Vous êtes sur la page 1sur 22

I.

ANALISIS MASALAH
1. Ny. M usia 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD dengan keluhan
sesak nafas sejak 6 jam yang lalu dan mengeluhkan ujung-ujung tangan dan
kakinya dingin. (VVV)
a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan pekerjaan terhadap kasus?1 2
3
b. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari sesak nafas pada kasus ? 4,5,6
c. Bagaimana makna klinis dari sesak nafas sejak 6 jam yang lalu?7,8,9
d. Apa makna klinis dari keluhan ujung-ujung tangan dan kakinya dingin?10,
1, 3
Jawab :
Keluhan ujung-ujung tangan dan kakinya dingin menunjukkan bahwa sudah
ada tanda-tanda dari syok anafilaktik. Histamin yang dikeluarkan
menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga tahanan pembuluh darah perifer
menurun. Hal ini menyebabkan perfusi jaringan ke perifer menurun dan
tidak mendapat suplai darah dan oksigen yang tidak adekuat.

e. Bagaimana mekanisme dari keluhan ujung-ujung tangan dan kakinya


dingin? 5,7,9
f. Bagaimana penanganan awal terhadap kasus?2,4,6

2. Sejak dua hari yang lalu pasien mengeluh demam dan batuk. Hari kedua demam
pasien berobat ke dokter dan mendapat obat kotrimoksazol tablet, parasetamol
tablet dan sirup obat batuk. (vv)
a. Bagaimana indikasi, kontraindikasi pemberian obat, farmakodinamik dan
farmakokinetik, efek samping,komplikasi dari kotrimoksazol?8,10,1
Jawab :
b. Bagaimana indikasi, kontraindikasi pemberian obat, farmakodinamik dan
farmakokinetik, efek samping,komplikasi dari parasetamol?4,7,10
;Jawab :
Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Universitas Sumatera
Utara Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu
Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG)
yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa. Semua obat analgetik non opioid bekerja
melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase
secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat
lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol
menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol
hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan
efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung
prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan

akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula

peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik.


Farmakokinetik

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian


umumnya akan mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa
biotransformasi, obat diekskresi dari tubuh. Seluruh proses inilah yang disebut
dengan proses farmakokinetik dan berjalan serentak. Di dalam tubuh manusia
obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya
obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati
celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler.
Pada pemberian obat secara oral, obat harus mengalami berbagai proses
sebagai berikut, antara lain :
a. Absorbsi
Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Absorbs kebanyakan
obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu
absorbsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam
lemak.
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan
mencapai kadar serum puncak dalam waktu 30 - 120 menit. Adanya makanan
dalam lambung akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol
lepas lambat.
b. Distribusi
Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain
tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya : jantung, hati,
ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase dua jauh lebih luas yaitu mencakup
jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada distribusi fase pertama
misalnya : otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
kesetimbangan setelah waktu yang lama.

Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan


tubuh. Lebih kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma.
c. Metabolisme
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati.
Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat
glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil,
dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah
parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang
diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina). Bila
pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI
ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera
dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme
cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI)
bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation
metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal.
d. Eliminasi
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh terdiri dari dua proses yaitu
metabolisme (biotransfromasi) dan ekskresi. Seperti halnya biotransformasi,
ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi
bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat
fisiokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, dan tekanan uap).
Parasetamol diekskresikan melalui urin sebagai metabolitnya, yaitu
asetaminofen glukoronoid, asetaminofen sulfat, merkaptat dan bentuk yang
tidak berubah.

Indikasi
Indikasi utama parasetamol yaitu digunakan sebagai obat penurun

panas (analgesik) dan dapat digunakan sebagi obat penghilang rasa sakit dari
segala jenis seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri
sehubungan dengan pilek, nyeri otot pasca-trauma, dan lain-lain. Sakit kepala

migrain, dismenore dan nyeri sendi juga dapat diringankan dengan obat
parasetamol ini. Pada pasien kanker, parasetamol digunakan untuk mengatasi
nyeri ringan atau dapat diberikan dalam kombinasi dengan opioid (misalnya
kodein).
Parasetamol telah dibandingkan dengan banyak analgesik lain dan
dianggap kurang equipotent jika dibandingkan dengan aspirin (asam
asetilsalisilat). Dengan demikian, secara umum, parasetamol kurang mujarab
ketimbang salisilat dan agen antirematik lainnya jika digunakan sebagai obat
anti-inflamasi dan antinyeri.
Parasetamol dapat digunakan pada anak-anak. Ini merupakan alternatif
yang

lebih

disukai

ketika

aspirin

(asam

asetilsalisilat)

merupakan

kontraindikasi (misalnya karena riwayat ulkus atau infeksi virus pada anak)

Kontraindikasi

Obat parasetamol tidak boleh digunakan pada orang dengan kondisi


sebagai berikut:

Alergi parasetamol atau acetaminophen

Gangguan fungsi hati dan penyakit hati

Gangguan fungsi ginjal serius

Shock

Overdosis Acetaminophen

Gizi buruk

Efek samping

Walaupun efek samping parasetamol jarang, namun jika itu terjadi maka
ditandai dengan:

Ruam atau pembengkakan ini bisa menjadi tanda dari reaksi alergi.

Hipotensi (tekanan darah rendah) ketika diberikan di rumah sakit dengan


infus.

Kerusakan hati dan ginjal, ketika diambil pada dosis lebih tinggi dari yang
direkomendasikan (overdosis).
Dalam kasus ekstrim kerusakan hati yang dapat disebabkan oleh overdosis
parasetamol bisa berakibat fatal. Maka carilah bantuan medis darurat jika
anda memiliki salah satu dari tanda-tanda reaksi alergi parasetamol
seperti: gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah,
atau tenggorokan. Berhenti menggunakan obat ini dan hubungi dokter
apabila mengalami efek samping parasetamol yang serius seperti:

Mual, sakit perut, dan kehilangan nafsu makan

Air seni berwarna gelap, tinja berwarna tanah liat

Jaundice (menguningnya kulit atau mata).

Diare

Keringat berlebihan

Kehilangan nafsu makan

Mual atau muntah

Kram perut atau nyeri

Pembengkakan, atau nyeri di perut atau perut daerah atas

c. Apa saja macam-macam obat batuk sirup yang dapat diberikan sesuai kasus?
2,5,8
d. Bagaimana hubungan riwayat pemberian obat dengan keluhan sesak nafas
sejak 6 jam yang lalu?3,6,9
3. Dua belas jam setelah makan obat tersebut muncul bengkak pada mata, bibir,
lalu timbul bentol disertai gatal pada kedua lengan, tungkai hingga seluruh
badan dan mual. (VV)
a. Apa makna klinis timbul keluhan sejak dua belas jam setelah makan obat ?
1,5,9
b. Bagaimana mekanisme timbulnya muncul bengkak dan bentol disertai gatal?
2,6,10

Jawab :
Adanya ikatan antara alergen dan IgE degradasi asam arakidonat
menghasilkan leukotrin dan prostaglandin sekresi histamin dan serotonin
permeabilitas vaskular meningkat edema mukosa bengkak dan
gatal
c. Bagaimana mekanisme terjadinya mual pada kasus?3,4,7
d. Apa saja respon imun yang terlibat pada kasus?8,1,6
e. Bagaimana predileksi bengkak dan bentol disertai gatal pada kasus?2,7,3
4. Dua bulan yang lalu pasien pernah makan obat yang sama karena keluhan diare
tetapi tidak ada gejala seperti saat ini setelah makan obat. (VV)
a. Apa makna klinis dari dua bulan yang lalu pasien pernah makan obat yang
sama karena keluhan diare tapi tidak ada gejala seperti saat ini setelah
makan obat?8,4,9
b. Bagaimana mekanisme sensitisasi dari kasus?5,10,1
Jawab :
Fase sentisisasi pada kasus ini pertama kali pada saat minum obat dimana
respon tubuh menganggap obat tersebut sebagai alergen. Fase sensitisasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Alergen yang masuk ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T dimana limfosit T
akan mensekresikan sitokin (IL4 dan IL 13) yang menginduksi limfosit B
berproliferasi menjadi sel plasma. Sel plasma memproduksi IgE spesifik
untuk antigen tersebut kemudian reseptor kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel mast dan basofil dan mastosit dan basofil akan melepaskan
isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi dan paparan ulang.
5. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu menderita eksim. Riwayat asma
pada pasien disangkal. (VV)
a. Apa makna klinis dari riwayat keluarga pada kasus?2,3,4
b. Bagaimana hubungan tidak adanya riwayat asma dengan kasus?5,6,7
6. Pemeriksaan fisik (V)

Kesadaran compos mentis; tekanan darah 90/60 mmHg; frekuensi nadi


120x/menit, reguler, isi dan tegangan kurang, frekuensi nafas 32x/menit, suhu
37,20 C, palpebra seperior edema, labia oris superior dan inferior edematous.
Thoraks : jantung : frekuensi denyut jantung : 120x/menit, murmur (-), gallop
(-)
Paru : wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : dalam batas normal
Esktemitas : kulit : gambaran urtikaria
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada kasus?8,9,10
Jawab :
Pemeriksaan
Kesadaran

Kasus
Compos

Normal
Compos mentis

Interpretasi
Normal

mentis
90/60 mmHg
120x/menit
Reguler
Isi dan

120/80 mmHg
60-100x/menit
Reguler
Isi dan tegangan

Rendah
Takikardia

tegangan

cukup

Frekuensi

kurang
32x/menit

16-24x/menit

Takipneu

nafas
Suhu
Palpebra

37,2 0C
Edema

36,5-37,5 0C
(-)

Normal
Abnormal

superior
Labia oris

Edema

(-)

Abnormal

murmur (-),

murmur (-),

gallop (-)

gallop (-)

Tekanan darah
Frekuensi nadi

superior dan
inferior
Thoraks
a. Jantung

Normal
Abnormal

b. Paru

wheezing

Sonor

pada kedua
lapangan paru
c. Abdomen

Abnormal

dalam batas
normal

d. Esktemitas
kulit gambaran
urtikaria

(-)

Mekanisme :
a) Takikardia
Adanya ikatan antara alergen dan IgE degradasi asam arakidonat
menghasilkan leukotrin dan prostaglandin sekresi histamin dan
serotonin terjadi syok anafilaktik sehingga jantung harus bekerja
lebih keras untuk mengantarkan lebih banyak oksigen ke jaringan
tubuh degan cara menaikkan kecepatan aliran darah melewati
pembuluh darah.
b) Hipotensi
Adanya ikatan antara alergen dan IgE degradasi asam arakidonat
menghasilkan leukotrin dan prostaglandin sekresi histamin dan
serotonin vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps sirkulasi darah
c) Takipneu
Mekanisme kompensasi dari adanya bronkokonstriksi
d) Palpebra superior dan labia oris superior inferior edema
Adanya ikatan antara alergen dan IgE degradasi asam arakidonat
menghasilkan leukotrin dan prostaglandin sekresi histamin dan
serotonin permeabilitas vaskular meningkat edema mukosa
bengkak
e) Wheezing pada kedua lapang paru
Adanya ikatan antara alergen dan IgE degradasi asam arakidonat
menghasilkan leukotrin dan prostaglandin sekresi histamin dan
serotonin konstriksi otot polos pada bronkus wheezing
f) Ekstremitas urtikaria
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit
sehingga kulit berwarna merah (eritema). Histamin juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan
mengakibatkan pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang
keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul
rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.

b. Bagaimana gambaran urtikaria pada kulit, palpebra seperior edema, labia


oris superior dan inferior edematous?1,3,5
c. Apa makna klinis dari dilakukannya pemeriksaan thoraks pada pasien?
(jantung dan paru)7,9,2
d. Apa makna klinis dari tekanan darah rendah, nadi cepat, isi dan tegangan
kurang?4,6,8
7. Pemeriksaan penunjang : (V)
Hb 12,2 gr/dL, leukosit 8400/mm3, hitung jenis 2/6/4/62/20/6, ureum 18 mg/dL,
kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada kasus?10,2,5
Jawab :
Pemeriksaan
Hb
Leukosit
Hitung jenis

Kasus
12,2 gr/dL
8400/mm3

Normal
12-16 gr/dl
5.000-

Basofil = 2
Eosinofil = 6
Neutrofil

10.000/mm3
Basofil = 0-2
Eosinofil = 0-4
Neutrofil batang

batang = 4
Neutrofil

= 0-12
Neutrofil

segmen = 62
Limfosit = 20

segmen = 36-73
Limfosit = 15-

Interpretasi
Normal
Normal
Basofil
borderline
Eosinofil
meningkat
Neutrofil batang
normal

Monosit = 6

Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium

18 mg/dL
0,46 mg/dL
144 mEq/L
4,2 mEq/L

45
Monosit = 0-10

8-25 mg/dL
0,4 1,3 mg/dL
135-144 mEq/L
3,6 4,8 mEq/L

Neutrofil segmen
normal
Limfosit normal
Monosit Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

8. Aspek klinis
a. DD 8,1,4
b. Algoritma penegakkan diagnosis 7,10,3
a. Terjadinya gejala penyakit segera (beberapa menit sampai jam), yang
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria yang merata,
pruritus,atau kemerahan, edema bibir-lidah-uvula), paling sedikit satu
dari gejala berikut :
1) Gangguan pernapasan (sesak, mengi, bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi (APE), hipoksemia.
2) Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ
(hipotonia atau kolaps, pingsan, inkontinens)
b. Dua atau lebih dari petanda berikut ini yang terjadi segera setelah
terpapar serupa alergen pada penderita (beberapa menit sampai jam):
1) Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria yang merata, prurituskemerahan, edema pada bibir-lidah-uvula)
2) Gangguan pernapasan (sesak, mengi, bronkospasme, stidor,
penurunan APE, hipoksemia)
3) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan (hipotoniakolaps, pingsan, inkontinens)
4) Gejala gastrointestinal yang menetap (kram perut, sakit, muntah)
c. Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar alergen (beberapa
menit sampai jam)
1) Bayi dan anak : tekanan darah sistolik rendah (tgt umur), atau
penurunan lebih dari 30% tekanan darah sistolik.
2) Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau
penurunan lebih dari 30% nilai basal.
c. DK all
d. Epidemiologi 6,9,2
e. Etiologi 6,10,3
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel
darah putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang

bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang
masuk. Perlekatan antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediatormediator seperti histamin dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada
berbagai organ dan jaringan.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi
anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.
Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih
telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti
antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot,
aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media
kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa
menyebabkan anafilaksis.
Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

f. Faktor resiko 7,1,4


g. Patogenesis 5,8,9
h. Patofisiologi 10,9,8
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I diklasifikasikan
menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya menyerang kulit atau

traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan asma alergi.
Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya urtikaria, angioedema, dan anafilaksis.
Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka hanya akan menyerang kulit (urtikaria) atau
jaringan subkutan (angioedema), namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan
berakibat menyeluruh (generalisata) dan bersifat life-threatening medical emergency
(anafilaksis).
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sebut dengan istilah preformed mediators.2,5
Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran


sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut
pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang

membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat terjadi sebagai akibat dari
kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan
permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke
ruang extravaskuler dalam 10 menit.

Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

i. Manifestasi klinis 7,6,5


j. Pemeriksaan penunjang (gold standard)4,3,2
k. Tatalaksana dan evaluasi 1,10,9
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari


tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen
5-10 liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot
jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain
yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast
dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi

pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan
syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat
dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5
mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang
beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia.
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi
injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan
dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1
ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena
lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya
perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan

peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan


mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan
merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin
dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila
penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam
selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya
digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis
atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan
menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt
diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12
jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB
setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 47 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator
aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain
sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.9,10

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250
ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan
sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau
levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit,
atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose 5%.
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan
utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan
20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa

dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin


sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih
tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut
tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak
permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema
menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.
Gambar 4 : Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

l. Pencegahan dan edukasi 8,7,6


m. Komplikasi 5,4,3
n. Prognosis 2,1,10
Dubia ad bonam
o. SKDI all
II.

HIPOTESIS
Ny. M usia 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD dengan keluhan
sesak nafas sejak 6 jam yang lalu mengalami syok anafilaktik
1. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on
December 20, 2016.

2. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008.


Available at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shoc
k/page2_em.htm . Accessed on December 20, 2016
3. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and
Management. 2006. Available at:
https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-diagnosis-andmanagement. Accessed on December 20, 2016

Vous aimerez peut-être aussi