Vous êtes sur la page 1sur 39

Argumen Keberadaan Wujud

(Pembuktian Adanya ADA


Wujud)
Tuhanku, nyalakan api keraguan yang suci dalam
dadaku,
agar semua kepastian yang telah ditanamkan orang
lain kepadaku terbakar habis.
namun, ketika debu-debunya telah bertebaran
menghilang,
tersungginglah senyum kasih sayang di permukaan
dua bibir
fajar keyakinan yang tak berbercak sedikitpun
(Ali Syariati, Makna Doa)

Perdebatan I
Penulis
: Karena kalian percaya bahwa
Tuhan itu ada. Sekarang, dari mana kalian bisa
tahu bahwa Tuhan itu ada?
Peserta
:
Kami
mengetahui
bahwa
Tuhan itu ada, karena adanya alam ini. Tuhan
kami lah yang menciptakan alam ini. Karena
mustahil alam ini ada begitu saja. Pastilah ada
yang menciptakannya, yakni Tuhan kami
Penulis
: Apakah ketika kalian melihat
alam ini, lantas kalian mengatakan bahwa
Tuhan itu ada?
Peserta
: Ia benar

Penulis
: Artinya, adanya Pencipta yang
kalian klaim sebagai Tuhan, kalianlah yang
memikirakan, setelah melihat alam?
Peserta
: Ia benar demikian
Penulis
: Jika demikian, berarti Tuhan
kalian itu adalah hasil dari buatan pikiran
kalian, karena setelah melihat alam, kalian
berfikir bahwa Tuhan lah yang menciptakan
alam. Terus kenapa kalian mau menyembah
yang kalian buat sendiri dalam pikiran kalian.
Dan apa bedanya dengan orang yang membuat
patung, lantas dia menyembahnya. Bukankah
ini adalah sebuah kebodohan semata
Merekapun terdiam dengan kebingungan.
Nampaknya mereka belum mengetahui betul
kelemahan argumentasi mereka.
Perdebatan ke-II Masih Berhubungan
dengan Ciptaan dan Pencipta.
Peserta
:
Bukti adanya Tuhan, Karena
adanya ciptaan. Karena yang namanya ciptaan
itu mestilah membutuhkan pencipta. Olehnya
itu, karena alam ini ciptaan, pastilah ada
penciptanya
Penulis
: Apa buktinya bahwa alam ini
adalah ciptaan?
Peserta
:
Tentu saja alam ini ciptaan,
karena mustahil dia ada begitu saja. Karena
segala sesuatu yang ada pastilah ada yang
mengadakan, termasuk alam ini

Penulis
: Apakah Tuhan kalian ada?
Peserta
: Ia Tuhan kami ada
Penulis
: Kalau begitu, Tuhan kalian pun
ciptaan. Karena kalian mengatakan
bahwa
setiap yang ada itu pastilah ada yang
mengadakan. Dan karena Tuhan kalian ada,
maka Tuhan kalian pun ada yang mengadakan.
Dan jika Tuhan kalian ada yang mengadakan
berarti Tuhan kalian bukan Tuhan (pencipta),
melainkan ciptaan
Peserta
: Tidak.., tidak seperti itu maksud
kami
Penulis
: Maksud kalian bagaimana?
Peserta
: Maksud kami, setiap yang ada
pastilah ada yang mengadakan, kecuali Tuhan
kami
Penulis
:
Atas
dasar
apa
kalian
mengecualikan Tuhan kalian?
Peserta
: Tentu saja terjadi pengecualian
bagi Tuhan kami, karena Tuhan kami adalah
pencipta. Dan segala sesuatu yang ada itu
adalah ciptaan Tuhan kami
Penulis
: Apa buktinya bahwa Tuhan kalian
pencipta?
Peserta
: Ya.. , tentu saja karena adanya
ciptaan (alam)
Penulis
: Artinya, adanya Tuhan kalian
(Pencipta) karena adanya ciptaan (alam)?
Peserta
: Ia.., seperti itulah
Penulis
: Jika seperti itu berarti, Tuhan

kalian itu bukan pencipta. Karena adanya Tuhan


kalian di karenakan adanya ciptaan yakni alam.
Dengan kata lain alam ini lah yang menjadi
Tuhan, karena alam lah yang mengadakan
Tuhan kalian sehingga Tuhan kalian dapat
dikatakan ada. Hal ini sebagaimana yang kalian
katakan, yaitu adanya Tuhan kalian karena
adanya ciptaan (alam)
Peserta
: Ah .. siapa bilang, justru adanya
pencipta, telah terbukti karena adanya ciptaan
Penulis
: Kalian lah yang bilang.., kalian
mengatakan adanya pencipta karena adanya
ciptaan. Kalian harus ketahui, ketika kalian
mengunakan karena adanya, Pada kalimat
adanya pencipta karena adanya ciptaan. Ini
bermakna adanya pencipta itu di karenakan
atau di sebabkan adanya ciptaan. Dengan kata
lain ciptaan lah yang mengadakan pencipta
sehingga pencipta itu ada. Dan ini berarti
ciptaan sebagai pencipta dan pencipta sebagai
ciptaan. Karena sekiranya tidak ada ciptaan,
berdasarkan pernyataan kalian pencipta itu
tidak ada.
Peserta
:
Sepertinya
anda
belum
memahami jawaban kami. Kami kan sudah
katakan bahwa dengan adanya alam sebagai
ciptaan, telah membuktikan adanya Tuhan
sebagai pencipta
Penulis
: Sesungguhnya, kalianlah yang
tidak memahmi pertanyaan saya. Sekarang

begini saja, kalian tinggal memilih. Apakah


karena adanya alam sehingga Tuhan dapat ada
(alam lebih dahulu daripada Tuhan) atau kerena
Tuhan lah sehingga alam ada (alam lebih
dahulu barulah Tuhan)?
Peserta
: Yaa.. tentu saja karena adanya
Tuhanlah sehingga alam ada atau adanya
penciptalah sehingga adanya ciptaan
Penulis
: Apakah ini berarti bahwa ciptaan
tidak layak sebagai sebab adanya pencipta.
Karena jika layak berarti ciptaanlah sebagai
sebab adanya pencipta, yang berdampak
ciptaan sebagai pencipta dan pencipta sebagai
ciptaan
Peserta
: Ia, tentu saja haruslah seperti
itu
Penulis
: Jika seperti ini adanya, maka
layakkah kalian mengatakan bahwa adanya
alam (Ciptaan) sehingga Tuhan ada, yang
berdampak bahwa alam ini lebih dahulu ada
dari pada Tuhan kalian
Untuk kedua kalinya mereka kembali terdiam.
Perdebatan Ke-III
Penulis
: Kenapa bisa ..Ya .., kalian percaya
pada Tuhan yang kalian tidak bisa buktikan
adanya. Apakah keyakinan kalian memang
tidak terbukti?
Peserta
: Tidak, Tuhan ada. Karena kami
sangat meyakininya. Dan karena anda tidak
meyakininya, makanya anda tidak pernah

menerima tentang adanya Tuhan kami. Berbeda


dengan kami. Olehnya itu jika anda ingin tahu
adanya Tuhan, yakini dulu!
Penulis
:
Jadi, Apakah kalian sudah
mengetahuinya, setelah meyakininya?
Peserta
: Ya..,tentu saja kami telah
mengetahuinya!
Penulis
:
Kalau
begitu,
jelaskan
pengetahuan kalian itu?
Peserta
: Tuhan kami tidak perlu dijelaskan
dengan pengetahuan. Cukup dengan keyakinan
kami
Penulis
: Artinya, kalian tidak tahu!
Peserta
: Kenapa., Kalau kami tidak tahu.
Yang pentingkan keyakinan
Penulis
: Bagaimana kalian bisa menyakini
sesuatu yang anda Tidak tahu keberadaanya?
Peserta
: Begini saja.., Yakinilah dulu. Nanti
juga anda akan tahu bahwa Tuhan itu ada
Penulis
:
Bagaimana
mungkin
anda
menyuruh meyakini sesuatu yang tidak ada
Peserta
: Agar Tuhan itu ada, anda yakini
terlebih dahulu..!
Penulis
: Sungguh aneh keyakinan kalian!
Peserta
: Apa-nya yang aneh?
Penulis
:
Ya.., tentu saja aneh. Tadi
kalian mengatakan bahwa adanya Tuhan kerena
kita yakini. Jadi sekiranya kalian tidak yakin,
apakah Tuhan kalian masih ada?
Peserta
:
Pernyataan anda itu mustahil,

karena kami selalu yakin akan adanya Tuhan


Penulis
:
Oke Jika seperti itu jawaban
kalian. Sekarang saya tanya, apakah karena
kalian yakin sehingga Tuhan kalian ada?
Sehingga adanya Tuhan kalian tergantung pada
keyakinan kalian. Atau adanya Tuhan kalian
tidak tergantung pada keyakinan kalian?
Peserta
: Tuhan kami tidak tergantung
pada keyakinan kami
Penulis
:
Kalau begitu, atas dasar apa
kalian menyuruh saya meyakini Tuhan dahulu
yang nantinya mengakibatkan Tuhan itu ada?
Sementara
adanya
Tuhan
kalian
tidak
tergantung sama keyakinan
Peserta ke-2 :
Salah
seorang
peserta
mengangkat
bicara
seraya
membantah
argumentasi temannya sendiri, dan berkata,
Tidak, Tuhan kami ada karena kami yakin dia
ada!
Penulis
:
Jika demikian, Tuhan kalian
tergantung sama keyakinan kalian. Sehingga,
agar Tuhan kalian ada, kalian harus yakin dulu.
Atau agar Tuhan kalian tetap ada, kalian harus
selalu yakin!
Peserta ke-2 : Yaa.. Kurang lebih seperti
itulah!
Penulis
:
Kalau begitu, Tuhan kalian
bukan Tuhan, karena masih membutuhkan
keyakinan kalian agar dia ada. Dan kalian lebih
hebat dari Tuhan kalian, karena Tuhan masih

membutuhkan kalian. Kenapa bukan kalian saja


yang jadi Tuhan! Toh juga kalian lebih hebat
dari Tuhan kalian
Peserta
:
Tetapi, kami harus meyakini
terlebih dahulu baru mengetahuinya
Penulis
: Kalau begitu, keyakinan kalian
tidak di dasari oleh pengetahuan. Sementara
syarat meyakini sesuatu, haruslah di awali
dengan
pengetahuan.
Karena
mustahil
meyakini sesuatu yang kita tidak ketahui.
Dengan
kata
lain,
keyakinan
kalian
sesungguhnya tidak layak dikatakan keyakinan,
melainkan
hanya
ketidak-tahuan
yang
dibungkus dengan keyakinan
Mereka kembali kebingungan. Dan mencari
dalil yang lebih kuat guna membuktikan
kebenaran keyakinan mereka.
Konon ada sebuah cerita tentang sebuah
diskusi yang akan diadakan oleh seorang tokoh
Muslim dan sekelompok orang kafir. Mereka
telah saling sepakat untuk berjumpa pada
suatu hari dan pada satu tempat tertentu.
Begitu hari dan waktu yang ditentukan tiba,
orang-orang kafir segera berkumpul di tempat
yang sudah ditentukan itu. Mereka orang-orang
kafir telah berhari-hari menyiapkan diri untuk
menghadapi dialog yang sudah tiba itu. Mereka
menunggu dengan perasaan berdebar-debar

dan sedikit tegang. Namun, perasaan itu tidak


terobati karena yang mereka tunggu untuk
dihujat tidak kunjung datang. Lama nian
mereka menunggu. Rupanya salah satu dari
mereka sudah tak tahan menunggu, dan ia pun
berkata
dengan
kesalnya
Apakah
ini
merupakan kebiasaan dari orang-orang kotor
yang tak berakal itu. Yang biasa membuangbuang waktu untuk tidur dan menangis?
Rupanya gerutu tadi memancing marah orang
yang duduk di dekat orang yang menggerutu.
Ia pun berkata dengan lantang; Sungguh ini
merupakan tipu daya. Rupanya orang yang
selalu mengada-ngada itu merasa tidak
sanggup mempengaruhi kita, orang-orang
berakal, yang tidak seperti orang-orang lain
yang kotor dan bodoh sebagaimana dia
pengaruhi selama ini.
Rupanya kedua orang itu betul-betul
memancing kemarahan para hadirin yang
memang sudah kesal. Dan tentu saja
sasarannya adalah sang tokoh muslim yang
mereka tunggu-tunggu. Benar saja, sebentar
kemudian situasi dalam pendopo yang mereka
pakai itu telah dipenuhi kata-kata umpatan dan
ejekan. Bahkan sebagian sudah bersiap-siap
meninggalkan ruangan karena sudah terlalu
lama
menunggu
tapi
sekoyong-koyong
umpatan dan keributan itu berhenti ketika
mereka melihat sesosok tubuh mendekati

mereka dan memasuki ruang pendopo, tempat


mereka berkumpul.
Tapi kesunyian itu rupanya mirip kesunyian
para pelomba lari yang sedang menunggu
bunyi tembakan yang hendak lari mendahului
yang
lainnya.
Tanpa
dikomando
secara
serempak mereka berkata, Hai pembohong
pembohong orang yang rambutnya sudah
hampir memutih semua, yang duduk dikursi
depan, dari tadi memang tampak lebih sadar
dari yang lainnya. Rupanya ia adalah pemuka
yang dihormati dikalangan orang-orang kafir
itu. Karena ia khawatir akan semakin
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
maka ia segera berdiri dan menenangkan para
hadirin. Memang tampak berwibawa sehingga
orang-orang kembali senyap dan duduk di kursi
masing-masing. Si pemuka itu menoleh kepada
orang yang baru datang itu yang memang
orang yang mereka tunggu setelah berhasil
menertibkan kegaduhan di pendopo.
Berkata si tua tadi, Hai orang muslim!
Engkau bukan menghadapi orang-orang konyol
semacammu. Orang-orang yang tidak beradab
dan berakal, serta tidak menghormati waktu.
Sungguh kami sangat sedih dan kesal
menunggu kedatangan anda yang ternyata
telah membuang-buang waktu kami yang
sangat berharga. Kami harap ajaran anda yang
satu ini jangan sekali-kali diterapkan ditengah-

tengah kami. Sebab kami adalah orang-orang


yang menghormati waktu dalam hidup kami.
Si muslim menjawab, Saudara-saudara
sekalian, kami juga merasa bersedih dengan
kejadian
ini.
Kenapa
harus
terjadi.
Keterlambatan dan tidak tepat janji adalah
suatu yang sangat dicela di dalam ajaran kami,
yaitu Islam.
Hampir serentak dan dibarengi gelak tawa,
para hadirin mencemooh, Bohong, bohong.
Rupanya pak tua tadi agak naik pitam lalu
dia
nyeloteh;
bagaimana
anda
dapat
mengatakan hal itu, sedang yang demikian itu
banyak dilakukan orang-orang muslim. Dan
yang sangat mengherankan adalah anda
sendiri termasuk pelakunya.
Perkataan disambut gelak tawa para hadirin
yang memang merasa berada di atas angin.
Saudara-saudara (jawab si muslim), anda
sekalian hanya dapat menjumpainya pada
amalan sebagian muslimin, bukan pada ajaran
Islam. Mereka yang dengan sengaja melakukan
itu akan mendapat celaan dan dosa. Sungguh
perbuatan mereka itu disamping merugikan
mereka sendiri juga merugikan agama mereka.
Karena orang-orang yang bukan muslim yang
pendek penalarannya akan mengira bahwa itu
adalah salah satu ajaran Islam. Sehingga
mereka
mendapat
kesempatan
untuk
menghujat Islam. Tapi sayang mereka kurang

jujur sehingga berusaha memasukkan kedalam


akal mereka apa-apa yang tidak masuk akal.
Tapi bagaimana anda dapat membela
keterlambatan anda ini? Dia berkata sambil
menoleh kekanan dan kekiri dan sambil
menahan tawa. Si muslim menjawab :
Saudara-saudara,
sehubungan
dengan
keterlambatan kami, maka sesungguhnya kami
pun tidak menghendakinya. Namun apa boleh
buat kenyataan telah menunjukkan hal lain.
Kami telah dihadapkan pada suatu kenyataan
yang membuat kami terpaksa terlambat hadir
di pendopo ini. Kenyataan yang kami maksud
adalah tidak adanya perahu penyebrang yang
dapat menyebrangkan kami dari pinggiran desa
kami ke desa ini. Sebab sebagaimana saudara
ketahui juga bahwa desa kami dengan desa ini
dipisahkan oleh sungai yang cukup besar dan
berbahaya. Nah, karena tidak ada perahu
peyebrang, maka kami menunggu di pinggir
sungai sampai lama sekali. Ehh., tahu-tahu
pohon besar yang ada disamping kami
bergoyang keras. Kami waktu itu menjauhkan
diri, tetapi tetap memandangi pohon yang
semakin keras bergoyang itu. Kejadian aneh
berikutnya pun terjadi. Yaitu pohon itu tumbang
dan terpotong-potong. Tak cukup sampai disitu.
Pohon itu terpecah-pecah teratur dan akhirnya
menjadi lempengan-lempengan hingga satu
sama lain menempel dengan eratnya dan

membentuk perahu kecil. Tentu saja bentuk itu


mengingatkan kami pada janji kami untuk
bertemu dengan saudara-saudara di sini, maka
kami pergunakan perahu kecil itu untuk
menyebrangi sungai besar itu dan sampai kami
di sini.
Cerita simuslim tadi membuat geer.para
hadirin. Sampai-sampai ada yang terpingkalpingkal. Mereka merasa cerita si muslim itu
adalah cerita edan-edanan. Orang yang tadi
berdiri merasa sangat tersinggung, merasa
dipermainkan. Maka ia pun berdiri lagi dan
berkata dengan lantang : Hai orang muslim,
apakah kami datang dan menunggu anda di sini
hanya untuk mendengarkan pembelaanmu
yang gila ini?
Gila? tanya si muslim.
Lho, apa kamu belum menyadari kegilaan
ceritamu itu? ia balas menanya.
Aku belum tahu apa yang anda maksud
dengan cerita gilaku ini si muslim menjawab.
Orang yang berdiri tadi sudah hilang
kesabarannya, sambil berteriak ia berkata ;
Hai orang kolot! Apakah menyakini perahu
yang jadi sendiri itu bukan suatu kegilaan?
Apakah kamu ingin mengajak kami gila
sepertimu?
Simuslim tidak dengan segera menjawab
sebab pendopo menjadi gaduh, ada yang
mengumpat dan ada yang tertawa terpingkal-

pingkal. Setelah keadaan agak tenang, maka


simuslim memulai jurus pamungkasnya yang
telah dipersiapkannya sejak semula. Saudarasaudara,
anda
menertawakan
kami,
mengumpat kami dan mengatakan bahwa kami
gila, hanya karena kami mengatakan bahwa
ada perahu kecil yang jadi dengan sendirinya.
Nah, sekarang kami akan bertanya kepada
anda sekalian. Kalau mempercayai perahu kecil
yang jadi dengan sendirinya adalah suatu
kegilaan, apakah mempercayai alam yang luas,
yang besar dan teratur ini jadi dengan
sendirinya, tanpa Pencipta Yang Maha Pandai,
bukan merupakan suatu kegilaan pula? Bagi
kami hal yang demikian ini lebih gila dan benarbenar perlu ditertawakan.
Orang-orang yang sudah mulai memahami
arah pembicaraan si muslim tadi, mulai merasa
bahwa selama ini mereka berada dalam
kesalahan yang sebenarnya mudah dilihat dan
dikoreksi. Dalam al-Quran dapat dijumpai pada
surat al-Fushilat ayat 53, yang berbunyi :
Akan kami tunjukkan kepada mereka dalildalil yang ada pada segenap penjuru alam ini,
dan yang ada pada diri mereka sendiri, sampai
jelas bagi mereka bahwa ia adalah benar.
Pembahasan
Ada beberapa Mazhab atau aliran pemikiran

dalam
membuktikan
Kebenaran.
Sepengetahuan saya yang hina dan memiliki
pengetahuan yang terbatas ini, ada empat
Mazhab
berpikir
yang
dominan
dalam
membuktikan Kebenaran. Yaitu :
1. Idealisme
Mazhab ini terbagi atas dua versi;
Idealisme versi Berkley
Menurutnya bahwa segala sesuatu yang
ada di luar ide kita tidak memiliki
keberadaan. Idelah yang mengadakan
atau menciptakan realitas, kira-kira kurang
lebih demikian singkatnya. Jika segala sesuatu
yang ada di luar ide tidak memiliki keberadaan,
maka pernyataan bahwa segala sesuatu yang
ada di luar ide tidak memiliki keberadaan itu
juga nafi atau naf tak bermakna dan tidak
perlu dipikirkan kecuali pernyataan itu tidak
ditujukan
kepada
diri
di
luar
idenya.
Berdasarkan pernyataannya Berkley menafikan
keberadaan dirinya, karena keberadaanya itu
bukanlah sebuah ide atau gagasan belaka
namun ia adalah realitas eksternal atau nyata.
Cara berpikir seperti ini merupakan bias atau
akar dari Shopisme yang meyakini bahwa,
Hanya ketiadaanlah yang ada. Jadi ADA sama
dengan TIDAK ADA. Kalau yang ada hanyalah
ketiadaan berarti ketiadaan itu adalah
keberadaan karena dia ADA. Ini berarti
Pernyataannya
sama
dengan
bukan

Pernyataan, maka hancurlah seluruh bangunan


dan matriks-matriks Ilmu Pengetahuan, Agama
dan Teknologi.
Idealisme versi Plato
Teori
Plato
ini
dikenal
dengan
Teori
Pengingatan Kembali. Plato memahami
bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia di
alam materi ini tak lebih dari pada proses
Pengingatan Kembali informasi-informasi yang
telah dimiliki sebelumnya. Pandangan filsafatya
itu di dasarkan pada pengetahuannya terhadap
diri manusia. Menurutnya manusia terdiri atas
dua unsur. Unsur pertama manusia adalah jiwa.
Jiwa memiliki pengetahuan yang kompleks dan
komprehensif semasa ia berada di alam
immaterial yang oleh Plato disebut Archetypes.
Alam dimana jiwa pernah hidup. Ia sempurna
tidak memerlukan sesuatu selain dirinya, tidak
rusak dan tidak busuk. Namun ketika badan
mengemuka atau tercipta maka jiwa bergabung
dengan badan untuk turun ke alam materi, lalu
jiwa mengikuti hukum-hukum materi sehingga
menjadikan pengetahuann yang dimilikinya di
alam archetypes hilang, karena materi tidak
sempurna. Gagasan Plato tersebut sangat
lemah. Penjelasannya tidak berdasar. Plato
tidak dapat menjelaskan secara logis rasional
alasan apa gerangan yang menjadikan jiwa
bergabung dengan badan hingga turun kealam
materi
yang
mengakibatkan
semua

pengetahuan
yang
dimilkinya
di
alam
immaterial tersebut hilang? Bukankah jiwa
telah sempurna? Kalau demikian adanya,
pendapat Plato pun bertentangan dengan fitrah
manusia dimana dari tidak sempurna menuju
kesempurnaan. Dari tidak punya pengetahuan
menjadi
punya
pengetahuan.
Murtadha
Muthahari dengan tegas menyatakan (lihat
buku FITRAH, M. Muthahari) bahwa Ilmu
Pengetahuan apa pun yang bertentangan
dengan fitrah manusia pasti salah. Karena Ilmu
Pengetahuan hadir untuk menyempurnakan
nilai-nilai kemanusiaan, tidak menjadikan
manusia tidak sempurna.
Berpikir ala Idealisme, sadar dan tidak sadar
akan menyeret dan menjerumuskan kita
kepada salah satu bentuk alias cara Berpikir
Salah atau Logic Fallacy (Intellectual cul de
sacs) yaitu Fallacy of Dramatic Instance. Satu
bentuk kesalahan berpikir yang bermula dari
klaim subyektif atau pembenaran untuk
mempertahan argument yang terkesan dibuatbuat. Misal, dengan serta merta kita meyakini
bahwa Tuhan itu Pencipta. Lalu orang bertanya :
Apa bukti bahwa Tuhan itu Pencipta? Karena
adanya ciptaan yakni bumi, jawab kita. Tibatiba bumi dilabelisasi secara subyektif oleh kita
sebagai ciptaan. Bagaimana mungkin kita
menyakini
ciptaan
itu
sebenar-benarnya
ciptaan sementara penciptanya belum terbukti

(baru akan dibuktikan). Inilah yang


maksud
dengan
klaim
subyektif
pembenaran.

saya
atau

2. Empirikal atau Eksperimentalis


Paham ini berpendapat bahwa pengalaman
inderawilah
satu-satunya
kriteria
atas
kebenaran. Tokoh dari paham ini adalah
Francisco Bacon, Auguste Comte, David Hume
dan John Lock. Menurut mereka untuk
mengetahui benar salahnya realitas maka kita
harus memiliki pengalaman atasnya. Paham ini
mendasarkan pengetahuannya pada hal-hal
yang
fenomenaistik
melalui
metode
eksperimen. Hanya yang dapat di inderailah
sesuatu itu dapat dikatakan benar, kira-kira
demikian maksudnya. Jika demikian adanya,
maka pertama, paham ini tidak rasional apalagi
logis.
Sementara
ia
mendasarkan
kebenarannya atau salah satu syarat dari
empiris sendiri adalah rasional dan logis. Kalau
ia rasional dan logis berarti ia tidak dapat
diinderai. Karena rasional dan logis itu adalah
dua hal yang tidak dapat ditangkap oleh indera.
Rumusnya : Segala sesuatu yang bersifat
empiris
pasti
rasional
dan
logis,
sebaliknya yang bersifat rasional dan
logis belum tentu empiris. Misalnya
pernyataan kita bahwa : Segi tiga bersisi
empat itu tidak ada. Ketiadaan segitiga bersisi

empat itu rasional dan logis tapi tidak empiris.


Kedua, indera sangat terbatas dan berubahubah
tergantung
kaca
mata
yang
digunakannya. Prinsip sederhananya adalah :
Jika dan hanya jika. Jika sebab konsepsi
kita beda dan hanya jika realitas yang kita
konsepsikan sama maupun beda maka
hasilnya pasti beda. Menurut kaca mata
fisika klasik bahwa materi yang padat ini tak
lebih dari pada partikel-partikel kecil yang
melakukan ikatan karena adanya daya tarik
kuat atau inner force. Sedang, Fisika kuantum
hadir dengan penjelasannya yang jauh lebih
akurat, bahwa materi yang kita konsepsikan
malar dan kontinyu ini adalah gelombang. Apa
yang dikonsepsikan fisika klasik dengan fisika
kuantum objeknya sama, namun hasilnya
berbeda
karena
sebab
konsepsi
yang
digunakannya berbeda meski keduanya benar
sebagaimana yang dikonsepsikannya. Ketiga,
jika kita memasukkan pena ke dalam gelas
yang berisi air maka mata melihat pena itu
seolah-olah patah namun menurut indera
peraba pena itu tidak patah. Ternyata di dalam
indera sendiri terjadi kontrsdiksi interminis
antar indera yang satu dengan indera yang lain
saling bertentangan. Lalu indera yang mana
yang akan kita gunakan? Bukankah kita harus
menggunakan indera? (lihat cerita 5 orang buta
yang masuk ke kandang gajah). Ke empat,

apabila pengalaman yang menjadi satu-satunya


criteria dasar dalam menilai, maka konsekuensi
logis dan sebuah kemestian harus ada
pengalaman pertama yang dengannya kita
dapat menilai pengalaman selanjutnya. Tapi,
kita juga harus menilai kebenaran pengalaman
pertama tersebut. Karena tidak menutup
kemungkinan Pengalaman Pertama itu juga
salah. Nah, dengan demikian kita harus
menilainya. Lalu dengan apa kita menilainya?
Apakah dengan menggunakan pengalaman
atau bukan pengalaman? Karena ia hanya
memberi
dua
alternative
itu.
Selain
pengalaman, bukan pengalaman. Bila bukan
pengalaman sebagai criteria dalam menilai,
maka ia menggugurkan pernyataannya sendiri
bahwa dalam menilai kita harus menggunakan
pengalaman.
Namun
jika
criteria
yang
digunakan adalah pengalaman, ia pun terjebak
pada pilihannya. Dan ia pun salah. Karena jika
Pengalaman Pertama itu dinilai dengan
menggunakan
pengalaman,
ini
akan
menjadikan pengalaman yang kita jadikan
criteria dasar itu menempati posisi Pengalaman
Pertama sedang pengalaman pertama tadi
menjadi pengalaman kedua. Bukankah ia
pengalaman yang kita gunakan dalam menilai
Pengalaman Pertama adalah sebagai criteria
dasar? Itu berarti pula ia (pengalaman yang kita
gunakan dalam menilai Pengalaman Pertama)

adalah
yang
Pertama.

pertama

dari

Pengalaman

3. Skriptualisme
Berbeda dengan pendapat kedua aliran diatas,
aliran pemikiran ini menjadikan kitab atau
doktrin tekstual sebagai otoritas tunggal dalam
menilai kebenaran realitas. Apa yang berada
atau dikatakan kitab itulah yang benar. Lalu
apa buktinya bahwa kitab itu kitab dan apa
pula buktinya bahwa apa yang dikatakan kitab
itu benar? dan kitab agama apa pula yang akan
kita jadikan rujukan kebenaran? dan bagaimana
dengan mereka yang tidak memiliki kitab?
Karena
kitab
masih
akan
dibuktikan
kebenarannya, maka ia tidak dapat dijadikan
rujukan untuk menilai kebenaran. Bagaimana
mungkin membuktikan sesuatu dengan sesuatu
yang masih akan dibuktikan kebenarannya?
Berpikir skriptualis akan mengantarkan kita
pada Fallacy of Circular Reasoning (cara
berpikir yang berputar-putar) suatu gelar
panjang dan kurang enak didengar. Selain itu,
kitab bersifat partikular dan Kebenaran bersifat
universal. Jadi mana bisa membuktikan sesuatu
yang sifatnya universal dengan sesuatu yang
bersifat partikular? Kitab hanya milik segelintir
orang saja. Kitab disamping bersifat partikular
juga bersifat relative.

Akal Membuktikan Keberadaan Tuhan?


Dengan
bermodalkan
akal
dan
kriteria
kebenaran yang telah disepakati bersama,
maka, pembahasan akan masuk pada pokok
permasalah yakni, apakah Tuhan memiliki
realitas ( baca pula: apakah Tuhan memiliki
keberadaan di luar pahaman)? Pembahasan di
mulai dengan membahas realitas itu sendiri.
Ketahuilah, bahwa realitas yang ditangkap
dalam pahaman (ide), terdiri atas dua. Pertama,
dari segi keberadaan realitas tersebut, yang
dalam bahasa Indonesia disebut ada, yang
dalam bahasa Inggris disebut eksistensi,
dalam bahasa Arab disebut dengan wujud.
Jadi ada-nya, eksistensi-nya, dan wujud-nya
sebuah realitas itu sama saja. Kedua, dari segi
keapaan realitas tersebut, yang dalam bahasa
Indonesia di sebut apa-nya, dalam bahasa
Inggris di kenal dengan istilah esensi-nya dan
dalam bahasa Arab di sebut mahiya-nya. Jadi
Apanya, esensinya, mahiyanya, semuanya
sama saja. Adapun untuk membuktikan
kebenaran pernyataan bahwa setiap realitas
yang ditangkap dalam pahaman (ide) terdiri
atas dua, anda tinggal mengajukan dua
pertanyaan. Yakni, pertanyaan eksistensi atau
keberadaan
realitas.
Misalnya,
adakah
realitasnya? Dan pertanyaan esensi atau keapaan realitas. Misalnya, apa realitas itu?
Sebagai contoh, kita ambil buku yang sedang

anda baca. Buku yang anda baca adalah


salah satu contoh dari sebuah realitas. Dua hal
yang di tangkap dalam pahaman dibuktikan
dengan mengajukan pertanyaan esensi dan
eksistensi. Apa ini? Jawabanya adalah buku.
Adakah realitasnya? Jawabannya Ada. Jadi
dari realitas tersebut ada dua hal yang
ditangkap (baca pula: hadir) dalam pahaman.
Jika dari segi esensi, maka yang ditangkap
adalah buku. Dan jika dari segi eksistensi, maka
jawabannya adalah ada. Hal ini pun berlaku
pada semua realitas. Entah itu pohon, rumah,
kursi, dan sebagainya. Adapun skemanya
kurang lebih sebagai berikut:

W u ju d
E k s is te n s i
Adanya
R e a lit a s
Apanya
E sen si
M a h iy a

Skema II

Mustahil Ada-nya : Dari segi adanya realitas


yang hadir dalam pahaman, meliputi juga halhal yang mustahil ada-nya di luar pahaman
atau non eksistensi. Misalnya;
1. Segi tiga yang bersisi empat.
2. Sebahagian yang lebih besar dari
keseluruhan.
3. Api memancarkan dingin dan es
memancarkan panas.
4.
Mungkin Ada-nya : Dari segi ada-nya realitas,
yang hadir dalam pahaman meliputi juga halhal yang mungkin adanya di luar pahaman.
Misalnya:
1. Manusia pergi ke planet pluto.
2. Manusia berkaki tujuh.
3. Manusia makan batu dan api.

4.
Pasti Ada-nya : Dari segi ada-nya segala
realitas yang hadir dalam pahaman, meliputi
juga hal-hal yang bersifat pasti ada-nya di luar
pahaman.
Misalnya,
kepastian
ada-nya
matahari, kepastian ada-nya alam, kepastian
ada-nya manusia, dan kepastian ada-nya
segala sesuatu yang pasti ada-nya. Termasuk
kepastian Ada-nya ADA. Dan ternyata, segala
sesuatu yang pasti adanya di luar pahaman,
yang di tangkap dalam pahaman terdiri atas
dua; Pertama, pasti ada-nya karena diri sendiri.
Kedua pasti ada-nya karena yang lain. Pasti
ada-nya karena diri sendiri yaitu, ADA. Dan
pasti ada-nya karena yang lain yaitu,
Alam/Manusia.
W u ju d
E k s is te n s i
Adanya

R e a lita s

Id e

p a s ti
adanya

k a re n a d iri
s e n d ir i
K a ren a
y a n g la in

Ada
M a n u s ia /
A la m

S k e m a III

PASTI ADA-NYA KARNA DIRI SENDIRI =


ADA
Betulkah ADA adalah yang pasti adanya
karena diri sendiri? Jika betul, apa buktinya?

Kami akan menjawabnya dengan memberikan


beberapa argumentasi sebagai berikut;
1.Sekiranya ADA ada karena yang lain, berarti
Dia di ada-kan. Dan jika Dia di ada-kan,
berarti sebelumnya Dia tidak ada. Dan
pernyataan ini terbukti salah. Karena apakah
ADA sebelumnya tidak ada? Jika sebelumnya
ADA tidak ada, berarti Dia bukan ADA.
Melainkan ketiadaan. Dan anda harus tahu
hanya sesuatu yang tidak ada-lah yang di adakan. Tetapi jika sesuatu itu telah ada, dengan
alasan apa lagi sehingga Dia ingin di ada-kan.
Bukankah Dia telah ada. Bahkan Dia-lah
ADA itu sendiri!
2.Pernyataan ADA di adakan itu pun mustahil.
Karena apakah ada yang mengadakan ADA?
Jawabanya ada dua kemungkinan : Pertama;
Tidak ADA. Jika jawaban ini yang kita ambil
berarti, betul lah bahwa ADA itu tidak ada
yang mengadakan. Kemungkinan Kedua ;
ADA. Jika kemungkinan kedua yang kita ambil
bahwa ADA yang mengadakan ADA maka
pertanyaannya, Apakah ADA yang mengadakan ADA itu identik? Jika identik berarti satu.
Dan jika tidak identik berarti ADA yang
mengadakan ADA itu mestilah Tidak ADA. Dan
Jika kita memilih identik berarti satu. Dan jika
satu, berarti ADA yang mengadakan ADA itu
Adalah ADA (dirinya). Dengan kata lain ADA
itu ada karena dirinya sendiri. Atau Dia ada

bukan karena yang lain.


Dari penjelasan singkat di atas, terbuktilah
bahwa yang pasti adanya karena diri sendiri =
ADA.
PASTI ADANYA KARENA YANG LAIN =
ALAM/MANUSIA
Pertanyaan selanjutnya, kenapa alam/manusia
diposisikan pasti ada-nya karena yang lain?
Alam/manusia diposisikan pasti adanya karena
yang lain, karena jika alam dan manusia berada
pada posisi pasti ada-nya karena diri sendiri,
akan mengakibatkan yang pasti ada-nya karena
diri sendiri itu menjadi lebih dari satu. Yakni
ADA dan Alam/ Manusia. Dan jika pasti adanya karena diri sendiri lebih dari satu, maka
keberadaan mereka satu sama lain saling
membatasi. Dan mengakibatkan keberadaan
mereka terbatas. Sementara kita tahu bahwa
yang terbatas pastilah membutuhkan pembatas
dan jika mereka membutuhkan pembatas
berarti mereka bersebab yakni batasanya. Dan
sesuatu yang bersebab pastilah memiliki awal
dan akhir. Dan jika mereka memiliki awal,
berarti sebelum awal mereka tidak ada. Dan
jika mereka tadinya tidak ada dan menjadi ada,
berarti mereka di ada-kan. Sementara kita tahu,
tidak ada yang mengadakan ADA. Dan jika
ADA pasti adanya kerena diri sendiri,
sementara yang pasti adanya karena diri
sendiri itu mustahil lebih dari satu, berarti

manusia/alam mestilah
karena yang lain.

di

terposisikan

ada

ALAM DAN MANUSIA DI-ADA-KAN OLEH


ADA
Alam dan manusia di ada-kan oleh ADA,
karena adanya ADA-lah sehingga alam dan
manusia menjadi ada. Dan sekiranya tidak ada
ADA maka alam dan manusia bahkan segala
sesuatu akan kehilangan keberadaan (Tidak
Ada). Sebagai bukti, kita akan mengajukan
pertanyaan eksistensi pada alam/manusia.
Apakah alam/manusia bisa dikatakan ada, jika
tidak
ada
ADA?
Ataukah
dapatkah
alam/manusia dapat ada, jika alam/manusia
tidak
ada
(tidak
punya
keberadaan)?
Jawabannya
hanya
dua
kemungkinan.
Kemungkinan pertama, bisa. Dalam artian
meskipun
alam/manusia
tidak
punya
keberadaan (tidak ada), dapat juga dikatakan
ada. Jawaban ini terbukti salah, karena jika
alam/manusia meskipun tidak ada, tetapi tetap
di katakan ada, berarti ada dan tidak ada akan
menjadi identik. Dan jika ada dan tidak ada
menjadi identik, kita tidak bisa menilai yang
mana ada dan yang mana tidak ada. Dan
berimplikasi akan menghancurkan semua
keberadaan. Karena bukankah keberadaan
segala sesuatu = ketiadaan segala sesuatu.
Kemungkinan kedua, tidak bisa. Dalam artian
alam/manusia hanya dapat dikatakan ada, jika

ada-nya ADA. Artinya, alam/manusia agar dia


ada pastilah membutuhkan ADA. Dan
kemungkinan ini terbukti benar, karena jika
tidak ADA, maka segala sesuatu akan
kehilangan keberadaan (tidak ada). Sehingga
tidak ada sesuatu pun yang dapat ada jika tidak
ada ADA. Hal ini berlaku pada segala sesuatu
yang ada, baik di alam pikiran, alam bahasa,
ataupun alam realitas.
Kebutuhan segala sesuatu akan ADA ini begitu
universalnya
sehingga
kita
tidak
dapat
menolaknya. Bahkan untuk menolaknya-pun
kita membutuhkan ADA agar penolakan itu
menjadi ada. Olehnya itu, kebutuhan segala
sesuatu pada ADA itu bersifat terus menerus,
selalu dan setiap saat.
Sebagai contoh pada diri anda, bahwa anda
senantiasa membutuhkan ADA. Misalnya
ketika anda ingin membaca buku. Apakah anda
bisa membaca buku, jika ADA-nya keinginan
anda untuk membaca buku, itu tidak ada? Dan
ketika membaca pun, dapatkah anda melihat
tulisan-tulisan tersebut jika keber-ADA-an
yang melihat dan yang dilihat tidak ada? Dan
dapatkah anda bernafas jika keber-ADA-an
nafas dan yang dinafasi, itu tidak ada. Bahkan
dapatkah anda hidup jika keber-ADA-an
kehidupan anda, itu tidak ada? Dan muaranya
adalah, dapatkah anda ADA jika keberadaan
ADA-nya anda, itu tidak ada?

Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah


kiranya anda sadar dan mengetahui, betapa
karena ada-nya ADA kita dapat ada. Dan kita
senantiasa membutuhkan ADA agar tetap
meng -ADA. Anda bisa bayangkan jika kita tidak
di berikan keber-ADA-an oleh ADA yang
mengakibatkan kita tidak ada. Apakah kita
dapat di sebut, di bicarakan, dipikirkan,
dianggap, sementara kita tidak ADA. Adakah
orang yang ingin membicarakan, memikirkan,
menganggap sesuatu yang tidak ada? Betapa
tidak berartinya diri kita! Olehnya itu,
sebagaimana layaknya jika kita di berikan
sesuatu, adalah sebuah kemestian jika kita
berterima kasih kepada sang pemberi sesuatu
tersebut. Dan ini sangat logis, karena anda
ditanya bahwa yang mana lebih logis: Apakah
ketika diberi dan anda berterimakasih. Atau
anda diberi dan tidak berterimaksih. Adapun
silogismenya:
I. Manusia/alam diberikan keberadaan oleh
ADA.
II.Sesuatu yang diberi logisnya berterima kasih
kepada si pemberi.
Kesimpulan
:
Manusia/alam
logisnya
berterima kasih kepada ADA.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, jika
manusia ingin berterima kasih kepada ADA.

Apakah mengunakan cara (Manusia) atau cara


ADA? Di sini ada dua pilihan. Jika memilih cara
manusia, kemungkinan ini kurang logis dan
lemah. Kurang logis dan lemah karena masih
memungkinkan
adanya
kesalahan
dalam
melakukan cara berterima kasih. Bisa jadi apa
yang manusia anggap berterima kasih, malah
sebuah penghinaan di hadapan ADA. Sebagai
analogi, jika orang Indonesia ingin berterimah
kasih atau memuji orang Iran maka dia tidak
bisa menggunakan cara berterimah kasih dan
memuji ala Indonesia. Dengan memberikan ibu
jari yang menghadap ke atas, karena bagi
orang Iran cara tersebut adalah sebuah
penghinaan. Jadi haruslah ia mengunakan cara
berterimah kasih atau memuji ala Iran. Yakni,
memberikan
jempol
dengan
menghadap
kebawah. Jadi kemungkinan yang logis yaitu
kita harus mengunakan cara ADA. Karena
hanya ada dua cara yang kita pilih, dan pilihan
pertama telah gugur, berarti tinggal pilihan
kedua! Cara seperti kedua lah yang menjamin
kesempurnaan
cara
berterimah
kasihsebagaimana maklum.
Berdasarkan argument di atas berarti di sini
manusia dituntut untuk sempurna dalam
berterimakasih, yang persis seperti diinginkan
ADA. Jadi ketika kita berterimah kasih
haruslah mengunakan cara ADA. Dan karena
kita harus berterimah kasih dengan cara ADA,

maka sebuah kemestian atau konsekwensi


logisnya, ADA harus memberikan cara
berterimakasih. Adapun silogismenya:
I. Manusia mesti berterimakasih kepada ADA
II.Cara berterimakasih mestilah sebagaimana
yang diinginkan oleh ADA
Kesimpulan : ADA harus menurunkan
atau mengajarkan cara berterimakasih
sebagaimana yang diinginkan-Nya.
Dari penjelasan yang agak panjang tentang
ADA, kesimpulan pertama yang kita dapat
petik, bahwa ADA mesti menurunkan cara
berterimah kasih yang benar. Tetapi sekiranya
ADA hanya menurunkan cara berterimah
kasih saja, maka ini pun masih memungkinkan
terjadinya kekeliruan dalam berterimah kasih
nantinya!
Sebagai
analogi
lagi,
sebuah
produsen mobil Jepang, ketika mengirim mobil
untuk di gunakan di Indonesia, prudusen
tersebut tidak mungkin hanya memberikan
petunjuk penggunakan mobil tersebut saja,
karena jika hanya berbekal petunjuk atau cara
mengunakan mobil saja, lantas kita sudah
berani mengendarai mobil tersebut, ini masih
memungkinkan terjadinya kesalahan dalam
mengunakan
mobil
tersebut.
Minimal,
menabrakkan mobil tersebut. Hal ini dapat
terjadi
dikarenakan
keterbatasan
dalam

memahami petujuk yang diberikan oleh


prudusen dalam hal mengunakan mobil.
Olehnya itu, sebagai produsen mobil yang
pintar, selain memberikan cara pengunaan
mobil dengan benar. Ia juga harus mengirimkan
sebuah tenaga ahli untuk mengajarkan cara
mengunakan mobil tersebut dengan baik. Yang
tentunya tenaga ahli ini sudah mengetahui
secara sempurna cara mengunakan mobil
dengan baik. Sehingga memustahilkan adanya
kesalahan. Demikian pun hal-nya dengan
ADA. Untuk menjamin tidak terjadinya
kesalahan dalam berterimah kasih, haruslah
ADA mengirim pula semacam utusan (baca
pula:
guru)
yang
mempraktekkan
atau
mengajarkan manusia cara berterimah kasih
yang benar. Dan melalui orang atau guru ini lah
manusia dapat mengetahui cara berterimah
kasih tersebut.
Jadi kesimpulan kedua yang kita dapat petik
dari ADA, yakni ADA haruslah mengutus
seorang guru yang sempurna guna menjamin
kesempurnaan cara berterima kasih. Adapun
silogismenya sebagai berikut:
I. ADA memberikan cara berterima kasih
sebagaimana yang di inginkan-Nya.
II.Untuk
menjamin
kesempurnaan
cara
berterimakasi sebagaimana yang diinginkan
mestilah ada pembimbing (guru).

Kesimpulan : ADA mestilah mengutus


pembimbing
untuk
menjamin
kesempurnaan cara terimakasih.
Sejauh ini akal telah membuktikan bahwa
ADA sebagai tempat berterimah kasih. Dan
untuk
berterimah
kasih
ADA
harus
menurunkan cara berterimah kasih dan seorang
guru
yang
menyampaikan
sekaligus
mengajarkan cara berterimah kasih tersebut.
Dan berdasarkan akal pula, sebelum manusia
mengetahui
apa
dan
bagaimana
cara
berterimah kasih itu? Dan siapa guru itu?
Manusia harus mengetahui terlebih dahulu
siapa ADA itu, yang telah menurunkan cara
berterimah kasih, dan seorang guru yang
membimbing manusia nantinya. Olehnya itu,
pembahasan ini mestilah kembali kepada
pengenalan ADA.
Setiap akibat mestilah lahir dari sebabnya
Apakah ini berarti dengan mengetahui akibat
kita telah mengetahui sebabnya?
Tetapi dari mana anda tahu bahwa akibat ini
lahir dari sebabnya.
Atau dari mana ada tahu bahwa akibat ini
adalah akibat.
Sementara sebabnya pun anda belum
mengetahuinya?
Olehnya itu saudaraku ketahuilah sebab itu

yang dengannya engkau mengetahui


akibatnya
Untuk memudahkan, memahami dan sekaligus
menguatkan argumentasi ini, ada beberapa
pengantar tentang prinsip dan sifat-sifat ADA,
yang dengan-nya kita dapat membahasnya.
Jadi harus diidentifikasi terlebih dahulu ciri-ciri
ADA tampa membatasinya.
Dalam kebenaran prinsip tersebut anda bisa
saja punya pilihan lain sehingga tidak setuju
dengan pembahsan ini. Tetapi ketidak-setujuan
anda bukan berarti mempengaruhi kebenaran
argument tersebut. Dan jika anda setuju anda
bisa melanjutkan membaca buku ini. Adapun
prinsip-prinsipnya sebagai berikut;
ADA sama dengan ADA
ADA tidak sama dengan ADA
ADA mustahil menjadi ADA
ADA tidak bercampur dengan ADA
Hanya ADAlah yang Ada.
1 ADA Itu Tunggal (112 :1-4)
Peryataan bahwa ada itu tunggal terbukti
benar, karena ADA-nya segala sesuatu dari
segi ADA-nya terbukti tunggal. Sebagai
contoh;
rumah, pohon, kursi dan segala
sesuatu
dari
segi
ADA-nya
(eksistensi)
semuanya
tunggal
yakni
ADA.
Yang
membedakan mereka satu sama lain yakni dari

segi keapaannya (esensi). Kebenaran hal ini


dapat
dibuktikan
dengan
mengajukan
pertanyaan eksistensi dan esensi.
Pertanyaan eksistensi : Adakah realitas
rumah, pohon, kursi, dan segala sesuatu?
Jawabannya hanya satu. Yakni, ADA. Karena
hal ini pun berlaku bagi segala sesuatu. Jadi
ada-nya matahari, bintang, bulan, manusia,
buku, hewan dan sebagainya, adalah tunggal
yakni ADA.
Pertanyaan esensi : Apakah itu? Jawaban-nya
akan banyak, rumah, pohon, kursi, dan banyak
lagi. Jadi yang membuat banyaknya sesuatu
adalah ketika dilihat dari segi esensinya. Bukan
dari segi ADA-nya (eksistensinya). Contoh lain:
Bayangkan jika ada sesuatu, sebutlah X. Dan
sesuatu yang lain, sebutlah Y. Jika X ada,
keadaanya akan sama persis jika Y ada. Artinya
keber-ada-an X identik dengan keber-ada-an Y.
Yakni sama-sama ada.
Pernyataan bahwa ADA tidak tunggal pun
mustahil. Karena jika ADA itu lebih dari satu.
Maka, timbul pertanyaan. Apakah ADA yang
pertama itu sama dengan yang kedua. jika
sama berarti satu. Dan jika berbeda maka ADA
yang kedua itu mestilah TIDAK ADA. Dan ini pun
berlaku bagi ADA yang ketiga, ke empat dan
seterusnya.
Bukti lain, apakah ADA selain ADA? Jawabannya hanya dua Jawaban, pertama; ADA. Jika

jawaban ini diambil, timbul pertanya-an.


Apakah ADA sebagai ADA yang kedua itu sama
dengan ADA itu sendiri. Jika sama berarti satu
(identik). Dan jika beda mestilah ADA yang
kedua itu TIDAK ADA. Jawaban kedua; TIDAK
ADA. Jawaban inilah yang benar. Karena
bukankah selain ADA adalah KETIDAAN.
2 ADA Itu Tidak Bersebab (112 : 1-4)
Pertama, jika ADA bersebab berarti dia bukan
ada karena diri sendiri. Sementara kita telah
membuktikan bahwa ADA ada karena diri
sendiri. Jadi pernyataan ADA itu bersebab
mustahil.
Kedua, Jika ADA bersebab, berarti ADA
diada-kan. Dan jika ADA di adakan, berarti
sebelumnya Tidak ada. Dan ini terbukti
mustahil. Karena ADA selalu ADA dan mustahil
menjadi sama dengan TIDAK ADA.
3 ADA Itu Tidak Tersusun (112 : 1-4)
Pertama : Sesuatu yang tersusun mesti lebih
dari satu. Misalnya dua buah kursi yang
tersusun. Mustahil menyusun sesuatu yang
tunggal. Tunggal dalam artian hakiki. Dan
karena ADA telah dibuktikan Tunggal, maka
ADA mustahil tersusun. Lagi pula makna dari
kata tersusun pun bermakna suatu yang jamak.
Minimal sesuatu yang terdiri atas beberapa
bagian. Sementara ADA tidak jamak (tunggal).

Kedua : Sesuatu yang tersusun pastilah


membutuhkan penyusun. Mustahil sesuatu itu
tesusun
dengan
sendirinya
(kebetulan),
sebagaimana maklum bahwa kebetulan adalah
sebuah ketiadaan. Dan jika Dia membutuhkan
penyusun, berarti Dia bersebab. Dan ini
terbukti mustahil, sebagaimana yang telah kita
buktikan bahwa ADA tidak bersebab.

4 ADA Itu Awal Dan Sekaligus Akhir (57 :


3, 56 : 85, 6 : 59, 6 : 103)
5 ADA Itu Gaib Dan Sekaligus Nyata
(57 : 3, 56 : 85, 6 : 59, 6 : 103)
6 ADA Itu Maha Kaya (2 : 225, 57 : 2)
7 ADA
Jelas
Dengan
Sendirinya
Sekaligus Penjelas Bagi Yang Lain (24 :
35)
8 ADA Itu Tidak Terbatas (41 : 54, 58 : 7)
9 Segalanya Datang Dari ADA dan
Kembali ke ADA (57 : 5)
10 Tidak Ada Yang Serupa Dengan ADA
(114 : 4, 42 : 11)
11 ADA Itu Sumber Dari Segala Sumber
Energi (76 : 30, 4 : 78)
12 ADA Adalah Kebenaran Itu Sendiri
(20 : 14)
13 ADA sebagai ADA adalah Tuhan itu
sendiri (La Maujudan Ilallah)
14 Ada Adalah Sang Pemilik
Kesempurnaan (47 : 38, al-Isra : 107)

Vous aimerez peut-être aussi