Vous êtes sur la page 1sur 19

tika Dokter Dalam Melayani Pasien

Alfred Wema Lotama


102013356
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
e-mail: alfreasddwedma@gmail.comadasdas
dasdasdadad
memberi obat yang tepat bagi pasien.

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter
sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang
dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat
membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien.1

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan
proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).1

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan

1
bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki
ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.2

Aspek Etik dan Hukum

Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:3

1. Kode etik harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi


2. Kode etik harus konsisten, tetapi tidak kaku
3. Kode etik harus bersifat universal

Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 434/Menkes/SK/X/1983.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.

Hubungan antara dokter-pasien diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi


keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara
dokter dan pasien tetap berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita pasien. Tanpa
adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan kurang efektif.1

Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
2
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.4

Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan,
tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat
berupa tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus
didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi
antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.3

Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas
dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a),
(b), dan Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan
hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan
informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya
sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.3

Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya
mengembangkan hubungan dokter - pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud
komunikasi dua arah yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.2

Hak dan Kewajiban Pasien

3
Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui
hak-haknya sebagai pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary
sebagai kode etik dokter dan belum ada jaminan hukumnya. Kemudian pada
tahun 1992, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini
pasien, bila berhubungan dengan dokter, benar-benar harus
mempercayakan seluruh nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti bila
terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien
hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasan
hukumnya. Isi pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hampir
sama, hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien
3
untuk mendapatkan ganti rugi.
1. Hak pasien menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
a. Hak atas informasi
b. Hak atas pendapat kedua
c. Hak atas rahasia kedokteran
d. Hak untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran
e. Hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan karena kesalahan atau
kealpaan tenaga kesehatan
f. Hak untuk mendapat penjelasan
g. Hak untuk memperoleh pendapat kedua
h. Hak untuk mendapat pelayanan medis sesuai kebutuhan,
standar profesi dan standar prosedur operasional
i. Hak untuk menolak tindakan medis
j. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
2. Hak pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
a. Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3)
b. Hak untuk meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Hak untuk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Hak untuk menolak tindakan medis
e. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya.
Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau
menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya. 5 Bila pasien
sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus menceritakan
perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien
4
sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu
atau ayahnya berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau
penyakit lainnya, sehingga dokter dapat mendiagnosis penyakit secara lebih
tepat).

Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


mengatur tentang kewajiban pasien, yaitu: Pasien dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: 3
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter
dengan pasien haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk
mencari jalan terbaik bagi kesembuhan pasien. Bila dari permulaan
hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka,
maka banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah
mengetahui semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat
membuat diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak pasien yang juga sudah
mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan
perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta
kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap
menghadapi segala kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan
begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh rangkaian proses
yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis.2

Hak dan Kewajiban Dokter


Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter memiliki hak dan
kewajiban dalam hubungannya dengan pasien. Hak dan kewajiban yang
esensial diatur di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.3 Selain itu masih ada hak dan kewajiban umum lainnya
yang mengikat dokter. Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material
tidak bersifat melawan hukum, apabila memenuhi syarat-syarat berikut
secara kumulatif: tindakan itu mempunyai indikasi medik dengan tujuan
5
perawatan yang sifatnya konkret; dan dilakukan sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran; serta diizinkan oleh
pasien. Dua norma yang pertama timbul karena sifat tindakan tersebut
sebagai tindakan medis.6 Adanya izin pasien merupakan hak dari pasien.
Hak tersebut menyebabkan timbulnya kelompok norma-norma yang lain
yaitu norma untuk menghormati hak-hak pasien sebagai individu dan norma
yang mengatur agar pelayanan kesehatan dapat berfungsi di dalam
masyarakat untuk kepentingan orang banyak, dalam hal ini pasien sebagai
anggota masyarakat.

Hak dokter meliputi:


1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik
kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Sedangkan menurut pasal yang sama, standar prosedur operasional
adalah langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu. Standar Prosedur Operasional
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi.3
Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat
disalahkan dan bertanggungjawab secara hukum atas kerugian atau
cidera yang diderita pasien karena kerugian dan cidera tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu
diketahui bahwa cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat
saja terjadi karena perjalanan penyakitnya sendiri atau karena risiko

6
medis yang dapat diterima (acceptable) dan telah disetujui pasien
dalam informed consent.
2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional.
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau
keluarganya yang dianggapnya melanggar standar profesi dan atau
standar prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau
keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien,
melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan
identitas pasien dan faktor-faktor kontribusi yang berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit dan penyembuhan penyakit.
4. Menerima imbalan jasa
Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat
hubungan dokter dengan pasien, yang pemenuhannya merupakan
kewajiban pasien. Dalam keadaan darurat atau dalam kondisi
tertentu, pasien tetap dapat dilayani dokter tanpa
mempertimbangkan aspek finansial.

Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia,
seperti:
hak atas privasinya
hak untuk diperlakukan secara layak
hak untuk beristirahat
hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-
lain sewaktu menolong pasien.
Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
1. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan
medisnya yang diatur dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan
berbagai standar dan pedoman
2. kewajiban menghormati hak pasien, dan
3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:

7
1. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, serta kebutuhan pasien.
Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang
Undang Nomor 29 tahun 2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut
strata pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan
peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila
keadaan kesehatan pasien memang dapat bergerak atau dapat dibawa
untuk dipindahkan dalam keadaan stabil dan layak. Kewajiban merujuk
hanya dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan dirinya
dirujukkan meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak
ada dokter yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut
(yang terjangkau).
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode
etik kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan
perundangundangan. Sebagian pakar menyatakan bahwa kewajiban
tersebut absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif. Paham yang
relatif mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter
lainnya yang diatur dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.2
8
Prinsip Disiplin dalam Praktik Kedokteran
Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena
tugas utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam
menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter, selain terikat oleh norma
etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma disiplin
kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga
terjaga martabat dan keluhuran profesinya.5 Wilayah norma disiplin dapat
dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi yang berprilaku dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar praktik kedokteran hanya
ada pada wilayah norma etika dan hukum.7
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-
aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian dari
aturan-aturan dan ketentuan tersebut, terdapat di dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar di dalam peraturan
perundang-undangan, pedoman atau ketentuan lain. Undang-Undang Praktik
Kedokteran menyebutkan standar pelayanan, standar profesi dan standar
prosedur operasional serta ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 37, Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 45-49, dan Pasal 51 sebagai aturan/ketentuan yang harus
dipatuhi dokter dan dokter gigi. Sementara itu, aturan dan ketentuan lain
yang harus dipatuhi oleh dokter dan dokter gigi, juga ditemukan dalam
berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman
8
Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan juga kedokteran gigi.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan


dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat
dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak
dilaksanakan dengan baik.

9
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi
kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang
tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang
tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
maupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan
membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai
(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik,
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atauetika
profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan
kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien
atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan
pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima
atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan
menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa
10
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang
diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuaki bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap
pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture) atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan
kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan
haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta
pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan
kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan,
yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat
adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR)
atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak
sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran disiplin.

11
Prinsip Hukum dalam Praktik Kedokteran
Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum
kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan
hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien
adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya
dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan hubungan
antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu
diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan
dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran.
Dalam perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada
3
dua macam, yaitu:
1. Hubungan Karena Kontrak (Transaksi Terapeutik)
Karena adanya perkembangan yang menuntut hubungan dokter
pasien bukan lagi merupakan hubungan yang bersifat paternalistik
tetapi menjadi hubungan yang didasari pada kedudukan yang
seimbang/partner, maka hubungan itu menjadi hubungan kontraktual.
Hubungan kontraktual terjadi karena para pihak yaitu dokter dan
pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan
mempunyai kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu
mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing
pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang
lain. Peranan tersebut bisa berupa hak dan kewajiban. Hubungan
karena kontrak umumnya terjadi melalui suatu perjanjian. Dalam
kontrak terapeutik, hubungan itu dimulai dengan tanya jawab
(anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan
pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan
diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau
pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan
suatu diagnosis. Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu:
a. Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja.
b. Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang
maksimal.
12
Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter-pasien merupakan
suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak
menjanjikan kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar
pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil
kerja pada keadaan- keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu
atau anggota badan palsu, oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli
bedah kosmetik.

2. Hubungan Karena Undang-Undang (Zaakwarneming)


Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak
mungkin memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau
melakukan upaya medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan
berdasarkan perwakilan sukarela atau menurut ketentuan Pasal 1354
KUH Perdata disebut Zaakwarneming. Dalam Pasal 1354 KUH Perdata,
pengertian Zaakwarneming adalah mengambil alih tanggung jawab
dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk
mengurus dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian, perikatan yang
timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan
suatu perbuatan menurut hukum, yaitu : Dokter berkewajiban untuk
mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya setelah pasien
sadar kembali, dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai
tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala
kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut. Untuk tindakan
selanjutnya tergantung pada persetujuan pasien yang bersangkutan.2
Wilayah norma hukum baik dokter atau dokter gigi adalah sebagai
individu dalam pergaulan dalam masyarakat termasuk dalam melaksanakan
praktik kedokteran.4 Secara spesifik, hubungan dokter dan pasien dalam
praktik kedokteran diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

Tinjauan Skenario dari segi etika, disiplin dan hukum

13
1. Dokter melakukan pergantian tugas dengan dokter lain tanpa
sepengetahuan pasien
a. Aspek etika
Pasal 7c Kode Etik Kedokteran dengan jelas mencantumkan bahwa
seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien dan menjaga
kepercayaan pasien. Meskipun ditemui pasal demikian dalam kode
etik, namun kutipan tersebut tidak begitu spesifik menjelaskan hak
pasien apa yang dilanggar dalam hal ini. Kasus ini lebih banyak
dibahas secara spesifik dari segi disiplin dan hukum.
b. Aspek disiplin
Penggantian dokter yang bertanggung jawab atas satu pasien
tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien yang
ditangani merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran kode
disiplin yang telah dibahas di atas. Dengan cukup jelas
dicantumkan bahwa ketidakhadiran dokter atau dokter gigi
bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti
pada saat dokter atau dokter gigi berhalangan praktik, harus
diinformasikan kepada pasien secara lisan ataupun tertulis di
tempat praktik dokter.
c. Aspek hukum
Kode disiplin tersebut di atas didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun
2004 pasal 40 ayat (1) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter
gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi
pengganti.
Dengan demikian, pelanggaran ini mencakup aspek etika, disiplin dan
hukum. Bagaimanapun juga kondisinya pergantian dokter yang
bertugas harus dengan jelas diberitahukan kepada pasien maupun
keluarganya agar kemudian tidak menimbulkan kebingungan apabila
dokter pengganti melakukan tindakan pada pasien tersebut.
Penginformasian juga dimaksudkan agar pasien mengetahui apakah
dokter pengganti memiliki kompetensi yang sesuai atau tidak. Bila
tidak, pasien seharusnya berhak menolak dokter pengganti.
2. Dokter meminta persetujuan pasien untuk dirawat inap melalui
perawat
a. Aspek etika dan disiplin

14
Ketidakmampuan dokter untuk melakukan komunikasi yang baik
dengan pasien, sedikitnya melanggar etika profesi kedokteran dan
kedokteran gigi serta lebih lanjut dapat melanggar disiplin
kedokteran, apabila ketidakmampuan berkomunikasinya
berdampak pada ketidakmampuan dokter dalam membuat
persetujuan tindakan kedokteran dan rekam medis.
b. Aspek hukum
Berdasarkan hak dasar manusia yang melandasi transaksi
terapeutik (penyembuhan), setiap pasien bukan hanya mempunyai
kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap
dirinya atau tubuhnya, tetapi ia juga terlebih dahulu berhak untuk
mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu diberi tahu
tentang penyakitnya dan tindakan-tindakan apa yang dapat
dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta
segala risiko yang mungkin timbul kemudian.1
Dari pemahaman ini harus ditegaskan bahwa segala informasi
penting yang berkaitan dengan pemahaman pasien harus
diberitahukan kepada pasien, termasuk segala risikonya kecuali
bila pemberitahuan itu dapat memperburuk keadaan pasien.
Sampai di sini, tindakan dokter yang meminta perawat
menanyakan kesediaan pasien dirawat inap berisiko menimbulkan
pelanggaran hukum bila ternyata perawatan tersebut menimbulkan
kerugian pada pasien tanpa sepengetahuannya, semata-mata
karena perawat tidak memberi informasi secara jelas sebagaimana
seharusnya.

Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004

BAB VII PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

Bagian Kedua

Pelaksanaan Praktik

Pasal 39

15
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit danpemulihan kesehatan.

Pasal 40

(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.

Bagian Ketiga

Pemberian Pelayanan

Paragraf 2

Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

Pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Rekam Medis
16
Pasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 7

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53

17
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;


b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Penutup

Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati, yaitu upaya


menolong pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan. Menghormati dan
menghargai pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam berkomunikasi dengan
pasien, siapa pun dia, berapa pun umurnya, tanpa memerhatikan status sosial-ekonominya.
Bersikap adil dalam memberikan pelayanan medis adalah dasar pengembangan komunikasi
efektif dan menghindarkan diri dari perlakuan diskriminatif terhadap pasien. Hal tersebut diatur
dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memuat pasal-pasal
yang berkaitan dengan komunikasi dokter-pasien, Aspek yang cukup dominan mempengaruhi
keputusan pasien dalam berobat ke dokter adalah komunikasi. Sikap dokter dalam
berkomunikasi dengan pasien dapat menimbulkan kesimpulan yang akan mempengaruhi
keputusan pasien. Komunikasi yang tidak efektif dapat menimbulkan masalah dalam hubungan
dokter-pasien, di antaranya adalah tuduhan melakukan malapraktik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wasisto B, Sudjana G, Zahir H, Sidi IPS, Witjaksono M, Claramita M, et al.


Komunikasi efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia;2006.h.7-21.
2. Elias S, Wayan K, Putu A. Modul komunikasi pasien-dokter: suatu
pendetkatan holistik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.6-
10.
3. Rafly A, Purwadianto A, Rusli A, Rasad A, Aswar B, Sampurna B, et al.
Kemitraan dalam hubungan dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2006.h.11-35.
4. Jusuf H, Amri A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.14.
5. Sampurna B, Zulhasmar S, Tjetjep D. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007.h. 8; 77-9.

18
6. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran
indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2002.h.11.
7. Alwy S. Norma etika, disiplin, dan hukum di bidang kedokteran. Diunduh
dari www.hukor.depkes.go.id, 26 September 2014.
8. Lampiran Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman
Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 24 Agustus 2006. Surat Keputusan no. 17/KKI/KEP/VIII/2006.

19

Vous aimerez peut-être aussi