Vous êtes sur la page 1sur 4

1.

Definisi Asma Menurut Nelson (2007) asma didefinisikan sebagai penyakit


inflamasi kronis yang terjadi di salur pernafasan sehingga menyebabkan
penyempitan pada salur pernafasan tersebut. Asma merupakan sindrom
yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif
bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan (Busse dan Lemanske, 2001).
Asma menyerang kesemua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada
semua peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak
berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak
menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009).

2. Gejala utama asma meliputi sulit bernapas (terkadang bisa membuat penderita
megap-megap), batuk-batuk, dada yang terasa sesak, dan mengi (suara yang
dihasilkan ketika udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit). Apabila
gejala ini kumat, sering kali penderita asma menjadi sulit tidur.

3. Mekanisme Terjadinya Asma Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari


otot polos bronkiolus yang menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang
umum adalah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di
udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal. Pada
asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus.
Bila seseorang terpapar alergen maka antibodi IgE orang tersebut
Universitas Sumatera Utara meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi
yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik
eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi mukus
yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus
sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama
ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus sudah
tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi
dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-sekali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume
residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat
menyebabkan barrel chest (Lewis et al., 2000). Asma terjadi karena
penderita asma telah mengembangkan tingkat kedalaman pernapasan
yang jauh melebihi yang seharusnya, dan tubuh penderita
mengkompensasinya dengan langkah-langkah defensif untuk memaksa
penderita agar dapat mengurangi frekuensi pernapasannya. Hal ini
menyebabkan restriksi saluran napas dan peningkatan mucus. Rata-rata
penderita asma bernapas 3-5 kali lebih sering dan lebih cepat
dibandingkan yang normal (Dupler, 2005). Universitas Sumatera Utara
Sindrom hiperventilasi adalah keadaan dimana dalam keadaan santai
dapat menyebabkan rasa pusing dan kadang-kadang pingsan. Dahulu, hal
ini dikaitkan dengan penurunan saturasi oksigen. Namun, bila berdasarkan
efek Bohr, hal itu disebabkan oleh ketidakseimbangan rasio antara kada
karbon dioksida dengan kadar oksigen dalam darah yang mempengaruhi
pelepasan atau penahanan oksigen dari darah.

4. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Adapun faktor-


faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:

1. Imunitas dasar Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada


asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI,
2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan
kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%),
yaitu umur 5 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian
asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of
America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of
Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34
tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di
Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata
angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-
laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak.
Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi
lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa
tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis
kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus
asma yang paling penting. Alergen allergen ini dapat berupa kutu debu,
kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan
pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di
perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009),
paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat
meningkatkan sensitisasi alergi Universitas Sumatera Utara asma.
Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya
dibawa oleh angin dalam bentuk partikel partikel besar. Iritan iritan
berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan
dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan
fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma,
dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan
pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang
merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti
mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat
tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya
serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi saluran
pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut
sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita
asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial
virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam
kehidupannya.
5. Status sosioekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara
status sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat.
Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada
penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

5. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: ! Bila disertai dengan
bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. ! Bila terdapat
komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah. ! Bila terdapat komplikasi, maka terdapat
gambaran infiltrate pada paru ! Dapat pula menimbulkan gambaran
atelektasis lokal. ! Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks,
dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru yaitu : ! perubahan aksis jantung, yakni
pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. !
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB ( Right bundle branch block). ! Tanda-tanda hopoksemia, yakni
terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative.
4. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-
paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak
penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.

6.

Vous aimerez peut-être aussi