Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Laporan Kasus
Puskesmas Suradita
Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan
Tahun 2014
Kasus Pediatri
Asma
Pendahuluan
Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi dan elemennya yang berhubungan dengan hipereaktivitas
bronkus, sehingga menyebabkan episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
rasa berat di dada, dan batuk terutama malam atau dini hari; episodik perburukan
tersebut berkaitan dengan luasnya peradangan, variabilitas, beratnya obstruksi
jalan napas yang bersifat reversible baik spontan ataupun dengan pengobatan.
Faktor risiko dalam hal ini dapat dibagi menjadi faktor yang mempengaruhi
berkembangnya asma yaitu faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma
yaitu faktor pejamu (host factor) yang utamanya genetik, dan faktor lingkungan;
selain itu faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala asma yang dikenal dengan
faktor pencetus (1). Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30% dan 70%
disebabkan oleh berbagai faktor lainnya (2). Eratnya hubungan penyakit asma
dengan faktor keturunan menekankan bahwa penyakit ini sulit untuk dicegah
karena berhubungan dengan genetik. Maka penting untuk mengetahui cara
menanggulangi dan memantau agar gejala asma tidak sering timbul. Angka
kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi dibandingkan
oleh orang dewasa (10-45%) (3). Pada anak, penyakit asma dapat mempengaruhi
masa pertumbuhan, karena anak yang menderita asma sering mengalami kambuh
sehingga dapat menurunkan prestasi belajar di sekolah (2). Kambuh yang dialami
anak tentunya akan mengganggu keseharian dan konsentrasi anak terutama saat
proses belajar, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan anak. Data
Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi penyakit asma di Indonesia sebesar
3,32%. Prevalensi tertinggi penyakit asma adalah Provinsi Gorontalo (7,23%) dan
terendah adalah NAD (Aceh) sebesar 0,09%. Sedangkan prevalensi asma di DKI
Jakarta sebesar 2,94%. Jumlah responden asma yang lengkap sebanyak 972.649
anggota rumah tangga dengan kasus sebesar 32.262 (4). Pada asma persisten berat
dapat terjadi kekambuhan setiap hari, mengganggu aktivitas dan tidur, serta
Presentasi Kasus
An. H dengan usia 6 bulan datang ke Puskesmas Suradita pada tanggal 23
Januari 2014 dengan bersama dengan ibunya. Ibu pasien datang dengan keluhan
bahwa pasien sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengalami kesulitan
untuk bernapas dan terlihat terengah-engah. Ibu pasien mengaku bahwa gejala
pasien tidak timbul secara tiba-tiba melainkan seakan dipicu oleh udara dingin
atau kucing. Kedua hal ini telah menjadi kecurigaan ibu pasien sebaga pemicu
timbulnya gehala pasien. Tidak lama setelah pasien bangun di pagi hari, pasien
mulai terlihat menarik napas dengan berat. Gejala ini biasa diawali dengan batuk-
batuk. Begitu pula halnya jika pasien berada dekat dengan kucing. Ibu pasien
mengaku tidak mendengar suara napas yang tinggi saat pasien membuang nafas.
Gejala ini dapat berlangsung selama kurang lebih 5-10 menit hingga akhirnya
perlahan membaik dan hilang. Sesak nafas ini timbul setidaknya 1 kali dalam
sebulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien masih sadar.
Pemeriksaan fisik thoraks didapatkan adanya mengik saat dilakukan auskultasi.
Sebelumnya pasien pernah mengalami gejala yang serupa dengan yang
dialami saat ini tetapi tidak separah gejala yang dialami saat ini. Sejak 2 bulan
yang lalu terkadang pasien mengalami batuk dan pilek yang berulang. Batuk dan
pilek dialami secara bersamaan dan biasa terjadi 1-2 kali dalam 1 bulan. Dahak
dan ingus yang dihasilkan pasien selama batuk dan pilek berwarna bening. Selain
itu ibu pasien juga memperhatikan bahwa badan pasien sering kali terasa hangat
di malam hari, tetapi tidak sampai suhu yang cukup tinggi. Ibu pasien mengatakan
bahwa dalam 2 bulan terakhir ini pasien 1-2 kali mengalami gejala di malam hari
dan 1 kali terbangun karena kesulitan bernapas. Pasien memiliki riwayat alergi
terhadap udara dingin dan dicurigai oleh ibunya memiliki alergi terhadap kucing.
Ibu pasien mengaku memiliki riwayat asma saat masih kecil tetapi telah sembuh
saat kelas 6 SD dan tidak pernah kambuh lagi. Sebelum datang ke Puskesmas ibu
Pembahasan
Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan
berbagai sel dan mediator inflamasi sehingga menghasilkan perubahan
patofisiologis (1). Pada pasien ini terdapat beberapa gejala yang menunjukkan
kecurigaan adanya obstruksi pada saluran pernapasan. Gejala yang umum timbul
adalah adanya sesak napas dan batuk. Gejala utama untuk diagnosis asma pada
anak adalah batuk dan/atau mengi denga karakteristik yang khas yaitu : timbul
berulang (episodik), timbul bila terpajan faktor pencetus, gejala memburuk pada
malam / atau dini hari (nokturnal) atau pagi hari (morning dip), reversibel dengan
obat asma, riwayat alergi pada pasien, dan riwayat alergi dalam keluarga. Karena
diagnosis banding mengi pada anak sangatlah banyak, yang menjadi fokus dalam
mediagnosis anak dengan asma adalah batuk kronik. Sesak napas dapat terjadi
karena adanya inflamasi pada saluran nafas yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi dan juga hipersekresi mukus. Kedua hal ini berperan dalam
menghasilkan obstruksi jalan napas dalam hal penyempitan jalan napas dan juga
penyumbatan oleh lendir yang dihasilkan terlalu banyak. Dilihat dari episode
gejala yang dialami pasien, pasien sering mengalami gejala saat udara dingin dan
dekat dengan kucing. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa pasien menderita
asma alergik, karena memiliki faktor pemicu yang cukup jelas. Pada pasien ini
sesak napas selalu diawali dengan batuk, yang dapat dianggap sebagai episode
batuk berulang. Umumnya gejala pasien memburuk di pagi hari.
Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengalami batuk berulang yang disertai
dengan pilek. Batuk dan pilek ini disertai dengan sekret bening yang dapat
dianggap sebagai gejala rinitis alergi. Hal ini ditunjang dengan adanya faktor
pemicu berupa udara dingin dan kucing. Selain itu ibu pasien memiliki riwayat
asma saat berusia muda tetapi telah terkontrol dan tidak pernah timbul hingga
kini. Hal ini menegaskan bahwa pasien memiliki kemungkinan yang besar
memiliki alergi.
Dari tabel klasifikasi derajat berat asma di atas, dapat dilihat bahwa pasien
tergolong dalam asma intermiten karena sesuai dengan kriteria gejala yaitu gejala
timbul tidak kurang dari 1 kali dalam seminggu, tanpa gejala di luar serangan,
serangan yang dialami singkat, dan gejala malam kurang dari 3 kali dalam
sebulan.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis
antara lain adalah :
- Spirometri (pemeriksaan faal paru) : tidak dilakukan pada pasien ini
karena tidak memungkinkan dari segi usia, spirometri dilakukan pada
penderita usia di atas 5 tahun (5).
APE : diharapkan 80% nilai terbaik.
VEP1 : diharapkan 80% nilai prediksi.
Referensi
1. Sutoyo DK, Setyanto DB, Sundaru H, Yunus F, Sundaru H. Pedoman
Tatalaksana Asma Jakarta: Mahkota Dirfan; 2011.
2. Judarwanto W. Asma pada Anak, Gangguan yang Menyertai Fakta yang Belum
Terungkap. In Seminar cara efektif di RS Bunda; 2006; Jakarta.
3. Sheth K, Busse W. Respiratory tract infection and asthma. In Bronchial
Asthma. 3rd ed. New Jersey: Humana Press Inc; 1994. p. 481-512.
4. Oemiati R, Sihombing M, Q. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Penyakit Asma di Indonesia. Media Litbangkes. 2010; XX: p. 10.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pendahuluan
Osteoartritis adalah kelainan pada sendi di mana terjadi penipisan kartilago
artikular secara perlahan. Proses ini berlangsung dengan lambat dan dalam waktu
yang lama sampai akhirnya tulang subkondral terekspose pada gesekan. Penipisan
ini biasanya terjadi pada daerah yang menerima banyak tekanan sehingga lama
kelamaan aus (wear and tear). Gejala pada osteoartritis tidak langsung timbul
namun timbul setelah terjadi kerusakan struktural yang cukup parah. Gejala yang
timbul berupa nyeri sendi, kaku sendi di pagi hari (morning stiffness), krepitus,
dan berkurangnya rentang gerak (Range of Motion / ROM). Gejala ini nantinya
akan berprogresi dan bertambah parah hingga mempengaruhi aktivitas fisik yang
nantinya juga berpengaruh pada kualitas hidup pasien. Terapi yang dapat
dilakukan adalah terapi simtomatik ataupun artroplasti untuk menggantikan sendi
yang aus. Osteoartritis penting untuk dicegah karena terapinya tidaklah mudah
dan penyakitnya akan terus berkembang jika tidak dilakukan intervensi. Maka
dirasa perlu untuk mengetahui faktor predisposisi penyakit ini, yaitu riwayat
cedera pada sendi, deformitas developmental sendi yang kongenital atau penyakit
sistemik (diabetes, ochronosis, hemochromatosis, atau obesitas). Faktor yang
dapat diubah seperti obesitas dapat sesegera mungkin berusaha ditanggulangi
sehingga osteoartritis dapat dicegah atau dikurangi keparahannya.
Presentasi Kasus
Ibu S dengan usia 60 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan nyeri
lutut saat berjalan selama lebih dari 3 tahun sehingga pasien mengalami kesulitan
dalam berjalan. Nyeri dirasakan setelah pasien berjalan dalam waktu yang lama.
Pasien merasakan nyeri pada lutut kanan atau kiri secara bergiliran tetapi dapat
juga terjadi bersamaan. Nyeri yang dirasakan terkadang merambat ke betis pasien.
Gejala yang dirasakan lebih parah pada lutut kanan dibandingkan dengan lutu kiri
pasien. Rasa nyeri tersebut dapat reda dan akhirnya menghilang jika pasien
Pembahasan
Osteoartitis (degenerative joint disease) / OA adalah suatu bentuk kelainan
sendi yang ditandai dengan gejala nyeri sendi bersamaan dengan berbagai
tingkatan limitasi fungsional dan penurunan kualitas hidup. Osteoartritis adalah
bentuk artritis yang paling sering terjadi dan salah satu penyebab utama nyeri dan
kecacatan di dunia. Sendi perifer yang paling sering terganggu adalah lutut,
panggul dan sendi kecil pada tangan. Kondisi ini ditandai dengan erosi progresif
dari kartilago articular. Osteoartritis dibagi menjadi 2, yaitu osteoartritis primer
(idiopatik) dan osteoartritis sekunder (dengan faktor predisposisi). Adapun faktor
predisposisi pada osteoartritis sekunder adalah riwayat cedera pada sendi,
deformitas developmental sendi yang kongenital atau penyakit sistemik (diabetes,
ochronosis, hemochromatosis, atau obesitas). Gejala klinis pada osteoartitis biasa
ditandai dengan adanya rasa nyeri dan pegal yang dalam pada sendi,
berkurangnya ROM (Range of Motion) disertai adanya krepitus dan kaku sendi di
pagi hari (morning joint stiffness) yang tidak lebih dari 30 menit. Kelainan sendi
dan gejala klinis pada umumnya adalah unilateral dan tidak simetris karena
osteoartritis bukanlah penyakit sistemik melainkan kelainan struktural sendi.
Pada mulanya terjadi pembengkakan kartilago sendi karena peningkatan
sintesis proteogilkan, yang mencerminkan adanya usaha kondrosit untuk
memperbaiki kerusakan kartilago. Tahan ini dapat berlangsung selama bertahun-
tahun. Seiring progresinya, tingkat proteoglikan pada akhirnya turun sangat
rendah, menyebabkan kartilago menjadi lunak dan kehilangan elastisitas sehingga
lebih mengganggu integritas permukaan sendi. Secara mikroskopis terdapat
perkembangan flaking dan fibrillations (vertical clefts) pada permukaan sendi
osteoartitits. Seiring berjalannya waktu, kehilangan kartilago menyebabkan
kehilangan ruang sendi. Erosi pada kartilago yang rusak berkembang hingga
tulang di bawahnya terekspose. Tulang yang kehilangan kartilago ini terus
Referensi
Felson D. Osteoarthritis. In: Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editor. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed.
United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2012. p. 2828-
2836.
Lozada C. Medscape: Medscape Access [Internet]. Emedicine.medscape.com.
2014 [25 April 2014]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#aw2aab6b2b5
National Clinical Guideline Centre. Osteoarthritis Care and management in adults.
National Clinical Guideline Centre; 2014.
Rosenberg A. Bones, Joints, and Soft-Tissue Tumors. In: Kumar V, Abbas A,
Fausto N, Aster J, editor. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
8th ed. Saunders; 2014. p. 1235-1240.
Bab I
Bab II
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sedikit lemas dan sadar. Pasien
memiliki rambut tipis, hidung mengeluarkan sekret, belum memiliki gigi, tonsil
pada posisi T1, pada mulut terdapat stomatitis angularis, pada auskultasi paru
terdengar ronchi basah halus menyaring, dan terdapat atrofi otot ekstrimitas
bawah.
Berikut adalah grafik pertumbuhan pasien :
Bab III