Vous êtes sur la page 1sur 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Oleh :

EVA ROSEANA PUTRI


1202106060

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversible. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik merupakan
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2008).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan
yang progresif dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau
kedua-duanya (Smeltzer & Bare, 2007).
2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di
seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5 - 9%
pada individu usia > 45 tahun. Untuk Indonesia, penelitian COPD working group
tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK
Indonesia sebesar 5,6% (Regional COPD working Group, 2003). Di Indonesia tidak
ada data yang akurat penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2008). Data kunjungan pasien di
RS.H.Adam Malik dan RS.Tembakau Deli Medan menunjukkan kecenderungan
peningkatan kasus PPOK. Pada tahun 2009 proporsi pasien PPOK yang dirawat inap

di bagian paru adalah 3,55% dari seluruh pasien yang dirawat inap di RSUP.H.Adam
Malik Medan. Sementara proporsi pasien yang dirawat inap dengan diagnosis PPOK
adalah 19,82% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru. Distribusi
proporsi pasien antara lain usia > 60 tahun 60,2%, Laki-laki 50%, suku batak 61,4%
dengan riwayat merokok bekas perokok 35,2% (Tarigan, 2013).
3. Etiologi/Faktor Predisposisi
Menurut Corwin (2009) faktor predisposisi terjadinya penyakit paru obstruksi kronis
sebagai berikut :
a. Merokok
Perlu diperhatikan baik perokok aktif, pasif, maupun bekas perokok. Asap rokok
dapat merusak silia yang terdapat di sepanjang saluran udara dan menekan
pembentukan AAT (alpha antitrypsin-1) .
b. Faktor lingkungan
Pekerjaan, polusi udara dan alergen sangat berpengaruh terhadap terjadinya
PPOK. Paparan terhadap udara dingin, jamur, serbuk bunga, nitrogen atau gas
sulfur, asbes, bulu binatang, hairspray dan polutan yang terdapat di sekitar rumah
dapat menstimulasi bronkokonstriksi. Pada serangan akut, kontraksi spastik
menyebabkan penderita kesulitan bernafas karena produksi sel goblet meningkat,
saluran nafas mengalami hipertropi dan penebalan, serta adanya sekresi mukus
yang kental dan sangat banyak gejala khas asmatik bronkitis.
c. Faktor keturunan
Faktor keturunan dan kebiasaan di rumah tangga diwariskan dari generasi ke
generasi. Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkaji riwayat keluarga pada
pasien PPOK. Walaupun penyebab utamanya adalah rokok tetapi bisa juga karena
defisiensi AAT (alpha antitrypsin-1) yang bersifat keturunan. AAT adalah enzim
proteolitik yang berfungsi menekan kerja protease. Protease diproduksi oleh
leukosit, makrofag dan bakteri sebagai respon terhadap proses inflamasi. Bila
tidak terkontrol, protease dapat mengakibatkan kerusakan struktur elastic pada
jaringan paru sehingga mengakibatkan saluran nafas berukuran kecil dan tidak
d.

elastic sama sekali. Hal ini akan mengakibatkan paru akan kolaps saat ekspirasi.
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang yang tidak ditangani

4. Patofisiologi

PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti
asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan
pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta
defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang
melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator
inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim.
Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring
derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok (Price,
2005).
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator
yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic
factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF ,
IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas
antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses
inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi faktor transkripsi
seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi
yang sebelumnya telah ada okok (Price, 2005).
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran
nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada
emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan
ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau
tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana
abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri
pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri
pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary
bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal
(Price, 2005).
5. Manifestasi Klinis
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan

bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti
sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise,
kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan
menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak
nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk
yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental
pasien. Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk,
sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko.
Menurut National Population Health Study (NPHS), 51% penderita PPOK
mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan
aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social ( Smeltzer & Bare, 2002).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik
a. Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup/nafas
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

mencucu) saat ekspirasi


Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Penggunaan cuping hidung saat inspirasi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
Penggunaan otot-otot bantu pernapasan (sternokleidomastoid)
Clubbing finger
Posisi duduk membungkuk saat inspirasi karena adanya tahanan
Pelebaran sela iga
Pernapasan abnormal yang tidak efektif
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat beraktivitas bahkan pada aktivitas

kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi


l. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai dengan demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan
m. Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
n. Penampilan pink puffer (kurus kemerahan biasanya pada emphysema) atau
blue bloater (gemuk, sianosis biasanya pada bronchitis kronis)
Palpasi
a. Taktil fremitus melemah,

b. Ekspansi dada meningkat


c. Pelebaran sela iga
Perkusi
a. Hipersonor
b. Pergerakan diafragma yang mendatar atau menurun
c. Letak diafragma dan hepar ke bawah
d. Batas jantung mengecil
Auskultasi
a. Suara nafas vesikuler melemah atau normal
b. Ekspirasi memanjang
c. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
d. Ronki
e. Whezzing (Mansjoer, 2000).
b. Chest X- ray
Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung, bendungan area
paru. Pada emphysema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan
mendatar, peningkatan ruang udara retrosternal (pada foto lateral), jantung tampak
bergantung, memanjang dan menyempit, penurunan tanda vaskular/bullae. Pada
bronchitis didapatkan peningkatan bentuk bronkovaskular, dan pada asma
ditemukan hasil normal saat periode remisi (asma) (Ganong, 2010).
c. Pemeriksaan Fungsi Paru
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dispnea, menentukan abnormalitas
fungsi apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi,
dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misalnya bronkodilator. Komponen yang
menunjukkan hasil abnormal yaitu :
1. Kapasitas inspirasi menurun
2. Volume residu meningkat pada emphysema, bronchitis dan asma
3. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif
kronis
d. Analisa Gas Darah
Menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal
atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema), sering kali menurun pada asma
dengan nilai pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
e. Bronkogram

Dapat menunjukkan dilatasi dari bronkhus saat inspirasi, kolaps bronkhial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronkhitis).
1. Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia
sekunder
b. Jumlah darah merah meningkat
c. Eosinofil dan total IgE serum meningkat
d. Pulse oksimetri SaO2 oksigenasi menurun
e. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik
2. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen
yang biasa ditemukan adalah streptococcus pnemoniae, Hemophylus
influenza, dan Moraxella catarrhalis (Ganong, 2010).
7. Penatalaksanaan
Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1. Antibiotik,

karena

eksaserbasi

akut

biasanya

disertai

infeksi

yang umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka


digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 40.56/hari.
Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin
pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun
hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 0,56 IV secara perlahan.
Terapi jangka panjang di lakukan :

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 40,250,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
3. Fisioterapi.
Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
Mukolitik dan ekspektoran untuk mengencerkan dahak (Mansjoer, 2000).

8. Komplikasi
a. Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 < 55 mmHg dengan nilai
saturasi O2 < 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dan takipnea.
c. Infeksi Saluran Pernapasan disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsang otot polos bronkhial, dan edemamukosa. Terhambatnya
aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispnea
d. Gagal Jantung : Terutama cor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit
paru-paru) harus diobservasi, terutama pada pasien dispnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronkhitis kronis, namun beberapa pasien
emfisema berat juga mengalami masalah ini
e. Disritmia Jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain,dan efek
obat atau terjadinya asidosis respiratori.
f. Status Asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma
bronkhial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering
kali tidak memberikan responsterhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan
otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat (Ganong, 2010).
9.

Prognosis

Pada eksaserbasi akut, prognonis baik dengan terapi. Pada pasien bronkitis kronik dan
emfisema lanjut dan FEV1 < 1 liter survival rate selama 5-10 tahun mencapai 40%
(Mansjoer, 2000).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
A. Pengkajian
1. Identitas
Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Status perkawinan :
Agama
Suku
Alamat
Tanggal masuk
Tanggal pengkajian:
Sumber Informasi
Diagnosa masuk
Penanggung
Nama
Hubungan dengan pasien

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

2. Primery Survey
Airway
1. Kaji dan pertahankan jalan napas
2. Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
3. Gunakan bantuan jalan napas jika perlu
4. Pertimbangkan untuk segera merujuk ke ahli anaestesi

Breathing
1. Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter
2. Lakukan pemeriksaan arterial gas darah untuk mengkaji ph, paco2 and pao2
3. Jika ph arteri <7.2, pasien lebih menguntungkan menggunakan non-invasive
4.
5.
6.
7.

ventilation (niv) dan rujukan harus dibuat sesuai dengan kebijakan setempat
Kontrol terapi oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
Monitoring secara ketat paco2
Berikan nebuliser salbutamol 5 mg dan ipratropium 500 mcg melalui oksigen
Berikan prednisolone 30 mg per oral atau hydrocortisone 100 mg iv setiap 6

jam.
8. Catat temperature
9. Lakukan pemeriksaan untuk mencari tanda:
1. Sianosis
2. Clubbing
3. Pursed lip breathing
4. Kesimetrisan pergerakan
5. Retraksi interkosta
6. Deviasi trachea
10. Dengarkan adanya:
1. Wheezing
2. Crackles
3. Penurunan aliran udara
4. Silent chest
11. Lakukan pemeriksaan torak untuk melihat
1. Pneumothorak
2. Konsolidasi
3. Tanda gagal jantung
12. Jika ada bukti infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri pathogen diantaranya:
1. Streptococcus pneumoniae
2. Haemophilus influenzae
3. Moraxella catarrhalis
Circulation
1. Kaji heart rate dan ritme
2. Catat tekanan darah
3. Periksa ekg
4. Lakukan intake output, dan pemeriksaan darah lengkap
5. Lakukan pemasangan iv akses
6. Jika potassium rendah maka berika cairan potassium
7. Lakukan pembatasan cairan
8. Pertimbangkan pemberian heparin subkutan
Disability
1. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan avpu
2. Penurunan kesadaran menunjukan pasien membutuhkan pertolongan medis
dengan segera dan dikirim ke icu

Exposure
Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainnya

2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas yang tidak efektif berhubungan dengan penyakit paru
obstruksi kronis ditandai dengan batuk yang tidak efektif, produksi sputum dan
suara napas tambahan.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan dispnea, peningkatan laju pernapasan.
3. Nyeri Kronis berhubungan dengan ketunadayaan fisik kronis ditandai dengan
hambatan meneruskan aktivitas sebelumnya, letih, keluhan nyeri.
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan penyakit kronis.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis ditandai dengan berat badan 20% atau lebih dibawah berat
badan ideal.
6. Keletihan berhubungan dengan status penyakit ditandai dengan ditandai
dengan lelah, kurang energi atau tidak mampu mempertahankan aktivitas fisik
sesuai tingkat biasanya, dan peningkatan kebutuhan istirahat.
3.

Rencana Keperawatan
Terlampir

4.

Evaluasi
Terlampir

Diagnosa
Keperawatan

Tujuan dan kriteria hasil

Bersihan jalan nafas Setelah

diberikan

yang tidak efektif Keperawatan


berhubungan

diharapkan

...x24
tidak

asuhan NIC
terjadi

penyakit gangguan rasa nyaman nyeri

paru

obstruksi dengan kriteria hasil :


ditandai NOC Label : Respiratory

dengan batuk yang Status : Airway Pattency


tidak

efektif, 1. RR

produksi

sputum

dan

suara

tambahan

napas

normal.

dalam

rentang

20-30x/menit

pada anak, 16-20 x/menit


pada dewasa
2. Akumulasi sputum (-)
3. Suara napas tambahan (-)
4. Mampu
mengeluarkan
sputum
5. Irama

nafas

dalam

rentang normal
6. Mampu
mendemonstrasikan batuk
efektif

Label

Rasional
Airway NIC

jam Management

dengan
kronis

Intervensi

Label

Evaluasi
Airway S :
-

Management

1. Posisikan pasien untuk 1. Posisi yang baik akan


memaksimalkan

potensi

meningkatkan

dan

ventilasi
2. Keluarkan secret dengan

memudahkan

udara

pasien
dahaknya

mengatakan
sudah

banyak keluar
pasien mengatakan
nafasnya sudah lebih

masuk ke pernafasan

batuk atau suction


lancar
2. Jalan
nafas
akan
3. Instruksikan bagaimana
O:
terbuka jika sekret
batuk efektif
- Pasien
terlihat
4. Auskultasi suara nafas,
dikeluarkan
kecuali
mampu melakukan
catat area suara nafas
ada hambatan lain
batuk efektif dengan
tambahan
3. Batuk
efektif
5. Monitor status respirasi
benar
merupakan
pilihan
- RR normal 16-20
dan oksigenasi
yang baik untuk pasien
6. Monitor nilai AGD
x/menit pada dewasa
7. Berikan bronkodilator
yang masih sadar jika
- Sputum
banyak
4. Untuk

mengetahui

intervensi

keluar

yang

diperlukan
5. Mengetahui

konsistensi kental
Pasien terlihat lebih

nyaman
Suara nafas tambahan

keberhasilan intervensi
sesudah

dengan

dan -

tidak terdengar
Irama napas reguler

sebelumnya
6. Mengetahui
kandungan gas darah.
7. Bronkodilator mampu
membuka jalan napas
yang
NIC Label : Oxygen

mengalamai

obstruksi

Therapy
1. Kaji kebutuhan oksigen

NIC Label : Oxygen

pasien sesuai keadaan


2. Siapkan oksigen yang

Therapy
1. Memastikan kebutuhan

diperlukan (nasal kanul/

oksigen tercukupi

rebreathing/non-

sesuai dengan keadaan

rebreathing
3. Atur aliran oksigen sesuai
kebutuhan
4. Monitor respon pasien
setelah dilakukan
pemasangan oksigen

pasien
2. Memastikan alat
pemasangan oksigen
yang disiapkan sesuai
dengan kebutuhan
pasien
3. Memastikan aliran
oksigen agar sesuai
kebutuhan
4. Memastikan aliran
oksigen sesuai dengan

A: Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
keperawatan

yang diperlukan pasien


Ketidakefektifan
pola

Setelah

dilakukan

asuhan NIC Label : Respiratory NIC Label : Respiratory S : pasien mengatakan

napas keperawatan selama x24 monitoring

monitoring

berhubungan

jam diharapkan pola napas 1. Monitor kecepatan, irama,

dengan

efektif dengan kriteria hasil :

kedalaman,

hiperventilasi

NOC Label : Respiratory

pernapasan

ditandai dengan status : airway patency


dispnea,
peningkatan laju
pernapasan

1. RR pasien dalam rentang


normal (12-24 x/menit)
2. Kedalaman inspirasi pasien
adekuat
3. Irama pernafasan normal

2. Catat

dan

usaha

sesak berkurang

1. kecepatan,

irama, O : RR normal 16-20

kedalaman, dan usaha x/menit


pernapasan

pergerakan

dada,

dengan

irama

teratur

menandakan

pasien A

masalah

teratasi

serta lihat simetris dan

masih

penggunaan

bernapas atau tidak P : lanjutkan intervensi

otot

bantu

napas
3. Monitor sesak menurun
atau bertambah parah
4. Auskultasi suara paru-paru

kesulitan sebagian

sehingga perlu terus keperawatan


dilakukan
pemantauan.
2. Membantu

dalam

setelah pemberian terapi

pengobservasian

untuk mengetahui hasilnya

fungsi

dari

NIC Label : Airway

pernapasan

Management

masih baik atau tidak.

1. Atur posisi pasien untuk


mengurangi sesak nafas
2. Berikan terapi oksigen

yang

3. Dapat

membantu

dalam

pertolongan

penanganan
terjadi

jika
penurunan

fungsi napas dengan

cepat.
4. Tolak

ukur

dalam

pemberian terapi.
NIC Label : Airway
Management
1. Berfungsi

dalam

memperlancar
ventilasi.
2. Memberikan

terapi

sehingga

lebih

mudah
Nyeri

Kronis Setelah mendapatkan asuhan NIC

Label:

berhubungan

keperawatan selama ...x 24 administration

dengan

jam,

ketunadayaan
kronis
dengan

nyeri

pasien

dapat

fisik teratasi dengan:

ditandai
hambatan

aktivitas

serangan nyeri
2. Pasien
melaporkan

keluhan nyeri.

obat, dosis, dan frekuensi


analgesik

yang

diresepkan
pelayan 3. Periksa riwayat

alergi

perubahan dalam nyeri


kepada

lokasi,

memberikan medikasi
mengenali 2. Periksa medical order dari

1. Pasien
letih,

1. Tentukan

administration

keparahan nyeri sebelum

meneruskan
sebelumnya,

bernapas.
analgesic NIC label: analgesic S : pasien mengatakan

karakteristik, kualitas, dan

NOC: pain control

dari

dalam

nyeri yang berat seperti

1. Efektivitas pemberian
dan efek analgesik
2. Meyakinkan
kebenaran

menahan beban di bagian


dada berkurang dengan
skala

dan

hanya

tindakan muncul sesekali

dan menghindari efek

O:

yang tidak diinginkan.


3. Meyakinkan
pasien - pasien tidak terlihat
tidak alergi terhadap
meringis
obat
yang
akan

kesehatan.
obat.
3. Pasien melaporkan bahwa 4. Tentukan jenis analgesic,
nyeri dapat terkontrol

rute pemberian, dan dosis


untuk

NOC: pain level


1. Pasien dapat melaporkan
nyeri
2. Lama dari episode nyeri

mencapai

efek

optimal
5. Monitor tanda-tanda vital
sebelum

dan

sesudah

pemberian

diberikan.
- pasien dapat beristirahat
4. Efektivitas pemberian
A : Masalah teratasi
obat.
5. Mengantisipasi efek
P : Hentikan intervensi
samping yang tidak
keperawatan
diinginkan.
NIC

Label

Pain

Management
dapat diperpendek
Label
:
Pain
3. Pasien tidak mengeluh NIC
1. Untuk
menegetahui
Management
tidak dapat beristirahat
derajat
nyeri
yang
4. Wajah
pasien
tidak
1. Lakukan pengkajian nyeri
dirasakan oleh pasien,
tampak sedang menahan
2. Ajarkan pasien untuk
waktu, lokasi nyeri
nyeri
mengurangi nyeri dengan
pasien
terapi
nonfarmakologi 2. membantu mengurangi
(teknik distraksi)
3. Kolaborasi dengan tenaga
medis

lain

pasien
dalam 3. penanganan

pemberian analgesic
Risiko

Infeksi Setelah

berhubungan
dengan

dilakukan

NIC Label : Infection

keperawatan selama . x 24

Control
1. Pantau tanda dan gejala

berkurang :

infeksi.
2. Pantau

TTV

nyeri

berjalan dengan tepat

asuhan

penyakit jam diharapkan diare pasien

nyeri yang dirsakan oleh

secara

NIC Label : Infection S : Pasien mengatakan


Control
1. memantau

kondisinya sudah lebih


keadaan

baik
pasien apakah telah O :
- WBC berada dalam

kronis

NOC

Label:

Infection

Severity

berkala
3. Pantau jika ada tanda-

tanda sepsis pada pasien


pemberian
1. WBC berada dalam batas 4. Kolaborasi
antibiotik sesuai indikasi
normal (5000-10.000 /
gunakan prinsip 6B
mm3)
5.
Kolaborasi
pemberian
2. Suhu tubuh dalam batas
antiinflamasi
sesuai
normal (36 - 370 C
indikasi gunakan prinsip

3.

0,50 C)
Infeksi yang

4.

pasien teratasi.
Pasien tidak mengalami
tanda-tanda

dialami

terjadi

penyebaran batas

infeksi

normal

(5000-

menjadi 10.000 / mm3)


-Suhu tubuh dalam batas

penyakit lain.
2. adanya
takikardi, normal (36,5 37,50 C )
- tidak terdapat tanda
takipnea, demam, nadi
infeksi atau inflamasi
cepat dan lemah dapat
yang berkepanjangan
menunjukkan terjadi
A : Masalah teratasi
sindroma
radang
sistemik.
P : Hentikan intervensi
3. sepsis menunjukkan
keperawatan
adanya
sindroma

6B

radang

inflamasi

sistemik

dengan tanda demam,

yang berkepanjangan

menggigil,

takipnea,

takikardia,

hipotensi,

nadi cepat dan lemah,


serta gangguan mental.
4. mencegah
atau
mengatasi infeksi lebih
lanjut
5. mencegah
Ketidakseimbangan

Setelah

dilakukan

nutrisi kurang dari keperawatan

selama

asuhan NIC
..x24

Label

NutritionTherapy

inflamasi

lebih lanjut
: NIC
Label
NutritionTherapy

: S:

pasien

mengatakan

sudah dapat makan dan

kebutuhan tubuh b.d jam, diharapkan status nutrisi 1. Lakukan


faktor

biologis pasien

ditandai
berat

badan

meningkat,

pengkajian

dengan

lengkap mengenai nutrisi

dengan kriteria hasil : NOC Label :

pasien.
2. Monitor intake makanan

20% Nutritional Status

atau lebih dibawah 1.


berat badan ideal.
2.
3.

Intake

nutrisi

pasien dan hitung kalori

pasien

harian.
meningkat.
3. Siapkan pasien makanan
Intake cairan memenuhi
tinggi protein, tinggi
kebutuhan
Rasio BB/TB pasien
kalori dan minuman yang
seimbang.(IMT=18-23)

siap dikonsumsi.
4. Bantu pasien memilih

NOC Label : Appetite

makanan

1.

Adanya

peningkatan

2.

nafsu makan.
Pasien
menikmati

yang

lunak,

lembut dan tanpa asam.


5. Berikan perawatan mulut
sebelum makan.

1. Untuk
mengetahui

status

nutrisi pasien sehingga O: rasio BB/TB pasien


dapat

melakukan sudah

berlebihan

sehingga pasien tidak

NOC label : Nutritional

nyaman.
5. Agar pasien nyaman

status : nutrient intake


1. Asupan kalori pasien

sebelum dan selama

dapat terpenuhi
2. Asupan protein

NIC
pasien

dapat terpenuhi kembali


1.
3. Asupan lemak pasien
dapat terpenuhi

Label

Nutrition

makan.

Monitoring
Catat

perubahan

signifikan status nutrisi


pasien

pada

treatment

ideal

(IMT=18-

intervensi yang tepat.


23), tidak ada tanda2. Untuk
mengetahui
tanda dehidrasi, status
apakah jumlah kalori
nutrisi pasien meningkat,
harian sudah terpenuhi
kebutuhan
makanan
3. Untuk mempercepat
pasien terpenuhi
peningkatan
berat
A: Masalah teratasi
badan pasien.
P: Lanjutkan intervensi
4. Agar lambung pasien
keperawatan
tidak
terangsang
secara

makanan.

dapat nafsu makan meningkat

NIC

Label

:Nutrition

Monitoring
1. Untuk

mengetahui

4. Berat badan pasien stabil

awal.
2. Ukur berat badan pasien
pada

interval

efek

dari

treatment

awal

yang
2. Untuk

spesifik.

melihat

perubahan berat badan


Setelah dilakukan tindakan NIC

berhubungan

keperawatan selama ... x24 Management


Management
1. Kaji pola tidur dan catat 1. Berbagai factor dapat
jam diharapkan keletihan
perubahan dalam prose
meningkatkan
klien dapat diatasi, dengan
berpikir/perilaku.
kelelahan,
termasuk
kriteria hasil:
2. Bantu
memenuhi
kurang tidur, penyakit
NOC
Label:
Activity
kebutuhan
perawatan
SSP, tekanan emosi dan
Tolerance
pribadi,
pertahankan
efek samping obat1. Klien tidak merasa lelah
tempat tidur dalam posisi
2. Klien mampu beraktivitas
obatan/kemoterapi
rendah dan tempat lalu 2. Rasa
lemas
dapat
secara normal seperti
lalang
bebas
dari
membuat
pemenuhan
biasanya
3. Kebutuhan istirahat klien
perabotan; bantu dengan
kebutuhan
perawatan

dengan

status

penyakit ditandai
dengan ditandai
dengan

lelah,

kurang

energi

atau

tidak

mampu
mempertahankan
aktivitas
sesuai

fisik
tingkat

biasanya,

dan

terpenuhi secara normal

Label:

jika ada
Energy NIC
Label:

Keletihan

ambulansi.
3. Pantau respon psikologis

peningkatan

terhadap

aktivitas,

kebutuhan

misalnya

perubahan

istirahat

Tekanan Darah, frekuensi


pernapasan atau jantung.
4. Dorong masukan nutrisi

Energy S : Klien mengatakan

diri klien hampir tidak


mungkin

bagi

klien

untuk
menyelesaikannya.
Melindungi klien dari
cedera

selama

sudah tidak merasa lelah


O

Klien

mampu

beraktivitas seperti biasa,


klien tampak tidak leleah
A : Tujuan tercapai
P : Hentikan intervensi
keperawatan dan pantau
kondisi klien

melakukan aktivitas.
3. Toleransi
bervariasi
tergantung pada status
proses penyakit, status
nutrisi,

keseimbangan

cairan, dan jumlah/tipe


penyakit di mana klien
menjadi subjeknya.
4. Pemasukan/penggunaan
nutrisi adekuat sangat
penting bagi kebutuhan
energy untuk aktivitas.

Vous aimerez peut-être aussi