Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
HIPOGLIKEMIA
Disusun oleh:
I Wayan Widi Arditya, S.ked (011.06.0011)
Wahyu Eka Maulyani, S.Ked (011.06.0032)
Pembimbing :
dr. IGN Agung Eddy A., Sp.PD
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar glukosa
darah dibawah rentang batas normal. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
dan berat ringannya ditentukan pula oleh lamanya terjadi penurunan kadar glukosa darah serta
berat ringan gejala yang timbul. Pada pasien Diabetes Mellitus, hipoglikemia terutama terjadi
akibat pemberian obat-obat golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin. Pengaruh buruk
hipoglikemia terutama akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf otak yang bila berlangsung
lama akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Hipoglikemia dapat terjadi secara akut
dan tiba tiba dan dapat mengancam nyawa. Hal tersebut disebabkan karena glukosa adalah
satu satunya sumber energi otak dan hanya dapat diperoleh dari sirkulasi darah karena
jaringan otak tidak memiliki cadangan glukosa. Kadar gula darah yang rendah pada kondisi
hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan sel sel otak. Kondisi inilah yang menyebabkan
hipoglikemia memiliki efek yang fatal bagi penyandang diabetes melitus, di mana 2% 4%
kematian penderita diabetes melitus disebabkan oleh hipoglikemia
Hipoglikemia dapat dialami oleh semua penderita diabetes melitus (DM) dalam terapi
pengendalian kadar gula darah, di mana pasien DM tipe 1 dapat lebih sering mengalami
hipoglikemia dibandingkan dengan pasien DM tipe 2. Pasien DM Tipe 1 dapat mengalami 2
episode hipoglikemia asimptomatis dalam 1 minggu dan mengalami 1 kali serangan
hipoglikemia berat setiap tahun. Pada DM tipe 2 didapatkan kejadian hipoglikemia berat
terjadi 3 72 episode per 100 pasien per tahun.
BAB II
2
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : NY. S
Usia : 55 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : GB Manben, Pagesangan
No. RM : 028900
Tanggal masuk RSUD Kota Mataram : 20-8-2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Lemas
3
Pasien memiliki ayah yang menderita diabetes mellitus tipe II disertai tekanan darah
tinggi. Riwayat penyakit pada ibu dan keluarga lainnya disangkal.
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien pernah di rawat inap di RS Kota Mataram selama satu minggu
pada tanggal 12/08/2015 dan pasien mengaku mendapat terapi suntik insulin.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 70x/menit
Nafas : 18x/menit, reguler, pernafasan abdominotorakal
Suhu : 36,2 oC (aksila)
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Status gizi
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 155cm
IMT : 20,83 (Normal)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/-, reflek cahaya (+), pupil
isokhor.
4
Hidung : mukosa hidung merah muda, septum deviasi (-), sekret (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-), JVP tidak meningkat.
Thoraks :
Paru :
Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Jantung :
Perkusi : batas atas di ICS III linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea
parasternalis dextra, batas kiri di ICS V linea parasternalis sinistra
Abdomen :
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
5
Problem :
Lemas dan sempat tidak sadarkan diri
Keringat dingin
Mual dan Muntah 5x
ASSESMENT
Hipoglikemia
Diabetes melitus tipe 2
Planing Diagnosis
DL, GDS, Ureum, kreatinin, HBA1C
Pemeriksaan kadar elektrolit (natrium, kalium)
Planning Terapi
O2 2 lpm
Inf D5 10% 10 tpm
Ranitidin 2x1
Imvomit 3x1
6
- Kalium : 3,2 mmol/L
- HBA1C : 8,0 % (N : 4,5-6,3 %)
- Ureum : 45,2 mg/dl (N : 17-43 mg/dL)
- Creatinin : 0,7 mg/dl
- GDS : 53 mg/dl tgl 20/08/2015 jam 21.41
FOLLOW UP
Waktu Subjectve Objective Assesment Plan
7
epigastrium (-), hepar
dan lien tidak
- P : Timpani pada
seluruh lapang
abdomen
Ekst:
GDS :
8
Thorax:
- A: P: VES +/+, Rh -/-,
Wh -/-
- C: S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
- I : Distensi (-), massa
(-), striae (-), spider
nevi (-)
- A : BU (+) Normal
- P : nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak
- P : Timpani pada
seluruh lapang
abdomen
Ektremitas :
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem syaraf pusat sangat tergantung dengan oksidasi glukosa sebagai sumber energi
utamanya. Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan gangguan fungsi otak
(neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan syaraf otak yang
irreversibel dan kematian. Pada orang dewasa sehat dengan BB 70 kg, kebutuhan glukosa otak
diperkirakan sebanyak 1 mg/kg/menit) atau sebanyak 100 g/hari. Ambilan glukosa otak
difasilitasi oleh 2 transporter glukosa yaitu GLUT 1 dan GLUT3 yang tidak tergantung
dengan insulin. Dalam keadaan hipoglikemia, sistem transportasi glukosa ini mengalami
gangguan. Sedangkan pada hipoglikemia kronik akan terjadi up regulasi transporter glukosa,
suatu fenomena penting yang berperan dalam terjadinya hypoglycemia unawareness.
Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda-benda keton (-hydroksi-
butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan benda-benda keton oleh
otak proporsional dengan kadarnya didalam darah. Oksidasi benda-benda keton dapat menjadi
sumber energi hanya bila kadarnya didalam sirkulasi mengalami peningkatan, seperti terjadi
dalam keadaan puasa yang lama.
Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat tinggi, maka otak
sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia.
Namun bila kadar glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat
pemberian insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat rentan terhadap
gangguan metabolik. Kadar glukosa didalam sirkulasi ditentukan oleh keseimbangan antara
asupan glukosa (absorpsi + produksi) dan utilisasi/ penggunaannya oleh berbagai jaringan.
Dalam keadaan puasa, produksi glukosa tergantung pada ketersediaan substrat yang
diperlukan bagi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Sementara utilisasi glukosa ditentukan oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber
energi alternatif terutama bagi jaringan otot. Mekanisme utama yang berperan dalam
pencegahan hipoglikemia ditunjukkan dalam gambar dibawah ini. Dalam keadaan puasa (post
absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga menurunkan ambilan glukosa oleh hepar,
10
otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan proses paling penting untuk
memenuhi kebutuhan glukosa dalam keadaan puasa selama 12 sampai 24 jam. Bila puasa
berlangsung lebih lama, setelah simpanan glikogen hati berkurang, akan terjadi lipolisis dan
pemecahan protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan asam amino
didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber energi dan oleh
hati untuk memproduksi benda keton yang akan digunakan sebagai sumber energi alternatif
bagi jaringan-jaringan tubuh lain. Gliserol dan asam amino akan diambil oleh hati dan ginjal
yang akan digunakan sebagai bahan utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8 mg/kg/menit selama
dalam keadaan puasa sampai 40 jam.
Kontribusi proses glukoneogenesis terhadap produksi glukosa basal meningkat dari
41% setelah 12 jam sampai 92% setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan puasa yang lama,
ginjal memproduksi 25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa, terutama melalui
proses glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol. Pada insufisiensi ginjal kronik
yang berat akan terjadi gangguan produksi glukosa renal sehingga akan menimbulkan
hipoglikemi puasa. Bila kadar glukosa plasma berada dibawah nilai ambang hipoglikemi,
akan terjadi pelepasan hormone-hormon kontra regulasi, sebagai usaha untuk meningkatkan
produksi glukosa. Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian ventromedial
hipothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra regulasi.
Sumber : Funk JL. Disorders of the Endocrine pancreas. In : Mcphee SJ, Hammer GD. Pathophysiology of
Disease : An Introduction to Clinical Medicine. 6th ed. 2010. McGraw-Hill)
11
2. Hormon Kontra Regulasi Insulin
12
HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dL atau kadar
glukosa darah <80 mg/dL dengan gejala klinis.
ETIOLOGI
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
13
neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala
neuroglikopenik.
Gejala-gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin
dapat berupa tremor, muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang meningkat dan
rasa cemas (ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga umum ditemukan, yang
biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkholin. Pada orang dewasa, pengeluaran
keringat lebih mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh syaraf-saraf simpatis
kolinergik post ganglionik.
2. Gejala Neuroglikopenik
Gejala neuroglikopenik terjadi akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena
glukosa merupakan sumber energi utama untuk metabolisme jaringan otak, maka
penurunan kadar glukosa darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi bagi otak.
Gejala-gejala neuroglikopenik tidak dapat dibedakan dengan gejala akibat terjadinya
hipoksia jaringan otak. Gejala tersebut antara lain berupa rasa lemas, kelelahan, pusing,
sakit kepala, perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapat mengalami letargi, mudah
tersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif. Dapat pula terjadi gangguan fungsi
kognitif, gangguan berfikir dan berkonsentrasi, aphasia dan bicara kacau. Disamping itu,
hipoglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur, kebutaan, paresthesia, hemiplegi,
hipotermi, dan bahkan koma, kejang dan berakhir dengan kematian. Episode hipoglikemi
yang lama dan berat dapat menimbulkan kematian sel syaraf, sehingga menyebabkan
gangguan fungsi otak yang permanen. Dengan bertambahnya usia, gejala hipoglikemi
menjadi berkurang dan profil gejalapun mengalami perubahan.
Keluhan dan Gejala Hipoglikemia Akut yang sering dijumpai pada pasien Diabetes
Otonomik Neuroglikopenik Malaise
Berkeringat Bingung Mual
Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Sulit berbicara
Lapar Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi
14
Sumber : Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA :
Secara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
Klasifikasi Hipoglikemia Akut
Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktifitas
sehari-hari yang nyata.
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktifitas
sehari-hari yang nyata.
Berat Sering tidak simptomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri
1. Membutukan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi
parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glucagon intramuscular
atau glukosa intravena)
3. Disertai dengan koma atau kejang
PENATALAKSANAAN HIPOGLIKEMIA :
Hipoglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan irreversibel
dari otak sampai kematian, oleh karena itu setelah kadar glukosa plasma sudah didapatkan
(GDS < 70 mg/dL) penangananan yang difokuskan untuk meningkatkan kadar glukosa
plasma harus segera dilaksanakan, baik dengan asupan makanan oral, dekstrosa intravena,
15
atau glucagon intramuskular. Jumlah asupan oral yang dianjurkan pada orang dewasa
adalah sekitar 20 gram;9,25 setiap 5 gram glukosa meningkatkan sekitar 15 mg/dL.
Asupan oral yang dapat diberikan antara lain, pisang, madu, permen, tablet glukosa atau
100-150ml minuman manis (non-diet cola, teh manis, atau minuman berglukosa lainnya).
Perlu untuk diketahui bahwa konsumsi protein bukan penanganan yang efektif untuk
hipoglikemia dan konsumsi makanan manis yang juga tinggi lemak (seperti es krim) dapat
menghambat absorbsi karbohidrat.
Pemberian glukosa murni adalah penanganan yang lebih baik. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran yang tidak dapat menerima asupan oral, dekstrosa intravena
merupakan terapi lini pertama. Pemberian glukosa secara intravena harus diberikan
dengan perhatian. Hal terpenting adalah total kuantitas glukosa (dalam gram) yang
dimasukan. Pemberian 50 ml dekstrosa 50% dinilai toksik untuk jaringan, oleh karena itu
pemberian 75-100 ml dekstrosa 20% atau 150-200 dekstrosa 10% lebih
dianjurkan.Terdapat laporan nekrosis jaringan yang menyebabkan amputasi akibat
ektravasasi cairan glukosa 50% yang diberikan secara intravena.39 Selain terapi dekstrosa
intravena, pemberian 1 mg glukagon secara intramuskular atau subkutan dapat diberikan
terutama pada pasien dengan DM tipe 1.
Terapi glukagon merupakan terapi yang diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai terapi alternatif hipoglikemi dalam keadaan absen dari akses
intravena. Glukagon menyebabkan gluconeogenesis dari glikogen yang terdapat di liver
dan meningkatkan kadar glukosa darah sekitar 36 mg/dl dalam 15 menit. Pada penderita
DM tipe 2, pemberian glukagon juga menstimulasi pengeluaran insulin sehingga relatif
tidak efektif. Literatur lain menyatakan penggunaan glukagon dikontraindikasikan pada
hipoglikemia yang disebabkan oleh sulfonilurea karena dapat meningkatkan kadar insulin
darah. Efek samping pemberian glukagon yaitu mual dan muntah.
TERAPI
1. Stadium 1
Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau
gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
16
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
2. Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia :
4. Bila GDS > 200 mg/dL, pertimbangkan penurunan kecepatan drip dekstrosa 10%
5. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan
setiap 2 jam dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS > 200 mg/dL, pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 4 jam
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS > 200 mg/dL, pertimbangkan mengganti infus
dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
7. Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam setiap
kelipatan 50 diberikan 5 unit insulin dimulai dari GDS 200 mg/dL. Pada GDS < 200 tidak
diberikan insulin, 200-250 diberikan 5 unit dan pada >350 diberikan 20 unit.
17
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti:
adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya
insulin)
9. Bila pasien belum sadar dengan GDS sekitar 200 mg/dL: hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan kesadaran.
Perbaikan klinis biasanya terjadi 15-20 menit setelah pemberian glukosa. Pemberian
glukosa baik secara oral maupun intravena umumnya memiliki durasi aksi lebih rendah
daripada obat pencetus maupun insulin yang digunakan, oleh karena itu pasien dianjurkan
untuk makan untuk mengisi kembali glikogen tubuh. Penilaian kadar glukosa perlu untuk
dilakukan setiap 30 menit dalam 2 jam pertama untuk melihat adanya rebound hypoglycemia
atau minimal 1 jam sekali. Hipoglikemia yang terjadi akibat dari obat hipoglikemik oral
(OHO) jangka panjang (seperti glyburide glibenclamid, chlorpropamide) atau karena insulin
jangka panjang (lente, NPH, glargine, and ultralente) dosis tinggi, diindikasikan untuk rawat
inap dengan penanganan glukosa intravena continuous (D10%) untuk menjaga kadar glukosa
darah > 100 mg/dL). Monitor kadar glukosa secara reguler.
18
Algoritma Tatalaksana Hipoglikemi menurut Lovelace Medical Center Diabetes Episodes of
Care {Dikutip dari : Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the
Hospital. Diabetes Spectrum 2005.
Daftar Pustaka
Cryer PE: Hypoglycaemia: the limiting factor in the glycaemic management of type I and type
II diabetes.Diabetologia 2002; 45:937948.
Fowler MJ. Hypoglycemia. Clinical Diabetes 2008; 26,(4):170-173
Funk JL. Disorders of the Endocrine pancreas. In : Mcphee SJ, Hammer GD.
Pathophysiology of Disease : An Introduction to Clinical Medicine. 6th ed. 2010.
McGraw-Hill)
Kaukonen KM,Rantala M, Pettila.V, Hynninen M. Severe hypoglycemia during intensive
insulin therapy. Acta Anaesthesiol Scand 2009; 53: 6165.
19
Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Mansjoer A, eds. Panduan Pelayanan Medik.
Cetakan ketiga. InternaPublishing. 2009;
Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital. Diabetes
Spectrum 2005.
Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital. Diab
Spectr. 2005;18(1):42
United Kingdom Prospective Diabetes Study Group: Intensive blood-glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of
complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998; 352:837
852.
Zammit NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Diab Care 2005;28(12):2948-2957.
20