Vous êtes sur la page 1sur 15

LAPORAN KASUS

Obs Febris Hari Ke V

Disusun oleh :
dr. Rahmat Nugroho

Pendamping 1 : dr. Yanti Eka Iswara


Pendamping 2 : dr. Nelmawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT dr MURJANI SAMPIT
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
Obs Febris Hari Ke V

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dari


Tugas Internsip
RSUD dr. Murjani Sampit

Disusun Oleh

dr. Rahmat Nugroho

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan :


Hari/tanggal Januari 2017

Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Yanti Eka Iswara dr. Nelmawati

2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. A. Yani, Sampit, Kotawaringin Timur
Lokasi periksa : UGD RSUD dr Murjani
Tanggal periksa : 23 November 2016

II. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Dialami sejak 5 hari yang lalu, demam
tidak terus-menerus, demam dirasakan lebih tinggi pada sore hari. Demam yang
dirasakan tidak menggigil.
Pasien merasakan adanya sakit kepala. Pasien merasa mual dan muntah tiap kali
makan. Penderita belum buang air besar sejak menderita demam. Buang air kecil
lancar. Keluhan seperti mimisan, keluar bintik-bintik merah dan gusi berdarah
tidak dikeluhkan oleh pasien. Pasien hanya membeli obat penurun panas di
warung. Pagi ini pasien meminum penurun panas dan memeriksakan diri ke
Puskesmas Ketapang I
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa tidak ada, Riwayat mondok demam berdarah (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Dalam keluarga tidak ada yang
menderita sama dengan dengan penderita. Riwayat pengobatan sebelumnya tidak
ada.
5. Riwayat lingkungan dan kebiasaan
Aktifitas dan kegiatan sehari-hari baik. Makan teratur dengan menu seadanya.
Tidak ada keluhan serupa di lingkungan sekitar.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang / Gizi cukup / Kesadaran Komposmentis
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 162 cm
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu : 37,5 oC

Pemeriksaan Fisik
Kepala
Ekspresi : biasa
Simetris muka : simetris kiri = kanan
Deformitas : Tidak ada
Rambut : hitam lurus, alopesia (-)
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak

Gerakan : ke segala arah


Kelopak Mata : edema (-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat isokor
Telinga
Pendengaran : normal
Tophi : tidak
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak
Hidung
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut
Bibir : pucat (-), kering (-)
Lidah : kotor (-), tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-),
Gigi geligi : dalam batas normal
Gusi : dalam batas normal
Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

4
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : tidak
Tumor : tidak ada
Dada
Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Sela iga : dalam batas normal
Lain lain : (-)
Paru
Palpasi :
Fremitus raba : tidak ada
Nyeri tekan : tidak ada
Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior,
Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra

Auskultasi :
Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-
Wh -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Perut
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Palpasi : Nyeri tekan (-) MT (-)
Hepar tidak teraba
Limpa tidak teraba.
Ginjal tidak teraba

Perkusi: timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung

5
Palpasi : NT (-), MT (-)
Nyeri ketok : (-)
Auskultasi : BP: vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Gerakan : dalam batas normal
Lain lain : (-)
Ekstremitas
Edema -/-, tanda perdarahan (-)
Laboratorium

Jenis Pemerikaan Hasil Nilai Rujukan

HGB 15,3 g/dL 12 - 16 g/dL

HCT 28,8% 37 48%

MCV 83,6 pl 76 92 pl

MCH 28,5 pg 22 31 pg

MCHC 34,2 g/dl 32 36 g/dl

TROMBOSIT 187x 103/uL 150-400x 103/uL

NEUT 0,35x103/uL 52-75 x 103/uL

LYMPH 1.58x103/uL 20-40 x 103/uL

MONO 2 x103/uL 2-8 x 103/uL

EO 2 x103/uL 1-3 x103/uL

BASO 4 x103/uL 0-10 x 103/uL

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Salmonelatyphi O 1/160 Negatif

Salmonelatyphi H 1/160 Negatif

Salmonelaparatyph 1/60 Negatif


i OA

Salmonelaparatyph - Negatif
i OB

6
Salmonelaparatyph - Negatif
i OC

Salmonelaparatyph - Negatif
i HA

Salmonelaparatyph - Negatif
i HB

Salmonelaparatyph - Negatif
i HC

IV. DIAGNOSIS
Obs. Fever Hr ke 5
DD: - Thypoid Fever
- DF
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan darah rutin dan serologi Thypoid hari ke 7
- Tubex test
- Kultur darah
V. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
Tab PCT 3x1
Ciprofloxacin 2x1
Vit B Com 2x1
Non Medikamentosa
- Bedrest total
- Makan dan minum yang cukup dan bergizi

VI. PROGNOSIS
Dubia et Bonam

7
8
Demam Tifoid

Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai
belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri
gram negatif Salmonella typhi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal oleh
masyarakat dengan istilah penyakit tifus.

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan
global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai
13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa
per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari
Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus
(80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal,
Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu
wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada
kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1,3,4

Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya
kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat
resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti
kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1

Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara
transplasental dari ibu hamil ke bayinya.4

Manifestasi Klinik dan Temuan Fisik

Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan
dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid
selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih
tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang
menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah step ladder
temperature chart, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari,

9
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus
infeksi.1,4

Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk,
nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor
(tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali,
splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam
makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan
rose spot.2,4

Penegakan Diagnosis

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar


hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia,
leukopenia, leukosit normal, hingga leukositosis.5 2

Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan


kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah
biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini
bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik.
Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi
antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum. 1,2,4

Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang
berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin
sekali periksa mencapai 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang.
Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak
menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid.4,5

XI. Indikasi Rawat Inap


Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.

10
1. Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan
dan kalori diberikan melalui sonde lambung.
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2.
- Pelihara keadaan nutrisi.
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
2. Antipiretik diberikan apabila demam >39C kecuali pada pasien dengan
riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.
3. Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
4. Transfusi darah
Kadang- kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus.

Penatalaksanaan

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah
penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhandan keadaan
carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan
diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap
antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim
sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone. Terapi antibiotik
yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun
2003 dapat dilihat pada tabel.3

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofl oxacin, dan pefl oxacin)


merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak

11
resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%,
waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang
dari 2%.3

Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat


membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar
yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi
telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu
fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik
adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan
untuk levofl oxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid
tanpa komplikasi. Levofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan
dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi
ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan
ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara
bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.3

Di Amerika Serikat, pemberian regimen ciprofloxcacin atau ceftriaxone menjadi


first line bagi infeksi Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimethoprim-sulfamethoxazole, streptomycin, sulfonamides, atau
tetrasiklin.1

Tabel 1: Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut
WHO 2003

Terapi Optimal Terapi Alternatif

Dosis Dosis
Sensitivitas Antibiotik Hari Antibiotik Hari
mg/kg mg/kg

Fully Fluoroquinolone 15 5-7 Chloramphenicol 50 75 14-21


Sensitive
(ofloxacin atau Amoxicillin 75 14
ciprofloxacin) 100
TMP-SMX 14

12
8 - 40

Fluoroquinolone
Multidrug 15 5-7 Azithromycin 7
Atau
Resisten 15 20 7-14 Cefixime 7-14
Cefixime

Quinolone Azithromycin atau 8 10 7


Cefixime 7-14
Resisten Ceftriaxone 75 10-14

Tabel 2: Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003

Terapi Optimal Terapi Alternatif

Dosis
Sensitivitas Antibiotik Hari Antibiotik mg/kg Hari
mg/kg

Chloramphenicol 100 14-21


Fully Fluoroquinolone
15 10-14 Amoxicillin 100 14
Sensitive (ofloxacin)
TMP-SMX 8 - 40 14

Multidrug Ceftriaxone 60
Fluoroquinolone 15 10-14 10-14
Resisten Cefotaxime 80

Quinolone Ceftriaxone 60
10-14 Fluoroquinolone 20 7-14
Resisten Cefotaxime 80

Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan


kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF
dalam batas normal) atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang
dapat diberikan adalah deksamethasone dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada
pasien anak dapat digunakan deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30
menit sebagai dosis awal yang dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48
jam. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik.4,5

Komplikasi

13
Salah satu komplikasi demam tifoid yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat adalah perforasi dan perdarahan usus
halus. Komplikasi ini sering terjadi pada minggu ketiga yang ditandai dengan
suhu tubuh yang turun mendadak, adanya tanda-tanda syok dan perforasi
intestinal seperti nyeri abdomen, defance muscular, redup hepar menghilang.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah pneumonia, miokarditis, hingga
meningitis.2,4 3

Pencegahan

Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola


hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai
dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi dan
lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau
menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi
yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak
dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan
memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta
mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.

14
Daftar Pustaka

1. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrisons


Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.

2. Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and


Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed),
1425-1426.

3. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever.


(http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview)

4. IDI Continuing Medical Education, 2012, Tatalaksana terkini


Demam Tifoid, Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK-UI/RSCM, Jakarta
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006,
Standar Pelayanan Medik, PB PABDI, Jakarta.
6. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and
Biological, 2007, Background Document: The Diagnosis, Treatmen,
and Prevention of Typhoid Fever, WHO, Switzerland

15

Vous aimerez peut-être aussi