Vous êtes sur la page 1sur 41

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyamuk genus Culex merupakan nyamuk yang banyak terdapat di sekitar kita.
Nyamuk ini termasuk serangga yang beberapa spesiesnya sudah dibuktikan sebagai
vektor penyakit, disamping dapat mengganggu kehidupan manusia karena gigitannya
(Sholichah, 2009).
Beberapa penyakit yang penularannya lewat gigitan nyamuk Culex sp. antara lain
Filariasis limfatik, Japanese Encephalitis dan West Nile Virus.
Filariasis limfatik. Diperkirakan 120 juta orang di daerah tropis dan subtropis di
dunia terinfeksi filariasis limfatik, hampir 25 juta pria memiliki penyakit kelamin
(paling sering hidrokel) dan hampir 15 juta, sebagian besar perempuan, memiliki
lymphoedema atau elephantiasis di kakinya (WHO, 2013).
Sekitar 66% dari mereka yang berisiko infeksi hidup di WHO kawasan Asia
Tenggara dan 33% di wilayah Afrika (WHO, 2013).
Penyakit filariasis sudah menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Berdasarkan hasil survei tahun 2000 tercatat 26 provinsi merupakan daerah endemis
filariasis. Pada tahun 2005 kasus kronis dilaporkan sebanyak 10.237 orang yang
tersebar di 33 provinsi (Sholichah, 2009).
Pada tahun 2010 di Sulawesi Tengah terdapat penderita Filariasis sebanyak 145
orang dan yang terbanyak menderita adalah perempuan yaitu 78 kasus (53,79%).
Penderita (perempuan) terbanyak adalah di Kabupaten Poso 28 kasus (35,8%), Sigi 16
kasus (20,5%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2010).
Pada tahun 2011, di Sulawesi Tengah jumlah penderita Filariasis sebanyak 138
orang dan jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2010 (Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah, 2011).
Japanese Encephalitis. Insiden global JE tidak diketahui karena intensitas dan
kualitas pengawasan JE dan ketersediaan pengujian laboratorium diagnostik beragam di
seluruh dunia. Pada tahun 2000, dengan asumsi tahunan insidensi spesifik kelompok
usia dari 25 kasus per 100.000, Tsai memperkirakan bahwa dalam ketiadaan vaksinasi
170.000 kasus JE akan terjadi setiap tahun di antara anak-anak Asia berusia 0-14 tahun
yang tinggal di daerah pedesaan (Campbell et al., 2011).
Di Indonesia JE dapat ditemukan sepanjang tahun dan pada semua usia, tetapi
sebagian besar kasus terjadi pada usia 2-10 tahun dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan adalah 1,5:1. Menurut data dari Subdit Zoonosis Dit P2B2 Ditjen PPM-

PL dalam kurun waktu 1993-2004, didapatkan spesimen positif JE pada manusia di 14


provinsi di Indonesia (Sholichah, 2009).
West Nile Virus (WNV). Pada tahun 2011, banyak kasus asli WNV pada manusia
dilaporkan di Eropa dan di negara-negara tetangga: 96 kasus yang dikonfirmasi pada
manusia di Uni Eropa (69 di Yunani, 3 di Hongaria, 14 di Italia dan 10 di Rumania), dan
207 di negara-negara tetangga (2 di Albania, 4 di Penduduk Yugoslavia Republik
Macedonia, 34 di Israel, 153 di Federasi Rusia, 3 di Tunisia, 3 di Turki dan 8 di
Ukraina) (Rizzo et al., 2012).
Di Indonesia, baik kasus klinis maupun data serologis tentang infeksi WNV belum
pernah dilaporkan. Dengan frekuensi perpindahan hewan dan manusia dari satu negara
ke negara lain yang sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan masuknya penyakitpenyakit zoonosis ke Indonesia (Sholichah, 2009).
Strategi baru untuk mencegah dan mengontrol vector borne diseases

adalah

menegaskan Integrated Vector Management. Hal ini termasuk strategi managemen


lingkungan yang dapat mereduksi atau mengeliminasi vektor dengan menggunakan
kontrol biologis (seperti larvasida) yang menargetkan dan membunuh larva vektor
(WHO, 2004)
Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian vector borne
diseases di seluruh dunia. Menurut Aradilla (2009) penggunaan Abate di Indonesia
sudah sejak tahun 1976 atau sudah digunakan lebih dari 30 tahun. Penggunaan
insektisida yang berulang dapat menambah resiko kontaminasi residu pestisida dalam
air, terutama air minum.
Pengembangan insektisida alami merupakan solusi terbaik saat ini
karena insektisida alami bahan dasarnya berasal dari tumbuhan
yang

bersifat

toksik terhadap serangga dan mudah terdegradasi

sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia


karena akan cepat menghilang di alam (Diantoro et al., 2006).
Usaha alternatif yang lebih efektif dalam mengendalikan populasi dan penyebaran
nyamuk sebagai vektor penyakit yang mudah didapat dan bersifat ramah lingkungan
sangat diperlukan. Pengembangan insektisida alami merupakan solusi
terbaik saat ini. Dan peneliti memilih menguji efek larvasida suatu bahan alam,
karena pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian vector
borne diseases.
Penelitian oleh Pavananundt et al. (2013) menyimpulkan bahwa ekstrak air daun
johar mempunyai kemampuan larvasida dan bisa digunakan secara efektif sebagai agen

kontrol nyamuk Aedes aegypti, dan alternatif kimia konvensional larvasida nyamuk
Aedes aegypti.
Wahjoedi et al. (1996) telah melakukan penelitian pada daun johar dengan judul
Penelitian Toksisitas Subkronik Infus Daun Johar (Cassia siamea Lamk.) Pada Tikus
Putih menyimpulkan bahwa infus daun johar (Cassia siamea Lamk.) yang diberikan
pada tikus putih percobaan secara oral, sampai dengan dosis 50x dosis lazim manusia
(kira-kira setara dengan 500 mg serbuk/100 g berat badan tikus) selama 4 bulan terusmenerus, tidak menunjukkan efek keracunan.
Peneliti memilih daun pohon johar sebagai variabel uji, karena keberadaannya yang
mudah dijumpai di kawasan kampus Universitas Tadulako dan relaatif aman bagi
manusia. Daun johar telah terbukti mempunyai kemampuan larvasida untuk larva
nyamuk Aedes aegypti, namun belum dilakukan penelitian pada nyamuk Culex sp.
sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada efek ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada larva
nyamuk Culex sp.?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui efek ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada larva
nyamuk Culex sp.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui efektifitas ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada
konsentrasi 500 ppm pada larva nyamuk Culex sp.
2. Mengetahui efektifitas ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada
konsentrasi 1000 ppm pada larva nyamuk Culex sp.
3. Mengetahui efektifitas ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada
konsentrasi 2000 ppm pada larva nyamuk Culex sp.
4. Mengetahui efektifitas ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada
konsentrasi 4000 ppm pada larva nyamuk Culex sp.
5. Mengetahui dosis efektif ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida
pada larva nyamuk Culex sp.
6. Membandingkan efektifitas larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea) dan
Abate (kontrol positif) pada larva nyamuk Culex sp.
7. Membandingkan efektifitas larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea) dan
kelompok tanpa perlakuan (kontrol negatif) pada larva nyamuk Culex sp.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti

Penelitian ini akan memberi pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam
upaya menemukan alternatif baru untuk memutus mata rantai penularan penyakit yang
penularannya lewat gigitan nyamuk Culex sp. sebagai salah-satu cara praktis
pengendalian vector borne diseases.
2. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan kelak akan menjadi produk alami non toksik pada manusia
yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk pemberantasan vektor penyebab penyakit
yang penularannya lewat gigitan nyamuk Culex sp. sebagai salah-satu cara praktis
pengendalian vector borne diseases.
3. Bagi institusi kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi institusi kesehatan,
serta dapat dijadikan salah-satu acuan edukasi dan promosi kesehatan kepada
masyarakat mengenai pengendalian vector borne diseases.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi peneliti serta dapat dijadikan
salah-satu acuan untuk pengembangan penelitian mengenai pengendalian vector borne
diseases.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian pada ekstrak daun johar pernah dilakukan sebelumnya oleh Wahjoedi et
al. (1996). Penelitian ini menyimpulkan bahwa infus daun johar (Cassia siamea Lamk.)
yang diberikan pada tikus putih percobaan secara oral, sampai dengan dosis 50x dosis
lazim manusia (kira-kira setara dengan 500 mg serbuk/100 g berat badan tikus) selama
4 bulan terus-menerus, tidak menunjukkan efek keracunan.
Penelitian larvasida pernah dilakukan sebelumnya oleh Sudjari et al. (2006).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak biji sirsak (Annona muricata L)
mempunyai efek larvasida terhadap Culex sp. dengan peningkatan dosis ekstrak biji
sirsak (Annona muricata L) terbukti dapat meningkatkan jumlah larva Culex sp. yang
mati secara signifikan.
Penelitian larvasida pernah pula dilakukan sebelumnya oleh Ruliansyah et al.
(2009). Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak daun sirsak (Anona muricata) dapat
membunuh jentik nyamuk Culex quinquefasciatus.
Penelitian larvasida pernah pula dilakukan sebelumnya oleh Pavananundt et al.
(2013) menyimpulkan bahwa ekstrak air daun ini mempunyai kemampuan larvasida dan
bisa digunakan secara efektif sebagai agen kontrol nyamuk Aedes aegypti, alternatif
kimia konvensional larvasida nyamuk Aedes aegypti.

Perbedaan penelitian sekarang dan penelitian oleh Wahjoedi et al. (1996) terletak
pada tema penelitian, variabel terikat dan metode ekstraksi daun johar (Senna siamea).
Penelitian oleh Wahjoedi et al. memiliki tema toksisitas subkronik, variabel terikat
menggunakan tikus putih, dan metode ekstraksi daun johar (Senna siamea)
menggunakan air. Perbedaan penelitian sekarang dan penelitian oleh Sudjari et al.
(2006) terletak pada variabel bebas. Variabel bebas pada penelitian oleh Sudjari et al.
menggunakan ekstrak biji sirsak (Annona muricata L). Perbedaan penelitian sekarang
dan oleh Ruliansyah et al. (2009) terletak pada variabel bebas dan variabel terikat yang
lebih dikhususkan. Variabel bebas pada penelitian oleh Ruliansyah et al. menggunakan
ekstrak daun sirsak (Anona muricata) dan variabel terikat dikhususkan pada spesies
nyamuk Culex quinquefasciatus. Perbedaan penelitian sekarang dan penelitian oleh
Pavananundt et al. (2013) terletak pada variabel terikat dan metode ekstraksi daun johar
(Senna siamea). Variabel terikat pada penelitian oleh Pavananundt et al. menggunakan
larva nyamuk Aedes aegypti, sementara dan metode ekstraksi daun johar (Senna
siamea) menggunakan air.
Adapun tema penelitian ini mengenai efek larvasida, dengan variabel bebas
menggunakan daun johar (Senna siamea) yang diekstraksi menggunakan ethanol 96%,
dan variabel terikat yaitu kematian larva nyamuk Culex sp.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Senna siamea
a. Definisi
Sinonim. Cassia siamea Lamk (1785), C. florida Vahl (1794), Senna sumatrana
(Roxb, ex Hornem.) Roxb. (1832) (Hanum & Maesen, 2007).
Nama daerah. Siamese senna, kassod tree, Thailand shower. Indonesia: johar
(umum), bujuk, dulang (Sumatra). Malaysia: johor, sebusok, guah hitam. Filipina:
robles. Kamboja: angkanh. Laos: khiz hlek. Thailand: khilek (umum), khilek-luang
(bagian utara), khilek-yai (pusat). Vietnam: c[aa]y mu[oof]ing den, mu[oofng] xi[ee]m,
humbo (Thuan Hai) (Hanum dan Maesen, 2007).

Gambar 1. Senna siamea (United States Department of Agriculture)


b. Klasifikasian
Kingdom

: Plantae Plants

Subkingdom : Tracheobionta Vascular plants


Superdivisi : Spermatophyta Seed plants
Divisi

: Magnoliophyta Flowering plants

Kelas

: Magnoliopsida Dicotyledons

Subkelas

: Rosidae Order Fabales

Famili

: Fabaceae Pea family

Genus

: Senna Mill. senna P

Spesies

: Senna siamea (Lam.) Irwin & Barneby Siamese cassia


(United States Department of Agriculture)

c. Pemanfaatan
Senna siamea memiliki beberapa kegunaan. Di habitat aslinya digunakan sebagai
penahan angin dan untuk memberikan keteduhan di perkebunan kopi. Tumbuhan ini
juga telah ditanam untuk memulihkan tanah terdegradasi. Senna siamea lazim ditanam
di jalur dengan jagung dan kapas karena dedaunan yang kaya bahan organik dan
berfungsi sebagai pupuk hijau. Karena tumbuh cepat, spesies yang ditanam di daerah
tropis basah ini untuk menghasilkan kayu bakar (National Academy Ilmu, 1980).
Perkebunan yang berkualitas baik menghasilkan sekitar 175m3 per ha daya kalori tinggi
(Food and Agriculture Organisasi, 1957). Kayu juga digunakan untuk tiang, furniture,
dan kertas dan pembangunan pedesaan. Kulitnya mengandung tannin dan digunakan
untuk menyembunyikan tan. Bunga-bunga, kaya nektar, tidak dikenakan madu.
Dedaunan, buah-buahan, dan biji-bijian yang fatal bagi babi, tetapi sapi dan domba
tidak dipengaruhi oleh toksisitas mereka (Hoyos, 1979; Nair, 1993; Parrotta dan
Francis, 1990) (disitasi oleh Instituto de Ecologa, 2004).

d. Kandungan
Penelitian telah dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa kandungan
kimia daun johar adalah alkaloid, flavonoid, tanin galat, steroid/triterpenoid, K, Ca, Mg
dan Fe (Wahjoedi et al., 1996).
Sesuai dengan pernyataan Aminah et al. (2001, disitasi oleh Faudzy dan Marina,
2012), bahwa nyamuk yang mati abnormal akibat terpapar oleh alkaloid menunjukkan
sebagian tubuh nyamuk ada yang tersangkut selubung pupa sehingga terjadi kegagalan
moulting. Hal ini terjadi karena senyawa alkaloid dapat merangsang dan mempercepat
sel-sel neurosekretori untuk menyekresikan hormon ekdison. Kelebihan hormon
ekdison dapat menyebabkan kegagalan dalam proses moulting.

Gambar 2. Jenis-jenis alkaloid (Sumardjo, 2009)


Sebagian besar flavonoid di alam dapat ditemukan dalam bentuk glikosida. Menurut
Tarumingkeng (1992, disitasi oleh Faudzy dan Marina, 2012), glikosida dapat
menghambat respirasi pada serangga sehingga serangga kekurangan oksigen. Pada larva
nyamuk kekurangan oksigen menyebabkan larva tidak mampu untuk bergerak ke
permukaan untuk bernapas.

Gambar 3. Jenis-jenis flavonoid (Grotewold, 2008)


Tanin dapat memperkecil pori-pori lambung sehingga menyebabkan proses
metabolisme sistem pencernaan menjadi terganggu. Penumpukan sari-sari makanan
pada organ pencernaan larva dapat menjadi racun dan secara perlahan-lahan larva akan
mati (Faudzy dan Marina, 2012).

Gambar 4. Tanin (Marnoto et al., 2012)


Azadirachtin termasuk dalam kelompok triterpenoid. Efek primer azadirachtin
terhadap serangga berupa antifeedant dengan menghasilkan stimulan detteren spesifik
berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada bagian mulut (mouth part) yang bekerja
bersama-sama dengan reseptor kimia yang mengganggu persepsi rangsangan untuk
makan (fagostimulan) (Aradilla, 2009).

Gambar 5. Terpena (Sumardjo, 2009)


2. Nyamuk Culex sp.
a. Definisi
Staf Pengajar Parasitologi (2000, disitasi oleh Sudjari, 2006) menuliskan bahwa
nyamuk Culex sp. termasuk kelas Insecta, ordo Diptera dan famili Culicidae. Terdapat
lebih dari 2500 spesies nyamuk di seluruh dunia. Jumlah spesies di daerah tropis lebih
banyak dibandingkan dengan di daerah dingin. Nyamuk Culex sp. selain dapat
mengganggu manusia dan binatang melalui gigitannya, juga dapat berperan sebagai
vektor penyakit pada manusia dan binatang.

Gambar 6. Nyamuk betina dewasa (Sumardjo, 2009)


b. Klasifikasi
Phylum

: Arthropoda

Classis

: Insecta

Subclassis : Pterygota
Ordo

: Diptera

Subordo

: Nematocera

Familia

: Culicidae

Subfamilia : Culicianae
Genus

: Culex
(Astuti, 2011)

c. Daur Hidup
Culex sp. merupakan nyamuk rumah mempunyai kebiasaan meletakkan telurnya di
permukaan air secara bergerombol berbentuk seperti rakit. Dalam beberapa saat setelah
kena air hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air telur akan menetas menjadi
jentik. Jentik nyamuk ini akan mengalami 4 masa pertumbuhan (instar I-IV) dan
menjadi pupa yang berlangsung selama 8-14 hari. Dalam waktu 1-2 hari pupa akan
menetas menjadi nyamuk. Setelah menetas, dalam waktu 2 X 24 jam nyamuk betina
melakukan perkawinan yang biasanya terjadi pada waktu senja dan kemudian pergi
mencari darah untuk pematangan telur (Sholichah, 2009).
Nyamuk berwarna coklat dengan proboscis, thorax, sayap dan tarsi lebih gelap
daripada bagian tubuh lainnya. Kepala coklat muda dengan porsi lebih terang di tengah.
Antenna dan proboscis kira-kira sama panjang, tetapi pada beberapa kasus antenna
sedikit lebih pendek daripada proboscis. Skala thorax tipis dan berbentuk kurva.
Abdomen pucat, tipis, pita bulat di sisi basal. Pita paling basal disentuh titik basolateral
menunjukkan tampakan bentuk bulan setengah (Hill dan Connelly, 2013).

10

Gambar 7. Nyamuk (CDC, 2005)


Telur Culex sp. diletakkan seperti rakit oval secara longgar bersama-sama dengan
100 atau lebih telur dalam sebuah rakit yang secara normal akan menetas dalam 24
sampai 30 jam setelah dikeluarkan (Hill dan Connelly, 2013).

Gambar 8. Telur (Hill dan Connelly, 2013)


Kepala larva pendek dan kuat menjadi lebih gelap ke bawah. Mulut menyerupai
sikat mempunyai filamen kuning yang digunakan untuk menyaring materi organik.
Abdomen terdiri dari delapan segmen, siphon dan saddle. Masing-masing segmen
mempunyai pola setae yang unik. Siphon pada sisi dorsal abdomen, dan pada siphon
Culex quinquefasciatus 4 kali lebih panjang daripada lebarnya dengan tumpukan setae
yang multiple. Saddle berbentuk barrel dan terletak pada sisi ventral abdomen dengan 4
papilla anal panjang menonjol dari ujung posterior (Hill dan Connelly, 2013).
Larva nyamuk Culex sp. mempunyai 4 tingkatan atau instar sesuai dengan
pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1. Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 2 mm atau 1 2 hari setelah
menetas. Duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada
siphon belum jelas.
2. Larva instar II, berukuran 2,5 3,5 mm atau 2 3 hari setelah telur menetas. Duriduri belum jelas, corong kepala mulai menghitam.
3. Larva instar III, berukuran 4 5 mm atau 3 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri
dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman.
4. Larva instar IV, berukuran paling besar yaitu 5 6 mm atau 4 6 hari setelah telur
menetas, dengan warna kepala gelap (Astuti, 2011).

11

Gambar 9. Larva (Hill dan Connelly, 2013)


Sama dengan spesies nyamuk lainnya, pupa Culex sp. berbentuk koma dan terdiri
dari sebuah kepala fusi dengan thorax (cephalothorax dan sebuah abdomen). Variasi
warna cephalothorax dengan habitatnya dan lebih tua pada sisi posterior. Trumpet, yang
digunakan untuk bernafas, adalah sebuah tabung yang lebar dan menjadi terang
sepanjang dari tubuhnya. Abdomen memiliki 8 segmen. Seperempat segmen gelap, dan
warna lebih terang di posterior. Paddle, pada apex abdomen, translucent dan tegak
dengan dua setae kecil pada ujung posterior (Hill dan Connelly, 2013).

Gambar 10. Pupa (Hill dan Connelly, 2013)


d. Lingkungan Hidup
Pada masa telur sampai menjadi pupa berada di lingkungan air, sedangkan setelah
menjadi nyamuk kehidupannya berada di darat dan udara. Dalam kehidupan nyamuk
terdapat tiga macam tempat yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Ketiga
tempat tersebut merupakan suatu sistem yang satu dengan lainnya saling terkait; yaitu
tempat untuk berkembangbiak, tempat untuk istirahat dan tempat untuk mencari darah.
Nyamuk ini banyak terdapat pada genangan air kotor (comberan, got, parit, dll).
Nyamuk Culex sp. lebih menyukai meletakkan telurnya pada genangan air berpolutan
tinggi, berkembang biak di air keruh dan lebih menyukai genangan air yang sudah lama
daripada genangan air yang baru. Aktif menggigit pada malam hari. Tempat yang gelap,
sejuk dan lembab merupakan tempat yang disukai untuk beristirahat (Sholichah, 2009).

12

Gambar 11. Distribusi nyamuk Culex sp. (Hill dan Connelly, 2013)
e. Perbandingan Culex sp. dan Aedes sp.
Telur diletakkan diatas permukaan air satu per satu atau berkelompok membentuk
rakit (raft), dalam bermacam-macam bentuk. Ada yang berbentuk lonjong dengan kedua
ujung sedikit lancip dan berdinding yang menggambarkan anyaman kain kasa (telur
Aedes sp.); ada juga yang menyerupai peluru senapan (telur Culex sp.) (Natadisastra,
2009).
Stadium larva pada posisi istirahat tampak tergantung pada permukaan air dan
mempunyai bagian-bagian badan yang secara morfologinya tampak khas: siphon
mengandung bulu-bulu siphon (siphonal tuft) dan pekten, sisir atau comb dengan gigigigi sisir (comb teeth), segmen anal dengan pelana (saddle). Pelana dapat digunakan
untuk menentukan genus, misalnya Culex sp. mempunyai pelana tertutup, Aedes sp.
terbuka (Natadisastra, 2009).
Stadium pupa mempunyai corong pernapasan yang bentuknya kelihatan sempit dan
panjang, digunakan untuk mengambil oksigen. (Natadisastra, 2009)
Pada stadium dewasa nyamuk betina, palpanya lebih pendek daripada proboscisnya,
sedangkan nyamuk jantan, palpa melebihi panjang proboscisnya. Sisik sayap sempit,
dan panjang (Natadisastra, 2009).
3. Abate
Larvisida Abate kontrol malaria dan penyakit vektor lainnya dengan mengendalikan
hama sebelum mereka mencapai kematangan, mencegah mereka dari berkembang biak
dan menyebarkan penyakit melalui generasi baru serangga (BASF, 2011).

13

Abate adalah larvisida ampuh berdasarkan bahan aktif temefos yang secara efektif
mengelola spektrum yang luas dari gangguan dan penyebab penyakit serangga, seperti
nyamuk, sebelum mereka menetas (BASF, 2011).
Insektisida dari kelompok organofosfat (OP) umumnya sangat beracun, tetapi
mudah didekomposisi di alam. Organofosfat bekerja sebagai racun perut, racun kontak,
dan beberapa di antaranya racun inhalasi. Semua insektisida OP merupakan racun saraf
yang bekerja dengan cara menghambat kolin esterase (ChE) yang mengakibatkan
serangga sasaran mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati (Djojosumarto, 2008).
Sudah disinggung bahwa organofosfat dikenal sebagai insektisida yang sangat
toksik (sangat beracun), meskipun pada kenyataannya daya racun atau toksisitasnya
berkisar antara sangat toksik seperti paratoin (LD 50 pada tikus > 2mg/kg berat badan)
hingga kurang toksik pada temefos (LD50 pada tikus > 4000mg/kg) (Djojosumarto,
2008).
Apabila masuk ke dalam tubuh, golongan insektisida organofosfat dapat mengikat
enzim kolin esterase yang berakibat terkumpulnya asetilkolin dalam jaringan. Ini dapat
mengganggu sistem saraf yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan
tubuh, kekejangan, pingsan, sampai kematian. (Sumardjo, 2009).
4. Ekstrak
a. Definisi
Menurut FI IV, ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Syamsuni, 2007).
Menurut Sidik dan Mudahar (2000) ekstrak merupakan kumpulan senyawa-senyawa
dari berbagai golongan yang terlarut didalam pelarut yang sesuai, termasuk didalamnya
senyawa-senyawa aktif atau yang tidak aktif . Menurut Sinambela (2003) pengolahan
ekstraksi bahan tumbuhan obat dengan pelarut yang sesuai (air, alkohol dan pelarut
organik lain) menjadi ekstrak cair atau ekstrak kering banyak dilakukan untuk tujuan
standarisasi sediaan obat herbal sekaligus memberi keuntungan dari segi formulasi
sediaannya (disitasi oleh Mamun et al., 2008).
Farouq (2003, disitasi oleh Mamun et al., 2008) menuliskan bahwa pemilihan
pelarut sangat penting dalam proses ekstraksi sehingga bahan berkhasiat yang akan
ditarik dapat tersari sempurna.Departemen Kesehatan merekomendasikan air, alkohol

14

dan air dengan alkohol untuk cairan penyari ekstrak untuk keperluan bahan baku obat
tradisional.
Penelitian Teknik Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Purwoceng oleh Mamun et
al. (2008) menyimpulkan bahwa ekstraksi dengan alkohol 90% memberikan rendemen
Ekstrak lebih tinggi serta kandungan bahan aktif dalam ekstrak lebih tinggi daripada
ekstrak dengan alkohol 60% dan 75%.
b. Metode Ekstraksi Tanaman
1. Maserasi
Dalam proses ini, seluruh atau bubuk kasar simplisia ditempatkan dalam wadah
tertutup dengan pelarut dan dibiarkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimal 3
hari dengan sering diagitasi sampai materi larut. Campuran kemudian disaring, sisa
(bahan padat basah) ditekan, dan cairan gabungan diklarifikasi dengan penyaringan atau
dikentalkan (Handa et al., 2008).
2. Perkolasi
Ini adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan aktif
dalam ekstrak cairan. Proses ini menggunakan sebuah wadah penapis (sempit,
berbentuk kerucut terbuka pada kedua ujungnya). Bahan-bahan padat dibasahi dengan
sejumlah cairan penyari dan didiamkan selama sekitar 4-24 jam dalam wadah tertutup
rapat, setelah itu massa dikemas dan bagian atas perkolator ditutup (Handa et al., 2008).
3. Sokslet
Dalam metode ini, simplisia ditumbuk halus ditempatkan dalam kantong berpori
yang dibuat dari kertas filter yang kuat dan di letakkan dalam sebuah gelas ekstraksi
yang bekerja secara kontinu. Gelas ekstraksi yang mengandung kantung diletakkan di
antara labu suling dan suatu kondensor yang dihubungkan dengan pipa. Labu tersebut
berisi bahan pelarut, yang menguap dan mencapai ke dalam kondensor melalui pipet,
berkondensasi dan akan membawa keluar bahan yang diekstraksi (Handa et al., 2008).
4. Infus
Menurut FI IV, Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90C selama 15 menit (Syamsuni, 2007).
5. Digesti
Ini adalah bentuk maserasi pada wadah panas yang digunakan selama proses
ekstraksi. Ini digunakan ketika peningkatan temperatur secara moderat tidak dapat
diprediksi. Efisiensi pelarut semakin meningkat (Handa et al., 2008).
6. Dekok

15

Pada proses ini, simplisia dididihkan dalam volume air yang spesifik pada waktu
yang ditentukan; lalu didinginkan dan disaring. Prosedur ini cocok untuk Ekstrak larut
air, dengan bahan dasar tahan panas (Handa et al., 2008).

5. Kerangka Teori
Abate

Daun Johar (Senna siamea)

organofosfat

alkaloid

menghambat
ChE

sekresi
hormon
ekdison
cepat

menghambat
respirasi

pori-pori
lambung
kecil

kelumpuhan

kegagalan
moulting

kekurangan
oksigen

gangguan
metabolisme

flavonoid

tanin galat

steroid /
triterpenoid

Fagostimula
nterganggu

kelaparan

Larva nyamuk Culex sp.


mati

Gambar 12. Kerangka Teori (Djojosumarto (2008), Aradilla (2009), Faudzy dan Marina
(2012))
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
6. Kerangka Konsep
alkaloid

flavonoid

16

Ekstrak daun Johar


(Senna siamea)

Efek larvasida pada larva


nyamuk Culex sp.
tannin galat

Steroid /
triterpenoid

Gambar 13. Kerangka Konsep


Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel antara
: Variabel terikat
B. Landasan Teori
Nyamuk genus Culex merupakan nyamuk yang banyak terdapat di sekitar kita.
Nyamuk ini termasuk serangga yang beberapa spesiesnya sudah dibuktikan sebagai
vektor penyakit (Sholichah, 2009).
Beberapa penyakit yang penularannya lewat gigitan nyamuk Culex sp. yaitu
Filariasis Limfatik, Japanese Encephalitis dan West Nile Virus (Sholichah, 2009).
Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian vector borne
diseases di seluruh dunia (Aradilla, 2009). Abate adalah larvisida ampuh berdasarkan
bahan aktif temefos yang secara efektif mengelola spektrum yang luas dari gangguan
dan serangga penyebab penyakit, seperti nyamuk, sebelum mereka menetas (BASF,
2011).
Namun larvasida golongan ini dapat mengikat enzim kolin esterase yang berakibat
terkumpulnya asetilkolin dalam jaringan. Ini dapat mengganggu sistem saraf yang
selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan tubuh, kekejangan, pingsan,
sampai kematian (Sumardjo, 2009). Sehingga, pengembangan insektisida alami
merupakan solusi terbaik saat ini karena insektisida

alami

bahan

dasarnya berasal dari tumbuhan yang bersifat toksik terhadap


serangga

dan

mudah

terdegradasi

sehingga

tidak

mencemari

lingkungan dan relatif aman bagi manusia karena akan cepat


menghilang di alam (Diantoro et al., 2006).
Penelitian telah dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa kandungan
kimia daun johar adalah alkaloid, flavonoid, tanin galat, steroid/triterpenoid, K, Ca, Mg
dan Fe (Wahjoedi et al., 1996).
Senyawa alkaloid dapat merangsang dan mempercepat sel-sel neurosekretori untuk
menyekresikan hormon ekdison. Kelebihan hormon ekdison dapat menyebabkan
kegagalan dalam proses moulting (Faudzy dan Marina, 2012).

17

Sebagian besar flavonoid di alam dapat ditemukan dalam bentuk glikosida.


Glikosida dapat menghambat respirasi pada serangga sehingga serangga kekurangan
oksigen. Pada larva nyamuk kekurangan oksigen menyebabkan larva tidak mampu
untuk bergerak ke permukaan untuk bernapas (Faudzy dan Marina, 2012).
Tanin dapat memperkecil pori-pori lambung sehingga menyebabkan proses
metabolisme sistem pencernaan menjadi terganggu. Penumpukan sari-sari makanan
pada organ pencernaan larva dapat menjadi racun dan secara perlahan-lahan larva akan
mati (Faudzy dan Marina, 2012).
Azadirachtin termasuk dalam kelompok triterpenoid menghasilkan stimulan detteren
spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada bagian mulut (mouth part) yang
bekerja bersama-sama dengan reseptor kimia yang mengganggu persepsi rangsangan
untuk makan (fagostimulan) (Aradilla, 2009).
C. Hipotesis
Ada efek ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida nyamuk Culex sp.

18

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
post test only control group design. Dimana pengukuran dilakukan setelah larva
diberikan perlakuan.
2. Tempat pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Untad sebagai tempat
pembuatan ekstrak daun johar dan Balai Litbang P2B2 Donggala sebagai tempat
pengujian efek larvasida ekstrak daun johar pada larva nyamuk Culex sp.
3. Waktu pelaksanaan
Waktu dilakukannya penelitian ini adalah pada tanggal 30 Maret 2014 sampai 25
Mei 2014
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh larva nyamuk Culex sp.
2. Sampel
Sampel yang diambil adalah larva nyamuk Culex sp. yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Sampel dibagi menjadi 6 kelompok uji pendahuluan dan 6 kelompok
penelitian.
Kelompok uji pendahuluan, yaitu:
1. kelompok kontrol negatif = 25 larva nyamuk Culex sp. tanpa perlakuan
2. kelompok perlakuan 1
= 25 larva nyamuk Culex sp. + 125 ppm ekstrak
3. kelompok perlakuan 2
= 25 larva nyamuk Culex sp. + 250 ppm ekstrak

19

4. kelompok perlakuan 3
= 25 larva nyamuk Culex sp. + 500 ppm ekstrak
5. kelompok perlakuan 4
= 25 larva nyamuk Culex sp. + 1000 ppm ekstrak
6. kelompok kontrol positif = 25 larva nyamuk Culex sp. + 1 mg/L Abate
Kelompok penelitian, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

kelompok kontrol negatif


kelompok perlakuan 1
kelompok perlakuan 2
kelompok perlakuan 3
kelompok perlakuan 4
kelompok kontrol positif

=
=
=
=
=
=

25 larva nyamuk Culex sp. tanpa perlakuan


25 larva nyamuk Culex sp. + 500 ppm ekstrak
25 larva nyamuk Culex sp. + 1000 ppm ekstrak
25 larva nyamuk Culex sp. + 2000 ppm ekstrak
25 larva nyamuk Culex sp. + 4000 ppm ekstrak
25 larva nyamuk Culex sp. + 1 mg/L Abate

Replikasi setiap kelompok penelitian ini ditentukan menggunakan rumus Federer


yaitu: (k-1) (n-1) > 15. Terdapat 6 kelompok pada penelitian dengan demikian
perhitungan dengan rumus Federer dalam menentukan jumlah replikasi tiap kelompok
sebagai berikut:
(k-1) (n-1) 15
(6-1) (n-1) 15
5 (n-1) 15
5n 20
n4
Keterangan:
k : jumlah kelompok
n : banyak replikasi dalam tiap kelompok
Penelitian ini dilakukan dengan 6 kelompok uji pendahuluan dengan masing-masing
kelompok terdapat 25 larva nyamuk Culex sp. Sehingga diperlukan 150 larva nyamuk
Culex sp. Dan 6 kelompok penelitian dengan 4 kali replikasi dan masing-masing
kelompok terdapat 25 larva nyamuk Culex sp. Sehingga diperlukan 600 larva nyamuk
Culex sp. Jumlah seluruh sampel yang dibutuhkan adalah 750 larva nyamuk Culex sp.
a. Kriteria Inklusi
1) Larva nyamuk Culex sp.
2) Larva telah mencapai instar III atau IV
3) Larva bergerak aktif
b. Kriteria Eksklusi
1) Larva telah menjadi pupa
2) Larva mati sebelum perlakuan
1.
2.
3.
4.

C. Bahan Penelitian
5 x 1 mg/L Bubuk Abate Kimia
Pelarut etanol 96% 1 L
1 kg daun johar
30 x 200 ml Air

20

D. Alat Penelitian
1. Wadah larva
2. Blender
3. Rotary evaporator
4. Pengaduk
5. Gelas ukur
6. Pipet
7. Timbangan
8. Kain putih
9. Kain hitam
10. Alat tulis
E. Prosedur Penelitian
Ada beberapa tahap yang kami lakukan dalam praktikum ini yaitu:
a. Pembuatan Larvasida Daun Johar
1) Menimbang daun johar seberat 1 kg
2) Mencuci daun johar sampai bersih kemudian mengeringkannya dibawah sinar
matahari dengan ditutup kain hitam
3) Membuat daun johar yang sudah kering menjadi serbuk kering
4) Maserasi serbuk bahan dengan etanol 96%, maserat di ambil setiap 24 jam atau
setiap hari dan maserasi di hentikan apa bila larutan memberikan maserat yang agak
jernih.
5) Menguapkan maserat yang sudah didapatkan dengan menggunakan rotary
evaporator sampai kental atau pekat.
6) Setelah selesai, crude extract disimpan di dalam lemari es dan siap digunakan.

b. Uji Pendahuluan
a) Pra Pemberian Larvasida
1) Menyiapkan 6 wadah larva (Kontrol (+), Kontrol (-), perlakuan 1, perlakuan 2,
perlakuan 3 dan perlakuan 4)
2) Masing-masing wadah larva diberi air 200 ml dan larva sebanyak 25 larva.
b) Pelaksanaan Pemberian Larvasida
1) Memasukan crude extract daun johar sebagai larvasida dengan konsentrasi 125
ppm, 250 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm kedalam masing-masing wadah larva yang
sudah terdapat larva (perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3 dan perlakuan 4).
2) Memasukkan bubuk Abate 1mg/L air kedalam wadah larva kontrol (+) yang sudah
terdapat larva.

21

3) Tidak memberi perlakuan kedalam wadah larva kontrol (-) yang sudah terdapat
larva.
c) Pasca Pemberian Larvasida
1) Menghitung jumlah larva mati setelah 24 jam, dengan menjaringnya menggunakan
kain putih yang sudah disiapkan dan mencatatnya pada tabel hasil pengamatan.
2) Membuat 4 replikasi konsentrasi berdasarkan konsentrasi terkecil menyebabkan
larva mati
c. Penelitian
a) Pra Pemberian Larvasida
3) Menyiapkan 6 wadah larva (Kontrol (+), Kontrol (-), perlakuan 1, perlakuan 2,
perlakuan 3 dan perlakuan 4)
4) Masing-masing wadah larva diberi air 200 ml dan larva sebanyak 25 larva.
b) Pelaksanaan Pemberian Larvasida
4) Memasukan crude extract daun johar sebagai larvasida dengan konsentrasi 500
ppm, 1000 ppm, 2000 ppm dan 4000 ppm kedalam masing-masing wadah larva
yang sudah terdapat larva (perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3 dan perlakuan 4).
5) Memasukkan bubuk Abate 1mg/L air kedalam wadah larva kontrol (+) yang sudah
terdapat larva.
6) Tidak memberi perlakuan kedalam wadah larva kontrol (-) yang sudah terdapat
larva.

c) Pasca Pemberian Larvasida


3) Menghitung jumlah larva mati di semua wadah larva setelah 24 jam, dengan
menjaringnya menggunakan kain putih yang sudah disiapkan dan mencatatnya pada
tabel hasil pengamatan.
4) Membandingkan jumlah larva yang mati dalam 6 wadah larva, kemudian melakukan
replikasi sebanyak 4 kali.
5) Menarik kesimpulan
F. Definisi Operasional
1. Variabel bebas

22

Ekstrak daun johar (Senna siamea) merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengektraksi zat aktif dari simplisia daun johar (Senna siamea) menggunakan pelarut
yang sesuai. Ekstrak yang digunakan merupakan ekstrak kental yang diperoleh dengan
cara maserasi menggunakan ethanol 96%.
2. Variabel terikat
Efek larvasida pada larva nyamuk Culex sp. adalah efek yang ditimbulkan oleh
ekstrak daun johar (Senna siamea) yang menyebabkan larva nyamuk Culex sp. mati.
3. Indikator/Pengukuran
Larva telah mencapai instar III apabila tubuh larva telah berukuran 45 mm, duriduri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna cokelat kehitaman.
Larva telah mencapai instar IV apabila tubuh larva telah berukuran 5-6 mm, dengan
warna kepala gelap.
Larva telah menjadi pupa apabila tubuh larva telah berubah bentuk seperti koma,
berukuran lebih besar dari larva.
Larva mati adalah larva yang tenggelam ke dasar kontainer, tidak bergerak,
meninggalkan larva lain yang dapat bergerak dengan jelas dan tidak berespon terhadap
rangsangan.
LC50 adalah konsentrasi ekstrak daun johar (Senna siamea) yang mampu
menyebabkan kematian 50% larva nyamuk Culex sp.
LC90 adalah konsentrasi ekstrak daun johar (Senna siamea) yang mampu
menyebabkan kematian 90% larva nyamuk Culex sp.
G. Analis Data
Memeriksa distribusi data dengan Uji Shapiro-Wilk dan varians data dengan uji
Levene. Jika distribusi data normal dan varians data sama, data hasil pengamatan berupa
jumlah larva yang mati akan dianalisis menggunakan uji One Way Analysis of Variance
(ANOVA), dan sebagai alternatif dipilih uji Kruskal-Wallis. Apabila hasil penelitian ini
menunjukkan angka yang signifikan, maka akan dilanjutkan dengan uji Korelasi
Pearson untuk mengetahui korelasi variabel, dan sebagai alternative dipilih uji Korelasi
Spearman.
Menentukan konsentrasi efektif LC50 dan LC90 untuk mengetahui konsentrasi efektif
ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida nyamuk Culex sp. Jika mortalitas

23

kontrol (-) antara 5% dan 20%, mortalitas larva pada kelompok perlakuan harus
dikoreksi menggunakan Abbotts formula.
H. Alur Penelitian
Pembuatan Larvasida Ekstrak
Daun Johar (Senna siamea)
Uji Pendahuluan

Kontrol (+)
Abate 1
mg/L

Perlakuan 1
Ekstrak 125
ppm

Perlakuan 2
Ekstrak 250
ppm

Perlakuan 3
Ekstrak 500
ppm

Perlakuan 4
Ekstrak
1000 ppm

Kontrol (-)

Perlakuan 4
Ekstrak
4000 ppm

Kontrol (-)

Penelitian

Kontrol (+)
Abate
1mg/L

Perlakuan 1
Ekstrak 500
ppm

Perlakuan 2
Ekstrak
1000 ppm

Perlakuan 3
Ekstrak
2000 ppm

Replikasi 4 kali

Analisis Data

Gambar 14. Alur Penelitian


I. Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu,
1.

Penelitian ini tidak mengukur konsentrasi zat alkaloid, steroid/triterpenoid,

falvonoid, dan tanin galat yang terkandung pada daun johar (Senna siamea).
2. Sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan genus Culex sp. tanpa
pengklasifikasian spesies.

24

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini didahului dengan uji pendahuluan menggunakan 4 konsentrasi ekstrak
yang berbeda (125 ppm, 250 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm), kontrol (+) dan kontrol (-).
Hasil yang didapatkan adalah:
Tabel 1. Hasil uji pendahuluan
Perlakuan

Kontrol (+)
Kontrol (-)
Perlakuan 1 (125 ppm)
Perlakuan 2 (250 ppm)
Perlakuan 3 (500 ppm)

Jumlah

Mortalitas

Persentase Mortalitas

Larva

Larva

(%)

25
25
25
25
25

25
0
0
0
1

100
0
0
0
4

25

Perlakuan 4 (1000 ppm)


25
5
20
(Sumber : Data Primer, 2014)
Data dari tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (+) 25 larva mati
(100%), dan kelompok kontrol (-) tidak terdapat larva mati (0%). Pada kelompok
perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 tidak terdapat larva mati (0%). Pada kelompok
perlakuan 3 terdapat 1 larva mati (4%). Pada kelompok perlakuan 4 terdapat 5 larva
mati (20%).
Kemudian hasil uji pendahuluan ini akan menjadi acuan replikasi konsentrasi
ekstrak yang diujikan. Karena kelompok perlakuan 3 dengan konsentrasi ekstrak 500
ppm telah menyebabkan larva mati, sehingga konsentrasi untuk kelompok penelitian
dimulai dari konsentrasi 500 ppm, kemudian dilakukan replikasi ke atas. Jadi
konsentrasi yang dipakai pada kelompok penelitian perlakuan 1 adalah 500 ppm,
perlakuan 2 adalah 1000 ppm, perlakuan 3 adalah 2000 ppm dan perlakuan 4 adalah
4000 ppm.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil yang didapatkan untuk kontrol (+) dan
kontrol (-) disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil penelitian untuk kontrol (+) dan kontrol (-)


Perlakuan

Replikasi

Jumlah

Mortalitas

Persentase

Total

Larva

Larva

Mortalitas

Mortalitas

(%)

(%)

100
100
100
100
28
32
8
12

100

Kontrol (+)

1
25
2
25
3
25
4
25
Kontrol (-)
1
25
2
25
3
25
4
25
(Sumber : Data Primer, 2014)
Data dari tabel 2 menunjukkan bahwa pada

25
25
25
25
7
8
2
3

20

kelompok kontrol (+) 100% larva mati,

dan kelompok kontrol (-) 20% larva mati. Hasil kelompok kontrol (+) dan kelompok
kontrol (-) akan dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3
dan perlakuan 4 untuk mengetahui pengaruh efek larvasida setiap perlakuan. Selain itu,
hasil kelompok kontrol (-) juga akan digunakan untuk melakukan koreksi mortalitas
larva menggunakan Abbots formula.
%MU - %MK
X 100%
100 - %MK

26

Keterangan MU = kematian jentik uji


MK = kematian jentik kontrol negatif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil yang didapatkan untuk perlakuan 1,
perlakuan 2, perlakuan 3 dan perlakuan 4 disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil penelitian untuk kelompok perlakuan


Perlakuan

Perlakuan

Replikasi

Jumlah

Mortalitas

Koreksi

Total

Larva

Larva

Mortalitas

Mortalitas

(%)

(%)

1
25
2
25
1 (500
3
25
ppm)
4
25
Perlakuan
1
25
2
25
2 (1000
3
25
ppm)
4
25
Perlakuan
1
25
2
25
3 (2000
3
25
ppm)
4
25
Perlakuan
1
25
2
25
4 (4000
3
25
ppm)
4
25
(Sumber : Data Primer, 2014)
Data dari tabel 3 menunjukkan bahwa pada

5
13
14
4
7
8
11
11
12
16
18
7
21
22
21
17

0
40
45
-5
10
15
30
30
35
55
65
10
80
85
80
60

20

21.25

41.25

76.25

kelompok perlakuan 1 hanya terdapat

20% larva mati, kelompok perlakuan 2 terdapat 21,25% larva mati, kelompok perlakuan
3 terdapat 41,25% larva mati dan kelompok perlakuan 4 terdapat 76,25% larva mati.
Perbedaan mortalitas larva tiap perlakuan dapat dilihat pada gambar berikut.

27

Gambar 15. Grafik rata-rata mortalitas larva


Kemudian dari data di atas dilakukan pengujian distribusi data dengan uji ShapiroWilk. Hasil yang didapatkan adalah:
Tabel 4. Hasil uji Shapiro-wilk
Perlakuan

Nilai p =

Perlakuan 1 (500 ppm )


0,103
Perlakuan 2 (1000 ppm)
0,755
Perlakuan 3 (2000 ppm)
0,161
Perlakuan 4 (4000 ppm)
0,145
Kontrol (-)
0,348
Dari uji Shapiro-wilk menunjukkan distribusi data normal karena semua kelompok
perlakuan memiliki nilai p>0.05.
Lalu dilakukan pengujian varians data dengan uji Levene. Hasil yang didapatkan
adalah p=0,000. Dari uji Levene menunjukkan varians data tidak sama karena nilai
p<0.05.
Karena distribusi data normal, tetapi varians data tidak sama, maka data hasil
pengamatan berupa jumlah larva yang mati akan dianalisis menggunakan uji KruskalWallis sebagai alternatif uji One Way Analysis of Variance (ANOVA). Hasil yang
didapatkan adalah p=0,002. Dari hasil analisis Kruskal-Wallis didapatkan signifikansi
sebesar p<0,05 yang berarti terdapat kelompok memiliki nilai rata-rata efek kematian
larva yang berbeda.

28

Untuk membandingkan efek kematian larva pada kelompok perlakuan terhadap


kontrol (+) dan kontrol (-), maka dilakukan uji Post Hoc. Uji Post Hoc untuk analisis
Kruskal-Wallis adalah uji Mann-Whitney. Hasil yang didapatkan adalah:
Tabel 5. Hasil uji Mann-Whitney
Perlakuan

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Perlakuan 3

Perlakuan 4

(500 ppm)

(1000 ppm)

(2000 ppm)

(4000 ppm)

0,014
0,013
0,014
0,013
0,248
0,078
0,059
0,020
Berdasarkan tabel 5, hasil uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol (+) dengan
Kontrol (+)
Kontrol (-)

kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3 dan perlakuan 4 didapatkan nilai


p<0.05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efek kematian larva antara
kelompok tersebut. Dan hasil uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol (-) dengan
kelompok perlakuan 1, perlakuan 2 dan perlakuan 3 didapatkan nilai p>0.05 hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan efek kematian larva antara kelompok
tersebut, sedangkan antara kelompok kontrol (-) dengan kelompok perlakuan 4 nilai
p<0.05 hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efek kematian larva antara
kelompok tersebut.
Karena distribusi data normal, maka untuk mengetahui korelasi peningkatan
konsentrasi ekstrak dan jumlah kematian larva dipilih uji korelasi Pearson. Hasil yang
didapatkan adalah:
Tabel 6. Hasil uji korelasi Pearson
Koreksi Mortalitas Larva
Perlakuan

Kekuatan Korelasi
Nilai p =

0,799
0,000
Dari hasil uji korelasi Pearson diperoleh nilai p<0,05 yang menunjukkan bahwa
korelasi antara peningkatan konsentrasi ekstrak dan kematian larva adalah bermakna.
Kekuatan korelasi sebesar 0,799 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan
kekuatan korelasi kuat. Hasil ini dapat terlihat pula melalui gambar berikut.

29

Gambar 16. Grafik korelasi peningkatan konsentrasi ekstrak dan kematian larva
Lalu dilakukan pengujian LC50 dan LC90 untuk mengetahui konsentrasi efektif
ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida nyamuk Culex sp. adalah:
Tabel 7. Hasil pengujian LC50 dan LC90
LC

Estimasi

50
2427,463
90
5447,047
Data dari tabel 7 diperoleh konsentrasi efektif ekstrak daun johar (Senna siamea)
membuat mortalitas larva nyamuk Culex sp. sebesar 50% adalah 2427,463 ppm dan
konsentrasi efektif ekstrak daun johar (Senna siamea) membuat mortalitas larva nyamuk
Culex sp. sebesar 90% adalah 5447,047 ppm.
B. Pembahasan
Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal
sebagai arthropod borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector borne diseases
(Jayadipraja et al., 2013).
Pemberantasan larva merupakan kunci strategi program pengendalian vector borne
diseases. Tindakan yang ditujukan pada larva nyamuk dapat dengan memodifikasi habitathabitat larva dengan menggunakan pestisida (Rita dan Ningtyas, 2009).
Namun, penggunaan pestisida sintetik perlu diwaspadai karena penggunaan pestisida
sintetik secara terus menerus akan menimbulkan pencemaran lingkungan, kematian
berbagai makhluk hidup lain dan menyebabkan hama pengganggu atau larva menjadi
resisten, bahkan dapat menyebabkan mutasi gen pada larva (Rita dan Ningtyas, 2009).

30

Melihat kerugian berupa efek samping yang ditimbulkan oleh pestisida sintetik tersebut
maka dibutuhkan suatu usaha untuk mendapatkan bahan alternatif yang lebih ramah
lingkungan tetapi juga efektif dalam mengendalikan populasi serangga hama (Rita dan
Ningtyas, 2009).
Pengembangan insektisida alamiah merupakan solusi terbaik saat

ini. Penelitian tentang insektisida alamiah dalam upaya mengendalikan serangga,


khususnya pada stadium larva, pertama kali dirintis oleh Campbell dan Sulivan pada
tahun 1933 (Sudjari, 2006).
Alternatif insektisida dari alam sudah sering digunakan. Hasilnya memang kalah
bagus dibandingkan dengan insektisida kimia. Tumbuhan yang digunakan umumnya
mengandung zat-zat macam minyak atsiri, flavonoid, alkaloid, polifenol dan saponin.
Insektisida ini akan terurai dengan senyawa-senyawa yang tidak berbahaya bagi
manusia dan lingkungan setelah digunakan (Astuti, 2011).
Penelitian ini menggunakan ekstrak daun johar (Senna siamea) yang telah
dibuktikan oleh Pavananundt et al. (2013) pada penelitian yang berjudul Larvicidal
Properties Of Cassia Siamea Leaf Against Aedes Aegypti Larvae bahwa ekstrak air
daun johar mempunyai kemampuan larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
Pada penelitian ini peneliti menguji cobakan ekstrak etanol daun johar terhadap larva
nyamuk Culex sp.
Pada awalnya, larva nyamuk dipaparkan pada rentang konsentrasi uji yang luas dan
sebuah kontrol (-) untuk menentukan rentang aktifitas materi uji (WHO, 2005). Namun
pada penelitian ini peneliti menambahkan Abate sebagai kontrol (+) larvasida. Peneliti
memilih Abate karena menurut Aradilla (2009) penggunaan Abate di Indonesia sudah
sejak tahun 1976 atau sudah digunakan sebagai larvasida lebih dari 30 tahun.
Sekitar 25 larva instar III atau IV dimasukkan dengan alat penapis, screen loops atau
alat penetes ke wadah atau bejana, yang berisi 100-200 ml air. Kedalaman air dalam
wadah atau bejana harus antara 5 cm dan 10 cm; jika lebih dalam akan menyebabkan
kematian (WHO, 2005). Pada penelitian ini digunakan 25 larva instar III atau IV setiap
kelompok perlakuan, dipindahkan menggunakan alat penapis ke dalam wadah gelas
yang berisi 200 ml air dengan kedalaman air dari alas wadah adalah 5 cm.
Pada penelitian ini, jumlah larva mati dihitung setelah 24 jam, dengan menjaringnya
menggunakan kain putih yang sudah disiapkan dan mencatatnya pada tabel hasil
pengamatan. Pemaparan larva selama 24 jam dengan masing-masing perlakuan
dimaksudkan agar larva melalui satu siklus photoperiod. Sesuai dengan panduan WHO
(2005) bahwa wadah uji harus melalui satu siklus photoperiod yaitu 12 jam terang

31

diikuti 12 jam gelap. Setelah 24 jam paparan, kematian larva dicatat. Larva yang terlihat
akan mati dihitung dan ditambahkan menjadi larva mati untuk menghitung persentase
mortalitas.
Dari hasil uji pendahuluan didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan 1 (125 ppm)
dan kelompok perlakuan 2 (250 ppm) tidak terdapat larva yang mati. Pada kelompok
perlakuan 3 (500 ppm) terdapat 1 larva mati (4%). Pada kelompok perlakuan 4 (1000
ppm) terdapat 5 larva mati (20%). Semua larva mati pada kontrol (+). Tidak ada larva
mati pada kontrol (-), sehingga tidak perlu dilakukan koreksi mortalitas.
Jika lebih dari 10% larva kontrol (-) menjadi pupa dalam rangkaian penelitian, uji
harus dibuang dan diulang. Jika mortalitas kontrol (-) antara 5% dan 20%, mortalitas
kelompok perlakuan harus dikoreksi menggunakan Abbotts formula (WHO, 2005).
Bila kematian jentik pada kontrol (-) antara 5-20%, maka data dikoreksi dengan
rumus Abbots (1925), yaitu :
%MU - %MK
X 100%
100 - %MK
dimana MU adalah kematian jentik uji dan MK adalah kematian jentik kontrol. Jika
kematian jentik pada kontrol (-) >20%, maka pengujian dianggap gagal dan penelitian
harus diulang (Ruliansyah, 2009).
Karena kelompok perlakuan 3 dengan konsentrasi ekstrak 500 ppm telah
menyebabkan larva mati, sehingga konsentrasi untuk kelompok penelitian dimulai dari
konsentrasi 500 ppm, kemudian dilakukan replikasi ke atas. Jadi konsentrasi yang
dipakai pada kelompok penelitian perlakuan 1 adalah 500 ppm, perlakuan 2 adalah 1000
ppm, perlakuan 3 adalah 2000 ppm dan perlakuan 4 adalah 4000 ppm.
Data penelitian menunjukkan bahwa kelompok kontrol (-) 20% larva mati. Karena
mortalitas kelompok kontrol (-) antara 5% dan 20%, mortalitas kelompok perlakuan
harus dikoreksi menggunakan Abbotts formula.
Hasil koreksi mortalitas menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan 1 (500 ppm)
mampu menyebabkan 20% mortalitas larva, kelompok perlakuan 2 (1000 ppm) mampu
menyebabkan 21,25% mortalitas larva, kelompok perlakuan 3 (2000 ppm) mampu
menyebabkan 41,25% kematian larva dan kelompok perlakuan 4 (4000 ppm) mampu
menyebabkan 76,25% kematian larva.
Setelah menentukan mortalitas larva dalam rentang konsentrasi yang luas, rentang
sedikitnya (4-5 konsentrasi, hasil antara 10% dan 95% mortalitas dalam 24 jam atau 48
jam) digunakan untuk menentukan nilai LC50 dan LC90 (WHO, 2005). Penelitian ini

32

menggunakan 4 konsentrasi yang dinilai efeknya dalam 24 jam perlakuan. Hasil


mortalitas larva yang didapatkan pada kelompok perlakuan antara 20% dan 76,25%.
Hasil analisis korelasi antara kelompok perlakuan/konsentrasi ekstrak daun johar
(Senna siamea) dan jumlah kematian larva, menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
berkorelasi dengan jumlah kematian larva, dengan arah korelasi positif dan kekuatan
korelasi kuat. Dari hasil ini diketahui bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak akan
meningkatkan jumlah kematian larva.
Hasil di atas sesuai dengan penelitian oleh Kaihena et al. (2011) yang menguji
ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) terhadap larva nyamuk Anopheles sp. dan
Culex sp. bahwa masing-masing konsentrasi memiliki kadar toksik yang berbeda. Hal
ini dibuktikan dengan rendahnya konsentrasi ekstrak memiliki kadar toksik yang rendah
sehingga menyebabkan mortalitas larva yang rendah pula. Sebaliknya, semakin tinggi
konsentrasi ekstrak akan memiliki kadar toksik yang tinggi sehingga menyebabkan
mortalitas larva semakin tinggi pula.
Efek larvasida tersebut didapatkan dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam
daun johar (Senna siamea). Menurut Wahyoedi B. (1996), penelitian telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa kandungan kimia daun johar adalah
alkaloid, flavonoid, tanin galat, steroid/triterpenoid, K, Ca, Mg dan Fe. Dan menurut
Faudzy H. dan Marina R. (2012), senyawa alkaloid, flavonoid, tanin galat dan
steroid/triterpenoid bersifat toksik dan terbukti berkhasiat sebagai insektisida, ecdyson
blocker, repelen, dan anti feedant pada serangga.
Pernyataan di atas didukung oleh Diantoro et al. (2006) bahwa penelitian yang
dilakukan oleh Saxena et al. (1993) berhasil membuktikan aktivitas larvasida Annona
squamosa terhadap larva nyamuk Anopheles stephensi. Murty et al. (1997)
membuktikan bahwa ekstrak daun Polyalthia longifolia memiliki aktivitas sebagai
larvasida terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus (Ganguly, 2003). Sedangkan
Fatimah (2004) telah membuktikan bahwa senyawa flavonoid dari Saccopetalum
horsfieldii Benn juga memiliki aktivitas sebagai biolarvasida. Berdasarkan beberapa
penelitian tersebut senyawa yang aktif sebagai larvasida adalah dari golongan flavonoid
dan terpenoid.
Hal diatas didukung pula oleh Wardani et al. (2010) pada penelitiaannya yang
mengatakan bahwa flavonoid yang bekerja sebagai racun pernapasan. Serta oleh Faudzy
dan Marina (2012) mengatakan pada larva nyamuk kekurangan oksigen menyebabkan
larva tidak mampu untuk bergerak ke permukaan untuk bernapas. Menurut Cania dan

33

Setyaningrum (2013) bahwa flavonoid berperan sebagai racun pernapasan sehingga


menyebabkan kematian larva.
Cara kerja Flavonoid sebagai larvasida dijelaskan oleh Wardani et al. (2010) bahwa
Flavonoid masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan
menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan
mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati.
Penjelasan di atas didukung oleh Cania dan Setyaningrum (2013) yang mengatakan
bahwa Flavonoid bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan atau sebagai racun
pernapasan. Flavonoid mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva
melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf
serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas
dan akhirnya mati. Posisi tubuh larva yang berubah dari normal bisa juga disebabkan
oleh senyawa flavonoid akibat cara masuknya yang melalui siphon sehingga
mengakibatkan kerusakan sehingga larva harus mensejajarkan posisinya dengan
permukaan air untuk mempermudah dalam mengambil oksigen.
Pernyataan oleh Aradilla (2009) mendukung pernyataan Diantoro et al. (2006)
bahwa pada beberapa penelitian senyawa yang aktif sebagai larvasida adalah dari
golongan terpenoid. Menurut Aradilla (2009) Azadirachtin termasuk dalam kelompok
triterpenoid. Efek primer azadirachtin terhadap serangga berupa antifeedant dengan
menghasilkan stimulan detteren spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada
bagian mulut (mouth part) yang bekerja bersama-sama dengan reseptor kimia yang
mengganggu persepsi rangsangan untuk makan (fagostimulan).
Efek larvasida daun johar (Senna siamea) berasal pula dari senyawa alkaloid. Sesuai
dengan pernyataan Astuti et al. (2011) bahwa senyawa golongan alkaloid berpotensi
sebagai larvasida karena sifat toksiknya. Hal ini didukung oleh Aminah et al. (2001,
disitasi oleh Faudzy dan Marina, 2012), bahwa nyamuk yang mati abnormal akibat
terpapar oleh alkaloid menunjukkan sebagian tubuh nyamuk ada yang tersangkut
selubung pupa sehingga terjadi kegagalan moulting. Hal ini terjadi karena senyawa
alkaloid

dapat

merangsang

dan

mempercepat

sel-sel

neurosekretori

untuk

menyekresikan hormon ekdison. Kelebihan hormon ekdison dapat menyebabkan


kegagalan dalam proses moulting.
Pernyataan di atas berbeda dengan pernyataan Wardani et al. (2010) yang
mengatakan bahwa Alkaloid juga mampu menghambat pertumbuhan serangga, terutama
tiga hormon utama dalam serangga yaitu hormon otak (brain hormone), hormon
edikson, dan hormon pertumbuhan (juvenile hormone). Tidak berkembangnya hormon

34

tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorphosis. Sedangkan oleh Cania dan


Setyaningrum (2013) menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna pada tubuh larva
menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh larva yang melambat bila dirangsang
sentuhan serta selalu membengkokkan badan disebabkan oleh senyawa alkaloid.
Efek larvasida daun johar (Senna siamea) berasal pula dari senyawa tanin. Menurut
Dinata (2008) dan Suyanto (2009) bahwa tanin dapat menurunkan kemampuan
mencerna makanan dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan (protease dan
amilase). Respon jentik terhadap senyawa ini adalah menurunnya laju pertumbuhan dan
gangguan nutrisi (disitasi oleh Haditomo, 2010).
Pernyataan di atas didukung pula oleh Susanti (1998, disitasi oleh Kaihena et al.,
2011) bahwa tanin dapat berikatan dengan lipid dan protein dan diduga mengikat enzim
protease yang berperan dalam mengkatalis protein menjadi asam amino yang diperlukan
untuk pertumbuhan larva. Dengan terikatnya enzim oleh tanin, maka kerja dari enzim
tersebut menjadi terhambat, sehingga proses metabolisme sel dapat terganggu dan larva
akan kekurangan nutrisi. Akibatnya pertumbuhan larva menjadi terhambat dan jika
proses ini berlangsung terus, maka akan berdampak pada kematian larva.
Hasil analisis perbandingan efek larvasida antara kelompok kontrol (-) dengan
kelompok perlakuan 1, perlakuan 2 dan perlakuan 3 tidak terdapat perbedaan efek
kematian larva antara kelompok tersebut, sedangkan antara kelompok kontrol (-)
dengan kelompok perlakuan 4 terdapat perbedaan efek kematian larva antara kelompok
tersebut. Dari hasil ini diketahui bahwa ekstrak daun johar (Senna siamea) mempunyai
efek larvasida yang efektif diatas konsentrasi perlakuan 3 (2000 ppm).
Keefektifan ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada larva nyamuk
Culex sp. dinilai dengan menentukan nilai LC50 dan LC90. Didapatkan nilai LC50
(konsentrasi ekstrak daun johar (Senna siamea) yang mampu menyebabkan kematian
50% larva nyamuk Culex sp.) adalah 2427,463 ppm dan nilai LC90 (konsentrasi ekstrak
daun johar (Senna siamea) yang mampu menyebabkan kematian 90% larva nyamuk
Culex sp.) adalah 5447,047 ppm.
Konsentrasi ini jauh berbeda dengan konsentrasi efektif ekstrak air daun johar yang
mampu menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada penelitian
Pavananundt et al. (2013). Pada penelitian tersebut didapatkan hasil keefektifan ekstrak
air daun johar yang mampu menyebabkan kematian 50% (LC 50) larva nyamuk Aedes
aegypti pada perlakuan selama 24 jam adalah 419.65 ppm dan keefektifan ekstrak air

35

daun johar yang mampu menyebabkan kematian 90% (LC 90) larva nyamuk Aedes
aegypti pada perlakuan selama 24 jam adalah 741.84 ppm.
Data penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (+) 100% larva mati.
Kontrol (+) yang digunakan dalam penelitian adalah Abate. Dengan menggunakan
Abate yang merupakan salah satu dari golongan pestisida organophosphat maka enzim
cholineterase akan diikat atau dihancurkan sehingga terjadi kekejangan otot secara terus
menerus, dan serangga akhirnya akan mati (Nugroho, 2013).
Cara kerja golongan pestisida ini dijelaskan oleh Suwasono (1991, disitasi oleh
Nugroho, 2013) bahwa organophosphat mempunyai cara kerja menghambat enzim
cholineterase,

sehingga

menimbulkan

gangguan

pada

aktivitas

saraf

karena

tertimbunnya acetylcholine pada ujung saraf. Fungsi dari enzim cholineterase adalah
menghidrolisa acetycholine menjadi cholin dan asam cuka, sehingga bila enzim tersebut
dihambat maka hidrolisa acetycholine tidak terjadi sehingga otot akan tetap
berkontraksi dalam waktu lama maka akan terjadi kekejangan
Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara kelompok kontrol (+) dengan
kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3 dan perlakuan 4 menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan efek kematian larva antara kelompok tersebut. Hasil ini
menunjukkan bahwa efek larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea) terhadap larva
nyamuk Culex sp. tidak dapat menyamai kekuatan larvasida dari Abate terhadap larva
nyamuk Culex sp.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun johar (Senna
siamea) memiliki aktivitas larvasida terhadap larva nyamuk Culex sp., namun tidak
sekuat aktivitas larvasida yang dapat ditimbulkan oleh Abate terhadap larva nyamuk
Culex sp.
Hasil ini menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang dapat mematahkan
pendapat Astuti (2011) yang mengatakan larvasida alami memang kalah bagus
dibandingkan dengan larvasida kimia.

36

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil efek ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida pada
larva nyamuk Culex sp. dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak daun johar (Senna siamea) pada konsentrasi uji 500 ppm dapat
menyebabkan kematian 20% larva nyamuk Culex sp.
2. Ekstrak daun johar (Senna siamea) pada konsentrasi uji 1000 ppm dapat
menyebabkan kematian 21,25% larva nyamuk Culex sp.
3. Ekstrak daun johar (Senna siamea) pada konsentrasi uji 2000 ppm dapat
menyebabkan kematian 41,25% larva nyamuk Culex sp.

37

4. Ekstrak daun johar (Senna siamea) pada konsentrasi uji 4000 ppm dapat
menyebabkan kematian 76,25% larva nyamuk Culex sp.
5. Dosis efektif ekstrak daun johar (Senna siamea) menyebabkan 50% kematian larva
nyamuk Culex sp. adalah 2427,463 ppm dan menyebabkan 90% kematian larva
nyamuk Culex sp. adalah 5447,047 ppm
6. Efektifitas larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea) pada larva nyamuk Culex
sp. tidak sekuat aktivitas larvasida yang dapat ditimbulkan oleh Abate pada larva
nyamuk Culex sp.
7. Hasil perbandingan efektifitas larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea) dan
tanpa perlakuan menunjukkan efek larvasida ekstrak daun johar (Senna siamea)
yang efektif diatas konsentrasi 2000 ppm
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, masyarakat dapat memanfaatkan daun johar
(Senna siamea) sebagai larvasida. Namun sebelum penggunaannya sebagai larvasida,
peneliti berharap dilakukan penelitian lanjutan mengenai:
1. Konsentrasi zat alkaloid, steroid/triterpenoid, falvonoid, dan tanin galat yang
terkandung pada daun johar (Senna siamea), serta mengetahui kadar toksik masingmasing senyawa.
2. Uji toksisitas (secara pre klinik maupun klinik) ekstrak daun johar (Senna siamea)
pada organ eksternal seperti kulit, mata, dan rambut.
3. Uji ekstrak daun johar (Senna siamea) sebagai larvasida lebih dispesifikkan pada
spesies nyamuk Culex sp. yang telah terbukti sebagai vektor penyakit.

38

DAFTAR PUSTAKA
Aradilla, A.S., 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba
(Azadirachta indica) Tehadap Larva Aedes aegypti. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. [cited 2014 Jan 13]. Available from: eprints.undip.ac.id /
8088/.
Astuti, E. P., Riyadhi, A. dan Ahmadi, N. R., 2011. Efektivitas minyak jarak pagar
sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida terhadap larva nyamuk Aedes
albopictus. Bul. Littro. 22(1):44-53 [cited 2014 Jul 6]. Available from:
balittro.litbang.deptan.go.id/ind.
Astuti, M.A.W., 2011. Uji daya bunuh ekstrak bunga kecombrang (Nicolaia speciosa
(Blume) Horan.) terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus say. Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. [cited 2014 Mei 22]. Available from: e-journal.uajy.ac.id /
626/3/2BL00973.pdf.
BASF, 2011. Abate - Hentikan penyebab penyakit serangga sebelum mereka menetas.
The Chemical Company. [cited 2014 Feb 19]. Available from:
http://www.publichealth.basf.com/agr/ms/public-health/en_GB/content/publichealth/our-solutions/ABATE/ABATE.

39

Campbell, G.L., Hills, S.L., Fischer, M., Jacobson, J.A., Hoke, C.H., Hombach, J.M.,
Marfin, A.A., Solomon, T., Tsai, T.F., Tsu, V.D., dan Ginsburg, A.S., 2011.
Estimated global incidence of Japanese encephalitis: a systematic review. WHO.
[cited 2014 Mar 03]. Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/89/10 /
10-085233/en/.
Cania, E. dan Setyaningrum, E., 2013. Uji efektivitas larvasida ekstrak daun legundi
(Vitex trifolia) terhadap larva Aedes aegypti. Medical Journal of Lampung
University. 2(4):52-9 [cited 2014 Jul 4]. Available from: juke.kedokteran.unila.ac.
id/62.
CDC, 2005. Culex Mosquitoes. Centers for Disease Control and Prevention. [cited
2014 Feb 19]. Available from: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/arbor/culex.htm.
Diantoro, N.S., Faridah, E. dan Rismawati, N., 2006. Pemanfaatan senyawa flavonoid
dari tumbuhan goniothalamus macrophyllus sebagai biolarvasida dan pengendali
hama yang ramah lingkungan, PKMP, 3(9):1. [cited 2014 Jan 2]. Available from:
http://directory.umm.ac.id/penelitian/PKMI/pdf/PEMANFAATAN%20SENYAWA
%20FLAVONOID%20DARI%20TUMBUHAN%20Goniothalamus
%20macrophyllus.pdf.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah (2010) Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah Tahun 2010. Palu: dinkes.sulteng.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah (2011) Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah Tahun 2011. Palu: dinkes.sulteng.
Djojosumarto, P. (2008) Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Faudzy, H. dan Marina, R., 2012. Potensi daun dewa (Gynura pseudochina [L.] DC.)
sebagai larvasida Aedes aegypti (Linn.), Aspirator, 4(1):8. [cited 2014 Jan 6].
Available
from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article
/view/3014.
Grotewold, E. (2008) The Science of Flavonoids. Columbus: springer.
Haditomo, I., 2010. Efek larvasida ekstrak daun cengkeh (Syzygium aromaticum L.)
Terhadap Aedes aegypti L. Universitas Sebelas Maret, [cited 2014 Jul 6]. Available
from: eprints.uns.ac.id/7308/1/122803107201011151.pdf.
Handa, S.S., Khanuja, S.P.S., Longo, G., Rakesh, D.D., 2008. Extraction technologies
for medicinal and aromatic plants. International centre for science and high
technology, 19(2): 2 [cited 2013 Feb 26];. Available from: http://
www.banglajol.info/index. php/JDMC/article/view/ 7086/5371.
Hanum, I.F. dan Maesen, L.J.G. (2007) PROSEA : Plant Resources of South-East Asia
11 Auxiliary Plant. Jakarta: Lipi press.
Hill, S. dan Connelly, R., 2013. Southern House Mosquitous. University of Florida.
[cited 2014 Feb 19]. Available from: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic
/southern_house_mosquito.htm.

40

Instituto de Ecologa, 2004 Senna siamea (Lam.) H.S. Irwin dan Barneby. Species
Descriptions. [cited 2014 Jan 6].
Available from: http:www.rngr.net/
publications/ttsm/species/PDF.2004-03-16.2935/at_download/file.
Jayadipraja, E.A., Ishak, H., dan Arsin, A.A., 2013. Uji efektifitas ekstrak akar tuba
(Derris elliptica) terhadap mortalitas larva Anopheles sp. Fakultas Kesehatan
Masyarakat UNHAS. [cited 2014 Jan 14]. Available from: http://pasca.unhas.
ac.id/jurnal/files/186aa7a3a398df3d2482dad298e535ff.pdf.
Kaihena, M., Lalihatu, V. dan Nindatu, M., 2011. Efektivitas ekstrak etanol daun sirih
(Piper betle L.) terhadap mortalitas larva nyamuk Anopheles sp dan Culex. Molluca
Medica, 4(1):88-105 [cited 2014 Jul 08].
Available from: paparisa.
unpatti.ac.id/paperrepo/pp.
Mamun, Suhirman, S., Manoi, F., Sembiring, B.S., Tritianingsih, Sumasari, M., Gani,
A., Fatimah, T., dan Kustiwa, D., 2006. Teknik Pembuatan Simplisia Dan Ekstrak
Purwoceng. Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute :316-23
[Cited
2014
Feb
3].
Available
from:herbalnet.healthrepository.
org/bitstream/123456789/ 2578/1/5d.pdf.
Marnoto, T., Haryono, G., Gustinah, D., dan Putra, F.A., 2012. Ekstraksi Tannin Sebagai
Bahan Pewarna Alami Dari Tanaman Putrimalu (Mimosa Pudica) Menggunakan
Pelarut Organik. Reaktor, 14(1):39-45. [cited 2014 Apr 13]. Available from:
ejournal.undip.ac.id > Home > Volume 14, Nomor 1, April 2012 > Marnoto.
Natadisastra, D. (2009) Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Jakarta: EGC.
Nugroho, A.D., 2013. Perbedaan jumlah kematian larva Aedes aegypti setelah
pemberian Abate dibandingkan dengan pemberian serbuk serai (Andropogon
nardus). Universitas Negeri Semarang. [cited 2014 Jul 11]. Available from:
lib.unnes.ac.id/17725/.
Pavananundt, P., Jiraungkoorskul, K., Kosai, P., dan Jiraungkoorskul, W., 2013.
Larvicidal Properties Of Cassia Siamea Leaf Against Aedes Aegypti Larvae.
International Journal of Modern Agriculture, 2(1):1. [cited 2014 Jan 6]. Available
from: http://modern-journals.com/pdf2013/Ref1%20 Pavananundt%20 et%20al.pdf.
Rita, E. dan Ningtyas, D.R., 2009. Pemanfaatan Cymbopogon nardus sebagai larvasida
Aedes aegypti. Ikip PGRI Semarang. [cited 2014 Jul 04]. Available from: ejurnal.ikippgrismg.ac.id/75.
Rizzo, C., Salcuni, P., Nicoletti, P., Ciufolini, M.G., Russo, F., Masala, R., Frongia, O.,
Finarelli, A.C., Gramegna, M., Gallo, L., Pompa, M.G., Rezza, G., Salmaso, S., dan
Declich, S., 2012. Epidemiological surveillance of West Nile neuroinvasive diseases
in Italy, 2008 to 2011. Eurosurveillance, 17(20). [cited 2014 Mar 03]. Available
from: http://www.eurosurveillance.org/ViewArticle.aspx ?Article Id=20172.
Ruliansyah, A., Ridwan, W. dan Kusnandar, A.J., 2009. Efikasi berbagai konsentrasi
ekstrak daun sirsak (Anona muricata) terhadap jentik nyamuk Culex
quinquefasciatus. Aspirator, 1(1):46-50. [cited 2014 Jan 13]. Available from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/2930.

41

Sholichah, Z., 2009. Ancaman dari nyamuk Culex sp. yang terabaikan. BALABA,
5(1):21-3. [cited 2014 Jan 11]. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.
id/index.php/blb/article/view/1736.
Sudjari, Soemardini dan Hadiyanto, B., 2006. Efek ekstrak biji sirsak (Annona
Muricata L) sebagai larvasida Culex sp. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya
:1-8.
[cited
2014
Jan
13].
Available
from:
elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/1807/
1/Efek-ekstrak-biji-sirsak-(AnnonaMuricata-L)-sebagai-larvasida-Culex-sp..pdf.
Sumardjo, D. (2009) Pengantar Kimia. Jakarta: EGC.
Syamsuni, H.A. (2007) Ilmu Resep. Jakarta: EGC.
United States Department of Agriculture. Classification for Kingdom Plantae Down to
Species Senna siamea (Lam.) Irwin dan Barneby. USDA. [cited 2014 Jan 18].
Available from: http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=display
danclassid=SESI3.
Wahjoedi, B., Astuti, Y.N., Winarno, W., Pudjiastuti, dan Nuratmi, B., 1996. Penelitian
toksisitas subkronik infus daun johar (cassia siamea Lamk.) pada tikus putih. Bul
Penelit Kesehat, 24(4):52-7. [cited 2014 Jan 6].
Available from: http://
ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/ 334/0.
Wardani, R.S, Mifbakhudin dan Yokorinanti, K., 2010. Pengaruh konsentrasi ekstrak
daun Tembelekan (Lantana camara) terhadap kematian larva Aedes aegypti. Jurnal
Unimus,
6(2):30-8.
[cited
2014
Jul
6].
Available
from:
jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi/article/download/58/142.
WHO, 2004. Vector-borne disease. WHO. [cited 2014 Agt 19]. Available from:
www.who.int/heli/risks/vectors/vector/en/
WHO (2005) Guidelines For Laboratory And Field Testing Of Mosquito Larvicides.
WHO.
WHO, 2013. Lymphatic filariasis. WHO. [cited 2014 Mar 03]. Available from: http://
www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/.

Vous aimerez peut-être aussi