Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1
Pembahasana
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior- inferior)
sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara
jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan
keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan
mengundang masalah.
Dalam hubungan dokter-pasien, baik dokter maupun pasien dapat berperan sebagai sumber
atau pengirim pesan dan penerima pesan secara bergantian. 1 Pasien sebagai pengirim pesan,
menyampaikan apa yang dirasakan atau menjawab pertanyaan dokter sesuai pengetahuannya.
Sementara dokter sebagai pengirim pesan, berperan pada saat menyampaikan penjelasan
penyakit, rencana pengobatan dan terapi, efek samping obat yang mungkin terjadi, serta dampak
dari dilakukan atau tidak dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, dokter
bertanggung jawab untuk memastikan pasien memahami apa yang disampaikan.
Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap pernyataan
pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat
pertanyaan atau pernyataan klarifikasi.
Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa
diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing.
Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar
2
dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik
dan memberi obat yang tepat bagi pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter
sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang
dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat
membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien.1
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan
proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).1
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan
bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki
ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.2
Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
3
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:3
Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 434/Menkes/SK/X/1983.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.4
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan,
4
tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat
berupa tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus
didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi
antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.3
Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas
dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a),
(b), dan Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan
hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan
informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya
sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.3
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya
mengembangkan hubungan dokter - pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud
komunikasi dua arah yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.2
6
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter
dengan pasien haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk
mencari jalan terbaik bagi kesembuhan pasien. Bila dari permulaan
hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka,
maka banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah
mengetahui semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat
membuat diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak pasien yang juga sudah
mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan
perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta
kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap
menghadapi segala kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan
begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh rangkaian proses
yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis.2
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia,
seperti:
hak atas privasinya
hak untuk diperlakukan secara layak
hak untuk beristirahat
hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-
lain sewaktu menolong pasien.
Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
1. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan
medisnya yang diatur dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan
berbagai standar dan pedoman
2. kewajiban menghormati hak pasien, dan
3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:
1. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, serta kebutuhan pasien.
Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang
Undang Nomor 29 tahun 2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut
9
strata pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan
peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila
keadaan kesehatan pasien memang dapat bergerak atau dapat dibawa
untuk dipindahkan dalam keadaan stabil dan layak. Kewajiban merujuk
hanya dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan dirinya
dirujukkan meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak
ada dokter yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut
(yang terjangkau).
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode
etik kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan
perundangundangan. Sebagian pakar menyatakan bahwa kewajiban
tersebut absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif. Paham yang
relatif mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter
lainnya yang diatur dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.2
10
kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga
terjaga martabat dan keluhuran profesinya.5 Wilayah norma disiplin dapat
dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi yang berprilaku dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar praktik kedokteran hanya
ada pada wilayah norma etika dan hukum.7
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-
aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian dari
aturan-aturan dan ketentuan tersebut, terdapat di dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar di dalam peraturan
perundang-undangan, pedoman atau ketentuan lain. Undang-Undang Praktik
Kedokteran menyebutkan standar pelayanan, standar profesi dan standar
prosedur operasional serta ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 37, Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 45-49, dan Pasal 51 sebagai aturan/ketentuan yang harus
dipatuhi dokter dan dokter gigi. Sementara itu, aturan dan ketentuan lain
yang harus dipatuhi oleh dokter dan dokter gigi, juga ditemukan dalam
berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman
8
Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan juga kedokteran gigi.
12
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap
pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan
kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan
haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta
pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan
kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan,
yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat
adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR)
atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak
sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran disiplin.
13
adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya
dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan hubungan
antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan
dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran.
Dalam perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada
3
dua macam, yaitu:
1. Hubungan Karena Kontrak (Transaksi Terapeutik)
Karena adanya perkembangan yang menuntut hubungan dokter
pasien bukan lagi merupakan hubungan yang bersifat paternalistik
tetapi menjadi hubungan yang didasari pada kedudukan yang
seimbang/partner, maka hubungan itu menjadi hubungan kontraktual.
Hubungan kontraktual terjadi karena para pihak yaitu dokter dan
pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan
mempunyai kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu
mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing
pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang
lain. Peranan tersebut bisa berupa hak dan kewajiban. Hubungan
karena kontrak umumnya terjadi melalui suatu perjanjian. Dalam
kontrak terapeutik, hubungan itu dimulai dengan tanya jawab
(anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan
pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan
diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau
pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan
suatu diagnosis. Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu:
a. Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja.
b. Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang
maksimal.
Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter-pasien merupakan
suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak
menjanjikan kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar
pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil
14
kerja pada keadaan- keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu
atau anggota badan palsu, oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli
bedah kosmetik.
15
kepercayaan pasien. Meskipun ditemui pasal demikian dalam kode
etik, namun kutipan tersebut tidak begitu spesifik menjelaskan hak
pasien apa yang dilanggar dalam hal ini. Kasus ini lebih banyak
dibahas secara spesifik dari segi disiplin dan hukum.
b. Aspek disiplin
Penggantian dokter yang bertanggung jawab atas satu pasien
tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien yang
ditangani merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran kode
disiplin yang telah dibahas di atas. Dengan cukup jelas
dicantumkan bahwa ketidakhadiran dokter atau dokter gigi
bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti
pada saat dokter atau dokter gigi berhalangan praktik, harus
diinformasikan kepada pasien secara lisan ataupun tertulis di
tempat praktik dokter.
c. Aspek hukum
Kode disiplin tersebut di atas didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun
2004 pasal 40 ayat (1) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter
gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi
pengganti.
Dengan demikian, pelanggaran ini mencakup aspek etika, disiplin dan
hukum. Bagaimanapun juga kondisinya pergantian dokter yang
bertugas harus dengan jelas diberitahukan kepada pasien maupun
keluarganya agar kemudian tidak menimbulkan kebingungan apabila
dokter pengganti melakukan tindakan pada pasien tersebut.
Penginformasian juga dimaksudkan agar pasien mengetahui apakah
dokter pengganti memiliki kompetensi yang sesuai atau tidak. Bila
tidak, pasien seharusnya berhak menolak dokter pengganti.
2. Dokter meminta persetujuan pasien untuk dirawat inap melalui
perawat
a. Aspek etika dan disiplin
Ketidakmampuan dokter untuk melakukan komunikasi yang baik
dengan pasien, sedikitnya melanggar etika profesi kedokteran dan
kedokteran gigi serta lebih lanjut dapat melanggar disiplin
kedokteran, apabila ketidakmampuan berkomunikasinya
16
berdampak pada ketidakmampuan dokter dalam membuat
persetujuan tindakan kedokteran dan rekam medis.
b. Aspek hukum
Berdasarkan hak dasar manusia yang melandasi transaksi
terapeutik (penyembuhan), setiap pasien bukan hanya mempunyai
kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap
dirinya atau tubuhnya, tetapi ia juga terlebih dahulu berhak untuk
mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu diberi tahu
tentang penyakitnya dan tindakan-tindakan apa yang dapat
dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta
segala risiko yang mungkin timbul kemudian.1
Dari pemahaman ini harus ditegaskan bahwa segala informasi
penting yang berkaitan dengan pemahaman pasien harus
diberitahukan kepada pasien, termasuk segala risikonya kecuali
bila pemberitahuan itu dapat memperburuk keadaan pasien.
Sampai di sini, tindakan dokter yang meminta perawat
menanyakan kesediaan pasien dirawat inap berisiko menimbulkan
pelanggaran hukum bila ternyata perawatan tersebut menimbulkan
kerugian pada pasien tanpa sepengetahuannya, semata-mata
karena perawat tidak memberi informasi secara jelas sebagaimana
seharusnya.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit danpemulihan kesehatan.
Pasal 40
17
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 2
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
18
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Pasal 52
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
19
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
20
7. Alwy S. Norma etika, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran. Diunduh
dari www.hukor.depkes.go.id, 26 September 2014.
8. Lampiran Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman
Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 24 Agustus 2006. Surat Keputusan no. 17/KKI/KEP/VIII/2006.
21