Vous êtes sur la page 1sur 14

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
BAB I.........................................................................................................................................2
PENDAHULUAN......................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................3
2.1. DEFINISI......................................................................................................................3

2.2. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................................3

2.3. ETIOLOGI....................................................................................................................4

2.4. PATOGENESIS.............................................................................................................4

2.5. GAMBARAN
KLINIS..........................................................................................................................5

2.6. DIAGNOSIS.................................................................................................................7

2.7. DIAGNOSIS BANDING..............................................................................................7

2.8. PENGOBATAN.............................................................................................................8

2.9. KOMPLIKASI............................................................................................................13

2.10. PENCEGAHAN...............................................................................................13

2.11. PROGNOSIS....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................14

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pada negara berkembang, tetanus masih menjadi perhatian utama dengan angka
kejadian 1 juta kasus setiap tahunnya diseluruh dunia. WHO mengestimasikan setiap
tahunya 49.000 bayi menginggal karena tetanus. Tetanus adalah Penyakit infeksi akut
dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan
tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang
terkontaminasi. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin merupakan salah satu toxin
yang paling poten. Dosis letal minimal manusia diperkirakan sekitar 2,5 nanogram
perkilo gram berat badan atau 175 nanogram untuk orang dengan berat 70 kg.
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis, karena pemeriksaan
kuman C.tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat
menjadi tempat masuknya kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku kuduk,
opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran. Ada
tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin, (2)
menetralisasi toksin yang tidak terikat, (3) perawatan penunjang (suportif) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium
tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam
tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi seperti oleh jarum logam, pemecah
kayu atau gigitan serangga. Pintu masuk lainnya adalah luka bakar, luka bedah, ulkus
kutaneus dan tali pusat neonatus.
Suatu keadaan kontraksi otot yang bersifat menetap tanpa periode relaksasi
disebabkan oleh stimulasi berulang pada badan saraf motorik pada frekuensi yang
sangat tinggi sehingga setiap kedutan otot bergabung dan tidak bisa dibedakan satu
dengan lainnya; disebut juga spasme tetanik atau spasme tonik.1
2.2. Epidemiologi
Di Inggris, angka kejadian tetanus antara 2001 hingga 2012 adalah 88 kasus.
Semenjak ditemukannya vaksin tetanus, terdapat penurunan insidens yang nyata pada
kejadian sedangkan di Amerika pada tahun 2001 hingga 2008 hanya ditemukan 29
kasus tetanus. Pada negara maju, angka kejadian tetanus tinggi pada pasien usia diatas
65 tahun, pengguna narkoba suntik, dan pasien dengan diabetes melitus.
Pada negara berkembang, tetanus masih menjadi perhatian utama dengan angka
kejadian 1 juta kasus setiap tahunnya diseluruh dunia. WHO mengestimasikan setiap
tahunya 49.000 bayi menginggal karena tetanus.2
2.3. Etiologi
Clostridium tetani
C. Tetani adalah bakteri anaerob batang gram positif yang berkembang dengan
struktus spora terminal sehingga bentuknya sepeti stik drum. Mikroorganisme ini
sangat sensitif terhadap panas dan tidak dapat bertahan pada keadaan beroksigen,
berlawanan dengan itu spora C.tetani resisten terhadap panas dan mampu bertahan
pada otoklaf 121OC selama 10-15 menit. Spora C. Tetani juga resisten terhadap phenol
dan agen kimia.
C. Tetani menghasilkan 2 jenis exotoxin, tetanolisin dan tetanospasmin. Fungsi
dari tetanolisin tidak sepenuhnya dimengerti. Tetanospasmin adalah neurotoxin yang
menyebabkan gejala klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin merupakan
salah satu toxin yang paling poten. Dosis letal minimal manusia diperkirakan sekitar
2,5 nanogram perkilo gram berat badan atau 175 nanogram untuk orang dengan berat
70 kg.3

3
2.4. Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis
luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi, luka tusuk, luka
tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan, dan
sebagainya. Port dentree pada 60% pasien tetanus terdapat di daerah kaki, terutama
pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus pascapersalinan atau
pascaabortus provokatus. Pada bayi baru lahir, C.tetani dapat masuk melalui
umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis-antisepsis.
Otitis media atau karies gigi dapat dianggap sebagai port dentree bila pada pasien
tetanus tidak ditemukan luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman
tetanus.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya
memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan
eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka dan tidak
menyebar. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospamin.
Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi tidak
menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi lokal
untuk berkembangnya bakteri. Tetanospamin terdiri atas protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf.

Toksin ini diabsorbsi oleh saraf end organ di ujung saraf motorik perifer dan
diteruskan melalui saraf sampai ke sel ganglion dengan transpor axon retrogarde
menuju sistem saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat pada
sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Toksin bebas juga dapat
menyebar secara hematogen dan limfogen untuk mempengaruhi motor end plate
sistem di berbagai tempat. Toksin bekerja dengan cara memblok interneuron inhibitor,

4
sehingga mencegah pelepasan glisin yang memediatori relaksasi otot dengan cara
menghambat pelepasan asetilkolin.2,4

2.5. Gambaran Klinis


Masa inkubasi berkisar antara tiga hari sampai empat minggu, kadang lebih
lama; rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi,
semakin pendek masa inkubasi, makin buruk prognosis penyakit. Angka kematian
pada pasien yang masa inkubasinya kurang dari satu minggu umumnya tinggi. Masa
inkubasi rata-rata pada pasien yang akhirnya meninggal adalah sekitar tujuh hari,
sedangkan pada pasien yang sembuh sekitar sebelas hari.
Berdasarkan temuan klinis, tetanus terbagi menjadi tiga bagian :
1. Tetanus lokal adalah bentuk yang jarang terjadi dari penyakit ini. Gejalanya
berupa kaku persisten pada kelompok otot di dekat luka yang terkontaminasi
basil tetanus selama beberapa hari sebelum mereda secara perlahan. Kadang
pada trauma kepala, timbul tetanus lokal tipe sefalik. Dalam hal ini, terjadi
fenomena motorik sesuai dengan serabut syaraf kepala yang terkena (N III, IV,
V, VI, VII, IX, X, dan XII). Penting diperhatikan bahwa kaku otot di sekitar
luka mungkin merupakan gejala tetanus. Tetanus lokal mungkin mendahului
timbulnya tetanus umum tapi pada umumnya lebih ringan. Hanya sekitar 1%
kasus yang fatal.
2. Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari penyakit, kadang-kadang
terjadi dengan otitis media (infeksi telinga) dimana tetanus cephalic terdapat
pada flora di tengah telinga atau mengikuti cedera pada kepala. Ada
keterlibatan saraf kranial, terutama di wajah.
3. Jenis yang paling sering (sekitar 80%) dari tetanus yang dilaporkan adalah tetanus
umum. Penyakit ini biasa terlihat dengan pola menurun. Gejala pertama yang
terlihat dan dirasakan pasien adalah kaku otot maseter yang mengakibatkan
gangguan membuka mulit (trismus). Selanjutnya timbul opistotonus yang
disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher, dan kaku punggung. Selain dinding
perut yang menjadi keras seperti papan, tampak risus sardonikus karena kaku
otot wajah dan keadaan kekuan ekstremitas. Penderita sangat terganggu oleh
gangguan menelan.. Kejang dapat sering terjadi dan berlangsung selama beberapa
menit. Kejang berlanjut hingga 3-4 minggu. Masa pemulihan bisa memakan waktu
beberapa bulan.
4. Tetanus neonatal adalah bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru
lahir. Tetanus neonatal terjadi pada bayi yang lahir tanpa imunisasi pasif dari

5
ibu yang tidak kebal. Biasanya terjadi melalui infeksi tali pusar yang tidak
ditangani, terutama ketika tali pusar dipotong dengan alat yang tidak steril.

Gambar 1. Tetanus
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar dan berkeringat sering

dijumpai. Pada umumnya, ditemukan demam serta peningkatan frekuensi


napas. Kejang otot yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak
bersifat klonus dapat timbul hanya karena rangsangan yang lemah, seperti
bunyi-bunyian dan cahaya. Selama sakit, sensorium tidak terganggu sehingga
hal ini menimbulkan penderitaan bagi pasien karena merasa nyeri akibat kaku
otot. Selanjutnya, dapat timbul gangguan pernapasan yang mengakibatkan
anoksia dan kematian. Penyebab kematian merupakan kombinasi berbagai
keadaaan, seperti kelelahan otot napas, infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan kegagalan pernapasan, serta gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2.6. Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis, karena pemeriksaan
kuman C.tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat
menjadi tempat masuknya kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku kuduk,

6
opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup
untuk menegakkan diagnosis tetanus.
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan
hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas
tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi
menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya
normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur
positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.

2.7. Diagnosis Banding


Tabel 1 Penyakit yang dipertimbangkan bersama dengan sindrom tetanus
Tetanus generalisata Trismmus Opistotonus
Reaksi Fenotiazin Abses gigi Keracunan striknin
Meningitis bakterialis Fraktur Mandibula Rabies
Tetani hipokalsemi Tonsilitis Ulkus ventrikuli perforat
Perdarahan retroperitoneum Difteri Osteomielitis vertebra
Epilepsi Parotitis epidemika
Sikap deserebasi Trikinosis
Putus narkotika Abses retropharynx
Osteomyelitis mandibula

2.8 Tata Laksana


Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin, (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat, (3) perawatan penunjang
(suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme.
Pada tatalaksana penyakit tetanus, perlu ditentukan terlebih dahulu derajat
keparahan penyakit.
Tabel 1. Skor Phillips
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa 6-10 hari 3
inkubasi 11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh

7
Ekstremitas atas 4
Ekstremitas bawah 3
Lokasi infeksi Tidak diketahui 2
1
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada
10
neonatus)
Status > 10 tahun yang lalu 8
imunisasi < 10 tahun yang lalu
Imunisasi lengkap 4
2
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 0
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Faktor Keadaan yang tidak mengancam nyawa 10
pemberat Trauma atau penyakit ringan 8
ASA derajat I 4
2
1

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa
inkubasi, port dentree, status imunologi, dan faktor yang memperberat. Berdasarkan
perolehan angka, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan
(angka <9), tetanus sedang (angka 9-12), dan tetanus berat (angka >16). Tetanus
ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh melalui
pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang
intensif. Selain skoring Phillips, terdapat klasifikasi Albett dan skoring Dakar. Dakar
score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas
10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat

Tabel 2. Severitas penyakit tetanus berdasarkan klasifikasi Albett

8
Tabel 3. Dakar score

Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika
diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan
tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole
telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole
diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin
procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian
penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan
pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin
berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).

Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat
HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena.
Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan
9
karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intramuskular. Bila
tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan
50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.

Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU
agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal
yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan
tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun
terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering. Trakeostomi
ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan
otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian akibat spasme laring
mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering
terjadi jika tidak tersedia akses ventilator. Spasme otot dan rigiditas diatasi secara
efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer
dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi
spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala
klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.
Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat
badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau
10
diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan
dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan
efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine
seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan
gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan
diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari.
Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai
50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan
sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
Jika spasme tidak cukup terkontrol denganbenzodiazepine, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena efek
samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga telah
digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan
IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated
pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. Infeksi nosokomial umum
terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab
penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat
teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif
mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom. Instabilitas otonom terjadi
beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality ratenya 11-28%. Manifestasi
berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai gangguan kardiovaskular
seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan
kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang
kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah
onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat
dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin
11
tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan
hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus
arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.
Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-
obat dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam
sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine,
dan/atau chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk
mengendalikan spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV
dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis,
dimonitor refl ek patella. Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode
hipotensi yang tidak membaik dengan penambahan volume intravaskular
membutuhkan inotropik.1 Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah
dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif
secara universal untuk instabilitas otonom.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan.
Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan
fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh
sehingga memperburuk prognosis.. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa
hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah,
dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu
membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara
intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum
dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah
spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi.
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli
dan perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika
digunakan pelumpuh otot.4
2.9 Komplikasi
Spasme otot dan kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra dan tulang
panjang. Emboli pulmonal mempunyai insidensi yang tinggi sebagai penyerta tetanus

12
dan dapat timbul disfungsi otonom yang menyebabkan aritmia dan hipertensi.
Seringkali terjadi pneumoni aspirasi yang menyebabkan kematian5
2.10 Pencegahan
Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-
satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian
imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih
baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian
dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi yang sudah dewasa sebaiknya
menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar dan anti tetanus serum untuk
profilaksis.
2.11 Prognosis
Prognosis tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang
tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit
penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus
cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami
abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan,
berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, WA. Kamus Kedokteran Dorland. Ed 3. EGC, Jakarta. 2007. P. 2220

2. BMJ. Epidemiology Of Tetanus. [online] 2015 Available at :


http://bestpractice.bmj.com Diakses tanggal 23 Agustus 2016

3. De Jong, Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC. 2011

4. CDC. Tetanus. [online] 2013 Available at : http://www.cdc.gov/ 25 Agustus 2016

5. Sabiston. Infeksi bedah dan antibiotika dalam Buku Ajar Bedah Bagian I. 1995. P.
199 201

6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

13
14

Vous aimerez peut-être aussi