Vous êtes sur la page 1sur 21

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh :
Dr. Ibnu Ludi Nugroho

Pembimbing :
dr. Desy Ayu Lenisty

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Internsip


RS Samarinda Medika Citra
Samarinda
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada bayi atau anak,
terutama pada golongan usia 6 bulan sampai 5 tahun. 1 Bangkitan kejang demam ini terjadi karena
adanya kenaikan suhu tubuh yang cepat (suhu rektal diatas 380C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranial.1-3 Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku. Anak tidak responsif
untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali.4 Penyebab demam terbanyak adalah infeksi
saluran pernafasan akut dan merupakan 70% dari seluruh penyebab kejang demam, kemudian
penyebab terbanyak kedua adalah infeksi saluran pencernaan.5

Menurut Consensus statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian
pada bayi atau anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan
dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.1,3

Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat. 4-5 Dahulu
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple
febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever).
Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko
berkembangnya epilepsy atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang
diperkirakan.1,3

2
Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum, dan kejang demam
kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal, dan multiple (lebih dari 1 kali kejang
dalam 24 jam).4

Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Insiden kejang demam ini dialami oleh 2% - 4% pada anak usia antara 6 bulan hingga 5
tahun dengan durasi kejang selama beberapa menit. Walaupun terjadi hanya beberapa menit, bagi
orang tua rasanya sangat mencemaskan, menakutkan dan terasa berlangsung sangat lama, jauh
lebih lama dibanding yang sebenarnya.4

Di Amerika, baik Amerika Serikat, maupun Amerika Selatan dan Eropa, kejadian kejang
demam diperkirakan 2-4%, sedangkan untuk di Asia, kejadiannya lebih tinggi, sekitar 10-15%. 6
Dari 2-4% populasi anak usia 6 bulan 5 tahun, 80% merupakan Kejang Demam Sederhana
(KDS) dan sekitar 20% nya adalah Kejang Demam Konpleks (KDK), 8% berlangsung lama (>15
menit), 16% berulang dalam waktu 24 jam, lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Bila KDS yang
pertama terjadi pada usia <12 bulan, risiko kejang berulang 50%, dan bila KDS usia >12 bulan,
risiko kejang berulang 30%.3

Berdasarkan laporan dari lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien
kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000
ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data
di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.7

Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel
otak yang dapat mengakibatkan timbulnya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun demikian, sebagian besar kejang
demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang. Kejang demam merupakan kedaruratan
medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosis secara dini serta pengelolaan yang tepat
sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang
yang sering.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
- Ruang : IGD
- Nama : An. D.A.
- Usia : 11 Bulan
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Agama : Islam
- Alamat : Samarinda

MRS tanggal : 7 November 2016

2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Kejang

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Alloanamnesis, diberikan oleh : Ibu pasien
Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit.
Kejang bersifat mendadak dan menyeluruh, kaku pada seluruh tubuh, tangan dan kaki, serta
mata menatap ke atas. Kejang berlangsung selama 10 menit, dan setelah kejang pasien
langsung sadar dan menangis.
Awalnya kejang dipicu oleh demam tinggi yang bersifat mendadak. Ibu pasien
mengatakan bahwa anaknya mulai demam tinggi sekitar jam 13.30 WITA atau 8 jam

4
sebelum kejang. Ini merupakan serangan kejang yang pertama kalinya. Kemudian pasien
segera dibawa ke RS Samarinda Medika Citra.
Ibu pasien mengatakan bahwa sejak anaknya panas, nafsu makan anaknya menurun,
makan hanya sedikit-sedikit. BAB cair 3x. Pasien tidak ada batuk-pilek. Pasien tidak
mempunyai riwayat trauma kepala sebelumnya. BAK terakhir satu jam sebelum masuk
rumah sakit, jumlah dan warna biasa.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah kejang sebelumnya

2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama

2.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Status Gizi : Gizi Baik
Berat badan : 8,3 kg
Panjang Badan : 67 cm
Tanda vital : Tekanan Darah = 100/60 mmHg
N = 100x /menit regular, kuat angkat.
Temperatur Axilla: 38,70 C
RR= 48x / menit regular

Kepala/leher : Rambut hitam, tidak mudah dicabut.


Mata : Conjunctiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : Bentuk simetris
Sekret Hidung (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak merah dan basah
sianosis (-)
Tonsil hiperemis (-)

5
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-).
Thorax :
Paru Inspeksi : Tampak simetri, pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Pelebaran ICS (-), Fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler, Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Ictus tidak terlihat
Palpasi : Ictus tidak teraba pada ICS IV MCL (S)
Perkusi : Batas kanan parasternal D, batas kiri ICS V MCL Sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur(-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : datar
Palpasi : distensi tidak ada, soefl, nyeri tekan (-), hepar lien
unpalpable, turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N

Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas :
Ekstremitas Superior : Akral hangat (+), tidak pucat, edema (-)
Ekstremitas Inferior : Akral hangat (+), tidak pucat, edema (-)

Status Neurologis
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-)
Reflek fisiologis : Refleks bisep (+/+) normal
Refleks trisep (+/+) normal
Refleks patela (+/+) normal

6
Refleks achiles (+/+) normal
Reflek patologis : Babinsky (-) Hoffman (-)
Chaddock (-) Tromer (-)
Openheim (-) Shaeffer (-)
Klonus pergelangan kaki (-)

Status antropometri:
Panjang Badan = 67 cm
Berat Badan = 8,3 kg
BB/U = 87 %
Status Gizi = Baik
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Lekosit : 14.500/mm3 (5.000-10.000/L)
Hb : 10,7 gr/dl (10,5 -14 gr/dl)
Ht : 33,1 % (33-42%)
Trombosit : 432.000/mm3 (150.000-390.000/ L)

2.5. Diagnosis Kerja Sementara


Kejang Demam Sederhana et causa GE

2.6. Penatalaksaan
Infus RL 10 tpm
Diazepam 3x1 mg
Dexamethasone 3x0,5mg
PCT infuse 3x80mg
Zink sirup 1x1cth

2.7. Planing monitoring


Suhu, nadi, RR, kejang, pupil, keluhan subyektif.

2.8. Prognosis
Ad Vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : bonam

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

8
3.1. Definisi Kejang Demam

Banyak para ahli mengartikan kejang demam, diantaranya, Menurut Arif Mansjoer, kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38 0
C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.2 Menurut Livingston, kejang Demam (KD)
adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan yang tinggi ini disebabkan
oleh kelainan ekstrakranial.6 Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik,
sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan akut dan merupakan 70% dari
seluruh penyebab kejang demam.5

3.2 Etiologi

Usia anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai
orang tua dengan riwayat kejang demam masa-masa kecilnya. Semua jenis infeksi bersumber di
luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit
yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan akut terutama
tonsillitis dan faringitis, otitis media akut, gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih.5 Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.8

3.3 Patofiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru dan

9
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi
CO2 dan air1,4
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali
ion (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut sebagai potensial membran
dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat di permukaan sel.1,4
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C dalam rentang
waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada
anak dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi,
antara lain infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna.1,4
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10 celsius akan mengakibatkan kenaikan metabolism
basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi
otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion K + maupun ion Na+ melalui membran
tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui bantuan
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda,
tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 0

C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu
40 C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
0

sering tejadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang 1,4
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam yang berulang, antara
lain : Usia kurang dari 12 bulan, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang demam terjadi

10
segera setelah demam, riwayat demam yang sering, dan kejang pertamanya adalah kejang demam
kompleks.8

3.4 Manifestasi Klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan saraf pusat.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dan
dengan sifat bangkitan tonik-klonik atau fokal. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit
anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.1

3.5 Klasifikasi Kejang Demam1-3,9-11


Kejang demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. 80% dari kasus kejang demam merupakan kejang demam sederhana sedangkan 20%
kasus adalah kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) menurut Livingstone memiliki beberapa
kriteria, yakni:

3.5.1 Terjadi pada usia 6 bulan 4 tahun


3.5.2 Lama kejang singkat kurang dari 15 menit
3.5.3 Sifatnya kejang umum, tonik dan atau klonik
3.5.4 Umunya berhenti sendiri dan pasien segera sadar
3.5.5 Kejang timbul pada 16 jam pertama setelah timbulnya demam
3.5.6 Tanpa adanya gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
3.5.7 Tidak ada kelainan neurologi sebelum dan setelah kejang
3.5.8 Frekuensi kejang kurang dari 4x dalam 1 tahun
3.5.9 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan adanya kelainan

Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri ciri gejala klinis
sebagai berikut:
a. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit

11
b. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului
oleh suatu kejang parsial
c. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama, lebih dari 15 menit, biasanya
disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang pada akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin
meningkat disebabkan oleh meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah penyebab rusaknya neuron otak
selama berlangsung kejang yang lama. Faktor terpenting adalah terjadinya gangguan peredaran
darah yang menyebabkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbulnya
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang
sehingga dapat terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan antomis di otak hingga terjadi epilepsi

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi:3

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Elektrolit

12
c. Glukosa darah

d. Kalsium serum

e. Urinalisis

f. Urin, atau feses (tinja).

2. Pungsi lumbal3

a. Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena
gejala meningitis sering tidak jelas.

b. Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan
meningitis.

c. Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal
tidak dianjurkan.

3. Elektroensefalografi (EEG)1,3

Dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya: kejang demam
kompleks pada anak berusia > 6 tahun, atau kejang demam fokal. Menurut Tejani (2008),
electroencephalogram biasanya tidak diperlukan sebagai evaluasi rutin pada anak dengan
kejang demam yang pertama kalinya (first simple febrile seizure).

4. Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Indikasi pemeriksaan CT Scan dan MRI1,3

a. Dijumpai kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis).

b. Ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala.

c. Kemungkinan terdapat lesi struktural di otak (mirosefali).

13
d. Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema
papil).

3.7 Penatalaksaan Kejang Demam1-11

Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan
kejang:

3.7.1 Penanganan Pada Saat Kejang


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke tempat
pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali secara perlahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 2 menit dengan dosis maksimal 20 mg.4
Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75 mg/kgBB/kali atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak berat badan di bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan diatas 10 kg.
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang,
dianjurkan orang tua untuk segera ke rumah sakit. Dan disini dapat dimulai pemberian
diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti
diberikan fenithoin secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, selanjutnya diberikan
dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading dose). Bila kejang
belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor resikonya
apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.

Terapi awal dengan diazepam


Usia Dosis IV (infus) Dosis per rektal

14
(0.2mg/kg) (0.5mg/kg)
< 1 tahun 12 mg 2.55 mg
15 tahun 3 mg 7.5 mg
510 tahun 5 mg 10 mg
> 10 years 510 mg 1015 mg

3.7.2 Menurunkan Demam


Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam. Dosis asetaminofen
yang digunakan berkisar 10-15 mg/kgbb/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh
diberikan lebih dari 5x per hari. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali diberikan 3-4x per hari.
Asetaminofen dapat menyebabkan sindroma Reye terutama pada anak kurang dari 18
bulan, meskipun jarang. Parasetamol 10 mg/kgbb sama efektifnya dengan ibuprofen 5
mg/kgbb dalam menurunkan suhu tubuh (Van Esch A dkk, 1995). Kompres anak dengan air
hangat jika suhu > 39 0C dan dengan air biasa jika suhu > 38 0C.

3.7.3 Pengobatan Penyebab


Antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit penyebabnya.

3.7.4 Penanganan supportif lainnya


Meliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan
elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah

3.7.5 Pengobatan Profilaksis


Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara
mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Pengobatan
ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

a. Profilaksis intermitten

15
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam
diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak
selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya
kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rektal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral
dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam. Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai
kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana sangat kecil yaitu sampai
sekitar umur 4 tahun, dan hanya diberikan pada saat demam. Fenobarbital, karbamazepin
dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

b. Profilaksis jangka panjang


Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik
yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:

1. Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka
panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan
kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.

2. Sodium valproat / asam valproat


Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Namun, obat ini
harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan fenobarbital dan gejala toksik
berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

3. Fenitoin

16
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat
berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang
memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini
dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan
pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis
selama 3 atau 6 bulan.

3.8 Prognosis1,4
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:

1. Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak
sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 %
s/d 0,74 %.

2. Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya kejang yang berulang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6
bulan pertama dari serangan pertama. Kejang demam akan terjadi kembali pada
sebagian kasus. Faktor resiko terjadinya kejang demam berulang adalah:
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang saat demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut hanya 10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan
berulang adalah pada tahun pertama.

3. Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang demam
kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah
menderita KDS tergantung kepada faktor :

17
a. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. Kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami
serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau
tidak sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih
dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal. Kejang
fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat
flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS
mengalami hemiparese sesudah kejang lama.

5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang
kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan
atau kelainan neurologic ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam
diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi
mental adalah 5x lebih besar.

3.9 Edukasi Kepada Orang Tua3,4


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara:
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya benign
b. Memberikan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
d. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping

18
e. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsi

Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali kejang:
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit
jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Berikan diazepam rektal selama kejang. Dan jangan diberikan jika kejang telah
berhenti
g. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal
0
> 38 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan

19
neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama umur 6 bulan hingga 5 tahun. Hampir
3% anak dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.

Pada kasus pasien adalah anak wanita berusia 11 bulan dengan berat badan 8,3 kg, yang
datang berobat tanggal 7 November 2016 dengan kejang. Dari hasil alloanamnesis didapatkan
bahwa pasien kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung selama 10 menit
dan diawali demam 8 jam sebelum kejang, pasien panas tinggi. BAB cair 3x. Nafsu makan
menurun, tidak ada Mual dan muntah. BAK terakhir satu jam sebelum masuk rumah sakit, jumlah
dan warna biasa.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah ke diagnosis kejang demam sederhana
dimana demam diprovokasi adanya infeksi saluran pencernaan.
Untuk penanganan awal pada pasien ini diberikan terapi pendukung, untuk menurunkan
risiko berulangnya kejang diberikan diazepam 3x1 mg, dan untuk menurunkan panas diberikan
paracetamol infus 3x 80 mg, sedangkan untuk keluhan BAB cair, diberikan zink sirup dengan
dosis 1 x 1 cth. Pasien diobservasi keluhan subyektif, suhu, nadi, RR, kejang, pupil, akralnya.
Selama di rawat, pasien tidak mengalami kejang yang berulang, sehingga prognosisnya
adalah bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Neurologi Kejang Demam. Buku Kuliah 2 Ilmu
Kesehatan Anak. Cetakan Kesebelas. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. 2005
2. Mansjoer Arif,dkk. Neurologi Anak. Kapita Selekta Jilid 2. Edisi III, Media Aesculapius
FKUI. 2007

20
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed: Pusponegoro HD, Widodo DP,
Ismael S. Badan Penerbit IDAI. 2006
4. IDAI. Standard Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta. 2004
5. Staf Pengajar FK Unmul. Neurologi Kajang Demam. Pedoman Diagnosis dan Terapi. SMF
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi VI. Jakarta. 2006
6. Behrman, Richard E, Robert M. Kliegman. Hal B Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak.
Kejang Demam. Edisi 18. EGC. Jakarta. 2007

21

Vous aimerez peut-être aussi