Vous êtes sur la page 1sur 6

Atas Nama Cinta Membangun Rumah Tangga

Biasanya ketika bicara masalah membangun rumah tangga maka yang muncul adalah
masalah hak dan kewajiban suami isteri
Lalu berlaku menuntut hak dan menunaikan kewajiban
Setiap ada permasalahan, maka kita akan kembalikan pada definisi mengenai hak dan
kewajiban tersebut.
Mari kiat lihat kisah berikut peristiwa seorang anak nakal, maka bisa jadi suami akan
mengatakan kepada isterinya, "Ini kan kewajiban kamu untuk mendidiknya. Kamu tidak
bisa melakukannya dengan baik sehingga anak kita nakal." Sang isteri bisa jadi akan
membela diri dengan mengatakan, "Tetapi karena engkau tidak cukup memberikan uang,
terpaksa anak kita tidak belajar di sekolah unggulan. Terpaksa aku menyekolahkannya di
sekolah yang murah dan tidak bermutu, dampaknya anak kita nakal serta bodoh".
Kisah kedua : ketika rumah tampak tidak teratur dan berantakan, seorang suami bisa
mengatakan, "Rumah kita berantakan. Engkau tidak menatanya dengan baik. Bukankah
ini kewajibanmu?" Sedangkan isteri bisa menjawabnya dengan ungkapan, "Engkau tidak
bisa berlaku sebagai pemimpin yang baik. Waktumu habis di luar rumah, sementara
engkau juga tidak memberikan kepadaku pembantu rumah tangga".
Apabila seluruh masalah senantiasa dikembalikan kepada pembahasan tentang hak dan
kewajiban, sesungguhnya tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah itu sendiri.
Perhatikan kekakuan dalam dialog berikut ini. Ana menuntut suaminya, Ahmad, untuk
berlaku romantis. "Tunjukkan bukti cintamu padaku. Selama ini kau tak pernah
merayuku. Selama ini kau tak pernah menyatakan rasa cintamu padaku", kata Ana.
"Bukankah aku sudah bekerja mencari nafkah, aku sudah memenuhi semua kebutuhan
keluarga kita. Bukankah itu sudah menjadi bukti yang paling kongkrit bahwa aku
mencintaimu. Lebih dari itu aku tidak pernah menyeleweng", jawab Ahmad. "Itu tak
cukup bagiku. Semestinya suami harus pandai merayu dan mengungkapkan kata-kata
mesra kepada isterinya. Kau tak pernah melakukannya", keluh Ana. "Apakah ada
kewajiban bagi suami untuk merayu isterinya? Mana dalil yang menyatakan bahwa suami
harus merayu isteri?" Ahmad tak kalah ketus menjawab.
Pada kesempatan yang lain, Ana merasa kelelahan melakukan semua pekerjaan rumah
tangganya. Hingga akhirnya ia tidak mencuci pakaian dan menyeterika hari itu. Besok
paginya, saat Ahmad akan berangkat bekerja, ia mendapatkan bajunya belum rapi.
"Kenapa engkau tidak menyeterika bajuku? Aku akan bekerja dengan pakaian apa hari
ini, sedang baju yang kupakai kemarin juga belum kau cuci", keluh Ahmad. "Aku sangat
lelah kemarin, tak sempat menyeterika baju-baju kita. Tidak kah engkau bisa menyeterika
sendiri pagi ini? Lihatlah, aku sangat sibuk dengan anak bayi kita ini", jawab Ana. "Tetapi
bukankah menyeterika baju ini kewajibanmu? Mengapa tak kau utamakan?" tanya
Ahmad. "Kewajibanku? Apakah ada kewajiban isteri untuk mencuci dan menyeterika
baju suaminya? Mana dalil yang menyatakan bahwa isteri wajib menyeterika baju
suami?" ungkap Ana dengan ketus.
Coba anda bayangkan ????????? suasana rumah tangga apabila hanya mengandalkan
pembahasan tentang hak dan kewajiban? Kaku, kering, formalistik dan mekanistik. Tidak
ada suasana keindahan dan kelembutan.
Ada lagi kerangka kultural, biasa terjadi dalam keluarga yang proses pernikahannya
terjadi secara tradisional
Akan tetapi akan menjadi masalah manakala corak kultural ini dibingkai dalam sebuah
konstruksi agama yang digunakan sebagai landasan kekuatan untuk memaksakan

kehendak. Misalnya seorang suami melarang isterinya aktif dalam partai politik, karena
biasanya yang aktif di parpol adalah laki-laki, sembari menjastifikasi dengan dalil
agama, bahwa hendaknya wanita di dalam rumah saja.
Atau suami tidak mau mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan seperti memasak,
mencucui dan membersihkan rumah karena biasanya yang melakukan adalah para
isteri, sembari melegitimasi ungkapan itu dengan dalil agama, bahwa wanita bertanggung
jawab atas urusan di dalam rumah. Apabila para isteri menerima pembagian peran seperti
ini atas dasar keikhlasan tanpa keterpaksaan, tentulah akan berjalan dengan lancar dan
tidak akan menimbulkan masalah.
Untuk itulah, hendaknya rumah tangga Islam harus mengedepankan suasana kehangatan,
keterbukaan, kekompakan, dan kebersamaan di dalamnya.
Kerangka cinta, itulah yang diperlukan dalam setiap rumah tangga. Dengan cinta,
seorang suami bisa menunaikan kewajibannya dengan penuh semangat dan pengorbanan.
Dengan cinta seorang suami akan optimal bekerja mencari nafkah, memberikan waktu,
tenaga, harta dan perhatian utamanya untuk mengelola keluarga.
Dengan cinta seorang isteri bersedia melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan
ringan dan tanpa rasa keterpaksaan. Ia didik anak-anak dengan sepenuh cinta, ia siapkan
keperluan suami dengan penuh cinta. Ia mengatur rumah tangga, menata taman, menata
ruangan-ruangan dalam rumah, memberikan hiasan, semua dikerjakan dengan cinta.
Mereka berinteraksi satu sama lain dengan bahasa cinta.
Rumah tangga cinta, itulah sebutan bagi mereka. Suasana yang menyelimuti mereka
setiap harinya adalah cinta.
Isteri yang tersenyum ceria mengantar kepergian dan menyambut kedatangan suami,
bukanlah karena kewajiban, tetapi karena cinta.
Seorang suami yang membelai rambut isterinya, mengucapkan kata-kata pujian dan
ungkapan kebahagiaan, bukan karena kewajiban, tetapi karena cinta.
Isteri yang membantu suami menyiapkan keperluannya, merapikan jas dan dasi suami,
menyiapkan tas kerja suami., bukanlah karena kewajiban, tetapi cinta.
Anak-anak yang demikian taat dan patuh kepada orang tua, membahagiakan kedua orang
tua, bukan dengan bahasa kewajiban tetapi dengan penuh kecintaan.
Ayah yang memperhatikan pendidikan anak, membimbing mereka untuk mentaati Allah,
mengajari mereka prinsip-prinsip aqidah dan ibadah, membentuknya berakhlaq karimah,
semua dengan landasan cinta.
Suami yang menegur isterinya karena ada perbuatan yang tidak pantas dilakukan sebagai
muslimah, teguran dilakukan bukan karena tengah mengerjakan kewajiban, tetapi tengah
mengekspesikan cinta.
Isteri yang menyimpan cemburu kepada suami, karena khawatir melakukan
penyimpangan dengan wanita lain, lalu ia memberikan peringatan agar suami berhati-hati,
adalah ekspresi cinta dari isteri.
Rumah tangga dipenuhi cinta, ekspresinya ada pada semua titik interaksi mereka.

Cinta ?

Cinta tidaklah berdiri sendiri, ia memerlukan sejumlah kerangka dan penyangga, atau
juga landasan untuk tempatnya tumbuh dan berkembang.
Cinta bukanlah sesuatu yang netral, ia memiliki nilai. Cinta tidak pernah bebas nilai,
Islam tidak mengenal cinta untuk cinta
Akan tetapi Islam mengenal cinta karena Allah, cinta untuk Allah, cinta demi Allah.

4 (empat) kerangka penting yang hendaknya bisa menjadi basis kokoh bagi setiap
rumah tangga Islam dalam mengarungi kehidupan cinta mereka.
1. Cinta harus Muncul dari Ketundukan kepada Syariat Allah

Allah SWT menetapkan seperangkat aturan hanyalah untuk kebaikan hidup manusia.
Di antaranya mengatur tentang aturan-aturan kerumahtanggaan.
Allah menurunkan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh, sehingga tidak ada
satu persoalan pun yang menyangkut kehidupan yang tidak diatur oleh Islam. Allah Taala
berfirman : Dan Kami turunkan kepadamu Kitab sebagai penjelas segala sesuatu (An
Nahl : 89).
Adanya aturan ini tidaklah untuk sekedar diketahui atau dipahami, akan tetapi harus
diaplikasikan dalam kehidupan. Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr radhiyallahu
anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : Apa yang
aku larang dari kalian hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan untuk kalian
maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ketundukan kepada wilayah syariat ini menjadi ciri pertama dan utama rumah tangga
Islami dibandingkan dengan rumah tangga yang lainnya.
Demikian juga dalam mengarungi kehidupan dalam rumah tangga, segala corak
kehidupan mereka senantiasa diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Islam. Semenjak bagaimana pembagian peran antara suami dengan isteri, cara
berkomunikasi, sampai hal-hal renik kerumahtanggaan seperti hubungan suami isteri,
makanan, hiburan, hiasan, penataan rumah, dan lain sebagainya, harus diselaraskan
dengan syariat Allah.
Syariat inilah yang akan bisa memberikan arah serta tujuan yang jelas bagi perjalanan
kehiduan rumah tangga.
Syariat ini pula yang akan sanggup menyelesaikan permasalahan-permasalahan
kehidupan rumah tangga, dengan mengembalikan kepada kaidah-kaidah yang kokoh serta
telah teruji.
Allah Ta'ala telah memberikan ketetapan yang amat kokoh, tentang sifat cinta, kasih dan
sayang di antara suami isteri :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang" (Ar Rum
: 21).
Ikatan cinta karena Allah diantara suami istri, menjadi modal penting dalam menegakkan
rumah tangga da'wah.
Sepenggal episode kisah kasih keluarga Rasul, menjadi teladan tentang menempatkan
cinta antara suami istri.
Kisah para istri Rasul ketika mendengar kemenangan dan banyaknya harta rampasan
yang diperoleh umat islam. Hingga terbetiklah keinginan dalam diri mereka untuk sedikit
mereguk kenikmatan duniawi dengan kenaikan anggaran belanja. Namun apa yang
dilakukan oleh Rasul saw dengan tuntutan para istri ? Setelah berdiam diri sekian lama,
datanglah keputusan dari Allah untuk para istri itu agar memilih antara Allah dan Rasul,
atau harta benda dunia. "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Jika kamu sekalian
menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian

menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat,


maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa saja yang berbuat
baik di antara kamu" (Al Ahzab : 28 29).
Apakah Rasul tidak mencintai para istrinya termasuk 'Aisyah ?
Apakah tidak senang menggembirakan para istrinya dengan kecukupan harta ?
Beliau lebih mendahulukan hak-hak umat daripada keluarganya atau sekedar
membuktikan cinta pada para istri dalam bentuk kecukupan harta.
Dalam aplikasi kehidupan keseharian, apabila tindakan suami dan isteri di rumah tangga
berdasarkan dorongan cinta, akan menyebabkan kekokohan dan kemesraan hubungan di
antara anggotanya.

2. Cinta Menghajatkan Keadilan

Keluarga tidaklah cukup bermodalkan cinta. Pada kenyataannya cinta bisa terkikis habis
oleh adanya kesewenangan, kezhaliman atau ketidakadilan.
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan, dan memusuhi segala bentuk
kezhaliman, baik di bidang politik, pemerintahan, sosial, ekonomi, maupun keluarga.
Islam menghendaki rumah tangga tegak di atas prinsip keadilan. Perhatikan penggunaan
kata al qiwamah (kepemimpinan) yang muncul sebanyak 3 kali dalam Al Qur'an, yaitu :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita" (An Nisa': 34)
"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah " (An Nisa': 135).
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan keadilan karena Allah" (Al Maidah : 8).
Dengan demikian kepemimpinan mengharuskan sikap adil terhadap yang dipimpin.
Suami harus mampu menegakkan keadilan dalam menata dan membagi peran dalam
rumah tangga.
Cinta harus dijaga dengan keadilan. Apabila keadilan telah hilang, maka cintapun akan
sirna. Suami yang semula mencintai dan dicintai isterinya, tatkala melakukan
kesewenang-wenangan, akan menghancurkan bangunan cinta yang telah dibangunnya.
Isteri yang berlaku zhalim terhadap suami, akan merusakkan nilai cinta yang telah dijaga
dan dirawat selama hidup berumah tangga. Pengkhianatan, penyelewengan, tindak
kekerasan baik yang mengenai fisik maupun mental, adalah contoh ketidakadilan yang
akan menghilangkan cinta dan kasih sayang.

3. Cinta Mengharuskan Keterbukaan dan Musyawarah

Agar bisa berlaku adil dalam memimpin, sehingga kepemimpinannya layak ditaati,
diperlukan prinsip syura.
Dalam keluarga, Islam menuntunkan umatnya untuk membina kehidupan di atas prinsip
syura.
Yusuf Qardhawi : "Nash-nash syari'at menolak adanya paksaan seorang ayah untuk
menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putri itu masih gadis.
Sebaliknya Islam mewajibkan agar anak gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu,
maka keizinannya adalah diamnya".
Rasul saw memerintahkan kepada wali pihak wanita (yaitu ayah) untuk bermusyawarah
dengan ibu wanita tersebut dalam urusan pernikahannya.

Suami dituntunkan melakukan musyawarah dengan isteri untuk menikahkan anak


gadisnya, sebagaimana hadits, "Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isteri kalian)
dalam urusan anak-anaknya" (Riwayat Imam Ahmad).

Al Qur'an menyebutkan pentingnya syura dan saling ridha antara suami dan isteri dalam
kaitan dengan menyusui anak dan menyapih, meski setelah cerai di antara keduanya
sekalipun: "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya" (Al Baqarah: 233).
Hendaknya suami membiasakan meminta pendapat dari isteri dan anak-anak dalam suatu
musyawarah yang penuh keterbukaan. Bagaimana sebaiknya menata taman dan ruanganruangan, apa warna cat rumah kesukaan mereka, apa koran dan majalah yang akan dibaca
dan dijadikan langganan, apa acara televisi yang layak disaksikan anggota keluarga.
Musyawarah bisa terjadi dalam suasana yang formal, seperti rapat keluarga, atau dalam
suasana santai saat mengobrol di rumah bersama semua anggota keluarga.
Nabi Ibrahim as tatkala mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, ia
mengungkapkan hal itu dalam bentuk kalimat istisyarah, meminta pendapat atau
pertimbangan. Beliau bertanya kepada Ismail, Sesungguhnya aku melihat dalam
mimpiku bahwa aku menyembelihmu, maka bagaimanakah pendapatmu? Ibrahim tidak
mengatakan, Sesungguhnya aku diperintah Allah untuk menyembelihmu, maka
bersiaplah segera. Luar biasa pembiasaan Nabi Ibrahim dalam bermusyawarah dengan
keluarganya.
Apabila rumah tangga tidak dibangun di atas keterbukaan dalam berhubungan satu
dengan yang lain, permasalahan akan cenderung menumpuk dan pada akhirnya sulit
untuk diselesaikan.

4. Cinta Memerlukan Kepercayaan dan Kesetiaan

Saling percaya dan setia adalah pengunci cinta, tanpa kepercayaan dan kesetiaan, cinta
akan kehilangan makna.
Suami dan isteri yang telah terikat oleh janji setia saat akad nikah, mereka terikat oleh
sebuah perjanjian yang sakral (mitsaqan ghalizha) untuk saling mempercayai dan tidak
mengkhianati satu sama lain.
Untuk bisa mendapatkan kesetiaan dari pasangan, masing-masing harus memulai dari
dirinya sendiri. Suami harus memberikan keteladanan dengan memulai dari dirinya
sendiri. Rasulullah saw bersabda : Jagalah kehormatan dirimu, niscaya isterimu akan
menjaga kehormatan dirinya (Riwayat Thabrani).
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina atau wanita
musyrik, dan wanita yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik (An Nur: 3).
Ketika mengomentari ayat di atas Al Maraghi menulis dalam tafsirnya, Sesungguhnya
lelaki yang fasiq lagi suka berbuat jahat, karena itu ia suka berzina dan melakukan
perbuatan dosa, maka tidak akan suka menikah dengan wanita-wanita shalihah. Ia
menyukai menikah dengan wanita fasiq lagi jahat atau wanita musyrik yang sama
dengannya. Demikian pula wanita-wanita fasiq tidak akan menyukai menikah dengan
laki-laki yang shalih. Mereka memilih menikah dengan lelaki fasiq yang sama dengan
dirinya. Hal ini sesuai dengan pepatah masyarakat Arab: burung-burung akan nyaman
dengan sejenisnya.

Renungan dan Evaluasi

Apakah rumah tangga anda termasuk rumah tangga atas nama cinta?
Sudah berapa lamakah anda membangun rumah tangga, dan apa capaian yang sudah anda
dapatkana selama ini?
Cobalah renungkan, dan kemudian jawab pertanyaan berikut:
Pertama, apakah anda memahami syariat berumah tangga? Apakah anda sudah mengerti
aturan Islam dalam kehidupan rumah tangga? Apakah anda merasa sudah
mengaplikasikan syariat Islam dalam rumah tangga? Apakah masih ada syariat yang
belum teraplikasikan dalam rumah tangga anda? Apakah masih ada syariat yang
dilanggar dalam rumah tangga anda? Siapa saja anggota rumah tangga anda yang
melakukan pelanggaran syariat? Siapa saja anggota rumah tangga anda yang tidak mau
mentaati ketentuan syariat?
Kedua, apakah anda memahami prinsip keadilan dalam rumah tangga? Apakah anda
merasa telah mengaplikasikan prinsip keadilan dalam rumah tangga anda? Apakah anda
telah membagi peran dalam rumah tangga secara adil? Apakah anda mengalami kendala
dalam mengaplikasikan prinsip keadilan dalam rumah tangga?
Ketiga, apakah telah ada suasana keterbukaan dalam rumah tangga anda? Apa indikasi
bahwa anggota rumah tangga anda telah memiliki sikap yang saling terbuka? Apakah
telah ada tradisi musyawarah dalam kehidupan rumah tangga anda? Hal-hal apa saja yang
senantiasa anda musyawarahkan? Dengan siapa saja anda terbiasa melakukan
musyawarah di rumah tangga anda? Apakah semua anggota rumah tangga anda telah
mengerti pentingnya keterbukaan dan musyawarah?
Keempat, apakah anda merasa setia terhadap pasangan anda? Apa indikasi kesetiaan anda
terhadap pasangan anda? Pernahkah anda merasa mengkhianati pasangan anda? Kapan
anda mengkhianati pasangan anda? Apa bentuk pengkhianatan anda? Tahukah pasangan
anda bahwa anda telah mengkhianatinya? Bagaimana reaksinya ketika pasangan anda
mengetahui? Apakah anda sepenuhnya mempercayai pasangan anda? Apa bentuk
kepercayaan anda kepada pasangan anda?
Cobalah anda merenung sejenak, lakukan bersama pasangan anda. Cobalah menjawab
beberapa pertanyaan di atas sejujurnya. Agar anda mengetahui apakah cinta telah
melingkupi rumah tangga anda.

Vous aimerez peut-être aussi