Vous êtes sur la page 1sur 26

REFERAT

Insect Bite

Oleh :
Shopy Imanuella Valentina M,S.Ked
FAB 115 007

Pembimbing :
dr. Tagor Sibarani
dr. Sutopo, Sp. RM

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian


Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY


MEDICINE
FK UNPAR/RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA
2016
1

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Shopy Imanuella Valentina M,S.Ked

NIM

: FAB 115 007

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Palangka Raya

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Periode Kepaniteraan Klinik : Agustus-September 2016


Judul Makalah

: Insect Bite

Diajukan

: Oktober 2016

Pembimbing

: dr. Tagor Sibarani

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL :

Oktober 2016

Disetujui :
Pembimbing Materi

dr. Tagor Sibarani

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................
2
2.1. Definisi.............................................................................................................
3
2.2. Epidemiologi.....................................................................................................
5
2.3. Etiologi.............................................................................................................
7
2.4. Patofisiologi .....................................................................................................
10
2.5. Manifestasi Klinis...............................................................................................
6

2.6. Pemeriksaan Penunjang .....................................................................................


9
2.7. Diagnosis ............................................................................................................
10
2.8. Penatalaksanaan..................................................................................................
11
2.9. Prognosis.............................................................................................................
15
BAB III. PENUTUP...................................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
17

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Rehabilitasi Medik dan emergency medicine di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya periode Oktober 2016.

Terima kasih terutama kepada orang tua, yang selalu memberikan


dukungan dan doa, serta untuk teman-teman sekelompok, yaitu dokter-dokter
muda bagian/ ini yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan referat ini.
Terima kasih untuk waktu dan semua bantuan yang telah teman-teman berikan.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebanyakbanyaknya kepada pembimbing referat ini dr. Tagor Sibarani yang dengan sabar
dan tekun dalam membimbing penulis untuk penulisan referat yang berjudul
Insect Bite ini.
Penulis sadar dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat
kekurangan, semoga dalam penulisan selanjutnya, penulis dapat lebih baik lagi.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya referat ini dapat berguna
dan membantu generasi dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswamahasiswi jurusan kesehatan

lain yang sedang dalam proses menempuh

pendidikan serta berguna sebagai referensi dan sumber bacaan untuk menambah
ilmu pengetahuan.
Palangka Raya, Oktober 2016

Shopy Imanuella Valentina M.S.ked

BAB I
PENDAHULUAN
Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang
disebabkan oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan
terjadi saat serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga
tersebut mencari makanannya. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan
dan bengkak di lokasi yang tersengat. Kebanyakan gigitan dan sengatan dilakukan

untuk pertahanan. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun)
yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi
kepada penderita. Namun pengetahuan ilmiah mengenai alergi terhadap gigitan
serangga masih terbatas. Reaksi yang dapat terjadi dari gigitan serangga
dilaporkan terjadi setelah digigit adalah reaksi anafilaksis. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan.
Insidens syok anafilaktik 40 60 persen adalah akibat gigitan serangga.
Gigitan serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak dari syok
anafilaktik. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Insect bite ( gigitan serangga) adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau allergen yang dikeluarkan
artropoda penyerang.
Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan
oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat
serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari
makanannya.
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis)
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu
reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis
dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2.2 Epimediologi
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di
sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih
rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti
tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain.1
2.3 Etiologi
Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki
tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh
7

bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Insekta merupakan


golongan hewan yang memiliki jenis paling banyak dan paling beragam. Oleh
karena itu, kontak antara manusia dan serangga sulit dihindari. Paparan terhadap
gigitan atau sengatan serangga dan sejenisnya dapat berakibat ringan atau hampir
tidak disadari ataupun dapat mengancam nyawa.
Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan non-venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah. Ini
merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara
menyuntikkan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga
yang tidak beracun menggigit atau menembus kulit dan masuk menghisap darah,
ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal.1
Ada 30 lebih jenis serangga tetapi hanya beberapa saja yang bisa menimbulkan
kelainan kulit yang signifikan. Kelasa arthopoda yang melakukan gigitan dan
sengatan pada manusia terbagi atas :
1. Kelas Arachnida
a. Acarina
b. Araniae (Laba-laba)
c. Scorpionidae (Kalajengking)
2. Kelas Chilopoda (Lipan) dan Diplopoda (Luing)
3. Kelas Insekta
a. Anoplura (Pthyreus pubis, Pediculus humanus, Capitis et corporis)
b. Coleoptera (Kumbang)
c. Dipthera (Nyamuk dan Lalat)
d. Hemiptera (Kutu busuk)
e. Hymenoptera (Semut, Lebah dan Tawon)
f. Lepidoptera (Kupu-kupu)
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.

Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,


obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.

2.4. Patofisiologi
Coomb

dan

Gell

(1963)

mengelompokkan

anafilaksis

dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui


2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu
selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya
gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks

(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi,

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

yang

nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan


permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

10

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

2.5. Manifestasi Klinis

11

Anafilaksis biasanya memberikan berbagai gejala yang berbeda dalam


hitungan menit atau jam. Gejala akan muncul rata-rata dalam waktu 5 sampai 30
menit bila penyebabnya suatu zat yang masuk ke dalam aliran darah secara
langsung (intravena). Daerah yang umumnya terkena efek adalah: kulit (8090%),
paru-paru dan saluran napas (70%), saluran cerna (3045%), jantung dan
pembuluh darah (1045%), dan sistem saraf pusat (1015%). Biasanya dua sistem
atau lebih ikut terlibat.

Kulit

Kaligata dan kemerahan pada punggung seorang yang terkena anafilaksis.


Gejala khas termasuk adanya tonjolan di kulit (kaligata), gatal-gatal, wajah dan
kulit kemerahan (flushing), atau bibir yang membengkak. Bila mengalami
pembengkakan di bawah kulit (angioedema), mereka tidak merasa gatal tetapi
kulitnya terasa seperti terbakar. Pembengkakan lidah atau tenggorokan dapat
terjadi pada hampir 20% kasus. Gejala lain adalah hidung berair dan
pembengkakan membran mukosa pada mata dan kelopak mata (konjungtiva).
Kulit mungkin juga kebiruan (sianosis) akibat kekurangan oksigen.

Saluran napas

12

Gejala saluran napas termasuk napas pendek, sulit bernapas dengan napas
berbunyi bernada tinggi (mengi), atau bernapas dengan napas berbunyi bernada
rendah (stridor). Mengi biasanya disebabkan oleh spasme pada otot saluran napas
bawah (otot bronkus). Stridor disebabkan oleh pembengkakan di bagian atas, yang
menyempitkan saluran napas. Suara serak, nyeri saat menelan, atau batuk juga
dapat terjadi.

Jantung
Pembuluh darah jantung dapat berkontraksi secara tiba-tiba (spasme arteri
koroner) karena adanya pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung. Keadaan
ini mengganggu aliran darah ke jantung, dan dapat menyebabkan kematian sel
jantung (infark miokardium), atau jantung berdetak terlalu lambat atau terlalu
cepat (distrimia jantung), atau bahkan jantung dapat berhenti berdetak sama sekali
(henti jantung). Seseorang dengan riwayat penyakit jantung sebelumnya memiliki
risiko lebih besar mengalami efek anafilaksis terhadap jantungnya.
Meskipun lebih sering terjadi detak jantung cepat akibat tekanan darah
rendah, 10% orang yang mengalami anafilaksis dapat memiliki detak jantung yang
lambat (bradikardia) akibat tekanan darah rendah. (Kombinasi antara detak
jantung lambat dan tekanan darah rendah dikenal sebagai refleks BezoldJarisch).
Penderita dapat merasakan pening atau bahkan kehilangan kesadaran karena
turunnya tekanan darah. Turunnya tekanan darah ini dapat disebabkan oleh
melebarnya pembuluh darah (syok distributif) atau karena kegagalan ventrikel
jantung (syok kardiogenik). Pada kasus yang jarang, tekanan darah yang sangat
rendah dapat merupakan satu-satunya tanda anafilaksis.

13

Lain-lain
Gejala pada perut dan usus dapat berupa nyeri kejang abdomen, diare, dan
muntah-muntah. Penderita mungkin mengalami kebingungan (confusion), tidak
dapat mengontrol berkemih, dan dapat juga merasa nyeri di panggul yang terasa
seperti mengalami kontraksi rahim.Melebarnya pembuluh darah di otak dapat
menyebabkan sakit kepala.Penderita dapat juga cemas atau merasa seperti akan
mati.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan

laboratorium

diperlukan

karena

sangat

membantu

menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan


digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut.
Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal
(SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.

14

2.7. Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau keduaduanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal

15

2.8. Penatalaksanaan
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu
bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan

16

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk


mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian

intramuskuler.

Pada

pasien

dalam

keadaan

syok,

absorbsi

intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

17

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan


tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi
dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl
0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi
teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin.
Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg
secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid

digunakan

untuk

menurunkan

respon

keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan

18

hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin
intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6
mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc
dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin
1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg
bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%
dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus
dengan dextrosa 5%.

Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

19

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan

pilihan

pertama

dalam

melakukan

resusitasi

cairan

untuk

mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan


plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.

20

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

21

2.9. Prognosis
Penanganan

yang

cepat,

tepat,

dan

sesuai

dengan

kaedah

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

22

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi


anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

23

BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka
mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering salah satunya adalah racun serangga.
Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.
24

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase


sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai
dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung
berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau
keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu
syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan
allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung
paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring
keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book
ofCritical care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William
C.Shoemaker 4th edWB Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions.
In

:International

edition

Emergency

Medicine.Eds

:Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp


242-6
25

3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9


4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In :
Update

on Shock.Pertemuan

Ilmiah Terpadu.Fakultas

Kedoketran

Universitas Airlangga Surabaya.


5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies,
Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.

26

Vous aimerez peut-être aussi

  • Rhinitis
    Rhinitis
    Document10 pages
    Rhinitis
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Gross Distortions of Reality Yang Terjadi Kurang Dari Satu Bulan
    Gross Distortions of Reality Yang Terjadi Kurang Dari Satu Bulan
    Document23 pages
    Gross Distortions of Reality Yang Terjadi Kurang Dari Satu Bulan
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Varicela Belum Edit
    Varicela Belum Edit
    Document4 pages
    Varicela Belum Edit
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Radiologi
    Radiologi
    Document11 pages
    Radiologi
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Bab II Ikm
    Bab II Ikm
    Document11 pages
    Bab II Ikm
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • PORTOFOLIO IGD Sirosis Hepatis
    PORTOFOLIO IGD Sirosis Hepatis
    Document35 pages
    PORTOFOLIO IGD Sirosis Hepatis
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Referat Insect Bite
    Referat Insect Bite
    Document26 pages
    Referat Insect Bite
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Vertigo Belum Edit
    Vertigo Belum Edit
    Document12 pages
    Vertigo Belum Edit
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Sitasi 2
    Sitasi 2
    Document12 pages
    Sitasi 2
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Limp Oma
    Limp Oma
    Document2 pages
    Limp Oma
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Luka Ba
    Luka Ba
    Document7 pages
    Luka Ba
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Pielonefritis Refrat
    Pielonefritis Refrat
    Document21 pages
    Pielonefritis Refrat
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • SDGs Adalah
    SDGs Adalah
    Document13 pages
    SDGs Adalah
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Referat Miopia
    Referat Miopia
    Document11 pages
    Referat Miopia
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Rhinitis Akut
    Rhinitis Akut
    Document2 pages
    Rhinitis Akut
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Limfadenitis
    Limfadenitis
    Document8 pages
    Limfadenitis
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Miopia
    Miopia
    Document6 pages
    Miopia
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Urt Ikaria
    Urt Ikaria
    Document10 pages
    Urt Ikaria
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Epista Ks Is
    Epista Ks Is
    Document9 pages
    Epista Ks Is
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Disentri Basiler
    Disentri Basiler
    Document4 pages
    Disentri Basiler
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Epista Ks Is
    Epista Ks Is
    Document9 pages
    Epista Ks Is
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Limp Oma
    Limp Oma
    Document2 pages
    Limp Oma
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Isk Pielonefritis Tanpakomplikasi
    Isk Pielonefritis Tanpakomplikasi
    Document2 pages
    Isk Pielonefritis Tanpakomplikasi
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Urt Ikaria
    Urt Ikaria
    Document10 pages
    Urt Ikaria
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Abses Folikel Rambut
    Abses Folikel Rambut
    Document3 pages
    Abses Folikel Rambut
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Miopia
    Miopia
    Document6 pages
    Miopia
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Miopia
    Miopia
    Document6 pages
    Miopia
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Hipermetropi
    Hipermetropi
    Document3 pages
    Hipermetropi
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation
  • Limp Oma
    Limp Oma
    Document2 pages
    Limp Oma
    Shopy Imanuella Valentina M
    Pas encore d'évaluation