Vous êtes sur la page 1sur 11

Pengembangan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk Mengurangi Miskonsepsi

Sains Siswa SMP


Basman Tompo, Arifin Ahmad, dan Muris Muris
Universitas Negeri Makassar, Makassar, Indonesia

Abstrak
Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran discovery inquiry
(DI) untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa SMP yang valid, berguna, dan efektif.
Metode penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D). Model pembelajaran
discovery inquiry (DI) diuji coba pada dua kelas yang berbeda di SMP Negeri 2 Maros,
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian setelah dua kali diuji coba menunjukkan bahwa model
pembelajaran DI telah valid, praktis, dan efektif. Model pembelajaran DI dinyatakan valid
karena penilaian semua komponen pembelajaran yang dilakukan oleh validator memenuhi
komponen validitas. Model ini dinyatakan praktis karena komponen pembelajaran DI
sepenuhnya diimplementasikan, dan kemampuan guru untuk mengatur pembelajaran berada
pada kategori tinggi. Model ini dinyatakan efektif karena miskonsepsi sains siswa berada
pada kategori sedang. Aktivitas siswa dalam pembelajaran tercukupi pencapaian waktu yang
ideal, dan hasil kuesioner siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran DI.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran DI untuk mengurangi miskonsepsi
sains siswa memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
Kata kunci: discovery inquiry, miskonsepsi sains, model pembelajaran

Pendahuluan
Setiap negara di dunia mengenal bahwa pendidikan adalah hak semua anak. Pendidikan telah
dipandang sebagai sebuah hak asasi manusia yang harus dimiliki dan dinikmati secara bebas
oleh semua anak-anak. Sebuah pernyataan pada Deklarasi Universal HAM 1948 Artikel 26
(1) menyatakan bahwa
setiap orang memiliki hak terhadap pendidikan. Pendidikan harus bebas, setidaknya
pada tahap dasar dan fundamental. Pendidikan dasar harus wajib. Pendidikan teknik dan
profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses
semua orang berdasarkan kepatutan
Berbagai isu-isu tentang masa depan pendidikan masih terus menuai perdebatan yang tidak
pernah berakhir. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia, termasuk alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, sertifikasi
penyisihan pendidik, penegakan otonomi pendidikan, sampai mengubah kurikulum. Upaya
ini diharapkan dapat memberikan jaminan tujuan pendidikan holistik. Pendidikan sangat
berperan dalam memaksimalkan potensi manusia. Ki Hajar Dewantara sebagai pemimpin
pendidikan di Indonesia berjuang untuk memajukan bangsa terlepas Ras, Budaya dan
Bangsa. Melalui Sekolah Taman Siswa, yang didirikannya, ia berjuang untuk membangun
anak didik manusia Indonesia menjadi bebas lahir dan batin, yang mulia kecerdasan, dan fisik
yang sehat untuk menjadi anggota dari masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas
harmoni bangsa, tanah air, serta orang-orang pada umumnya (Sukardjo 2012: 99). Pendidikan
memegang peran yang sangat besar terhadap martabat manusia, memaksimalkan potensi
manusia sehingga mereka memiliki martabat dan moral yang baik (M Yamin, 2013: 2).
Para peneliti menemukan bahwa salah satu dari rendahnya kemampuan siswa di bidang sains
adalah karena terjadinya kesalahan atau miskonsepsi konsep sains di kalangan siswa.
Masalah miskonsepsi sains telah menjadi masalah umum dan terjadi pada siswa di semua
tingkat pendidikan. Menurut Kadim Masykur dalam Simarmata (2008), kesalahan konsep
dalam bidang sains telah terjadi di mana-mana dan terjadi pada tingkat pendidikan yang
rendah untuk pendidikan tinggi. Dalam hal ini, berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh
peneliti untuk siswa SMP Negeri 2 Maros, Sulawesi Selatan telah mengidentifikasi
miskonsepsi sains untuk siswa, yang berdampak pada rendahnya penguasaan konsep yang
dimiliki oleh siswa. Dalam hal perangkat pembelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah,
para peneliti mengamati bahwa perangkat pembelajaran sains yang digunakan kedua buku
peserta didik dan Lembar Kerja Siswa yang masih umum dan tidak secara khusus dirancang
untuk mengurangi terjadinya miskonsepsi sains. Dikhawatirkan jika ini terus berlanjut dari
waktu ke waktu tanpa ada upaya untuk mengatasinya, maka siswa yang memiliki
miskonsepsi terutama yang masih duduk di SMP, akan sulit dan gagal dalam menguasai
konsep-konsep sains. Penguasaan konsep-konsep dasar yang rendah dalam memahami materi
sains akan memungkinkan pemahaman yang salah tentang konsep dan efek selanjutnya pada
hasil belajar siswa. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu
penyebab rendahnya hasil Fisika adalah miskonsepsi siswa (Tayubi 2005, Adnyani et al,
2013; Iriyanti.N.P et al, 2012). Siswa sering menafsirkan konsep yang dianggap sulit sesuai
dengan pra-konsepsi bahwa ia sudah memiliki. Kadang-kadang, interpretasi siswa tidak
sesuai dengan konsep yang disepakati oleh para ahli. Sebuah konsep yang berbeda disebut
sebagai miskonsepsi atau konsep palsu (Suparno, 2005). Nama lain dari istilah miskonsepsi
adalah intuisi, konsep alternatif, kerangka alternatif dan teori naif (Taufik, 2012,
Yunitasari.W. et al. 2013).
Para peneliti melihat bahwa salah satu penyebab dari miskonsepsi sains di kalangan siswa
SMP adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru IPA masih menggunakan
paradigma lama. Para peneliti menilai bahwa kebanyakan guru sains, terutama fisika masih
mengajar sains berdasarkan buku pelajaran, dengan penekanan pada ceramah dan sesekali
bertanya pertanyaan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru dan patuh
mempelajari urutan yang ditugaskan oleh guru. Siswa kurang untuk mendapatkan
kesempatan untuk terlibat secara aktif. Pembelajaran umumnya berorientasi ujian, dengan
demikian, hasil pembelajaran terjadi hanya transfer informasi dari guru kepada siswa. Belajar
yang hanya menghafal konsep, teori atau formula, sehingga tidak memberikan pemahaman
yang mendalam tentang konsep-konsep yang dipelajari. Hal ini relevan dengan Taufik.M
(2013: 43) yang mengatakan bahwa pembelajaran konvensional diduga kuat sebagai
penghalang untuk mencapai remediasi miskonsepsi dan pemahaman yang memadai tentang
konsep. Temuan isu tersebut didukung oleh Ilahi (2012) mengatakan bahwa pembelajaran
sains tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide
mereka sendiri.
Oleh karena itu, guru perlu menerapkan model pembelajaran sains untuk mengubah
paradigma lama dan mengatasi kelemahan ini untuk mewujudkan tujuan pembelajaran sains
yang diharapkan. Model pembelajaran yang cocok untuk memungkinkan siswa dan
diharapkan dapat mengurangi miskonsepsi sains adalah model pembelajaran discovery-
inquiry. Dengan model pembelajaran discovery-inquiry, siswa terlibat aktif dalam
memperoleh konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan
konsep dan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri (Slavin 1994). Ketika siswa menemukan
konsep yang bertentangan dengan konsep awal, akan ada konflik kognitif pada struktur
kognitif anak-anak. Stimulasi konflik kognitif dalam pembelajaran sains akan sangat
membantu dalam proses asimilasi menjadi lebih efektif dan bermakna. Penggunaan model
pembelajaran discovery-inquiry tidak hanya relevan dengan langkah-langkah metode ilmiah,
tetapi juga relevan dengan teori-teori belajar seperti teori Piaget kognitif, pengaruh keadaan,
dan konstruktif (Nirvana, 2013).
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan (discovery) memungkinkan
pengetahuan yang bertahan lama atau lebih mudah diingat. Beberapa studi menunjukkan
bahwa model pembelajaran discovery-inquiry sangat unggul dan efektif untuk
digunakan dalam pembelajaran, terutama untuk belajar sains. Penelitian yang dilakukan
oleh Abdisa (2012) tentang pengaruh pembelajaran discovery terbimbing dalam mengajar
fisika menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara pembelajaran discovery terbimbing,
demonstrasi, dan ekspositoris dalam materi gerak rotasi dalam proses pembelajaran. Atas
dasar pentingnya diperoleh dari ketiga itu, tingkat prestasi tinggi, sedang dan rendah. Hal ini
dikonfirmasi oleh beberapa penelitian menunjukkan bahwa model penemuan-penyelidikan
terbukti secara efektif digunakan dalam pembelajaran. (Yusnita.R et al, 2014, Istikomah et al,
2013, Wenning.C.L, et al., 2011) Penelitian yang dilakukan oleh Fajar.DM. (2013)
menemukan bahwa model pembelajaran inquiry mampu secara signifikan menurunkan
miskonsepsi materi listrik dinamis. Jadi, diasumsikan bahwa belajar menggunakan model
pembelajaran discovery-inquiry, tidak hanya membimbing siswa untuk secara mendalam
menyelidiki tentang konsep (inquiry) tetapi juga membiasakan siswa dalam memecahkan
masalah. Penemuan konsep (discovery) diharapkan dapat mengurangi terjadinya miskonsepsi
sains di kalangan siswa.

Masalah penelitian
Pernyataan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mendesain sebuah model
pembelajaran discovery-inquiry untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa sekolah
menengah yang valid, praktis, dan efektif.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membuat desain model pembelajaran discovery-inquiry untuk
mengurangi miskonsepsi sains siswa sekolah menengah yang valid, praktis, dan efektif.

Signifikansi penelitian
Signifikansi penelitian ini adalah
i. menciptakan model pembelajaran discovery-inquiry yang diharapkan dapat mengurangi
miskonsepsi sains siswa SMP
ii. memberikan kontribusi kepada guru umum dan guru sains SMP khususnya tentang model
pembelajaran discovery-inquiry

Metodologi
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Untuk memulai pengembangan
penelitian ini, dilakukan penelitian awal untuk mengungkap konsep sains yang rawan
miskonsepsi di kalangan siswa. Hasil penelitian pendahuluan digunakan sebagai bahan
pendukung dalam pengembangan model pembelajaran.
Subyek penelitian
Penelitian ini dilakukan di delapan siswa kelas SMP Negeri 2 Maros tahun akademik 2015-
2016. Karakteristik dari delapan kelas SMP Negeri 2 Maros tahun akademik 2015-2016
relatif sama, karena proses pembentukan kelas secara acak lakukan dan bukan oleh tingkat
kemampuan. Subyek penelitian dipilih 2 kelas dari 10 kelas yakni, VIII-A dan VIII-C.
Variabel penelitian
Variabel utama dalam penelitian ini adalah model pembelajaran discovery-inquiry.
Sedangkan variabel lain untuk mempertimbangkan atau terlibat dalam pengembangan model
pembelajaran discovery-inquiry adalah (1) miskonsepsi sains siswa, (2) efektivitas model
normatif, yaitu kesesuaian antara model pembelajaran secara teoritis dengan implementasi di
kelas, dan (3) efektivitas model korelatif yang dapat diamati dari aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran.
Pendahuluan penelitian
Penelitian awal yang dilakukan untuk mengungkap gambaran umum pelaksanaan
pembelajaran sains di tingkat SMP dan miskonsepsi sains yang terjadi pada siswa.
Pengembangan penelitian
Model pembelajaran yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran discovery-inquiry untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa. Tahapan model
pembelajaran pengembangan disebut tahap model pembangunan yang diusulkan oleh
S.Thiagarajan, Semmel dan Semmel (model 4D). Sedangkan komponen yang dimasukkan
dalam model disebut belajar komponen model yang diajukan oleh Joice, Weil, dan Shower
(1992), yaitu: (a) sintaks, (b) sistem sosial, (c) prinsip reaksi, (d) sistem pendukung, dan (e)
dampak instruksional dan pendamping.
Tahapan pengembangan model pembelajaran discovery-inquiry untuk mengurangi
miskonsepsi sains siswa adalah sebagai berikut:
a. mendefinisikan Tahap
tahap ini adalah untuk mengidentifikasi dan mempelajari tentang: (1) model pembelajaran
sebagai perbandingan yang berorientasi pada beberapa elemen, antara lain: sintaks, teori yang
mendasari, dan hasil penelitian dari model (khususnya, mempelajari model pembelajaran
discovery-inquiry dalam mengurangi miskonsepsi sains), (2) teori-teori belajar yang
berhubungan dengan pembelajaran penemuan penyelidikan dan miskonsepsi sains, (3)
kurikulum sains di tingkat SMP, kondisi siswa dan lingkungan sebagai sistem pendukung,
dan sebagainya.
b. merancang Tahap
Kegiatan utama dalam tahap ini adalah untuk merancang model pembelajaran discovery-
inquiry untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa. Rincian kegiatan utama pada tahap ini
meliputi: (1) merancang sintaks pembelajaran atau kegiatan pembelajaran discovery inquiry
untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa, (2) merancang sistem sosial, yaitu peran pendidik
dan siswa dalam kegiatan pembelajaran discovery-inquiry bersama dengan aturan dan tanda-
tanda yang harus diikuti sepanjang dalam proses pembelajaran sains, (3) merancang prinsip-
prinsip reaksi yaitu, deskripsi dari apa yang guru diperlukan dalam menanggapi setiap
tindakan dan perilaku siswa, khususnya pertanyaan mereka, (4) merancang sebuah sistem
pendukung atau kondisi yang diperlukan oleh model. Kondisi ini termasuk: kondisi siswa,
suasana belajar, fasilitas pembelajaran, media pembelajaran dan perangkat pembelajaran.
c. tahap pengembangan
Tahap ini meliputi: (1) meminta pendapat para ahli, (2) melakukan pelaksanaan uji coba
prototipe I yang dilakukan di delapan kelas SMP Negeri 2 Maros Tahun Akademik
2015/2016, (3) melakukan revisi prototipe I berdasarkan hasil pengujian dan pertimbangan
oleh para peneliti, pakar, dan guru. Kegiatan revisi dilakukan terhadap hal-hal yang dianggap
perlu untuk setiap komponen model. Dari hasil penelitian, dirancang prototipe II yang akan
diuji. Selain itu direvisi kembali pada komponen yang dianggap perlu, kemudian diuji lagi
(trial II). Materi pembelajaran untuk prototipe II adalah konsep Getaran dan Optik. Dalam uji
coba kedua ini, digunakan prototipe akhir model pembelajaran discovery-inquiry pada kelas
VIII-A SMP Negeri 2 Maros. Materi pembelajaran dalam prototipe akhir masih sama, yaitu
konsep Getaran dan Optik.
Teknik analisis data
Analisis data dilakukan dengan mengacu pada masalah penelitian. Berdasarkan masalah
penelitian, analisis data dilakukan dengan dua cara, kuantitatif dan kualitatif. Untuk
menjawab hasil tes miskonsepsi sains, digunakan analisis statistik deskriptif dengan uji
normalisasi N-gain. Selain itu, untuk memperjelas interpretasi hasil analisis, akuisisi data
juga dijelaskan dalam bentuk diagram. Untuk penelitian pengembangan, kegiatan analisis
dominan adalah kualitatif dan telah tersirat dalam seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan
di setiap tahap pengembangan model pembelajaran. Analisis ini dilakukan pada semua
komponen dari model yang dilakukan oleh Joice, Weil, dan Showers (sintaks, sistem sosial,
prinsip-prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak pengiring pembelajaran dan) antara
lain, memperhatikan (1) perangkat pembelajaran, (2) kegiatan belajar mengajar, dan (3)
efektivitas pembelajaran.

Hasil dan diskusi


Hasil yang diperoleh pada setiap tahap pengembangan berkenaan dengan proses
pengembangan model discovery-inquiry dapat digambarkan sebagai berikut:
Tahap 1: Mendefinisikan
Sebelum melakukan penelitian, para peneliti mengidentifikasi model pembelajaran dan
miskonsepsi sains dengan memberikan lembar observasi untuk guru IPA di SMP Negeri 2
Maros. Berdasarkan hasil studi awal yang telah dilakukan, terungkap bahwa siswa di sekolah
umumnya memiliki miskonsepsi sains pada beberapa konsep sains tertentu dan diperlukan
model pembelajaran sains khusus untuk mengurangi miskonsepsi sains. Model ini diharapkan
memiliki kriteria valid, praktis dan efektif.
Tahap 2: Merancang
Hasil desain model pembelajaran discovery-inquiry adalah untuk membangun format model
buku, yaitu (1) Rasional, (2) Teori Pendukung, (3) model pembelajaran discovery-inquiry,
dan (4) Arah Implementasi Model. Pengembangan rasional model pembelajaran discovery-
inquiry termasuk hal-hal yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penting dari model
pebelajaran ini untuk mengurangi miskonsepsi sains. Ini juga termasuk hasil penelitian yang
mendukung pengembangan. Pada bagian tentang teori pendukung, itu menyatakan beberapa
teori terkait, yaitu (1) dasar filosofis model discovery-inquiry, (2) dasar psikologis model
discovery-inquiry, dan (3) dasar teori belajar. Pada bagian dari model pembelajaran
discovery-inquiry, itu dibahas tentang konsep dasar model pembelajaran discovery-inquiry,
karakteristik model pembelajaran discovery-inquiry, komponen model pembelajaran
discovery-inquiry, dan evaluasi yang diterapkan dalam pembelajaran.
Pada bagian dari arah implementasi model, dibahas dua bagian utama, yaitu perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran. Pada bagian perencanaan, membahas tentang hal-hal yang perlu
dipersiapkan, dengan demikian, model pembelajaran discovery-inquiry dapat terjadi dalam
sebuah yang praktis dan efektif, yaitu (1) Rencana Pelajaran, (2) Buku Teks Siswa, (3)
Lembar Kerja Siswa , (4) Lembar Tugas, (5) Media Pembelajaran, dan (6) Tes Miskonsepsi
Sains. Pada bagian dari pembelajaran pelaksanaan, itu dibahas pelaksanaan sintaks model
pembelajaran discovery-inquiry yang terdiri dari tujuh tahapan, yaitu: Tahap 1: menjelaskan
tujuan pembelajaran, tahap 2: orientasi siswa terhadap masalah (pernyataan masalah), Tahap
3: memberikan stimulasi, fase-4: merumuskan hipotesis, fase-5: melakukan penyelidikan dan
penemuan (percobaan), fase-6: menyajikan hasil penyelidikan dan penemuan (verifikasi), dan
fase-7: menyimpulkan (generalisasi).
Hasil rancangan perangkat pembelajaran
Pada fase rancangan, instrumen pembelajaran yang dirancang telah menetapkan format dan
pemilihan unsur terkait, seperti (1) Rencana Pelajaran, (2) Buku Teks Siswa, (3) Lembar
Kerja Siswa, dan (4) Tes Miskonsepsi Sains.
Pada fase ini, Rencana Pelajaran yang berhasil dirancang berdasarkan sintaks model
pembelajaran discovery-inquiry dengan mengambil pertimbangan terkait dengan komponen
lain seperti prinsip reaksi, sistem sosial, dan dampak dampak instruksional dan pengiring.
Draft hasil buku teks siswa merujuk pada materi getaran dan cahaya. Buku teks siswa
dirancang merujuk pada kompetensi dasar, tujuan dan pedoman pelaksanaan pembelajaran.
Dalam desain awal, tes miskonsepsi sains telah berhasil dirancang 30 item tes tipe benar
salah (B-S). Instrumen ini adalah item tes miskonsepsi sains yang dirancang untuk mengukur
keberhasilan pengurangan miskonsepsi sainsnya. Desain tes didasarkan pada studi dan hasil
observasi awal tentang materi sains yang rentan untuk memiliki miskonsepsi di SMP Negeri
2 Maros.
Hasil rancangan instrumen penelitian
Instrumen validitas yang dihasilkan dalam tahap desain adalah untuk menentukan aspek
penilaian dan indikator dalam setiap aspek yang berkaitan dengan (1) lembar validasi analisis
persyaratan model pengembangan (2) lembar validasi model pembelajaran discovery-inquiry
(DI), (3) lembar validasi penerapan model pembelajaran, (4) lembar validasi kemampuan
mengelola model (5) lembar validasi aktivitas siswa (6) lembar validasi lembar kuesioner
tanggapan siswa, dan (7) format validasi perangkat pembelajaran (RPP, Buku Teks Siswa,
dan lembar tes miskonsepsi sains
Instrumen kepraktisan yang berhasil dirancang menutupi lembar observasi, yaitu: (1) lembar
observasi pelaksanaan model pembelajaran dan (2) lembar observasi kemampuan guru untuk
mengelola pembelajaran. Sedangkan instrumen efektivitas yang dirancang meliputi: (1)
Evaluasi lembar tes miskonsepsi sains, (2) aktivitas lembar observasi siswa, dan (3) lembar
kuesioner tanggapan siswa.
Tahap 3: Pengembangan
a. Hasil uji Validitas
Hasil validasi model pembelajaran discovery-inquiry (DI) menunjukkan bahwa nilai rata-rata
total validitas model pembelajaran discovery-inquiry (DI) adalah Y = 3.40. Jika nilai ini
dikonfirmasi pada kriteria validitas model pembelajaran discovery-inquiry (DI), maka
dikategorikan sebagai valid (2,5 M 3,5). Jadi, dalam hal semua aspek dari model
pembelajaran discovery-inquiry (DI), telah memenuhi kriteria validitas.
Hasil validasi perangkat pembelajaran selama 3 Rencana Pelajaran yang dikembangkan
memiliki nilai yang sama Y = 3,79 (sangat valid). Ada delapan (8) Siswa Lembar Kerja yang
berkembang dan mereka semua memiliki nilai validasi yang sama Y = 3,71 (sangat valid).
Buku teks siswa yang terdiri hanya satu memiliki nilai validasi X = 3,61 (sangat valid) dan
untuk miskonsepsi siswa yang dikembangkan memiliki nilai rata-rata dari Y = 3,42 (valid).
Jadi, dalam hal semua aspek perangkat pembelajaran seperti rencana pelajaran, lembar kerja
siswa, buku teks siswa dan tes miskonsepsi sains telah memenuhi kriteria validitas.
Singkatnya, hasil analisis instrumen validitas menunjukkan bahwa: (1) Hasil penilaian
terhadap lembar analisis persyaratan pengembangan model discovery-inquiry (DI) oleh
validator mendapat nilai rata-rata Y = 3,55 (sangat valid) dengan koefisien reliabilitas R =
0,943, (2) hasil penilaian dari model discovery-inquiry (DI) oleh validator mendapat nilai
rata-rata total X = 3,38 (valid) dengan koefisien reliabilitas R = 0,863, (3) hasil penilaian
lembar observasi kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran dengan validator untuk
semua aspek mendapat nilai rata-rata X = 3,42 (valid) dengan koefisien reliabilitas R = 0,857,
(4) hasil penilaian lembar observasi pelaksanaan model pembelajaran dengan validator untuk
semua aspek mendapat nilai rata-rata = 3,39 (valid) dengan koefisien reliabilitas R = 0,857,
(5) penilaian lembar evaluasi tes miskonsepsi sains diperoleh nilai validasi rata-rata dengan
total = 3,42 (valid), (6) nilai rata-rata total validitas aktivitas lembar observasi siswa untuk
semua aspek itu = 3.81 (sangat valid) dan (7) nilai rata-rata total validitas dari tanggapan
siswa kuesioner lembar untuk semua aspek adalah = 3,81 (sangat valid) . Jadi, jika ditinjau
dari semua aspek, maka semua lembar instrumen telah memenuhi kriteria validitas.
b. Hasil uji Model Kepraktisan
Berdasarkan hasil analisis pelaksanaan komponen sintaks selama ujicoba I, diperoleh skor
rata-rata pelaksanaan komponen sintaks M = 1.70, interaksi sosial komponen M = 1.65,
prinsip komponen reaksi M = 1,72, komponen instruksional dan dampak pengiring M = 1.79,
yang mendukung komponen perangkat pembelajaran (sistem pendukung) M = 1.89. Dapat
disimpulkan bahwa rata-rata, semua komponen pelaksanaan pembelajaran discovery-inquiry
(DI) sepenuhnya dilaksanakan (1,5 M 2.0). Sedangkan pada ujicoba II, itu diperoleh skor
rata-rata pelaksanaan komponen sintaks M = 1.80, interaksi sosial komponen M = 1.83,
prinsip komponen reaksi M = 1.87, komponen instruksional dan dampak pengiring M = 1,88,
perangkat belajar yang mendukung komponen (sistem pendukung) M = 1,97. Dapat
disimpulkan bahwa rata-rata, semua komponen pelaksanaan pembelajaran discovery-inquiry
(DI) di ujicoba II sepenuhnya dilaksanakan (1,5 M 2.0).
Hasil analisis kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran discovery-inquiry (DI) di
ujicoba I adalah nilai rata-rata kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran dalam
kegiatan pendahuluan memiliki nilai 3,46 (tinggi), kegiatan inti adalah 3,42 (tinggi), kegiatan
penutupan adalah 3.46 (tinggi), kemampuan untuk mengelola adalah 3,50 (sangat tinggi),
aspek suasana kelas adalah 3,50 (sangat tinggi). Sementara di ujicoba II, nilai rata-rata
kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran dalam kegiatan pengantar memiliki nilai
3,54 (tinggi), kegiatan inti adalah 3,50 (tinggi), aktivitas penutupan adalah 3,42 (tinggi),
kemampuan untuk mengelola waktu adalah 3.42 (sangat tinggi), aspek suasana kelas yang
3,67 (sangat tinggi). Jadi, dalam hal semua aspek manajemen pembelajaran, model
pembelajaran discovery-inquiry (DI) di ujicoba I dan II dinyatakan telah memenuhi kriteria
kepraktisan.
c. hasil uji keefektifan model
Hasil dari keefektifan model pembelajaran discovery-inquiry (DI) pada setiap ujiacoba
dianalisis dengan mengamati aktivitas siswa, kuesioner respon siswa dan tes hasil
miskonsepsi siswa. Pada ujicoba I dan II, hasil observasi siswa menunjukkan bahwa 9 dari 10
kategori aktivitas siswa memenuhi Interval Toleransi PWI (%) yang ditentukan. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam hal aspek aktivitas siswa, uji coba I dan II model pembelajaran
discovery-inquiry (DI) telah memenuhi kriteria keefektifan.
Berdasarkan data dari respon siswa, yang diperoleh bahwa 26 siswa dari ujicoba I dan 24
siswa dari ujicoba II, umumnya menanggapi positif terhadap model pembelajaran, perangkat
pembelajaran, suasana belajar di kelas, cara guru mengajar, dan bahasa digunakan dalam
perangkat pembelajaran. Para siswa merasa senang dalam melakukan percobaan /
pengamatan selama pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal aspek respon siswa,
model pembelajaran discovery-inquiry (DI) dalam ujicoba I dan II telah memenuhi kriteria
keefektifan.
Berdasarkan hasil tes miskonsepsi sains yang telah dicapai dalam pretest dan posttest ujicoba
I mencapai penguasaan pembelajaran klasik. Perhitungan analisis normalitas gain (uji N-
Gain) menemukan bahwa nilai rata-rata N-Gain secara keseluruhan 0,32 atau dalam kategori
menengah. Namun, jumlah siswa yang telah meningkatkan skor tidak memenuhi persyaratan
(kurang dari 70%). Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran discovery-inquiry (DI)
ujicoba I menyatakan belum efektif untuk mengurangi miskonsepsi sains, sehingga perlu
direfleksi dan membuat revisi.
Berdasarkan hasil tes miskonsepsi sains yang telah dicapai dalam pretest dan posttest ujicoba
II mencapai penguasaan pembelajaran klasik 86%. Berdasarkan perhitungan analisis
norrmalitas gain (uji N-Gain) menemukan bahwa nilai rata-rata N-Gain keseluruhan 0,48 atau
kategori menengah. Dalam hal ini, jumlah siswa yang telah meningkatkan skor sudah
memenuhi persyaratan (lebih dari 70%). Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran
discovery-inquiry (DI) pada ujicoba II dinyatakan efektif untuk mengurangi miskonsepsi
sains.
Oleh karena itu, dalam hal validitas indikator keseluruhan, kepraktisan dan keefektifan
model, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery-inquiry (DI) setelah melalui
ujicoba I dan II dianggap telah memenuhi kriteria validitas, kepraktisan dan keefektifan.
Tahap 4: Diseminasi
Diseminasi adalah sosialisasi hasil penelitian pengembangan model pembelajaran discovery-
inquiry (DI) yang telah dilakukan secara terbatas pada pertemuan guru sains di SMPN 2
Maros. Diseminasi adalah hasil pemaparan dari penelitian pengembangan diadakan forum
guru di SMK Pratidina Makassar. Penyebaran model pembelajaran discovery-inquiry (DI)
juga dilakukan melalui jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh situs web.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, para peneliti menyajikan beberapa kesimpulan. Pertama,
pembelajaran sains di tingkat SMP, khususnya di SMP Negeri 2 Maros belum sepenuhnya
fokus pada pendekatan pembelajaran ilmiah berpusat pada siswa dan siswa masih memiliki
miskonsepsi sains pada konsep getaran dan optik. Kedua, model pembelajaran discovery-
inquiry (DI) untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa memenuhi kriteria validitas
berdasarkan hasil ahli validasi dan praktisi terhadap komponen dari model dan perangkat
pembelajaran yang dikembangkan. Ketiga, model pembelajaran discovery-inquiry (DI) untuk
mengurangi miskonsepsi sains siswa memenuhi kriteria kepraktisan karena pelaksanaan
pembelajaran discovery-inquiry (DI) yang telah dicapai seluruhnya dan kemampuan guru
untuk mengelola pembelajaran discovery-inquiry berada di kategori tinggi. Keempat, model
pembelajaran discovery-inquiry (DI) untuk mengurangi miskonsepsi sains siswa memenuhi
kriteria keefektifan karena aktivitas siswa telah dicapai berdasarkan kriteria pencapaian
waktu yang ideal. Umumnya, siswa memberikan respon positif terhadap model pembelajaran
discovery-inquiry (DI). Miskonsepsi sains telah dikurangi untuk siswa secara signifikan.

Pernyataan pengungkapan
Tidak ada potensi konflik kepentingan dilaporkan oleh penulis.

Kontributor
Basman Tompo holds a PhD in science education and now a post-doc research fellow at Universitas Negeri
Makassar, Makassar, Indonesia.
Arifin Ahmad holds a PhD in science education and now is professor at Universitas Negeri Makassar,
Makassar, Indonesia.
Muris Muris holds a PhD in science education and now is professor at Universitas Negeri Makassar, Makassar, Indonesia

Daftar Pustaka
Abdisa, G. (2012). The effect of guided discovery on students physics achievement. Journal
Physics Education, (Online), 6(4), 193-199
Adnyani, N.W, dkk. (2013). Pengaruh strategi pembelajaran konflik kognitif terhadap
penurunan miskonsepsi fisika ditinjau dari gaya kognitif siswa kelas x di SMA Negeri 1
Bebandem. Jurnal Universitas Pendidikan Ganesha
Fajar.DM dkk. (2013). Pengaruh penggunaan model pembelajaran inkuiri (inquiry learning)
terhadap penurunan miskonsepsi pada materi listrik dinamis kelas X SMAN 2
Jombang. Laporan Penelitian
Ilahi, T M. (2012). Learning of discovery strategy & mental vocational skill. Jogjakarta:
DIVA Press
Iriyanti.N.P et al.(2012). Identifikasi miskonsepsi pada materi pokok wujud zat siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Bawang tahun ajaran 2009/2010. Laporan Penelitian. FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Joyce.B, Weil.M, Calhoun.E. (2009). Models of teaching. Terjemahan. Edisi Kedelapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Istikomah dkk. (2013). Pengembangan perangkat pembelajaran metode discovery learning
untuk pemahaman sains pada anak TK B. Laporan Penelitian. Prodi Pendidikan Dasar
Program Pasa Sarjana. Universitas Negeri Semarang
Nirwana. (2013). Penggunaan model inquiry berbasis ICT untuk meningkatkan hasil belajar
pada mata kuliah sejarah fisika mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Jurusan
Pendidikan MIPA. FKIP: Universitas Bengkulu. Prosiding Seminar
Simarmata,U. (2008). Penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran fisika di SMU
dalam upaya menanggulangi miskonsepsi siswa. Jurnal Universitas Negeri Medan,
ISSN:1907-7157
Sukardjo,M. dkk. (2012). Landasan pendidikan konsep dan aplikasinya. Depok: PT
Rajagrafindo Persada
Suparno, P. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan Fisika. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia
Taufik.M. (2012). Remediasi miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada konsep Gaya
melalui penerapan model siklus belajar (learning cycle ) 5E. Jurnal UNS Semarang
Tayubi,Y.R, (2005). Identifikasi miskonsepsi pada konsep-konsep fisika menggunakan
Certainty of Response Index (CRI). Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia.
3/XXIV/2005
Wenning.C.L, et al. (2011). Scientific Inquiry in Introductory Physics Courses. Journal Of
Physics Teacher Education. 6(2).
Yamin. (2013). M. Paradigma baru pembelajaran. Jakarta: Ciputat Mega Mall Anggota
IKAPI
Yunitasari.W. et al. (2013). Pembelajaran direct instruction disertai hierarki konsep untuk
mereduksi miskonsepsi siswa pada materi larutan penyangga Kelas XI IPA Semester
Genap SMA Negeri 2 Sragen. Jurnal FKIP UNS Surakarta

Yusnita.R et al. (2014). Pengembangan perangkat pembelajaran berbasis penemuan


terbimbing (guided discovery) dengan pendekatan somatic, auditory, visual,
intellectual (SAVI) pada materi pokok peluang Kelas IX SMP Tahun Pelajaran
2013/2014. Jurnal PPs Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Vous aimerez peut-être aussi