Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infark miokard, yang umumnya dikenal sebagai serangan jantung, merupakan
nekrosis ireversibel dari otot jantung sebagai akibat iskemik yang berkepanjangan.
Terjadi akibat tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner,
yang kebanyakan diakibatkan ruptur plak dengan pembentukan trombus di pembuluh
darah koroner tersebut, sehingga mengakibatkan pengurangan suplai darah yang
dibutuhkan miokardium.
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering
di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit, sekitar 1 di antara 25
pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal tahun pertama setelah IMA.
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut
merupakan penyebab utama kematian di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)
kematian terjadi akibat penyakit infark miokard akut di seluruh dunia. Di negara
berpenghasilan rendah angka kematian 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000
(14%).
Menurut penelitian Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia pada tahun 2007,
jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah
sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit jantung
iskemik, yaitu 110.183 kasus. Tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan
kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Kardiologi &
Kedokteran Vaskuler RSUP Haji Adam Malik Medan
2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta
pembaca, terutama mengenai STEMI dan HHD.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acute Coronary Syndrome (ACS)
2.1.1. Definisi dan Etiologi
elevasi segmen ST (NSTEMI). Jika trombus menyumbat arteri koroner secara komplit,
maka menyebabkan iskemik yang lebih parah dan nekrosis, dikenal sebagai infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI).
Pada STEMI, terjadi penurunan aliran darah atau berhenti secara tiba-tiba karena
oklusi thrombus pada arteri koroner yang sudah mengalami arterosklerorsis. Pada
kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau fisur dari plak arterosklerosis
dimana thrombus mural timbul pada tempat ruptur dan menyebabkan oklusi arteri
koroner. Secara histologis, plak koroner yang lebih mudah ruptur adalah yang intinya
kaya dengan lipid dan yang mempunyai fibrous cap yang tipis. Pada kasus yang jarang,
STEMI dapat disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan penyakit inflamasi sistemik.
Kerusakan miokard yang disebabkan oklusi arteri koroner bergantung pada
beberapa faktor, yaitu oklusi total atau sebagian pembuluh darah yang rusak, durasi
okulsi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah koroner ke jaringan
yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh miokard, keberadaan native factors dan
adekuat atau tidaknya perfusi miokard pada daerah infark setelah pulih. Faktor
persipitasi untuk STEMI adalah latihan fisik yang kuat, stress emosional, penyakit
medis atau bedah dan penyalahgunaan kokain atau pun narkoba lain seperti
amphetamine.
2.1.2
dan tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain :
Usia
Jenis kelamin
Riwayat Keluarga
Etnik Tertentu.
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain :
Merokok
Hipertensi
Dislipidemia
Diabetes Mellitus
Obesitas
Stress
Infark miokard dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan klinis, antara
lain sebagai berikut:
1. Tipe 1 (Spontaneous myocardial infarction)
Infark miokard spontan berhubungan dengan rupturnya plak yang mengakibatkan
trombus intraluminal pada satu atau lebih arteri koroner. Ini akan mengakibatkan
turunnya aliran darah pada miokard atau terjadinya emboli platelet distal dengan
hasil akhir nekrosis miosit.
2. Tipe 2 (Myocardial infarction secondary to an ischaemic imbalance)
Pada keadaan injury, miokard menjadi nekrosis dimana terjadi ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard
3. Tipe 3 (Myocardial infarction resulting in death when biomarker values are
unavailable)
Kematian jantung dengan adanya gejala yang mendukung iskemi miokard,
perubahan EKG tetapi sampel darah belum dapat diperoleh, bahkan sebelum muncul
biomarker jantung dalam darah.
4. Tipe 4.
a. Tipe 4a (Infark miokard yang berkaitan dengan percutaneous coronary
intervention (PCI))
koroner atau
autopsi
pada iskemia
miokard
dan dengan
Patogenesis
Aterosklerosis dimulai ketika terjadi jejas (akibat berbagai faktor risiko dalam
berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada endotel arteri, sehingga
menimbulkan disfungsi endotel. Paparan jejas pada endotel memicu berbagai
mekanisme yang menginduksi lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel merupakan awal
terjadinya aterosklerosis. Disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktor-faktor risiko
seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain,
misalnya homosistein dan kelainan hemostatik.
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling berhubungan.
Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi, dan proteolisis)
dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada
fase selanjutnya, terjadi pengumpulan elemen - elemen inflamasi seperti monosit ke
dalam tunika intima.
Awalnya monosit menempel pada endotel yang diperantarai oleh beberapa
molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul
adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin.
Setelah berikatan dengan endotel, monosit berpenetrasi ke lapisan lebih dalam dibawah
lapisan intima.
Monosit-monosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan berubah menjadi
makrofag dan "memakan" LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil
fagositosis ini akan membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi
fatty streaks. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang
akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika
intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang
mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini, proses
aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak aterosklerotik.
Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan penyempitan lumen arteri.
Akibatnya kurangnya aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak
aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah,
robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang
menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini
dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat
menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif
yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.
4.
5.
6.
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus
dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan bukti
kuat untuk menunjukkan gambaran elevasi segmen ST sehingga bermanfaat untuk
dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI
tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara lanjut harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark
pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi
thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami
angina pectoris tak stabil atau non STEMI/infark non Q.
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi. Beberapa
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain :
1.
Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK) MB dan cardiac
specific Troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
a.
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
b.
jam dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
2.
b.
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal
3.
c.
Reaksi
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
2.1.6 Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding yang memiliki gejala yang sama dengan ACS antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Cardiac
a. Acute coronary syndrome
Tekanan di retrosternal yang menyebar ke leher, rahang, atau bahu dan
lengan kiri.
EKG : adanya ST elevasi maupun depresi yang terlokalisir.
b. Perikarditis
Rasa sakit yang menusuk (memburuk dengan inspirasi)
Rasa sakit berubah dengan perubahan posisi (membaik dengan duduk
membungkuk ke depan).
Auskultasi : ada friction rub pada precordium
10
2. Pulmonal
Emboli paru
Pneumonia
konsolidasi)
Infiltrat pada foto thoraks
Pneumothoraks
Pleuritic chest pain pada satu sisi yang tiba-tiba
Menghilangnya suara nafas
Pada foto thoraks tampak hiperlusen dan hilang tanda-tanda adanya paru di
sisi yang terkena.
3. Gastrointestinal :
a. Esophageal spasm
b. Acute cholecystitis
11
2.1.7 Penatalaksanaan
Manajemen, termasuk diagnosis dan pengobatan IMA, dimulai pada first
medical contact (FMC), didefinisikan sebagai titik di mana pasien dinilai oleh
paramedis atau dokter atau tenaga medis lainnya dalam pengaturan pra-rumah sakit,
atau pasien tiba di rumah sakit bagian darurat. Suatu diagnosis kerja infark miokard
pertama harus dibuat pada FMC. Hal ini biasanya didasarkan pada riwayat nyeri dada
yang berlangsung selama 20 menit atau lebih, tidak berkurang dengan pemberian
nitrogliserin. Petunjuk penting adalah riwayat CAD dan penjalaran rasa sakit pada leher,
rahang bawah atau lengan kiri. Rasa sakit mungkin tidak parah. Beberapa pasien datang
dengan gejala yang kurang khas, seperti mual/muntah, sesak napas, kelelahan, jantung
berdebar atau sinkop. Penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan 30% dari pasien
dengan STEMI hadir dengan gejala tidak khas.
Pemantauan EKG harus dimulai sesegera mungkin pada semua pasien yang
diduga STEMI untuk mendeteksi aritmia yang mengancam kehidupan dan
memungkinkan defibrilasi cepat jika diindikasikan. Hasil EKG harus diperoleh dan
diinterpretasikan sesegera mungkin pada titik FMC. Bahkan pada tahap awal, EKG
12
jarang normal. Biasanya, ST-segmen elevasi di akit miokard infark, diukur pada J point,
harus ditemukan dalam lead yang berpasangan. Beberapa hal yang harus diberikan pada
pasien antara lain :
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada pasien STEMI tanpa komplikasi diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus
berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi Nitrat harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiestrase 5 inhibitor (sildenafil) dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit dengan dosis total 20 mg.
4. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal
dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV
mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan
13
darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas 100
mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan gagal
jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti captopril
6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg.
7. Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin.
Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita
dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta.
8. Antitrombotik
Heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated heparin atau low molecular
weight heparin. Unfractionated heparin diberikan 5000 unit bolus dilanjutkan
dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan sesuai pemeriksaan aPTT
(target aPTT 1,5-2 x nilai normal).
9. Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa
Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant trombolitik.
Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka harapan hidup.
Terapi Reperfusi
14
15
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi
ST > 50 % dalam 90 menit pemberian trombolitik. Beberapa obat trombolitik :
1. Streptokinase (SK)
Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5% diberikan dalam 1
jam. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi.
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah mendapatkan
streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase, hipotensi (TDS
< 90 mmHg).
Kegagalan trombolisis ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya
ST elevasi. Komplikasi berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu
rescue PTCA harus dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya trombolisis
diulangi dengan dosis yang sama.
Primary PTCA (Percutaneous Tranluminal Coronary Angioplasty)
terbukti
16
2.1.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ACS antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Disfungsi Ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Beberapa contoh
disfungsi ventrikuler antara lain :
a. Aritmia dan gangguan konduksi pada fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi pada infark miokard akut dan
merupakan sumber kematian utama. Mekanisme yang berkontribusi dalam
b. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel bertanggung jawab pada kematian jantung yang mendadak
selama perjalanan IMA. Episode fibrilasi ventrikel yang terjadi selama 48 jam
pertama MI sering berhubungan dengan ketidakstabilan listrik sementara.
Namun fibrilasi ventrikel yang terjadi lebih dari 48 jam setelah IMA umumnya
mencerminkan disfungsi ventrikel kiri berat dan berhubungan dengan angka
kematian yang tinggi. ACE inhibitor / ARB mengurangi mortalitas 30-hari pada
pasien. Studi-studi lain telah menegaskan bahwa beta-blocker diberikan dalam
24 jam pertama setelah IMA pada pasien dengan VF / VT dikaitkan dengan
menurunnya kematian dini tanpa gagal jantung yang semakin memburuk.
c. Aritmia Supraventrikular
Aritmia supraventrikular juga umum terjadi pada IMA. Sinus bradikardia terjadi
karena stimulasi vagal yang berlebihan atau iskemik SA node, biasanya infark
17
miokard di dinding inferior. Sinus takikardia sering terjadi dan dapat terjadi
karena sakit dan kecemasan, gagal jantung dan pemberian obat (dopamin), atau
pengurangan volum intravaskular. Karena sinus takikardi meningkatkan
kebutuhan oksigen dan dapat membuat iskemik ulang, mengidentifikasi dan
mengobatinya merupakan hal yang penting. Denyut prematur atrium dan
fibrilasi atrium terjadi karena iskemik atrium atau distensi atrium sekunder pada
gagal ventrikel kiri.
d. Hambatan Konduksi
Hambatan konduksi (blok atrioventrikular nodal dan blok bundle branch)
umumnya berkembang pada IMA. Mereka terjadi sebagai hasil dari iskemik atau
nekrosis dari jalur konduksi, atau pada kasus blok atrioventrikular, mungkin
terjadi karena peningkatan vagal tone. Aktivitas vagal meningkat karena
stimulasi serat aferen oleh karena inflamasi miokardium atau sebagai hasil
aktivasi autonom menyeluruh berhubungan dengan sakit pada IMA.
2. Disfungsi miokardium
ACS dapat juga menyebabkan kerusakan pada otot otot jantung. Beberapa
komplikasi akibat kerusakan otot jantung antara lain :
a. Gagal Jantung Kongestif
Iskemik jantung akut terjadi sebagai akibat kontraktilitas ventrikel
dan
18
kardiogenik terjadi hingga 10% pasien setelah MI dan angka mortalitas >70%.
Kateterisasi jantung segera dan revaskularisasi dapat meningkatkan prognosis.
c. Infark Ventrikel Kanan
Sekiranya satu dari tiga pasien dengan infark dinding inferior ventrikel kiri, akan
terjadi nekrosis dari bagian ventrikel kanan, karena arteri koroner yang sama
(biasanya koroner kanan) memperfusi kedua daerah pada kebanyakan pasien.
Akibat dari kontraksi abnormal dan penurunan fungsi ventrikel kanan akan
mengarah kepada tanda gagal jantung kanan (distensi vena jugular) diluar
proporsi dari tanda gagal jantung kiri.
3. Komplikasi Mekanik
Beberapa komplikasi mekanik dari ACS antara lain :
a. Ruptur Otot Papiler
Iskemik nekrosis dan ruptur otot papiler ventrikel kiri bisa sangat fatal karena
regurgitasi mitral akut yang berat, lembaran katup kehilangan tempat
melekatnya. Ruptur parsial, dengan regurgitasi sedang, mungkin tidak segera
mematikan tapi dapat menunjukkan gejala gagal jantung atau edema pulmonal.
b. Regurgitasi Katup Mitral
Regurgitasi katup mitral bisa terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel
kiri, disfungsi otot papiler atau ruptur dari korda tendinea. Biasanya
mengakibatkan perubahan hemodinamik secara tiba-tiba berupa sesak napas
akut dan kongesti paru dan murmur sistolik.
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA, antara lain
adalah sebagai berikut :
Klas
I
II
III
IV
Definisi
Mortalitas (%)
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
6
S3 dan/atau ronkhi basah
17
Edema paru
30-40
Syok kardiogenik
60-80
Tabel 2. Klasifikasi Killip pada infark Miokard Akut
Skor Risiko/Mortalitas 30
hari (%)
0,8
1,6
2,2
4,4
19
7,3
12,4
16,1
23.4
26,8
35,9
2.2. Hipertensi
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang menetap yang penyebabnya masih
tidak diketahui (hipertensi esensial, idiopatik, atau primer) maupun yang berhubungan
dengan penyakit yang lain (hipertensi sekunder) (Dorland, 2009). Hipertensi juga dapat
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri di atas batas normal yang
diharapkan pada kelompok usia tertentu (Oxford, 2003).
Berdasarkan dari penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu
sebagai berikut ini :
1.
yang
monogenik
dan
poligenik,
orang
tersebut
mempunyai
20
jenis hipertensi ini. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab hipertensi sekunder
yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. (Muchid et al, 2006).
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dapat dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis
hipertensi tersebut antara lain:
1.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension), yaitu peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada
2.
3.
Prahipertensi.
Tekanan darahnya dari 120/80 mmHg sampai 139/89 mmHg.
Hipertensi tingkat I.
Tekanan darahnya dari 140/90 mmHg sampai 159/99 mmHg.
Hipertensi tingkat II.
Tekanan darahnya melebihi 160/100 mmHg.
21
3.
Faktor lingkungan :
a. Obesitas. Orang yang gemuk lebih sering mengalami kejadian hipertensi
dibandingkan dengan orang yang kurus.
b. Alkohol. Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan antara
meminum alkohol dengan kejadian hipertensi.
c. Asupan garam. Semakin tinggi asupan garam yang diterima oleh
seseorang, peluang untuk terjadinya hipertensi semakin besar.
d. Stres. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan darah.
e. Mekanisme humoral. Sistim saraf pusat memegang peranan penting dalam
pengaturan tekanan darah. Jika sistem ini terganggu, maka pengaturan
tekanan darah juga terganggu.
f. Resistensi insulin. Hubungan antara diabetes dengan hipertensi telah lama
diketahui dan salah satu ciri pada diabetes adalah hiperinsulinemia
sehingga resistensi insulin juga akan memiliki hubungan dengan terjadinya
kejadian hipertensi.
Ada beberapa faktor risiko yang dapat mencetuskan timbulnya hipertensi.
Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, dan
2.
3.
4.
genetik.
Sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal).
Keseimbangan antara modulator, vasodilatasi, dan vasokontriksi.
Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin, dan aldosteron (Yogiantoro, 2009).
22
23
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan
faktor endotel.
Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meninggi sedangkan tahanan
perifer normal yang disebabkan peningkatan aktivitas simpatis. Pada tahap selanjutnya,
curah jantung menjadi normal sedangkan tahanan perifer yang meninggi karena refleks
autoregulasi melalui mekanisme konstriksi katup prakapiler. Kelainan hemodinamik ini
juga diikuti dengan perubahan struktur pembuluh darah (hipertrofi pembuluh darah) dan
jantung (penebalan dinding ventrikel).
Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi membran sel
dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural. Faktor lain yang
berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor. Berbagai promoter pressorgrowth bersamaan dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi
vaskular akan menyebabkan peninggian tahanan perifer serta tekanan darah.
Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) dalam Yusuf (2008)
telah membuktikan adanya defek transportasi ion Na+ dan Ca2+
untuk melewati
membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau peninggian
hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular. Selain itu, terjadi perubahan
intraselular dimana kenaikan Na+ intraselular akibat penghambatan pompa Na+ akan
meningkatkan ion Ca2+ intraselular sehingga menyebabkan perubahan dinding
pembuluh darah maupun konstriksi fungsional yang mengakibatkan peninggian tahanan
darah dan tekanan darah yang menetap.
24
hipertensi, kadar insulin darah meningkat setelah dilakukan pembebanan glukosa pada
tes toleransi glukosa oral. Pada keadaan hiperinsulinemia, terjadi pengaktifan saraf
simpatis, peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubulus proksimal dan gangguan
transportasi membran sel berupa penurunan pengeluaran natrium dari dalam sel akibat
kelainan pada sistem Na+/K+ ATPase dan Na+/H+ exchanger dan terganggunya
pengeluaran ion Ca2+ dari dalam sel. Akibatnya, terjadi peningkatan sensitivitas otot
polos pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktor yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kontraktilitas. Sementara itu, kadar ion H + yang rendah dalam sel akan
meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah.
Faktor lingkungan (stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga) juga
berpengaruh pada timbulnya hipertensi.
menurunkan tahanan perifer sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Selain
itu, rokok dan alkohol juga memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi dimana pada
orang yang peminum alkohol serta perokok akan lebih mudah menderita hipertensi
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau meminum alkohol.
Semua ini akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer sehingga akan
terjadi peningkatan tekanan darah. Paparan yang terus menerus ini akan mengakibatkan
seseorang menderita hipertensi. Apabila tidak diobati dan dijaga, orang tersebut akan
menderita berbagai komplikasi yang akan mengakibatkan kematian.
25
26
Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistole >= 140 mmHg dan diastole >= 90
mmHg diawali dengan terapi non farmakologi seperti penurunan berat badan
bagi penderita yang kegemukan, olahraga yang teratur, mengurangi konsumsi
alkohol dan garam, tidak merokok dan mengkonsumsi lebih banyak sayur dan
buah.
Perubahan gaya hidup dan terapi obat memberikan manfaat yang berarti bagi
pasien hipertensi
Target tekanan darah < 140/90 bagi hipertensi tanpa komplikasi dan target
tekanan darah < 130/80 bagi hipertensi dengan komplikasi
Hipertensi dengan komplikasi pilihan pertama diuretik tiazid tapi juga bisa
digunakan penghambat ACE (captopril,lisinopril,ramipril), ARB (valsartan,
candesartan), beta bloker (bisoprolol) dan antagonis kalsium (nifedipin,
amlodipin) bisa juga dipertimbangkan.
27
Pasien hipertensi dengan kondisi lain yang menyertai seperti gagal ginjal dan
lain-lain, obat anti hipertensi disesuaikan dengan kondisinya.
Terapi non farmakologi dilakukan pada pasien hipertensi dan mereka yang
keluarganya ada riwayat hipertensi
Pengobatan dimulai pada tekanan darah sistol >=140 dan diastol >= 90
Target yang ingin dicapai setelah pengobatan, sistol =< 140 dan diastol =< 85
obat piliha pertama tiazid atau beta bloker bila tidak ada kontraindikasi.
Hipertensi tanpa komplikasi harus dimulai dengan diuretik atau beta bloker
Hipertensi dengan penyakit penyerta, pemilihan obat harus berdasarkan masingmasinghambat individu dan berubah dari mono terapi ke terapi kombinasi yang
fleksibel
28
Penderita hipertensi dapat menerima satu atau lebih macam obat selama tujuan
terapi tercapai
Penatalaksanaan
target pengobatan
Kombinasi obat yang digunakan untuk mencapai target tekanan darah harus
ditetapkan secara individual pada masing-masing pasien
4. UK's NICE
Penghambat ACE sebagai lini pertama bagi penderita hipertensi usia < 55 tahun
dan antagonis kalsium atau diuretika bagi penderita hipertensi > 55 tahun
29
Penanganan dengan obat dilakukan bila upaya perubahan gaya hidup belum
mencapai target tekanan darah (masih >= 140/90 atau >= 130/80 bagi penderita
diabetes/ penyakit ginjal kronis).
Pemilihan obat didasarkan ada tidaknya indikasi khusus. Bila tidak ada indikasi
khusus, obat tergantung pada derajat hipertensi (derajat 1 atau derajat 2 JNC7)
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Rekam Medis Pasien
30
: 00.54.96.11
: 26 Februari 2013
: Selasa
: 12.30 WIB
Nama pasien
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama
Keluhan Utama
Anamnesa
: Nyeri dada
: Hal ini dialami os sejak sabtu malam, saat os sedang duduk duduk
di rumah. Nyeri dirasakan seperti ditekan beban berat di dada.
Nyeri dirasakan lebih dari 30 menit dan tidak menghilang
dengan istirahat. Nyeri dada tidak disertai keringat dingin dan
mual, tetapi terdapat penjalaran nyeri hingga ke daerah
punggung. Os memiliki riwayat hipertensi yang sudah diderita
sejak 5 tahun yang lalu, namun hanya menggunakan
31
Auskultasi
Jantung
: S1 (N), S2(N), S3 (-), S4(-), Reguler
Murmur (-), gallop (-)
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Palpasi Hepar/lien : tidak teraba
Bising usus normal, Asites (-)
Ekstremitas
Superior
: Sianosis (-), Clubbing (-)
Inferior
: Edema (-), Pulsasi arteri (+)
Akral
: Hangat
Hasil Laboratorium
Darah lengkap
Hemoglobin : 9,9 g% (13,2 - 17.3)
Eritrosit
: 3,49 x 106/mm (4,20 4,87)
Leukosit
: 11,65 x 10/mm (4,5 11,0)
Hematokrit : 30,3 % (43 - 49)
Trombosit
: 233 x 10/mm (150 450)
Metabolisme Karbohidrat
KGD puasa 101,40 mg/dL (63 - 158)
Enzim Jantung
Troponin T : 2,0 g/dL (0 0,01)
CK-MB
: 85 U/L (0 - 25)
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
32
Na+
K+
Cl-
Pemeriksaan EKG
SR
33
CTR 59 %
Segmen aorta dilatasi
Segmen pulmonal normal
Pinggang jantung rendah
Kesan : Kardiomegali
Apex downward
Kongesti (-),
Infiltrat (-).
34
Diagnosa Kerja
Fungsional
Anatomi
Etiologi
Bed rest
O2 nasal 2 3 L/i
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i (Mikro)
Drip heparin 4000 IU bolus 840 IU/jam
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Captopril 1 x 40 mg
: dubia ad bonam
Ad Functionam
: dubia ad bonam
Ad Sanactionam
: dubia ad bonam
S
Nyeri dada
O
Sensorium : CM
TD : 150/100 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 37,5C
Kepala
Mata : anemis (+), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
A
P
STEMI inferior onset 3 Bed rest
hari Killip I TIMI 5/14
O2 nasal kanul 2 3 L/i
Hipertensi stage 1
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 4000 IU bolus 840
IU/jam
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Bisoprolol 1 x 1,25 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Captopril 3 x 6,25 mg
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
27/02/2013
Nyeri dada
Sensorium : CM
TD : 135/65 mmHg
Bed rest
HR: 92 x/i
RR: 24 x/i
T : 37,0C
Pre-hipertensi
1 AV block
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
28/02/2013
Nyeri dada
Sensorium : CM
TD : 220/100 mmHg
HR: 92 x/i
Hipertensi stage 2
RR: 24 x/i
T : 37,0C
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
1 AV block
Hipertensi stage 2
1 AV block
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
01/03/2013
Nyeri dada
Demam
Sensorium : CM
TD : 190/100 mmHg
HR: 92 x/i
RR: 24 x/i
T : 39,0 C
keempat)
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
ketiga)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg
Hipertensi terkontrol
Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari kelima)
Aspilet 1 x 80 mg
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
02/03/2013
Nyeri dada
Demam
Sensorium : CM
TD : 125/80 mmHg
HR: 88 x/i
RR: 22 x/i
T : 38,5 C
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 37,5 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
keempat)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
03/03/2013
Nyeri dada
Demam
Sensorium : CM
TD : 130/70 mmHg
HR: 72 x/i
RR: 22 x/i
T : 38,0 C
Hipertensi terkontrol
Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Heparin 840 IU/jam (hari
keenam)
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 25 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
kelima)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg
Hipertensi terkontrol
Bed rest
IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i
(Mikro)
Aspilet 1 x 80 mg
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
04/03/2013
Nyeri dada
Demam
Sensorium : CM
TD : 120/70 mmHg
HR: 70 x/i
RR: 20 x/i
T : 38,0 C
Kepala
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher: TVJ R+2 cmH2O
Thoraks :
Cor: S1 S2 (N),
Gallop (-),
Murmur (-)
Pulmo :
Sp: Vesikuler
Ronchi basah basal (+)
Abdomen:
datar, soepel, BU (+) N
Ekstremitas:
Akral hangat,
oedema(-/-)
Plavix 1 x 75 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Captopril 3 x 50 mg
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam (hari
keenam)
Paracetamol 3 x 500 mg
Alprazolam 1 x 0,25 mg
Hct 1 x 25 mg
KASUS
Disamping
mengeluh
itu
dyspnea,
penderita
juga
palpitasi
dan
berkeringat.
Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan
darah
lengkap
(1mm).
Penatalaksanaannya
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari data yang didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya, pasien dapat didiagnosis dengan STEMI inferior onset
3 hari KILLIP I TIMI Risk 5/14 dan hipertensi stage I.
4.2. Saran
Agar follow up dapat dilakukan dengan lebih baik lagi agar keadaan pasien dapat
terus terpantau dan pemberian obat dapat lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Diego S., William W., Thygesen C., Management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation.2002. European Society of
Cardiology. Elsevier.
Djohan, A.B.T. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Hypertension. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 1-7
Dorland, 2007. Dorlands Medical Dictionary. USA: Elsevier. Available from:
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hypertension
Fagan, S., 2002. Structure and function of the heart, 9, Cardiovascular System2nd edition,
United Kingdoms. Elsevier.
Fuster,at al. Hurst, The Heart Disease. 13th, 2011, Mc Graw Hill Publisher
Kabo, dr. Peter dan dr Sjukri Karim. EKG dan Beberapa Penanggulangan Penyakit
Jantung ; Bab Infark Miokard Akut; 2007. Jakarta : FK UI ; 141-153
Kawai C., Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory System of
Bioactive Substance in the Vessel Wall. 2012. American Heart Association
Kumar, P. & Clark, M., 2004. Cardiovascular disease In: Clinical Medicine 6th ed.
London: Elsevier.
Maric, C., 2005. Sex Differences in Cardiovascular Disease and Hypertension:
Involvement of the Renin-Angiotensin System. Hypertension 46:475-476.
Available from: http://hyper.ahajournals.org/content/46/3/475.full
McEniery, C.M., Wilkinson, I.B.& Avolio, A.P., 2007. Age, Hypertension and Arterial
Function. Clin. Exp. Pharmacol. Physiol. 34:665671. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17581227
Muchid, A., et al, 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan,
Departemen
Kesehatan.
Available
from:
http://binfar.depkes.go.id/download/BUKU_SAKU_HIPERTENSI.pdf
National Heart, Lung, And Blood Institute, 2004. The Sevent Report of the Joint
National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo, A.W., et al eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 5th ed. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 1079-1085.
Yusuf, I., 2008. Hipertensi Sekunder. Medical Review 21 (3): 71-79. Available from:
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/213087179.pdf