Vous êtes sur la page 1sur 4

Abdullah Bin Ummi Maktum - Seorang Sahabat Yang Buta.

Meskipun tidak diberikan kesempurnaan seperti manusia yang lainnya, tetapi


sahabat Nabi satu ini sungguh luar biasa. Mari kita simak kisahnya, Abdullah Bin
Ummi Maktum.
Siapakah laki-laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari
langit dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril
harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi yang mulia? Dia tidak lain
adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muazzin Rasulullah.
Abdullah Ummi Maktum, orang Mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga
dengan Rasulullah saw., yakni anak paman ummul mukminin Khadijah binti
Khuwailid r.a. Bapaknya adalah Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah.
Ibunya bergelar "ummi maktum", karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan
buta total.
Ketika cahaya Islam mulai memancar di Mekah, Allah melapangkan dada Abdullah
bin Ummi Maktum menerima agama baru itu. Karena itu, tidak diragukan lagi dia
termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam.
Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah saw. sering mengadakan dialog dengan
pemimpin-pemimpin Quraisy, seraya mengharap semoga mereka masuk Islam.
Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin
Rabi'ah, 'Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin
Mughirah, ayah Saifullah Khalid bin Walid.
Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau
sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap
para sahabat beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tibatiba Abdullah bin Ummi Maktum datang mengganggu minta dibacakan kepada ayatayat Alquran. Kata Abdullah, "Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang
telah diajarkan Allah kepada Anda!"
Rasulullah terlengah memperdulikan permintaan Abdullah Bin Ummi Maktum.
Bahkan, beliau agak acuh terhadapnya. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan
melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Mudahmudahan dengan Islamnya mereka, Islam bertambah kuat dan dakwah bertambah
lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah saw. bermaksud pulang. Tetapi,
tiba-tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti
kena pukul.
Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau, "Dia (Muhammad)
bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya.

Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau


dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan
manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau
mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang
kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan
ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan
(begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang
menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di
tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti." (QS.Abasa: 1
-16).
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril ke dalam hati Rasulullah saw.
sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum.
Sejak hari itu Rasulullah saw. tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi
Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, beliau
tanyakan keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau
beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, bukankah teguran dari langit itu
sangat keras!
Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin
berat dan menjadi-jadi, Allah SWT mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya
hijrah. Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk
menyelamatkan agamanya. Dia bersama-sama Mush'ab bin Umair, sahabat-sahabat
Rasul saw. yang pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah),
Abdullah dan Mush'ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Alquran dan
mengajarkan pengajaran Islam.
Setelah Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau mengangkat Abdullah bin Ummu
Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi muadzdzin Rasulullah. Mereka berdua
bertugas meneriakkan kalimah tauhid (azan) lima kali sehari semalam, mengajak
orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan.
Apabila Bilal azan, Abdullah Qamat; Abdullah azan, Bilal qamat.
Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal azan tengah malam
membangunkan kaum muslimin untuk makan sahur dan Abdullah azan ketika fajar
menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar
menghentikan makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum, beberapa kali Rasulullah
mengangkatnya menjadi wali kota Madinah menggantikan beliau apabila
meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada

Abdullah. Salah satu di antaranya ketika meninggalkan kota Madinah untuk


membebaskan kota Mekah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.
Setelah perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Alquran, mengangkat derajat
kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka
yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela
orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat
berkesan di hati Abdullah Ummi Maktum. Tetapi, baginya sukar mendapatkan
kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, "Ya
Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi perang." Kemudian, dia
memohon kepada Allah dengan hati yang penuh tunduk semoga Allah menurunkan
ayat-ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang cacat (uzur) seperti dia,
tetapi hati mereka ingin sekali hendak berperang. Dia senatiasa berdoa dengan
segala kerendahan hati. Dia berkata, "Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai
orang-orang yang uzur seperti aku!" Tidak berapa lama, kemudian Allah SWT
memperkenankan doanya.
Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw. yang bertugas menuliskan wahyu,
menceritakan, "Aku duduk di samping Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau diam,
sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan
beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban
berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, "Tulis, hai zaid!" Lalu aku
menuliskan, "Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)
dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah." (An-Nissa': 95).
Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana dengan
orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang) karena cacat?" Selesai
pertanyaan Abdullah, Rasulullah saw. terdiam dan paha beliau menekan pahaku,
seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu
hilang, Rasulullah saw. berkata, "Coba, baca kembali yang telah engkau tulis!" Aku
membaca, "Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)"
Lalu kata beliau, "Tulis!" "Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu."
Maka, turunlah pengecualian yang ditunggu-tunggu Ibnu Ummi Maktum. Meskipun
Allah SWT telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang uzur seperti
dia untuk tidak berjihad, dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang
tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fi
sabiilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat
dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan yang besar. Maka,
karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan tugasnya
sendiri untuk berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.
Katanya, "Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera.
Saya akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu

saya pasti tidak akan lari."


Tahun ke empat belas hijriyah, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan
memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan
pemerintah yang dzalim dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang
bertauhid. Umar memerintahkan kepada setiap gubernur dan pembesar dalam
pemerintahannya. "Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang
yang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani atau yang
berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!"
Maka, berkumpullah kaum muslimin di Madinah dari segala penjuru, memenuhi
panggilan khalifah Umar bin Khaththab. Di antara mereka terdapat seorang prajurit
buta, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah Umar mengangkat Sa'ad bin Abu
Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian, khalifah
memberikan instruksi-instruksi dan pengarahan kepada Sa'ad.
Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyyah, Abdullah bin Ummi Maktum
memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa
bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di
samping bendera itu.
Pada hari ketiga perang itu, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah
disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut
dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka, pindahlah
kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin, dan runtuhlah
mahligai yang termegah. Berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala
itu.
Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa dan ratusan para
syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah bin Ummi Maktum
yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya,
sambil memeluk darah kaum muslimin.

Vous aimerez peut-être aussi