Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
a. Pengertian
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR,
Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam
berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga
didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya
atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama
masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika
uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan
menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah
manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
b. Etiologi
Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun
demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain:
1) Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a) kehamilan ganda
b) poli hidramnion
c) makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
2) Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot
rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
3) Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali
teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera
setelah plasenta lahir.
4) Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah
mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan
menghalangi uterus berkontraksi.
5) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6) Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan,
ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot
uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7) Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan
menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan
untuk melakukan kontraksi.
8) Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9) Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan
gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi
yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
10) Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam
kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi
menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang
digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi
sebagai sedativa atau penenang.
11) Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi
saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
12) Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata
merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus
uterus terhambat untuk berkontraksi.
c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak
merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini
terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal
4) Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah,
mual dan lain-lain.
d. Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang
cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani
seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin
setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau
10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.
Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai
waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada
membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip
pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif
dibanding oksitosin.
e. Manajemen Atonia Uteri
1) Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu
resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tandatanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan
transfusi darah.
2) Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
a) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa
apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk
segera
b) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
b) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan;
Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
c) Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
d) Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
3) Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring
dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi
pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau
IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU
perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara
IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg,
dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV
bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan
hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin
F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal,
intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg,
yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian
secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet
200 g = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit
kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari
beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan
84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia
uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi
perdarahan masif yang terjadi.
4) Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam
cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian
1-2 liter salin 47C-50C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa
infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan
salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial.
Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan
maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat
mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broadspectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil
memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing
diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak
memungkinkan dilakukan operasi.
5) Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan
disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC,
ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan
ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting
untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika
langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah
rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada
vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini
harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim
dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a) Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial
kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan
eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang
non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma
pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis
harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan
waktu dan kondisi pasien.
b) Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher
B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.
c) Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi
mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal.
2. PERDARAHAN KALA IV
a. Pengertian
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam
setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan
post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24
jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam
24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran
menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang lebar, laserasi perineum, dan
rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh
darah. Penyakit pada darah ibu misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia
karena tidak adanya atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan
darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang
sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat
adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai
dengan infeksi
2) Menentukan adanya gangguan kongulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time
( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT
). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
f. Penatalaksanaan
Penanganan perdarahan post partum berupa mencegah perdarahan post
partum, mengobati perdarahan kala uri dan mengobati perdarahan post partum
pada atoni uteri.
Cara mencegah perdarahan post partum yaitu memeriksa keadaan fisik,
keadaan umum, kadar hemoglobin, golongan darah dan bila mungkin tersedia
donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus
dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah, kepala
janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1
ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (sintometrin
intravena). Hasilnya biasanya memuaskan.
Cara mengobati perdarahan kala uri :
1) Memberikan oksitosin.
2) Mengeluarkan plasenta menurut cara Credee (1-2 kali).
3) Mengeluarkan plasenta dengan tangan.
Pengeluaran plasenta dengan tangan segera sesudah janin lahir dilakukan bila :
1) Menyangka akan terjadi perdarahan post partum.
2) Perdarahan banyak (lebih 500 cc).
3) Retensio plasenta.
4) Melakukan tindakan obstetri dalam narkossa.
5) Riwayat perdarahan post partum pada perssalinan yang lalu.
Jika masih ada sisa-sisa plasenta yang agak melekat dan masih terdapat
perdarahan segera lakukan utero-vaginal tamponade selama 24 jam, diikuti
pemberian uterotonika dan antibiotika selama 3 hari berturut-turut dan pada hari
ke-4 baru dilakukan kuretase untuk membersihkannya.
Jika disebabkan oleh luka-luka jalan lahir, luka segera dijahit dan perdarahan
akan berhenti.
Pengobatan perdarahan post partum pada atoni uteri tergantung banyaknya
perdarahan dan derajat atoni uteri yang dibagi dalam 3 tahap :
1. Tahap I : perdarahan yang tidak banyak dapat diatasi dengan memberikan
uterotonika, mengurut rahim (massage) dan memasang gurita.
garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul
bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito
bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium
(Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm
(Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah
diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator
ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot
ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari
permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka
dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan
rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis
tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum
dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma
pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis.
Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda,
muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna
(Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina
diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus,
muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini
yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium,
sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai
pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi
masa puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
LukaPerinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian
perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4tingkatan :
a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perinium
b) Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea
transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
d) Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
2) Robekan Serviks
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir
belakang servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditariksedidikit
untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit
dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
3) Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan
karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di
luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak
ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme
persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan
dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya rupturauteri.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau
diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium.
Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau
traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita
dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan
syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung
kemih dan organ vital di sekitarnya.
Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus
ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada para metrium,
kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan
komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai
dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam
kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai
pada partus lama atau kasep.
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat
dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal ). Rupture uteri adalah robeknya dinding
uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya
perioneum visceral.( Obstetri dan Ginekologi ).
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1. Menurut waktu terjadinya
a. R. u. Gravidarum
Waktu sedang hamil
Sering lokasinya pada korpus
b. R. u. Durante Partum
Waktu melahirkan anak
Ini yang terbanyak
2. Menurut lokasinya:
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan
lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya
terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau
versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
3. Menurut robeknya peritoneum
a. R. u. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya
( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut
dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
b. R. u. Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya.
Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum
4. Menurut etiologinya
janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginial.
2) Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang
multiparaberbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam.
Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan
perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3) Rupture Uteri
a) Ruptura uteri spontan
Terjadi spontan dan seagian besar pada persalinan
Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan
segmen bawah rahim yang berlebihan
b) Ruptur uteri trumatik
Terjadi pada persalinan
Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi farsep, ekstraksi
vakum, dll
4) Rupture uteri pada bekas luka uterus
Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus
d. Tanda dan gejala
1. Robekan jalan lahir
Tanda dan Gejala yang selalu ada :
a) Pendarahan segera
b) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
c) Uterus kontraksi baik
d) Plasenta baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
a) Pucat
b) Lemah
c) Menggigil
2. Rupture Uteri
Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
Dramatis
a. Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat
memuncak
b. Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
c. Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
d. Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah
11. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0
dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
12. Jika spingter robek
a. Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika
robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan
klem.
b. Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang
2-0.
13. Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
14. Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan
penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti
sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.
15. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
Perbaikan Rupture Uterus
1. Tinjau kembali indikasi.
2. Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsipperawatan operasi dan pasang
infus IV.
3. Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis.
a. Ampisilin 2g melalui IV.
b. Atau sefazolin 1g melalui IV.
4. Buka abdomen
a. Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai kerambut pubis
melalui kulit sampai di fasia.
b. Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.
c. Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas dan kebawah
dengan menggunakan gunting.
d. Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus (otot dinding
abdomen )
e. Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus. Gunakan gunting
untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke bawah guna melihat seluruh uterus.
Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian
bawah peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung kemih.
f. Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan bekuan darah.
g. Letakkan retraktor abdomen.
5. Lahirkan bayi dan plasenta.
6. Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal atau laktat
ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai uterus berkontraksi,
kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit.
7. Angkat uterus keluar panggul untukmelihat luasnya cedera.
8. Periksa bagian depan dan belakang uterus.
9. Pegang tepi pendarahan uterus denganklem Green Armytage ( forcep cincin )
10. Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan diseksi
tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan parut sampai uterus,
gunakan gunting runcing.
Rupture Sampai Serviks Dan Vagina
1. Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung kemih