Vous êtes sur la page 1sur 8

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA MEDULA SPINALIS

A. PENGERTIAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &
Suddarth, 2001).
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000
cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria
usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C.
Smeltzer,2001;2220).
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis
karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan
fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refl eks,
baik komplet ataupun inkomplet (Yoanes Gondowardaja, 2014).
B. ETIOLOGI
Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) adalah trauma,
dan dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, seperti
arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik,
infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.
Penyebab trauma spinal lyang paling banyak dikemukakan adalah
kecelakaan lalu lintas, olah raga, tembakan senapan, serta bencana alam
(Islam, 2006).
Sedangkan menurut inkomplet Yoanes Gondowardaja (2014)
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke
posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior


akibat kompresi tulang.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Diane C. Baughman ( 2000)
1. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
2.
3.
4.
5.

terkena
Praplegi
Tingkat neurologik
Paralisis sensorik motorik total
Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung

kemih)
6. Penurunan keringat dan tonus vasomoto
7. Penurunan fungsi pernafasan
8. Gagal nafas
Cedera medula spinalis lumbal dapat menyebabkan gambaran
paraplegia. Tingkat neurologik yang berhubungan akan mengalami
paralisis sensori dan motorik total yang menyebabkan gangguan kontrol
kandung kemih (retensi dan inkontinensia) dan usus besar, penurunan
tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah yang diawali dengan
resistensi vaskuler perifer (Brunner dan Suddarth, 2001).

D. PATOFISIOLOGI

Trauma
Vertebra
Penekanan Medula
Spinalis
Fraktur kompresi
vertebra
Kerusakan
neurologis
Gangguan Saraf
vertebra

Nyeri Akut

Gangguan fungsi organ


bagian bawah
Ekstremitas
bawah

urinaria

E. KOMPLIKASI
1. Neurogenik shock.
2. Hipoksia.
3. Gangguan paru-paru
4. Instabilitas spinal
5. Orthostatic Hipotensi
6. Ileus Paralitik
7. Infeksi saluran kemih
8. Kontraktur
9. Dekubitus
10. Inkontinensia blader
11. Konstipasi

Kerusakan mobilitas

Retensi Urin

(Anam Akhyarul, 2010)


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur,
erosi, dan perubahan hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar X
multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang
diperiksa, menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur,
dislokasi), kesejajaran, dan reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi (Brunner dan Suddarth, 2001).
2. Computed Tomography (CT Scan)
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena (lumbal) dan dapat memperlihatkan cedera ligamen atau
tendon. Teknik ini dapat mengidentifikasai lokasi dan panjangnya
patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi. Pemindaian CT selalu
dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun jika dengan zat kontras,
maka akan diinjeksi melalui intravena (Brunner dan Suddarth, 2001).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer untuk
memperlihatakan abnormalitas jaringan lunak seperti otot, tendon, dan
tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk mengidentifikasi
keadaan abnormal serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes
diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang

perubahan kimia dalam sel, namun tidak menyebabkan radiasi sel


(Brunner dan Suddarth, 2001).
4. Mielografi
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga
subarachnoid spinalis lumbal. Mielogram menggambarkan ruang
subarachnoid spinal dan menunjukkan adanya penyimpangan medula
spinalis atau sakus dural spinal yang disebabkan oleh tumor, kista,
hernia diskus vertebral, atau lesi lain. Zat kontras dapat menggunakan
larutan air atau yang mengandung minyak. Metrizamid adalah zat
kontras yang larut air, diabsorbsi oleh tubuh, serta diekskresi melalui
ginjal (Brunner dan Suddarth, 2001).
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula
spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit
neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan
oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
1. Farmakoterapi : Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk
melawan edema medela.Tindakan Respiratori
2. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
a. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari
fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
b. Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus)
untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.
3. Reduksi dan Fraksi skeletal
a. Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi,
dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata.
b. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan
suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal
atau halo vest.
c. Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
4. Intervensi bedah Laminektomi
Dilakukan Bila :
a. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
b. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
c. Cedera terjadi pada region lumbaL atau torakal

d. Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi


fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.
(Diane C. Braughman, 2000)
H. NURSING CARE PLAN
1. Pengkajian
a. Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah
lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya
kompresi saraf).
b. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan
pucat.
c. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
d. Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
e. Makanan/cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus
paralitik)
f. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
g. Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok

spinal). Kehilangan sensasi (derajat

bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).


Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks
asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis,
hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
trauma spinal.
h. Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
i. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki, pucat, sianosis.

j. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).
k. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
(Marikyn
Doengoes,

E.
1999)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular
c. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks
berkemih
3. Nursing Care Plan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak
nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri,
mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan :
1) Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi
dan menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas
pada skala 0 1
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat
cedera misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit
kepala dari alat stabilizer
2) Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi,
masase, kompres hangat / dingin sesuai indikasi
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan
untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan
otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3) Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman
imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.

Rasional: Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan


rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4) kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot,
misalnya dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya
diazepam (valium)
Rasional: Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri
otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan meningkatkan
istrirahat.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak
adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian
tubuh

yang

sakit

/kompensasi,

mendemonstrasikan

teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.


Rencana Tindakan :
1) Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
Rasional : Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien
setiap 4 jam.
2) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan
kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
Rasional : Mencegah terjadinya dekubitus.
3) Beri
papan
penahan
pada
Rasional: Mencegah terjadinya foodrop
4) Gunakan
otot
orthopedhi,
edar,

kaki
handsplits

Rasional: Mencegah terjadinya kontraktur.


5) Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5
kali/hari
Rasional: Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
Rasional: Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan
7) Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan

dan

penggunaan otot seperti splints


Rasional: Memberikan pancingan yang sesuai.
c. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks
berkemih

Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan


blodder tanpa residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur
urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan:
1) Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
Rasional : Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya
infeksi saluran kemih
2) Kaji intake dan output cairan
Rasional: Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya
blodder.
3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program
Rasional: Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan
refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran
urine
4) Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
Rasional : Mencegah urine lebih pekat
5) Cek bladder pasien setiap 2 jam
Rasional: Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic
hyperrefleksia
6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
Rasional : Mengetahui adanya infeksi
7) Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam

Rasional : Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.

Vous aimerez peut-être aussi