Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
3.
4.
5.
6.
7.
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengna penggunaan harta.
dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan
nama dan bentuk apa pun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harga
tak gerak, sebagai contoh sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya alimentasi atau tunjangan
seumur hidup.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing
atau adanya kebijakan pemerintah di bidang moneter.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali (revaluasi) aset.
Apabila terjadi selisih lebih karena penilaian kembali aset sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 Undang-Undang pajak penghasilan, selisih lebih karena penilaian
kembali aset merupakan penghasilan.
14. Premi asuransi.
Dalam premi asuransi ini termasuk juga premi reasuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
atas Wajib Pajak yang mejalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai
pajak.
Tambahan kekayaan bersih (neto) pada hakikatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak, yang bukan objek pajak, maupun
yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.
Kegiatan yang berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan
kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
19. Surplus Bank Indonesia.
PENGHASILAN TERTENTU
Penghasilan tertentu sebagai penghasilan-penghasilan yang perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya seperti penghasilan bunga deposito
dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, serta
diatur dengan peraturan pemerintah.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun (perhatikan angka 7
di atas) dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Pada bagian ini penekanannya pada pengecualian dari objek
pajak, yaitu penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan tersebut:
a. Merupakan perusahaan mikro kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya
membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan
modal untuk satu jangka tertentu.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan atau bidang penelitian dan pembangunan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
3. Rp.24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk
seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
4. Rp.2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan garis
lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2016
Usul kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Wajib Pajak yang
semula Rp.36 juta berubah menjadi Rp.54 juta pertahun (setara dengan Rp. 4,5 juta
per bulan) telah disetujui DPR.
Menurut Menteri Keuangan, PTKP ini akan diberlakukan mulai Bulan Juni 2016
mendatang, dan perhitungannya berlaku surut mulai dari Bulan Januari 2016.
Perhitungan Perubahan PTKP terbaru Tahun 2016:
Wajib Pajak Tidak Kawin dan memiliki tanggungan
Uraian
Status
PTKP
Wajib Pajak
TK0
54.000.000,+ Tanggungan 1
TK1
57.000.000,+ Tanggungan 2
TK2
60.000.000,+ Tanggungan 3
TK3
63.000.000,Wajib Pajak Kawin dan memiliki anak / tanggungan
Uraian
Status
PTKP
+ WP Kawin
K0
57.000.000,+ Tanggungan 1
K1
60.000.000,+ Tanggungan 2
K2
63.000.000,+ Tanggungan 3
K3
66.000.000,Wajib Pajak Kawin, istri memiliki penghasilan dan digabung dengan suami
Uraian
Status
PTKP
+ WP Kawin
K/I/0
111.000.000,+ Tanggungan 1
K/I/1
114.000.000,+ Tanggungan 2
K/I/2
117.000.000,+ Tanggungan 3
K/I/3
120.000.000,Catatan: Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
TARIF PAJAK
Besarnya Tarif Pajak Penghasilan
Tarif Pajak
5% (Lima
Persen)
Besarnya tarif pajak bagi wajib orang pribadi dalam negeri tersebut untuk tarif
tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
Lapisan Penghasilan Kena Pajak untuk Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dapat
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu sebagai penyesuaian antara lain
faktor tingkat inflasi.
2. Untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT.
Tarif pajak untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usah tetap (BUT)
sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua
puluh lima persen) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010. Sebagai contoh:
Penghasilan kena pajak wajib pajak badan tahun 2014 sebesar
Rp.1.250.000.000,00 PPh terutang = 25% x Rp.1.250.000.000,00 =
Rp.312.500.000,00.
3. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
ATURAN KHUSUS PENERAPAN TARIF WAJIB PAJAK BADAN
Dengan acuan besaran tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
terdapat unsur kekhususan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2b) yang menyatakan
Wajib Pajak Badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang sahamnya paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
tersebut diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah
daripada taris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17
ayat (2a) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bagi Wajib
Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif seperti dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah). Besaran bagian peredaran bruto dimaksud dapat dinaikkan yang
pengaturannya dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang adalah
Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Tetap berlandaskan atau bersumber pada laporan
keuangan perusahaan (laporan laba rugi/profit and loss statement) setelah dilakukan
koreksi fiskal positif atau negatif dapat diperoleh penghasilan neto setelah koreksi.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dalam mendapatkan penghasilan kena
pajak harus terlebih dahulu penghasilan neto setelah koreksi dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pajak Terutang = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
Tarif yang digunakan dapat mengikuti;
1. Tarif umun;
Tarif pajak ini mengikuti tarif pajak yang ditunjukkan dalam pasal 17 (lapisan
tarif) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Tarif khusus;
Tarif ini mengikuti tarif pajak yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
biasanya ditujukan pada penghasilan tertentu, misalnya bunga deposito yang
diikuti pula dengan pengenaannya yang bersifat final.
3. Tarif sesuai Undang-Undang.
Tarif ini sebelumnya untuk menjelaskan bahwa selain tarif sesuai Pasal 17
Undang-Undang PPh terdapat pula tarif yang disebutkan dalam Pasal 23
Undang-Undang PPh ditetapkan dengan tarif sebesar 15% dari jumlah bruto dan
2% dari jumlah bruto, demikian halnya dengan tarif Pasal 26 Undang-Undang
PPh menetapkan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%.
1. Bila pengusaha baru terdaftar sebagai wajib pajak setelah berlakunya PP No. 46
Tahun 2013 maka dihitung berdasar jumlah peredaran bruto yang disetahunkan.
Dari hasil dimaksud belum melebihi Rp.4.800.000.000,00 maka
pemberlakuannya sejak januari 2014.
2. Bila pengusaha yang telah terdaftar sejak awal tahun pajak 2013 dan tetap
dengan peredaran bruto yang disetahunkan dan ternyata peredaran brutonya
melebihi Rp.4.800.000.000,00, maka PPh final UMKM mulai diberlakukan sejak
juli 2013.
Dari sisi akuntansi pajak tidak ada perubahan karena dengan diterbitkannya PP
N0. 46 Tahun 2013 tersebut hanya tata cara pemajakannya. Bagi wajib pajak
yang tergolong/terkelompokkan sebagai wajib pajak PPh final sedangkan tata
cara pembukuannya tidak ada perubahan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pajak penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) merupakan pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan berupa, gaji, upah, moratorium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh wajib pajak
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
tersebut yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Pada PPh pasal 21 ini menggunakan istilah pemotongan. Istilah pemotongan
digunakan untuk menunjukan objek yang dikenakan pemotongan yaitu penghasilan
bruto yang dibayar oleh pemberi kerja, karena adanya aliran penghasilan, sehingga
penghasilan yang diterima pekerja tidak utuh, tetapi setelah dipotong PPh Pasal 21.
Terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong dan disetorkan oleh
pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
pekerjaan dari satu pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk
tahun yang bersangkutan, sehingga pada akhir tahun pajak pegawai tersebut tidak
diwajibkan menyampaikan SPT tahunan.
Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
Misalnya A adalah seorang karyawan ber-NPWP status kawin dengan anak 1,
dengan data penghasilan sebagai berikut:
Gaji Pokok Rp. 5 juta
Iuran Pensiun yang harus dibayar sebesar Rp.50.000 setiap bulan
Tunjangan Transportasi, Uang Makan dan lain-lain : Rp. 2 juta
Total Penghasilan Bruto : Rp. 7 juta
Dari data di atas perhitungan pajak penghasilan Pph 21 atas penghasilan dalam
setahun adalah sebagai berikut:
(dalam Rupiah)
Gaji Pokok
Tunjangan
Penghasilan-Bruto
60.000.000,24.000.000,84.000.000,-
Pengurangan (-)
PTKP
Biaya Jabatan
Iuran Pensiun
Total
60.000.000,4.200.000,2.400.000,66.600.000,-
17.400.000,-
870.000,72.500,-
Secara umum pemotongan PPh Pasal 21 juga menganut sistem self assessment.
Kewajiban menhitung PPh Pasal 21 terutang, menyetor, dan melaporkan berada pada
pihak pemberi kerja. Kemungkinan lain penanggung pajaknya sebagian atau
seluruhnya adalah pemberi kerja, dapat berupa tunjangan pajak atau berupa
kenikmatan.
Perlakuan dalam pajak tersebut adalah:
1. Bagi pihak pemberi kerja tunjangan pajak tersebut dapat dianggap sebagai biaya,
sedangkan bagi pemberi kerja tunjangan pajak dianggap sebagai penghasilan;
2. Kenikmatan berupa pajak penghasilan pasal 21 atas pekerja yang ditanggung
oleh pemberi kerja tidak dapat dibiayakan oleh pemberi kerja, demikian
sebaliknya bagi pekerja tidak dinyatakan sebagai penghasilan.
hal lain berupa pemberian natura atau kenikmatan lainnya kepada pekerja
dengan perlakuan pajak sebagai berikut.
Bagi pihak pemberi kerja pemberian natura atau kenikmatan lainnya sebagai contoh
kenikmatan mendiami rumah dinas, kecuali di daerah tertentu, tidak dapat
dibiayakan, sebaliknya bagi pekerja bahwa natura juga tidak dianggap sebagai
penghasilan. Khusus natura yang diberikan oleh bukan subjek pajak justru dianggap
sebagai penghasilan bagi pekerja. Untuk daerah tertentu telah diatur dalam
keputusan Menteri Keuangan Nomor 446/KMK.04/2000/Tanggal 3 November 2000.
Sifat pemotongan PPh Pasal 21 ditinjau dari pihak yang dipotong.
1. Pemotongan PPh Pasal 21 bersifat tidak final, artinya PPh Pasal 21 sebagai
pembayaran pendahuluan, tetapi dikecualikan bagi wajib pajak yang
memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi kerja.
2. Pemotongan PPh Pasal 21 bersifat final, artinya PPh Pasal 21 yang telah
dipotong oleh pemberi kerja tidak digunakan sebagai pembayaran pendahuluan
atau kredit pajak. Dalam PSAK Nomor 46 juga memberikan batasan Pajak
Penghasilan final yang diartikan sebagai pajak penghasilan yang bersifat final
yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan
yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis
penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final.
Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa pesangon, uang manfaat
pensiun, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua sebagai contoh PPh yang
pengenaan pajaknya bersifat final diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
16/PMK.03/2010/Tanggal 25 Januari 2010.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 final.
1. Uang manfaat pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendirinya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan tunjangan hari tua atau tabungan
hari tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja.
2. Uang pesangon.
3. Hadiah atau penghargaan perlombaan.
4. Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas
dinas luar asuransi.
5. Penghasilan yang dibayarkan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/Polri, selain pegawai Negeri Sipil Golongan II/d ke bawah dan
anggota TNI/Polri berpangkat pembantu Letnan Satu ke bawah, yang
dibebankan ke APBN/APBD berupa honorarium, uang sidang, uang hadir,
uang lembur, dan lain-lain dikenakan PPh Pasal 21 bersifat final sebesar
15%.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) ini dimaksudkan pajak yang dipungut
seperti atas transaksi pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN/APBD
dan transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau badan tertentu, baik badan
pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak PPh Pasal 22 dapat menunjuk instansi pemerintah, badanbadan tertentu, ataupun Wajib Pajak Badan tertentu sebagai pemungut pajak. Adapun
sesuai Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dapat ditunjuk sebagai
pemungut, yaitu: