Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Lapangan Pekerjaan
Utama
2011
Pertanian,
Perkebunan,
Kehutanan, Perburuan
dan Perikanan
39.088.271
Total Penyerapan
Tenaga Kerja
107.416.309
2012
39.590.054
2013
2014
2015
TW I 2016
39.220.261
38.973.033
37.748 .228
38.291.111
112.504.868 112.761.072
114.628.026
114.819.199
120.647.697
Dalam sudut pandang ekonomi, salah satu hal yang menjadi permasalahan
adalah sampai saat ini pula sistem pertanian Indonesia mayoritas berada dalam
sistem pertanian subsisten skala mikro dengan luas lahan hanya beberapa meter
persegi dan atau penguasaan ternak beberapa ekor saja, atau bahkan tenaga
kerja yang terserap dalam sektor pertanian hanya berperan sebagai petani
penggarap yang tidak memiliki lahannya sendiri.
Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian
terbesar adalahpetani dengan luas penguasaan antara 0.10.49 hektar. Kondisi
pertanian gurem ini paling banyak ditemui di Pulau Jawa, lokasi dimana 58
persen petani Indonesia berada. Dengan batas atas 1 hektar saja, sekitar 90
persen diantara seluruh petani termasuk dalam kategori petani kecil, dan
selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka persentase
petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih lebih dari dua pertiga
(sekitar 69 persen) (Sumaryanto, 2009)
Memang sampai saat ini belum ada suatu definisi yang secara ringkas dan
tegas menjelaskan ukuran petani kecil (pertanian berskala kecil). Lazimnya
definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu adalah terkait dengan
smallness dari size lahan usahatani dan atau jumlah ternak yang dimiliki atau
dikelolanya. Misalnya untuk luas usahatani yang sama, petani tanamanpangan
pada sebagaimana umumnya tentulah tidak sebanding dengan petani yang
memproduksi komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar
modern yang telah mapan. Namun tetap saja impilkasinya adalah, kecilnya skala
pertanian berimplikasi pada ketidakberdayaan petani.
untuk
memanfaatkan
peluang
ekonomi
melalui
peningkatan
desain suatu kelembagaan, dalam hal ini kelompok tani. Tulisan ini melalui studi
literatur, ingin mengetahui apakah kolektivikasi aktivitas ekonomi sebagaimana
yang telah dijabarkan sebelumnya, telah mengurangi biaya transaksi bagi petani
(yang mana merupakan sinyal positif untuk meningkatkan daya tawar dan
keberdayaannya),
ataukah
justru
meningkatkan
biaya
transaksi
karena
didasarkan pada dua prinsip: pertama, bahwa individu atau kelompok yang terdiri
dari individu-individu memiliki batas-batas kemampuan untuk memproses dan
menggunakan informasi yang tersedia, sedangkan informasi yang tersedia
sangatlah banyak dan kompleks. Kedua, setiap pelaku ekonomi akan
menghadapi informasi yang tidak lengkap atau ketidakpastian informasi.
Sedangkan perilaku oportunistik merujuk pada upaya untuk mendapatkan
keuntungan melalui praktik yang curang di dalam transaksi, misalnya dengan
memanfaatkan kekuasaan.
Pembentukan Kelompok Tani di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007,
kelompok tani adalah kelembagaan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas
dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi,
dan sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan
usaha anggotanya. Kelompok tani ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk
petani yang saling mengenal, akrab, saling percaya, mempunyai kepentingan
dalam berusahatani, kesamaan dalam tradisi, pemukiman, jenis usahatani, dan
sebagainya.
Dalam Nasrul (2012), berdirinya kelompok tani dapat menjadi konsolidasi
petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dari pra produksi
hingga pemasaran. Hal ini dapat dilakukan dengan kolektifikasi semua proses
dalam rantai pertanian meliputi koletivitas modal, kolektivitas produksi hingga
pemasaran sebagai berikut :
1. Kolektivikasi modal yaitu upaya membangun modal secara kolektif dan
swadaya. Misalnya adanya jasa simpan pinjam produktif yang wajib bagi anggota
untuk menabung dan meminjamkan sebagai modal produksi bukan untuk
konsumtif.
2. Kolektivikasi produksi yaitu suatu perencanan produksi secara kolektif
untuk menentukan pola, jenis, kuantitas serta siklus produki secara kolektif.
Kolektivitas produksi perlu untuk mencapai efisiensi produksi dengan skala
produksi besar dari banyak produsen, sehingga dapat dilakukan penghematan
biaya faktor produksi dan kemudahan dalam pengelolaan produksi seperti daam
penanganan hama.
3. Koletivikasi pemasaran yaitu upaya mendistribusikan komoditas pertanian
secara kolektif dimana bertujuan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran
dengan skala kuantitas yang besar dan menaikkan prosisi tawar produsen dalam
penjualan komoditasnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dominasi tengkulak
yang menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual,
merubah pola relasi yang merugikan petani produsen, serta membuat pola
distribusi yang lebih efisien dengan pemangkasan rantai pemasaran yang kurang
menguntungkan.
Fungsi dan Tujuan Kelompok Tani
Dalam pengembangannya kelompok tani memiliki tiga fungsi yaitu sebagai
kelas belajar, wadah kerjasama dan unit produksi. Sebagai unit produksi,
usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompok tani, secara
keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat
dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi
kuantitas, kualitas maupun kontinuitas.
Untuk
dapat
dikembangkan
secata
tepat,
kelompok
tani
sangat
landasan
menguntungkan.
untuk
Sebagai
unit
mengembangkan
produksi
produksi
kelompok
tani
yang
harus
lebih
mampu
pada
masyarakat
yang
sudah
hidup
sekian
lama,
sudah
mengembangkan dan menjaga struktur sosial dan kompleks nilai yang stabil.
Pada masyarakat dimaksud, sudah ada organisasi, pelaku yang jelas, kompleks
peran, nilai, norma, dan hukum yang diterima dan dijalankan dengan harmonis.
Keempat, menggunakan dan memperkuat modal sosial. Modal sosial
berisikan tiga hal pokok, yaitu kepercayaan (trust), norma yang dijalankan, serta
jaringan sosial. Kepercayaan merupakan elemen esensial pembentuk sistem
sosial menjadi lebih sehat dan kokoh, merupakan ruh kehidupan sosial, dan
mengurangi biaya transaksi.
Kelima, memperbaiki kelembagaan yang rusak. Suatu yang pernah ada dan
rusak, akan memperoleh kesan yang berbeda bagi masyarakat dibandingkan
dengan sesuatu yang baru. Apa yang dapat dilakukan dengan kelembagaan
rusak adalah misalnya dengan melakukan rekonstruksi sosial dan mengelola
konflik dengan menghindari paksaan (coercion). Memperbaiki kembali hubungan
horizontal dapat dilakukan dengan mengubah struktur kelembagaan yang
mengatur alokasi sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.
KESIMPULAN
Kelembagaan diperlukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan
dasar sektor pertanian seperti lemahnya posisi daya tawar; ketidakberdayaan
menegosiasikan harga; serta keterbatasan modal. Kelembagaan pertanian
seperti kelompok tani dalam seharusnya mampu memberikan jawaban atas
permasalahan di atas. Namun, kenyataannya kelembagaan petani cenderung
Dengan
revitalisasi
dan
reorientasi
lembaga
kelompok
tani,
DAFTAR PUSTAKA
Adiwilaga, Anwas. 1982. Ilmu Usahatani. Bandung : Penerbit Alumni.
Lowisada,
Shita
Anggun.
2014.
Pemberdayaan
kelompok
Tani
dalam
Wedy.
2012.
Pengembangan
Kelembagaan
Pertanian
Untuk