Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Lempeng-lempeng tektonik yang bergerak relatif satu sama lain dengan arah dan
kecepatan yang berbeda mengakibatkan penumpukan tegangan geser (shear
stress) pada lempeng-lempeng tersebut. Ketika tegangan geser yang terkumpul
melebihi kuat geser (shear strength) batuan, maka keruntuhan akan terjadi dan
akumulasi energi regangan elastik yang tersimpan dalam material lempeng
tektonik akan terlepas. Sebagian energi dilepaskan dalam bentuk panas dan
sebagian dalam bentuk gelombang seismik yang dirasakan sebagai gempa bumi
(Gambar I-1). Boen (1976) menyebutkan batas penimbunan tegangan geser agar
terjadi gempa bumi adalah sebesar 1020 hingga 1050 erg.
II-1
II.1.1 Gelombang Seismik
Gelombang seismik yang timbul ketika energi regangan terlepas terdiri dari
gelombang badan (body waves) dan gelombang permukaan (surface waves).
Gelombang badan merupakan gelombang seismik yang merambat ke dalam bumi
dalam bentuk gelombang-p dan gelombang-s (Gambar II-2). Gelombang-p yang
dikenal juga dengan gelombang primer, gelombang tekan atau gelombang
longitudinal dapat merambat melalui material padat dan cair, menimbulkan
tekanan dan penipisan yang berurutan pada material yang dilewatinya. Serupa
dengan gelombang bunyi, gerakan partikel yang dilewati oleh gelombang-p akan
sejajar dengan arah gelombang. Gelombang-s yang dikenal juga dengan
gelombang sekunder, gelombang geser atau gelombang transversal merambat
tegak lurus terhadap arah gerakan partikel. Gerakan partikel ini dapat digunakan
untuk membagi komponen gelombang-s ke dalam arah vertikal (SV) dan arah
horisontal (SH). Perambatan gelombang-s akan menimbulkan deformasi geser
pada material yang dilewatinya. Kecepatan rambat gelombang badan tergantung
kepada kekakuan material yang dilewati gelombang tersebut. Semakin kaku
material maka kecepatan tersebut akan semakin besar. Oleh sebab itu gelombang-
p atau gelombang tekan merambat lebih cepat daripada gelombang lainnya karena
material geologis yang dilewatinya menjadi lebih kaku ketika ditekan.
II-2
Gelombang permukaan merupakan hasil interaksi antara gelombang badan dengan
permukaan dan lapisan permukaan bumi. Gelombang ini merambat di permukaan
bumi dengan amplitudo tertentu yang akan berkurang seiring bertambahnya
kedalaman (Gambar II-3). Karena pengaruh interaksi, gelombang permukaan akan
semakin dominan pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa. Sebagai
ilustrasi, pada jarak yang lebih besar dari dua kali ketebalan kerak bumi, peak
ground motion akan ditentukan oleh gelombang permukaan dibandingkan dengan
gelombang badan.
II-3
II.1.2 Continental Drift dan Plate Tectonic
Konsep pergerakan lempeng awalnya telah dipelajari oleh beberapa peneliti sejak
abad ke-17 (dalam Glen 1975; Kearey dan Vine 1990) yang menemukan
kesamaan bentuk garis pantai dan kondisi geologi antara bagian timur Amerika
Selatan dan bagian barat Afrika serta bagian selatan India dan bagian utara
Australia. Wegener pada awal abad ke-20 mengajukan teori Continental Drift
yang menyebutkan bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu bumi hanya terdiri dari
satu benua besar yang bernama Pangaea. Benua Pangaea ini kemudian terpecah
menjadi benua-benua yang lebih kecil dan perlahan hanyut hingga membentuk
konfigurasi benua seperti saat ini (Gambar II-4).
II-4
II.1.2.1 Plate Tectonic
Teori plate tectonics dikembangkan berdasarkan teori continental drift. Teori ini
menyebutkan bahwa permukaan bumi tersusun atas segmen-segmen besar yang
menyatu dan saling berkaitan yang dinamakan plate atau lempeng. Lempeng-
lempeng tersebut bergerak relatif satu sama lain dengan arah dan kecepatan
tertentu. Terdapat enam lempeng benua (Afrika, Amerika, Antartika, India-
Australia, Eurasia dan Pasifik) dan empat belas lempeng sub benua (Karibia,
Kokos, Nazca, dll) seperti terlihat dalam Gambar II-5 berikut.
Gambar II-5 Major tectonic plates, mid-oceanic ridges, trenches, dan transform fault
pada permukaan bumi, tanda panah menunjukkan arah pergerakan lempeng
(Fowler, 1990)
Deformasi relatif antar lempeng terjadi pada zona-zona sempit yang berada dekat
dengan batas pertemuan lempeng. Deformasi ini dapat berlangsung dengan lambat
dan menerus (aseismic deformation) atau berlangsung cepat dan tidak tetap
(seismic deformation). Apabila seismic deformation yang terjadi, maka akan
timbul gempa bumi. Karena seismic deformation ini sebagian besar hanya terjadi
di daerah batas pertemuan lempeng, maka gempa bumi pun sebagian besar terjadi
pada daerah-daerah tersebut seperti terlihat dalam Gambar II-6.
II-5
Gambar II-6 Titik-titik merah menunjukkan sebaran episenter gempa yang
menggambarkan aktifitas seismik. Gempa terjadi pada batas pertemuan lempeng
(dimodifikasi dari IISE BRI Tsukuba, 2002)
Pergerakan lempeng tektonik disebabkan oleh suatu gaya dorong yang sangat
besar yang bersumber pada terciptanya kondisi keseimbangan termomekanik
material bumi. Bagian atas dari selimut bumi bersinggungan dengan kerak (crust)
bumi yang relatif lebih dingin dan bagian bawahnya bersinggungan dengan inti
luar (outer core) bumi yang panas. Fenomena ini menghasilkan variasi temperatur
pada selimut (mantle) bumi dan menimbulkan kondisi yang tidak stabil, dimana
material yang lebih rapat dan lebih dingin berada di atas material yang lebih
renggang dan temperatur lebih hangat. Akibat gaya gravitasi, material yang lebih
rapat tersebut lama-lama akan tenggelam dan mendesak material yang lebih
renggang untuk naik ke atas. Karena bersinggungan dengan inti luar bumi yang
panas, material yang tenggelam ini perlahan akan menghangat dan kerapatannya
menjadi lebih renggang, kemudian bergerak ke arah lateral dan naik kembali.
Sebaliknya, material di atas yang dingin akan tenggelam karena gravitasi. Proses
yang terjadi berulang-ulang ini dinamakan dengan konveksi (Gambar II-7).
II-6
Outer
core
Inner
core HOT
Mantle
(solid)
Gambar II-7 Struktur bumi dan arus konveksi dalam selimut bumi (Noson,dkk.,
1988)
a. Spreading Ridge
Spreading ridge terjadi pada batas pertemuan lempeng yang bergerak saling
menjauh (Gambar II-8). Celah yang terbentuk pada daerah ini akan diisi oleh
lelehan batuan (molten rock) dari selimut yang naik ke permukaan bumi yang
II-7
dingin dan membentuk lempeng baru. Kecepatan dari lempeng yang menjauh ini
diperkirakan sebesar 2 cm/tahun hingga 18 cm/tahun.
b. Zona Subduksi
Akibat terbentuknya spreading ridge di suatu daerah, maka pada daerah lainnya
akan terbentuk zona subduksi atau zona penunjaman (Gambar II-9).
Keseimbangan ini terjadi karena ukuran bumi yang konstan. Zona subduksi
terbentuk pada batas pertemuan lempeng yang saling mendekat satu sama lain
(konvergen). Pada titik pertemuan tersebut, salah satu lempeng akan menumpang
pada lempeng lainnya yang menunjam ke bawahnya dengan kemiringan tertentu.
Zona subduksi umumnya ditemukan dekat ujung benua, yaitu pada pertemuan
kerak benua (continental crust) dan kerak samudera (oceanic crust), antar kerak
samudera, dan antar kerak benua. Gempa bumi terjadi pada lajur
megathrust/interplate dan lajur Benioff/intraplate. Lajur megathrust adalah
bagian dangkal zona subduksi yang mempunyai sudut penunjaman yang landai.
Sedangkan lajur Benioff adalah bagian dalam zona subduksi mempunyai sudut
penunjaman yang curam. Kecepatan penunjaman yang cepat akan membentuk
palung pada batas pertemuan lempeng. Sebaliknya, kecepatan penunjaman yang
lambat akan memicu pembentukan sedimen di atas kerak batuan.
II-8
Gambar II-9 Zona subduksi, kerak samudera menunjam ke bawah kerak benua
(dimodifikasi dari www.gasd.k12.pa.us, 2005)
c. Patahan Transformasi
Gambar II-10 Zona patahan transformasi pada kerak benua (dimodifikasi dari
www.gasd.k12.pa.us, 2005)
II-9
II.1.3 Patahan
Patahan terjadi akibat pergerakan diantara lempeng pada suatu struktur kerak
geologi yang baru atau eksisting. Panjang patahan dapat bervariasi dari beberapa
meter hingga ratusan kilometer dengan kedalaman dari permukaan tanah hingga
beberapa puluh kilometer. Patahan merupakan tempat terjadinya gempa bumi
kerak dangkal atau shallow crustal fault zone.
Notasi geologi digunakan untuk menjelaskan orientasi suatu patahan , yaitu strike
dan dip. Strike dari suatu patahan adalah garis horisontal yang dibuat oleh
perpotongan bidang patahan dengan bidang horisontal. Sudut strike
menggambarkan arah patahan relatif terhadap arah utara (contoh N60E).
Kemiringan bidang patahan dinyatakan dengan sudut dip, yaitu sudut antara
bidang patahan dan bidang horisontal yang diukur tegak lurus terhadap strike.
Patahan vertikal memiliki sudut dip sebesar 90.
Terdapat dua jenis gerakan patahan berdasarkan komponen strike dan sudut dip
nya.
a. Dip Slip
Gerakan patahan yang sebagian besar terjadi pada arah dip nya (tegak lurus
strike) disebut sebagai gerakan dip slip. Gerakan dip slip ini dibedakan atas
patahan normal (normal fault) dan patahan terbalik (reverse fault) seperti terlihat
dalam Gambar II-11. Patahan normal terjadi ketika komponen horisontal dip slip
tertarik dan material di atas patahan miring (hanging wall) bergerak relatif turun
terhadap material di bawah patahan miring (foot wall). Patahan terbalik terjadi
ketika komponen komponen horisontal dip slip tertekan dan material di atas
II-10
patahan miring (hanging wall) bergerak relatif naik terhadap material di bawah
patahan miring (foot wall). Patahan dorong (thrust fault) terjadi ketika bidang
patahan memiliki sudut dip yang kecil.
Gambar II-11 Gerakan patahan dengan mekanisme dip slip (dimodifikasi dari
www.hp1039.jishin.go.jp, 2007)
b. Strike Slip
Strike slip terjadi ketika patahan bergerak sejajar terhadap strike-nya. Strike slip
terdiri dari dua jenis yang dibedakan berdasarkan arah relatif pergerakan material
di kedua sisi patahan, yaitu right lateral strike slip dan left lateral strike slip
seperti terlihat dalam Gambar II-12.
Gambar II-12 Gerakan patahan dengan mekanisme strike slip (dimodifikasi dari
www.hp1039.jishin.go.jp, 2007)
II-11
Selain kedua jenis gerakan di atas, patahan juga dapat bergerak baik dalam
komponen strike maupun dip. Gerakan ini dinamakan dengan patahan miring
(oblique fault) seperti terlihat dalam Gambar II-13.
Teori Elastic Rebound dari Reid (1911) menyebutkan bahwa tingkat kerusakan
batuan akibat proses pelepasan energi dipengaruhi oleh karakteristik batuan
tersebut. Jika batuan lemah dan bersifat ductile, maka energi regangan yang
tersimpan akan dilepaskan secara lambat dan pergerakannya terjadi secara
aseismik. Jika batuan kuat dan bersifat brittle, maka keruntuhan cepat akan terjadi
dan menimbulkan gempa. Setelah gempa terjadi proses penimbunan energi akan
berlangsung kembali sampai suatu saat gempa terjadi kembali (Gambar II-14).
II-12
Gambar II-14 Teori elastic rebound (Reid, 1911)
Lokasi suatu gempa bumi dapat dijelaskan melalui notasi geometrik. Fokus atau
hiposenter adalah lokasi dimana keruntuhan (rupture) dimulai dan lokasi awal
dimana gelombang gempa terbentuk. Keruntuhan menyebar dari fokus ke
sepanjang patahan dengan kecepatan 2-3 km/detik. Meski keruntuhan pada
patahan dapat memanjang hingga ke permukaan tanah, fokus atau hiposenter
terletak pada kedalaman tertentu di bawah permukaan. Kedalaman ini dinamakan
dengan kedalaman fokus atau kedalaman hiposenter. Titik di permukaan tepat di
atas hiposenter dinamakan episenter. Jarak di permukaan dari lokasi pengamatan
ke episenter dinamakan dengan jarak episenter dan jarak dari lokasi pengamatan
ke fokus atau hiposenter dinamakan dengan jarak fokal atau jarak hiposenter.
Ilustrasi notasi geometrik ini dapat dilihat dalam Gambar II-15.
II-13
Gambar II-15 Notasi geometrik untuk menggambarkan lokasi gempa (Shakal &
Bernreuter , 1981; Boore & Joyner, 1982)
II-14
B
A
Gambar II-16 Penentuan lokasi episenter dengan metode grafis (dimodifikasi dari
Foster, 1988)
Salah satu hal penting yang perlu diketahui dari suatu kejadian gempa adalah
informasi mengenai besarnya gempa yang terjadi yang dinyatakan dengan ukuran
gempa. Ukuran gempa tersebut dapat dinyatakan secara kualitatif atau kuantitatif.
II-15
memperkirakan tingkat strong ground motion dan membandingkan pengaruh
gempa di wilayah geografis yang berbeda-beda.
Skala intensitas gempa Rossi-Forel (RF) diperkenalkan pertama kali pada tahun
1880. Pengembangan terhadap skala ini diperkenalkan oleh Mercalli pada tahun
1931 yang dikenal dengan Modified Mercalli Intensity (MMI). Intensitas gempa
dalam skala MMI terbagi atas 12 tingkatan seperti terlihat dalam Tabel II-1.
II-16
Gambar II-17 Perbandingan berbagai skala intensitas gempa (Richter, 1958;
Murphy & OBrien, 1977)
Magnitude Lokal Richter adalah skala magnitude yang iperkenalkan oleh Charles
Richter pada tahun 1933 berdasarkan pengukuran menggunakan seismometer
Wood-Anderson untuk gempa-gempa dangkal dan lokal (episenter kurang dari
600 km). Richter mendefisikan magnitude lokal sebagai logaritma (basis 10)
amplitudo maksimum (dalam mikrometer) yang terukur oleh seismometer Wood-
Anderson yang berada pada jarak 100 km dari episenter gempa (Gambar II-18).
Skala lokal Richter ini merupakan skala yang paling umum digunakan, tetapi
terbatas hanya untuk gempa-gempa lokal saja. Korelasi antara skala magnitude
Richter dengan skala intensitas Modified Mercalli dapat dilihat dalam Tabel II-2.
II-17
Gambar II-18 Penentuan skala lokal Richter berdasarkan amplitudo dan jarak
episenter atau waktu tiba gelombang p-s (Richter, 1933)
Tabel II-2 Hubungan antara skala intensitas Modified Mercalli dengan skala
magnitude Richter (dimodifikasi dari www.dnr.mo.gov, 2007)
II-18
b. Magnitude Gelombang Permukaan (Ms)
II-19
gelombang badan juga dapat ditentukan berdasarkan amplitudo gelombang
Rayleigh untuk periode 1 detik. Magnitude ini disimbolkan dengan mbLg dan
umumnya digunakan untuk mengukur gempa-gempa intraplate.
d. Magnitude Lainnya
II-20
log M o
Mw = 10,7 (II-3)
1,5
M o = A D (II-4)
dimana Mo adalah seismic moment dalam dyne-cm, adalah kuat runtuh material
di sepanjang patahan, A adalah area keruntuhan, dan D adalah jumlah rata-rata
pergerakan.
Besarnya ground motion yang ditimbulkan akibat gempa dapat diketahui dari data
yang tercatat pada alat instrumentasi. Data ini berbentuk data time histories
terhadap perpindahan, kecepatan, atau percepatan ground motion. Dalam rekayasa
kegempaan, perlu diketahui karakteristik dari data ground motion tersebut yang
meliputi: (1) amplitudo, (2) kandungan frekuensi, dan (3) durasi. Karakteristik ini
sangat mempengaruhi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh gempa.
II-21
II.2.1 Pengukuran Strong Ground Motion
Meskipun deskripsi tertulis dari kejadian gempa bumi telah ada sejak tahun 780
SM, namun pengukuran secara akurat terhadap ground motion yang merusak baru
ditemukan pada tahun 1933, ketika terjadi gempa di Long Beach, California
(Hudson, 1984).
II-22
Seismograf didisain mengikuti prinsip kerja sistem satu derajat kebebasan (single
degree of freedom/SDOF) yang tersusun atas massa (mass), pegas (spring) dan
peredam (damper) seperti dalam Gambar II-20.
Gambar II-20 Prinsip kerja seismograf berdasarkan sistem derajat satu kebebasam
dengan massa (mass), pegas (spring), dan peredam (damper) (Kramer, 1996)
Karakteristik dari strong ground motion dapat dikuntifikasi secara jelas apabila
diketahui parameter-parameter ground motion (ground motions parameters).
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik
dari amplitudo, kandungan frekuensi, serta durasi dari strong ground motion
tersebut. Karena karakteristik dari suatu ground motion pada suatu lokasi tertentu
tergantung kepada besarnya magnitude gempa dan jarak antara sumber gempa
dengan lokasi tinjau, maka parameter-parameter ground motion ini juga
dipengaruhi oleh magnitude gempa dan jarak dari sumber gempa ke lokasi tinjau.
II-23
II.2.2.1 Parameter Amplitudo
Gambar II-21 Data pencatatan ground motion berupa time histories terhadap
percepatan, kecepatan, dan perpindahan (Kramer, 1996)
II-24
Selain PHA, karakterisasi ground motion dapat juga ditentukan dari kecepatan
horisontal puncak atau peak horizontal velocity (PHV). PHV sangat sesuai untuk
menggambarkan ground motion dengan frekuensi menengah. Pada bangunan
dengan frekuensi alami menengah, PHV dapat memberikan indikasi yang lebih
akurat dibandingkan dengan PHA terhadap potensi kerusakan yang dapat
ditimbulkan. Sedangkan untuk ground motion dengan frekuensi rendah,
karakteristik lebih mudah teridentifikasi dengan perpindahan horisontal
maksimum atau peak horizontal displacement (PHD).
Respon dinamik dari bangunan, baik alami maupun manusia seperti gedung,
jembatan, lereng dan timbunan tanah menunjukkan tingkat sensitifitas yang sangat
tinggi pada frekuensi dimana gempa terjadi. Gempa bumi menghasilkan
kombinasi beban yang rumit pada bangunan karena gerakan gempa memiliki
kisaran frekuensi yang sangat luas. Dengan kandungan frekuensi (frequency
content) dapat diketahui bagaimana amplitudo ground motion didistribusikan pada
frekuensi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu untuk menghasilkan karakterisasi
yang akurat terhadap ground motion, maka perhitungan kandungan frekuensi
penting dilakukan mengingat kandungan frekuensi dari suatu gempa sangat
berpengaruh kepada efek gerakan yang dihasilkan.
Kandungan frekuensi dari suatu strong ground motion didefinisikan dalam bentuk
spectra. Terdapat beberapa tipe spectra untuk menggambarkan kandungan
frekuensi ini. Fourier spectra dan Power spectra dapat menggambarkan secara
jelas kandungan frekuensi dari ground motion itu sendiri. Sedangkan Response
spectra lebih menjelaskan pengaruh ground motion kepada bangunan dengan
periode alami yang beragam. Selain spectra, kandungan frekuensi dari gerakan
tganah kuat juga dapat digambarkan melalui berbagai spectral parameters.
Parameter-parameter tersebut adalah periode dominan (predominant period, Tp),
bandwidth, frekuensi tengah (central frequency), faktor bentuk (shape factor), dan
parameter Kanai-Tajimi.
II-25
Gambar II-22 Kandungan frekuensi dalam respon spektra (Kramer, 1996)
Durasi dari ground motion ini erat kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan
untuk melepaskan akumulasi energi regangan dari keruntuhan di sepanjang
patahan. Durasi strong ground motion dapat dideskripsikan secara mutlak atau
relatif. Bracketed duration didefinisikan sebagai rentang waktu antara percepatan
batas awal dan akhir. Braceketed duration ini mengacu kepada pengukuran
mutalk percepatan ground motion. Selain itu, pengukuran durasi berdasarkan
II-26
ground motion relatif dapat menggambarkan durasi yang sama panjang untuk
weak ground motion.
Dalam analisis seismic hazard pada suatu lokasi, seluruh sumber gempa aktif di
sekitar lokasi tersebut serta kemungkinan sumber gempa tersebut menghasilkan
strong ground motion di masa datang harus diidentifikasi dan dievaluasi secara
jelas. Identifikasi dan evaluasi aktifitas gempa dapat dilakukan berdasarkan data
seismik dari instrumentasi seperti seismograf. Dari data tersebut dapat diketahui
besarnya magnitude gempa, lokasi keruntuhan di permukaan serta parameter-
parameter sumber. Apabila data seismik ini tidak tersedia, maka aktifitas gempa
dapat diketahui dari bukti-bukti geologis atau tektonis serta informasi seismisitas
historis. Wells & Coppersmith (1994) mengusulkan hubungan empiris antara
magnitude momen terhadap data geologis berupa panjang keruntuhan (L), luas
area keruntuhan (A), dan perpindahan maksimum di permukaan (D) seperti
terlihat dalam Tabel II-3.
II-27
Tabel II-3 Hubungan empiris antara magnitude momen (Mw), panjang keruntuhan,
L (km), luas area keruntuhan, A (km2), dan perpindahan maksimum di permukaan,
D (m) (Wells & Coppersmith, 1994)
Tipe Jumlah
Persamaan Mw Persamaan log L, A, D
Patahan Kejadian
Strike Slip 43 Mw = 5.16 + 1.12 log L 0.28 Log L = 0.74 Mw 3.55 0.23
Reverse 19 Mw = 5.00 + 1.22 log L 0.28 Log L = 0.63 Mw 2.86 0.2
Normal 15 Mw = 4.86 + 1.32 log L 0.34 Log L = 0.50 Mw 2.01 0.21
All 77 Mw = 5.08 + 1.16 log L 0.28 Log L = 0.69 Mw 3.22 0.22
Strike Slip 83 Mw = 3.98 + 1.02 log A 0.23 Log A = 0.90 Mw 3.42 0.22
Reverse 43 Mw = 4.33 + 0.90 log A 0.25 Log A = 0.98 Mw 3.99 0.26
Normal 22 Mw = 3.93 + 1.02 log A 0.25 Log A = 0.82 Mw 2.87 0.22
All 148 Mw = 4.07 + 0.98 log A 0.24 Log A = 0.91 Mw 3.49 0.24
Strike Slip 43 Mw = 6.81 + 0.78 log D 0.29 Log D = 1.03 Mw 7.03 0.34
Reverse 21 Mw = 6.52 + 0.44 log D 0.52 Log D = 0.29 Mw 1.84 0.42
Normal 16 Mw = 6.61 + 0.71 log D 0.34 Log D = 0.89 Mw 5.90 0.38
All 80 Mw = 6.69 + 0.74 log D 0.4 Log D = 0.82 Mw 4.56 0.42
II-28
dari gabungan distribusi gempa yang diasumsikan terjadi di setiap lokasi
dalam zona sumber gempa dengan geometri sumber gempa.
2. Karakterisasi seismisitas atau distribusi temporer pengulangan kejadian
gempa menggunakan hubungan pengulangan kejadian gempa (recurrence
relationship) dengan menentukan tingkat rata-rata suatu kejadian gempa
dengan ukuran terentu akan terlampaui.
3. Penentuan besarnya ground motion yang terjadi pada suatu lokasi akibat
suatu kejadian gempa dengan ukuran tertentu pada setiap lokasi dalam zona
sumber gempa menggunakan predictive relationship. Dalam tahapan ini,
diperhitungkan juga ketidakpastian yang ada pada predictive relationship.
4. Selanjutnya, probabilitas parameter ground motion akan terlampaui dalam
periode ulang tertentu ditentukan dari gabungan seluruh ketidakpastian pada
ukuran gempa, lokasi gempa serta prediksi parameter ground motion.
Ilustrasi dari tahapan dalam PSHA ini dapat dilihat dalam Gambar II-23.
Gambar II-23 Tahapan dalam analisis seismic hazard probabilistik (Kramer, 1996)
II-29
Karakterisasi terhadap suatu sumber gempa perlu memperhitungkan karakteristik
jarak dan geometri sumber gempa serta distribusi gempa dalam sumber gempa,
distribusi ukuran gempa untuk setiap sumber gempa dan distribusi gempa
terhadap waktu. Karakteristik tersebut mengandung ketidakpastian yang perlu
diperhitungkan dalam analisis seismic hazard.
Geometri suatu sumber gempa tergantung pada proses tektonik sumber gempa
tersebut. Karakterisasi terhadap geometri sumber gempa ini dapat berbentuk 1)
point source seperti pada patahan-patahan pendek atau gempa-gempa vulkanik
Gambar II-24 (a), 2) area source seperti pada bidang-bidang patahan yang
teridentifikasi dengan baik Gambar I-1Gambar II-24 (b), dan 3) 3-D volumetric
source seperti pada sistem patahan yang sangat luas Gambar II-24 (c).
Gambar II-24 Geometri model sumber gempa (a) patahan pendek yang dimodelkan
sebagai point source (b) patahan dangkal yang dimodelkan sebagai linear source (c)
sumber gempa 3-dimensi (Kramer, 1996)
Ketidakpastian pada jarak sumber gempa dalam suatu zona sumber gempa
diperhitungkan dengan menggunakan probability density function berdasarkan
jarak dan geometri sumber gempa seperti terlihat dalam Gambar II-25.
II-30
Gambar II-25 Distribusi probabilitas jarak untuk berbagai geometri sumber gempa
(Kramer, 1996)
dimana :
II-31
Gambar II-26 Gutenberg-Richter recurrence law (Kramer, 1996)
dimana :
II-32
secara berulang-ulang akan menghasilkan gempa dengan ukuran sebesar 1.5 kali
magnitude maksimum di dekat atau pada magnitude maksimum tersebut. Gempa
ini dinamakan dengan gempa karakteristik (characteristic earthquake). Bukti-
bukti geologis menunjukkan bahwa gempa karakteristik ini lebih sering terjadi
dibandingkan dengan gempa yang diperkirakan dari ekstrapolasi Gutenberg-
Richter recurrence law (Gambar II-27).
II-33
dimana :
dan jarak hiposenter R yang diperoleh dari predictive relationship dengan fungsi
atenuasi tertentu dan fM(m) dan fR(r). PDF dengan variabel acak tersebut dapat
dinyatakan dalam cummulative distribution function (CDF) sebagai berikut :
e (m mo )
f M (m ) = FM (m ) =
d
(II-10)
dm 1 e (mmax mo )
II-34
m m
FM (m ) = P[M < m M > mo ] = o
=1 e ( m max mo )
(II-11)
m m
max o
Logic tree merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh Power dkk., 1981;
Kulkarni dkk., 1984; Coppersmith & Youngs, 1986 untuk memperhitungkan
seluruh ketidakpastian dalam menentukan parameter-parameter dalam PSHA,
yaitu pemilihan recurrence model, fungsi atenuasi, recurrence rate, dan magnitude
maksimum. Dengan logic tree, setiap alternatif yang dipilih dalam menentukan
parameter-parameter di atas diberi suatu bobot yang menggambarkan tingkat
kepercayaan terhadap parameter yang digunakan. Jumlah faktor bobot dari semua
alternatif metode untuk parameter yang sama harus sama dengan satu seperti pada
contoh dalam Gambar II-28.
II-35
II.3.2.5 Deagregasi
M controlling =
M (kontribusi kejadian/tahun )
i
(II-12)
(kontribusi kejadian/tahun )
Rcontrolling =
R (kontribusi kejadian/tahun )
i
(II-13)
(kontribusi kejadian/tahun )
0.016
0.014
5.0-5.5
5.5-6.0 0.012
Contribution to Hazard
6.0-6.5
0.010
6.5-7.0
7.0-7.5
0.008
7.5-8.0
8.5-9.0 0.006
0.004
285
0.002
245
205
165
125
Dista 0.000
nce
85
(k m)
45
8.5-9.0
7.0-7.5
6.0-6.5
5.0-5.5
5
ud e
Magnit
II-36
II.3.3 Konsep Probabilistik Untuk Model Sumber Gempa Tiga Dimensi
Dalam Program Komputer EZ-FRISKTM
ln I = C1 + C 2 M + C 3 ln R + C 4 R + N (0, 12 ) (II-14)
dimana R adalah jarak ke zona keruntuhan gempa, C1, C2, C3, dan C4 adalah
konstanta, dan 1 adalah standar deviasi. Persamaan (II-10) di atas dapat ditulis
dalam bentuk sebagai berikut :
ln i ln I (m, r )
P[I i m,r ]= * (II-15)
1
dimana :
II-37
( ((
f Mi (m ) = k i' exp i M max i 3
2
) M ))
oi M max i 1 m M max i
2
(II-18)
dimana ki' adalah konstanta normalisir. Model karakteristik hanya sesuai untuk
sumber gempa berupa patahan.
II-38
magnitude gempa. Panjang keruntuhan, LR, dan lebar keruntuhan, WR, bervariasi
terhadap magnitude gempa dan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Tabel II-4 Konstanta panjang zona keruntuhan (Wells & Coppersmith, 1994)
R1 = Rhorisontal
R2 = R ekspresi ke permukaan
Ilustrasi dari definisi jarak di atas dapat dilihat dalam Gambar II-31 berikut :
II-39
Gambar II-31 Definisi jarak pada patahan dalam program komputer
EZ-FRISKTM (Risk Engineering, 2007)
Jarak umumnya didefinsikan sebagai R0. Definisi jarak lainnya digunakan sesuai
dengan definisi jarak pada fungsi atenuasi tertentu. Dengan definisi jarak R di
atas, persamaan (II-9) untuk menghitung PSHA dimodifikasi menjadi persamaan
berikut :
dimana :
fM = fungsi probabilitas magnitude
fR = fungsi probabilitas jarak hiposenter
P[I i m, r ] = probabilitas berkondisi dari intensitas I yang melampaui nilai i
II-40
goncangan tanah akibat gempa. Hal ini disebabkan ground motion akibat gempa
bekerja sebagai beban dinamik pada struktur dan respon dinamik struktur terhadap
beban gempa ini tergantung pada besarnya beban dinamik dan durasi beban
dinamik tersebut. Selanjutnya, ground motion akan lebih tepat digambarkan
dalam bentuk acceleration time histories. Acceleration time histories dapat
digunakan untuk menentukan ground motion desain spesifik di lokasi studi (site-
specific design ground motion) yang menggambarkan respon tanah di permukaan
akibat perambatan gelombang gempa.
Dengan spectral matching, data akselerogram dari lokasi lain akan dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga respon spektra dari data akselerogram tersebut sesuai
(matched) dengan respon spektra target. EZ-FRISKTM menggunakan algoritma
pemrograman RSPM99 dari Norm Abrahamson untuk menentukan spectral
II-41
matching. RSPM99 dikembangkan berdasarkan metode time domain dari Tseng
dan Linaland (1988).
II-42