Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bagian tanaman yang sering dimanfaatkan dalam pengobatan
adalah rimpang. Rimpang yang sering digunakan dalam pengobatan misalnya
rimpang jahe, rimpang temulawak, rimpang kunyit, dan masih banyak lainnya.
Banyak industri menjadikan rimpang menjadi fitofarmaka, salah satunya
adalah sampel DLBS5447 yang berasal dari salah satu perusahaan farmasi di

Indonesia yaitu PT. Dexa Medica yang memanfaatkan rimpang Zingiber majus
untuk pengobatan.
Namun sebelum suatu obat diluncurkan ke pasaran dibutuhkan beberapa
uji, seperti uji pra-klinik dan uji klinik. Dari uji pra-klinik diperoleh informasi
tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Pada mulanya yang dilakukan pada uji pra-klinik adalah pengujian ikatan obat pada
reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya menguji pada
hewan utuh. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat
menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. Penelitian toksisitas
merupakan cara potensial untuk mengevaluasi toksisitas yang berhubungan dengan
pemberian obat akut atau kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas),
pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas), kejadian cacat waktu lahir
(teratogenisitas) (Sukandar, 2004).

Dari pengamatan uji pra-klinik dengan subyek hewan uji ini dipakai acuan
untuk menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau
tidak.

Belum ada penelitian apakah ekstrak sampel DLBS5447 dapat


menimbulkan efek teratogenik pada tikus bunting selama masa organogenesis.
Untuk itu penelitian ini mengangkat tentang uji toksisitas khas ekstrak sampel
DLBS5447 pada kejadian cacat waktu lahir atau teratogenik terutama pada
sistem skeletal. Dipilih uji keteratogenikan pada sistem skeletal karena minimnya
informasi tentang efek ekstrak sampel DLBS5447 terhadap sistem skeletal,
padahal sistem skeletal memegang peran penting sebagai alat gerak tubuh,
menopang tubuh sekaligus untuk pembentukan darah, jadi apabila sistem skeletal
terganggu, tumbuh kembang janin juga akan terganggu.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam penelitian ini:
a. Apakah ekstrak sampel DLBS5447 bisa menimbulkan kelainan sistem
skeletal janin pada tikus bunting jika diberikan selama masa organogenesis?
b. Bagaimanakah wujud efek toksik akibat pemberian ekstrak sampel
DLBS5447 terhadap sistem skeletal janin pada tikus bunting jika diberikan
selama masa organogenesis?
c. Bagaimanakah hubungan dosis dengan efek toksik yang ditimbulkan terhadap
sistem skeletal janin pada tikus bunting jika diberikan selama masa
organogenesis?

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian secara umum adalah untuk mengevaluasi


keamanan penggunaan ekstrak sampel DLBS5447 pada ibu hamil selama masa
organogenesis.
Adapun tujuan penelitian secara khusus adalah:
a. Mengetahui kelainan sistem skeletal yang ditimbulkan ekstrak Sampel
DLBS5447 selama masa organogenesis terhadap sistem skeletal janin pada
tikus bunting.
b. Mengetahui wujud efek toksik akibat pemberian ekstrak Sampel DLBS5447
terhadap sistem skeletal janin pada tikus bunting.
c. Mengetahui hubungan dosis dengan efek toksik yang ditimbulkan terhadap
sistem skeletal janin pada tikus bunting.
D. Tinjauan Pustaka
1.

Ekstrak sampel DLBS5447


Sampel DLBS5447 menurut COA (lampiran 1) adalah ekstrak kering

yang berwarna kuning pucat sampai kecoklatan dan berasa pedas. Ekstrak sampel
DLBS5447 berasal dari rimpang Zingiber majus yang diekstraksi dengan etanol
70%. Sampel ini mengandung diantaranya gingerol sebesar 1,01% dan shogaol
0,64%. Sampel DLBS5447 sedikit larut air sehingga dalam penelitian ini dibuat
dalam bentuk suspensi, digunakan CMC-Na sebagai suspending agent.

2.

Sistem reproduksi tikus betina


Sistem reproduksi betina mencakup beberapa hal, yaitu organ reproduksi

dan siklus estrus (untuk mamalia nonprimata) atau siklus menstruasi pada
mamalia primata.
a.

Organ reproduksi betina


Organ reproduksi betina pada mamalia terdiri dari 2 bagian: organ

reproduksi luar (genetalia externa) dan organ reproduksi bagian dalam (genetalia
interna). Batas keduanya adalah selaput dara (hymen). Organ reproduksi luar
terdiri atas mons veneris, labium majora, labium minora, clitoris, dan vulva.
Organ reproduksi bagian dalam terdiri dari vagina, rahim, ovarium, oviduk
(Simmons, 2005).
1)

Ovarium
Ovarium terletak dekat ginjal. Ovarium berfungsi sebagai kelenjar

eksokrin yang menghasilkan sel telur dan kelenjar endokrin yang mensekresikan
estrogen dan progesteron (Simmons, 2005).
2)

Oviduk
Pangkal dari tuba falopii terdapat fimbrae.

Fimbrae adalah struktur

berbentuk corong yang berfungsi menangkap ovum yang telah di ovulasi oleh
ovarium dan akan diteruskan ke arah tuba falopii. Di tuba falopii terdapat sillia
yang membantu transport ovum. Tuba falopii merupakan saluran reproduksi
betina yang kecil, berliku-liku dan kenyal serta terdapat sepasang dan merupakan
saluran penghubung antara ovarium dan uterus. Tuba falopii berfungsi sebagai
transport ovum dan sperma/fertilisasi, kapasitas spermatozoa dan tempat

pembelahan zigot (Sarpen, 2012). Sistem reproduksi tikus dapat di lihat pada
gambar 1.

Gambar 1. Sistem Reproduksi tikus betina (Simmons, 2005)

3)

Vagina
Vagina merupakan saluran kelamin betina yang terdiri dua bagian, yaitu

vagina sebenarnya dan vestibulum. Vagina berfungsi sebagai tempat penumpahan


semen dan juga sebagai jalur pengeluaran fetus dan plasenta pada saat partus.
Dindingnya terdiri dari tiga bagian, yaitu selaput lendir, lapisan otot dan serosa
(Sarpen, 2012).
4)

Rahim/ Uterus
Uterus merupakan struktur saluran muskuler yang diperlukan untuk

menerima ovum yang telah dibuahi dan perkembangan zigot. Uterus digantung
oleh ligamentum yaitu mesometrium merupakan saluran yang bertaut pada
dinding ruang abdomen dan ruang pelvis (Sarpen, 2012).
b.

Siklus estrus tikus


Pada primata, biasanya terjadi menstruasi setiap bulannya, namun pada

tikus tidak terjadi menstruasi. Pada tikus terjadi fase estrus yang berlangsung 4-5
hari. Beberapa tahapan pada fase siklus estrus, antara lain:

1)

Fase Estrus
Tahap ini merupakan tahap terpenting pada siklus estrus karena betina

menunjukan perilaku siap menerima jantan untuk melakukan kopulasi. Folikel


pada fase estrus siap untuk diovulasikan. Pada tikus tahap ovulasi terjadi pada
pertengahan fase estrus.
Pada preparat apus vagina ditandai dengan banyaknya sel-sel superfisial.
Sel superfisial adalah sel besar berbentuk poligonal, sangat pipih. Nukleus tidak
ditemukan atau ditemukan namun sangat kecil dan gelap (Karlina Y., 2003).
Fase estrus merupakan fase birahi dan kopulasi hanya bisa terjadi saat
estrus. Pada tikus fase ini terjadi selama 9-15 jam, ditandai dengan aktivitas
berlari-lari yang sangat tinggi (Karlina Y., 2003). Jika pada tahap estrus tidak
terjadi kopulasi maka tahap tersebut akan berpindah pada tahap metesterus.
2)

Fase Metestrus
Fase metestrus terjadi setelah fase estrus berakhir. Pada ovarium terjadi

pembentukan korpus hemoragikum pada folikel de Graff yang baru saja


mengeluarkan ovum. Banyak leukosit muncul dan sedikit sel-sel superfisial
(Karlina Y., 2003). Pada tahap metestrus birahi pada tikus mulai berhenti,
aktivitasnya mulai tenang, dan tikus betina sudah tidak reseptif pada jantan.
3)

Fase Diestrus
Pada fase diestrus merupakan tanda hewan tidak bunting, tikus juga sudah

tenang. Fase diestrus merupakan fase paling lama diantara siklus estrus yang lain.
Pada fase diestrus, korpus hemoragikum mengkerut karena dibawahnya terdapat
sel-sel kuning yang mulai tumbuh yang disebut luteum (Karlina Y., 2003).

Pada preparat apus vagina ditemukan penurunan sel-sel superfisial dan


muncul sel-sel parabasal yang merupakan sel epitel terkecil yang berbentuk bulat
dan intinya besar. Juga ditemukan sel intermediet yang bentuknya beragam serta
ukurannya 2-3 kali lebih besar dibanding sel parabasal (Karlina Y., 2003).
4)

Fase Proestrus
Merupakan fase persiapan dan berlangsung dalam waktu singkat. Pada

fase ini mulai terjadi perubahan alat kelamin betina. Pada ovarium terjadi
pertumbuhan folikel sampai maksimal. Pada preparat apus vagina ditemukan sel
peralihan, yaitu peralihan dari sel parabasal dan intermediet menuju sel superfisial
(Karlina Y., 2003).

metestrus

proestrus

diestrus

estrus

Gambar 2. Hasil pada preparat apusan vagina tikus (Gulinello M., 2008)

3.

Keteratogenikan
Teratogen adalah obat atau zat yang mampu mengganggu perkembangan

janin embrio yang dapat menyebabkan cacat lahir atau malformasi perkembangan
(Anonim, 2014).
Suatu obat dikatakan teratogen apabila berpengaruh pada empat kriteria,
yaitu penampilan reproduksi, kelainan morfologis, sistem skeletal, dan
histopatologi janin. Apabila senyawa berpengaruh terhadap salah satu dari
keempat hal di atas, senyawa tersebut juga dikatakan sebagai teratogen (Santoso,
2006).
Uji keteratogenikan termasuk uji ketoksikan khas, yaitu uji ketoksikan
obat yang diberikan selama masa organogenesis hewan bunting. Uji ini untuk
menentukan apakah obat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada
janin yang dikandung.
Cacat yang ditimbulkan dapat bermacam-macam tergantung pada dosis
dan obat yang diminum selama kehamilan. Menurut Australian Drug Evaluation
Commite (1999), obat dapat dimasukan dalam 5 kategori, yaitu:
a.

Katerogi A
Obat yang telah dipakai sejumlah wanita hamil dan wanita mampu hamil

tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk, baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap janin, contohnya parasetamol,
penisilin, isoniazid, glikosida jantung, eritomisin.

b.

Kategori B
Obat yang pengalaman pemakaian oleh wanita hamil maupun wanita

mampu hamil masih terbatas tetapi tidak ada kenaikan frekuensi malformasi janin
atau pengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap janin.
Karena riwayat pengalaman pemakaian terhadap manusia terbatas, maka
kelompok ini terbagi-bagi berdasar penemuan toksikologi pada hewan.
1)

B1
Penelitian pada hewan tidak menunjukkan adanya kejadian kenaikan

kerusakan janin. Contoh: simetidin, dipiridamol, spektinomisin.


2)

B2
Penelitian hewan tidak memadai, masih kurang, tetapi data yang ada juga

tidak menunjukan peningkatan kejadian kerusakan janin. Contoh: amfoterisin,


dopamine, asetil sistein, alkaloid beladona.
3)

B3
Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan

janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Contoh: karbamazepin,


pirimetamin, griseofulfin, trimethoprim, dan mebendazol.
c.

Kategori C
Obat yang efek farmakologinya dapat berpengaruh buruk pada janin, tanpa

disertai malformasi anatomi. Pengaruh ini kemungkinan bersifat reversible.


Contoh: fenotiazin, analgetika narkotik, antiinflamasi nonsteroid, aspirin,
rifampisin, anti aritmia, diuretika.

10

d.

Kategori D
Obat yang menyebabkan kenaikan kejadian malformasi janin pada

manusia atau menyebabkan kerusakan pada janin yang bersifat irreversible. Obat
ini mempunyai efek farmakologi yang merugikan pada janin. Contoh: fenitoin,
pirimidon, valproate, kinin, kaptopril, antikoagulan, obat-obat antisitotoksik.
e.

Kategori X
Obat-obat yang telah terbukti mempunyai resiko tinggi pada kehamilan

karena pengaruh yang irreversible pada janin. Kontraindikasi mutlak pada ibu
hamil/kemungkinan hamil. Contoh thalidomide, isoproterenon, dietilstilbestron.
4.

Sistem skeletal

a.

Pembentukan tulang
Proses pembentukan tulang disebut dengan osifikasi atau osteogenesis

yang dilakukan oleh sel osteoblas. Osteoblast dan matriks tulang adalah 2 hal
penting. Ada dua proses osifikasi: osifikasi intramembran dan osifikasi
endokondral.
1)

Osifikasi intramembran
Osifikasi intramembran adalah salah satu dari dua proses penting selama

perkembangan janin dari sistem kerangka mamalia yang bertanggung jawab pada
pembentukan

jaringan

tulang.

Osifikasi

intramembran

terjadi

selama

pembentukan tulang tengkorak, mandibula, rahang, dan klavikula. Tulang


terbentuk dari jaringan ikat seperti jaringan mesenkim. Langkah-langkah dalam
osifikasi intramembran adalah pembentukan osifikasi, calcifikasi, pembentukan
trabekula, dan pengembangan periosteum (Nandeesh B.N dan Usha Kini, 2012).

11

2)

Osifikasi endokondral
Osifikasi endokhondral terjadi pada tulang panjang dan sebagian besar

tulang dalam tubuh melibatkan tulang rawan hialin yang terus tumbuh. Ini juga
merupakan proses penting selama pertumbuhan panjang tulang panjang dan
terlibat proses alami dalam penyembuhan patah tulang.
Langkah-langkah dalam osifikasi endokhondral yaitu pengembangan
model tulang rawan, pertumbuhan model tulang rawan, pengembangan pusat
osifikasi primer, pengembangan sekunder ossifikasi pusat, dan pembentukan
tulang rawan artikular dan epifisis (Nandeesh B.N dan Usha Kini, 2012).
Tulang terdiri dari sel-sel pendukung, yaitu osteoblas dan osteosit,
renovasi sel, yaitu osteoklas dan matriks non mineral kolagen serta protein yang
disebut noncollagenous osteoid dengan garam mineral anorganik di simpan dalam
matriks (Nandeesh B.N dan Usha Kini, 2012). Pembentukan osteoblast dan
osteoklas dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Evolusi osteoklas dan osteoblast dalam pembentukan tulang (Nandeesh B.N dan
Usha Kini, 2012)

12

Osteoblas berfungsi untuk membentuk tulang, berasal dari sel batang


mesenchymal (MSC), sedangkan osteoklas adalah berfungsi untuk resorpsi sel-sel
tulang (Kunal dkk., 2009).
Sel osteoklas berasal dari hematopoetic prekursor yang dirangsang oleh
Tumor Necrosis Factor-related Activation-induced Cytokine (TRANCE) dan
Macrophage Colony Stimulating Factor (MCS-F) (Chheng, 2010). RANK (For
Receptor Activator of NFkB), merupakan prekursor sel untuk berkembang
menjadi osteoklas. Ligan dari RANK disebut RANKL. RANKL dan makrofag
CSF (M-CSF) adalah dua sitokin yang penting untuk pembentukan osteoklas
(Clarke, 2008). RANKL dan M-CSF diproduksi oleh sel sumsum stroma dan
osteoblas di membrane (Nandeesh B.N dan Usha Kini, 2012).
5.

Kelainan tulang
Tulang menunjukan reaksi terhadap tiap kelainan fisik, kimiawi, gangguan

gizi, metabolisme, endokrin, serta pada kelainan yang berhubungan dengan


lingkungan dan keturunan (Gunawan, 2012). Adapun kelainan proses skeletal
berupa:
1)

Not ossified (NO), yaitu tidak terjadi penulangan.

2)

Partially ossified (PO), yaitu penulangan sebagian, tulang tumbuh tidak

normal, hanya sebagian saja.


3)

Cleaved (C), yaitu terjadi pembelahan tulang yang secara normal

seharusnya tidak terjadi.


4)

Dumbbell-Shaped (DS), yaitu terjadi pertumbuhan tulang dengan bentuk

dumbbell, ujung-ujung tulang jauh lebih besar daripada bagian tengah tulang.

13

5)

Asymmetrically-Shaped (AS), yaitu tulang tumbuh tidak simetris.

6)

Rudimentary (R), pertumbuhan tulang hanya berupa titik/garis saja, tidak

bisa membentuk tulang yang utuh.

(Gunawan, 2012)

Sistem penulangan normal pada tikus dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Sistem skeletal tikus normal (Darmanto, 2005)

Gambar 5. Susunan tulang belakang tikus normal (Darmanto, 2005)

Kelainan pada tulang vertebra dan tulang rusuk serta kelainan pada
sternum tikus dapat dilihat pada gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Kelainan pada vertebra dan rusuk tikus (Darmanto, 2005)

14

a
b
Gambar 7. Kelainan pada sternum tikus (a) dan penulangan normal pada sternum (b)
(Darmanto, 2005)

6.

Pewarnaan Rangka
Komponen penyusun tulang diantaranya kalsium, kolagen, protein. Dalam

tulang, kalsium dapat dideteksi dengan Alizarin red S dan teknik von Kossa.
Alizarin merah S adalah pewarna antrakuinon anionik yang membentuk garam
larut dengan ion kalsium (Hafer dan Susie, 2010).
Dahulu Alizarin red S digunakan pada pH 4,6-6,1 dan memberikan warna
oranye dengan deposit kalsifikasi. Pengotor juga ikut terwarnai dan membentuk
warna kuning. Kadang latar belakang turut terwarnai. Gugus amino dari protein
dalam jaringan juga mengikat pewarna dan harus dihilangkan dengan diferensiasi,
meninggalkan noda merah muda (Hafer dan Susie, 2010).
Kemudian Alizarin red S dicobakan pada larutan alkali pH 9 (metode
Puchtler) memungkinkan sulfonat pada karbon 3 dan gugus hidroksi terionisasi
pada karbon 2 berpartisipasi dalam pembentukan garam dengan kalsium
(Gambar 8). Kotoran tidak bereaksi pada pH yang lebih tinggi. pH basa menekan
protonasi kelompok amino, mencegah sebagian besar pewarnaan latar belakang

15

dan mencegah diferensiasi. Warna yang dihasilkan pada pH 9 adalah merah tua
(Hafer dan Susie, 2010).

Gambar 8. Kombinasi ion kalsium dengan Alizarin red S pada suasana asam dan basa
(Hafer dan Susie, 2010)

E. Keterangan Empirik
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mengetahui efek
keteratogenikan ekstrak sampel DLBS5447 (Zingiber majus) pada sistem
skeletal janin tikus betina Sprague Dawley.

Vous aimerez peut-être aussi