Vous êtes sur la page 1sur 43

2.1.

Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose
ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski,
1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya
serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi
idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anakanak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut
ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat
banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang
buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik
dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama
seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan
otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama
dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti
infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi

menjadi embrio epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan
kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
2.3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain

pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium
yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau
dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila
terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan)
selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik
yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu

neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan


asetilkolin.
Gambar 2: bagian- bagian neuron
2.4. Klasifikasi Kejang
2.4.1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
Visual : terlihat cahaya
Auditoris : terdengar sesuatu
Olfaktoris : terhidu sesuatu
Gustatoris : terkecap sesuatu
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar,
melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa
seperti melihatnya lagi.
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti
dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata
sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi
bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola
mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata
atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh
mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian
otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple
di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal.
Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegalpegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku


a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada
keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak
ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing
l) Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Gambar1: Kejang epilepsi
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang
dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru.
Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya
terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan
jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel
otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal
Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik
perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada
lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik,
benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan
pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh
berbagai faktor.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal

abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang


didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai,
yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat
gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini
biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat
yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan
asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas.
Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat
mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak
disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut
aura. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak
fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika

Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat
itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke
dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas
paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan
penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi
dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan
oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan
perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang
muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat
tentang penderita epilepsi.
2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
(konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah
karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine,
topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan
obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis
namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan.
Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat
kedua sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi
amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat
merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi
saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik.
Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks
saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial
penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu
buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade
saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan
suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan

aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari
neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat
menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari
terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat
menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin
dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan
hiperandrogenisme.
2.10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab,
saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi
primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence
mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3
tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu
terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan

kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut
berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering
tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti
mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan pembuluh darah
demam,
stroke
gangguan tidur
penggunaan obat
hiperventilasi
stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit
keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang
ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan
penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh,
mengeluh meriang
h) Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah
menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol Resiko cedera

DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektif
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu),
halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi Gangguan persepsi sensori
DS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau ayan
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung Ansietas
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur, Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas Ketidakefektifan pola napas
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea, terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas Intoleransi aktivitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek CO
menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak adekuat) Resiko penurunan perfusi serebral

3.2. Diagnosa Keperawatan


1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi
dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3. Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari
adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar,
tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil
yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi
kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau
jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah
terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk
keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah

berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar


Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang
Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang
berkelanjutan
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang
Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang
lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada

Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.


Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi
dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk
mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular
Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular).

3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri
(minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
Status kesadaran pasien membaik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose
ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski,
1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya
serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi
idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anakanak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut
ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat
banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang
buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik
dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama
seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%

dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan
otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama
dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti
infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi
menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan
kontribusi terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi

Bayi (0- 2 th)

Hipoksia dan iskemia paranatal


Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic

Anak (2- 12 th)

Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam

Remaja (12- 18 th)

Idiopatik

Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena

Dewasa Muda (18- 35 th)

Trauma
Alkoholisme
Tumor otak

Dewasa lanjut (> 35)

Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

2.3.Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium
yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau
dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1)

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

2)
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3)
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
4)
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan)
selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik
yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

2.4. Klasifikasi Kejang


2.4.1.

Berdasarkan penyebabnya

1. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya


2. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2.

Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan

1. Epilepsi partial (lokal, fokal)


1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
-

Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.

Visual : terlihat cahaya

Auditoris : terdengar sesuatu

Olfaktoris : terhidu sesuatu

Gustatoris : terkecap sesuatu

Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
membera, piloereksi, dilatasi pupil).

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


-

Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.

Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,


mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa
lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-

Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.

Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.

2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti
dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata
sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
-

Hanya dengan penurunan kesadaran

Dengan automatisme

3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi
bangkitan umum.

1. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola
mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama menit dan biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak
mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh
mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
-

Gangguan tonus yang lebih jelas.

Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian
otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.

Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple
di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal.
Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegalpegal, lelah, nyeri kepala.

Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada
anak.

1. Epilepsi tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku


a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b)

Kelainan gambaran EEG

c)

Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen

d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e)

Napas terlihat sesak dan jantung berdebar

f)

Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat

g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada
keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu
tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i)

Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba

j)

Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang

k)

Gigi geliginya terkancing

l)

Hitam bola matanya berputar- putar

m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang
dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru.
Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya
terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan
jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel
otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal
Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik
perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada
lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik,
benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan
pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh
berbagai faktor.

2.6. Pemeriksaan Diagnostik


a)
CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal
abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang
didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b)

Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

c)

Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

menilai fungsi hati dan ginjal

menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).

Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :

a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi


b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai,
yakni:
-

Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.

Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat
gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini
biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat
yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan
asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a)

Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

b)

Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan

c)
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas.
Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e)
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena
dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain
lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f)
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut
"aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak
fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat
itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.

g)
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia
ke dokter atau rumah sakit terdekat.

2. Setelah Kejang
a)

Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.

b)
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan
napas paten.
c)

Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal

d)

Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang

e)

Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan

f)
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan
penderita beristirahat.
g)
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani
situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h)
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan
perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak
yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma
masyarakat tentang penderita epilepsi.

2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
(konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita

dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus
di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah
karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine,
topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan
obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis
namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan.
Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat
kedua sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi
amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat
merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)

Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi


saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik.
Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks
saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial
penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu
buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade
saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan
suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan
aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari
neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat
menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari
terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat
menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin

dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan
hiperandrogenisme.

2.10.

Prognosis

Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab,
saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi
primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence
mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3
tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
a)
Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu
terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b)
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan
kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut
berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering
tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti
mendadak bila diajak bicara.
c)

Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.

d)

Riwayat penyakit dahulu:

Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

Tumor Otak

Kelainan pembuluh darah

demam,

stroke

gangguan tidur

penggunaan obat

hiperventilasi

stress emosional

e)
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan
penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8%
penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f)

Riwayat psikososial

Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.

Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan
dengan penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di masyarakat).
g)

Pemeriksaan fisik (ROS)

1)

B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi

2)

B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis

3)

B3 (brain): penurunan kesadaran

4)

B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine

5)

B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi

6)
B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh,
mengeluh meriang
h)

Analisis Data

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

DS:

perubahan aktivitas listrik di


otak

Resiko cedera

DO: pasien kejang (kaki


menendang- nendang,
ekstrimitas atas fleksi), gigi
geligi terkunci, lidah menjulur

Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol

DS: sesak,

gangguan nervus V, IX, X

DO:apnea, cianosis

lidah melemah

Bersihan jalan napas tidak


efektif

menutup saluran trakea


Adanya obstruksi

DS: terjadi aura (mendengar


bunyi yang melengking di
telinga, bau- bauan, melihat
sesuatu), halusinasi, perasaan
bingung, melayang2.

Terjadi depolarisasi berlebih

Gangguan persepsi sensori

Bangkitan listrik di bagian otak


serebrum

Menyebar ke nervus- nervus


DO: penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi Mempengaruhi aktivitas organ
sensori persepsi

DS: klien terlihat rendah diri


saat berinteraksi dengan orang
lain

Stigma masyarakat yang buruk Isolasi sosial


tentang penyakit epilepsi atau
ayan

DO:menarik diri

Klien merasa rendah diri


Menarik diri

DS: klien terlihat cemas,


gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas
cepat atau tidak teratur

Terjadi kejang epilepsi

Ansietas

Kurang pengetahuan tentang


kondisi penyakit
Bingung

DS: pasien mengeluh sesak

Terjadi bangkitan listrik di otak Ketidakefektifan pola napas

DO: RR meningkat dan tidak


teratur,

Menyebar ke daerah medula


oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas

DS: klien merasa lemas, klien


mengeluh cepat lelah saat
melakukan aktivitas

terjadi bangkitan listrik di otak Intoleransi aktivitas

DO:takikardi, takipnea,

mengganggu pusat
kardiovaskular

menyebar ke MO

takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi
anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas

DS: pasien menunjukkan


kelelahan, diam, tidak banyak

CO menurun

Resiko penurunan perfusi

bergerak

Suplai darah ke otak berkurang serebral

DO: penurunan kesadaran,


Iskemia jaringan serebral (O2
penurunan kemampuan persepsi tidak adekuat)
sensori, tidak ada reflek

3.2.
1)

Diagnosa Keperawatan
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi
dalam masyarakat
4)

Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea

5)

Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia

6)

Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi

7)

Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit

8)

Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak

3.3.
1)

Intervensi dan rasional


Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).

Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat


meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari
adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar,
tidak jatuh

Intervensi

Rasional

Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yang


Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam

Mengidentifikasi perkembangan atau


penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapat


mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang

Mengurangi terjadinya cedera seperti


akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien

Penjagaan untuk keamanan, untuk


mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendah


dan datar

Area yang rendah dan datar dapat


mencegah terjadinya cedera pada pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktu


beberapa lama setelah kejang

Memberi penjagaan untuk keamanan


pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali

Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
karena menjulur keluar
kejang

Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal

tidak biasa yang dialami beberapa saat


sebelum kejang

sebelum terjadinya kejang pada pasien

Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter
berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak

Edukasi:

Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.

Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi


tindakan yang harus dilakukan selama
resiko cedera
pasien kejang

2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea

Intervensi

Mandiri

Rasional

Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari menurunkan resiko aspirasi atau masuknya
benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang
sesuatu benda asing ke faring.
lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari
rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan
datar

Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada


dan abdomen

meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah


lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi
dada

Melakukan suction sesuai indikasi


Mengeluarkan mukus yang berlebih,
menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar


tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.

3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi
dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien

Kriteria hasil:
-

adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar

menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi

Rasional

Observasi:

Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang


Memberi informasi pada perawat tentang factor
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien yang menyebabkan isolasi sosial pasien

Mandiri

Memberikan dukungan psikologis dan motivasi Dukungan psikologis dan motivasi dapat
pada pasien
membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater

Konseling dapat membantu mengatasi perasaan


terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok


penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.

Memberikan kesempatan untuk mendapatkan


informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.

Edukasi:

Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi


kepada pasien

mempunyai pengaruh besar dalam keadaan


psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan teman


dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular

Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita


epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular).

3.4.

Evaluasi

1)

Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar

2)

Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi

3)
Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri
(minder)
4)

Pola napas normal, TTV dalam batas normal

5)
Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara
normal
6)

Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal

7)

Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang

8)

Status kesadaran pasien membaik

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi juga

merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir.
Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk
akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan
pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di
seluruh dunia mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi
grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan epilepsi
parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik, atonik, dan myoklonik.
Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya berlangsung secara terus-menerus atau
kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi
atonik merupakan epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik
adalah kejang otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.

4.2. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa
keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta
mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi
sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal,
maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai
dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi
dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.

Vous aimerez peut-être aussi