Vous êtes sur la page 1sur 3

REZKA OCTAVIANO/1420221100

FKUPN JAKARTA
ASPEK MEDIKOLEGAL TERMINASI KEHAMILAN
A. Pendahuluan
B. Terminasi Kehamilan
C. Aspek Mediolegal Terminasi Kehamilan
Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan
berbagai aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum. Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan
perundang undangan yang berlaku serta pada sumpah dokter dan etika kedokteran.1
Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu
belum ada undang - undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan
mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4M di mana telah ada larangan
untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus
mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai timbul
suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara di dunia
terhadap tindakan abortus.1
Sejak tahun 1998, 20 negara telah membuat perubahan substansial dalam
undang-undang aborsi mereka. Enam belas negara ditambahkan indikasi yang
memindahkan meraka dari satu kategori kami ke kategori lainnya, seperti
pemerkosaan yang terbukti, inses atau penurunan nilai janin sebagai alasan untuk
aborsi legal. Sebaliknya, hanya dua menambahkan pembatasan yang memindahkan
mereka dari satu kategori ke kategori lain. Di dua Negara dimana undang-undang
aborsi yang dilakukan pada tingkat negara, liberalisasi signifikan terjadi di beberapa
negara bagian.1
Hukum atau peraturan mengenai aborsi di setiap Negara berbeda beda sesuai
dengan undang undang yang berlaku di Negara tersebut. Bahkan pada suatu Negara
tertentu terdapat hukum yang berbeda sesuai dengan Negara bagiannya.1
Di Meksiko, di mana undang-undang aborsi ditentukan oleh negara bagian,
beberapa perkembangan legislatif negara adalah signifikan. Pada tahun 2007,
Meksiko Distrik Federal (Mexico City) mengizinkan aborsi tanpa pembatasan untuk
alasan selama trimester pertama kehamilan.1 Ekuador menggunakan kode kesehatan
yang baru pada tahun 2006 untuk tujuan yang sama. Kode kewenangan kesehatan
layanan untuk melakukan aborsi yang legal di bawah hukum pidana (ancaman
terhadap kehidupan atau kesehatan dan kehamilan akibat pemerkosaan terhadap
seorang wanita cacat mental), dan melarang mereka untuk menolak merawat wanita
yang memiliki aborsi spontan, seperti didiagnosa oleh seorang profesional.1
Pada tahun 2005, di Brazil, yang memungkinkan aborsi hanya untuk
menyelamatkan nyawa wanita hamil dan dalam kasus kehamilan akibat perkosaan,
Kementerian Kesehatan mengadopsi peraturan rinci menjelaskan untuk dokter dan
untuk wanita hamil. Dibutuhkan persyaratan prosedural untuk melakukan aborsi
legal.1

Akhirnya, dalam sebuah langkah ke arah pembatasan, Mahkamah Agung


Amerika Serikat, dalam putusan 2007, menjunjung tinggi Lahir Partial - Aborsi Ban
Act of 2003,29 Meskipun definisi hukum terhadap istilah non medis "aborsi kelahiran
parsial" tidak jelas dan berpotensi jauh jangkauannya, Mahkamah Agung menafsirkan
larangan hanya berlaku sempit untuk prosedur trimester kedua tunggal, utuh
pelebaran dan evakuasi. Weighings Kongres berminat melindungi kehidupan janin
terhadap kesehatan perempuan untuk pertama kalinya, Pengadilan menguatkan
larangan meskipun kurangnya pengecualian untuk menjaga kesehatan wanita.1
Di Indonesia, Aborsi yang sudah diatur dalam KUHP sudah sangat memadai
dan bahkan sangat serius dalam upaya penegakan tindak pidana aborsi. Perundang
undangan pidana di Indonesia mengenai aborsi mempunyai status hukum yang
illegal sifatnya karena melarang aborsi tanpa kecualian. Dengan demikian, KUHP
tidak membedakan abortus provocatus criminalis dan abortus provocatus
medicinalis/therapeutic. Dapat diketahui bahwa apapun alasan aborsi itu dilakukan
tetap melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.2
Perundang undangan pidana di Indonesia yang mengatur aborsi tanpa
pengecualian sangat meresahkan dokter atau ahli medis yang bekerja di Indonesia.
Tujuan ahli medis yang utama untuk menyelamatkan nyawa pasien tidak akan
tercapai karena jika ahli medis menggugurkan kandungan untuk keselamatan ibu
maka ahli medis tersebut diancam sanksi pidana, tetapi jika ahli medis tidak
melakukan hal itu maka nyawa pasien dalam hal ini ibu dapat terancam kematian, hal
ini merupakan perdebatan didalam hati nurani medis khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Sehingga ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus tidak bersifat
mutlak.2
CONTOH KASUS
KEDIRI Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri. Novila Sutiana
(21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas
setelah berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas
setelah disuntik obat perangang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi
hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates,
Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah,
namun hasil hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan
janin tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang
Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge,
Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar
informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan
cara suntik.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat
penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin,
sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang
disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang
dikandungnya.

Hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi


hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju
rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi
organ intimnya terus mengeluarkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu.
Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri.
Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila
hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Akibat perbuatan tersebut, Endang diancam dengan pasal 348 KUHP tentang
pembunuhan. Hukuman itu masih diperberat lagi mengingat profesinya sebagai
tenaga medis atau bidan. Selain itu, polisi juga menjeratnya dengan UU Kesehatan
nomor 23 tahun 1992. Belum diketahui secara pasti sudah berapa lama Endang
membuka praktik aborsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Boland R, Katzive L. Developments in Laws on Induced Abortion:19982007.
New York :
International Family Planning Perspective Vol. 34 No. 3. 2008 ; 110-120.
2. Juita SR, Heryanti, BR. Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban Perkosaan Yang
Melakukan
Abortus Provokatus. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia; 2002.
3. Nainggolan LH. Aspek Hukum Terhadap Abortus Provokatus dalam Perundang
undangan di
Indonesia. Journal Equality Vol. 11 no. 2; 2006.
4. Budhiartie A. Legalisasi Abortus Provokatus Karena Pemerkosaan Sebagai
Implementasi Hak
Asasi Perempuan. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora Vol. 13 No. 2;
2011.

Vous aimerez peut-être aussi