Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari
zat cair, yaitu sebanyak 60% dari berat badan. Zat cair dalam tubuh tersebut terdiri dari cairan
intrasel sebanyak 40% dari berat badan, cairan ekstrasel sebanyak 20% dari berat badan, dan
cairan transelular sekitar 13 % dari berat badan.
Selama persiapan operasi pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan umumnya
dianjurkan untuk berpuasa sesuai waktu yang telah ditetapkan. Selain itu juga, selama prosedur
pembedahan pasien juga akan mengalami pergeseran cairan ke kompartemen ketiga dan
kehilangan darah. Berbagai bentuk defisit cairan ini harus ditatalaksana agar tetap tercapai
keadaan normovolemia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui terapi cairan yang
dapat diberikan terutama pada pasien pembedahan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cairan Tubuh Total dan Distribusinya


Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen cairan intraselular (CIS), cairan
yang berada di sekitar sel, dan cairan ekstraselular (CES).1 Terdapat dua komponen CES
plasma dan cairan interstisialyang dipisahkan dengan dinding pembuluh darah. Seluruh
komponen plasma, kecuali protein plasma dapat secara bebas dan terus menerus bertukar dengan
cairan interstisial secara pasif.1 Berbeda dengan komposisi plasma dan interstisial yang relatif
sama, komponen CES dan CIS berbeda. Setiap sel dikelilingi oleh membran yang sangat selektif
yang membatasi pasase beberapa material. Perpindahan komponen ini terjadi secara aktif dan
pasif. Selain itu perbedaan yang paling mendasar antara CIS dan CES adalah adanya protein
selular pada CIS yang menyebabkan adanya distribusi yang tidak sama ion Na+ dan K+.
Sehingga ion Na+ akan cenderung dipompa keluar sel dan K+ ke dalam sel. Perpindahan cairan
antara plasma dan interstisial melalui dinding kapiler terjadi melalui ketidakseimbangan antara
tekanan darah kapiler (cairan, hidrostatik, tekanan) dan tekanan osmotik koloid. 1,2
Cairan ekstraseluler (CES) berada di antara sel dan lingkungan luar. Pertukaran cairan dan
komponen lain antara CIS dan dunia luar harus terjadi melalui CES. Cairan yang ditambahkan ke
dalam tubuh selalu masuk ke CES dan juga selalu meninggalkan tubuh melalui CES. Plasma
adalah cairan yang dapat bekerja secara langsung untuk mengontrol volume dan komposisinya
sendiri. 1,2
Ada dua faktor yang dapat mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh, yaitu volume dan
osmolalitas CES. Volume CES harus diatur dengan baik untuk mengatur tekanan darah.
Pengaturan keseimbangan garam penting untuk regulasi jangka panjang volume CES.
Osmolaritas CES harus diatur untuk mencegah penyusutan atau pembengkakan sel. Menjaga
keseimbangan cairan penting untuk menjaga CES. 1,2

Tabel 2.1. Klasifikasi Cairan Tubuh1


Kompartemen Volume Cairan Presentase Cairan Presentase BB
Total Cairan Tubuh 42 100 60
CIS 28 67 40
CES 14 33 20
Plasma 2.8 6.6 (20% CES) 4
Cairan Interstisial 11.2 26.4 (80% CES) 16
2.2. Evaluasi Volume Intravaskular
Estimasi klinis volume intravaskular dapat diperkirakan menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, atau dapat pula menggunakan alat-alat yang
canggih untuk memonitor perubahan hemodinamik. Terlepas dari metode yang digunakan,
evaluasi berkala penting untuk dilakukan untuk mengkonfirmasi kesan awal dan untuk memberi
petunjuk pada klinisi terapi cairan, elektrolit, dan produk darah yang dapat diberikan.3
Terapi cairan, terutama pada pasien pembedahan, diperlukan jika tubuh tidak mendapat
asupan cairan, elektrolit, dan zat-zat makanan secara per oral misalnya pada pasien dengan puasa
lama karena pembedahan saluran cerna, mual muntah yang terus menerus, dan lain sebagainya.
Dengan pemberian terapi cairan, kebutuhan air dan elektrolit dapat terpenuhi. Selain itu dalam
keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan untuk memasukkan
obat dan zat makanan secara rutin atau dapat juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam
basa.3

2.2.1. Anamnesis
Anamnesis adalah alat yang penting untuk melakukan penilaian pre-operatif. Faktor
penting yang perlu ditanyakan antara lain adalah makanan/minuman terakhir yang
dikonsumsi, muntah atau diare, bilas lambung, kehilangan darah, atau drainase luka, cairan
intravena dan pemberian terapi produk darah, juga riwayat hemodialisis.3

2.2.2. Pemeriksaan Fisik


Seseorang dapat dikatakan mengalami hipovolemia apabila terdapat turgor kulit yang
abnormal, membran mukosa yang kering, denyut nadi yang lemah, meningkatnya denyut
jantung, penurunan tekanan darah, dan penurunan output urin. Pitting edemapresakral
pada pasien yang hanya bisa beraktivitas di tempat tidur atau tungkai pada pasien yang
masih dapat beraktivitas normaldan peningkatan ekskresi urin adalah tanda kelebihan
CES pada pasien dengan jantung, hepar, dan ginjalnya normal. Tanda akhir hipervolemia
adalah takikardi, peningkatan jugular venous pressure (JVP), suara napas ronchi, wheezing,
sianosis, dan adanya sekresi pulmonal.3

Tabel 2.2. Tanda dan Gejala Hipovolemia3


Kehilangan Cairan
5% 10% 15%
Tanda
Membran Kering Sangat Kering Kering Sekali
Mukosa
Kesadaran Normal Letargis Obtundasi
Perubahan Tidak ada Ada Bermakna
Orthostatik Naik > 15 bpm
Pada HR Turun > 10
Pada TD mmHg
Ekskresi Urin Sedikit berkurang Berkurang Sangar Berkurang
Laju Nadi Normal atau > 100 bpm > 120 bpm
meningkat
Tekanan Darah Normal Agak berkurang Berkurang

2.2.3. Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk mengetahui keadaan
volume intravaskular dan apakah perfusi jaringan adekuat, seperti pemeriksaan hematokrit
serial, pH darah arteri, berat jenis urin, natrium urine, natrium serum, dan blood urea
nitrogen (BUN). Namun, pengukuran ini hanya dapat menilai volume vaskular secara tidak
langsung dan tidak dapat dijadikan patokan selama proses operasi karena banyak sekali
faktor intraoperatif yang akan mempengaruhi perubahan ini. 3
2.3. Cairan Intravena
Terdapat beberapa pilihan untuk terapi cairan intravena seperti kristaloid, koloid, datau
kombinasi keduanya. Larutan kristaloid adalah cairan yang berisi ion dengan atau tanpa glukosa,
sedangkan cairan koloid adalah cairan yang mengandung molekul dengan berat molekul yang
tinggi. Cairan koloid biasanya digunakan untuk menjaga tekanan osmotik koloid plasma. 35
Penggunaan cairan koloid dan kristaloid pada pasien bedah masih menjadi kontroversi.
Sebagian yang mendukung cairan koloid berpendapat bahwa cairan koloid lebih efisien untuk
menjaga tekanan onkotik plasma. Sedangkan sebagian yang mendukung cairan kristaloid
mengatakan bahwa cairan kristaloid juga sama efisiennya dengan koloid dalam menjaga tekanan
onkotik. Oleh karena itu beberapa kesimpulan dapat dibuat : 3
1. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah yang tepat sama efektifnya dengan
koloid dalam mengembalikan volume vaskular
2. Mengganti defisit cairan intravaskular dengan cairan kristaloid umumnya
memerlukan tiga atau empat kali dibandingkan penggunaan koloid
3. Pasien-pasien bedah mungkin mengalami defisit CES yang melibihi defisit cairan
intravaskular
4. Kehilangan cairan intravaskular yang berat dapat lebih cepat dikoreksi menggunakan
larutan koloid
5. Pemberian segera sejumlah besar kristaloid (> 45 L) lebih sering menyebabkan
edema jaringan.

Tabel 2.3. Komposisi Cairan Kristaloid3


Larutan Tonusitas Na+ Cl- K+ Ca2+ Mg2+ Glukosa Laktat Asetat
(mOsm/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (g/L) (mEq/L) (mEq/L)
D5W Hipo (253) 50
NS Iso (308) 154 154 50
D5NS Iso (355) 38.5 38.5 50
Darrow Iso (314) 122 104 35 50 53
D5NS Hiper 154 154 50 28
(586)
RL Iso (273) 130 109 4 3 28
RA Iso (273) 130 109 4 3 28
D5RL Hiper 130 109 4 3 50
(525)
NS Hipo (154) 77 77
3%S Hiper 513 513
(1026)
5%S Hiper 855 855
(1710)
Plasma Iso (282.6) 146 105 4.2 2.5 27

2.3.1. Cairan Kristaloid


Cairan kristaloid biasa digunakan sebagai cairan resusitasi pasien dengan perdarahan
dan syok sepsis, pasien luka bakar, pasien cedera kepala, dan pasien yang menjalani
plasmafaresis dan reseksi hepar. Koloid biasanya dilibatkan dalam resusitasi setelah
pemberian kristaloid terlebih dahulu. 35
Pada pasein bedah, kebanyakan kehilangan cairan adalah cairan isotonik, maka
penggantian cairannya adalah cairan isotonik. Cairan yang paling sering digunakan adalah
Ringer Laktat. Cairan ini sedikit hipotonik, sehingga memiliki efek terhadap CES. 35

2.3.2. Cairan Koloid


Aktivitas osmosis substansi dengan berat molekul yang tinggi pada cairan koloid
akan cenderung membuat air tertahan di intravaskular. Sementara waktu paruh cairan
kristaloid intravaskular hanya 2030 menit saja, kebanyakan cairan koloid memiliki waktu
paruh intravaskular 36 jam. Namun, penggunaan koloid relatif berhubungan dengan
beberapa komplikasi, penggunaan cairan koloid dibatasi. Beberapa indikasi penggunaan
cairan koloid antara lain, 35
1. Resusitasi cairan dengan kehilangan cairan intravaskular yang berat, seperti
syok hemoragik, sebelum adanya darah untuk transfusi
2. Resusitasi cairan untuk pasien dengan hipoalbuminemia berat atau kondisi
yang berhubungan dengan adanya kehilangan protein dalam jumlah besar
Terdapat beberapa sediaan cairan koloid. Seluruhnya merupakan turunan dari protein
plasma atau sintetik polimer glukosa yang ada dalam larutan isotonik.3 Koloid yang berasal
dari darah termasuk albumin (5% dan 25 %) dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya
dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan resiko dari hepatitis dan
penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi dan globulin yang ditambahkan pada
albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da
melibatkan aktivasi kalikrein. 3
Dextran terdiri dari Dextran 70 (Macrodex) dan Dextran 40, yang dapat
meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan menurunkan viskositas darah. Pada
Dextran juga terdapat efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat
menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
juga bersifat antigenik dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis. Dextran
1 (Promit) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik berat.
Bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 3
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul
berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul
besar dihancurkan pertama kali oleh amilase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma
expander dan lebih murah dibanding albumin. Selain itu, Hetastarch bersifat nonantigenik
dan reaksi anafilksisnya jarang. Studi masa pembekuan dan masa perdarahan umumnya
tidak signifikan dengan infus 0.51 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch
masih kontroversial. Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada
pasien yang menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat
molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch. 3

2.4. Terapi Cairan Intraoperatif


2.4.1. Kebutuhan Maintenance Normal
Tidak adanya intake normal, defisit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat
karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung, sekresi gastrointestinal, keringat
dan insensible losses dari kulit dan paru. 35

2.4.2. Defisit yang Terjadi


Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
mengalami defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan
dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa. 3
Untuk berat badan 70 kg, puasa 8 jam, perhitungannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam
atau 880 ml. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif.
3
Perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare sering dihubungkan.

2.4.3. Kehilangan Cairan selama Operasi


Kehilangan Darah
Hal yang paling penting dilakukan bagian anestesi selama proses operasi adalah
memonitor dan memperkirakan kehilangan darah yang terjadi. Walaupun perkiraan
ini seringkali dikacaukan oleh perdarahan yang tersembunyi, misalnya di duk
operasi dan lain sebagainya, akurasi sangat penting untuk menghitung jumlah
perdarahan dan terapi yang akan diberikan. 3
Metode yang paling sering digunakan untuk mengukur jumlah perdarahan adalah
melalui wadah suction dan secara visual dari kasa operasi. Kasa 4 x 4 yang penuh
darah kira-kira menyerap 10 cc, sedangkan kasa besar yang penuh menyerap 100
150 cc darah. Akan lebih baik lagi apabila kasa tersebut ditimbah sebelum dan
setelah digunakan. 3
Kehilangan Cairan yang Lain
Banyak sekali prosedur bedah yang berhubungan dengan kehilangan cairan
selain darah. Penguapan biasanya terjadi pada luka operasi yang besar dan terekspos
selama durasi operasi yang panjang. 3
Redistribusi cairan internalatau sering disebut sebagai kompartemen ketiga
dapat menyebabkan pergeseran cairan yang banyak hingga terjadi deplesi cairan
intravaskular. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kehilangan cairan ke
kompartemen ketiga ini sebenarnya masih kontroversial, termasuk apakah hal ini
terjadi pada pasien selain kasus peritonitis, luka bakar, dan pasien dengan jaringan
terinflamasi atau terinfeksi. Jaringan yang mengalami trauma, meradang, atau
terinfeksi dapat mengalami kehilangan cairan yang besar ke interstisial. 3
Pergeseran cairan intravaskular ke ruangan interstisial sangat penting; cairan
bebas protein bergeser melalui barrier vaskular yang intak ke interstisial dan
menyebabkan hipovolemia. 3

2.4.3. Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian defisit
cairan preoperatif seperti halnya kehilangan cairan intraoperatif (darah, redistribusi cairan ke
kompartemen ketiga, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari
prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah
minimal dan adanya pergeseran cairan, maka cairan rumatan dapat digunakan. Untuk semua
prosedur yang lain Ringer Laktat biasa digunakan untuk cairan rumatan. Idealnya,
kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara
volume cairan intravascular (normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) risiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfusi sel darah
merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematokrit 21-24%).3
Hb <7 g/dL cardiac output (CO) meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen
tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan
dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada
kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer
Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan. 3
Mengganti Kehilangan Darah
Idealnya, kehilangan darah dapat diganti dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga
agar volume intravaskular selalu dalam keadaan normovolemia. Apabila keadaan terus
berlangsung, perlu diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit). 3
Konsentrasi hemoglobin di bawah 7 gr/dL, CO meningkat untuk mempertahankan
delivery oksigen dalam keadaan normal. Saat harus dilakukan transfusi darah harus
diperhitungkan sebelum operasi dimulai. Pasien dengan hematokrit normal biasanya perlu
menjalani transfusi bila mengalami perdarahan lebih dari 1020% dari estimated blood
volume (EBV). 3

Mengganti Redistribusi Cairan dan Penguapan


Kehilangan cairan tambahan ini dapat diganti dengan patokan sebagai berikut. 3
Tabel 2.4. Estimasi Kehilangan Cairan3
Derajat Trauma Jaringan Cairan yang Dibutuhkan
Minimal (cth : Herniorafi) 02 cc/kg
Sedang (cth : Kolesistektomi) 24 cc/kg
Berat (cth : Diseksi Usus) 48 cc/kg
Namun, dalam literatur yang lain juga mengatakan bahwa penggantian cairan
redistribusi dalam pembedahan dibagi menjadi, 68 ml/kg untuk pembedahan besar, 46
ml/kg untuk pembedahan sedang, dan 24 ml/kg untuk pembedahan kecil.6

2.5. Transfusi
2.5.1. Golongan Darah
Sistem ABO
Golongan darah sistem ABO ditentukan melalui ada atau tidaknya antigen sel
darah merah A atau B di permukaan sel. Golongan darah A memiliki antigen A,
golongan darah B memiliki antigen B, golongan darah AB memiliki keduanya, dan
golongan darah O tidak memiliki satu antigen pun. 3

Sistem Rh
Terdapat sedikitnya 46 rhesus pada permukaan sel darah merah, dan pasien
dengan Rhesus D disebut sebagai rhesus positif. 3

2.5.2. Uji Kompatibilitas


Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibodi
sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa
adanya antibodi yang tidak baik. 3

Uji ABO-RH
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO; antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan
antigen dari transfusi, mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis
intravaskular. Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai
antibodi melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi
secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan
menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang dikenal. 3
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibodi anti-D untuk menentukan Rh.
Jika hasilnya adalah Rh-Negatif, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan
mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan
berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-
70%.3

Crossmatch
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: (1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari
5 menit), (2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain, dan (3) mendeteksi
antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir
memerlukan sedikitnya 45 menit. 3

Skrining Antibodi
Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang
biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini (dikenal juga
Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik,
membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin
menghasilkan aglutinasi sel darah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor
darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch. 3
2.6. Transfusi Gawat Darurat
Jika jenis darah pasien sudah dikenal, dapat dilakukan crossmatch dalam waktu kurang dari
5 menit, dapat mengkonfirmasikan kompatibilitas ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal
dan transfusi harus dimulai sebelum penentuan, jenis O Rh-Negatif darah mungkin bisa
digunakan. 3
Terdapat beberapa indikasi transfusi darah di antaranya adalah perdarahan akut sampai Hb <
8 gr% atau Ht < 30% pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung < 10 gr/dl. Selain itu juga
untuk pasien bedah mayor dengan kehilangan darah > 20% volume darah.6

Tabel 2.5. Rata-rata volume darah3


Usia Volume Darah
Neonatus
Prematur 95 ml/kg
Cukup Bulan 85 ml/kg
Bayi 80 ml/kg
Dewasa
Laki-laki 75 ml/kg
Perempuan 65 ml/kg

2.7. Transfusi Intraoperatif


2.7.1. Packed Red Cell
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell (PRC), dan dapat
mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal
untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi tidak penggantian volume (misalnya,
pasien anemia dengan gagal jantung kongestif). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan
seperti halnya sel darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infus secara bersama-sama
dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan
kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-
m untuk menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda
digunakan untuk mengurangi leukosit isi untuk mencegah demam pada pasien yang sensitif.
Darah untuk transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37C. terutama jika lebih dari
2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hipotermia. Efek tambahan
hipotermia dan secara khas 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) konsentrasi rendah dalam darah
yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran ke kiri ditandai hemoglobin-oksgen
kurva-disosiasi dan, menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga
suhu darah > 30C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit. 3

2.7.2. Fresh Frozen Plasma


Fresh Frozen Plasma (FFP) mengandung semua protein plasma dan mencakup semua
faktor pembekuan. Transfusi FFP diindikasikan untuk pengobatan defisiensi faktor yang
terisolasi, reverse warfarin therapy, dan koreksi koagulopati karena penyakit hati. Masing-
Masing unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada
umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi
faktor pembekuan yang normal.3,5
Fresh Frozen Plasma dapat digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi
darah masif dan perdarahan yang terus menerus setelah transfusi platelet. Pasien dengan
defisiensi anti-trombin III atau purpura thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP
transfusi. 3,5
Masing-Masing unit FFP memiliki risiko infeksi yang sama dengan satu unit whole
blood. Sebagai tambahan, pasien dapat sewaktu-waktu menjadi peka terhadap protein
plasma. Uji kompatibilitas ABO biasanya perlu dilakukan, meskipun tidak wajib. Seperti
PRC, FFP biasanya dihangatkan 37C sebelum transfusi. 3,5

2.7.3. Platelet
Transfusi platelet harus diberikan kepada pasien dengan trombositopenia atau
disfungsi platelet dengan pendarahan. Transfusi platelet profilaktik diindikasikan pada
pasien dengan hitung platelet di bawah 10.000-20.000 karena adanya peningkatan resiko
perdarahan spontan. 3
Hitung trombosit kurang dari 50.000 x 109/L dapat meningkatkan risiko perdarahan
selama pembedahan. Pasien dengan trombositopenia yang mengalami pembedahan atau
prosedur invasif harus diberikan profilaksis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung
trombosit harus di atas 100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah minor
dapat dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi
trombosit normal dan hitung trombosit >50.000 x 109/L. 3,5
Masing-Masing unit platelet mungkin diharapkan untuk meningkatkan 10.000-
20.000 x 109/L dari trombosit. Platelet yang ditransfusikan biasanya bertahan hanya 1-7 hari
setelah di transfusi. ABO yang kompatibel dapat meningkatkan keselamatan pasien. 3,5

2.7.4. Granulosit
Transfusi Granulosit, disiapkan dengan leukoforesis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sehingga pemberian transfusi sehari-
hari 1010 granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden
timbulnya reaksi graft-versus-host, kerusakan endotelial paru, dan lain permasalahan
berhubungan dengan transfusi leukosit, tetapi mempengaruhi fungsi granulosit.
Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating factor, atau G-CSF) dan
sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, atau GM-CSF) telah
sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit. 3,5

2.8. Komplikasi Transfusi Darah


2.8.1. Komplikasi Imunologis
Hemolisis
Reaksi Hemolitik pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah
merah yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis
sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.
Transfusi dalam jumlah besar . dapat menyebabkan hemolisis intravascular. Reaksi
Hemolitik biasanya digolongkan akut (intravaskular) atau lambat (ekstravaskular). 3,5

Reaksi Hemolisis Akut


Hemolisis Intravaskular akut biasanya berhubungan dengan Inkompatibilitas
ABO dan dilaporkan frekuensi kejadian kira-kira 1 : 38.000 transfusi. Penyebab
yang paling umum adalah misidentifikasi dari pasien, spesimen darah, atau unit
transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolitik fatal
terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa
dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi
dari suatu reaksi hemolitik akut adalah suhu meningkat, takikardia tak dapat
dijelaskan, hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan
operasi. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), syok, dan penurunan
fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali
tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infus 10 15 ml darah yang ABO
inkompatibel. Jika dicurigai suatu reaksi hemolitik, transfusi harus dihentikan
dengan segera. Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin. Diuresis osmotik
harus diaktifkan dengan manitol dan cairan intravaskular.3

Reaksi Hemolitik Lambat


Suatu reaksi hemolitik lambat biasanya disebut hemolisis ekstravaskular
biasanya ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen Sistem Rh atau
dengan alel asing di sistem lain seperti antigen Kell, Duffy, atau Kidd. Berikut
suatu transfusi ABO dan Rh D-compatible, pasien mempunyai 1-1.6%
kesempatan membentuk antibodi untuk melawan antigen asing. Pada saat itu
sejumlah antibodi ini sudah terbentuk (beberapa minggu sampai beberapa bulan),
tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibodi
menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing
yang sama selama transfusi sel darah, dapat mencetuskan respon antibody
melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen.
Reaksi hemolitik pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala
biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematokrit pasien
tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin
tak terkonjugasu meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin. Diagnosa
reaksi hemolitik lambat mungkin difasilitasi oleh uji antiglobulin (Coombs). Uji
Coombs mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak bisa
membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan
membrane antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu
pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen :
pasien dan donor. Penanganan reaksi hemolitic lambat adalah suportif. Frekuensi
reaksi transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi.
Kehamilan (terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan
pembentukan aloan-tibodi pada sel darah merah. 3,5

Non Hemolisis
Reaksi Febril
Sensitisasi lekosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febril.
Reaksi ini umumnya (1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh suatu
peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat
febril berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi sarah merahh
dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-
thaw. 3,5

Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya
(1% transfusi) berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma.
Reaksi Urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H1 dan mungkin H2
blockers) dan steroid. 3,5

Reaksi Anafilaktik
Reaksi Anafilaktik jarang terjadi (kurang lebih 1:150.000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas
pada IgA- Pasien dengan Defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang
berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1 : 600800 pada populasi
yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinefrine, cairan,
kortikosteroid, dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgA perlu
menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-
Free blood Unit . 3
Edema Paru Non-Kardiogenik
Acute lung injury syndrome (Transfusion-Related Acute Lung Injury
TRALI) merupakan komplikasi yang jarang terjadi (< 1 : 10.000). Ini berkaitan
dengan transfusi antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan
dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner.
Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal
TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome (ARDS), tetapi
dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif. 3,5

Graft Versus Host Disease


Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel
darah berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter
leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-
host; iradiasi (1500-3000 cGy) sel darah merah, granulosit, dan transfusi platelet
secara efektif menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari transfusi. 3,5

Purpura Post Transfusi


Trombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi
menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu
setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan. 3,5

Imunosupresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini
adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah
preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip
pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian
yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat
mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma. 3,5
2.8.2. Komplikasi Infeksi
Infeksi Virus
Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antara
1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya
50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok
yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis. 3,5

AIDS
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2
antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu
kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui
tranfusi 1:1.900.000 tranfusi. 3,5

Lainnya
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan
penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah
dari donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan imunokompromai
(misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ) peka terhadap
infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima hanya
CMV negatif. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi
CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah
yang CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang
dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus
lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma
virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia
dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah
transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic
pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus
nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.
3,5

Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi. 3,5

Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi.
Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai
1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari
1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif
besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta.
Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan
Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk
mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor
meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.
3,5

2.8.3. Komplikasi Transfusi Masif


Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu
sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan
10-20 unit. 3,5

Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocitopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada
pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi
acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat. 3,5

Intoksikasi Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi
penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia
penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal
kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat
terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif). 3,5

Hipotermi
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk
darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia ventrikular dapat
menjadi fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30C. Hipotermia dapat
menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan
panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden
hypothermia yang terkait dengan transfuse.3,5

Keseimbangan Asam-Basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs
(carbondioksida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik
yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam
basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika
perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan alkalosis metabolic
progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar. 3

Konsentrasi Natrium Serum


Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan
waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang
dari 4 mEq perunit. Hiperkalsemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur
darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. 3,5

2.9. Alternatif Strategi Manajemen Kehilangan Darah Intraoperatif


2.9.1. Transfusi Autologus
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan
tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama
operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien
diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih
34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara
mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi
besi dan terapi eritropoetin rekombinan (400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit
pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi. Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi
darah autologous tidak mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi survival pada
pasien yang mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin
mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas
dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang berhubungan dengan n kesalahan
pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan
yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan dengan allergen ( misalnya,
ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat pengumpulan dan
gudang/penyimpanan. Pengumpulan darah preoperatif autologous dilakukan dengan
frekuensi berkurang.3

2.9.2. Penyimpanan Darah dan Reinfusion


Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah tulang.
Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah
(heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang
merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku
kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya
mempunyai hematokrit 50-60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan
kehilangan darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari
luka yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang
kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik tills tidak dibenarkan. 3

2.9.3. Hemodilusi Normovolemik


Hemodilusi normovolemik akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi sel
darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah
dalam jumlah besar ditumpahkan; lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume
intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter
intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap
normovolemik tetapi dengan hematokrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam
kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di
transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan. 3

2.9.4. Donor-Transfusi Langsung


Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang ABO
kompatibel. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan umumnya memerlukan
donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan
kompatibilitas. 3
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor secara
random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman. 3

Vous aimerez peut-être aussi