Vous êtes sur la page 1sur 26

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi jamur kulit merupakan kasus yang masih sering dijumpai di Indonesia
yang adalah negara tropis beriklim panas dan lembab. Ditambah lagi di negara
berkembang seperti Indonesia ini sanitasi yang baik masih belum dijumpai secara
menyeluruh dalam semua lapisan masyarakat. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi
yang rendah juga semakin membuat insiden infeksi jamur kulit masih tinggi1
Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di
daerah lain seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Manado, keadaannya
kurang lebih sama, yakni menempati urutan kedua sampai keempat terbanyak
dibandingkan golongan penyakit lainnya.2
Infeksi jamur kulit superfisialis yang masih sering ditemui adalah kasus - kasus
Dermatofitosis. Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan
Epidermophyton spp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk
yakni, epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ), rambut ( Tinea
kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ). 3 Dermatofitosis ini terjadi oleh karena terjadi
inokulasi jamur pada tempat yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan
maserasi atau ada trauma sebelumnya. Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit
ini.3
Melihat fakta tersebut maka penting bagi seorang dokter umum untuk memiliki
kompetensi dalam mendiagnosis dan mengobati infeksi jamur kulit secara menyeluruh.
Ditambah lagi sebenarnya penyakit ini dapat mudah diobati asal pasien memiliki
kepatuhan dan ketekunan yang baik dalam menjalani pengobatan. Dalam daftar Standard
Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2013 Tinea Korporis merupakan salah satu penyakit
yang memiliki level kompetensi 4.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinea Kruris
2.1.1 Definisi
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada
daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah
sekitarnya.4 Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya tinea kruris :

Gambar 2.1. Predileksi tinea kruris4


2.1.2 Sinonim
Sinonim dari tinea kruris adalah eksema marginatum, Dhobie itch, Jockey itch,
Ringworm of the goin.5
2.1.3 Epidemiologi
Pada umumnya tinea kruris ini menyerang kebanyakan pada pria dewasa,
terutama pada individu dengan obesitas atau pada individu yang sering menggunakan
pakaian ketat. Pengaruh ras/bangsa tidak berpengaruh, hampir seluruh dunia. Paling
banyak mengenai daerah tropis karena tingkat kelembapannya yang tinggi dan dapat
memicu pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor predisposisi penyakit ini.
Higiene dan sanitasi yang tidak dijaga dengan baik juga mempengaruhi pertumbuhan

infeksi jamur dermofita. Untuk faktor keturunan tidak ada hubungannya dengan penyakit
ini.6

2.1.4 Etiologi
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita
adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti,
yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Penyebab tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum, namun dapat
pula oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton
verrucosum.4 Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai
daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang
lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan stratum basalis. Selain
sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali,
taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab
penyakit. Jamur ini mudah hidup pada medium dengan variasi pH yang luas. Jamur ini
dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan suatu kelainan apapun di dalam
berbagai organ manusia atau hewan. Pada keadaan tertentu sifat jamur dapat berubah
menjadi patogen dan menyebabkan penyakit bahkan ada yang berakhir fatal. Beberapa
jamur hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainnya terutama menyerang
hewan (zoofilik) walau kadang-kadang bisa menyerang manusia. Apabila jamur hewan
menimbulkan lesi kulit pada manusia, keberadaan jamur tersebut sering menyebabkan
terjadinya suatu reaksi inflamasi yang hebat. Penularan biasanya terjadi karena adanya
kontak dengan debris keratin yang mengandung hifa jamur.7
2.1.5 Patofisiologi
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang
dihinggapi jamur, pakaian, dan debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea
pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang
mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi
3

dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan
menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum
korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi
(ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu
reaksi peradangan.
2.1.6

Faktor Risiko
Faktor risiko adalah faktor yang dapat mempermudah timbulnya suatu penyakit.

Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu
1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur
- Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan keseimbangan
-

antara jamur dan bakteri terganggu.


Adanya penyakit diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana

yang menyuburkan jamur.


2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang menurun.
- Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh cairan
yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki, kencing
pada pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur di sudut
-

mulut orang lanjut usia.


Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan, diabetes
mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang menyuburkan jamur.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:


a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain
dalam

hal

afinitas

misalnya: Trichopyhton

terhadap

manusia

rubrum jarang

maupun
menyerang

bagian-bagian

dari

tubuh

rambut, Epidermophython

fluccosum paling sering menyerang lipat paha bagian dalam.


b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari
paling sering terserang penyakit jamur.
4

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering
ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
e. Faktor umur dan jenis kelamin.
2.1.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Dari anamnesis, penderita dengan tinea cruris mengeluh gatal dan kemerahan di
daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu berkeringat
sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal di derah lipat paha,
sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk kemudian
timbul erosi dan infeksi sekunder.4 Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki
keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes
mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan
individu yang beresiko terkena dermatophytosis.
b. Pemeriksaan fisik
Kelainan kulit yang tampak pada tinea kruris pada sela paha merupakan lesi berbatas
tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut atau menahun. 8
Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas, dapat meliputi
skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), polisiklis, ditutupi
skuama dan kadang-kadang dengan banyak vasikel kecil-kecil.9

Gambar 2.2 Tampak lesi aktif pada tinea kruris


Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Keluhan sering bertambah sewaktu
tidur sehingga digaruk-garuk dan timbul erosi dan infeksi sekunder.8 Pada infeksi akut,
ruam biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi kronik, permukaannya kering dengan
tepi papuler anular atau asiner. Area sentral hiperpigmentasi dan terdapat papul eritema
yang tersebar. Akibat pruritus dapat terjadi ekskoriasi, likenifekasi dan impetignisasi.
Infeksi kronik akibat pemakaian kortikosteroid topikal terlihat lebih eritem, batas kurang
tegas, dan terdapat pustul folikuler. Kurang lebih sebagian pasien dengan tinea kruris
juga menderita tinea pedis.7
c. Pemeriksaan penunjang
Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk mendiagnosis.
Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari
kerokan bagian tepi lesi dengan KOH dan biakan.4,8 Kadang kadang diperlukan
pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan
gelombang 3650 Ao.4
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH
10-15 % 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di
mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua
6

garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium
saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyoticmycosel)

untuk

menghindarkan

kontaminasi

bakterial

maupun

jamur

kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu


c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya
dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan
tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur
akan tampak coklat atau hitam
d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata.
2.1.8

Diagnosis Banding
Eritrasma: Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela
paha. Effloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi
merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. batas lesi tegas, jarang disertai infeksi,
flouresensi merah bata yang khas dengan sinar wood. Pemeriksaan dengan lampu
wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral red).8

Kandidiasis intertriginosa : kandidiasis adalah infeksi jamur dengan predileksi


lipatan kulit terutama aksila, gluteal, genitokrural, interdigiti, retroaurikuler,
perianal, yang sebagian besar disebabkan oleh spesies Candida terutama candida
albican, C. glabrata, C.tropicalis, C. krusei, C.dubliniensis, C.parapsilosis. Dari
anamnesis ditemukan bercak merah pada lipatan kulit, meluas, disertai bintikbintik merah kecil disekitarnya dengan keluhan sangat gatal dan rasa panas
seperti terbakar. Effloresensinya berupa bercak eritema, berbatas tegas, maserasi
disertai dengan lesi satelit vesikopustul.10

Psoriasis : Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema
batas tegas dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai fenomena
bercak lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak merah bersisik tebal,
kumat-kumatan, kadang gatal, dapat disertai nyeri sendi, dan dapat dicetuskan
oleh adanya stres psikologis, kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak eritema batas
tegas ditutupi skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis pada daerah
7

predileksi ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,


lumbosakral bagian bawah, pantat, dan genital.8
2.1.9 Pengobatan
Pada umumnya pengobatan untuk infeksi jamur dermatofitosis secara topikal saja
cukup, kecuali untuk lesi-lesi kronik dan luas serta infeksi pada rambut dan kuku yang
memerlukan pula pengobatan sistemik, oleh karena dermatofitosis merupakan penyakit
jamur superfisial.3
a. Pengobatan topikal
-

Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam


bentuk salep ( Salep Whitfield),

Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep


(salep 2-4, salep 3-10)

Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna


terhadap kasus-kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita atau
candida. Keduanya merupakan derivat azol broad-spectrum bekerja
menghambat sintesis ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding
sel jamur.

b. Pengobatan sistemik
-

Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa selama 3 minggu,


sedangkan dosis untuk anak-anak adalah 10-25 mg/kgBB sehari untuk
anak antara 15 sampai 25 kg berat badan, sedangkan untuk anak dengan
berat badan lebih dari 25 kg dapat diberikan antara 125/250 mg per hari.
Griseofulvin bersifat fungistik. Griseofulvin berikatan dengan sel
prekursor keratin sehingga secara bertahap diganti dengan jaringan yang
tidak terinfeksi dan sangat resisten terhadap invasi jamur/dermatofita.

Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten


terhadap griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol,
dll. Itrakonazol bersifat fungistik dan tergolong natifungi triazol sintetik.
Cara kerjanya adalah menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
menghambat sintetis ergosterol yang tergantung sitokrom P450.
Ergosterol ini merupakan komponen vital dari dinding sel jamur. Obat
antifungi ini telah banyak digunakan dan berdasarkan penelitian lebih
efektif dibandingkan griseofulvin. Itrakonazol dosis dewasa: 200 mg/hari,
8

dosis anak-anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan selama 1 minggu. 5,7 Dapat


juga diberikan Ketokonasol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6
mg/kgBB sehari untuk anak-anak lebih dari 2 tahun.
-

Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin, misalnya pada infeksi


dengan T. rubrum, dapat diberikan griseofulvin dengan dosis yang lebih
tinggi dan waktu yang lebih lama

Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.

Untuk maintenance pada infeksi kronik dapat digunakan obat dengan harga
murah seperti asam undesilinat atau golongan tolnaftat. Selain pengobatan kausatif
tersebut, penting juga diperhatikan pengobatan simtomatik untuk menanggulangi rasa
gatal, panas, maupun nyeri.
2.1.10 Pencegahan
Infeksi berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi
reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis, tinea unguium). Jamur
diduga berpindah ke sela paha melalui kuku jari-jari tangan yang dipakai menggaruk sela
paha setelah menggaruk kaki atau melalui handuk. Untuk mencegah infeksi berulang,
daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi
serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama.7
Disamping pengobatan, yang penting juga adalah nasehat kepada penderita
misalnya pada penderita dermatofitosis, disarankan agar :
1) Memakai pakaian yang tipis.
2) Memakai pakaian yang berbahan cotton.
3) Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah kelembaban
daerah sela paha.
4) Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha setelah
mandi,
5) Pasien dengan tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk
menurunkan berat badan,
6) Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk meminimalkan
kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha (autoinokulasi).
7) Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan daerah sela
paha, mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya tinea kruris.
2.1.11 Komplikasi

Pada penderita tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh
organisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat mengakibatkan
eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit menyebar. Pada infeksi jamur yang
kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.7
2.1.12 Prognosis
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan sosial
budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan kebersihan kulit
juga berpengaruh pada prognosis.3

2.2 Tinea Korporis


2.2.1 Definisi
Tinea korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita pada kulit halus
(glabrous skin) di daerah muka, leher, badan, lengan, dan gluteal.1
2.2.2 Sinonim
Sinonim dari tinea korporis adalah Tinea Sirsinata, Tinea Glabrosa, Scherende
Flechte, kurap, herpes sircine trichophytique.4
2.2.3 Etiologi
Penyebab tersering tinea korporis adalah Trichophyton rubrum (umum pada
daerah Eropa) dan Trichophyton mentagrophytes.(pada daerah Asia).4
2.2.4 Gejala
Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat.1
2.2.5 Gambaran Klinis
Kelainan yang dilihat dari tinea korporis dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif
( tanda peradangan lebih jelas ) yang sering disebut dengan Central Healing. Kadangkadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai
10

lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak
daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.5
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan
kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya
tinea cruris et corporis.5
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, hasil pemeriksaan sediaan
langsung yang positif dan biakan. Kadang kadang diperlukan pemeriksaan dengan
lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20%

bila positif memperlihatkan

elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora.2


Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada
waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. 5 Biakan memberikan hasil lebih
cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh
dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang ( 60%) bila dibandingkan dengan
cara pemeriksaan sediaan langsung.2
2.2.7 Diagnosis Banding
Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya,
namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya
dermatitis seboroika, dermatitis numularis, Liken Simplek Kronis, psoriasis, dan
pitiriasis rosea.5
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis,
biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp),
lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor,
misalnya lutut, siku, dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit
ini. Adanya lekukan-lakukan pada kuku dapat pula menolong untuk menentukan
diagnosis. Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada
11

tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa
herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan
laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 5 Psoriasis pada sela paha dapat
menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis biasanya lebih merah, skuama lebih
banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lesi dapat membantu menentukan
diagnosis. Kandidosis pada derah lipatan paha mempunyai mempunyai konfigurasi hen
and chiken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya fluor
albus dapat membantu pengarahan diagnosis. Pada penderita penderita diabetes
melitus, kandidosis merupakan penyakit yang sering dijumpai. Eritrasma merupakan
penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha. Effloresensi yang sama, yaitu eritema
dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda -tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan
dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral red).5
2.2.8 Pengobatan
a. Pengobatan topikal3
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam
bentuk salep ( Salep Whitfield).
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10)
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1% dll.
b. Pengobatan sistemik3
- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari.
Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan.
-

Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.

Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan deriivat azol
seperti itrakonazol, flukonazol dll.
2.2.9 Pencegahan
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea
korporis antara lain :6
12

a. Mengurangi kelembaban dari tubuh penderita dengan menghindari pakaian yang


panas (karet, nylon), memperbaiki ventilasi rumah dan menghindari berkeringat
yang berlebihan.
b. Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing, atau
kontak penderita lain.
c. Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki.
d. Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan.
e. Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelaian endokrin yang
lain, leukemia, harus dikontrol.
2.2.10 Prognosis
Prognosis pada umumnya baik.1,2,4

13

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama

: IWS

Umur

: 45 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Sanur

Suku

: Bali

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Hindu

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2015


3.2 Anamnesis
Keluhan Utama

Gatal di area dagu, punggung, lipatan paha, dan kaki kanan.


Riwayat Penyakit Sekarang:
Penderita mengeluh gatal pada dagu, punggung, lipatan paha, dan kaki kanan.
Keluhan pertama kali muncul kira-kira 1 tahun yang lalu. Pada awalnya bercak
muncul pada lipat paha kanan dan kiri, lalu ukuran bercak melebar dan meluas
sampai perut bagian bawah. Awalnya bercak tersebut disertai rasa gatal yang ia
rasakan hilang timbul dan rasa gatal tersebut makin hebat bila terkena keringat.
Setelah itu disusul oleh bercak yang disertai gatal pada area punggung dan kaki
kanan tetapi pasien mengaku tidak mengingat dengan jelas kapan tepatnya bercakbercak tersebut mulai muncul. Kemudian sekitar dua minggu sebelum pasien datang
ke poliklinik pasien merasakan gatal pada area dagu. Keluhan ini dikatakan sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.

Riwayat Pengobatan :
Sejak pertama kali keluhan muncul yaitu sekitar 1 tahun yang lalu, pasien
mengaku tidak pernah mencari pengobatan untuk meringankan keluhan. Namun pada
akhirnya pasien dan istrinya yang juga mengalami keluhan yang sama pergi ke dokter
14

umum pada tanggal 15 Mei 2015 untuk mengatasi keluhannya. Pasien didiagnosis
dermatitis kronis dan telah diberikan obat CTM, Deksametason, dan Zalf, kemudian
dirujuk ke RSUD Wangaya. Pasien mengatakan setelah pemakaian obat selama 3 hari
tidak terdapat perbaikan, dimana pasien masih merasakan gatal dan masih terdapat
bercak-bercak.
Riwayat Penyakit Terdahulu

Keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat penyakit sistemik dan alergi
disangkal.
Riwayat Penyakit dalam keluarga :
Pasien mengaku bahwa istri dan anak laki-laki pasien juga mengalami keluhan
yang sama dengan pasien. Istri pasien mengalami keluhan munculnya bercak yang dirasa
gatal pada area pantat dan lipatan paha sejak 10 hari yang lalu. Sedangkan anak laki-laki
pasien mengalami keluhan bercak yang gatal pada area punggung sejak 1 minggu yang
lalu. Riwayat penyakit sistemik dan alergi dalam anggota keluarga disangkal.
Riwayat sosial :
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien mengatakan bahwa kadangkadang ia bertukar handuk dengan keluarganya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Kondisi umum pasien baik. Demam (-), nyeri (-).
Status General
Tidak dievaluasi
Status Dermatologi
Lokasi

: mandibula

Effloresensi

: makula eritema, soliter, bentuk geografika, ukuran sekitar

4 x 2 cm, dengan batas tegas, disertai skuama putih tipis halus yang
menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus.

15

Gambar 3.1 Tampak lesi makula eritema pada dagu


Lokasi

: dorsum

Effloresensi

: plak eritema, multiple, lesi terpisah satu dengan yang

lain, bentuk geografika, ukuran sekitar 4 x 6 cm sampai 6 x 8 cm dengan


batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul
eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir
seluruh permukaan yang eritematus.

Gambar 3.2 Tampak lesi plak eritema pada punggung


Lokasi

: cruris D et S, suprapubis

Effloresensi

: plak eritema, soliter, bentuk geografika, ukuran sekitar

15 x 15 cm, batas tegas dengan tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema

16

diatasnya, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir seluruh
permukaan yang eritematus.

Gambar 3.3

Tampak lesi

plak eritema

dilapisi skuama

tipis pada regio

suprapubis

Gambar 3.4

Tampak lesi

plak

hiperpigmentasi

dilapisi

skuama tipis

pada cruris

sinistra et dextra

Lokasi
anterior
Effloresensi

kruris

dekstra
: plak hiperpigmentasi, multipel, lesi terpisah satu dengan

yang lain, bentuk geografika, ukuran sekitar 1 x 2 cm sampai 2 x 4 cm,


batas tegas dengan tepi lesi aktif, susunan menyebar, disertai skuama
putih tipis halus yang menutupi permukaan yang eritematus.

17

Gambar 3.5 Tampak lesi plak hiperpigmentasi dilapisi skuama tipis pada
kruris anterior dekstra

3.4 Diagnosis Banding


1. Tinea cruris et corporis
2. Psoriasis
3. Dermatitis Kontak
3.5 Pemeriksaan Penunjang
- KOH 10% didapatkan hifa sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat.

3.6 Resume
Penderita mengeluh gatal pada dagu, punggung, lipatan paha, dan kaki kanan.
Keluhan pertama kali muncul kira-kira 1 tahun yang lalu. Pada awalnya bercak muncul
pada lipat paha kanan dan kiri, lalu ukuran bercak melebar dan meluas sampai perut
bagian bawah. Awalnya bercak tersebut disertai rasa gatal yang ia rasakan hilang timbul
dan rasa gatal tersebut makin hebat bila terkena keringat. Setelah itu disusul oleh bercak
yang disertai gatal pada area punggung dan kaki kanan tetapi pasien mengaku tidak
18

mengingat dengan jelas kapan tepatnya bercak-bercak tersebut mulai muncul. Kemudian
sekitar dua minggu sebelum pasien datang ke poliklinik pasien merasakan gatal pada
area dagu. Keluhan ini dikatakan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
Sejak pertama kali keluhan muncul yaitu sekitar 1 tahun yang lalu, pasien
mengaku tidak pernah mencari pengobatan untuk meringankan keluhan. Namun pada
akhirnya pasien dan istrinya yang juga mengalami keluhan yang sama pergi ke dokter
umum pada tanggal 15 Mei 2015 untuk mengatasi keluhannya. Pasien didiagnosis
dermatitis kronis dan telah diberikan obat CTM, Deksametason, dan Zalf, kemudian
dirujuk ke RSUD Wangaya. Pasien mengatakan setelah pemakaian obat selama 3 hari
tidak terdapat perbaikan, dimana pasien masih merasakan gatal dan masih terdapat
bercak-bercak.
Pemeriksaan fisik
1. Status present : dalam batas normal
2. Status general : dalam batas normal
3. Status dermatologi :

Lokasi

: mandibula

Effloresensi

: makula eritema, soliter, bentuk geografika, ukuran sekitar

4 x 2 cm, dengan batas tegas, disertai skuama putih tipis halus yang
menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus.

Lokasi
Effloresensi

: dorsum
: plak eritema, multiple, lesi terpisah satu dengan yang

lain, bentuk geografika, ukuran sekitar 4 x 6 cm sampai 6 x 8 cm dengan


batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul
eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir

seluruh permukaan yang eritematus.


Lokasi
: cruris D et S, suprapubis
Effloresensi : plak eritema, soliter, bentuk geografika, ukuran sekitar
15 x 15 cm, batas tegas dengan tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema
diatasnya,, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir
seluruh permukaan yang eritematus.

Lokasi
Effloresensi

: kruris anterior dekstra


: plak hiperpigmentasi, multipel, lesi terpisah satu dengan

yang lain, bentuk geografika, ukuran sekitar 1 x 2 cm sampai 2 x 4 cm,

19

batas tegas dengan tepi lesi aktif, susunan menyebar, disertai skuama
putih tipis halus yang menutupi permukaan yang eritematus.
Pemeriksaan KOH 10% : tampak hifa sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat.

Gambar 3.6 (pembesaran 10x40) Tampak hifa


sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat.

3.7 Diagnosis Kerja


Tinea kruris et korporis
3.8 Penatalaksanaan
Topikal

Ketokonazol cream 2%

Oral/Sistemik

Ketokonazol tablet 1 x 200 mg

KIE

1. Pemakaian obat topikal digunakan pada lesi sampai 2 cm diluar lesi.


2. Menghindari pakaian yang panas (karet, nylon), memperbaiki ventilasi rumah
dan menghindari berkeringat yang berlebihan.
3. Meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan
4. Memperbaiki status gizi dalam makanan
5. Kontrol setelah 1 minggu
3.9 Prognosis
20

Prognosis dari kelainan ini adalah baik

BAB IV
PEMBAHASAN

21

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa penderita mengeluh gatal pada dagu,
punggung, lipatan paha, dan kaki kanan. Keluhan pertama kali muncul kira-kira 1 tahun
yang lalu. Pada awalnya bercak muncul pada lipat paha kanan dan kiri, lalu ukuran
bercak melebar dan meluas sampai perut bagian bawah. Awalnya bercak tersebut disertai
rasa gatal yang dirasakan hilang timbul dan rasa gatal tersebut makin hebat bila terkena
keringat. Setelah itu disusul oleh bercak yang disertai gatal pada area punggung dan kaki
kanan tetapi pasien mengaku tidak mengingat dengan jelas kapan tepatnya bercak-bercak
tersebut mulai muncul. Kemudian sekitar dua minggu sebelum pasien datang ke
poliklinik pasien merasakan gatal pada area dagu.
Keluhan gatal dan apabila lesi terkena keringat maka akan bertambah gatal
merupakan

keluhan

utama

yang

diakibatkan

oleh

infeksi

jamur

khususnya

dermatofitosis, dimana tinea kruris termasuk didalamnya. Penyakit berjalan perlahanlahan, sehingga butuh waktu lama untuk mendapatkan suatu gambaran lesi dengan
diameter yang besar. Pada pasien ini, lesi diawali dengan bercak eritema yang semakin
lama semakin membesar dan meluas mendukung bahwa disini terdapat tepi yang aktif,
memberikan gambaran klinis yang khas untuk infeksi tinea kruris. Selain itu untuk
mendukung hal tersebut perlu juga kita melihat status dermatologinya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah lipatan paha dan suprapubis
dengan memperhatikan sifat lesi yang ada, didapatkan efloresensi berupa plak eritema,
soliter, bentuk geografika, ukuran sekitar 15 x 15 cm, batas tegas dengan tepi lesi aktif
dengan papul-papul eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi
hampir seluruh permukaan yang eritematus. Gambaran eritema terlihat lebih jelas pada
pinggir-pinggir lesi, sementara pada bagian yang agak ke tengah warna plak lebih terlihat
hiperpigmentasi. Bentuk dan sifat lesi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
tinea kruris memiliki bentuk lesi berupa tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata
daripada daerah tengahnya) ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak vesikel
atau papul kecil-kecil. Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal, lama kelamaan
meluas, dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut
bawah. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit
sisik.
Pada pasien ini juga terdapat lesi dengan karakteristik yang sama pada area
punggung, kaki kanan dan dagu. Lesi pada area dagu muncul sejak dua minggu yang
lalu, sedangkan lesi pada area punggung dan kaki kanan sudah lama (pasien tidak
mengingat jelas kapan lesi pertama kali muncul). Infeksi jamur dermatofita pada kulit
22

halus (glabrous skin) di daerah muka, leher, badan, lengan, dan gluteal disebut tinea
korporis.
Tinea kruris et korporis didiagnosa banding dengan psoriasis dan dermatitis
kontak. Psoriasis memberikan gambaran klinis berupa bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama berlapis-lapis kasar di atasnya. Eritema berbatas tegas
dan merata, tetapi pada proriasis stadium penyembuhan ditemukan adanya eritema yang
terjadi hanya di pinggir sehingga gambaran klinis dapat menyerupai tinea korporis / tinea
kruris.

Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,

ekstremitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut dan daerah lumbosakral bagian
bawah, pantat, dan genital. Perbedaannya ialah keluhan pada dermatofitosis gatal sekali
(pada psoriasis biasanya gatal ringan) dan pada sediaan langsung ditemukan jamur.

Dermatitis kontak memiliki variasi gambaran klinis yang luas. Namun dengan
melakukan anamnesis yang cermat, diagnosis dermatitis kontak dapat dibuat dengan
adanya riwayat dengan bahan/substansi yang bersifat iritan ataupun alergen. Pada pasien
ini riwayat adanya kontak dengan substansi yang bersifat iritan ataupun alergen
disangkal, dengan begitu diagnosis dermatitis kontak tersingkir.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien ini berupa pemeriksaan
KOH 10 %. Dimana pada pemeriksaan KOH 10% pada lesi kulit yang diambil dari area
punggung dan kaki kanan tampak elemen jamur berupa hifa, sebagai dua garis sejajar
dan terbagi oleh sekat.
Diagnosis kerja pada kasus ini adalah tinea kruris et korporis yang didasari oleh
anamnesis, faktor resiko yang ditemukan, gambaran eflorosensi, dan pemeriksaan KOH.
Berdasarkan anamnesis, lesi pertama kali muncul di area lipatan paha kira-kira satu
tahun yang lalu, kemudian disusul oleh lesi di area kaki kanan, punggung, dan dagu. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa kelainan ini dapat terjadi pada bagian tubuh dan bersamasama dengan kelainan pada sela paha. Pada kasus ini diduga telah terjadi autoinokulasi
dari tinea kruris, karena berdasarkan anamnesis lesi pada area kruris adalah yang pertama
kali muncul. Transmisi bisa terjadi dari area berlesi ke area yang sebelumnya tidak
terdapat lesi melalui penggunaan handuk yang telah terkontaminasi. Bahkan diduga
transmisi juga bisa terjadi melalui tangan yang sebelumnya menggaruk area berlesi
kemudian berpindah ke area tubuh lainnya. Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah
riwayat penggunaan obat. Terapi yang tidak tepat pada kasus ini memudahkan
penyebaran jamur ke area yang bersih atau dengan kata lain memperluas lesi. Pada kasus

23

ini, penggunaan steroid tanpa indikasi diduga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perluasan lesi.
Pengobatan yang diberikan adalah ketokonazol tablet 1 x 200 mg dan
ketokonazol krim 2% dua kali sehari. Obat golongan azol bekerja dengan menghambat
sintesis ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding sel jamur. Penatalaksanaan
infeksi jamur tidak terlepas dari upaya pencegahan yang efektif. Pada pasien ini
disarankan untuk menjaga agar seluruh tubuh khususnya area selangkangan selalu bersih
dan kering untuk mencegah kolonisasi jamur. Selain itu, pasien juga sebaiknya
mengganti ukuran celana dalam karena kelembapan yang tinggi merupakan lingkungan
yang cocok untuk pertumbuhan jamur. Prognosis dari dermatofita bergantung pada
bentuk klinis, penyebab spesies dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial
budaya dan status imunologisnya. Tapi pada umumnya prognosis penyakit ini adalah
baik.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

24

4.1 Simpulan
Tinea kruris et korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita yang
terjadi pada bagian tubuh dan bersama-sama pada daerah lipatan paha. Gambaran
klinis bermula sebagai bercak eritematosa yang gatal dan lama kelamaan semakin
meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), polisiklis, ditutupi skuama, dan kadang-kadang dengan banyak vesikel
kecil-kecil. Pengobatan dapat diberikan secara topikal dan sistemik. Faktor-faktor
predisposisi terjadinya tinea adalah kelembapan dan kurangnya higiene perorangan.
Prognosis penyakit ini adalah baik.
4.2 Saran
Dalam pengobatan tinea kruris, tinea korporis, dan tinea fasialis, selain
pengobatan secara farmakologis, juga penting adanya KIE terhadap pasien dan
keluarganya terutama mengenai higiene perorangan, termasuk juga disiplin dalam
menjalani pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja,U.: Infestasi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta (1992).
2. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.

25

3. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar (2000).
4. R.S., Siregar, Prof.Dr, Sp.KK(K). 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Edisi II. EGC: Jakarta. Hal: 29-31.
5. Wiederkehr
M.
Tinea

Cruris.

Available

at:

www.emedicine.com/DERM/topic42.htm. Akses: 26 Januari 2015.


6. Wirya Duarsa. Dkk. 2000. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
7. Graham-Brown. 2002. British Journak of Dermatology, Vol 147, Issue 6 Page
1079.
8. Djuanda, Adhi. Dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Panduan praktek klinis SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah 2014.
10. Sularsito, Sri Adi. Dkk.: Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli Dermato
Venereologi Indonesia, Jakarta (1986).
11. Kasansengari, Urip Suherman. Dkk.: Kumpulan Naskah Simposium DermatoMikologi. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/ RS Dr. Soetomo, Surabaya (1982).

26

Vous aimerez peut-être aussi