Vous êtes sur la page 1sur 16

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang pajak penghasilan,


penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak atau seluruh penghasilannya. Dilihart dari kepentingan
pajaknya, tidak setiap penghasilan dikenakan pajak penghasilan, mengingat fungsi
pajak dalam pencapaian kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, bantuan atau
sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak penghasilan, dengan syarat diterimanya tidak dalam hubungan
kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
Undang-undang pajak penghasilan menganut pengertian penghasilan yang
luas, semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Bila dalam satu tahun
pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang sering disebut dengan
kompensasi horizontal, kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Lebih rinci
dapat dipelajari pada subbab penggabungan penghasilan dan subbab kompensasi
kerugian.
Pajak penghasilan dikempokan menjadi 4:
1. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
2. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, penghasilan dari praktir dokter, akuntan, pengacara dan lain-lain;
3. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
digunakan untuk usaha, dan lain-lain;
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain-lain.
Sedangkan dalam Undang-Undang pajak penghasilan juga digambarkan yang
termasuk dalam kategori penghasilan adalah sebagai berikut.
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini terhadap semua pembayaran atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayar oleh pemberi kerja seperti gaji,
premi asuransi, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian
penghasilan sebagai objek pajak penghasilan. Imbalan dalam bentuk natura pada
hakikatnya termasuk penghasilan.
2. Hadian dari undian, pekerjaan, kegiatan, atau penghargaan
hadiah dimaksudkan termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan
seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga, dan lain-lain.

3.

4.

5.

6.

7.

Penghargaan itu sendiri adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan


kegiatan tertentu, seperti imbalan yang diterima seseorang karena menemukan
benda purbakala.
Laba usaha
Penghasilan yang bersumber dari usaha dikategorikan sebagai laba usaha
(business profit).
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk;
a. Keuntungan (selisih antara nilai pasar dan harta yang diserahkan dengan nilai
bukunya) karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabugan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha atau reorganisasi dengan nama dan
bentuk apa pun. Apabila suatu badan likuidasi, keuntungan (selisih antara harga
jual berdasarkan nilai pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut) dari penjualan
harta merupakan objek pajak.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta
tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil
yang ketentuannnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Peneriamaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. Sebagai contoh pajak bumi
bangunan yang telah dibayar dan dibebankan sebagai biaya yang karena alasan
tertentu dikembalikan, maka pengembalian pajak tersebut sebagai penghasilan.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang. Premium ini terjadi apabila obligasi dijual di atas nilai nominal,
sedangkan dsikonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai
nominalnya (agio saham).
Deviden dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dari pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham, pemegang
polis asuransi, atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
a. Pembagian laba secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
bentuk apa pun;
b. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;

c. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham


bonus yang berasal dan kapitalisasi agio saham;
d. Pembagian laba dalam bentuk saham;
e. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
f. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima dan diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
g. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dan modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dan pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;
h. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
i. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
j. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
k. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
l. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagi
imbalan atas:
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusasteraan,
kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula, atau
proses rahasia, merek dagang atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak serupa lainnya;
b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial atau ilmiah;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial
atau komersial;
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a penggunaan
atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b atau
pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c berupa:
1) penerima atau hak menerima rekaman dambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel serat, optik,
atau teknologi yang serupa;
2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar gambar atau suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disalurkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
3) penggunaan atau hak menggunakan sebagai atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),

film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengna penggunaan harta.
dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan
nama dan bentuk apa pun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harga
tak gerak, sebagai contoh sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya alimentasi atau tunjangan
seumur hidup.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing
atau adanya kebijakan pemerintah di bidang moneter.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali (revaluasi) aset.
Apabila terjadi selisih lebih karena penilaian kembali aset sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 Undang-Undang pajak penghasilan, selisih lebih karena penilaian
kembali aset merupakan penghasilan.
14. Premi asuransi.
Dalam premi asuransi ini termasuk juga premi reasuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
atas Wajib Pajak yang mejalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai
pajak.
Tambahan kekayaan bersih (neto) pada hakikatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak, yang bukan objek pajak, maupun
yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah.
Kegiatan yang berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan
kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
19. Surplus Bank Indonesia.
PENGHASILAN TERTENTU
Penghasilan tertentu sebagai penghasilan-penghasilan yang perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya seperti penghasilan bunga deposito
dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, serta
diatur dengan peraturan pemerintah.

Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan


tersendiri dimaksud, antara lain:
1. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
3. Berkurangnnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jendral Pajak;
4. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
5. Memperhatikan pengkembangan ekonomi dan moneter.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan bahwa penghasilan-penghasilan berikut dapat dikenai pajak yang sifat
pengenaan final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya.
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk
sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau
pemungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Obligasi dimaksud termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun,
seperti medium term note, floating rate note yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun sedangkan Surat Utang Negara meliputi Obligasi Negara dan Surat
Perbendaharaan Negara.
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Tidak termasuk kategori penghasilan, walaupun pada hakikatnya adalah penghasilan,
sesuai Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengelompokkan
penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah sebagai berikut.
1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang ketentuannya

2.
3.

4.

5.

6.

7.

diatur atau berdasarkan Peraturah Pemerintah.


b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil yang
ketentuannya diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keungan. Sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Warisan
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
penyertaan modal (perhatikan pengertian badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan).
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak
secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Undang-Undang PPh.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa.
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan objek
pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d UndangUndang Pajak Penghasilan yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam
perhitungan Penghasilan Kena Pajak.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperas, BUMN atau BUMD, dari pernyataan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN, atau BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada bahan yang memberikan dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor. Badan usaha yang didirikan atau bertempat di
Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnnya 25% (dua puluh lima
persen), tidak termasuk Objek Pajak. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) antara
lain perusahaan perseroan (persero), bank pemerintah, bank pembangunan
daerah.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja atau
pegawai.
Iuran dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta
pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.

8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun (perhatikan angka 7
di atas) dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Pada bagian ini penekanannya pada pengecualian dari objek
pajak, yaitu penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan tersebut:
a. Merupakan perusahaan mikro kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya
membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan
modal untuk satu jangka tertentu.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan atau bidang penelitian dan pembangunan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)


Pengenaan Pajak Penghasilan dibebankan terhadap semua Wajib Pajak Orang
Pribadi atau Wajib Pajak Badan. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak Orang
Pribadi dalam negeri, maka penghasilan netonya dikurangi terlebih dahulu dengan
penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No.163/PMK.011/2012 Tanggal 22 Oktober 2012 dan berlaku sejak 1 Januari 2013
adalah sebagai berikut:
1. Rp.24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Rp.2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin.

3. Rp.24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk
seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
4. Rp.2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan garis
lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2016
Usul kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Wajib Pajak yang
semula Rp.36 juta berubah menjadi Rp.54 juta pertahun (setara dengan Rp. 4,5 juta
per bulan) telah disetujui DPR.
Menurut Menteri Keuangan, PTKP ini akan diberlakukan mulai Bulan Juni 2016
mendatang, dan perhitungannya berlaku surut mulai dari Bulan Januari 2016.
Perhitungan Perubahan PTKP terbaru Tahun 2016:
Wajib Pajak Tidak Kawin dan memiliki tanggungan
Uraian
Status
PTKP
Wajib Pajak
TK0
54.000.000,+ Tanggungan 1
TK1
57.000.000,+ Tanggungan 2
TK2
60.000.000,+ Tanggungan 3
TK3
63.000.000,Wajib Pajak Kawin dan memiliki anak / tanggungan
Uraian
Status
PTKP
+ WP Kawin
K0
57.000.000,+ Tanggungan 1
K1
60.000.000,+ Tanggungan 2
K2
63.000.000,+ Tanggungan 3
K3
66.000.000,Wajib Pajak Kawin, istri memiliki penghasilan dan digabung dengan suami
Uraian
Status
PTKP
+ WP Kawin
K/I/0
111.000.000,+ Tanggungan 1
K/I/1
114.000.000,+ Tanggungan 2
K/I/2
117.000.000,+ Tanggungan 3
K/I/3
120.000.000,Catatan: Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang

TARIF PAJAK
Besarnya Tarif Pajak Penghasilan

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,


besarnya tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
sebagai berikut:
1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta


rupiah)

5% (Lima
Persen)

Di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)


sampai dengan Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)

15% (lima belas


persen)

Di atas Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta


rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)

25% (dua puluh


lima persen)

Di atas Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

30% (tiga puluh


persen)

Besarnya tarif pajak bagi wajib orang pribadi dalam negeri tersebut untuk tarif
tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
Lapisan Penghasilan Kena Pajak untuk Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dapat
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu sebagai penyesuaian antara lain
faktor tingkat inflasi.
2. Untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT.
Tarif pajak untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usah tetap (BUT)
sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua
puluh lima persen) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010. Sebagai contoh:
Penghasilan kena pajak wajib pajak badan tahun 2014 sebesar
Rp.1.250.000.000,00 PPh terutang = 25% x Rp.1.250.000.000,00 =
Rp.312.500.000,00.
3. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
ATURAN KHUSUS PENERAPAN TARIF WAJIB PAJAK BADAN
Dengan acuan besaran tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
terdapat unsur kekhususan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2b) yang menyatakan

Wajib Pajak Badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang sahamnya paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
tersebut diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah
daripada taris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17
ayat (2a) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bagi Wajib
Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif seperti dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah). Besaran bagian peredaran bruto dimaksud dapat dinaikkan yang
pengaturannya dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang adalah
Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Tetap berlandaskan atau bersumber pada laporan
keuangan perusahaan (laporan laba rugi/profit and loss statement) setelah dilakukan
koreksi fiskal positif atau negatif dapat diperoleh penghasilan neto setelah koreksi.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dalam mendapatkan penghasilan kena
pajak harus terlebih dahulu penghasilan neto setelah koreksi dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pajak Terutang = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
Tarif yang digunakan dapat mengikuti;
1. Tarif umun;
Tarif pajak ini mengikuti tarif pajak yang ditunjukkan dalam pasal 17 (lapisan
tarif) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Tarif khusus;
Tarif ini mengikuti tarif pajak yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
biasanya ditujukan pada penghasilan tertentu, misalnya bunga deposito yang
diikuti pula dengan pengenaannya yang bersifat final.
3. Tarif sesuai Undang-Undang.
Tarif ini sebelumnya untuk menjelaskan bahwa selain tarif sesuai Pasal 17
Undang-Undang PPh terdapat pula tarif yang disebutkan dalam Pasal 23
Undang-Undang PPh ditetapkan dengan tarif sebesar 15% dari jumlah bruto dan
2% dari jumlah bruto, demikian halnya dengan tarif Pasal 26 Undang-Undang
PPh menetapkan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%.

PENGHITUNGAN PAJAK TERUTANG


Dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang dibedakan antara wajib pajak
dalam negeri dan wajib pajak luar negeri. Bagi wajib pajak dalam negeri pada
dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak,
yaitu:
1. Penghitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pembukuan;
2. Penghitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pencatatan.
PENGGABUNGAN PENGHASILAN ORANG PRIBADI
Mengacu pada Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan, seluruh penghasilan atau
kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian
tahun pajak, dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan
pajak penghasilan sebagai satu kesatuan.
Penggabungan penghasilan istri tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan istri
diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak (PPh Pasal 21)
oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
2. Penghasilan istri tersebut besaral dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
PEMISAHAN PENGHASILAN ORANG PRIBADI
Pemisahan penghasilan dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari
pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan
ketentuan:
1. Suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim;
2. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan;
3. Dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
Penghasilan Anak yang Belum Dewasa
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan
apa pun sifat pekerjaannya dalam tahun pajak yang sama.
Pengertian anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 tahun dan
belum pernah menikah. Apabila seorang anak yang belum dewasa, yang orang
tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan maka pengenaan

pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan


sebenarnya.
PEMAJAKAN ATAS USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH SERTA
ASPEK AKUNTANSINYA
Bentuk partisipasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam
kewajiban perpajakan diawali dengan diterbitkan peraturan pemeritah (PP) No. 46
Tahun 2013. Kebijakan perpajakan mengundang kontrovensi. Dalam bidang
akuntansi dikenal juga akuntansi untuk usaha kecil yaitu Small and Medium
Enterprises (SME).
Ketentuan PP No. 46 tahun 2013 bahwa pengusaha atau wajib pajak yang
dikelompokkan sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah maksilamal mempunyai
peredaran Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
setahun. Untuk wajib pajak yang ternyata peredaran setahun lebih dari
Rp.4.800.000.000,00 pemajakannya akan diberlakukan sesuai ketentuan pajak
penghasilan (PPh) pada umummnya. Selain batasan peredaran terdapat pengecualian
dalam jenis kegiatan usahanya meliputi berikut ini.
1. Pengusaha orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas seperti tenaga ahli,
pemain musik, olahragawan, pengajar, agen iklan, dan lain sebagainya.
(Perhatikan objek PPh pasal 21).
2. Wajib pajak yang telah dikenai PPh final berdasar ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang PPh sebagai contoh jasa konstruksi.
3. Pengusaha orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa
yang dalam usahannya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang baik menetap atau tidak, sebagai contoh: pedagang kaki lima,
pedagang makanan keliling, warung tenda.
4. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial atau wajib pajak
badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah operasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp.4.800.000.000,00.
TATA CARA PENGENAAN PPh BAGI UMKM
Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak UMKM ini, pengenaannya
bersifat final yang ditetapkan dengan tarif 1% (satu persen) dari peredaran bruto
setiap bulan. Dalam menghitung jumlah peredaran bruto usaha, pengusaha UMKM
harus menghitung seluruh peredaran bruto yang diperoleh termasuk usaha cabang.
Akan tetapi, peredaran bruto yang dimaksud tidak termasuk dengan penghasilan dari
usaha yang dikenai PPh final. Pengenaan PPh terhadap UMKM didasarkan pada
peredaran bruto dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang
bersangkutan berjalan. Ketentuan yang diatur dalam PP No. 46 tahun 2013 adalah
sebagai berikut.

1. Bila pengusaha baru terdaftar sebagai wajib pajak setelah berlakunya PP No. 46
Tahun 2013 maka dihitung berdasar jumlah peredaran bruto yang disetahunkan.
Dari hasil dimaksud belum melebihi Rp.4.800.000.000,00 maka
pemberlakuannya sejak januari 2014.
2. Bila pengusaha yang telah terdaftar sejak awal tahun pajak 2013 dan tetap
dengan peredaran bruto yang disetahunkan dan ternyata peredaran brutonya
melebihi Rp.4.800.000.000,00, maka PPh final UMKM mulai diberlakukan sejak
juli 2013.
Dari sisi akuntansi pajak tidak ada perubahan karena dengan diterbitkannya PP
N0. 46 Tahun 2013 tersebut hanya tata cara pemajakannya. Bagi wajib pajak
yang tergolong/terkelompokkan sebagai wajib pajak PPh final sedangkan tata
cara pembukuannya tidak ada perubahan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pajak penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) merupakan pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan berupa, gaji, upah, moratorium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh wajib pajak
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
tersebut yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Pada PPh pasal 21 ini menggunakan istilah pemotongan. Istilah pemotongan
digunakan untuk menunjukan objek yang dikenakan pemotongan yaitu penghasilan
bruto yang dibayar oleh pemberi kerja, karena adanya aliran penghasilan, sehingga
penghasilan yang diterima pekerja tidak utuh, tetapi setelah dipotong PPh Pasal 21.
Terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong dan disetorkan oleh
pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
pekerjaan dari satu pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk
tahun yang bersangkutan, sehingga pada akhir tahun pajak pegawai tersebut tidak
diwajibkan menyampaikan SPT tahunan.
Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
Misalnya A adalah seorang karyawan ber-NPWP status kawin dengan anak 1,
dengan data penghasilan sebagai berikut:
Gaji Pokok Rp. 5 juta
Iuran Pensiun yang harus dibayar sebesar Rp.50.000 setiap bulan
Tunjangan Transportasi, Uang Makan dan lain-lain : Rp. 2 juta
Total Penghasilan Bruto : Rp. 7 juta

Dari data di atas perhitungan pajak penghasilan Pph 21 atas penghasilan dalam
setahun adalah sebagai berikut:
(dalam Rupiah)

Gaji Pokok
Tunjangan
Penghasilan-Bruto

60.000.000,24.000.000,84.000.000,-

Pengurangan (-)
PTKP
Biaya Jabatan
Iuran Pensiun
Total

60.000.000,4.200.000,2.400.000,66.600.000,-

Penghasilan Kena Pajak-Netto

17.400.000,-

Pajak Pph (5%) Per Tahun


Pajak Pph (5%) Per Bulan

870.000,72.500,-

Secara umum pemotongan PPh Pasal 21 juga menganut sistem self assessment.
Kewajiban menhitung PPh Pasal 21 terutang, menyetor, dan melaporkan berada pada
pihak pemberi kerja. Kemungkinan lain penanggung pajaknya sebagian atau
seluruhnya adalah pemberi kerja, dapat berupa tunjangan pajak atau berupa
kenikmatan.
Perlakuan dalam pajak tersebut adalah:
1. Bagi pihak pemberi kerja tunjangan pajak tersebut dapat dianggap sebagai biaya,
sedangkan bagi pemberi kerja tunjangan pajak dianggap sebagai penghasilan;
2. Kenikmatan berupa pajak penghasilan pasal 21 atas pekerja yang ditanggung
oleh pemberi kerja tidak dapat dibiayakan oleh pemberi kerja, demikian
sebaliknya bagi pekerja tidak dinyatakan sebagai penghasilan.
hal lain berupa pemberian natura atau kenikmatan lainnya kepada pekerja
dengan perlakuan pajak sebagai berikut.
Bagi pihak pemberi kerja pemberian natura atau kenikmatan lainnya sebagai contoh
kenikmatan mendiami rumah dinas, kecuali di daerah tertentu, tidak dapat
dibiayakan, sebaliknya bagi pekerja bahwa natura juga tidak dianggap sebagai
penghasilan. Khusus natura yang diberikan oleh bukan subjek pajak justru dianggap
sebagai penghasilan bagi pekerja. Untuk daerah tertentu telah diatur dalam
keputusan Menteri Keuangan Nomor 446/KMK.04/2000/Tanggal 3 November 2000.
Sifat pemotongan PPh Pasal 21 ditinjau dari pihak yang dipotong.

1. Pemotongan PPh Pasal 21 bersifat tidak final, artinya PPh Pasal 21 sebagai
pembayaran pendahuluan, tetapi dikecualikan bagi wajib pajak yang
memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi kerja.
2. Pemotongan PPh Pasal 21 bersifat final, artinya PPh Pasal 21 yang telah
dipotong oleh pemberi kerja tidak digunakan sebagai pembayaran pendahuluan
atau kredit pajak. Dalam PSAK Nomor 46 juga memberikan batasan Pajak
Penghasilan final yang diartikan sebagai pajak penghasilan yang bersifat final
yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan
yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis
penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final.
Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa pesangon, uang manfaat
pensiun, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua sebagai contoh PPh yang
pengenaan pajaknya bersifat final diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
16/PMK.03/2010/Tanggal 25 Januari 2010.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 final.
1. Uang manfaat pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendirinya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan tunjangan hari tua atau tabungan
hari tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja.
2. Uang pesangon.
3. Hadiah atau penghargaan perlombaan.
4. Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas
dinas luar asuransi.
5. Penghasilan yang dibayarkan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/Polri, selain pegawai Negeri Sipil Golongan II/d ke bawah dan
anggota TNI/Polri berpangkat pembantu Letnan Satu ke bawah, yang
dibebankan ke APBN/APBD berupa honorarium, uang sidang, uang hadir,
uang lembur, dan lain-lain dikenakan PPh Pasal 21 bersifat final sebesar
15%.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) ini dimaksudkan pajak yang dipungut
seperti atas transaksi pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN/APBD
dan transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau badan tertentu, baik badan
pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak PPh Pasal 22 dapat menunjuk instansi pemerintah, badanbadan tertentu, ataupun Wajib Pajak Badan tertentu sebagai pemungut pajak. Adapun
sesuai Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dapat ditunjuk sebagai
pemungut, yaitu:

Vous aimerez peut-être aussi