Vous êtes sur la page 1sur 21

KASUS

Bayi E usia 4 hari dengan BB 2200 gr lahir ditolong bidan, anus (-), sindrom
down, ikterus (+), MRS cito operasi colostomy

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R,
2001). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang
cukup signifikan yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi
(3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan
urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica
urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup,
dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani
yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta
dengan rasio laki-laki: perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi
oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000
kelahiran, Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam
10.000 kelahiran (Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993). Menurut
catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Atresia ani dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran
kemih yang bisa berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur
bedah), komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis
(akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis), masalah atau k elambatan
yang berhubungan dengan toilet training, inkontinensia (akibat stenosis
awal atau impaksi), prolaps mukosa anorektal dan fistula (karena
ketegangan diare pembedahan dan infeksi). Masalah tersebut dapat diatasi
dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan pendidikan kesehatan,

pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi klien agar cepat


pulih sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penyusun membuat makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan
pada Anak dengan

Atresia Ani bertujuan sebagai bahan

pembelajaran ANAK pada tingkat II Keperawatan, serta memenuhi


syarat penyelesaian tugas dari mata kuliah ANAK.
2. Tujuan khusus
Selesainya tugas makalah Asuhan Keparawatan pada Atresia Ani,
penyusun di harapkan mampu:
a. Memahami isi materi mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak
dengan Atresia Ani.
b. Dapat membagi ilmu kepada pembaca mengenai Asuhan
Keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani.

BAB 11
PEMABAHASAN
A. Pengertian
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran

yang

memisahkan

bagian

entoderm

mengakibatkan

pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau
sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau
anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial,
Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
B. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum,
kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern
usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan
uretra (Sadler T.W, 1997).
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu
rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan
ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan
ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang,
yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus
belakang.Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka
menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian
posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu,

septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini


terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi
menjadi membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di
depan (Sadler T.W, 1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol
mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada
minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara
rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu
arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis
analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea
pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini,
epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler
T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut,
midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem
pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati
dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus,
sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai
pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga
ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka,
dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai
minggu

keempat

disebut

sebagai

primitif

gut.

Kegagalan

perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan


anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak
rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm
dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).

C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
D. Klasiikasi.
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985).

E. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya
obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila
urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi
sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir
kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan
ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ

sekitarnya. Pada

perempuan,

90% dengan fistula ke vagina

(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya


fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila
kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
Pathway

F. Manifestasi Klinis.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam.
Gejala itu dapat berupa :
1
2
3

Perut kembung.
Muntah.
Tidak bisa buang air besar.
4 Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik
dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah
dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit
sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal
intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana
anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University of
Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara
50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan
malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan
secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam
nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1

Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect

dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan


vebtrikular septal defect.
2

Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).

Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.


Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah
kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly
vertebrae, dan hemisacrum.
Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

Kelainan traktus genitourinarius.


Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden
kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 %
sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul
bersamaan

sebagai

VATER

(Vertebrae,

Anorectal,

Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL


(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
Eversi mukosa anal
Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.

h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)


(Ngustiyah, 1997 : 248)
H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik
yang umum dilakukan pada gangguan ini.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi.
6. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di
daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru
lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia
reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara
berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak,
sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan
bayangan udara tertinggi dapat diukur.

I. Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada
atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada
beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur
abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan
Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi
kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk
kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara
tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat
ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik,
radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak
disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan
anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post
operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya
berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada
tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
1. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi
atau TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan
definitif (PSARP).
2. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi
dan diversi. Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik
yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti,
baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti
(Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena
seringnya ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%).
Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina.
Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan
kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu.
Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus
urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya
tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia
rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur,
jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi
mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada
fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera
dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya
terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di
tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal
lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat

segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak


ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal
tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin
dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak
mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat
fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan
letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel
tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama
pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan
udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ;
lubangnya terdapat anterior dari letak anus
normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di
bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan
udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan
pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004)

I. Asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani


1.

Pengkajian
a.
Biodata klien.
b.
Riwayat keperawatan.
1)
Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2)
Riwayat kesehatan masa lalu.
c.
Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d.
Riwayat tumbuh kembang anak.
1)
BB lahir abnormal.
2)
Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh

e.
f.
g.

kembang pernah mengalami trauma saat sakit.


3)
Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4)
Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
Riwayat sosial.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1)
Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2)
Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
3)

sfingternya.
Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti

obstruksi oleh karena massa tumor.


CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5)
Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6)
Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
4)

7)

selang atau jari.


Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2. Diagnosa Keperawatan

Dx Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya
intake, muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
Dx Post Operasi
1. Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma
sekunder dari kolostomi.
3. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
4. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa Pre Operasi
Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion
Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan
teratur.
Kriteria Hasil :
1. Penurunan distensi abdomen.
2. Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi :
1. Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order
R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak.

2. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam


R/ Meyakinkan berfungsinya usus
3. Ukur lingkar abdomen
R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi
terjadinya distensi
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Dx. 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
menurunnya intake, muntah
Tujuan : Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
Kriteria Hasil :
1.
2.
3.
4.

Output urin 1-2 ml/kg/jam


TTV normal
Turgor kulit baik
uMembrane mukosa lembab

Intervensi :
1. Monitor intake output cairan
R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien
2. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
R/ Mencegah dehidrasi
3. Pantau TTV
R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang
tinggi
4.Kolaborasi dengan dokter jika tanda cairan berlebih
R/ Dengan berkolaborasi dengan dokter agar mempermudah terapi
apa yang diberikan.
Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang
Kriteria Hasil :
Klien tidak cemas

Intervensi :
1. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang
anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan
alay, media dan gambar
R/ Agar orang tua mengerti kondisi klien
2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua
R/

Pengetahuan

tersebut

diharapkan

dapat

membantu

menurunkan kecemasan
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi
R/ Membantu mengurangi kecemasan klien
b. Diagnosa Post Operasi
Dx 1 Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
24 jam pertama dengan Kriteria Hasil:
Nyeri berkurang
Pasien merasa tenang
Tidak ada perubahan tanda vital
Intervensi:
1. Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
2. Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan
3.
4.
5.
6.

posisi tidak menciderai stoma


Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
Bantu melakukan latihan rentang gerak
Awasi adanya kekakuan otot abdominal
Kolaborasi pemberian analgetik
Dx 2 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat
stoma sekunder dari kolostomi.
Tujuan : Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih
lanjut.
Intervensi :

1. Gunakan kantong kolostomi yang baik


2. Lihat stoma/area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong
3. Ukur stoma secara periodik misalnya setiap perubahan kantong
4.

Berikan perlindungan kulit yang efektif

5. Kosongkan irigasi dan lakukan perawatan luka sesuai order dokter


6.

Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma

Dx 3 Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme


sekunder terhadap luka kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) TTV normal.
3)
Leukosit normal.
Intervensi:
1)
Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
2)
Pantau TTV.
3)
Pantau hasil laboratorium.
4)
Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
5)
Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Dx 4 Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.
Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1)
BAB normal.
2)
Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1)
Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
2)
Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3)
Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan
mengandung tinggi serat jika konstipasi.
4)
Lakukan perawatan kolostomi.
Dx 5 Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di
rumah.

Tujuan : Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang


perawatan di rumah.
Intervensi :
1)

Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan

2)

sampai mereka dapat melakukan perawatan.


Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu

3)

dilaporkan perawat.
Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan

4)
5)
6)

melakukan dilatasi pada anal secara tepat.


Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya
serat).
KESIMPULAN

A.

Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Wong, D. L, 2003).
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden,
L. A, 2002).
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan

kelainan

bawaan

anus

disebabkan

oleh

gangguan

pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.


Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
2.
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
3.

atau 3 bulan.
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara

minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.


4.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
B.

Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat


mampu mendiagnosis secara dini mengenai penyakit atresia ani pada anak,
sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
terhadap anak tersebut. Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan sehingga kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisike-3. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2003.

Pedoman Klinis

Keperawatan Pediatrik. Sri

Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta :


EGC

Vous aimerez peut-être aussi