Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Sabarilah
Nov 17, 2011 | Asy Syariah Edisi 031 |
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi)
Demikian banyak nikmat Allah l. Tidak ada satupun manusia yang bisa
menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir,
untuk apa Allah l memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya?
Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain?
Luasnya Pemberian Allah l
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah l kepada kita. Setiap
hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di
mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya.
Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih
apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih
sayang Allah l kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan
keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran
kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk,
yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah l. Tentu hal ini termasuk dari
kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah l di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar. (Luqman: 13)
Kendati demikian, Allah l tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya
disebabkan kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya dan membukakan bagi mereka pintu
untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:
Ingkar dan kufur kepada Allah l serta menyamakan Allah l dengan makhluk-Nya yang
Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah l dan
Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah. (An-Nahl: 53)
Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup. (An-Nahl: 18)
Pemberian Allah l untuk Satu Tujuan yang Mulia
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah l kepada kita, mari kita mencoba
menghitungnya. Sudah berapakah dalam kalkulasi kita nikmat yang telah kita syukuri dan
dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita
menemukan kalkulasi yang baik, maka pujilah Allah l karena Dia telah memberimu
kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela
melainkan dirimu sendiri.1
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian
Allah l. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah k tersebut?
Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia
dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah l kepada manusia tersebut. Allah l menciptakan
manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai
perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk
beribadah kepada Allah l saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepadaKu. (Adz-Dzariyat: 56)
Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah l yang
berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepadaNya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah
kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah l. Itulah
kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
1.
2.
Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai
Ibnu Qudamah v menjelaskan: Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang
menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan
tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya;
Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis
nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat
perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan
seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.
(Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi
kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya
akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik.
Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua: Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala (kerugian)
yang hakiki.
Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan
mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil
menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang
bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika
mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi
orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan
menyembuhkan (dengan seizin Allah l).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang
yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh
untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk
melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul
berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak
tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan
tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia
lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap
bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa
sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang
ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan
sakit karena berbekam.
Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap
orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu
akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh. (Minhajul Qashidin hal.
281-282)
Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas.
Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi
takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah l atas
seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan
cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan
ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)
Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1.
2.
3.
Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan
5.
6.
7.
Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8.
Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada
penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan
sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang
memberi nikmat. Oleh karena itu Allah l menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an
dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari
rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi
nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya
dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin,
2/247, secara ringkas)
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah l
Ibnu Qudamah v menjelaskan: Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan
sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah l. Sebab makna
syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah l kepada apa yang dicintai-Nya, dan
kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau
mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna.
Pertama: Mengetahui (pemberian tersebut) adalah sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan
dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak
sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik
kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik). Gambaran ini
bukan termasuk dari syukur.
Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya. Dan bahwa
sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya dari Allah l,
dan tanpa membelinya dengan harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Allah l seperti
seorang tamu yang tidak diundang.
Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan
khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan,
kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah
menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia
karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana firman Allah l:
Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah. (Adh-Dhuha: 11) [Madarijus
Salikin, 2/247-248]
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori
syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:
Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia
tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia
memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia
telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi sama halnya
dengan orang yang memakai dua baju kedustaan. (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi
no. 1957 dari Jabir bin Abdullah)
Allah l berfirman:
Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah. (Adh-Dhuha: 11)
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para
ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti
dengan ucapan: Allah l telah memberiku nikmat demikian dan demikian.
Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan
Allah l menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim t dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih
dengan perkataan beliau: Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena
masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya,
menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.
Beliau berkata: Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu disebutkan:
Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang
banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur
kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari
syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah
azab. (HR. Ahmad dari An-Numan bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah v menjelaskan: Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan.
Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya
pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan
memuji Allah l. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah k. Dan hal ini sangat
dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah n:
Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud
kekufuran.
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah l tersebut dalam
ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran
terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang
muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang
didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.
(Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 277)
Ibnul Qayyim v menjelaskan: Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan
kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan
ketaatan dan penerimaan. (Madarijus Salikin, 2/246)
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan
Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim t menjelaskan: Jika engkau mengetahui
hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu
dalam ketaatan kepada Allah l dan mencari ridha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui
bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
Aisyah x telah menulis surat kepada Muawiyah z: Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang
paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai
jembatan untuk bermaksiat kepadanya. (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur ini
adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhaannya.
Ibnul Qayyim v menjelaskan: Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan
lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua
ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh
salah satu dari dua jenis orang:
q Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai
dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhaan dirinya terhadap
apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridha.
q Seseorang yang bisa membedakan keadaannya. Dia tidak menyukai sesuatu yang tidak
menyenangkan dan tidak ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak
menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai
pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta
menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang
untuk bersyukur di waktu senang maupun susah.
Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan.
Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan
menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan
karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang
dicintai oleh Allah l. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Artinya, ada yang
diberi oleh Allah l dan ada pula yang tidak.
Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah l.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang
yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak
miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)
Dalil-dalil tentang Syukur
Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah. (Al-Baqarah:
172)
Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah
kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur. (Al-Baqarah: 152)
Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan.
(Al-Ankabut: 17)
Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144)
Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan
menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.
(Ibrahim: 7)
Dari Aisyah x ia berkata:
:
:
Nabi n bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu Aisyah berkata:
Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni
dosamu yang telah lewat dan akan datang? Beliau menjawab: Apakah aku tidak suka
menjadi hamba yang bersyukur?. (HR. Al-Bukhari no. 4660 dari Aisyah x)
Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah l
dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.
Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur
Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Hal ini tidak bisa dipungkiri oleh
orang yang berakal bersih. Sebagaimana orang yang ingkar kepada Allah l lebih banyak dari
yang beriman. Demikianlah keterangan Allah l di dalam firman-Nya:
Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur. (Saba`: 13)
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yang beriman. Di mana Allah l telah
memperingatkan dari kufur nikmat setelah memerintahkan untuk bersyukur dan menjelaskan
keutamaan yang akan di dapatinya sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sadi v dalam tafsir
beliau: Jika seseorang bersyukur niscaya Allah l akan mengabadikan nikmat yang dia
yang lebih rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian
yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan.
Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan
diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab. (Mukhtashar
Minhajul Qashidin hal. 290)
Wallahu alam.