mengenali
tanda-tanda disetress
4. Untuk
menghilangkan mukus
yang terakumulasi dari
nasofaraing trachea
dan selang
endotracheal
5.Untuk memastikan
jalan napas bersih
6.Untuk menghemat
penggunaan O2

KOLABORASI
1.Untuk menurunkan
tegangan permukaan
alveolar
10.
2. Untuk
K KOLABORASI
1.Beri surfaktan sesuai meningkatkan absorbsi
kedalam alveolar
petunjuk pabrik.

2.Hindari penghisapan
11.
sedikitnya 1 jam setelah
pemberian surfaktan
12.
3.Lakukan regimen yang
diresepkan untuk terapi
suplemental
4.Pantau pertukaran gas
2.

Gangguan perfusi
jaringan b/d
suplai oksigen ke
jaringan menurun

3.Untuk
mempertahankan
konsentrasi O2
4.Untuk memantau
respon bayi terhadap
terapi

Setelah dilakukan
1.1.Auskultasi frek dan
1. 1.Takikardia sebagai
asuhan keperawatan
irama dan irama jantung , akibat hipoksemia
diharapkan bayi dapat
catat terjadinya irama dan kompensasi upaya
menunujukan:
jantung ekstra.
peningkatan aliran
Tingkat perfusi yang
2.Observasi perubahan darah dan perfusi
sesuai misal status
status mental.
jaringan.Gangguan
mental normal, irama
3.Observasi warna dan irama berhubungan
jantung dan frekkuensi
suhu kulit atau membran dengan hipoksemia.
nadi normal, tidak
mukosa.
2.2.Gelisah dan
terjadi sianosis, kulit
4.Ukur haluaran urin dan perubahan sensori atau
hangat dan kering,
catat BJ urin
motorik dapat
mukosa normal,
menunjukan gangguan
haluaran urin normal. K KOLABORASI
aliran darah, dan
1.1.Berikan cairan IV atau
hipoksia.
oral sesuai indikasi
3.3.Kulit pucat atau
2. Pantau pemerikasaan
sianosis, kuku
diagnostik misal EKG,
membran bibir atau
elektrolit, dan GDA.
lidah menunjukan
vasokontriksi atau
syok.
4.4.Penurunan curah
jantung menimbulkan
penurunan perfusi
ginjal yang
dimanifestasikan oleh
penurunan haluaran
urin dengan BJ
normal/ meningkat.
KOLABORASI
1. 1.Untuk menurunkan
hiperviskositas darah
atau perfusi jaringan.
2. 2. Mengevaluasi

perubahan fungsi
organ dan mengawasi
efek terapi.
3.

Gangguan
pemenuhan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
berhubungan
dengan imaturitas
sistem
pencernaan

2.7.4.

Setelah dilakukan
1. 1.Pemberian
minuman1.1.Menghindari
asuhan keperawatan
dimulai pd waktu abyi terjadinya hipoglikemi
diharapkan bayi
berumur 3 jam dengan dan hiperbilirubinme.
mendapat nutrisi
jumlah cairan pertama 2. Untuk mengetahui
yang adekuat dan
kali 1-5 ml/jam dan ada tidaknya atresia
menunujukan
jumlahnya
dapat esophagus dan
pertambahan BB yang
ditambah
sedikit-demi mencegah muntah.
tepat dengan kriteria
sedikit setiap 12 jam.
3. Untuk menghindari
hasil:
2.Sebelum pemberian bayi tersedak.
Bayi menunjukan
minuman pertama harus 4.Untuk menjaga
penambahah BB yang
dilakukan
penghisapan
nutrisi yang ade kuat.
mantap (20-30 gram)
cairan lambung.
5.Agar bayi tidak
per hari
3.Pemberian minuman
mengalami diare dan
Otot kuat
sebaiknya sedikit demi
susu bisa lebih
Lingkar lengan > 9,5
sedikit tapi frekuensinya
dicerna.
cm
lebih sering .
6.Untuk menjaga
Lingkar dada > 33 cm
4.Banyaknya cairan yang
nutrisi dan cairan bayi
diberikan
60
yang ade kuat.
ml/kg/BB/hari
sampai
7. Agar susu lebih
akhir minggu kedua.
mudah dicerna.
5.Bila bayi belum dapat
ASI, ASI dipompa dan
dimasukan kedalam botol
steril.
6.Bila ASI tidak ada maka
diganti
dengan
susu
buatan yang mengandung
lemak dan mudah dicerna
yang mengandung 0
kalori / 30ml air atau 110
kkal/kg/BB/hari.
7.Gunakan makanan
nasogastrik bila bayi
mudah lelah, mengalami
penyakit hisapan, reflek
muntah dan menelan yang
lemah.

Implementasi

Implementasi adalah proses mewujudkan dan menerapkan strategi


yang telah dibuat ke dalam bentuk tindakan yang melalui berbagai
serangkaian prosedur, program serta anggaran.
2.7.5. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan
yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil proses keperawatan.
2.8. Konsep Teori Asphyxia
2.8.1. Pengertian
Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut
dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke
asidosis (Hidayat, 2005).
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir
(Mansjoer, 2000).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan
asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi
organ vital lainnya (Saiffudin, 2001).
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir.
Asfiksia Neonatus adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir.
Asfiksia adalah perubahan patologis yang dikarenakan oleh
kurangnya oksigen dalam udara pernapasan, yang mengakibatkan
hipoksia dan hiperkapnia (Dorland, 2002).
Asfiksia neonatus adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernapas brnapas secara spontan dan teratur setelah lahir (Wikenjosastro,
Hanifa, 2002 ).
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa asfiksia
merupakan suatu keadaan dimana ketika bayi telah lahir, bayi tidak dapat

atau tidak mampu bernafas secara spontan yang dapat mempengaruhi


organ vital lainnya.
2.8.2. Klasifikasi
Klasifikasi asfeksia berdasarkan jenis asfiksia adalah sebagai
berikut :
A. Asfiksia livida (biru).
B. Asfiksia pallida (putih).
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR adalah sebagai
berikut :
A. Asfiksia berat
Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0 3, pada pemeriksaan
fisik ditemukan freuensi jantung minus dari 100x/mnt, tonus otot
buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleksitabilitas tidak
ada, dengan henti jantung dimaksudkan dengan henti jantung ialah
keadaan :
1. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 mnt
sebelum lahir lengkap.
2. Bunyi jantung bayi menghilang postpartum. Dalam hal ini
pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditentukan pada
penderita asfiksia berat.

B. Asfiksia ringan sedang


Mild Moderat Asphyxia (asfiksia ringan sedang). Skor APGAR
4 6 pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100x/mnt, tonus otot minus baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas
tidak ada.
1) Bayi normal (Vigorous baby) atau sedikit asfiksia dengan nilai
APGAR 7 9.
2) Bayi normal dengan nilai APGAR 10.
2.8.3. Etiologi
Keadaan asfiksia terejadi karena kurangnya kemampuan fungsi
organ bayi seperti pengembangan paru paru. Proses terjadinya asfiksia
neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau segera
setelah bayi lahir.
A. Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah : Asfiksia dalam
persalinan
1. Kekurangan O2
a) Partus lama (KPD, rigid serviks dan atonia atau insersi uteri)
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai
pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat
terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan
37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi
lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan. (Sujiyatini,
2009).
Pada ketuban pecah dini bisa menyebabkan persalinan
berlangsung lebih lama dari keadaan normal, dan dapat
menyebabkan infeksi. Infeksi adalah bahaya yang serius yang
mengancam ibu dan janinnya, bakteri di dalam cairan amnion
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh
korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin.
Bahkan jika jumlah air ketuban sedikit dan mengandung
mekonium akan berisiko asfiksia. (Wiknjosastro, 2007 ).

b) Pada

Rigid

serviks

atau

kekauan

serviks

juga

dapat

menyebabkan terjadinya partus lama karena jalan keluar janin


terhambat atau macet.
c) Pada Atonia uteri akan menyebabkan uterus dalam kondisi yang
sangat lelah, sehingga otot otot rahim tidak mampu melakukan
kontraksi sehingga menggangu kemajuan persalinan.
d) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terusmenerus mengganggu sirkulasi darah ke uteri sehingga sulpai O2
ke janin berkurang.
e) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
f) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan
panggul.
g) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada
waktunya.
h) Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
i) Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi
uteri.
2. Paralisis pusat pernafasan
a) Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
Melahirkan dengan cara mencongkel sisi kepala bayi
dengan alat yang disebut forceps. Penggunaan alat ini otomatis
akan memperlebar jalan lahir, dan memperbanyak luka ahitan
pada ibu serta menyebabkan trauma pada kepala bayi, sehingga
dapat menyebabkan gangguan pada pusat penapasan (medulla
oblongata).

b) Trauma dari dalam : akibat obat bius.


Pemberian obat bius pada saat melahirkan, obat bius
dapat

masuk

kejanin

melalu

plasenta

sehingga

dapat

mengakibatkan paralisis pusat pernapasan.


B. Sedangkan menurut Towell (1966), asfiksia dapat dipengaruhi
beberapa faktor yaitu :
1 Faktor ibu
a) Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan
hipoksia janin dengan segala hasilnya.
b) Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah

pada

uterus

akan

menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga


ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan kontraksi
uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan,
2

hipertensi pada penyakit eklampsi.


Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas
dan kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat
gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta,

solusio plasenta.
Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya
aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat
pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat
ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher,
kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin.

Faktor neonates
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi
karena beberapa hal yaitu :
a) Penggunaan obat anestesi yang berlebihan pada ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
b) Trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra
cranial.
c) Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika,
atresia atau stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru (FKUI,

2.8.4.

2001).
Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah

rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)


menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus
tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus
simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita
periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut
jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara
berangsur angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika
berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi
memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut
jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun.
Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi
jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai
segera.

2.8.5.

Pathway

2.8.6. Manifestasi Klinis


A. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang
dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran
mekonium.
1. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia.
2. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang
asfiksia.
3. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam
gawat.
B. Pada bayi setelah lahir
1. Bayi pucat dan kebiru biruan.
2. Usaha bernafas minimal atau tidak ada.
3. Hipoksia.
4. Asidosis metabolik atau respiratori.
5. Perubahan fungsi jantung.
6. Kegagalan sistem multiorgan.
7. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala
neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik atau
tidak menangis.
2.8.7. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak dan Perdarahan otak.
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang
telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah
ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia

dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga
dapat menimbulkan perdarahan otak.

2. Anuria atau oliguri.


Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita
asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat
terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini
curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium
dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada
pembuluh

darah

mesentrium

dan

ginjal

yang

menyebabkan

pengeluaran urine sedikit.


3. Kejang.
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan
pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan
persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat
menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak
efektif.
4. Koma.
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
2.8.8.

perdarahan pada otak.


Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan

diagnostik

yang

dilakukan

untuk

mendiagnosis adanya asfiksia pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:


1. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat
serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh
darah

janin.

Darah

ini

diperiksa

pHnya.

Adanya

asidosis

menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah 7,2


hal itu dianggap sebagai tanda bahaya (Wiknjosastro, 2007).
2. Analisa gas darah
Analisa dilakukan pada darah arteri, penting untuk mengetahui
adanya asidosis dan alkalosis respiratorik atau metabolik. Hal ini
diketahui dengan tingkat saturasi SaO2 dan PaO2. Pemeriksaan ini juga
dilakukan untuk mengetahui oksigenasi, evaluasi tingkat kemajuan
terapi (Muttaqin, 2008).
3. Elektrolit darah

Komplikasi metabolisme terjadi di dalam tubuh akibatnya


persediaan garam garam elektrolit sebagai buffer juga terganggu
kesetimbangannya. Timbul asidosis laktat, hipokalsemi, hiponatremia,
hiperkalemi. Pemeriksaan elektrolit darah dilakukan uji laboratorium
dengan test urine untuk kandungan ureum, natrium, keton atau protein
(Harris, 2003).
4. Gula darah
Pemeriksaan gula darah dilakukan uji laboratorium dengan test
urine untuk kandungan glukosa. Menurut Harris (2003), penderita
asfiksia umumnya mengalami hipoglikemi.
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi seperti ultrasonografi (USG), computed
tomography scan (CTScan) dan magnetic resonance imaging (MRI)
6.
7.
8.
9.
2.8.9.
A.

mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis.


USG (kepala).
Penilaian APGAR score.
Pemeriksaan EGC dab CTScan.
Foto polos dada.
Penatalaksanaan
Pengaturan suhu
Segera setelah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya
dikeringkan seluruhnya dengan kain kering dan hangat, dan diletakan
telanjang di bawah alat atau lampu pemanas radiasi, atau pada tubuh
Ibunya, bayi dan Ibu hendaknya diselimuti dengan baik, namun harus
diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan pada

tubuh bayi.
B. Lakukan tindakan ABCD (Airway atau membersihkan jalan nafas,
Breathing atau mengusahakan timbulnya pernafasan atau ventilasi,
Circulation atau memperbaiki sirkulasi tubuh, Drug atau memberikan
obat)
1. Memastikan saluran nafas terbuka.
a) Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi, bahu diganjal.
b) Menghisap mulut, hidung dan trakhea.
c) Bila perlu, masukkan pipa ET untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan.

a) Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.


b) Memakai VTP bila perlu, seperti sungkup dan balon, pipa ET
dan balon, mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi darah.
a) Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
kompres pada daerah dada.
4. Pemberian obat obatan.
a) Epineprin
Indikasi : diberikan apabila frekuensi jantung tetap di bawah 80
x/mnt walaupun telah diberikan paling sedikit 30 detik VTP
adekuat dengan oksigen 100 % dan kompresi dada atau frekuensi
jantung.
Dosis : 0,1 0,3 ml/kg untuk larutan 1:10000.
Cara pemberian : dapat melalui intravena (IV) atau melalui pipa
endotrakheal.
Efek : Untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan konstraksi
jantung.
b) Volume ekspander (darah atau whole blood, cairan albumin
salin 5%, Nacl, RL).
Indikasi : digunakan dalam resusitasi apabila terdapat kejadian
atau diduga adanya kehilangan darah akut dengan tanda tanda
hipovolemi.
Dosis : 10 ml/kg.
Cara pemberian : IV dengan kecepatan pemberian selama waktu
5 10 menit.
Efek : meningkatkan volume vaskuler, meningkatkan asidosis
metabolik.
c) Natrium Bikarbonat.
Indikasi : digunakan apabila terdapat apneu yang lama yang
tidak memberikan respon terhadap terapi lain. Diberikan apabila
VTP sudah dilakukan.
Efek : memperbaiki asidosis metabolik dengan meningkatkan ph
darah apabila ventilasi adekuat, menimbulkan penambahan
volume disebabkan oleh cairan garam hipertonik.
d) Nalakson hidroklorid atau narcan.

Indikasi : depresi pernafasan yang berat atau riwayat pemberian


narkotik pada Ibu dalam 4 jam sebelum persalinan.
Efek : antagonis narkotik.
2.9. Konsep Askep Asphyxia
2.9.1. Pengkajian
A. Sirkulasi
1. Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan
darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg
(diastolik).
2. Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas
maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/
IV.
3. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
4. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
B. Eliminas
Dapat berkemih saat lahir.
1. Makanan atau cairan.
2. Berat badan : 2500 4000 gram.
3. Panjang badan : 44 45 cm.
4. Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi).
C. Neurosensori
1. Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
2. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30
menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas).
Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).
3. Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi
menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik
yang memanjang).
D. Pernafasan
1. Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7
10.
2. Rentang dari 30 60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
3. Bunyi nafas bilateral, kadang kadang krekels umum pada awalnya
silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
E. Keamanan
1. Suhu rentang dari 36,5C sampai 37,5C. Ada verniks (jumlah dan
distribusi tergantung pada usia gestasi).

2. Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan atau kaki dapat


terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belangbelang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan
forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala atau
wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan
kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis
(kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak
mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.
Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal).
2.9.2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi mukus
banyak.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi atau
hiperventilasi
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
4. Risiko cedera berhubungan dengan anomali kongenital tidak terdeteksi
atau tidak teratasi pemajanan pada agen agen infeksius.
5. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan kurangnya
suplai O2 dalam darah.
6. Proses keluarga terhenti berhubungan dengan pergantian dalam status
kesehatan anggota keluarga.
2.9.3. Intervensi
A. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi mukus
banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan jalan nafas lancar.
NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas
Kriteria Hasil :

1. Mudah dalam bernafas.


2. Tidak menunjukkan kegelisahan.
3. Tidak adanya sianosis.
4. PaCO2 dalam batas normal.
5. PaO2 dalam batas normal.
6. Keseimbangan perfusi ventilasi
NIC I : Suction jalan nafas
Intevensi :
1. Tentukan kebutuhan oral atau suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction.
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum,
selama dan sesudah suction.
NIC II : Resusitasi : Neonatus
1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.
2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat
berfungsi dengan baik.
3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.
4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk
menghisap mekonium.
5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari
jalan nafas bawah.
6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.
7. Monitor respirasi.
8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.
B. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi atau
hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif.
NOC : Status Respirasi : Ventilasi
Kriteria Hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
2. Ekspansi dada simetris.
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
NIC : Manajemen Jalan Nafas
Intervensi :
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan
lender.
2. Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.

3. Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan


ventilasi.
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian
alan bantu nafas.
5. Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.
6. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.
C. Kerusakan pertukaran gas berhubungn dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi.
NOC : Status Respiratorius : Pertukaran gas
Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas.
2. Fungsi paru dalam batas normal
NIC : Manajemen Asam Basa
Intervensi :
1. Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi
sputum.
2. Pantau saturasi O2 dengan oksimetri.
3. Pantau hasil Analisa Gas Darah
D. Risiko cedera berhubungan dengan anomali kongenital tidak terdeteksi
atau tidak teratasi pemajanan pada agen agen infeksius.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.
NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak
Kriteria hasil :
1. Bebas dari cidera atau komplikasi.
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan
anak.
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.
NIC : Kontrol Infeksi
Intervensi :
1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.
2. Pakai sarung tangan steril.
3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir,
perhatikan pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali.
4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
melaporkannya pada pemberi pelayanan kesehatan.

dan

5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B


dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen
permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag)
atau antigen E (Hbe Ag).
E. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam
darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan suhu tubuh normal.
NOC I : Termoregulasi : Neonatus
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.
2. Tidak terjadi distress pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan warna kulit.
5. Bilirubin dalam batas normal.
NIC I : Perawatan Hipotermi
Intervensi :
1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan
yang angat.
2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue,
apatis, perubahan warna kulit dan lain lain.
3. Monitor temperatur dan warna kulit.
4. Monitor TTV.
5. Monitor adanya bradikardi.
6. Monitor status pernafasan.
NIC II : Temperatur Regulasi
Intervensi :
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.
2.10. Konsep Teori Hiperbilirubin
2.10.1.Definisi Penyakit
Menurut Sutrisno (2009) hiperbilirubinemia merupakan suatu
keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg%
pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera
dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern
ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar

bilirubin pada otak. Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat


pada 25 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus
kurang bulan) (Sutrisno, 2009).
Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan
ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. Nilai
normal : bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl
(Sutrisno, 2009).
2.10.2.Etiologi
Menurut Peningkatan kadar serum bilirubin disebabkan oleh
deposisi pigmen bilirubin yang terjadi waktu pemecahan sel darah
merah. Phototerapi merupakan terapi untuk hiperbilirubin (Nennisa,
2007). Etiologi hiperbilirubin antara lain (Anonim, 2008) :
1. Peningkatan produksi.
Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila
terdapat

ketidaksesuaian

golongan

darah

dan

anak

pada

penggolongan rhesus dan ABO.


2. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis.
3. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase).
4. Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta), diol (steroid).
5. Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin
indirek meningkat misalnya pada BBLR.
6. Kelainan congenital.
7. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu
misalnya sulfadiazine.
8. Gangguan fungsi hati

yang

disebabkan

oleh

beberapa

mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati


dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
9. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatik.
10. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

Menurut Ika (2008) sel sel darah merah yang telah tua dan
rusak akan dipecah atau dihidrolisis menjadi bilirubin (pigmen warna
kuning), yang oleh hati akan dimetabolisme dan dibuang melalui feses.
Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu mengubah
bilirubin sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi
secara normal pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri
pemetabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi sehingga
ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak dibuang
bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukoronil
transferase yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap kembali
bilirubin ke dalam darah sehingga makin memperparah akumulasi
bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan di
bawah kulit, sehingga jadilah kulit bayi kuning. Biasanya dimulai dari
wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning.
2.10.3.Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia,
asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan
saluran empedu (Sartika, 2008).
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin
indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam
lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak

apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati
darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia (Sartika,
2008).
Sel darah merah yang tua, rusak dan abnormal dibuang dari
peredaran darah, terutama di dalam limpa. Selama proses pembuangan
berlangsung, hemoglobin (protein pengangkut oksigen di dalam sel
darah merah) dipecah menjadi pigmen kuning yang disebut bilirubin.
Bilirubin dibawa ke hati, dimana secara kimiawi diubah dan kemudian
dibuang ke usus sebagai bagian dari empedu. Pada sebagian besar bayi
baru lahir, kadar bilirubin darah secara normal meningkat sementara
dalam beberapa hari pertama setelah lahir, menyebabkan kulit berwarna
kuning (jaundice) (Sartika, 2008).
Pada orang dewasa, bakteri yang dalam keadaan normal
ditemukan di dalam usus akan memecahkan bilirubin. Pada bayi baru
lahir, bakteri ini sangat sedikit sehingga banyak bilirubin yang dibuang
melalui tinja yang menyebabkan tinjanya berwarna kuning terang.
Tetapi bayi baru lahir juga memiliki suatu enzim di dalam ususnya yang
dapat merubah sebagian bilirubin dan menyerapnya kembali ke dalam
darah, sehingga terjadi jaundice (sakit kuning). Karena kadar bilirubin
darah semakin meningkat, maka jaundice menjadi sdmakin jelas. Mulamula wajah bayi tampak kuning, lalu dada, tungkai dan kakinya juga
menjadi kuning. Biasanya hiperbilirubinemia dan sakit kuning akan
menghilang setelah minggu pertama (Sartika, 2008).
Kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa disebabkan oleh
pembentukan yang berlebihan atau gangguan pembuangan bilirubin.
Kadang pada bayi cukup umur yang diberi susu ASI, kadar bilirubin

meningkat secara progresif pada minggu pertama; keadaan ini disebut


jaundice ASI. Penyebabnya tidak diketahui dan hal ini tidak berbahaya.
Jika kadar bilirubin sangat tinggi mungkin perlu dilakukan terapi cahaya
bilirubin (Muhaj, 2009).
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin
atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma
terjadi apabila kadar protein Z dan protein Y terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia atau hipoksia,
ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra atau ekstra
hepatika (Muhaj, 2009).
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada
bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung
pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas.
Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan
susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi (Muhaj, 2009).

2.10.4.Pathway

2.10.5.Manifestasi Klinis
Menurut Surasmi

(2003)

dalam Anonim

(2008)

gejala

hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :


1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan
pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning
(ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata
terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 mol/l.
Menurut Medicastore (2009) manifestasi klinik yang sering
jumpai pada anak dengan hiperbilirubin antara lain : Sebagian besar
kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar bilirubin
yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya

disebut kern ikterus). Kerena ikterus adalah suatu keadaan dimana


terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi kerusakan
otak. Biasanya terjadi pada bayi yang sangat prematur atau bayi yang
sakit berat.
Gejalanya berupa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Rasa mengantuk.
Tidak kuat menghisap.
Muntah.
Opistotonus (posisi tubuh melengkung, leher mendekati punggung).
Mata berputar putar ke atas.
Kejang
Bisa diikuti dengan kematian. Efek jangka panjang dari kern

ikterus

adalah

keterbelakangan

mental,

kelumpuhan

serebral

(pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak
dapat digerakkan ke atas.
2.10.6.Penatalaksanaan Medis dan Perawatan
A. Perawatan (Sutrisno, 2009).
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang meningkatkan ikterus pada masa kematian
dan kelahiran, misal : sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1 2 hari sebelum partus.
5. Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
B. Pencegahan infeksi.
1. Melakukan dekompensasi dengan foto terapi.
2. Tranfusi tukar darah.
3. Breast feeding. Pemberian breast feeding secara dini segera
setelah dijumpai ikterik pada mukosa, kulit dan konjungtiva pada
neonatus, hal ini dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik
pada neonatus. Hal ini mungkin sekali disebabkan karena dengan
pemberian ASI yang dini itu terjadi pendorongan gerakan usus,
dan meconium lebih cepat dikeluarkan, sehingga peredaran
Enterohepatikbilirubin berkurang.
Menurut Hidayat (2008) perawatan untuk anak yang
mendapatkan tranfusi tukar antara lain :

1. Mempertahankan intake cairan dengan menyediakan cairan per


oral atau cairan parenteral melalui intravena, memantau output
diantaranya jumlah dan warna urine serta feses, mengkaji
perubahan status hidrasinya dengan memantau temperatur tiap 2
jam.
2. Menutup mata dengan kain yang tidak tembus cahaya, mengatur
posisi setiap 6 jam, mengkaji kondisi kulit, menjaga integritas
kulit selama terapi dengan mengeringkan daerah yang basah untuk
mengurangi iritasi serta mempertahankan kebersihan kulit.
3. Mencegah peningkatan kadar birirubin dengan cara meningkatkan
verja enzim dengan pemberian phenobarbital 1 2 2 mg/KGB,
mengubah bilirubin yang tidak larut ke dalam air menjadi larut
dalam air dengan melakukan fototerapi atau dengan cara
pembuangan kadar bilirubin darah dengan tranfusi darah
C. Pengobatan
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi
dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan
membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
1. Menghilangkan anemia.
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi.
3. Meningkatkan badan serum albumin.
4. Menurunkan serum bilirubin
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi,
transfuse pangganti, infuse albumin dan therapi obat (Anonim, 2008).
1. Fototherapi.
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi
dengan

transfuse

pengganti

untuk

menurunkan

bilirubin.

Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi


(a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light
spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi
menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang

diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi


dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari
jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan
kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh hati.
Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototerapi mempunyai
peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat
menyebabkan anemia.Secara umum fototerapi harus diberikan
pada kadar bilirubin indirek 4 5 mg/dl. Noenatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan
mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24
jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
Dengan penyinaran bilirubin dipecah menjadi dipyrole
yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus.
Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh dan
dikeluarkan dari tubuh dengan sempurna. Penilaian Ikterus
menurut Kramer, dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan
membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian bawah sampai
tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn tangan dan
kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara
pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan
lain lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap tiap
nomor disesuaikan dengan angka rata rata didalam gambar di
bawah ini :

2. Transfusi Pengganti.
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya
factor faktor :
a) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b) Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c) Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
d) Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama.
e) Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam
pertama.
f) Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
g) Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus
Transfusi pengganti digunkan untuk :
a) Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal.
b) Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi
(kepekaan).
c) Menghilangkan serum ilirubin.
d) Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dangan bilirubin.
e) Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan
O segera (kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah
yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B. setiap
4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus
diperiksa setiap hari sampai stabil.
3. Therapi Obat.
a) Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan
enzim

yang

meningkatkan

konjugasi

bilirubin

dan

mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu


hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih
menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Coloistrin

dapat

mdngurangi

bilirubin

dengan

mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus


enterohepatika.
b) Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
Pada jaundice ASI, kadang pemberian ASI harus
dihentikan selama 1 2 hari. Segera setelah kadar bilirubin
mulai menurun, ASI boleh kembali diberikan. Pemberian ASI
harus sering dilakukan untuk mencegah dehidrasi dan
mempermudah pembuanagn bilirubin ke fese. Setidaknya ASi
harus diberikan tiap 3 jam. Jika bayi sulit menghisap, dilakukan
pemompaan ASI, baru diberikan kepada bayi. Pemberian cairan
selain ASI (misal air, air gula, dll) tidak akan membantu. jadi
kunci utama adalah pemberian ASI.
2.11. Konsep Dasar Askep Hiperbilirubin
2.11.1.Pengkajian
Pengkajian yang dapat

dilakukan

pada

anak

dengan

hiperbilirubin kronik menurut Nennisa (2007) sebagai berikut :


1. Identitas pasien dan keluarga.
2. Riwayat Keperawatan.
a) Riwayat Kehamilan : Kurangnya antenatal care yang baik.
Penggunaan obat obat yang meningkatkan ikterus ex: salisilat
sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses konjungasi
sebelum ibu partus.
b) Riwayat Persalinan : Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau
Data Obyektif. Lahir prematur atau kurang bulan, riwayat trauma
persalinan, hipoxin dan aspixin.
c) Riwayat Post natal : Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin
meningkat kulit bayi tampak kuning.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga : Seperti ketidak cocokan darah ibu
dan anak Polycythenia, gangguan saluran : cerna dan hati
(hepatitis).
e) Riwayat Pikososial : Kurangnya kasih sayang karena perpisahan,
perubahan peran orang tua.
f) Pengetahuan Keluarga : Penyebab perawatan pengobatan dan
pemahaman orang tua terhadap bayi yang ikterus

3. Kebutuhan Sehari hari


a) Nutrisi : Pada umumnya bayi malas minum (reflek menghisap dan
menelan lemah) sehingga BB bayi mengalami penurunan.
b) Eliminasi : Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami
perubahan warna gelap dan tinja berwarna pucat.
c) Istirahat : Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun.
d) Aktifitas : Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi,
hipototonus dan mudah terusik.
e) Personal hygiene : Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga
terutama ibu.
4. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum lemah.
b) TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipo atau hipertemi).
c) Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus
otot (kejang tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit
tampak kuning dan mengelupas ( skin resh) bronze bayi
syndrome, sclera mara kuning ( kadang kadang terjadi kerusakan
pada retina ) perubahan warna urine dan feses.

2.11.2.Diagnosa Keperawatan
Menurut Hidayat (2005) dan Wong (2004) diagnosa keperawatan
yang dapat dirumuskan pada anak yang menderita hiperbilirubin antara
lain :
1. Hiperbilirubin.
a) Resiko terjadi injury berhubungan dengan kern ikterus sekunder
terhadap immaturity hati.
b) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek dalam kulit, mukosa dan
konjungtiva yang meningkat.
c) Risiko tinggi perubahan peran menjadi orang tua yang
berhubungan dengan adanya kehadiran anak dengan terjadi

batasan atau pemisahan dengan anak mengingat bayi dilahirkan


dilakukan tindakan di tempat khusus.
2. Efek fototherapy.
a) Resiko terjadi injury berhubungan dengan efek phototherapy.
b) Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan
efek terapi fototerapi.
c) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan efek
samping fototerapi yang menyebabkan kulit kering, iritasi pada
mata.
2.11.3.Intervensi Keperawatan
Menurut Hidayat (2005) intervensi yang dapat dirumuskan oleh
perawat dalam mengatasi diagnosa keperawatan tersebut diatas adalah
sebagai berikut :
1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan kerusakan produksi SDM
(lebih banyak dari normal) dan immaturity hati & efek phototherapy.
Tujuan : Akan mendapatkantherapi yang tepat untuk mempercepat
ekskresi bilirubin dengan Kriteria Hasil :
a) Bayi dapat minum segera setelah lahir.
b) Bayi terlindung dari sumber cahaya (jika ditentuka).
Intervensi :
a) Anjurkan pada ibu untuk segera memberikan Asi segera setelah
lahir.
Rasional : untuk meningkatkan ekskresi bilirubin melalui feses.
b) Kaji kulit untuk mengetahui tanda jaundice.
Rasional : untuk mengetahui peningkatan kadar bilirubin.
c) Chek kadar bilirubin dengan bilirubinometry transcutaneous.
Rasional : untuk menetapkan peningkatan kadar bilirubin.
d) Catat waktt atau awal terjadinya jaundice.
Rasional : Untuk membedakan joundice phisiologik (tampak
setelah 24 jam) dengan Joundice yg disebabkan oleh penyakit
hemolytic atau yang lain (tampak sebelum 24 jam).
e) Kaji status kesehatan bayi secara keseluruhan, terutama beberapa
faktor (hypoxia, hypothermia, hypoglikemi dan metebolik
asidosis).
Rasional : Hal tersebut akan meningkatkan resiko kerusakan otak
dari hyperbilirubinemia.

2. Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan efek


terapi fototerapi.
Tujuan : Anak akan mempertahankan kesimbangan cairan dan
elektrolit yang ditandai oleh kadar elektrolit serum normal dan
haluaran urine 1 2 ml/kg/jam.
Intervensi :
a) Monitor temperatur tubuh (axilla).
Rasional : Untuk mendeteksi terjadinya hypothermi atau
hyperthermia.
b) Pastikan intake cairan adequate.
Rasional : Untuk mencegah dehydrasi.
c) Menyiapkan intake cairan peroral atau cairan parenteral.
Rasional : Dapat mengganti cairan tubuh yang hilang pada saat
tindakan fototerapi.
b. Memonitoring pada output diantaranya jumlah urine, warna,
buang air besarnya.
Rasional : dapat memantau adanya kekurangan cairan dan
melakukan tindakan awal atau sedini mungkin untuk mencegah
dehidrasi.
c. Mengkaji status hidrasinya.
Rasional : Untuk mengevaluasi keberhasilan dari tindakan
rehidrasi cairan baik melalui peroral maupun parenteral.
2.11.4.Implementasi
Implementasi adalah proses mewujudkan dan menerapkan
strategi yang telah dibuat ke dalam bentuk tindakan yang melalui
berbagai serangkaian prosedur, program serta anggaran.
2.11.5.Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan
yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil proses keperawatan.

BAB 3
LAPORAN KASUS
FORMAT PENGKAJIAN BAYI BARU LAHIR (BBL)

Tanggal Masuk

Jam Masuk

Ruang / Kelas

No. Register

: 000-13234-82

Tanggal Pengkajian

: 14 11 -2013

Jam Pengkajian

Diagnosa Medis

Neonatus Hiperbilirubin +
sepsis + NEC

3.1. PENGKAJIAN
DATA SUBJEKTIF
1. IDENTITAS
Nama Bayi

: By. Ny. I

Umur

: 5 hari

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Anak Ke

: 1 (pertama)

Alamat

Cintamang RT 08 RW 06
Dayeuh Kolot Cangkuang
Kulon

Nama Ibu

: Ny.I

Nama Suami :

Umur

Umur

Suku/bangsa

Suku/bangsa

Agama

: Islam

Agama

Pendidikan

Pendidikan

Pekerjaan

Pekerjaan

Alamat

: Cintamang RT 08 RW 06
Dayeuh Kolot Cangkuang
Kulon

Alamat

Status Perkawinan

: Kawin

I.

2. RIWAYAT KESEHATAN
Keluhan Utama
badan By. Ny. I berwarna kuning seluruh tubuh
II.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada saat pengkajian klein berada didalam inkubator, klien terpasang OGT, berat badan
saat ini 2150 gr, badan kuning, sklera ikterik, HR 150 x/m , RR 58 x/m, Suhu 37 C , SpO2
98%, konjungtiva tidak anemis, UUB belum menutup, PCH (-), retraksi intercosta (-),
Bentuk dada simetris, abdomen datar lembut, BU (-), akral hangat, CRT < 3 dtk, BAB
lembek, BAK normal pekat, menangis lemah, kulit tipis, reflek rooting lemah, sucking
lemah, kurang aktif, golongan darah A.
III.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ibu klien mengatakan bayinya memiliki riwayat asfeksia.

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu klien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami penyakit saama seperti klien.

V.

Riwayat Antenatal
Ibu mengatakan hamil anak ke 1 (pertama)
Usia kehamilan
: 34 minggu
ANC sejak umur kehamilan
: di
ANC : TM I : Frekuensi
: .................kali
Keluhan
: ...................................
Terapi
: ...................................
TM II : Frekuensi
: .................kali
Keluhan
: ...................................
Terapi
: ...................................
TM III : Frekuensi
: .................kali
Keluhan
: ...................................
Terapi
: ...................................
Imunisasi:
TT1 : Sudah Belum
TT2 : Sudah Belum
Kenaikan BB selama hamil
: ..............Kg
Komplikasi selama hamil
: ..................
Kebiasaan waktu hamil (makan, obat obatan/jamu, merokok)
.................................................................................................................
................................
.................................................................................................................

VI.

................................
Riwayat Intranatal
Lahir tanggal / jam
Jenis persalinan

: 9-11-2013
: spontan
..................................................................(atas

indikasi)
Penolong
: bidan
Lama persalinan : Kala I
: ...............................................................................................
Kala II
: ...............................................................................................
Komplikasi persalinan
: ...............................................................................................
VII.

Keadaan Bayi Baru Lahir

Berat badan lahir


Panjang badan
Nilai APGAR

: 2400 gram
: 43 cm
: 1 menit / 5 menit / 10 menit : ...... / ......

/ .......
No
1
2
3
4
5

Kriteria
Denyut Jantung
Usaha Nafas
Tonus Otot
Reflek
Warna Kulit
TOTAL

1 menit

5 menit

10 menit

VIII. Genogram
IX.
B.
DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan Darah

: lemah

Nadi

: 150 x/menit

: composmentis

Suhu

: 37 C

: mmHg

Pemeriksaan Antropometri
PB

: 43 cm

BB

: 2150 gram

Lingkar lengan

: cm

LIKA
o FO

: cm

o MO

: cm

o SOB

: cm

Lingkar dada

: cm

RR

: 58 x/menit

2. Pemeriksaan Khusus
Inspeksi
Kepala

: .

Rambut

: .

Wajah

: .

Mata

: .

Hidung

: .

Mulut

: .

Leher

: .

Dada

: Bentuk dada simetris

Abdomen

: Bentuk abdomen datar lembut

Ekstremitas

: .

Atas

: .

Bawah

: .

Anogenital

: Urin kuning dan pekat

UUK

: .

UUB

: Belum menutup

Turgor

: Kurang dari tiga detik

Moro

: (

Rooting

: ( ya ) ada

) tidak

Sucking

: ( ya ) ada

) tidak

Swallowing

: (

) ada

) tidak

Walking

: (

) ada

) tidak

Palpasi

Reflek
) ada

) tidak

Graphs

: (

) ada

) tidak

Babinski

: (

) ada

) tidak

Tonicneck

: (

) ada

) tidak

Eliminasi

3.

Miksi

: Normal pekat

Defekasi

: Konsentrasi bak lembek

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

...
b. USG

...
c. Rontgen

...
d. Terapi yang didapat :
.....
4. Data Tambahan

..

..

..

..

..

..,
...

Mahasiswa

(..)

KLASIFIKASI DAN ANALISA DATA


Nama Pasien :by. Ny . I
No. Reg
Tgl

: 0001323482

Kelompok Data

Kemungkinan

Masalah

Penyebab
14-112013

Ds : Do :- suhu 370C

Peningkatan kadar
bilirubin

Hipertermi

Bayi
berada
dalam inkubator.
Indikasi fototerapi

Diagnosa

Ttd

Keperawata
n

Mhs

Peningkatan
suhu
tubuh
(hipertermi)
berhubungan
dengan
fototerapi di
tandai dengan
suhu
tubuh
0
37 C.

Sinar dengan
intensitas tinggi

Peningkatan suhu
tubuh (hipertermi)

Ds : Do : -kulit klien
tipis

Peningkatan kadar
bilirubin dalam
darah

Gangguan
integritas kulit

Gangguan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
ikterus pada
badan
dan
leher dan foto

CRT <3 detik


Bayi berada
dalam inkubator

Ikterus pada badan


dan leher

Indikasi foto terapi

Gatal, kulit kering

Gangguan
integritas kulit

terapi ditandai
dengan kulit
klien
tipis,
CRT < 3 detik

3.2. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Nama Pasien : By. Ny. I
No. Reg
Tgl

: 0001323482

Diagnosa
Keperawat
an

1411201
3

Peningkatan
suhu tubuh
(hipertermi)
berhubunga
n
dengan
fototerapi di
tandai
dengan suhu
tubuh 370C.

Tujuan dan
Kriteria Hasil

Setelah dilakukan
tindakan
keperawtan
selama x 24
jam
2)
diharapkan suhu
dalam rentang
normal.

Rencana Tindakan

Rasional

1.
1. Perubahan
Kontrol / obsevasi
suhu dapat
suhu badan setiap
terjadi
jam selama foto
dengan
terapi berlangsung
cepat akibat
2. Ubah posisi bayi
pemaparan
sinar yang
setiap 2 jam
juga sebagi
sumber
3) Hentikan/istirahat
panas.
kan foto terapi
Termoregulati
2.
Pemajanan
bilashu diatas 38 C.
yang
on
merata dan
4) Kompres
basah
Kriteria hasil :
bergantian
bila
suhu
menguran
Suhu tubuh
meningkat
gi resiko
dalam rentang
tidak
5) Kolaborasi dokter
normal
efektifnya
bila panas tidak /
Nadi dan
pusat suhu
sulit turun/ terlalu
respirasi dalam
badan
tinngi.
3. Semakin
batas normal
lama
Tidak ada
pemajanan
perubahan
semakin
warna kulit
tinggi
Indicator Skala :
kemungkin
an
1. Tidak pernah
perubahan
menunjukkan.
suhu badan
2. Jarang
4. Pemberian
menunjukkan
kompres

Ttd
Mh
s

3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
5. Selalu
menunjukkan

menguran
gi
/
sebagai
media
konduksi
pembuang
an panas
5. untuk
mendapatka
n
antipiretik
1. Deteksi
dini
kerusakan
integritas

Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama x24 jam
diharapkan
integritas kulit
kembali baik /
normal.
Tissue Integrity :
Skin and Mucous
Membranes

bersifat
asam dapat
mengiritasi
kulit
3. Suhu yang
tinggi
menyebabk
an

kering

Integritas kulit
yang baik bisa
dipertahankan
Tidak ada luka
/ lesi pada
kulit
1. Monitor
Perfusi
kerusakan
jaringan baik

dan

urine yang

Kriteria Hasil :

Gangguan

kulit
2. Feses

kulit

sehingga
kulit
mudah
pecah.
adanya 4. Perubahan
posisi

1411201
3

integritas

kulit
berhubunga
n
dengan
ikterus pada
badan dan
leher
dan
foto terapi
ditandai
dengan kulit
klien tipis,
CRT < 3
detik

integritas kulit
Menunjukkan
2.
Bersihkan
kulit
pemahaman
dalam proses
bayi dari kotoran
perbaikan
setelah BAB, BAK
kulit dan
3. Pertahankan suhu
mencegah
lingkungan netral
terjadinya
dan suhu axial
cedera
berulang
36.5
derajat
Mampu
Celsius
melindungi
4. Lakukan
kulit dan
perubahan posisi
mempertahank
setiap 2 jam.
an
kelembaban
kulit dan
perawatan
alami
Indicator Skala :
1. Tidak pernah
menunjukkan.
2. Jarang
menunjukkan
3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
Selalu
menunjukkan

mempertah
ankan
sirkulasi
yang
adekuat
dan
mencegah
penekanan
yang
berlebihan
pada
sisi

satu

3.3. TINDAKAN KEPERAWATAN


Nama Pasien :
No. Reg
Tgl

Jam

:
Tindakan Keperawatan

Ttd
Mhs

2.2. EVALUASI
Nama Pasien :
No. Reg
Tg
l

Diagnosa Keperawatan

Evaluasi

Ttd
Mh
s

BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Bayi prematur atau bayi pre-term adalah bayi yang berumur kehamilan 37
minggu tanpa memperhatikan berat bedan. Sebagian besar bayi lahir dengan
berat badan kuang dari 2500 gram adalah bayi prematur (Asrining Surasmi, dkk.
2003).
Menurut Ribek dkk (2011), berat badan lahir rendah yaitu bayi yang lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi
(dihitung satu jam setelah melahirkan).
RDS adalah gangguan pernafasan yang terjadi pada bayi premature
dengan tanda-tanda takipnue (>60x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara
kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan xray
thorak yang spesifik.
Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat disertai
dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis (Hidayat, 2005).

Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan


ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah yang kadar nilainya lebih dari normal. Nilai normal : bilirubin indirek 0,3
1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl (Sutrisno, 2009).
4.2. Saran
kita sebagai tenaga kesehatan (keperawatan ) harus meningkatkan kualitas pelayanan
pada maternal maupun neonatal sehingga dapat mengurangi insiden terjadinya
premature, BBLR, RDS, Asphyxia, dan Hiperbilirubin.
DAFTAR PUSTAKA

Vous aimerez peut-être aussi